ekonomi industri

(1)

Studi Kasus Industri Transportasi di Indonesia

Analisis Kasus Kontroversi Transportasi Berbasis Aplikasi dan

Transportasi Konvensional

M. Ambiya Filardi (1406534645)

Assyifa Szami Ilman (1506730691)

H. Surya Darma Lubis (1406610856)

Lestary Jakara Barany (1406527463)

M. Faizal Rahmanto Moeis (1406545226)

Tugas

Paper


(2)

Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Indonesia

Depok

2016

Statement of Authorship

“Kami yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa tugas paper yang tercantum didalamnya pernyataan ini merupakan pekerjaan kami yang orisinil.Tidak ada pekerjaan dari sumber lain yang tidak kami cantumkan sumbernya.

Kecuali telah dicantumkan didalam tugas kami berupa referensi bacaan, tugas ini tidak mengandung materi yang telah dipresentasikan dimanapun atau diambil sebagian atau seluruhnya dari dokumen lain yang dibuat oleh kami untuk kualifikasi lomba atau tugas lain. Terakhir, kami memahami bahwa tugas yang kami kumpulkan nantinya dapat dirinjau kembali untuk mendeteksi plagiarisme..”

NAMA NPM TTD

M. Ambiya Filardi

1406534645

Assyifa Szami Ilman

1506730691

H. Surya Darma Lubis

1406610856

Lestary Jakara Barany

1406527463

M. Faizal Rahmanto Moeis

1406545226 Mata Kuliah : Ekonomi Industri

Judul :Studi Kasus Industri Transportasi di Indonesia: Analisis Kasus Kontroversi Transportasi berbasis Aplikasi dan Transportasi Konvensional


(3)

Tanggal : 30 Mei 2016

Dosen : Dr. Mustafa Edwin Nasution, S.E., M.Sc / Dhaniel Ilyas, S.E., M.Sc

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Pada bulan Juni 2014, Grab, perusahaan yang berasal dari Malaysia berdiri sejak tahun 2011 oleh Anthony Tan dan Tan Hooi Ling. Berawal dari teman Anthony Tan dari Malaysia yang bercerita bahwa sangat sulit untuk mendapatkan taksi di Malaysia, Anthony Tan mulai membuat business plan untuk mengatasi masalah tersebut. Pada awalnya Grab mengalami kesulitan dalam mencari investor. Tapi, Grab kini sudah bisa mendapatkan dana hingga US$700 juta. Perusahaan Grab ini berfokus pada pasar kendaraan taksi di Asia Tenggara dan sudah berada di enam negara.

Kedatangan Grab kemudian disusul oleh Uber dari Amerika Serikat pada akhir tahun 2014. Perusahaan Uber ini didirikan pada tahun 2009 oleh Garrett Camp dan Travis Kalanick. Pada awalnya, perusahaan ini hanya beroperasi di daerah San Fransisco, kemudian berkembang ke skala nasional Amerika Serikat dua tahun kemudian. Baru pada tahun 2012, Uber mulai berkembang ke luar negeri dimulai di Paris, Perancis. Pada Agustus 2013, Uber mulai membuka pasarnya di Asia yaitu di India. Hingga kini Uber sudah ada di 66 negara dan memiliki nilai US$62,5 Miliar per 2015 (berdasarkan Times).

Pada awalnya, di Indonesia, kedua perusahaan ini hanya berfokus dalam layanan transportasi roda empat tetapi setelah melihat keberhasilan dari Go-Jek (perusahaan transportasi ojek menggunakan media elektronik), Uber dan Grab mulai mengadakan layanan transportasi ojek dengan nama Uber Motor dan Grabbike untuk menambah pasar dari pelayanan kedua perusahaan ini. Grab juga memperluas pelayanan ke dalam bentuk layanan pemesanan makanan, pengiriman barang, dll. atau dengan nama lain, layanan logistik. Perluasan pelayanan ini dilakukan oleh para pelaku industri sebagai respon positif yang didapatkan mereka dari para konsumen. Respon positif ini dirasakan dalam bentuk penerimaan laba yang meningkat hingga banyaknya konsumen yang beralih dari transportasi konvensional menuju transportasi online.

Namun dibalik itu, perusahaan-perusahaan taksi konvensional merasa gusar dengan adanya perusahaan-perusahaan transportasi berbasis elektronik ini. Pelanggan


(4)

yang tadinya setia menggunakan taksi konvensional akan beralih ke Grab, Uber, atau Go-Jek dan pada akhirnya laba dari perusahaan taksi konvensional mulai menurun. Kemudian, muncul beberapa kasus kekerasan yang terjadi antara taksi konvensional dengan ojek berbasis media elektronik atau ojek konvensional dengan ojek berbasis media elektronik. Dari situ, mulai terjadi ketegangan antara transportasi konvensional (taksi dan ojek) dengan trasnportasi berbasis media elektronik.

Puncaknya terjadi pada tanggal 22 Maret 2016, supir-supir taksi, supir bajaj, dan supir angkot demo besar-besaran di tengah kota Jakarta. Aksi solidaritas ini bertujuan untuk memprotes Uber dan Grab (khusus transportasi empat roda berbasis elektronik) yang telah merugikan mereka. Mereka menganggap bahwa kedua perusahaan berbasis elektronik ini tidak memiliki izin usaha sebagai taksi dan menyebut mereka sebagai taksi ilegal. Kemudian dari tidak adanya izin usaha ini, perusahaan Uber dan Grab dianggap dapat memberikan harga yang lebih murah karena tidak harus membayar pajak dan izin usaha. Lebih parahnya lagi, ada beberapa pihak yang menganggap Uber dan Grab telah melakukan predatory pricing. Hal-hal ini membuat persaingan usaha perusahaan-perusahaan ini menjadi tidak adil. Dengan keadaan seperti itu, pihak taksi konvensional dan rekannya berusaha untuk meminta pemerintah agar menutup Uber dan Grab hingga adanya kejelasan izin usaha kedua perusahaan tersebut. Lalu, polemik ini menjadi pembincangan hangat di Indonesia.

Respon dari pemerintah bisa dikatakan cukup menarik. Pada awalnya, Menteri Perhubungan dan Transportasi, Ignasius Johan, dengan Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, mengatakan bahwa aplikasi Uber dan Grab akan diblokir yang secara efektif memberhentikan operasi kedua perusahaan tersebut hingga adanya kejelasan dari undang-undang yang mangatur jenis usaha trasnportasi berbasis media elektronik. Akan tetapi keesokan harinya, Presiden RI, Joko Widodo, menghilangkan larangan tersebut dengan basis bahwa Uber dan Grab menjadi kebutuhan dari masyarakat dan tidak bisa serta-merta dilarang. Ketidakkonsistenan pemerintah ini menimbulkan pertanyaan bagaimana posisi pemerintah dalam masalah ini.

Dari kejadian-kejadian ini, mulai muncul penyelidikan-penyelidikan oleh pihak KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) untuk melihat keadaan persaingan antara pihak transportasi taksi. Apakah benar memang adakah predatory pricing dari perusahaan Uber atau Grab? Ataukah sebenarnya pihak taksi konvensional yang “mempermainkan”


(5)

harga selama ini dan Uber dan Grab yang harganya berada di tingkat efisien “menganggu” kenyamanan mereka yang selama ini menggunakan harga diatas harga efisien?

Lalu, apakah kasus ini hanya terjadi di Indonesia? Ternyata kasus polemik antara taksi konvensional dengan taksi berbasis elektronik sering terjadi di negara-negara lain tidak terkecuali negara maju. Misalnya di Spanyol dan Thailand, Uber dilarang di kedua negara tersebut karena izin yang belum ada dan memberikan persaingan tidak adil.. Di Jerman, India, Prancis, dan Italia terjadi demo untuk menutup Uber dikarenakan adanya banyak komplain dari pelanggan dalam hal keselamatan dan keamanan (ada kasus di India dimana salah satu pelanggannya diperkosa). Secara umum, banyak yang komplain kendaraan berbasis elektronik dalam hal tidak memiliki izin usaha, masalah dari persaingan yang tidak adil, dan adanya masalah dari keselamatan dan keamanan pelanggan dikarenakan supir-supirnya tidak tersertifikasi dan unregulated. Baik secara nasional maupun internasional ternyata transportasi berbasis elektronik ini menimbulkan perdebatan.

1.2

Rumusan Masalah

Secara umum dalam makalah ini, kasus taksi konvensional dengan taksi bebasis aplikasi akan dibahas dari sisi ekonomi industri, hukum, dan perbandingan dengna negara lain. Rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut.

1) Apakah pihak taksi konvensional melakukan suatu permainan harga?

2) Apakah predatory pricing dilakukan oleh pihak transportasi berbasis aplikasi? 3) Apakah kasus Uber dan Grab secara hukum melanggar peraturan di Indonesia? 4) Bagaimana situasi dari transportasi berbasis aplikasi di negara lain?

1.3

Tujuan Makalah


(6)

1) Untuk mengetahui apakah taksi konvensional melakukan suatu permainan harga yang berkaitan dengan ekonomi industri.

2) Untuk mengetahui apakah predatory pricing dilakukan oleh pihak transportasi berbasis aplikasi.

3) Untuk mengetahui posisi Uber dan Grab secara hukum di Indonesia. 4) Untuk mengetahui situasi dari transportasi berbasis aplikasi di negara lain. 5) Untuk mengetahui dampak secara umum dari trasnportasi berbasis aplikasi.

BAB II LANDASAN TEORI

2.1

Persaingan Usaha Tidak Sehat

Persaingan usaha tidak sehat dalam UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat didefinisikan sebagai persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur/melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. Tujuan dari pembuatan UU ini adalah untuk menjaga kepentingan umum, meningkatkan efisiensi ekonomi dan efektivitas dalam kegiatan usaha.

Bentuk – bentuk usaha yang dilarang dalam UU ini meliputi monopoli pasar, kolusi antar perusahaan, dan penggunaan posisi dominan perusahaan untuk melakukan kegiatan yang merugikan konsumen dan/atau pelaku usaha lainnya yang menjadi pesaing dalam usahanya untuk memasuki pasar.

2.2

Monopoli Pasar

Ada dua hal yang membedakan monopoli dari pasar kompetif, dimana monopoli hanya memiliki satu produsen atau supplier dan adanya hambatan untuk masuk. Kondisi pertamanya monoplis memang benar-benar tanpa persaingan, dan kondisi keduanya monopolis menghadapi persaingan yang tidak berarti.

Seorang monopolis memilki kekuatan pasar yang besar dimana artinya ia bisa mempengaruhi harga yang ada di pasaran. Keadaan ini akan membuat seorang monopolis untuk menaikan harga sampai pada level tertentu yang memaksimalkan keuntungannya


(7)

namun akibatnya adanya surplus konsumen yang hilang dan ke tidak effisienan didalam pasar karena menimbulkan dead weight lost.

2.3

Kolusi atau Persekongkolan

Seperti yang terdapat di dalam UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat kolusi adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol. Kolusi atau persekongkolan ini muncul dalam struktur pasar oligoplis dimana terdapat beberapa perusahaan sejenis dalam satu pasar yang sama.

Sebuah perusahaan oligopolis tetap memilki kekuatan pasar, namun itu juga tergantung dengan pesaing mereka. Perusahaan oligopolis tidak akan bisa memaksimalkan keuntungan mereka seperti yang dilakukan oleh monopolis. Akan tetapi, mereka bisa bertindak seperti monopolis dengan mengkoordinasikan aksi yang mereka lakukan dengan perusahaan lainnya dengan cara mencapai suatu persetujuan mengenai sebuah kerja sama (martin, 1994: 150)

2.4

Posisi Dominan

Keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.

Perbedaannya dengan monopolis adalah perusahaan dengan posisi dominan tetap memilki permasalahan dengan kompetitor kecilnya jika mereka ingin bermain dengan harga. Ketika mereka menaikan harga maka beberapa konsumen mereka akan lari ke kompetitor kecil mereka (martin, 1994: 68)


(8)

BAB III PEMBAHASAN

3.1

Persaingan Usaha dan Perspektif Ekonomi Industri

Dilihat dari sisi persaingan usaha antara perusahaan taksi konvensional dengan transportasi berbasis aplikasi terdapat bias di dalam mendefinisikan pasarnya. Taksi konvensional jelas berada di dalam ranah menyediakan layanan transportasi. Karena mereka mengikuti aturan pemerintah dimana sebuah perusahan transportasi harus mengikuti regulasi seperti izin mendirikan perusahaan transportasi, pembayaran pajak, uji KIR terhadap kendaraan, dll. Sementara transportasi berbasis aplikasi ini belum jelas berada di ranah menyediakan layanan transportasi atau hanya sebagai aplikasi penghubung. Dari sisi pemerintah, ada kegagapan UU dan peraturan menyangkut e-commerce dan transportasi berbasis aplikasi. Infrastruktur UU dan Peraturan untuk transportasi berbasis aplikasi transportasi belum ada sehingga payung hukumnya berpotensi dimanipulasi baik oleh pengusaha dan oleh pemerintah sendiri. Oleh pengusaha, Gojek menggunakan payung hukum perusahaan IT, sementara Uber menggunakan payung hukum koperasi–padahal pada praktiknya, keduanya tidak di ranah IT dan koperasi. Gojek memberi modal jaket, helm dan smartphone pada pengendaranya; Uber Indonesia punya sistem heirarki mirip taksi tapi bentuknya rental mobil.

Kemunculan transportasi berbasis aplikasi (dalam hal ini GrabCar dan UberTaxi) selain karena mereka melihat peluang tentang kebutuhan transportasi yang dibutuhkan masyarakat, juga kehadiran mereka dikarenakan masalah yang lainnya yaitu adanya praktik kartel yang dilakukan oleh perusahaan taksi konvensional. Menurut KPPU sendiri, sejak bulan Juni 2008, di beberapa daerah termasuk Jakarta, terbit aturan mengenai tarif batas atas dan tarif batas bawah. Di Jakarta, melalui Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Jakarta No.51/2008 tentang


(9)

penyesuaian tarif taksi yang berlaku per Juni 2008, Pemda DKI Jakarta mengatur bahwa tarif taksi dibatasi pada tarif batas atas. Sedangkan tarif batas bawah ditetapkan oleh Organisasi Angkutan Darat (Organda) selaku pelaku usaha dalam industri tersebut.

Regulasi tarif angkutan darat nasional, mengatur bahwa tarif untuk angkutan ekonomi ditetapkan oleh Pemerintah, sedangkan tambahan layanan yang diberikan (dalam kelas eksekutif) tarifnya ditetapkan oleh pelaku usaha (PP No. 41 Tahun 1993). Tarif angkutan penumpang tidak dalam trayek kecuali taksi ditetapkan oleh penyedia jasa angkutan. Untuk trayek taksi, tarif terdiri dari tarif awal, tarif dasar tarif jarak dan tarif waktu yang ditunjukkan dalam argometer. Tarif taksi ditetapkan oleh Menteri dalam PP No. 41 Tahun 1993 (pasal 49). Tarif tersebut terdiri dari tarif awal, tarif dasar tarif jarak dan tarif waktu yang ditunjukkan dalam argometer. Penetapan tarif untuk taksi ditetapkan oleh Menteri. (Pasal 48 dan Pasal 49). Regulasi tersebut tidak relevan dengan fakta di lapangan, dimana tarif taksi ditetapkan oleh Pemerintah Daerah setempat untuk batas atas dan Organda untuk batas bawahnya.

Penerapan tarif batas atas oleh Pemerintah, selaras dengan prinsip persaingan usaha yang sehat. Kebijakan tersebut dapat menghindarkan konsumen dari eksploitasi yang mungkin dilakukan oleh produsen yang memiliki posisi dominan dalam bentuk harga yang terlalu tinggi. Meskipun prinsip persaingan usaha mentolerir adanya penerapan batas atas oleh Pemerintah, tidak demikian halnya dengan penerapan tarif batas bawah. Penerapan batas bawah akan melindungi operator yang tidak efisien untuk tetap dapat berada dalam industri tersebut. Penerapan batas bawah juga dapat merugikan konsumen karena konsumen terpaksa harus membayar harga minimal scebesar tarif batas bawah, meskipun mungkin layanan yang diberikan kurang dari itu. Selain itu penetapan tarif batas bawah akan menyebabkan pelaku usaha yang bisa beroperasi dengan efisien dan bisa melahirkan tarif yang besarannya berada di bawah tarif batas bawah, maka dia terhambat untuk mengimplementasikan keunggulan bersaingnya tersebut. Akibatnya masyarakat kehilangan pilihan tarif murah, secara jangka panjang hal ini akan menimbulkan inefisiensi yang sangat besar.

Sementara itu, terkait dengan penetapan tarif yang dilakukan asosiasi pelaku usaha baik tarif batas atas maupun tarif batas bawah, maka hal tersebut merupakan bentuk nyata dari kartel yang dipastikan melanggar UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Penetapan tarif oleh pelaku usaha menghilangkan terjadinya persaingan


(10)

harga diantara mereka sehingga tidak dapat diperoleh harga terbaik berdasarkan mekanisme pasar bagi konsumen.

Dalam hal ini Organda telah melakukan praktik kartel, karena telah menetapkan tarif batas bawah untuk menyamakan tarif yang berlaku pada taksi konvensional untuk menghilangkan adanya persaingan dan juga menghilangkan harga yang terbaik bagi konsumennya berdasarkan mekanisme pasar. Sementara transportasi berbasis aplikasi ini bukan merupakan bagian dari kartel sehingga mereka tidak perlu mengikuti harga yang ditetapkan oleh kartel. Yang pada akhirnya, transportasi berbasis aplikasi ini dapat menetapkan tarif dibawah tarif batas bawah yang ditetapkan oleh Organda.

Lalu ada indikasi bahwa transportasi berbasis aplikasi melakukan predatory pricing

dalam melakukan kegiatan operasionalnya. Predatory Pricing secara sederhana didefinisikan sebagai tindakan dari sebuah perusahaan yang mengeluarkan pesaingnya dengan cara menetapkan harga di bawah biaya produksi. Namun dalam praktiknya juga digunakan untuk mencegah pesaing masuk ke pasar. Segera setelah berhasil membuat pelaku usaha pesaing keluar dari pasar dan menunda masuknya pelaku usaha pendatang baru, maka selanjutnya dia dapat menaikkan harga kembali dan memaksimalkan keuntungan yang mungkin didapatkan. Namun untuk dapat melakukan perbuatan tersebut, maka pelaku usaha tersebut haruslah mempunyai pangsa pasar yang besar dan keuntungan yang akan diperoleh dapat menutupi kerugian yang diderita selama masa predator. Dalam hal ini layanan transportasi berbasis aplikasi perlu dikaji terlebih dahulu apakah mereka memang melakukan praktik predatory pricing atau memang memiliki structure cost yang efisien sehingga mereka mampu untuk menetapkan tarif yang lebih murah dibandingkan layanan moda transportasi umum yang sudah ada.

Di sisi lain masalah dari sudut pandang konsumen bukan cuma tarif, tapi juga akses dan

customer service. Dalam kondisi krisis transportasi Jakarta, Taksi konvensional sebelum era Uber, punya posisi tawar yang tinggi apalagi jika dia memonopoli pasar industri taksi. Beberapa dari mereka bisa mempermainkan harga, kalaupun “profesional” seperti Blue Bird, tarifnya mahal. Belum lagi aksesnya seringkali sulit–dalam pemesanan jam sibuk, pelanggan akan mengantri dan besar kemungkinan tak dapat taksi, dan customer service yang tertinggal. Jasa ini mencakup perilaku pengemudi yang bisa menolak pelanggan atau mempermainkan harga ketika rumahnya jauh, hujan atau lewat jalan macet, sampai sistem pembatalan yang berat sebelah: jika pelanggan membatalkan pemesanan harus membayar beberapa persen kalau supirnya sudah


(11)

sampai, namun ketika taksi yang membatalkan tidak ada ganti rugi apapun untuk pelanggan. Dalam kondisi seperti inilah sangat wajar kalau konsumen ingin yang lebih murah, terakses, dan pelayanannya baik. Lebih jauh lagi, inovasi yang ditawarkan oleh Uber dan GrabCar, seperti cara pembayaran yang aman (lewat kartu kredit) ataupun tunai, pengemudi yang melek teknologi (menggunakan GPS alih-alih minta dipandu penumpang), serta aplikasi yang memungkinkan pengemudi dinilai oleh penumpang, juga memberi nilai tambah lebih yang tidak ditawarkan taksi berbasis aplikasi. Penumpang yang rasional secara ekonomi jelas akan lebih memilih Uber dan GrabCar (terkecuali saat terjadi surge pricing).

3.2

Dinamika Industri Transportasi di Belahan Dunia

Konflik antara taksi konvensional dan taksi dalam jaringan (online) tidak hanya terjadi di Indonesia. Kemunculan Uber di San Fransisco pada tahun 2009 menjadi awal mula perseteruan di industri taksi ini. Masalah yang dihadapi pada umumnya sama, yakni ketidaksetaraan peraturan yang diterapkan terhadap kedua belah pihak. Dalam rangka mencari solusi terbaik tentang kebijakan apa yang sebaiknya ditetapkan, pembuat kebijakan sebaiknya turut memperhatikan bagaimana masalah serupa dikaji di negara lain. Berikut adalah situasi masalah taksi konvensional dan taksi daring di beberapa negara.

1. Indonesia

Uber dan Grab Car melanggar UU Nomor 22/2009 Tentang Lalu-lintas Angkutan Jalan dengan rincian sebagai berikut.

a. Melanggar Pasal 23 Ayat 3 karena tidak menggunakan tanda nomor tanda kendaraan umum

b. Melanggar Pasal 53 Ayat 1 karena tidak melakukan pengujian kendaraan

c. Melanggar Pasal 77 karena pengemudi tidak memiliki sim A umum.

d. Melanggar Pasal 139 Ayat 4 karena perusahaan transportasinya tidak berbadan hukum

e. Melanggar Pasal 173 Ayat 1 karena tidak memiliki izin penyelenggaraan angkutan Meskipun melanggar aturan, taksi online juga membawa dampak positif, misalnya dengan turut membuka lapangan kerja dan memberikan kemudahan bagi masyarakat konsumen. Mempertimbangkan hal tersebut, Kementerian Perhubungan memberi kesempatan kepada perusahaan terkait untuk bekerja sama secara resmi, dengan batas waktu hingga 31 Mei 2016.


(12)

2. Amerika Serikat

Di Amerika, industri taksi diwajibkan untuk mematuhi beberapa peraturan. Tujuannya utamanya adalah untuk menjamin keselamatan publik. Namun, beberapa perarturan justru dianggap tidak perlu karena mendorong terciptanya persaingan yang antikompetitif. Misalnya, di kota-kota terntentu di Amerika, pengemudi taksi harus menggunakan seragam dan warna cat taksi yang ditentukan. Hal ini menyebabkan perusahaan sulit bersaing dengan strategi diferensiasi produk dan masyarakat pun sulit membedakan taksi dengan kualitas tinggi dan rendah dengan mudah. Kebijakan lainnya yang dapat merujuk pada terciptanya antikompetitif adalah pembatasan lisensi taksi dan pembatasan jumlah taksi dalam satu perusahaan yang menghalangi masuknya pendatang baru. Untuk menyelesaikan konflik horizontal antara taksi konvensional dan Uber, total porsi Uber tidak boleh melebihi 20 persen dari total taksi konvensional.

3. Prancis

Keberadaan Uber dan taksi online lainnya juga menghadapi beragam protes sebab menciptakan ketidakadilan bagi supir taksi konvensional. Akhirnya keberadaan Uber dilarang di Perancis karena transportasi tersebut tidak memenuhi kebijakan dari badan transportasi di negara ini.

4. India

Pelarangan Uber juga terjadi di India karena pengidentifikasian pengemudi Uber yang gagal terselenggara, tingkat terjadinya kekerasan seksual yang meningkat dan pemberlakukan surge pricing. Namun pada bulan Mei 2016, pihak Uber kembali melakukan surge pricing dan menentang perintah pemerintah Delhi dan Kartanaka. Meski begitu, armada di Delhi dan Kartanaka berkurang jauh setelah Mahkahmah Agung India melarang diesel dan bensin taksi di kota untuk mengekang polusi udara.

5. Filipina

Di Filipina, agar tetap dapat beroperasi, Uber harus mematuhi beberapa kebijakan, Pertama, usia kendaraan yang digunakan harus kurang dari tujuh tahun. Kedua, setiap kendaraan memiliki perangkat GPS. Ketiga, setiap pengendara harus memiliki sertifikat dari departemen transportasi setempat.

6. Jepang

Tidak seperti di Amerika dan negara lainnya yang memperbolehkan pengoperasian taksi

online, Uber diperlakukan seperti taksi operator di Jepang. Sehingga, Uber tidak dapat melakukan ekspansi dengan bebas. Dalam hukum Jepang, pengemudi sebenarnya dilarang mengantarkan penumpang berbayar, di mana kendaraan mereka harus berplat


(13)

putih yang berarti illegal atau unlicensed vehicle. Namun, larangan tersebut tidak berlaku di daerah yang tidak tersedia transportasi public. Di area seperti inilah Uber dapat beroperasi dengan kewajiban untuk melaporkan kegiatan operasi setiap hari kepada Kyotango City Hall. Pembatasan yang cukup memberatkan ini berasal dari tekanan yang cukup besar dari operator taksi ‘raksasa’.

BAB IV PENUTUP

4.1

Kesimpulan

Transportasi konvensional maupun transportasi berbasis aplikasi masuk kedalam pasar yang masih memiliki ambiguitas. Konteks ambiguitas disini karena pihak transportasi berbasis aplikasi menempatkan dirinya pada posisi yang tidak menentu. Tindakan mereka ini, diluar kesengajaan tidak, dipicu oleh peluang yang ada, yang dalam hal ini disebabkan oleh adanya celah-celah dalam regulasi yang mengatur industri transportasi. UU ITE maupun UU yang mengatur mengenai transportasi digunakan sebagai payung hukum oleh masing-masing pihak yang berlawanan.

Dalam menyelesaikan konflik yang terjadi, KPPU ikut campur dan pada akhirnya memutuskan bahwa adanya praktik kartel yang terjadi pada transportasi konvensional. Disisi lain, KPPU juga mengindikasikan adanya praktik predatory pricing yang dilakukan transportasi berbasis aplikasi. Akan tetapi, indikasi tersebut perlu dikaji lebih lanjut dimulai dari kajian mengenai struktur biaya perusahaan tersebut.

Secara pelayanan dan kepuasan konsumen, yang pada hakikatnya berperan dalam persaingan usaha secara umum, transportasi berbasis aplikasi memberikan pelayanan yang relatif lebih memuaskan daripada transportasi konvensional. Hal ini diukur bukan berdasarkan pengambilan sampel primer namun lebih ke komparasi dari pelayanan yang disediakan oleh kedua pihak.

Kompleksitas dalam industri transportasi ini juga tidak hanya terjadi di pasar domestik, namun juga pasar internasional. Beberapa negara yang telah dibahas memiliki respon yang cukup beragam dalam menghadapi transportasi berbasis aplikasi. Dari pelarangan total hingga pengoperasian perusahaan dengan persyaratan-persyaratan tertentu.


(14)

Pada intinya, industri transportasi saat ini masih menjadi polemik bagi para pemangku kepentingannya. Walaupun makalah ini memberikan bahasan yang cukup dalam menganalisis, namun penulis merasa perlu adanya pengetahuan konseptual yang diadaptasi dari mata kuliah ekonomi industri lanjutan. Namun, benang merah yang dapat ditarik dari polemik ini adalah berupa penguatan perangkat aturan negara sehingga celah-celah aturan yang ada tidak dapat memberikan ambiguitas dalam persaingan usaha moda transportasi di Indonesia.

Referensi

UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Martin, Stephen. 1994, “ Industrial Economics : Economics Analysis and Public Policy.”, New

York: Macmillan Publishing Company.

Mitchell, M., & Farren, M. (2015, November 19). A common-sense solution to the Uber vs. taxi wars. Retrieved May 29, 2016, from http://www.latimes.com/opinion/op-ed/la-oe-1119-mitchell-farren-uber-taxis-deregulate-20151118-story.html

Uber Dilarang di Berbagai Negara. (2016, April 12). Retrieved May 29, 2016, from

https://m.tempo.co/read/news/2016/04/12/090761827/uber-dilarang-di-berbagai-negara Hanada, R., & Urasaki, K. (2016, May 29). Rules leave Uber with hard road in Japan- Nikkei

Asian Review. Retrieved May 29, 2016, from

http://asia.nikkei.com/Business/Companies/Rules-leave-Uber-with-hard-road-in-Japan KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA » Kebijakan Persaingan dalam Industri Taxi di

Indonesia. (n.d.). Retrieved May 30, 2016, from http://www.kppu.go.id/id/blog/2010/07/kebijakan-persaingan-dalam-industri-taxi-di-indonesia/

Putranto, R. A. (2015). PT. GO-JEK Indonesia dan Praktik Predatory Pricing. Retrieved May 30, 2016, from https://www.selasar.com/ekonomi/pt-gojek-indonesia-dan-praktik-predatory-pricing Panjaitan, A. (2015, December 19). Go-jek Silahkan "GO" Asal Bukan Predatory Pricing. Retrieved May 30, 2016, from http://sentananews.com/news/news/go-jek-silahkan-go-asal-bukan-predatory-pricing-12064


(1)

penyesuaian tarif taksi yang berlaku per Juni 2008, Pemda DKI Jakarta mengatur bahwa tarif taksi dibatasi pada tarif batas atas. Sedangkan tarif batas bawah ditetapkan oleh Organisasi Angkutan Darat (Organda) selaku pelaku usaha dalam industri tersebut.

Regulasi tarif angkutan darat nasional, mengatur bahwa tarif untuk angkutan ekonomi ditetapkan oleh Pemerintah, sedangkan tambahan layanan yang diberikan (dalam kelas eksekutif) tarifnya ditetapkan oleh pelaku usaha (PP No. 41 Tahun 1993). Tarif angkutan penumpang tidak dalam trayek kecuali taksi ditetapkan oleh penyedia jasa angkutan. Untuk trayek taksi, tarif terdiri dari tarif awal, tarif dasar tarif jarak dan tarif waktu yang ditunjukkan dalam argometer. Tarif taksi ditetapkan oleh Menteri dalam PP No. 41 Tahun 1993 (pasal 49). Tarif tersebut terdiri dari tarif awal, tarif dasar tarif jarak dan tarif waktu yang ditunjukkan dalam argometer. Penetapan tarif untuk taksi ditetapkan oleh Menteri. (Pasal 48 dan Pasal 49). Regulasi tersebut tidak relevan dengan fakta di lapangan, dimana tarif taksi ditetapkan oleh Pemerintah Daerah setempat untuk batas atas dan Organda untuk batas bawahnya.

Penerapan tarif batas atas oleh Pemerintah, selaras dengan prinsip persaingan usaha yang sehat. Kebijakan tersebut dapat menghindarkan konsumen dari eksploitasi yang mungkin dilakukan oleh produsen yang memiliki posisi dominan dalam bentuk harga yang terlalu tinggi. Meskipun prinsip persaingan usaha mentolerir adanya penerapan batas atas oleh Pemerintah, tidak demikian halnya dengan penerapan tarif batas bawah. Penerapan batas bawah akan melindungi operator yang tidak efisien untuk tetap dapat berada dalam industri tersebut. Penerapan batas bawah juga dapat merugikan konsumen karena konsumen terpaksa harus membayar harga minimal scebesar tarif batas bawah, meskipun mungkin layanan yang diberikan kurang dari itu. Selain itu penetapan tarif batas bawah akan menyebabkan pelaku usaha yang bisa beroperasi dengan efisien dan bisa melahirkan tarif yang besarannya berada di bawah tarif batas bawah, maka dia terhambat untuk mengimplementasikan keunggulan bersaingnya tersebut. Akibatnya masyarakat kehilangan pilihan tarif murah, secara jangka panjang hal ini akan menimbulkan inefisiensi yang sangat besar.

Sementara itu, terkait dengan penetapan tarif yang dilakukan asosiasi pelaku usaha baik tarif batas atas maupun tarif batas bawah, maka hal tersebut merupakan bentuk nyata dari kartel yang dipastikan melanggar UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Penetapan tarif oleh pelaku usaha menghilangkan terjadinya persaingan


(2)

harga diantara mereka sehingga tidak dapat diperoleh harga terbaik berdasarkan mekanisme pasar bagi konsumen.

Dalam hal ini Organda telah melakukan praktik kartel, karena telah menetapkan tarif batas bawah untuk menyamakan tarif yang berlaku pada taksi konvensional untuk menghilangkan adanya persaingan dan juga menghilangkan harga yang terbaik bagi konsumennya berdasarkan mekanisme pasar. Sementara transportasi berbasis aplikasi ini bukan merupakan bagian dari kartel sehingga mereka tidak perlu mengikuti harga yang ditetapkan oleh kartel. Yang pada akhirnya, transportasi berbasis aplikasi ini dapat menetapkan tarif dibawah tarif batas bawah yang ditetapkan oleh Organda.

Lalu ada indikasi bahwa transportasi berbasis aplikasi melakukan predatory pricing dalam melakukan kegiatan operasionalnya. Predatory Pricing secara sederhana didefinisikan sebagai tindakan dari sebuah perusahaan yang mengeluarkan pesaingnya dengan cara menetapkan harga di bawah biaya produksi. Namun dalam praktiknya juga digunakan untuk mencegah pesaing masuk ke pasar. Segera setelah berhasil membuat pelaku usaha pesaing keluar dari pasar dan menunda masuknya pelaku usaha pendatang baru, maka selanjutnya dia dapat menaikkan harga kembali dan memaksimalkan keuntungan yang mungkin didapatkan. Namun untuk dapat melakukan perbuatan tersebut, maka pelaku usaha tersebut haruslah mempunyai pangsa pasar yang besar dan keuntungan yang akan diperoleh dapat menutupi kerugian yang diderita selama masa predator. Dalam hal ini layanan transportasi berbasis aplikasi perlu dikaji terlebih dahulu apakah mereka memang melakukan praktik predatory pricing atau memang memiliki structure cost yang efisien sehingga mereka mampu untuk menetapkan tarif yang lebih murah dibandingkan layanan moda transportasi umum yang sudah ada.

Di sisi lain masalah dari sudut pandang konsumen bukan cuma tarif, tapi juga akses dan customer service. Dalam kondisi krisis transportasi Jakarta, Taksi konvensional sebelum era Uber, punya posisi tawar yang tinggi apalagi jika dia memonopoli pasar industri taksi. Beberapa dari mereka bisa mempermainkan harga, kalaupun “profesional” seperti Blue Bird, tarifnya mahal. Belum lagi aksesnya seringkali sulit–dalam pemesanan jam sibuk, pelanggan akan mengantri dan besar kemungkinan tak dapat taksi, dan customer service yang tertinggal. Jasa ini mencakup perilaku pengemudi yang bisa menolak pelanggan atau mempermainkan harga ketika rumahnya jauh, hujan atau lewat jalan macet, sampai sistem pembatalan yang berat sebelah: jika pelanggan membatalkan pemesanan harus membayar beberapa persen kalau supirnya sudah


(3)

sampai, namun ketika taksi yang membatalkan tidak ada ganti rugi apapun untuk pelanggan. Dalam kondisi seperti inilah sangat wajar kalau konsumen ingin yang lebih murah, terakses, dan pelayanannya baik. Lebih jauh lagi, inovasi yang ditawarkan oleh Uber dan GrabCar, seperti cara pembayaran yang aman (lewat kartu kredit) ataupun tunai, pengemudi yang melek teknologi (menggunakan GPS alih-alih minta dipandu penumpang), serta aplikasi yang memungkinkan pengemudi dinilai oleh penumpang, juga memberi nilai tambah lebih yang tidak ditawarkan taksi berbasis aplikasi. Penumpang yang rasional secara ekonomi jelas akan lebih memilih Uber dan GrabCar (terkecuali saat terjadi surge pricing).

3.2

Dinamika Industri Transportasi di Belahan Dunia

Konflik antara taksi konvensional dan taksi dalam jaringan (online) tidak hanya terjadi di Indonesia. Kemunculan Uber di San Fransisco pada tahun 2009 menjadi awal mula perseteruan di industri taksi ini. Masalah yang dihadapi pada umumnya sama, yakni ketidaksetaraan peraturan yang diterapkan terhadap kedua belah pihak. Dalam rangka mencari solusi terbaik tentang kebijakan apa yang sebaiknya ditetapkan, pembuat kebijakan sebaiknya turut memperhatikan bagaimana masalah serupa dikaji di negara lain. Berikut adalah situasi masalah taksi konvensional dan taksi daring di beberapa negara.

1. Indonesia

Uber dan Grab Car melanggar UU Nomor 22/2009 Tentang Lalu-lintas Angkutan Jalan dengan rincian sebagai berikut.

a. Melanggar Pasal 23 Ayat 3 karena tidak menggunakan tanda nomor tanda kendaraan umum

b. Melanggar Pasal 53 Ayat 1 karena tidak melakukan pengujian kendaraan c. Melanggar Pasal 77 karena pengemudi tidak memiliki sim A umum.

d. Melanggar Pasal 139 Ayat 4 karena perusahaan transportasinya tidak berbadan hukum e. Melanggar Pasal 173 Ayat 1 karena tidak memiliki izin penyelenggaraan angkutan Meskipun melanggar aturan, taksi online juga membawa dampak positif, misalnya dengan turut membuka lapangan kerja dan memberikan kemudahan bagi masyarakat konsumen. Mempertimbangkan hal tersebut, Kementerian Perhubungan memberi kesempatan kepada perusahaan terkait untuk bekerja sama secara resmi, dengan batas waktu hingga 31 Mei 2016.


(4)

2. Amerika Serikat

Di Amerika, industri taksi diwajibkan untuk mematuhi beberapa peraturan. Tujuannya utamanya adalah untuk menjamin keselamatan publik. Namun, beberapa perarturan justru dianggap tidak perlu karena mendorong terciptanya persaingan yang antikompetitif. Misalnya, di kota-kota terntentu di Amerika, pengemudi taksi harus menggunakan seragam dan warna cat taksi yang ditentukan. Hal ini menyebabkan perusahaan sulit bersaing dengan strategi diferensiasi produk dan masyarakat pun sulit membedakan taksi dengan kualitas tinggi dan rendah dengan mudah. Kebijakan lainnya yang dapat merujuk pada terciptanya antikompetitif adalah pembatasan lisensi taksi dan pembatasan jumlah taksi dalam satu perusahaan yang menghalangi masuknya pendatang baru. Untuk menyelesaikan konflik horizontal antara taksi konvensional dan Uber, total porsi Uber tidak boleh melebihi 20 persen dari total taksi konvensional.

3. Prancis

Keberadaan Uber dan taksi online lainnya juga menghadapi beragam protes sebab menciptakan ketidakadilan bagi supir taksi konvensional. Akhirnya keberadaan Uber dilarang di Perancis karena transportasi tersebut tidak memenuhi kebijakan dari badan transportasi di negara ini.

4. India

Pelarangan Uber juga terjadi di India karena pengidentifikasian pengemudi Uber yang gagal terselenggara, tingkat terjadinya kekerasan seksual yang meningkat dan pemberlakukan surge pricing. Namun pada bulan Mei 2016, pihak Uber kembali melakukan surge pricing dan menentang perintah pemerintah Delhi dan Kartanaka. Meski begitu, armada di Delhi dan Kartanaka berkurang jauh setelah Mahkahmah Agung India melarang diesel dan bensin taksi di kota untuk mengekang polusi udara.

5. Filipina

Di Filipina, agar tetap dapat beroperasi, Uber harus mematuhi beberapa kebijakan, Pertama, usia kendaraan yang digunakan harus kurang dari tujuh tahun. Kedua, setiap kendaraan memiliki perangkat GPS. Ketiga, setiap pengendara harus memiliki sertifikat dari departemen transportasi setempat.

6. Jepang

Tidak seperti di Amerika dan negara lainnya yang memperbolehkan pengoperasian taksi online, Uber diperlakukan seperti taksi operator di Jepang. Sehingga, Uber tidak dapat melakukan ekspansi dengan bebas. Dalam hukum Jepang, pengemudi sebenarnya dilarang mengantarkan penumpang berbayar, di mana kendaraan mereka harus berplat


(5)

putih yang berarti illegal atau unlicensed vehicle. Namun, larangan tersebut tidak berlaku di daerah yang tidak tersedia transportasi public. Di area seperti inilah Uber dapat beroperasi dengan kewajiban untuk melaporkan kegiatan operasi setiap hari kepada Kyotango City Hall. Pembatasan yang cukup memberatkan ini berasal dari tekanan yang cukup besar dari operator taksi ‘raksasa’.

BAB IV PENUTUP

4.1

Kesimpulan

Transportasi konvensional maupun transportasi berbasis aplikasi masuk kedalam pasar yang masih memiliki ambiguitas. Konteks ambiguitas disini karena pihak transportasi berbasis aplikasi menempatkan dirinya pada posisi yang tidak menentu. Tindakan mereka ini, diluar kesengajaan tidak, dipicu oleh peluang yang ada, yang dalam hal ini disebabkan oleh adanya celah-celah dalam regulasi yang mengatur industri transportasi. UU ITE maupun UU yang mengatur mengenai transportasi digunakan sebagai payung hukum oleh masing-masing pihak yang berlawanan.

Dalam menyelesaikan konflik yang terjadi, KPPU ikut campur dan pada akhirnya memutuskan bahwa adanya praktik kartel yang terjadi pada transportasi konvensional. Disisi lain, KPPU juga mengindikasikan adanya praktik predatory pricing yang dilakukan transportasi berbasis aplikasi. Akan tetapi, indikasi tersebut perlu dikaji lebih lanjut dimulai dari kajian mengenai struktur biaya perusahaan tersebut.

Secara pelayanan dan kepuasan konsumen, yang pada hakikatnya berperan dalam persaingan usaha secara umum, transportasi berbasis aplikasi memberikan pelayanan yang relatif lebih memuaskan daripada transportasi konvensional. Hal ini diukur bukan berdasarkan pengambilan sampel primer namun lebih ke komparasi dari pelayanan yang disediakan oleh kedua pihak.

Kompleksitas dalam industri transportasi ini juga tidak hanya terjadi di pasar domestik, namun juga pasar internasional. Beberapa negara yang telah dibahas memiliki respon yang cukup beragam dalam menghadapi transportasi berbasis aplikasi. Dari pelarangan total hingga pengoperasian perusahaan dengan persyaratan-persyaratan tertentu.


(6)

Pada intinya, industri transportasi saat ini masih menjadi polemik bagi para pemangku kepentingannya. Walaupun makalah ini memberikan bahasan yang cukup dalam menganalisis, namun penulis merasa perlu adanya pengetahuan konseptual yang diadaptasi dari mata kuliah ekonomi industri lanjutan. Namun, benang merah yang dapat ditarik dari polemik ini adalah berupa penguatan perangkat aturan negara sehingga celah-celah aturan yang ada tidak dapat memberikan ambiguitas dalam persaingan usaha moda transportasi di Indonesia.

Referensi

UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Martin, Stephen. 1994, “ Industrial Economics : Economics Analysis and Public Policy.”, New

York: Macmillan Publishing Company.

Mitchell, M., & Farren, M. (2015, November 19). A common-sense solution to the Uber vs. taxi wars. Retrieved May 29, 2016, from http://www.latimes.com/opinion/op-ed/la-oe-1119-mitchell-farren-uber-taxis-deregulate-20151118-story.html

Uber Dilarang di Berbagai Negara. (2016, April 12). Retrieved May 29, 2016, from

https://m.tempo.co/read/news/2016/04/12/090761827/uber-dilarang-di-berbagai-negara Hanada, R., & Urasaki, K. (2016, May 29). Rules leave Uber with hard road in Japan- Nikkei

Asian Review. Retrieved May 29, 2016, from

http://asia.nikkei.com/Business/Companies/Rules-leave-Uber-with-hard-road-in-Japan KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA » Kebijakan Persaingan dalam Industri Taxi di

Indonesia. (n.d.). Retrieved May 30, 2016, from

http://www.kppu.go.id/id/blog/2010/07/kebijakan-persaingan-dalam-industri-taxi-di-indonesia/

Putranto, R. A. (2015). PT. GO-JEK Indonesia dan Praktik Predatory Pricing. Retrieved May 30, 2016, from https://www.selasar.com/ekonomi/pt-gojek-indonesia-dan-praktik-predatory-pricing Panjaitan, A. (2015, December 19). Go-jek Silahkan "GO" Asal Bukan Predatory Pricing. Retrieved May 30, 2016, from http://sentananews.com/news/news/go-jek-silahkan-go-asal-bukan-predatory-pricing-12064