Penerapan Diversi Di Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Anak

(1)

PENERAPAN DIVERSI DI DALAM PENYELESAIAN

PERKARA PIDANA ANAK

SKRIPSI

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Sebagai Sarjana Hukum

Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

DAVID P. SINURAT NIM: 110200236

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

PENERAPAN DIVERSI DI DALAM PENYELESAIAN

PERKARA PIDANA ANAK

SKRIPSI

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Sebagai Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

DAVID P. SINURAT 110200236

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. M. Hamdan,S.H.,M.Hum NIP:19573261986011001

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

Liza Erwina,S.H.,M.Hum Dr. Marlina,S.H.,M.Hum

196110241989032002 197503072002122002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

ABSTRAK ... iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7

D. Keaslian Penulisan ... 8

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

1. Pengertian Tindak Pidana ... 8

2. Pengertian Anak dan Kenakalan Anak ... 11

3. Pengertian Sistem Pemidanaan ... 15

F. Metode Penelitian ... 17

G. Sistematika Penulisan ... 20

BAB II DIVERSI SEBAGAI SUATU KEWAJIBAN DI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA ANAK A. Konsep Diversi dan Restorative Justice Pada Sistem Pengadilan Anak ... 21

B. Kewajiban Pelaksanaan Diversi 1. Menurut UU No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ... 33


(4)

2. Menurut PERMA No.04 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Di Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak… ... 38 C. Pelaksanaan Diversi di Indonesia

1. Menurut UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ... 41 2. Menurut PERMA No.4 Tahun 2014 tentang Pedoman

Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak……. ... 50

BAB III SANKSI BAGI PEJABAT NEGARA YANG TIDAK MELAKSANAKAN DIVERSI

A.Sanksi Menurut UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak…….. ... 54 B.Pembatalan Sanksi Pidana Melalui Putusan MK

No.110/PPU-X/2012 ... 62 BAB IV HAMBATAN DI DALAM PELAKSANAAN DIVERSI

A.Hambatan yang Berasal Dari Korban ... 75 B.Hambatan yang Berasal Dari Penegak Hukum ... 80 C.Hambatan yang Berasal Dari Masyarakat ... 86

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... …91 B. Saran ... …94 DAFTAR PUSTAKA ... 95 LAMPIRAN


(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat Kasih dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul ―Penerapan Diversi Di Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Anak ‖

Adapun penulisan skripsi ini bertujuan untuk melengkapi dan memenuhi persyaratan untuk meraih gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara yang merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/mahasiswi yang akan menyelesaikan perkuliahannya.

Penulis dalam pembuatan skripsi ini tidak sendirian, ada banyak pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH., MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr.O.K. Saidin, SH., M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. M. Hamdan, SH., MH, selaku Ketua Jurusan Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(6)

6. Ibu Liza Erwina, SH, M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku Dosen Pembimbing I, yang telah membimbing, mengarahkan dan mendukung penulis selama masa penulisan dan penyelesaian skripsi ini.

7. Ibu Dr. Marlina, SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II, yang telah membimbing, mengarahkan, dukungan, ide, waktu dan sarannya selama penulisan skripsi ini.

8. Seluruh keluarga tercinta yang telah mendukung dan memberikan motivasi dalam penulisan skripsi ini, terkhusus kepada kedua orang tua saya Bapak Washinton Sinurat dan Ibu Rita Magda yang saya sangat cintai terimakasih buat kasih sayang, pengorbanan, dan perhatian yang sangat banyak diberikan kepada penulis.

9. Kedua kakak saya, Dewi C.M Sinurat,S.Pd dan Dumaris Sinurat, S.E yang menjadi sumber inspirasi dan motivator saya di dalam menggapai cita-cita. 10.Sahabat-sahabat saya selama perkuliahan Erma Pangaribuan, Rendi

Rumapea, Novlyana Damanik, Daniel Sinaga, dan teman-teman lainnya yang memberikan dukungan serta semangatnya kepada penulis.

Penulis,


(7)

ABSTRAK David P. Sinurat* Liza Erwina, S.H.,M.Hum** Dr. Marlina S.H.,M.Hum***

Anak adalah generasi penerus bangsa yang menjadi subjek pelaksana pembangunan dan pemegang kendali masa depan suatu negara termasuk negara Indonesia. Pentingnya peranan anak tersebut menjadi suatu hal wajib bagi negara di dalam melindunginya dalam segala aspek, salah satunya dalam hal pemberian hukuman pada anak yang berkonflik dengan hukum. Diversi yang berarti pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana menjadi suatu terobosan di dalam hal pemidanaan anak yang Berkonflik dengan Hukum yang diatur di dalam UU No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menggantikan UU No.03 Tahun 1997 tentang pengadilan anak. UU No.03 tahun 1997 tentang pengadilan Anak memiliki konsep Restitusi atau ganti rugi sedangkan pada UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak berfokus pada konsep Restorasi atau pemulihan. Diversi yang berlandaskan konsep restorative justice berupaya memberikan pemulihan dan keseimbangan bagi anak sebagai pelaku dan anak sebagai korban.

Adapun permasalahan yang akan dibahas di dalam skripsi ini adalah mengenai penerapan upaya Diversi di dalam proses pemidanaan anak berdasarkan UU No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan PERMA No.04 tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Di Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, yang dimulai dengan konsep Diversi dan Restorative Justice, kewajiban pelaksanaan upaya Diversi beserta sanksi yang dapat dijatuhkan dalam hal tidak dilaksanakannya upaya Diversi, dan hambatan-hambatan di dalam upaya penerapan Diversi. Metode penelitian yang digunakan pada penulisan ini adalah penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan-bahan kepustakaan khususnya perundang-undangan dan kepustakaan hukum yang berkaitan dengan Diversi. Data sekunder berupa dokumen-dokumen resmi, buku-buku karya ilmiah pendapat sarjana, artikel-artikel, dan sebagainya.

Diversi diharapkan menjadi upaya pemidanaan yang efektif bagi Anak yang Berkonflik dengan Hukum. Diversi merupakan upaya wajib yang harus dilaksanakan kepada Anak yang Berkonflik dengan Hukum dan mengandung sanksi administrasif bagi penegak hukum yang tidak menjalankannya. Namun dalam hal penerapan upaya Diversi tersebut masih ditemukan beberapa hambatan seperti sikap tidak terima atas upaya Diversi yang berasal dari keluarga korban, kurangnya pemahaman Diversi pada penegak hukum, kurangnya sosialisasi Diversi kepada masyarakat yang pada akhirnya kurang memaksimalkan upaya Diveri tersebut untuk dilaksanakan.

* Penulis, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara *** Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(8)

ABSTRAK David P. Sinurat* Liza Erwina, S.H.,M.Hum** Dr. Marlina S.H.,M.Hum***

Anak adalah generasi penerus bangsa yang menjadi subjek pelaksana pembangunan dan pemegang kendali masa depan suatu negara termasuk negara Indonesia. Pentingnya peranan anak tersebut menjadi suatu hal wajib bagi negara di dalam melindunginya dalam segala aspek, salah satunya dalam hal pemberian hukuman pada anak yang berkonflik dengan hukum. Diversi yang berarti pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana menjadi suatu terobosan di dalam hal pemidanaan anak yang Berkonflik dengan Hukum yang diatur di dalam UU No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menggantikan UU No.03 Tahun 1997 tentang pengadilan anak. UU No.03 tahun 1997 tentang pengadilan Anak memiliki konsep Restitusi atau ganti rugi sedangkan pada UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak berfokus pada konsep Restorasi atau pemulihan. Diversi yang berlandaskan konsep restorative justice berupaya memberikan pemulihan dan keseimbangan bagi anak sebagai pelaku dan anak sebagai korban.

Adapun permasalahan yang akan dibahas di dalam skripsi ini adalah mengenai penerapan upaya Diversi di dalam proses pemidanaan anak berdasarkan UU No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan PERMA No.04 tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Di Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, yang dimulai dengan konsep Diversi dan Restorative Justice, kewajiban pelaksanaan upaya Diversi beserta sanksi yang dapat dijatuhkan dalam hal tidak dilaksanakannya upaya Diversi, dan hambatan-hambatan di dalam upaya penerapan Diversi. Metode penelitian yang digunakan pada penulisan ini adalah penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan-bahan kepustakaan khususnya perundang-undangan dan kepustakaan hukum yang berkaitan dengan Diversi. Data sekunder berupa dokumen-dokumen resmi, buku-buku karya ilmiah pendapat sarjana, artikel-artikel, dan sebagainya.

Diversi diharapkan menjadi upaya pemidanaan yang efektif bagi Anak yang Berkonflik dengan Hukum. Diversi merupakan upaya wajib yang harus dilaksanakan kepada Anak yang Berkonflik dengan Hukum dan mengandung sanksi administrasif bagi penegak hukum yang tidak menjalankannya. Namun dalam hal penerapan upaya Diversi tersebut masih ditemukan beberapa hambatan seperti sikap tidak terima atas upaya Diversi yang berasal dari keluarga korban, kurangnya pemahaman Diversi pada penegak hukum, kurangnya sosialisasi Diversi kepada masyarakat yang pada akhirnya kurang memaksimalkan upaya Diveri tersebut untuk dilaksanakan.

* Penulis, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara *** Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Dewasa ini, diakui bahwa level kenakalan yang dilakukan oleh anak telah mengalami kenaikan. Pada awalnya, kenakalan remaja hanyalah merupakan perilaku ―nakal‖ dari kalangan remaja yang sering dikatakan sedang mencari identitas diri. Kenakalan remaja yang demikian ini tidaklah menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat luas (orang tua, guru, teman, dan masyarakat umum), tetapi justru perilaku yang demikian itu dapat dipahami sebagai suatu fase yang akan terjadi dan akan dialami oleh setiap orang, yang pada akhirnya akan berlalu begitu saja oleh masyarakat luas. Saat ini, kenakalan remaja tampaknya bukan lagi bersifat nakal, tidak lagi memperlihatkan ciri-ciri kenakalannya tetapi sudah menjurus pada tindakan brutal seperti, perkelahian antar kelompok, penggunaan narkotika/obat terlarang, perampasan, kebut-kebutan di jalan raya tanpa aturan, penyimpangan-penyimpangan seksual, dan tindakan-tindakan yang menjurus pada perbuatan kriminal.1 Kenakalan yang menjurus kepada tindak pidana tersebut, disebabkan oleh beberapa faktor. Di dalam bukunya ―Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia‖, Nashriana menjabarkan beberapa teori faktor penyebab terjadinya kenakalan anak, yaitu:2

1. Teori Motivasi

Berbicara tentang kenakalan anak, tidak terlepas dari faktor-faktor pendorong atau motivasi sehingga anak melakukan kenakalan, dan pada akhirnya dapat menentukan kebutuhan apa yang diperlukan oleh seorang anak dalam memberi reaksi atas kenakalannya. Menurut Romli

1

Yudika D. Margaretha Hutabarat, Faktor Pendorong Kenakalan Remaja Geng Motor Di Kota Medan Dari Aspek Kriminologi, Medan, USU,2011.,hlm.1

2

Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Perkasa, 2011.,hlm.35


(10)

Atmasasmita, bentuk motivasi itu ada dua macam, yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik yaitu dorongan atau keinginan pada diri seseorang yang tidak perlu disertai dengan perangsang dari luar, seperti faktor intelegensia, usia, kelamin, dan kedudukan anak dalam keluarga; sedangkan motivasi ekstrinsik adalah dorongan yang datang dari luar, seperti faktor rumah tangga, pendidikan dan sekolah, mass media, dan pergaulan anak.3

2. Teori Differential Association

Menyatakan perilaku kejahatan adalah perilaku yang dipelajari, perilaku kejahatan tersebut dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dalam suatu proses komunikasi, dan bagian terpenting dalam proses mempelajari perilaku kejahatan ini terjadi dalam kelompok personal yang inti.

3. Teori Anomie

Istilah Anomie dikemukakan oleh seorang ahli sosiologi Perancis bernama Emile Durkheim yang berarti keadaan tanpa norma. Teori Anomie yang diajukan oleh Robert Merton mencoba melihat keterkaitan antara tahap-tahap tertentu dari struktur sosial dengan perilaku delikuen. Ia melihat bahwa tahapan tertentu dari struktur sosial akan menumbuhkan suatu kondisi dimana pelanggaran terhadap norma-norma kemasyarakatan merupakan wujud reaksi ―normal‖. Merton berusaha menunjukkan bahwa berbagai struktur sosial yang mungkin terdapat di masyarakat dalam realitasnya telah mendorong orang-orang dalam kualitas tertentu berperilaku menyimpang ketimbang mematuhi norma-norma yang ada dalam masyarakat.4

4. Teori Kontrol Sosial

Teori ini menyatakan, bahwa seseorang memiliki kadar yang sama untuk menjadi ―baik‖ atau menjadi ―jahat‖. Maksudnya sifat seseorang ditentukan oleh keadaan masyarakat. Seseorang yang tinggal di lingkungan masyarakat yang baik, maka orang tersebut akan memiliki sifat yang baik. Apabila seseorang tinggal di lingkungan masyarakat yang jahat, maka seseorang akan cenderung dapat melakukan kejahatan juga.

Sebelum lahirnya undang-undang yang mengatur tentang pemidanaan anak, seperti UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan UU No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Indonesia memberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai acuan di dalam memberlakukan hukuman pada anak-anak yang melakukan suatu tindak pidana. Filosofi dalam KUHP dipengaruhi dari pemikiran aliran klasik yang berkembang dalam hukum

3

Romli Atmasasmitha, problem Kenakalan Anak-Anak Remaja, Bandung, Armico, 1983., hlm.46

4


(11)

pidana Perancis. Filosofi pemidanaan dalam KUHP dilandasi oleh dasar pemikiran pembalasan atas perbuatan yang telah dilakukan pelaku dan dengan demikian, asas pemidanaan adalah memberikan rasa takut, balas dendam, serta mencemarkan nama baik secara berlebihan.5 Hukuman dianggap wajar dan rasional dijatuhkan kepada setiap orang sebagai akibat karena telah melakukan kejahatan. Orang-orang yang melakukan tindak pidana tersebut secara bebas, dan yang pada akhirnya menimbulkan suatu kerugian atau penderitaan kepada orang lain, haruslah mendapatkan suatu penderitaan yang setimpal, sesuai dengan tindak pidana atau penderitaan yang diberikannya. Penderitaan tersebut kemudian direalisasikan dengan memberikan suatu ancaman hukuman yang berat, yaitu salah satunya adanya perampasan kemerdekaan.

Penerapan hukuman yang berasal dari KUHP kepada anak dianggap tidak lagi sesuai dan tidak memenuhi tujuan dari pemidanaan itu sendiri. Secara umum pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu:

1) Untuk memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri;

2) Untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan-kejahatan; dan

3) Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan lainnya, yakni penjahat-penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi.6

5

Ibid.

6


(12)

Pemberian hukuman dengan alasan pembalasan dendam atas suatu tindak pidana yang dilakukan oleh anak, dianggap tidaklah efektif untuk memenuhi tujuan pemidanaan tersebut. Pemberian hukuman kepada anak nakal berupa perampasan kemerdekaan adalah hal yang perlu ditinjau ulang. Suatu pemikiran yang menjadi penting untuk dipikirkan demi mencapai tujuan pemidanaan itu sendiri adalah melakukan pembinaan kepada anak-anak yang melakukan tindak pidana.

Hakikat pembangunan nasional sebagaimana ditegaskan Ketetapan MPR No. II/MPR/1983 adalah ―Pembangunan Manusia Indonesia Seutuhnya‖. Pembangunan tidak hanya mengejar kemajuan lahiriah seperti pangan, sandang, perumahan, kesehatan dan sebagainya, atau kepuasan batiniah seperti pendidikan, rasa aman bebas mengeluarkan penapat yang bertanggung jawab, rasa keadilan dan seterusnya. Melainkan keselarasan/keserasian dan keseimbangan antara keduanya. Pembangunan tersebut bukan hanya untuk sesuatu golongan atau sebagian masyarakat, tetapi untuk semua lapisan masyarakat baik tua, muda, maupun anak-anak.7Masalah pembinaan generasi muda merupakan bagian integral dari masalah pembangunan. Masalah pembinaaan yaitu pembinaan yustisial terhadap generasi muda khususnya anak-anak perlu mendapat perhatian dan pembahasan tersendiri. Proses perkembangan tidak jarang muncul peristiwa-peristiwa yang menyebabkan anak dalam keadaan terlantar.

Anak adalah generasi penerus bangsa dan penerus pembangunan, yaitu generasi yang dipersiapkan sebagai subjek pelaksana pembangunan yang berkelanjutan dan pemegang kendali masa depan suatu negara, tidak terkecuali

7


(13)

Indonesia. Perlindungan anak Indonesia berarti melindungi potensi sumber daya insani dan dan membangun manusia Indonesia seutuhnya, menuju masyarakat yang adil dan makmur, materil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Upaya-upaya perlindungan anak harus telah dimulai sedini mungkin, agar kelak dapat berpartisipasi secara optimal bagi pembangunan bangsa dan negara.8 Pemberlakuan hukuman pada anak sebagai pelaku suatu tindak pidana, perlu adanya pengaturan yang tegas mengenai pemberlakuan aturan-aturan mengenai pemberian hukuman yang relevan dan efektif bagi anak demi terciptanya suatu keadilan.

Pengaturan mengenai pemidanaan anak di Indonesia sudah semakin berkembang kearah yang lebih baik, dan diatur sebagai pengganti dari KUHP, yaitu UU No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang memuat konsep Diversi di dalam penyelesaian suatu perkara pidana anak. Pendekatan

Restorative Justice, yang dilaksanakan dengan cara pengalihan (Diversi), menjadi suatu solusi di dalam penyelesaian perkara pidana anak. Restorative Justice adalah proses penyelesaian yang dilakukan di luar sistem peradilan pidana dengan melibatkan korban, pelaku, keluarga korban dan pelaku, masyarakat serta pihak-pihak yang berkepentingan dengan suatu tindak pidana yang terjadi untuk mencapai kesepakatan dan penyelesaian. Restorative Justice juga dianggap sebagai cara berpikir paradigma baru dalam memandang sebuah tindak kejahatan yang dilakukan seseorang.

Di dalam pelaksanaan Diversi sendiri, perlu adanya sinergi antara korban dan pelaku, masyarakat, dan juga penegak hukum di dalam mensukseskan

8


(14)

konsep ini sendiri.. Pengalihan proses peradilan anak atau yang disebut dengan Diversi berguna untuk menghindari efek negatif dari proses-proses peradilan selanjutnya dalam administrasi peradilan anak misalnya labelisasi akibat pernyataan bersalah maupun vonis hukuman. Keluarnya PERMA No.4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Di Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak juga mensyaratkan adanya upaya Diversi di dalam menyelesaikan perkara pidana anak. Berdasarkan hal tersebut saya tertarik untuk meneliti bagaimana ―Penerapan Diversi Di Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Anak‖

B. Perumusan Masalah

Dari pemaparan latar belakang masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah pengaturan pelaksanaan Diversi di dalam penyelesaian perkara pidana anak?

2. Bagaimanakah penerapan sanksi yang diberikan kepada pejabat negara apabila tidak melaksanakan Diversi di dalam penyelesaian perkara pidana anak?

3. Apakah yang menjadi hambatan di dalam pelaksanaan Diversi sebagai suatu upaya di dalam menyelesaikan perkara pidana anak?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:


(15)

a. Mengetahui bagaimanakah pengaturan Diversi sebagai suatu upaya wajib di dalam penyelesaian perkara pidana anak.

b. Mengetahui bagaimanakah sanksi yang akan diterapkan kepada pejabat negara apabila tidak melaksanakan Diversi sebagai suatu upaya wajib di dalam penyelesaian perkara pidana anak.

c. Mengetahui apakah yang menjadi hambatan di dalam pelaksanaan Diversi sebagai suatu upaya wajib di dalam penyelesaian perkara pidana anak.

2. Manfaat Penulisan

Adapun Manfaat yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah sebagai berikut: a. Manfaat Teoritis

1) Sebagai mahasiswa program hukum pidana, untuk menambah wawasan dan lebih memperdalam ilmu pengetahuan dalam bidang hukum pidana.

2) Untuk memperluas pemikiran dan khazanah ilmu pengetahuan hukum pidana khususnya di dalam hal Diversi, sebagai suatu upaya wajib di dalam menyelesaikan perkara pidana anak. b. Manfaat Praktis

1) Memberikan informasi kepada masyarakat agar lebih mengerti dan memahami pengaturan tentang Diversi, termasuk sanksi apabila Diversi tidak dilaksanakan, dan hambatan di dalam pelaksanaan Diversi.


(16)

2) Memberikan kontribusi kepada aparat penegak hukum agar dapat melaksanakan Diversi dengan sebaiknya dan sepatutnya, sehingga tercipta suatu hukum yang baik, terutama pada anak.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi yang berjudul Penerapan Diversi di Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Anak ini, adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri, yang mana sumbernya diperoleh dari peraturan perundang-undangan, buku-buku hukum, literatur-literatur hukum, dan media elektronik yang berhubungan dengan skripsi ini.

Berdasarkan data kepustakaan Departemen Hukum Pidana,Fakultas Hukum,Universitas Sumatera Utara, bahwa skripsi dengan judul Pelaksanaan Diversi Di Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Anak, belum pernah ada yang yang menulis sebelumnya. Kesamaan atau kemiripan dengan karya ilmiah lain, merupakaan ketidaksengajaan dan tentunya memiliki objek kajian serta pembahasan yang berbeda dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Tindak Pidana

Pembentuk undang-undang kita telah menggunakan perkataan ―strafbaar feit‖ untuk menyebutkan apa yang kita kenal dengan sebagai ―tindak pidana‖ di

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan


(17)

straafbaar feit‖ tersebut. Feit di dalam bahasa Belanda berarti ―sebagian dari suatu kenyataan‖ dan strafbaar berarti ―dapat dihukum‖. Secara harfiah dapat

diartikan sebagai sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum. Penerjemahan ini belum tepat, karna diketahui bahwa yang dapat dihukum itu adalah manusianya, bukan suatu keadaan, perbuatan, ataupun hal lain.

Beberapa ahli hukum memberikan pendapatnya tentang pengertian dari

straafbar feit atau tindak pidana:9

A. Hazewinkel-Suringa, membuat suatu rumusan yang bersifat umum dari ―strafbaar feit‖ sebagai suatu perilaku manusia yang pada suatu saat

tertentu telah ditolak di dalam sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya.

B. Van hamel telah merumuskan “strafbaar feit” itu sebagai ―suatu serangan atau suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain‖

C. Pompe merumuskan perkataan “straafbar feit” itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai ―suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja atau tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum‖

9

P.A.F lamintang, Dasar-Dasar Hukum pidana Indonesia,Bandung,PT Citra Aditya Bakti,2011.,hlm.181


(18)

D. Simons telah merumuskan “strafbaar feit” itu sebagai suatu ―tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.‖

E. Moeljatno berpendapat bahwa pengertian perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, barang siapa melanggar larangan tersebut.

F. Bambang Poernomo menyatakan pengertian dari perbuatan pidana, yaitu suatu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.

Berdasarkan pendapat tersebut, dapat diketahui bahwa pengertian tindak pidana adalah perbuatan pidana atau tindak pidana senantiasa merupakan suatu perbuatan yang tidak sesuai atau melanggar suatu aturan hukum atau perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum yang disertai dengan sanksi pidana yang mana aturan tersebut ditujukan kepada perbuatan sedangkan ancamannya atau sanksi pidananya ditujukan kepada orang yang melakukan atau orang yang menimbulkan kejadian tersebut.


(19)

Setiap negara memiliki defenisi yang tidak sama tentang anak. Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Convention on the Right of the Child (CRC) atau KHA menetapkan defenisi anak: ―Anak berarti setiap manusia di bawah umur 18 tahun, kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal.‖ Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak: ―Anak adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.‖10

Pengertian mengenai anak dapat ditemui pada beberapa undang-undang seperti:

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, misalnya, mensyaratkan usia perkawinan 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki.

2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak mendefenisikan anak berusia 21 tahun dan belum pernah kawin.

3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak mendefenisikan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah berusia delapan tahun, tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah kawin.

4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan belum pernah kawin.

5. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan membolehkan usia bekerja 15 tahun.

10

Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2010.,hlm.40


(20)

6. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberlakukan Wajib Belajar 9 Tahun, yang dikonotasikan menjadi anak berusia 7 sampai 15 tahun.11

Pengertian mengenai anak lebih lanjut diatur di dalam peraturan lainnya yaitu:

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Pasal 330 ayat (1) memuat batas antara belum dewasa (minderjarigheid) dengan telah dewasa (meerderjarigheid) yaitu 21 tahun, kecuali anak tersebut telah kawin sebelum berumur 21 tahun dan Pendewasaan (venia aetetis, Pasal 419 KUHPer)

b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

KUHP tidak merumuskan secara eksplisit tentang pengertian anak, tetapi dapat dijumpai antara lain pada pasal 45 yang memakai batasan usia 16 tahun, yaitu:

Pasal 45 berbunyi:12

Seseorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang dikerjakannya ketika umurnya belum enam belas tahun, hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya, walinya, atau pemeliharanya, dengan tidak dikenankan sesuatu hukuman; yakni jika perbuatan itu masuk bagian kejahatan atau salah satu pelanggaran yang diterangkan dalam pasal 489,490,492,497,503-505,514,517-519,526,536, dan 540 dan perbuatan itu dilakukan sebelum lalu dua tahun sesudah keputusan terdahulu yang menyalahkan dia melakukan salah satu pelanggaran itu atau suatu kejahatan, atau menghukum anak yang bersalah itu.

c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

11

Ibid, hlm.41

12

Berlakunya UU No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Pengadilan Pidana Anak, pasal 45,46, dan 47 KUHP sudah tidak berlaku.


(21)

Undang-Undang ini tidak secara eksplisit mengatur tentang batas usia pengertian anak, namun dalam pasal 153 ayat (5) memberi wewenang kepada hakim untuk melarang anak yang belum mencapai usia 17 tahun untuk menghadiri sidang.

d. Peraturan Pemerintah No.2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Anak Bagi Anak yang Mempunyai Masalah

Menurut ketentuan ini, anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.13

Kenakalan anak berasal dari suatu istilah asing, yaitu Juvenile Delinquency. Juvenile artinya young, anak-anak anak muda, ciri karakteristik pada masa muda sifat-sifat khas pada periode remaja, sedangkan Deliquency artinya

doing wrong, terabaikan/mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, a-sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat rebut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi durjana, dursila dan lain-lain.14

Macam defenisi yang dikemukakan oleh para ilmuwan tentang juvenile delinquency ini yaitu sebagai berikut:15 Paul Moedikno memberikan perumusan, mengenai pengertian juvenile delinquency, yaitu sebagai berikut:

a. Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu kejahatan, bagi anak-anak merupakan delinquency. Jadi semua tindakan yang dilarang oleh hukum pidana, seperti mencuri, menganiaya, membunuh, dan sebagainya.

b. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang menimbulkan keonaran dalam masyarakat, misalnya memakai celana jangki tidak sopan, mode you can see dan sebagainya.

c. Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial, termasuk gelandangan, pengemis dan lain-lain

13

Nashriana, op.cit, hlm.3

14

Wagiati Soetodjo, op.cit. Hlm.8

15


(22)

Menurut Kartini Kartono, yang dikatakan Juvenile Deliquency adalah Perilaku jahat/dursila, atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang. Menurut Fuad Hassan yang dikatakan Juvenile Deliquency adalah perbuatan anti sosial yang dilakukan oleh remaja, yang apabila dilakukan oleh orang dewasa maka dikualifikasikan sebagai kejahatan. R. Kusumanto Setyonegoro dalam hal ini mengemukakan pendapatnya tentang pengertian Juvenile Deliquency yaitu tingkah laku individu yang bertentangan dengan syarat-syarat dan pendapat umum yang dianggap sebagai akseptabel dan baik, oleh suatu lingkungan masyarakat atau hukum yang berlaku di suatu masyarakat yang berkebudayaan tertentu. Individu itu masih anak-anak, maka sering tingkah laku serupa itu disebut dengan istilah tingkah laku yang sukar atau nakal. Jika ia berusaha adolescent atau preadolescent, maka tingkah laku itu sering disebut delikuen; dan jika ia dewasa maka tingkah laku ia sering disebut psikopatik dan jika terang-terangan melawan hukum disebut kriminal. Menurut pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak bahwa yang dimaksud dengan Anak Nakal adalah:

a. Anak yang melakukan tindak pidana, atau

b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Pada Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan pidana Anak yaitu pada pasal 1 ayat (2) dijelaskan mengenai pengertian Anak


(23)

yang Berhadapan dengan Hukum, yaitu anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Tim proyek Juvenile delinquency Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Desember 1967, memberikan perumusan mengenai Juvenile Delinquency sebagai suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak yang dianggap bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara dan yang oleh masyarakat itu sendiri dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan yang tercela.

3. Pengertian Sistem Pemidanaan

Sistem pemidanaan (the sentencing system) merupakan aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan. Sistem pemidanaan dimaksud dapat dilihat dari sudut fungsional dan dari sudut norma substansial. Sudut fungsional diartikan sebagai keseluruhan sistem yang mengatur bagaimana hukum pidana ditegakkan secara konkrit sehingga seseorang dijatuhi sanksi pidana. Sistem pemidanaan demikian identik dengan sistem penegakan hukum pidana yang terdiri dari substansi hukum pidana materiil, substansi hukum pidana formal, dan substansi hukum pelaksanaan pidana. Sistem pemidanaan fungsional diartikan pula sebagai sistem pemidanaan dalam arti luas.16

Dilihat dari sudut norma substantif, sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai keseluruhan sistem norma hukum pidana materiil untuk penjatuhan dan pelaksanaan pidana. Sistem pemidanan dalam arti substantif diartikan pula

16

Nandang Sambas, Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak Di Indonesia,


(24)

sebagai sistem pemidanaan dalam arti sempit, yaitu menyangkut masalah aturan/ketentuan tentang penjatuhan pidana.

Andi Hamzah memberikan arti sistem pidana dan pemidanaan sebagai susunan (pidana) dan cara pemidanaan. M.Sholehuddin menyatakan, bahwa masalah sanksi merupakan hal yang sentral dalam hukum pidana, karena seringkali menggambarkan nilai-nilai sosial dan budaya suatu bangsa. Pidana mengandung tata nilai (value) dalam suatu masyarakat mengenai apa yang baik dan yang tidak baik, apa yang bermoral dan apa yang amoral serta apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang.17

Sistem merupakan jalinan dari beberapa unsur yang menjadi satu fungsi. Sistem pemidanaan memegang posisi strategis di dalam upaya menanggulangi tindak pidana yang terjadi. Pengertian sistem pemidanaan apabila diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkrit sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum) pidana. Semua aturan perundang-undangan mengenai hukum substantif, hukum pidana formal, dan hukum pelaksanaan pidana, dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan.

17

Eka Putra, Mohammad dan Abul Khair, Sistem Pidana Di Dalam KUHP dan Pengaturannya Menurut Konsep KUHP Baru, Medan, USU Press.,2010.,Hlm.13


(25)

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian hukum terdiri atas penelitian hukum normatif atau doktriner dan empiris, yaitu:18

a. Penelitian hukum normatif yang mencakup: 1) Penelitian terhadap asas-asas hukum, 2) Penelitian terhadap sistematika hukum, 3) Penelitian terhadap tahap sinkronisasi hukum, 4) Penelitian sejarah hukum, dan

5) Penelitian perbandingan hukum. b. Penelitian hukum empiris yang mencakup:

1) Penelitian terhadap identifikasi hukum (hukum tidak tertulis), dan

2) Penelitian terhadap efektivitas hukum.

Jenis penelitian pada skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif (yuridis normatif), yakni penelitian yang membahas doktrin-doktrin atau asas-asas dalam ilmu hukum. Penelitian hukum normatif ini juga sering disebut sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen. Penelitian yuridis normatif mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.19 Penelitian hukum yang dilakukan di dalam penulisan skripsi ini adalah mencoba mengkaji mengenai pengaturan Diversi berdasarkan hukum

18

H. Jainuddin Ali,Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2010., hlm. 22

19


(26)

positif yang berupa peraturan perundang-undangan dan buku-buku hukum yang berkaitan dengan Diversi.

2. Sumber Data

Adapun bahan hukum yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah: a. Bahan Hukum Primer

Terdiri dari peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak berwenang.20 UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, PERMA No.4 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Di Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait.

b. Bahan Hukum Sekunder

Terdiri dari dokumen seperti informasi, atau kajian yang berkaitan dengan Diversi, seperti: seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, Koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas.

c. Bahan Hukum Tersier

Terdiri dari dokumen-dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensiklopedia, dan lain-lain.

Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Data sekunder

20

Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum ( suatu Pengantar ),Yogyakarta, Liberty, 1988.,hlm.19


(27)

yang digunakan dalam penulisan skirpsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan.

Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut:21

a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek penelitian

b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui artikel-artikel media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan perundang-undangan.

c. Mengelompokkan data-data yang relevan dengan permasalahan.

d. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.

Data primer dan sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode induktif dilakukan dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik dengan skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.

21

Ronitijo Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,Jakarta,Ghalia Indonesia,1990.,hlm.63


(28)

G. Sistematika penulisan

BAB I: Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II: Pada bab ini akan dibahas mengenai Pengaturan Diversi sebagai suatu kewajiban di dalam penyelesaian perkara pidana anak, yaitu yang termasuk di dalamnya, pengertian Diversi, konsep Diversi dan

restorative justice di dalam sistem pemidanaan anak, Diversi sebagai suatu kewajiban ditinjau dari UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dan pelaksanaan Diversi ditinjau dari PERMA No. 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.

BAB III: Pada bab ini akan dibahas mengenai sanksi kepada penegak hukum apabila tidak melaksanakan Diversi, yakni sanksi yang diatur menurut UU No. 11 Tahun 2012 dan pembatalan atas sanksi pidana atas Putusan MK No.110/PPU-X/2012

BAB IV: pada bab ini akan dibahas mengenai hambatan di dalam melaksanakan Diversi yaitu hambatan yang berasal dari korban, hambatan yang berasal dari penegak hukum dan hambatan yang berasal dari masyarakat.


(29)

BAB II

DIVERSI SEBAGAI SUATU KEWAJIBAN DI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA ANAK

A. Konsep Diversi dan Restorative Justice Pada Sistem Pengadilan Anak

Menurut sejarah perkembangan hukum pidana kata “diversion” pertama kali dikemukakan sebagai kosa kata pada pelaporan pelaksanaan peradilan anak yang disampaikan Presiden Komisi Pidana (President’s Crime Comission) Australia di Amerika Serikat pada tahun 1960. Sebelum dikemukakannya istilah Diversi praktek pelaksanaan yang berbentuk seperti Diversi telah ada sebelum tahun 1960 ditandai dengan berdirinya peradilan anak (children’s courts) sebelum abad ke-19 yaitu Diversi dari sistem peradilan pidana formal dan formalisasi polisi untuk melakukan peringatan (police cautioning). Prakteknya telah berjalan di negara bagian Victoria Australia pada tahun 1959 diikuti dengan negara bagian Queensland pada tahun 1963.22

Menurut Jack E. Bynum dalam bukunya Juvenile Deliquency a Sociological Aprroach, yaitu:

Diversion ia “an attempt to divert, or channel out, youthful offenders from the juvenile justice system ( diversi adalah sebuah tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar dari sistem peradilan pidana).23

Kenneth Polk mengemukakan yang dimaksud dengan diversi, yaitu:

Diversion as program and practices which are employed for young people who have initial contact with police, but are diversted from the traditional juvenile

22

Marlina, Penerapan Konsep Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, Medan, Jurnal Equality, Vol.13 No.1 Februari 2008.,hlm.96-97

23


(30)

justice processes before children’s court adjudication (Diversi adalah suatu program dan latihan-latihan yang mana diajarkan bagi anak-anak yang mempunyai urusan dengan polisi, sebagai pengalihan dari proses peradilan anak seperti biasanya, sebelum diajukan ke pemeriksaan pengadilan).24

Marlina menerangkan lebih lanjut yang dimaksud dengan Diversi:

Diversi adalah tindakan aparat penegak hukum untuk mengalihkan proses formal ke informal dengan tujuan memberikan perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana dari implikasi-implikasi dan pengaruh negatif sistem peradilan pidana.

Konsep Diversi didasarkan pada kenyataan bahwa proses peradilan pidana terhadap anak pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana lebih banyak menimbulkan bahaya daripada kebaikan. Ide dasar Diversi atau pengalihan ini juga untuk menghindari efek negatif pemeriksaan konvensional peradilan pidana anak terhadap anak, seperti efek negatif proses peradilan itu sendiri, juga alasan dasarnya yaitu pengadilan akan memberikan stigmatisasi terhadap anak atas tindakan yang dilakukannya seperti anak dianggap jahat, sehingga lebih baik untuk menghindarkannya ke luar sistem peradilan pidana.25

Di Indonesia, istilah Diversi pernah dimunculkan dalam perumusan hasil Seminar Nasional Peradilan Anak yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung tanggal 5 Oktober 1996. Di dalam perumusan hasil seminar tersebut tentang hal-hal yang disepakati, antara lain ―Diversi‖, yaitu kemungkinan hakim menghentikan atau mengalihkan/tidak meneruskan pemeriksaan perkara dan pemeriksaan terhadap anak selama proses pemeriksaan di muka sidang.26 Ide Diversi sebagai bentuk pengalihan atau penyampingan penanganan kenakalan anak dari proses peradilan anak konvensional, ke arah

24

Kenneth Polk dalam Made Ayu Citra Maya Sari, Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia,Denpasar,Udayana,2012.,hlm.6

25

Marlina, Op.Cit.,hlm.97

26

Romli Atmasasmita, Peradilan Anak Di Indonesia, Bandung, Mandar Maju,2003.,hlm.201


(31)

penanganan anak yang lebih bersifat pelayanan kemasyarakatan, dan ide Diversi dilakukan untuk menghindarkan anak pelaku dari dampak negatif praktek penyelenggaraan peradilan anak. Pelaksanaan peradilan pidana anak diberi pedoman oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules), yang memuat prinsip-prinsip sebagai berikut:27

1. Kebijakan sosial memajukan kesejahteraan remaja secara maksimal untuk memperkecil intervensi sistem peradilan pidana.

2. Non diskriminasi terhadap anak pelaku tindak pidana dalam proses peradilan pidana.

3. Penentuan batas usia pertanggungjawaban kriminal terhadap anak. 4. Penjatuhan pidana penjara merupakan upaya terakhir.

5. Tindakan diversi dilakukan dengan persetujuan anak atau orang tua/wali.

6. Pemenuhan hak-hak anak dalam proses peradilan pidana anak. 7. Perlindungan privasi anak pelaku tindak pidana.

8. Peraturan peradilan pidana anak tidak boleh bertentangan dengan peraturan ini.

Prinsip utama pelaksanaan konsep Diversi yaitu tindakan persuasif atau pendekatan non penal dan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahan. Petugas melakukan upaya Diversi dengan cara pendekatan persuasif dan menghindari penangkapan yang menggunakan tindakan kekerasan dan pemaksaan.28 Tindakan kekerasan saat penangkapan membawa sifat keterpaksaan sebagai hasil dari penegakan hukum. Penghindaran penangkapan dengan kekerasan dan pemaksaan menjadi tujuan dari pelaksanaan Diversi. Tujuannya menegakkan hukum tanpa melakukan tindakan kekerasan dan menyakitkan dan memberi kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahannya tanpa melalui hukuman pidana oleh negara yang mempunyai

27

The Beijing Rules dalam Marlina, Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Medan, USU,2006.,hlm.49

28


(32)

otoritas penuh.29 Tujuan dari diversi lebih lanjut dikemukakan oleh Ridwan Mansyur, yaitu:30

a. Mencapai perdamaian korban dan anak;

b. Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan; c. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan; d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

Tujuan dari Diversi juga disebutkan dalam pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem peradilan Pidana Anak, yaitu:31

1. Mencapai perdamaian antara korban dan Anak; 2. Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan; 3. Menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan; 4. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan 5. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.

Pelaksanaan program Diversi bagi pelaku tindak pidana dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:32

1. Pelaksanaan kontrol secara sosial (social control orientation), yaitu aparat penegak hukum menyerahkan pelaku dalam tanggung jawab pengawasan atau pengamatan masyarakat, dengan ketaatan pada persetujuan atau peringatan yang diberikan. Pelaku menerima tanggung jawab atas perbuatannya dan tidak diharapkan adanya kesempatan kedua kali bagi pelaku oleh masyarakat.

2. Pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku (social service orientation), yaitu melaksanakan fungsi untuk mengawasi, mencampuri, memperbaiki dan menyediakan pelayanan pada pelaku

29

Ibid

30

http://www.mahkamahagung.go.id/rbnews.asp?bid=4085, Selasa, 16-Desember-2014, jam 11.47 WIB

31

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan pidana Anak

32


(33)

dan keluarganya. Masyarakat dapat mencampuri keluarga pelaku untuk memberikan perbaikan atau pelayanan.

3. Menuju proses restorative justice atau perundingan (balanced or restorative justice orientation), yaitu melindungi masyarakat, memberikan kesempatan pelaku bertanggung jawab langsung pada korban dan masyarakat. Pelaksanaannya semua pihak yang terkait dipertemukan untuk bersama-sama mencapai kesepakatan tindakan pada pelaku.

Program Diversi ini lebih lanjut dapat dijelaskan dengan memberikan beberapa contoh program Diversi sebagai berikut:33

a. Non-Intervensi.

Dalam banyak kasus, non intervensi merupakan upaya terbaik. Oleh karena itu Diversi tanpa melalui proses formal merupakan upaya yang optimal, terutama bagi tindak pidana yang tidak serius dimana keluarga, sekolah atau lembaga pengawasan sosial informal lainnya telah beraksi atau akan bereaksi dengan cara yang layak dan membangun.

b. Peringatan Informal

Melibatkan polisi untuk mengatakan kepada si anak bahwa apa yang diperbuatnya adalah salah dan memperingatkannya untuk tidak melakukannya lagi. Tidak ada berita acara untuk ini.

c. Peringatan Formal

33

Apong Herlina, Restorative Justice, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol.3 No.III September 2004;19-28.,hlm.27-28


(34)

Polisi harus mengantar si anak pulang dan memberinya peringatan dihadapan orang tua/walinya. Polisi dapat mencatat peringatan ini dalam catatan Diversi yang disimpan di kantor polisi.

d. Permohonan maaf

Pelaku harus meminta maaf kepada korban. Hal ini dapat dilakukan melalui banyak cara. Contohnya, si anak menulis surat permohonan maaf atau diminta untuk datang ke korban dan meminta maaf.

e. Mengganti kesalahan dengan kebenaran atau restitusi

Anak diminta mengganti kesalahannya dengan kebaikan. Contohnya apabila seorang anak menendang keranjang sampah, si anak diminta untuk mengembalikan sampah pada tempatnya. Contoh lain, si anak diminta untuk membayar kembali kerugian yang diderita oleh korban dengan memperhitungkan kemampuan si anak untuk membayar kembali.

f. Pelayanan masyarakat

Anak dapat diminta melakukan pelayanan masyarakat atau memenuhi tugas selama beberapa jam. Pelayanan masyarakat yang berjalan dengan baik dan dikaitkan dengan tindak pidana mempunyai fungsi pengembangan dan pendidikan. Contohnya, seorang anak yang mengotori tembok atau tempat umum, kemudian diminta membersihkan apa yang telah diperbuatnya atau mengecet tembok kembali. Anak dapat pula diminta untuk membuat untuk membuat poster tentang lingkungan yang bersih dan menempelkannya di tempat-tempat umum.


(35)

g. Pelibatan dalam program keterampilan hidup

Program Diversi yang lain adalah melibatkan anak pada program keterampilan hidup yang dijalankan oleh oleh pelayanan sosial atau LSM. Program keterampilan hidup dapat dilakukan bagi anak yang melakukan tindak pidana atau untuk seluruh anak di masyarakat secara umum.

h. Rencana individual antara Polisi, Anak, dan keluarga

Hal ini melibatkan Anak, keluarga dan Polisi untuk bersama-sama membahas hal-hal yang harus dilakukan. Mengganti kesalahan dengan kebenaran bagi Korban; mengganti kesalahan dengan kebenaran bagi masyarakat; memperkuat hubungan keluarga dan sistem bantuan di sekeliling Anak dan keluarga; mencegah terjadinya tindak pidana lagi. i. Rencana yang diputuskan oleh pertemuan tradisional

Kasus-kasus Anak dapat juga dilimpahkan ke pertemuan masyarakat tradisional.

j. Rencana yang didasarkan pada hasil pertemuan kelompok keluarga. Pertemuan kelompok keluarga adalah pertemuan semua pihak yang dirugikan oleh tindak pidana untuk bersama-sama memutuskan hal-hal yang harus dilakukan untuk memperbaiki kesalahan dan mencegah terjadinya lagi.

Pelaksanaan Diversi melibatkan semua aparat penegak hukum dari lini manapun. Diversi dilaksanakan pada semua tingkat proses peradilan pidana. Prosesnya dimulai dari permohonan suatu instansi atau lembaga pertama yang melaporkan tindak pidana atau korban sendiri yang memberikan pertimbangan


(36)

untuk dilakukannya Diversi. Adanya perbedaan pandangan dalam setiap permasalahan yang ditangani tergantung dari sudut pandang petugas dalam menentukan keputusan, akan tetapi inti dari konsep Diversi yaitu mengalihkan anak dari proses formal ke informal.34

Dalam sejarahnya, restorative justice merupakan suatu reaksi terhadap praktek penyelenggaraan peradilan yang tidak memperhatikan justice kepada si korban. Pada prakteknya, keadilan lebih ―memihak‖ kepada pelaku tindak pidana, hal ini dapat dilihat dari hak-haknya sejak awal proses penyidikan di tingkat kepolisian hingga putusan pengadilan. Praktek tersebut dipandang sebagai suatu yang tidak adil bagi korban tindak pidana. Meskipun pelaku tindak pidana itu dihukum seberat-beratnya, hukuman itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan factual empiric terhadap penderitaan bagi korban ataupun keluarganya. Penderitaan seseorang tidak serta digantikan begitu saja dengan dihukumnya pelaku kejahatan.35 Praktek penyelesaian perkara pidana tersebut tidak melibatkan pihak-pihak yang berkonflik, melainkan hanya antara negara dengan pelaku. Korban dan masyarakat tidak dilibatkan dalam penyelesaian konflik, berbeda dengan restorative justice dimana korban dan masyarakat dilibatkan sebagai pihak untuk menyelesaikan konflik.36

Restorative Justice sendiri dimaknai berbagai macam pengertian, antara lain seperti berikut:

34

Marlina, Op.Cit.,hlm.159

35

www.pkbh.uii.ac.id/news/latest/analisis-restorative-justice--sejarah-ruang-lingkup-dan-penerapannya-oleh-dr.mudzakirsh.-mh.html, Senin, 16-Desember-2014 jam 14.03 WIB

36

Nofita Dwi Wahyuni, Penerapan Restorative Justice Dalam Putusan Pengadilan Sebagai Tujuan Pemidanaan, Jakarta, UI, 2013.,hlm.18


(37)

a. Menurut Eva Achjani Zulfa:

―keadilan restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini.‖37

b. Menurut Marlina:

―Konsep Restorative Justice, proses penyelesaian tindakan pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa Korban dan Pelaku (tersangka) sama duduk dalam satu pertemuan untuk bersama-sama berbicara.‖38

Konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. Mekanisme tata cara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi menciptakan kesepakatan antara penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku.39

Mekanisme peradilan konvensional mengenal adanya restitusi atau ganti rugi kepada korban, sedangkan Restorasi memiliki makna yang lebih luas. Restorasi meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku. Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya.40 Konsep restorative justice ini menjadi penting apabila dibandingkan

37

Eva Achjani Zulfa, keadilan Restoratif, Jakarta, UI,2009.,hlm.3

38

Marlina, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Bandung,Refika Aditama,2009.,hlm.180

39

Hukumonline.com/berita/baca/it4e25360a422c2/pendekatan-irestorative-kan justice-i- dalam-sistem-pidana-indonesia—broleh—jecky-tengens—sh-, Kamis, 11-Desember-2014, jam 13.22 WIB

40


(38)

dengan sistem pemidanaan konvensional, dikarenakan adanya perbedaan yang jelas diantara keduanya. Konsep pemidanaan konvensional memberikan batasan atau ruang yang sedikit bagi pihak Korban dan Pelaku untuk berperan aktif di dalam menyelesaikan perkara pidana mereka sendiri, sedangkan pada konsep

restorative justice sendiri, peran aktif dari pelaku dan korban menjadi dasar di dalam menyelesaikan perkara pidana itu sendiri.

Bagir Manan menguraikan tentang substansi “restorative justice” yang berisi prinsip-prinsip, antara lain:

―membangun partisipasi bersama antara Pelaku, Korban, dan kelompok masyarakat menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana. Menempatkan Pelaku, Korban, dan masyarakat sebagai “stake holders” yang bekerja sama dan langsung berusaha menemukan penyelesaian yang dipandang adil bagi bagi semua pihak (win-win solutions).41

Terhadap kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak, maka restorative justice system setidak-tidaknya bertujuan untuk memperbaiki/memulihkan (to restore)

perbuatan kriminal yang dilakukan anak dengan tindakan yang bermanfaat bagi anak, korban dan lingkungannya yang melibatkan mereka secara langsung (reintegrasi dan rehabilitasi) dalam penyelesaian masalah, dan berbeda dengan cara penanganan orang dewasa, yang kemudian akan bermuara pada tujuan dari pidana itu sendiri yang menurut Barda Nawawi Arief tujuan pemidanaan bertitik tolak kepada ―perlindungan masyarakat‖ dan ―perlindungan/pembinaan individu pelaku tindak pidana‖. 42

41

M.Taufik Makarao dan Tim Pengkajian Hukum, Pengkajian Hukum Tentang Penerapan restorative Justice Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak-Anak,Jakarta, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan HAM RI,2013.,hlm.viii

42

Ibid


(39)

Susan Sharpe seorang ahli berkebangsaan Canada mengusulkan ada 5 prinsip kunci dari restorative justice yaitu:43

1. Restorative justice invites full participation and consensus (restorative justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus), artinya korban dan pelaku dilibatkan dalam perjalanan proses secara aktif, selain itu juga membuka ruang dan kesempatan bagi orang lain yang merasa kepentingan mereka telah terganggu atau terkena imbas (contoh tetangga yang secara tidak langsung merasa tidak aman atas kejahatan tersebut). Undangan untuk ikut serta pada dasarnya tidak mengikat /wajib hanya sebatas sukarela, walaupun demikian tentunya pelaku harus diikutkan. Kalau tidak maka akan berjalanlah proses peradilan tradisional.

2. Restorative justice seeks to heat what is broken (restorative justice

berusaha menyembuhkan kerusakan/kerugian yang ada akibat terjadinya tindakan kejahatan). sebuah pertanyaan penting tentang

restorative justice adalah apakah korban butuh untuk disembuhkan, untuk menutupi dan menguatkan kembali perasaan nyamannya? Korban harus diberikan informasi yang sejelas-jelasnya mengenai proses yang akan dijalaninya, mereka perlu mengutarakan dan mengungkapkan perasaan yang dirasakannya kepada orang yang telah merugikannya atau pelaku kriminal dan mereka mengungkapkan hal itu untuk menunjukkan bahwa mereka butuh perbaikan. Pelaku juga butuh penyembuhan, mereka butuh untuk dibebaskan dari kebersalahan dan ketakutan, mereka butuh pemecahan masalah mengenai konflik apakah yang sebenarnya dialami atau terjadi padanya yang menjadi permulaan sehingga dia terlibat atau bahkan melakukan kejahatan, dan mereka butuh kesempatan untuk memperbaiki semuanya.

3. Restorative justice seeks full and direct accountability (restorative justice memberikan pertanggungjawaban langsung dari pelaku secara utuh). Pertanggungjawaban bukan hal yang mudah untuk dilakukan, karena pelaku harus mau menunjukkan fakta pengakuannya bahwa dia atau mereka melanggar hukum, dia juga harus menunjukkan kepada orang-orang yang telah dirugikannya atau melihat bagaimana perbuatannya itu merugikan orang banyak. Dia harus atau diharapkan menjelaskan perilakunya sehingga korban dan masyarakat dapat menanggapinya. Dia juga diharapkan untuk mengambil langkah nyata untuk memperbaiki kerusakan dan kerugian tadi.

4. Restorative justice seeks to recinite what has been devided (restorative justice mencarikan penyatuan kembali kepada warga masyarakat yang telah terpisah atau terpecah belah karena tindakan kriminal). Tindakan kriminal telah memisahkan atau memecah orang dengan masyarakatnya, hal ini merupakan salah satu bahaya yang disebabkannya. Proses restorative justice berusaha menyatukan

43


(40)

kembali seseorang atau beberapa orang yang telah terpecah dengan masyarakat ataupun orang yang telah mendapatkan penyisihan atau stigmatisasi, dengan melakukan rekonsiliasi antara korban dengan pelaku dan mengintegrasikan keduanya kembali ke dalam masyarakat. Perspektif restorative justice adalah julukan ―korban‖ dan ―pelaku‖

tidak melekat selamanya. Masing-masing harus punya masa depan dan dibebaskan dari masa lalunya. Mereka tidak dideklarasikan sebagai peran utama dalam kerusakan, tetapi mereka juga disebabkan atau akibat yang menjadi objek penderita.

5. Restorative justice seeks to strengthen the community in order to prevent further harms (restorative justice memberikan ketahanan kepada masyarakat agar dapat mencegah terjadinya tindakan kriminal berikutnya). Kejahatan memang menimbulkan kerusakan dalam masyarakat, tetapi selain daripada itu kejahatan juga membuka tabir keadilan pada norma yang sudah ada untuk menjadi jalan awal memulai keadilan yang sebenarnya bagi semua masyarakat. Karena pada dasarnya semua peristiwa kejahatan dapat disebabkan oleh pengaruh keadaan di luar kehendak diri seseorang, sehingga terciptalah ―korban‖, ―pelaku‖ dan perilaku kriminal. Hal tersebut bisa juga disebabkan karena sistem yang ada dalam masyarakat yang mendukung terjadinya kriminal seperti rasial, keadilan ekonomi, yang bahkan di luar perilaku seseorang pada dasarnya sama sekali. Oleh sebab itu korban dan pelaku harus kembali ditempatkan untuk menjaga keutuhan masyarakat dan membuat tempat yang adil dan aman untuk hidup.

Konsep restorative justice bisa dijadikan masukan dalam rangka memberikan perlindungan kepada anak yang berkonflik dengan hukum. Tujuan utama dari restorative justice adalah perbaikan atau pergantian kerugian yang diderita oleh korban, pengakuan pelaku terhadap luka yang diderita oleh korban atau masyarakat akibat tindakannya, konsiliasi dan rekonsiliasi pelaku, Korban dan masyarakat.44 Restorative justice juga bertujuan merestorasi kesejahteraan masyarakat, memperbaiki diri dengan cara menghadapkan anak sebagai pelaku berupa pertanggungjawaban kepada korban atas tindakannya.45

44

Marlina dalam Reyner Timothy Danielt, Penerapan Restorative Justice Terhadap Tindak Pidana Anak Pencurian Oleh Anak DI Bawah Umur, Artikel Skripsi Lex et Societas,Vol.II/No.6/Juli/2014,Manado,Universitas Sam Ratulangi,2014.,hlm.18

45


(41)

Nasir Djamil di dalam bukunya ―Anak Bukan Untuk Di Hukum‖ juga menjelaskan tujuan dari konsep restorative justice yaitu:46

1. Mengupayakan perdamaian antara korban dan anak; 2. Mengutamakan penyelesaian di luar proses peradilan; 3. Menjauhkan anak dari pengaruh negatif proses peradilan; 4. Menanamkan rasa tanggung jawab anak;

5. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan; 6. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi;

7. Meningkatkan keterampilan hidup anak.

B. Kewajiban Pelaksanaan Diversi

1. Menurut UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak

Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Anak memiliki peran strategis yang secara tegas dinyatakan di dalam konstitusi Indonesia, bahwa negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Oleh karena itu, kepentingan terbaik bagi Anak patut dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia. Konsekuensi dari ketentuan Pasal 28B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu ditindak lanjuti dengan membuat kebijakan pemerintah yang bertujuan melindungi anak. Prinsip perlindungan hukum terhadap anak harus sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) sebagaimana telah diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun

1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of The Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak).47

46


(42)

Salah satu bentuk perlindungan anak oleh negara diwujudkan melalui sistem peradilan pidana khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Sistem ini dibangun di atas landasan peraturan perundang-undangan Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak serta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sistem Peradilan Pidana Anak ditujukan untuk kesejahteraan Anak. Hal ini ditegaskan dalam United Nations Standard Minimum Rules For the Administration of Juvenile Justice, bahwa tujuan peradilan anak adalah:

―Sistem peradilan pidana bagi anak/remaja akan mengutamakan kesejahteraan remaja dan akan memastikan bahwa reaksi apapun terhadap pelanggar-pelanggar hukum berusia remaja akan selalu sepadan dengan keadaan-keadaan baik pada pelanggar-pelanggar hukumnya maupun pelanggaran hukumnya‖48

Sistem Peradilan Pidana Anak yang dilandasi Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak belum memberikan perlindungan optimal bagi Anak.49 Perlindungan optimal yang dimaksud melihat bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 menggunakan pendekatan yuridis formal dengan menonjolkan penghukuman (retributif). Paradigma penangkapan, penahanan, dan peghukuman penjara terhadap Anak tersebut berpotensi membatasi kebebasan dan merampas kemerdekaan Anak. Sebagai upaya mengatasi kelemahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tersebut, diberlakukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

47

Sylvester koloay, Kewajiban Melaksanakan Pendekatan Keadilan Restoratif Terhadap Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia Ditinjau Dari Aspek Hak Asasi Manusia, Jurnal Vol.II/No.1/Januari-Maret/2014, Manado.,Hlm.77

48

United Nations dalam Yutirsa Yunus, Analisis Konsep Restorative Justice Melalui Sistem Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Jurnal Rechts Vinding, Vol.2 Nomor 2, Agustus 2013, Jakarta.,hlm.232

49


(43)

Perubahan fundamental dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah digunakannya pendekatan

restorative justice melalui sistem Diversi. Peraturan ini mengatur kewajiban para penegak hukum dalam mengupayakan Diversi (penyelesaian melalui jalur non formal) pada seluruh tahapan proses hukum. Bagian yang membedakan antara ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah, pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 hanya memungkinkan Diversi dilakukan oleh penyidik berdasarkan kewenangan diskresioner yang dimilikinya dengan cara menyerahkan kembali anak tersebut kepada orangtua, wali, atau orangtua asuhnya.50 Perubahan signifikan lainnya yang dapat dilihat di dalam undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yaitu adanya pengaturan secara tegas mengenai Diversi yang ditujukan untuk menjauhkan dan menghindarkan anak dari proses peradilan sehingga mengupayakan tidak adanya stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan anak dapat kembali ke lingkungan sosialnya dengan normal.

Para pihak yang terlibat di dalam proses Diversi membedakannya dengan sistem peradilan pidana konvensional. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak melibatkan Pekerja Sosial Professional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial di dalam proses penyelesaian perkara pidana anak, dengan sistem Diversi. Adapun tugas Pekerja Sosial Professional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial tersebut, sebagai berikut:51

50

Ibid, hlm.233

51


(44)

a. Membimbing, membantu, melindungi, dan mendampingi Anak dengan melakukan konsultasi sosial dan mengembalikan kepercayaan diri Anak; b. Memberikan pendampingan dan advokasi sosial;

c. Menjadi sahabat Anak dengan mendengarkan pendapat Anak dan menciptakan suasana kondusif;

d. Membantu proses pemulihan dan perubahan perilaku Anak;

e. Membuat dan menyampaikan laporan kepada Pembimbing Kemasyarakatan mengenai hasil bimbingan, bantuan, dan pembinaan terhadap Anak yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana atau tindakan;

f. Memberikan pertimbangan kepada aparat penegak hukum untuk penanganan rehabilitasi sosial Anak;

g. Mendampingi penyerahan Anak kepada orangtua, lembaga pemerintah, atau lembaga masyarakat, dan

h. Melakukan pendekatan kepada masyarakat agar bersedia menerima kembali anak di lingkungan sosialnya.

Sistem Diversi yang merupakan salah satu pendekatan dari restorative justice ditegaskan mengenai pelaksanaannya di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu pada Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak, yaitu pada Pasal 5 yang berbunyi sebagai berikut:52

(1) Sistem peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan restoratif.

(2) Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

52


(45)

a. Penyidikan dan penuntutan pidana Anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini;

b. Persidangan Anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum; dan

c. Pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan.

(3) Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b wajib diupayakan Diversi.

Ketentuan pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur bahwa upaya Diversi wajib dilaksanakan baik dari tahap penyidikan, penuntutan, dan juga masa persidangan. Kewajiban tersebut dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:53

Ketentuan UU No.11/2012

Perihal Kewajiban Pengupayaan Diversi

Pasal 7 Pada semua tingkatan pemeriksaan mulai dari penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan wajib mengupayakan Diversi

Pasal 28 Penyidik wajib mengupayakan diversi dalam waktu 7 hari setelah ditemukan anak

Pasal 37 Penuntut umum wajib mengupayakan Diversi Pasal 49 Hakim wajib mengupayakan Diversi

Sumber: Diolah berdasarkan undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem peradilan Pidana Anak.

Pasal-pasal tersebut diatas menyimpulkan bahwa para penegak hukum, baik dari penyidik, penuntut umum, dan hakim wajib untuk mendahulukan dan mengupayakan jalur hukum non-formal yaitu proses Diversi di dalam penyelesaian perkara pidana anak, yang dilaksanakan secara musyawarah dengan melibatkan berbagai pihak. Keberlakuan

53


(46)

sistem Diversi ini diharapkan dapat memberikan perlindungan dan keadilan yang utuh bagi anak dari sistem hukum pidana konvensional.

2. Menurut PERMA No.4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan

Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

Pasal 6 ayat (1) Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan politik 1966 (International Covenant on and Political Rights, ICCPR) menyatakan bahwa ―Pada setiap insan manusia melekat hak untuk hidup. Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun insan manusia yang secara gegabah boleh dirampas kehidupannya‖. Pernyataan ini berarti bahwa hak asasi manusia harus selalu menjadi titik tolak dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.54

Upaya merealisasikan prinsip-prinsip perlindungan anak seperti mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak dan hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan anak dan prinsip non diskriminasi dapat ditemukan dengan diaturnya secara tegas tentang keadilan restoratif dan Diversi di dalam UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Upaya diversi tersebut dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigma terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum dan pada akhirnya anak tersebut dapat kembali ke lingkungan sosialnya secara wajar.

54


(47)

Apabila melihat Pasal 107 UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa peraturan pelaksanaan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang salah satunya berisi ketentuan tentang Diversi harus ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak diberlakukan. Peraturan pelaksanaan yang dimaksud apabila melihat Pasal 15 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut, ― Ketentuan mengenai pedoman pelaksanaan proses Diversi, tata cara, dan koordinasi pelaksanaan Diversi diatur dengan Peraturan Pemerintah.‖

Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan yang dimaksud hingga saat ini belum dikeluarkan. Apabila melihat berlakunya UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yaitu berlaku sejak tanggal 31 Juli 2014, maka demi keefektifan pelaksanaan upaya Diversi tersebut, perlu ditetapkan suatu peraturan pelaksaan sebagai pedoman di dalam melaksanakan Diversi. Kondisi kekosongan peraturan pelaksanaan Diversi tersebut mengakibatkan Mahkamah Agung mengambil kebijakan untuk mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak tepatnya pada tanggal 24 Juli 2014 dengan ditandatangani oleh ketua Mahkamah Agung, Muhammad Hatta Ali.

Sama halnya dengan UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, PERMA No. 04 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, peraturan ini juga menyatakan dan mengatru kewajiban pelaksanaan Diversi bagi Anak yang Berkonflik dengan


(48)

Hukum. PERMA No. 04 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan Diversi diberlakukan terhadap anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah berumur 12 (dua belas) tahun meskipun pernah kawin tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun, yang diduga melakukan tindak pidana.55 Hakim anak berkewajiban untuk mengupayakan Diversi bagi anak yang di dakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan di dakwa pula dengan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih dalam bentuk surat dakwaan subsidiaritas, alternatif, kumulatif maupun kombinasi (gabungan), sebagaimana dicantumkan di dalam pasal 3 PERMA No.4 tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Pembeda di antara UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dengan PERMA No.04 tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak adalah bahwa Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan secara tegas kewajiban pelaksanaan Diversi oleh penegak hukum, baik dari penyidik, penuntut umum, dan juga hakim, sedangkan pada PERMA No.04 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak lebih menekankan kewajiban pelaksanaan Diversi oleh Hakim Anak di Pengadilan.

55

Pasal 2 PERMA No.4 Tahun 2014 tentang pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak


(1)

hambatan yang berasal dari masyarakat. Hambatan yang berasal dari Korban, yaitu sikap keluarga Korban yang kurang menerima pelaksanaan Diversi dan menganggap Diversi belum mewakili pertanggungjawaban bagi Anak yang melakukan tindak pidana dan kerugian yang kurang sepadan dengan keadaan yang ditimbulkan.

Hambatan yang kedua adalah berasal dari penegak hukum. Ada beberapa hambatan yang berasal dari penegak hukum seperti kurangnya pemahaman tentang Diversi, kurangnya sosialiasi yang dilakukan oleh penegak hukum tentang Diversi kepada masyarakat, kurangnya kesiapan dari pihak-pihak yang turut dalam pelaksanaan Diversi tersebut, kesiapan dalam pedoman pelaksanaan Diversi dalam bentuk Peraturan Pemerintah yang belum keluar, dan pihak-pihak yang terlibat dalam Diversi yang sangat kurang di dalam pelaksanaan Diversi itu sendiri, serta hambatan lainnya yaitu kurangnya koordinasi antar subsistem dalam peradilan pidana Anak, yaitu masing-masing sistem yang ingin menjatuhkan pidana terhadap Anak.

Hambatan yang ketiga berasal dari masyarakat. Hambatan tersebut berupa kepesimisan dan pandangan negatif masyarakat terhadap upaya Diversi.. Hambatan lainnya yang berasal dari masyarakat adalah faktor tradisi, sikap dan praktek tertentu yang menimbulkan dampak buruk terhadap anak-anak dan melanggar hak-hak mereka.


(2)

B. Saran

1. Peraturan Pemerintah tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi agar segera dikeluarkan dan diberlakukan agar penegak hukum dapat dengan efektif melaksanakan upaya Diversi bagi Anak yang Berkonflik dengan Hukum. 2. Pelatihan secara professional tentang Diversi kepada penegak hukum perlu

diberikan, agar penegak hukum (Penyidik, Penuntut Umum, Hakim) mengerti tentang Diversi, dan memiliki persepsi yang sama dan dapat menerapkan Diversi secara tepat kepada Anak yang Berkonflik dengan Hukum.

3. Kepada penegak hukum (Penyidik, Penuntut Umum, Hakim) di dalam melakukan upaya Diversi, agar menjelaskan tentang upaya Diversi tersebut dengan baik dan benar kepada korban/keluarga korban, di dalam musyawarah Diversi, agar tidak terjadi kesalahpahaman pada korban/keluarga korban atas upaya Diversi yang dilakukan dan sesegera mungkin dilakukan sosialisasi yang efektif kepada masyarakat tentang upaya Diversi, sehingga masyarakat dapat mengerti apa itu Diversi, dan dapat berperan aktif dalam upaya Diversi tersebut.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU :

Ali, H. Jainuddin , 2010, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Atmasasmita, Romli, 2003, Peradilan Anak Di Indonesia, Mandar Maju,

Bandung.

_________________, 1983, problem Kenakalan Anak-Anak Remaja, Armico, Bandung.

Djamil, Nasir, 2013, Anak Bukan Untuk Di Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Lamintang, P.A.F lamintang, 2011, Dasar-Dasar Hukum pidana Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Lamintang, P.A.F,1984, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung.

Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung. 2009.

Mertokusumo , Soedikno , 1988, Mengenal Hukum ( suatu Pengantar ), Liberty, Yogyakarta.

Soemitro , Ronitijo Hanitijo, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Nashriana,2011, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta.

Putra, Eka., Mohammad dan Abul Khair, 2010, Sistem Pidana Di Dalam KUHP dan Pengaturannya Menurut Konsep KUHP Baru, USU Press, Medan. Sambas, Nandang, 2010, Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak Di Indonesia,

Graha Ilmu, Bandung.

Soekanto, Soerjono, 2010, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Edisi I, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Supeno, Hadi, 2010, Kriminalisasi Anak, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Wahyono, Agung dan Siti Rahayu, 1993. Peradilan Anak Di Indonesia, Jakarta.


(4)

SKRIPSI/TESIS/DISERTASI/ARTIKEL/JURNAL ILMIAH/ MAKALAH : Adiguna, Imran., Aswanto, dan Wiwie Heryani, Penerapan Diversi terhadap

Anak yang Berhadapan Dengan Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana, Universitas Hasanuddin, Makassar.

Danielt, Reyner Timothy, 2014, Penerapan Restorative Justice Terhadap Tindak Pidana Anak Pencurian Oleh Anak DI Bawah Umur, Artikel Skripsi Lex et Societas,Vol.II/No.6/Juli/2014, Universitas Sam Ratulangi, Manado. Dewi, 2013, Proses Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia,

Seminar di Mercure Kuta-Bali.

Herlina, Apong, 2004, Restorative Justice, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol.3 No.III September 2004;19-28.

Hutabarat, Yudika D. Margaretha, 2011, Faktor Pendorong Kenakalan Remaja Geng Motor Di Kota Medan Dari Aspek Kriminologi, USU, Medan. Junus, Abdi Reza Fachlewi, 2012, Peran Jaksa Dalam Menerapkan Konsep

Diversi Terhadap Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum, UI, Jakarta. Koloay, Sylvester, 2014, Kewajiban Melaksanakan Pendekatan Keadilan

Restoratif Terhadap Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia Ditinjau Dari Aspek Hak Asasi Manusia, Jurnal Vol.II/No.1/Januari-Maret/2014, Manado.

Makarao, M.Taufik, dan Tim Pengkajian Hukum, 2013, Pengkajian Hukum Tentang Penerapan restorative Justice Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak-Anak, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan HAM RI, Jakarta.

Marlina, 2008, Penerapan Konsep Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, Jurnal Equality, Vol.13 No.1 Februari 2008, Medan.

______, 2006, Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, USU, Medan.

Putra, Dedek Pratama Prasetia, Implementasi Restorative Justice Terhadap Anak Yang berkonflik Dengan hukum Di Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya, Jurnal, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya.

Ransun, Wailan N.,2014, Sanksi Pidana Pelanggaran Kewajiban Oleh Aparatur Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Jurnal Lex et Societas,Vol.II/No.2/februari/2014.


(5)

Sari, Made Ayu Citra Maya, 2012, Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Udayana, Denpasar.

Simanjuntak, Juni S, 2012, Tinjauan Yuridis Perbandingan Perlindungan Hukum Terhadap Korban dan pelaku Kejahatan Didasarkan Atas Asas Equality Before The Law, USU, Medan.

Syafruddin, 2002, Peranan Korban Kejahatan (Victim) Dalam Terjadinya Suatu Tindak Pidana kejahatan Ditinjau Dari Segi Victimologi,USU, Medan. UNICEF Indonesia, Ringkasan Kejadian, Perlindungan Anak, Oktober 2012.,

hlm.4

Wahyuni, Nofita Dwi, 2013, Penerapan Restorative Justice Dalam Putusan Pengadilan Sebagai Tujuan Pemidanaan, UI, Jakarta.

Yunus, Yutirsa, 2013, Analisis Konsep Restorative Justice Melalui Sistem Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Jurnal Rechts Vinding, Vol.2 Nomor 2, Agustus 2013, Jakarta.

Zaimir, Muhammad Fahmi, 2014, Peran Penyidik Dalam Penerapan Diversi Terhadap Perkara Tindak Pidana Anak Di Wilayah Kota Makassar, Universitas Hasanuddin, Makassar.

Zulfa, Eva Achjani, 2009, keadilan Restoratif, UI, Jakarta.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :

PERMA No.4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

Putusan MK No.110/PPU-X/2012

UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

WEBSITE :

http://www.mahkamahagung.go.id/rbnews.asp?bid=4085,

www.pkbh.uii.ac.id/news/latest/analisis-restorative-justice--sejarah-ruang-lingkup-dan-penerapannya-oleh-dr.mudzakirsh.-mh.html,


(6)

Hukumonline.com/berita/baca/it4e25360a422c2/pendekatan-irestorative-kan justice-i- dalam-sistem-pidana-indonesia—broleh—jecky-tengens—sh-, Penerapan Diversi Dalam Persidangan Anak, pn-bangil.go.id/data/?p=207 Peran korban Dalam SPP, m.kompasiana.com/post/read/382771/2peran-korban-dalam-spp.html,

http://kotabalikpapan.net/2014/12/09/diversi-sangat-merugikan-pihak-korban/ http://icjr.or.id/icjr-rpp-uu-sppa-belum-terbit-pemerintah-lambat/,

http://icjr.or.id/45-hari-menuju-berlakunya-uu-sppa-diversi-dalam-uu-sppa-terancam-gagal/,


Dokumen yang terkait

SKRIPSI PENERAPAN DIVERSI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA PELANGGARAN LALU LINTAS YANG DILAKUKAN OLEH ANAK.

0 2 12

PENDAHULUAN PENERAPAN DIVERSI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA PELANGGARAN LALU LINTAS YANG DILAKUKAN OLEH ANAK.

0 4 16

PENUTUP PENERAPAN DIVERSI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA PELANGGARAN LALU LINTAS YANG DILAKUKAN OLEH ANAK.

0 2 5

PENERAPAN DIVERSI DALAM PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA LALU LINTAS YANG DILAKUKAN OLEH ANAK Penerapan Diversi Dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Lalu Lintas Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Kasus Pengadilan Negeri Boyolali).

0 3 16

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA TERHADAP ANAK MELALUI DIVERSI Penyelesaian Perkara Pidana Terhadap Anak Melalui Diversi(Studi Kasus Wilayah Hukum Sukoharjo).

0 2 19

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA TERHADAP ANAK MELALUI DIVERSI Penyelesaian Perkara Pidana Terhadap Anak Melalui Diversi(Studi Kasus Wilayah Hukum Sukoharjo).

0 2 15

PENERAPAN DIVERSI DALAM TINDAK PIDANA PENCABULAN DENGAN PELAKU ANAK Penerapan Diversi Dalam Tindak Pidana Pencabulan Dengan Pelaku Anak (Dalam Perkara Nomor: 02/Pen.Pid.Diversi/2014/PN.Skt).

0 6 17

BAB II DIVERSI SEBAGAI SUATU KEWAJIBAN DI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA ANAK A. Konsep Diversi dan Restorative Justice Pada Sistem Pengadilan Anak - Penerapan Diversi Di Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Anak

0 0 33

BAB I PENDAHULUAN - Penerapan Diversi Di Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Anak

0 0 20

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA ANAK MELALUI DIVERSI (KAJIAN TERHADAP PRAKTIK DIVERSI DI PENGADILAN NEGERI BANJARNEGARA)

0 0 13