Persaingan Usaha dan Perspektif Ekonomi Industri

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Persaingan Usaha dan Perspektif Ekonomi Industri

Dilihat dari sisi persaingan usaha antara perusahaan taksi konvensional dengan transportasi berbasis aplikasi terdapat bias di dalam mendefinisikan pasarnya. Taksi konvensional jelas berada di dalam ranah menyediakan layanan transportasi. Karena mereka mengikuti aturan pemerintah dimana sebuah perusahan transportasi harus mengikuti regulasi seperti izin mendirikan perusahaan transportasi, pembayaran pajak, uji KIR terhadap kendaraan, dll. Sementara transportasi berbasis aplikasi ini belum jelas berada di ranah menyediakan layanan transportasi atau hanya sebagai aplikasi penghubung. Dari sisi pemerintah, ada kegagapan UU dan peraturan menyangkut e-commerce dan transportasi berbasis aplikasi. Infrastruktur UU dan Peraturan untuk transportasi berbasis aplikasi transportasi belum ada sehingga payung hukumnya berpotensi dimanipulasi baik oleh pengusaha dan oleh pemerintah sendiri. Oleh pengusaha, Gojek menggunakan payung hukum perusahaan IT, sementara Uber menggunakan payung hukum koperasi–padahal pada praktiknya, keduanya tidak di ranah IT dan koperasi. Gojek memberi modal jaket, helm dan smartphone pada pengendaranya; Uber Indonesia punya sistem heirarki mirip taksi tapi bentuknya rental mobil. Kemunculan transportasi berbasis aplikasi dalam hal ini GrabCar dan UberTaxi selain karena mereka melihat peluang tentang kebutuhan transportasi yang dibutuhkan masyarakat, juga kehadiran mereka dikarenakan masalah yang lainnya yaitu adanya praktik kartel yang dilakukan oleh perusahaan taksi konvensional. Menurut KPPU sendiri, sejak bulan Juni 2008, di beberapa daerah termasuk Jakarta, terbit aturan mengenai tarif batas atas dan tarif batas bawah. Di Jakarta, melalui Surat Keputusan SK Gubernur DKI Jakarta No.512008 tentang penyesuaian tarif taksi yang berlaku per Juni 2008, Pemda DKI Jakarta mengatur bahwa tarif taksi dibatasi pada tarif batas atas. Sedangkan tarif batas bawah ditetapkan oleh Organisasi Angkutan Darat Organda selaku pelaku usaha dalam industri tersebut. Regulasi tarif angkutan darat nasional, mengatur bahwa tarif untuk angkutan ekonomi ditetapkan oleh Pemerintah, sedangkan tambahan layanan yang diberikan dalam kelas eksekutif tarifnya ditetapkan oleh pelaku usaha PP No. 41 Tahun 1993. Tarif angkutan penumpang tidak dalam trayek kecuali taksi ditetapkan oleh penyedia jasa angkutan. Untuk trayek taksi, tarif terdiri dari tarif awal, tarif dasar tarif jarak dan tarif waktu yang ditunjukkan dalam argometer. Tarif taksi ditetapkan oleh Menteri dalam PP No. 41 Tahun 1993 pasal 49. Tarif tersebut terdiri dari tarif awal, tarif dasar tarif jarak dan tarif waktu yang ditunjukkan dalam argometer. Penetapan tarif untuk taksi ditetapkan oleh Menteri. Pasal 48 dan Pasal 49. Regulasi tersebut tidak relevan dengan fakta di lapangan, dimana tarif taksi ditetapkan oleh Pemerintah Daerah setempat untuk batas atas dan Organda untuk batas bawahnya. Penerapan tarif batas atas oleh Pemerintah, selaras dengan prinsip persaingan usaha yang sehat. Kebijakan tersebut dapat menghindarkan konsumen dari eksploitasi yang mungkin dilakukan oleh produsen yang memiliki posisi dominan dalam bentuk harga yang terlalu tinggi. Meskipun prinsip persaingan usaha mentolerir adanya penerapan batas atas oleh Pemerintah, tidak demikian halnya dengan penerapan tarif batas bawah. Penerapan batas bawah akan melindungi operator yang tidak efisien untuk tetap dapat berada dalam industri tersebut. Penerapan batas bawah juga dapat merugikan konsumen karena konsumen terpaksa harus membayar harga minimal scebesar tarif batas bawah, meskipun mungkin layanan yang diberikan kurang dari itu. Selain itu penetapan tarif batas bawah akan menyebabkan pelaku usaha yang bisa beroperasi dengan efisien dan bisa melahirkan tarif yang besarannya berada di bawah tarif batas bawah, maka dia terhambat untuk mengimplementasikan keunggulan bersaingnya tersebut. Akibatnya masyarakat kehilangan pilihan tarif murah, secara jangka panjang hal ini akan menimbulkan inefisiensi yang sangat besar. Sementara itu, terkait dengan penetapan tarif yang dilakukan asosiasi pelaku usaha baik tarif batas atas maupun tarif batas bawah, maka hal tersebut merupakan bentuk nyata dari kartel yang dipastikan melanggar UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Penetapan tarif oleh pelaku usaha menghilangkan terjadinya persaingan harga diantara mereka sehingga tidak dapat diperoleh harga terbaik berdasarkan mekanisme pasar bagi konsumen. Dalam hal ini Organda telah melakukan praktik kartel, karena telah menetapkan tarif batas bawah untuk menyamakan tarif yang berlaku pada taksi konvensional untuk menghilangkan adanya persaingan dan juga menghilangkan harga yang terbaik bagi konsumennya berdasarkan mekanisme pasar. Sementara transportasi berbasis aplikasi ini bukan merupakan bagian dari kartel sehingga mereka tidak perlu mengikuti harga yang ditetapkan oleh kartel. Yang pada akhirnya, transportasi berbasis aplikasi ini dapat menetapkan tarif dibawah tarif batas bawah yang ditetapkan oleh Organda. Lalu ada indikasi bahwa transportasi berbasis aplikasi melakukan predatory pricing dalam melakukan kegiatan operasionalnya. Predatory Pricing secara sederhana didefinisikan sebagai tindakan dari sebuah perusahaan yang mengeluarkan pesaingnya dengan cara menetapkan harga di bawah biaya produksi. Namun dalam praktiknya juga digunakan untuk mencegah pesaing masuk ke pasar. Segera setelah berhasil membuat pelaku usaha pesaing keluar dari pasar dan menunda masuknya pelaku usaha pendatang baru, maka selanjutnya dia dapat menaikkan harga kembali dan memaksimalkan keuntungan yang mungkin didapatkan. Namun untuk dapat melakukan perbuatan tersebut, maka pelaku usaha tersebut haruslah mempunyai pangsa pasar yang besar dan keuntungan yang akan diperoleh dapat menutupi kerugian yang diderita selama masa predator. Dalam hal ini layanan transportasi berbasis aplikasi perlu dikaji terlebih dahulu apakah mereka memang melakukan praktik predatory pricing atau memang memiliki structure cost yang efisien sehingga mereka mampu untuk menetapkan tarif yang lebih murah dibandingkan layanan moda transportasi umum yang sudah ada. Di sisi lain masalah dari sudut pandang konsumen bukan cuma tarif, tapi juga akses dan customer service. Dalam kondisi krisis transportasi Jakarta, Taksi konvensional sebelum era Uber, punya posisi tawar yang tinggi apalagi jika dia memonopoli pasar industri taksi. Beberapa dari mereka bisa mempermainkan harga, kalaupun “profesional” seperti Blue Bird, tarifnya mahal. Belum lagi aksesnya seringkali sulit–dalam pemesanan jam sibuk, pelanggan akan mengantri dan besar kemungkinan tak dapat taksi, dan customer service yang tertinggal. Jasa ini mencakup perilaku pengemudi yang bisa menolak pelanggan atau mempermainkan harga ketika rumahnya jauh, hujan atau lewat jalan macet, sampai sistem pembatalan yang berat sebelah: jika pelanggan membatalkan pemesanan harus membayar beberapa persen kalau supirnya sudah sampai, namun ketika taksi yang membatalkan tidak ada ganti rugi apapun untuk pelanggan. Dalam kondisi seperti inilah sangat wajar kalau konsumen ingin yang lebih murah, terakses, dan pelayanannya baik. Lebih jauh lagi, inovasi yang ditawarkan oleh Uber dan GrabCar, seperti cara pembayaran yang aman lewat kartu kredit ataupun tunai, pengemudi yang melek teknologi menggunakan GPS alih-alih minta dipandu penumpang, serta aplikasi yang memungkinkan pengemudi dinilai oleh penumpang, juga memberi nilai tambah lebih yang tidak ditawarkan taksi berbasis aplikasi. Penumpang yang rasional secara ekonomi jelas akan lebih memilih Uber dan GrabCar terkecuali saat terjadi surge pricing.

3.2 Dinamika Industri Transportasi di Belahan Dunia