Penentuan Nilai Alkali Aktif (Aacharge) Dalam Proses Pemasakan Serpih Akasia Di Unit Digester Fibre Line 2 PT Riau Andalan Pulp And Paper

(1)

PENENTUAN NILAI ALKALI AKTIF (AA CHARGE) DALAM

PROSES PEMASAKAN SERPIH AKASIA DI UNIT DIGESTER

FIBRE LINE 2 PT RIAU ANDALAN PULP AND PAPER

KARYA ILMIAH

SEPTIAN BAYU UTAMA

072409034

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KIMIA INDUSTRI

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(2)

PENENTUAN NILAI ALKALI AKTIF (AA CHARGE) DALAM

PROSES PEMASAKAN SERPIH AKASIA DI UNIT DIGESTER

FIBRE LINE 2 PT RIAU ANDALAN PULP AND PAPER

KARYA ILMIAH

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Ahli Madya

SEPTIAN BAYU UTAMA

072409034

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KIMIA INDUSTRI

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(3)

PERSETUJUAN

Judul : PENENTUAN NILAI ALKALI AKTIF

(AACHARGE) DALAM PROSES PEMASAKAN SERPIH AKASIA DI UNIT DIGESTER

FIBRE LINE 2 PT RIAU ANDALAN PULP AND PAPER

Kategori : TUGAS AKHIR

Nama : SEPTIAN BAYU UTAMA

Nomor Induk Mahasiswa : 072409034

Program Studi : D3 KIMIA INDUSTRI

Departemen : KIMIA

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Disetujui di Medan, Juli 2010

Diketahui/Disetujui oleh :

Departemen KIMIA FMIPA USU

Ketua, Dosen Pembimbing

(Dr. Rumondang Bulan Nst, MS) (Andriyani, S.Pd., M.Si.)

NIP : 195408301985032001 NIP :


(4)

PERNYATAAN

PENENTUAN NILAI ALKALI AKTIF (AA CHARGE) DALAM PROSES PEMASAKAN SERPIH AKASIA DI UNIT DIGESTER FIBRE LINE 2

PT RIAU ANDALAN PULP AND PAPER

KARYA ILMIAH

Saya mengakui bahwa karya ilmiah ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Juli 2010

SEPTIAN BAYU UTAMA 072409034


(5)

PENGHARGAAN

Alhamdulillah, Segala puji syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT, atas berkat, rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini.

Tujuan disusunnya karya ilmiah ini adalah untuk memenuhi syarat dalam menyelesaikan studi pada program studi diploma tiga Kimia Industri (D3 KIN) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam di Universitas Sumatera Utara. Karya ilmiah ini disusun berdasarkan hasil kerja praktek yang dilaksanakan di PT. RAPP (Riau Andalan Pulp and Paper) dari tanggal 05 Januari 2010 sampai dengan 05 Februari 2010. Adapun Judul dari karya ilmiah ini adalah ”Penentuan Nilai Alkali

Aktif (AA Charge) dalam Proses Pemasakan Serpih Akasia di Unit Digester Fibre Line 2 PT Riau Andalan Pulp and Paper.”

Secara khusus penulis persembahkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua tercinta, Ayahanda Alm. Suka mto dan Ibunda tercinta Murni, juga pada abang dan kakakku tersayang, serta seluruh keluarga besarku atas dukungan moril, materil dan semangat yang telah dilimpahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini.

Selama penulisan karya ilmiah ini, banyak kendala yang penulis hadapi. Berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya penulisan dapat diselesaikan tepat waktu. Oleh karena itu, tiada kata yang patut untuk penulis sampaikan kecuali ucapan terima kasih yang setulusnya kepada :

1. Ibu Dr. Rumondang Bulan Nst, MS selaku ketua jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam USU

2. Bapak Prof. Dr. Harry Agusnar, M.Sc., M.Phil selaku koordinator Kimia Industri Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam USU

3. Ibu Andriyani, S.Pd., M.Si selaku dosen pembimbing yang telah banyak membantu penulis dan memberikan saran-saran yang membangun sampai penyelesaian karya ilmiah ini

4. Bapak Rifai dan Aki selaku pembimbing lapangan, dan karyawan PT. RAPP yang telah membimbing dan mengarahkan penulis selama melakukan kerja praktek

5. Untuk teman-teman seperjuangan stambuk 2007 Kimia Industri FMIPA USU 6. Untuk sahabat, teman-teman, dan pihak-pihak lainnya yang telah membantu

dalam menyelesaikan karya ilmiah.

Akhir kata penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan karya ilmiah ini, baik dari segi penulisan maupun substansinya, masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis tidak menutup kemungkinan bagi para pihak untuk memberikan


(6)

saran maupun kritik yang bersifat membangun guna penyempurnaan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini dapat menambah ilmu pengetahuan dan wawasan kita. Amin.

Medan, Juli 2010 Penulis

( Septian Bayu Utama )


(7)

ABSTRAK

White liquor (lindi putih) berfungsi sebagai larutan pemasak dalam pembuatan pulp

dengan proses kraft (sulfat). Senyawa kimia yang aktif dalam white liquor adalah NaOH dan Na2S yang dinyatakan sebagai alkali aktif. Nilai Alkali Aktif (AA Charge) adalah konsentrasi gabungan dari NaOH dan Na2S sebagai Na2O yang dibutuhkan untuk satu tahap pemasakan. AA Charge digunakan untuk menentukan banyaknya

white liquor yang ditambahkan ke dalam digester pada proses pemasakan berdasarkan

jumlah chip yang masuk ke dalam digester. Alkali aktif dalam white liquor berfungsi untuk mendegradasi lignin dan senyawa ekstraktif dan mempertahankan selulosa dan hemiselulosa. Pada saat proses pemasakan chip, pemakaian white liquor yang berlebihan akan menyebabkan alkali aktif tidak selektif lagi melarutkan lignin tapi juga akan menyerang selulosa. Sedangkan apabila pemakaian white liquor kurang dari jumlah yang dibutuhkan akan menyebabkan chip menjadi tidak masak atau tidak tercapai target kappa number. Oleh karena itu, perlu diketahui AA Charge yang tepat agar proses pemasakan berlangsung dengan baik.


(8)

THE DETERMINATION OF ACTIVE ALCALI CHARGE (AA CHARGE) IN THE COOKING PROCESS FOR AKASIA CHIP AT THE DIGESTER UNIT

FIBRE LINE 2 PT RIAU ANDALAN PULP AND PAPER

ABSTRACT

White liquor has a function as the cooking liquor in the Kraft (Sulfate) pulping. The active chemical substances in the white liquor are NaOH and Na2S called as active alcali. Active Alcali Charge (AA Charge) is the mix concentrations of NaOH and Na2S defined as Na2O needed for one cooking stage. AA Charge is used to determine the amount of white liquor added into digester in the cooking process based on the amount of chip into digester. The active alcali in the white liquor has the functions to degread lignin and extractive and keep remain cellulose and hemicelluose in the chip. In the chip cooking process, the using of more white liquor will make the active alcali is not selective anymore to dissolve lignin but it is start to attack cellulose. And if the using of less white liquor will make the uncook chip or it does not reach kappa number target. Therefore, it is important to count the correct AA Charge so that the cooking process goes well.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

PERSETUJUAN ii

PERNYATAAN iii

PENGHARGAAN iv

ABSTRAK vi

ABSTRACT vii

DAFTAR ISI viii

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR xi

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 3

1.3 Tujuan 3

1.4 Manfaat 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bahan Baku Pulp 5

2.2 Komponen Kimia Kayu 5

2.2.1 Selulosa 5

2.2.2 Hemiselulosa 6

2.2.3 Lignin 7

2.2.4 Zat ekstraktif 7

2.3 Kayu Keras (Hardwood) dan Kayu Lunak (Softwood) 9

2.4 Metode Pembuatan Pulp 10

2.4.1 Secara Mekanis 10

2.4.4 Secara Kimia 11

2.4.3 Secara Semikima 12

2.5 Kraft Pulping 13

2.6 Digester Area (Bejana Pemasak) 20

2.7 Variabel-Variabel Proses Pemasakan Chip 22 2.8 Proses Pemasakan pada Superbatch Digester 29

BAB 3 METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Pengukuran Chip Moisture 34

3.1.1 Alat 34

3.1.2 Bahan 34

3.1.3 Prosedur 34

3.1.4 Perhitungan 34

3.2 Pengukuran Total Active Alcali 35

3.1.1 Alat 35

3.1.2 Bahan 35

3.1.3 Prosedur 35


(10)

BAB 4 DATA DAN PEMBAHASAN

4.1 Data dan Hasil Percobaan 37

4.1.1 Perhitungan untuk Chip 37

4.1.2 Perhitungan untuk Alkali Aktif 38 4.1.3 Perhitungan untuk AA Charge 40

4.2 Pembahasan 41

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan 44

5.2 Saran 45

DAFTAR PUSTAKA 46

LAMPIRAN 47

DATA PEMASAKAN AKASIA 48

MILL OVERVIEW 49

FIBRELINE OVERVIEW 50

DIGESTER AREA 51


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Perbandingan Komponen Kimia antara Jenis Hardwood

dan Softwood 8

Tabel 2.2 Data Keuntungan pada Proses Kraft dan Proses Sulfit 12

Tabel 2.3 Perbandingan Metode Pembuatan Pulp 13

Tabel 2.4 Komposisi dari White Liquor 15

Tabel 2.5 Target Chip yang Diperoleh dari Screening 22 Tabel 2.6 Waktu yang Dibutuhkan pada Tahap Cooking 33

Tabel 4.1 Data Chip untuk Akasia 37

Tabel 4.2 Data Alkali Aktif pada White Liquor untuk Akasia 38

Tabel 4.3 Data AA Charge untuk Akasia 40

Tabel 4.4 Data AA charge untuk Akasia 41


(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Reaksi-reaksi utama struktur β-aril eter fenol selama

Pembuatan Pulp Alkali (soda) dan Kraft 17

Gambar 2.2. Reaksi-reaksi pelepasan dan penghentian polisakarida 19 Gambar 4.1 Hubungan Kappa Number terhadap AA Charge 42


(13)

ABSTRAK

White liquor (lindi putih) berfungsi sebagai larutan pemasak dalam pembuatan pulp

dengan proses kraft (sulfat). Senyawa kimia yang aktif dalam white liquor adalah NaOH dan Na2S yang dinyatakan sebagai alkali aktif. Nilai Alkali Aktif (AA Charge) adalah konsentrasi gabungan dari NaOH dan Na2S sebagai Na2O yang dibutuhkan untuk satu tahap pemasakan. AA Charge digunakan untuk menentukan banyaknya

white liquor yang ditambahkan ke dalam digester pada proses pemasakan berdasarkan

jumlah chip yang masuk ke dalam digester. Alkali aktif dalam white liquor berfungsi untuk mendegradasi lignin dan senyawa ekstraktif dan mempertahankan selulosa dan hemiselulosa. Pada saat proses pemasakan chip, pemakaian white liquor yang berlebihan akan menyebabkan alkali aktif tidak selektif lagi melarutkan lignin tapi juga akan menyerang selulosa. Sedangkan apabila pemakaian white liquor kurang dari jumlah yang dibutuhkan akan menyebabkan chip menjadi tidak masak atau tidak tercapai target kappa number. Oleh karena itu, perlu diketahui AA Charge yang tepat agar proses pemasakan berlangsung dengan baik.


(14)

THE DETERMINATION OF ACTIVE ALCALI CHARGE (AA CHARGE) IN THE COOKING PROCESS FOR AKASIA CHIP AT THE DIGESTER UNIT

FIBRE LINE 2 PT RIAU ANDALAN PULP AND PAPER

ABSTRACT

White liquor has a function as the cooking liquor in the Kraft (Sulfate) pulping. The active chemical substances in the white liquor are NaOH and Na2S called as active alcali. Active Alcali Charge (AA Charge) is the mix concentrations of NaOH and Na2S defined as Na2O needed for one cooking stage. AA Charge is used to determine the amount of white liquor added into digester in the cooking process based on the amount of chip into digester. The active alcali in the white liquor has the functions to degread lignin and extractive and keep remain cellulose and hemicelluose in the chip. In the chip cooking process, the using of more white liquor will make the active alcali is not selective anymore to dissolve lignin but it is start to attack cellulose. And if the using of less white liquor will make the uncook chip or it does not reach kappa number target. Therefore, it is important to count the correct AA Charge so that the cooking process goes well.


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Kayu dapat digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan pulp (bubur kayu) dan kertas. Pulp dapat dibuat dari semua jenis kayu, baik kayu keras (hardwood) dan kayu lunak (softwood). Proses pembuatan pulp yang digunakan oleh PT. RAPP menggunakan jenis kayu keras (hardwood) yang diolah secara proses kraft (sulfat). Salah satu proses penting dalam proses pengolahan pulp adalah proses pemasakan kayu yang telah diubah menjadi chip dalam suatu bejana pemasak (digester) dengan menggunakan larutan pemasak.

Dalam pembuatan pulp dengan proses kraft (sulfat) digunakan white liquor sebagai larutan pemasak. White liquor adalah larutan bersifat basa yang terdiri dari NaOH dan Na2S. Konsentrasi rata-rata adalah satu molar NaOH dan 0,2 molar Na2S. pH dari larutan tak berwarna ini berkisar antara 13,5 – 14. Senyawa kimia yang aktif dalam white liquor adalah NaOH dan Na2S yang dinyatakan sebagai alkali aktif. White liquor yang diproduksi oleh pabrik juga mengandung senyawa anorganik

lainnya. (Kocurek, 1989).

Tujuan dari proses pemasakan adalah untuk memisahkan serat dalam kayu secara kimia dan melarutkan sebagian besar lignin yang terdapat dalam dinding serat atau untuk memasak chip sesuai dengan target kappa number. Alkali aktif tersebut secara selektif akan melarutkan lignin yang terdapat dalam kayu. Banyaknya white


(16)

liquor yang ditambahkan dalam proses pemasakan dinyatakan dengan nilai alkali aktif (AA Charge). AA (Active Alcali) charge adalah konsentrasi gabungan dari NaOH dan

Na2S sebagai Na2O yang dibutuhkan untuk satu tahap cooking. AA charge digunakan untuk menentukan banyaknya jumlah white liquor yang diisi ke dalam digester berdasarkan jumlah chip yang masuk ke dalam digester. (Mimms, 1993).

Pada saat proses pemasakan berlangsung, kebutuhan alkali aktif merupakan salah satu variabel yang perlu diperhatikan. Pemakaian white liquor dalam proses pemasakan sangat penting untuk menghasilkan pulp yang berkualitas baik. Alkali aktif dalam white liquor berguna untuk mendegradasi lignin dan senyawa lainnya (ekstraktif) dalam kayu dan melarutkan gugus gula sederhana yang masih bersatu dalam pulp. Selulosa dan hemiselulosa tetap dipertahankan dalam kayu. Larutan NaOH yang terkandung di dalam alkali aktif berfungsi untuk melarutkan lignin dan zat-zat ekstraktif lainnya yang terdapat dalam bahan baku kayu sehingga selulosa terlepas dari ikatannya. Sedangkan larutan Na2S berfungsi untuk mempercepat reaksi antara NaOH dengan lignin lewat penurunan energi aktivasi dan memberikan hasil yang lebih tinggi serta kekuatan pulp yang lebih baik dengan mengurangi kerusakan pada karbohidrat dari serat. Oleh karena itu, dengan adanya alkali aktif yang terkandung di dalam white liquor akan membantu proses penghilangan lignin yang disebut delignifikasi. (Smook, 2002)

Pemakaian white liquor yang berlebihan akan menyebabkan alkali aktif tidak selektif lagi melarutkan lignin tapi juga akan menyerang selulosa yang harus dipertahankan sehingga menyebabkan chip akan menjadi hancur dan tidak terbentuk pulp. Selain itu, pemakaian white liquor yang berlebihan juga akan menaikkan biaya produksi dan menghasilkan banyak limbah. Sedangkan apabila pemakaian white


(17)

liquor kurang dari jumlah yang dibutuhkan akan menyebabkan chip yang dimasak

menjadi tidak masak atau tidak matang sehingga tidak dapat diolah menjadi pulp. Oleh karena itu, penentuan AA charge dalam proses pemasakan sangat penting dan perlu diawasi agar dihasilkan yield (rendemen) pulp yang sesuai dengan yang diinginkan. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengambil judul

”Penentuan Nilai Alkali Aktif (AA Charge) dalam Proses Pemasakan Serpih Akasia di Unit Digester Fibre Line 2 PT Riau Andalan Pulp and Paper”.

1.2. Permasalahan

Dalam proses pemasakan chip di dalam digester, white liquor yang ditambahkan (AA

charge) harus dalam jumlah yang sesuai dan tepat sehingga menghasilkan proses

pemasakan yang efektif dan efisien sesuai dengan target kappa number yang telah ditetapkan. Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang diangkat dalam pembahasan ini adalah ”bagaimana cara penentuan AA charge serta pengaruhnya terhadap kualitas pulp yang dihasilkan”.

1.3. Tujuan

- Untuk menentukan AA charge yang digunakan dalam proses pemasakan

- Untuk mengetahui pengaruh AA charge terhadap kualitas pulp yang dihasilkan dari proses pemasakan

- Untuk mengetahui variabel-variabel yang berpengaruh dalam proses pemasakan yang menentukan AA Charge


(18)

1.4. Manfaat

- Dapat mengetahui AA charge yang dibutuhkan dalam proses pemasakan sehingga menghasilkan proses pemasakan yang efektif

- Dapat mengetahui pengaruh atau dampak yang terjadi apabila AA charge yang diberikan tidak sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan

- Dapat mengetahui variabel-variabel yang berpengaruh dalam proses pemasakan yang menentukan AA Charge sehingga penggunaan white liquor dapat sesuai dengan kebutuhan


(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bahan Baku Pulp

Bahan baku pulp dapat berasal dari kayu, bagasse, lalang, jerami, rumput-rumputan dan bahan-bahan yang mengandung selulosa dan hemiselulosa. Sedangkan bahan dasar yang terpenting dalam pembuatan pulp adalah selulosa. Kayu sebagai bahan baku pembuatan pulp dapat dibedakan atas dua jenis yakni kayu lunak (soft wood) dan kayu keras (hard wood).

Komponen kimia kayu dibedakan antara komponen-komponen makromolekul utama dinding sel selulosa, poliosa (hemiselulosa) dan lignin yang terdapat pada semua kayu dan komponen-komponen minor dengan berat molekul kecil (ekstraktif dan zat-zat mineral) yang biasanya lebih berkaitan dengan jenis kayu tertentu dalam jenis dan jumlahnya. Bahan organik lazim disebut ekstraktif. Sebagian bahan anorganik secara ringkas disebut abu. Perbandingan dan komposisi kimia lignin dan hemiselulosa berbeda pada kayu lunak dan kayu keras sedangkan selulosa merupakan komponen yang seragam pada semua kayu. (Fengel, 1995)

2.2 Komponen kimia kayu 2.2.1 Selulosa

Selulosa adalah bagian utama dari dinding sel kayu. Selulosa adalah suatu polimer karbohidrat yang kompleks yang memiliki persentase komposisi yang sama dengan


(20)

tepung (kanji) dimana nilai glukosa dapat ditentukan dengan hidrolisis menggunakan asam. Unit molekul penyusun selulosa adalah glukosa yang merupakan gula. Banyak molekul glukosa yang bergabung bersama-sama membentuk rantai selulosa. Rumus kimia selulosa adalah ( C6H10O5)n dimana n adalah jumlah unit pengulangan glukosa, n juga disebut derajat polimerisasi (DP).

Nilai dari n bervariasi tergantung sumber selulosa yang berbeda . Selama pengolahan pulp dalam digester, derajat polimerisasi akan menurun beberapa derajat. Ini penting untuk tidak turun terlalu banyak, karena rantai selulosa yang lebih pendek pada akhirnya menghasilkan pulp yang kurang bagus.

Selulosa dalam kayu mempunyai nilai derajat polimerisasi rata-rata 3500 dimana selulosa dalam pulp mempunyai rata-rata derajat polimerisasi dalam rentang 600-1500. Selulosa adalah polimer lurus tidak bercabang. Ini membuat kemungkinan untuk beberapa rantai selulosa digabungkan bersama dan membentuk struktur kristal yang teratur. Struktur kristal yang teratur ini juga disebut micele. Di antara micele ada beberapa rantai selulosa yang tidak teratur, ikatan ini disebut mikrofibril. Mikrofibril ini membentuk dinding serat kayu. (Mimms, 1993)

2.2.2 Hemiselulosa

Hemiselulosa juga polimer yang umumnya dibentuk oleh unit-unit gula. Berbeda dengan selulosa, dimana selulosa hanya terdiri dari polimer glukosa, hemiselulosa adalah polimer dengan 5 gula berbeda yaitu glukosa, manosa, galaktosa, xylosa, dan arabinosa.

Rantai hemiselulosa jauh lebih pendek dibandingkan rantai selulosa karena memiliki derajat polimerisasi lebih rendah. Sebuah molekul hemiselulosa mengandung sampai 300 unit gula. Berbeda dengan selulosa, hemiselulosa bukan


(21)

polimer rantai lurus tetapi polimer bercabang dimana tidak membentuk unsur kristal dan mikrofibril seperti selulosa. Dalam pengolahan pulp, hemiselulosa bereaksi lebih cepat dari pada selulosa. Dalam kayu, hemiselulosa kebanyakan ditemukan di sekeliling mikrofibril selulosa , dimana hemiselulosa membantu ikatan selulosa. Dalam pembuatan kertas, hemiselulosa berperan untuk membuat kertas lebih kuat. (Mimms, 1993)

2.2.3 Lignin

Lignin adalah partikel amorf yang bersama selulosa membentuk dinding sel kayu dari pohon . Lignin mempererat material diantara sel dan menembah kekuatan mekanis kayu. Lignin adalah polimer tiga dimensi yang sangat bercabang. Unit penyusun molekul lignin adalah fenilpropan.

Suatu molekul lignin memiliki derajat polimerisasi yang tinggi karena ukuran dan struktur tiga dimensinya. Lignin dalam kayu berfungsi sebagai lem atau perekat. Lamela tengah dimana kebanyakan terdiri dari lignin mengikat sel bersama-sama dan memberi bentuk pada kayu. Dinding sel juga mengandung lignin. Dalam dinding sel, lignin bersama hemiselulosa membentuk matriks dimana mikrofibril selulosa disusun. (Mimms, 1993)

2.2.4 Zat ekstraktif

Senyawa kimia yang merupakan komponen kayu dengan berat molekul rendah adalah Senyawa aromatik (fenolat) dimana senyawa yang paling penting dari kelompok ini adalah senyawa tanin yang dapat dibagi menjadi tanin yang dapat dihidrolisis dan


(22)

senyawa flobafen terkondensasi. Senyawa fenolat ini adalah misalnya stilbena, lignan dan flavonoid dan turunannya.

Terpena merupakan kelompok senyawa alami yang tersebar luas. Secara kimia, zat-zat ini dapat diturunkan dari isoprena. Dua satuan isoprena atau lebih membentuk mono-, seskui-, di-, tri-, tetra-, dan politerpena.

Asam alifatik. Asam lemak jenuh dan tak jenuh tinggi terdapat dalam kayu terutama dalam bentuk esternya dengan gliserol (lemak dan minyak) atau dengan alkohol tinggi (lilin). Asam asetat dihubungkan dengan hemiselulosa sebagai ester. Asam di- dan hidroksi karboksilat terutama terdapat sebagai garam kalsium.

Alkohol. Kebanyakan alkohol alifatik dalam kayu terdapat sebagai komponen ester, sedangkan sterol aromatik, termasuk dalam steroid, terutama terdapat sebagai glikosida.

Senyawa anorganik. Komponen mineral kayu dari daerah iklim sedang terutama adalah unsur-unsur kalium, kalsium dan magnesium. Unsur-unsur lain dalam kayu tropika, misalnya silikon, dapat merupakan komponen anorganik utama.

Komponen lain. Mono- dan disakarida terdapat dalam kayu hanya dalam jumlah yang sedikit tetapi mereka terdapat dalam persentase yang tinggi dalam kambium dan dalam kulit kayu dalam. Jumlah sedikit amina dan etena juga terdapat kayu. (Fengel, 1995)

Tabel 2.1 Perbandingan Komponen Kimia antara Jenis Hardwood dan Softwood Komponen Hardwood Softwood

1. Selulosa 2. Hemiselulosa 3. Lignin 4. Ekstraktif

45% ( + 2%) 30% ( + 2%) 20% ( + 4%) 5% ( + 3%)

42% ( + 2%) 27% ( + 2%) 28% ( + 3%) 3% ( + 2%)


(23)

Tujuan utama pemasakan adalah menghilangkan lignin dan senyawa lain sehingga makin tinggi selulosa semakin baik hasil pulp. Kadar lignin yang tinggi menyebabkan larutan pemasak yang digunakan tinggi. Pengaruh ekstraktif dapat menyebabkan masalah pitch (benjolan). Hemiselulosa harus dikurangi tetapi tidak boleh habis dalam pulp karena dapat membantu ikatan antar serat. (Anonymous, 2000)

2.3 Kayu Keras (hard wood) dan Kayu Lunak (softwood)

Perbedaan utama antara softwood dengan hardwood adalah panjang seratnya. Serat

hardwood sekitar 1/3-1/5 dari panjang serat softwood. Perbedaan lainnya adalah

jumlah tipe-tipe sel yang berbeda. Softwood memiliki fraksi serat yang lebih tinggi daripada hardwood. Sel parenkim dalam softwood maupun hardwood sangat kecil sehingga biasanya hampir semuanya terdegradasi dalam pengolahan pulp dan

bleaching. Jika tidak, sel parenkim menghasilkan ukuran chip yang fines. Sel

parenkim sangat menghasilkan fines yang lebih tinggi dalam hardwood. Sel parenkim juga sumber dari adanya masalah pitch. Umumnya, pulp dari softwood menghasilkan pulp yang lebih kuat daripada hardwood. Karena serat softwood lebih panjang.

Softwood biasanya memberikan yield (rendemen) yang lebih rendah daripada hardwood dalam kondisi pengolahan yang sama. Ini karena hemiselulosa pada softwood lebih mudah larut daripada hemiselulosa pada hardwood dan softwood

umumnya mengandung lebih banyak lignin daripada hardwood. Pulp dari kraft

hardwood yang diputihkan menghasilkan kertas dengan kualitas print yang bagus

yang membutuhkan formasi lembaran dan permukaan untuk printing yang bagus. Kekuatan yang tinggi tidak terlalu dibutuhkan. Serat hardwood memiliki permukaan yang halus karena ukurannya yang kecil.


(24)

Chip umumnya juga mengandung fraksi kecil dari kontaminan yang bukan

kayu seperti batu kecil, pasir dan kotoran, logam, plastik, dan karbon dari kayu yang terbakar yang tidak dapat dipisahkan dengan screening atau bleaching. Jika persentase kontaminan terlalu tinggi, dapat menyebabkan penipisan atau robeknya pada peralatan proses khususnya pada katup, pompa, dan alat pembersih. (Johan, 1999)

2.4 Metode Pembuatan Pulp 2.4.1 Secara mekanis

Metode secara mekanis yang paling tua dan masih digunakan adalah groundwood

process, dimana satu blok kayu sesuai panjangnya dipres dengan batu giling yang

lembab dan kasar yang berputar dengan kecepatan 1000 – 1200 m/menit. Serat dipisahkan dari kayu dan dicuci dari permukaan batu dengan air. Larutan encer dari serat dan potongan-potongan serat disaring untuk memisahkan pecahan dan partikel berukuran besar dan dipadatkan (dengan penghilangan air) untuk membentuk pulp untuk pembuatan kertas. Proses pada dasarnya sederhana tetapi efisiensi produksinya sama, pulp berkualitas bagus membutuhkan penanganan yang hati-hati mengenai kekasaran permukaan batu, tekanan pada batu dan suhu dan laju alir dari air pencuci.

Metode ini memiliki keuntungan mengubah 95% berat kering kayu menjadi pulp tetapi membutuhkan jumlah energi yang sangat besar untuk mengerjakannya. Pulp membentuk kertas tak tembus cahaya yang bagus untuk printing tapi lembarannya lemah dan dapat pudar dengan mudah jika terkena cahaya. (Smook, 2002)


(25)

2.4.2 Secara kimia

Dalam metode ini, chip dimasak dengan bahan kimia yang tepat dalam larutan berair dengan menaikkan suhu dan tekanan. Fokusnya adalah mendegradasi dan melarutkan lignin dan meninggalkan sebagian besar selulosa dan hemiselulosa dalam bentuk serat utuh. Ada tiga metode pembuatan pulp secara kimia yaitu proses Kraft (sulfat), proses sulfit (asam), dan proses soda.

a. Proses sulfat (Kraft)

Proses sulfat melibatkan pemasakan chip dengan larutan NaOH dan Na2S. Reaksi dengan alkali menyebabkan pemecahan lignin menjadi kelompok yang lebih kecil dimana garam natrium dapat larut dalam cairan pemasak. ”Kraft” dalam bahasa Jerman berarti ”kuat” dan proses sulfat menghasilkan kertas yang kuat tetapi pulp yang belum diputihkan berwarna coklat tua. Proses ini ditemukan lebih dari 100 tahun yang lalu sebagai modifikasi dari proses soda (yang memanfaatkan hanya NaOH sebagai bahan kimia aktif) ketika Carl S. Dahl memasukkan Na2SO4 ke dalam sistem pemasakan.

b. Proses Sulfit

Dalam proses ini, campuran asam sulfit (H2SO3) dan ion bisulfit (HSO3-) digunakan untuk menyerang dan melarutkan lignin. Sulfit bersatu dengan lignin membentuk garam dari asam lignosulfonik yang dapat larut dalam larutan pemasak dan struktur kimia dari lignin masih utuh. Bahan kimia dasar untuk bisulfit dapat berupa ion kalsium, magnesium, natrium atau ammonium. Pulp sulfit dapat dilakukan dalam rentang PH yang besar. Asam sulfit menunjukkan proses pulp dengan kelebihan


(26)

asam sulfur bebas (pH 1-2), dimana bisulfit memasak dalam keadaan sedikit asam. Pulp sulfit berwarna lebih cerah daripada pulp kraft dan dapat dibleach lebih mudah tetapi lembaran kertas lebih lemah daripada kertas Kraft. (Smook, 2002)

Tabel 2.2 Data Keuntungan pada Proses Kraft dan Proses Sulfit. Keuntungan Proses Kraft Keuntungan Proses Sulfit

1. menghasilkan pulp yang lebih kuat 2. menggunakan teknologi yang terbukti efisien untuk penggunaan kembali bahan kimia

3. dapat digunakan untuk berbagai spesies kayu

4. dapat mentolerir kulit kayu dalam proses

1. menghasilkan pulp yang lebih cerah sebelum dibleach

2. pulp lebih mudah dibleach untuk diputihkan

3. menghasilkan pulp yang dibleach dengan yield lebih tinggi

4. pulp lebih mudah dimurnikan

Sumber : (Handbook for Pulp and Paper Technologists, 2002)

c. Proses Soda

Dalam proses ini, kayu dimasak dengan NaOH. Cairan pemasak yang tersisa diuapkan dan dibakar menghasilkan Na2CO3 dan ketika ditambahkan dengan kapur menghasilkan NaOH. Disebut proses soda karena dihasilkan dari bahan kimia Na2CO3. Proses ini sekarang jarang digunakan. (Smook, 2002)

2.4.3 Secara Semikimia

Proses ini menggabungkan proses kimia dan proses mekanis. Intinya, chip sebagian dilunakkan atau dimasak dengan bahan kimia, pulp yang dihasilkan kemudian diperlakukan secara mekanis, kebanyakan dilakukan dalam disc refiners. Metode


(27)

semikimia mencakup rentang yield yang lebih tinggi diantara metode mekanis dan kimia, 55-85% kayu kering. (Smook, 2002)

Tabel 2.3 Perbandingan Metode Pembuatan Pulp

Mekanis Semikimia Kimia

- Pembuatan pulp

dengan tenaga mekanik

- Yield : 90-95%

- Kekuatan kurang

dan tidak stabil - Sulit diputihkan - Untuk kertas koran

- Pembuatan pulp

kombinasi bahan kimia dan tenaga mekanik

- Yield : 75% - Kekuatan sedang - Sulit diputihkan

- Untuk kertas

industri

- pembuatan pulp

dengan bahan kimia saja tanpa tenaga mekanik - Yield : 50%

- Kekuatan pulp

kuat dan stabil

- Untuk kertas

budaya

Sumber : (Handbook for Pulp and Paper Technologists, 2002)

2.5 Kraft Pulping

PT RAPP mengolah pulp dengan menggunakan proses Kraft (sulfat). Kraft berarti kuat dalam bahasa Jerman. Kraft pulping menghasilkan serat pulp yang kuat dalam proses pemasakan dengan menggunakan bahan kimia yang merupakan campuran dari NaOH dan Na2S (white liquor). Nama proses Kraft (sulfat) diperoleh dari bahan kimia yang dipulihkan yang digunakan untuk mengimbangi hilangnya NaOH, masing-masing natrium karbonat dan natrium sulfat. Tujuan dari pengolahan kraft (sulfat) pulp adalah untuk memisahkan serat dalam kayu secara kimia dan melarutkan sebagian besar lignin yang terdapat dalam dinding serat atau untuk memasak chip sesuai dengan target kappa number. Pemisahan serat terjadi dengan melarutkan lignin


(28)

yang terdapat di dalam lamela tengah yang berfungsi menyatukan antar serat. Bahan kimia dalam larutan pemasak juga melakukan penetrasi ke dalam dinding serat dan melarutkan lignin yang terdapat di situ.

Keuntungan proses kraft :

- semua spesies kayu dapat digunakan sebagai bahan baku - prosesnya relatif tidak sensitif terhadap kulit kayu - waktu pemasakan relatif singkat

- masalah pitch (benjolan) dalam pulp relatif kecil - pulp lebih kuat

- efisien dalam penggunaan kembali bahan kimia dan energi

- memiliki hasil samping seperti turpentine dan tall oil yang cukup bernilai Kekurangan-kekurangan utama dalam pembuatan pulp sulfat adalah persoalan bau, rendemen yang lebih rendah daripada pembuatan pulp sulfit (biasanya 45-50%), warna yang gelap dari pulp yang tidak dikelantang dan akhirnya biaya yang besar untuk pemasangan pabrik baru. (Fengel, 1995)

Bahan kimia pemasak yang digunakan adalah white liquor (lindi putih). White

liquor adalah larutan bersifat basa yang terdiri dari NaOH dan Na2S. Konsentrasi rata-rata adalah satu molar NaOH dan 0,2 molar Na2S. pH dari larutan tak berwarna ini berkisar antara 13,5 – 14. Senyawa kimia yang aktif dalam white liquor adalah NaOH dan Na2S yang dinyatakan sebagai alkali aktif. White liquor yang diproduksi oleh pabrik juga mengandung senyawa anorganik lainnya. (Kocurek, 1989)


(29)

Tabel 2.4 Komposisi dari White Liquor

Senyawa kimia Rentang konsentrasi (g/l sebagai Na2O) % Total NaOH

Na2S Na2CO3 Na2SO3 Na2SO4 Na2S2O3

81 – 120 30 – 40 11 – 44 2,0 – 6,9 4,4 – 18 4,0 – 8,9

53 21 15 3 5 3

Sumber : (Pulp and Paper Manufacture : Alkaline Pulping, 1989)

Dalam jumlah yang kecil juga terdapat NaCl, garam potasium, silika, dan kalsium. Bahan kimia yang aktif dalam reaksi pengolahan pulp hanya NaOH dan Na2S (alkali aktif). Komponen yang aktif dalam white liquor adalah ion hidroksil (OH-) dan ion hidrosulfida (SH-) yang terbentuk menurut reaksi berikut.

NaOH Na+ + OH

-Na2S + H2O NaOH + NaSH

Na2S 2Na+ + S

2-S2- + H2O SH- + OH

-Na2CO3 + H2O 2Na+ + CO32- + H2O

CO32- + H2O CO3- + OH

-OH- + lignin degreaded lignin

SH- + lignin degreaded lignin

Dengan adanya Na2S yang menghasilkan ion SH- akan meningkatkan penghilangan lignin dan menghasilkan pulp yang lebih kuat.

Bahan kimia yang lainnya tidak mempunyai pengaruh langsung dalam pengolahan pulp yang disebut bahan kimia yang tidak aktif. Na2SO4 terbentuk karena


(30)

reduksi yang tidak sempurna dalam tungku pada recovery boiler. Na2CO3 terbentuk karena proses kaustisasi yang tidak sempurna dan Na2S2O3 terbentuk karena sulfida yang teroksidasi. Meskipun bahan kimia tidak aktif ini tidak berperan dalam pengolahan pulp, tetapi jumlah yang tinggi dalam white liquor tidak diharapkan karena dapat menimbulkan kerak di digester dan khususnya di evaporator dan juga meningkatkan buangan dari tungku recovery boiler. (Mimms, 1993)

Selama reaksi pemasakan di digester 85-95% lignin, 50% hemiselulosa, dan 10% selulosa akan larut. Reaksi-reaksi yang terjadi selama proses pemasakan

1. Reaksi dengan lignin

Seperti dalam pembuatan pulp sulfit, depolimerisasi lignin tergantung pada pemecahan ikatan eter, sedangkan ikatan karbon dengan karbon pada dasarnya stabil. Adanya ion-ion hidrogen sulfida sangat membantu delignifikasi karena nukleofilisitas mereka yang berat bila dibandingkan dengan ion-ion hidroksil. Pemecahan ikatan-ikatan eter, didorong oleh ion-ion hidroksil dan hidrogen sulfida, juga menghasilkan kenaikan hidrofilisitas lignin karena pelepasan gugus-gugus hidroksil fenol. Lignin yang terdegradasi larut dalam lindi pemasak sebagai natrium fenolat.

Reaksi-reaksi utama struktur β-aril eter fenol selama pembuatan pulp kraft. Langkah pertama meliputi pembentukan zat antara metida kuinon (2). Dalam pembuatan pulp alkali zat antara (2) mengalami eliminasi proton atau formaldehida dan diubah menjadi struktur stiril aril eter (3a). Selama pembuatan pulp kraft zat antara (2) diserang oleh ion-ion nukleofil hidrogen sulfida dengan pembentukan struktur tiiran (4) dan pemecahan ikatan β-aril eter secara simultan. Zat antara (5) lebih lanjut bereaksi baik melalui dimer 1,4-ditiana atau langsung menjadi senyawa-senyawa tipe stirena (6) dan menjadi produk-produk polimer yang rumit (P). Selama


(31)

reaksi-reaksi tersebut kebanyakan ikatan organik belerang dieliminasi sebagai unsur belerang. (Sjostrom, 1995)

Gambar 2.1. Reaksi-reaksi utama struktur β-aril eter fenol selama pembuatan pulp alkali (soda) dan kraft. (Sjostrom, 1995)

Proses pelarutan lignin :

a. Initial delignification

Fase ini terjadi pada saat hot liquor masuk ke dalam digester pada temperatur <1400C. Jumlah lignin yang terlarut hanya sedikit sekitar 15-25% dari total lignin


(32)

b. Bulk delignification

Laju delignifikasi meningkat drastis ketika suhu pemasakan dinaikkan di atas 140oC (heating and cooking), 70-80% lignin larut. Fase ini sangat tergantung dari konsentrasi ion OH- dan ion SH- dan tergantung pada suhu. Fase ini akan terus berlangsung sampai kira-kira 90% dari semua lignin telah larut

C. Residual delignification

Yaitu melarutkan sisa-sisa lignin. Alkali yang habis menunjukkan bahwa lignin yang terkandung dalam serat sudah terlarut dalam liquor. (Mimms, 1993)

2. Reaksi dengan karbohidrat

Pembuatan pulp kraft mengakibatkan hilangnya karbohidrat yang cukup besar. Gugus-gugus asetil terhidrolisis pada permulaan pemasakan kraft (dari xilan kayu keras dan galaktoglukomanan kayu lunak). Dalam tahap awal pemasakan rantai polisakarida langsung lepas dari gugus-gugus ujung pereduksi yang ada (pelepasan primer). Sebagai hasil hidrolisis alkali terhadap ikatan-ikatan glikosida, yang terjadi pada suhu tinggi, gugus-gugus baru dibentuk, yang mengakibatkan terjadinya degradasi tambahan (pelepasan sekunder). Akibatnya rendemen selulosa selalu turun dalam pembuatan pulp kraft, meskipun lebih sedikit daripada hemiselulosa yang terdegradasi lebih besar disebabkan derajat polimerisasi mereka yang rendah dan keadaan yang amorf. Reaksi pelepasan akhirnya terputus karena persaingan ”reaksi penghentian” mengubah gugus ujung pereduksi menjadi gugus asam karboksilat yang stabil. Gambar 2.2 menunjukkan tata ulang suatu gugus ujung pereduksi menjadi zat antara 2-keto diikuti dengan eliminasi β-alkoksi. Unit monosakarida yang dipecah


(33)

ditata ulang menjadi struktur 2,3-diulosa, dari sini asam gluko isosakarinat (selulosa dan glukomanan) atau asam xiloisosakarinat (xilan) dibentuk melaui tata ruang asam benzilat. Struktur diulosa dapat juga dipecah dengan kebalikan aldol kondensasi menjadi gliseraldehida, yang kemudian diubah melalui metilglioksal menjadi asam laktat. Akhirnya, jalan yang mungkin untuk pembentukan asam-asam 3,4-dideosipentonat dan 2-dihidroksi butanoat berlangsung melalui eliminasi asam formiat dari zat antara 3-keto, diikuti dengan tata ulang asam benzilat. (Sjostrom, 1995)


(34)

3. Reaksi dengan ekstraktif

Selama pembuatan pulp kraft ester-ester asam lemak terhidrolisis hampir sempurna meskipun lilin jauh lebih stabil daripada lemak. Asam-asam lemak larut bersama-sama dengan asam-asam resin sebagai garam-garam natrium dalam lindi pemasak. Karena kayu keras tidak mengandung asam-asam resin , maka sabun tall biasanya ditambahkan pada pemasakan untuk mengurangi kandungan ekstraktif dalam pulp akhir sampai tingkat yang cukup rendah sehingga ”persoalan pengkerakan” dapat dicegah. Beberapa asam lemak tak jenuh dan asam-asam resin terisomerisasi sebagian pada kondisi-kondisi pembuatan pulp kraft. Asam-asam linoleat dan pinoleat yang merupakan tipe-tipe asam lemak dienoat dan trienoat, diubah menjadi isomer-isomernya masing-masing dengan ikatan-ikatan rangkap dua terkonjugasi pada kedudukan-kedudukan 9, 11 dan 10, 12 yang konfigurasinya terutama cis, trans. Dalam hal asam-asam resin umum, perubahan dasar adalah isomerisasi sebagian asam levopimarat menjadi asam abietat. Anggota-anggota lain dari asam-asam resin umum pada dasarnya stabil pada kondisi-kondisi pembuatan pulp kraft. (Sjostrom, 1995)

2.6 Digester Area (Bejana Pemasak)

Digester adalah suatu bejana tempat proses pemasakan atau reaksi delignifikasi dari

chip berlangsung. Dengan penambahan larutan pemasak kimia, panas, dan tekanan

maka lignin akan larut dan chip diubah menjadi pulp. Digester dirancang untuk tahan terhadap temperatur dan tekanan tinggi, mempunyai volume yang cukup untuk menampung chip dan liquor, memiliki konstruksi yang tahan terhadap korosi dan tidak terpengaruh lingkungan luar, serta mempunyai sistem sirkulasi tekanan dan


(35)

Ada dua jenis digester yang umum digunakan untuk cooking yaitu batch

digester (superbatch) dan continuous digester. Batch digester berbentuk selongsong

atau tabung, berukuran lebih kecil dan lebih pendek dengan volume 300-400 m3 namun berjumlah banyak (di PT RAPP ada 14 buah). Batch digester pada prinsipnya mempunyai sekuen-sekuen atau tahapan (schedulling) dalam proses pemasakan chip. Jadi dalam batch digester prosesnya dari chip filling hingga discharge dijalankan bertahap atau berurutan dalam masing-masing digester. Sedangkan continuous

digester berbentuk silinder yang tinggi dan besar mencapai 60-70 m dengan kapasitas

1000-2000 ton dan berjumlah hanya satu buah ditambah satu buah impregnation bin yang berukuran hampir sama dengan continuous digester. Dalam continuous digester proses berlangsung secara kontinyu (terus-menerus), artinya proses mulai dari chip

filling sampai discharge tidak dijalankan secara bertahap atau satu per satu karena di

dalam continuous digester terdapat zona-zona yang sudah terbagi mulai dari atas hingga ke bawah diantaranya zona impregnasi, heating, cooking, dan washing. Kedua jenis digester terbuat dari stainless steel atau carbon steel karena kraft liquor yang bersifat basa tidak terlalu menyebabkan korosi. Konstruksinya menggunakan plat-plat baja berukuran 2 inchi (51 mm) yang dilas dan bagian bawah digester terkadang diperkuat dengan plat yang lebih tebal. Plat-plat baja tidak selamanya tahan terhadap

kraft liquor. Kraft liquor juga menyebabkan korosi yang relatif kecil hingga 0,5-1

mm per tahunnya. Korosi dapat tejadi karena adanya NaCl, sulfida, karbonat, logam (kontaminan) dan zat ekstraktif. Oleh karena itu, plat baja perlu dipertebal secara bertahap agar tahan lama. (Kocurek, 1989)


(36)

2.7 Variabel – Variabel Proses Pemasakan Chip

1. Chip quality

Proses pemasakan tergantung pada kualitas chip yang akan dimasak. Chip

quality terdiri dari chip class, bulk density, moisture content, dan bark content.

a. Chip class

Chip class yaitu menentukan jumlah chip dalam setiap tahap screening

(penyaringan).Target dari setiap screen dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 2.5 Target Chip yang Diperoleh dari Screening

- Over large - Over thick - Accept - Pins - Fines

> 55 mm > 8 mm 9-55 mm 1,5-9 mm < 1,5 mm

Max 8%

89-90% 1,5-2,5 % Max 0,4%

Sumber : (Pulp Mill Overview, 2000)

Chip yang tidak lolos pada screen (saringan) 55 mm disebut over size (terlalu

besar). Chip yang lolos pada screen 55 mm dan tertahan pada screen 8 mm disebut

over thick (terlalu tebal). Chip yang lolos dari screen 8 mm dan tertahan di screen

9-55 mm disebut accept (chip yang diharapkan). Chip yang lolos dari screen 9-9-55 mm dan tertahan di screen 1,5-9 mm disebut pin. Chip yang lolos dari screen 1,5 mm disebut fines yang berbentuk abu atau serbuk kayu.

Chip class bertujuan untuk mengetahui jumlah chip yang diharapkan dan tidak

diharapkan. Jika pada proses cooking banyak terdapat chip yang over size dan over


(37)

adanya chip yang tidak matang karena terlalu besar atau tebal. Sebaliknya jika pada proses cooking banyak terdapat pin dan fines maka akan terjadi over cook, yaitu chip yang terlalu matang sehingga serat kayu terurai dan akan lolos pada tahap screening. Hal ini dapat menurunkan yield pulp. (Anonymous, 2002)

b. Bulk density

Pengukuran chip bulk density digunakan untuk mengetahui berat atau jumlah

chip yang masuk ke dalam digester. Pada kayu akasia bulk density sekitar 270-280

kg/m3. Berat chip ini akan digunakan untuk menghitung AA charge yang dibutuhkan pada proses cooking. (Anonymous, 2002)

Densitas adalah perbandingan massa dari suatu benda dengan volumenya. Densitas dalam unit gram per cm3 identik dengan berat spesifik. Berat spesifik kayu adalah perbandingan berat dari sampel kering terhadap berat dari volume air atau sama dengan volume sampel pada kandungan air tertentu. Berat spesifik dapat digunakan untuk mengukur atau sebagai indikator kualitas kayu. Kebanyakan kayu memiliki hubungan linier dengan berat spesifik. Kayu yang memiliki dua kali berat spesifik lebih besar akan dua kali lebih kuat, dua kali lebih menyusut, dan lainnya. (Wilcox, 1991)

c. Moisture content

Moisture content adalah banyaknya air yang terkandung di dalam chip.

Banyaknya kandungan air dapat dipengaruhi oleh lamanya kayu di wood yard. Jika kayu terkena hujan maka kandungan airnya banyak dan jika terjemur di bawah matahari maka moisturenya rendah. Bila kandungan moisture lebih tinggi, chip lebih


(38)

mudah menyerap liquor namun hal ini menjadikan liquor lebih encer karena kandungan airnya berlebih. Bila kayu terlalu kering atau moisture rendah maka chip susah untuk menyerap liquor sehingga membutuhkan waktu lama untuk penetrasi. (Kocurek, 1989)

d. Bark content and Other Contaminants

Bark content adalah banyaknya kulit kayu yang lolos dari tahap screening

dengan target sekitar 2% dari setiap screen stage untuk kualitas pulp untuk dikelantang (diputihkan). Bahan pohon-keseluruhan dan pohon-sepenuhnya yang meliputi tunggak, akar, cabang, ranting, dan tugi pada dasarnya telah dibuktikan menjadi bahan baku yang cocok untuk pembuatan pulp kraft. Tetapi keuntungan dari penambahan pasokan serat ini disertai berkurangnya rendemen pulp yang cukup rendah, sifat-sifat kekuatan yang jelek dan biaya yang tinggi untuk pembersihan bahan baku dan pemakaian bahan kimia yang tinggi. Kulit kayu tidak diharapkan pada proses cooking karena mengkonsumsi banyak bahan kimia pemasak dan menyebabkan bintik-bintik hitam pada pulp yang dihasilkan. (Fengel, 1995)

2. Total Active Alcali (TAA)

TAA adalah banyaknya jumlah alkali aktif (NaOH dan Na2S) yang terkandung dalam white liquor. Target TAA dalam white liquor sebanyak 100-105 g/l. TAA digunakan untuk menghitung banyaknya white liquor yang akan dimasukkan ke dalam digester. (Mimms, 1993)

Jumlah bahan kimia yang digunakan dalam pembuatan pulp alkalis dinyatakan sebagai banyaknya alkali yang efektif dan tergantung pada faktor-faktor seperti spesies kayu, kondisi pemasakan dan sisa lignin yang diperlukan dalam pulp.


(39)

Banyaknya alkali efektif berkisar antara 11% (didasarkan pada kayu kering tanur) untuk kualitas kasar tidak dikelantang dan 17% untuk kualitas kertas yang dapat dikelantang. (Fengel, 1995)

3. Sulphidity (Sulfiditas)

Sulfiditas (%S) adalah nisbah Na2S terhadap alkali aktif, keduanya dinyatakan sebagai Na2O. Sulfiditas yang digunakan bervariasi menurut perubahan banyaknya alkali, suhu pemasakan dan sejumlah faktor lain. Biasanya banyaknya sulfida untuk kayu keras lebih rendah (15-20%) daripada untuk kayu lunak (25-35%). Pengaruh sulfida dalam prose kraft menunjukkan bahwa laju delignifikasi lebih cepat yang mencapai delignifikasi 90% dalam waktu setengah dari waktu yang dibutuhkan pembuatan pulp soda. Bila sulfiditas rendah maka banyak fiber yang akan terdegradasi karena fungsi dari Sulfida adalah untuk mengikat fiber. Sulfiditas yang terlalu tinggi dapat merusak struktur fiber. (Fengel, 1995)

4. Residual alcali atau EA (Effective Alcali)

Residual alcali yaitu banyaknya alkali aktif yang terkandung dalam black liquor yang telah digunakan sebagai pemasak. Adapun target EA di impregnation tank

< 8 g/l dan di akumulator I sebanyak 18-22 g/l. Bila EA di impregnation tank dan di akumulator I lebih tinggi dari target artinya alkali yang tersisa dari pemasakan masih tinggi. Hal ini menunjukkan AA charge yang diisi ke dalam digester sebelumnya lebih banyak. Banyaknya EA di impregnation tank akan merugikan karena black liquor ini digunakan hanya sebagai penetrasi saja. Bila EA lebih rendah dari target artinya alkali yang tersisa sangat rendah, hal ini dapat menyebabkan reaksi pada penetrasi kurang


(40)

baik, sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk penetrasi pada fase hot liquor

filling.

Sedangkan tingginya EA di akumulator I menandakan banyaknya alkali aktif sehingga dapat menurunkan kappa number dan rendahnya EA di akumulator I menandakan alkali aktif kurang sehingga dapat menaikkan kappa number. Tinggi rendahnya EA di akumulator I dapat dijadikan sebagai acuan pada penambahan dan pengurangan AA charge untuk menghindari kelebihan dan kekurangan AA charge. (Anonymous, 2002)

5. Kappa number (Bilangan Kappa)

Banyaknya lignin yang terkandung dalam pulp dinyatakan dengan kappa

number. Kappa number yang dihasilkan dipengaruhi oleh proses yang terjadi selama cooking. Target kappa number yaitu 12-14. Kalau kappa number > 14 artinya lignin

yang terkandung dalam pulp masih banyak sehingga bahan kimia pemutih yang digunakan pada proses bleaching lebih banyak. Kalau kappa number < 12 artinya tidak hanya lignin yang terpisahkan dalam jumlah besar pada proses cooking tetapi juga terjadi degradasi selulosa dalam jumlah besar pula.

Semakin rendah kappa number setelah cooking maka degradasi selulosa semakin tinggi dan kekuatan pada fiber juga menurun. Selulosa yang terurai ini akan lolos pada tahap screening yang kemudian terikut dalam liquor yang akan digunakan pada cooking selanjutnya. Fiber dalam jumlah besar dapat mempersulit proses

screening pada liquor screen yaitu dapat menyumbat screen sehingga penyaringan

tidak maksimal dan dapat membentuk kerak pada tube evaporator pada proses evaporasi weak black liquor. Kekuatan serat berbanding terbalik dengan tingkat


(41)

delignifikasi. Semakin tinggi tingkat delignifikasi atau semakin rendah kappa number maka kekuatan serat akan menurun. (Mimms, 1993)

6. Total liquor charge

Total liquor charge yaitu banyaknya cairan pemasak yang diisi ke dalam

digester. Untuk impregnation liquor dan hot black liquor ditentukan berdasarkan volum saja, yaitu 300 m3 untuk setiap liquor. Volume digester 400 m3, liquor yang terisi dalam digester + 60% dari volume digester (240 m3) dan + 40% terisi chip. Pada fase impregnasi, liquor yang diisi sampai overflow dengan tujuan untuk menyempurnakan pengeluaran udara di dalam digester.

Pada hot black liquor filling, liquor yang diisi juga sampai overflow. Tujuannya adalah untuk menyempurnakan pengeluaran impregnation liquor atau seluruh warm liquor tergantikan oleh hot liquor, sehingga tidak membutuhkan waktu lama pada fase heating. Sedangkan untuk banyaknya hot white liquor ditentukan oleh banyaknya AA charge yang dibutuhkan. (Anonymous, 2002)

7. Liquor to wood ratio

Liquor to wood ratio adalah jumlah dari total larutan pemasak dibagi jumlah oven wood di dalam digester. Kandungan air juga dimasukkan dalam perhitungan total

larutan pemasak. Contoh : dalam batch digester diisi dengan

100 ton chip, kandungan air 50% maka kekeringan 50%, 70 ton white liquor, 80 ton

black liquor

Maka liquor to wood ratio :


(42)

- jumlah oven wood : 100 x 0,5 = 50 ton - liquor to wood ratio = 200 / 50 = 4,0

Semakin banyak chip yang terdapat di dalam digester maka semakin tinggi

liquor to wood ratio. Rentang normal adalah 3-6 atau dengan perbandingan 1 : 6.

Misalnya 1 ton chip harus diisi dengan 6 ton liquor. Ini agar liquor dapat melakukan penetrasi terhadap chip dengan baik sehingga diperoleh hasil pemasakan yang seragam. (Mimms, 1993)

8. Waktu dan Temperatur Pemasakan (H-factor)

H-factor adalah kecepatan reaksi penghilangan lignin dimana waktu dan

temperatur pemasakan dinyatakan dalam variabel tunggal. Semakin tinggi temperatur maka waktu yang dibutuhkan untuk delignifikasi semakin cepat, sebaliknya bila temperatur rendah maka waktu yang dibutuhkan untuk delignifikasi semakin lama. Reaksi delignifikasi sangat berpengaruh pada temperatur. Peningkatan sedikit temperatur akan memberi efek besar terhadap delignifikasi. Peningkatan secara drastis, misalnya peningkatan temperatur dari 160-1750C dapat menyebabkab

H-factor semakin tinggi. Pada temperatur yang tinggi, tidak hanya proses delignifikasi

yang terjadi namun penurunan selulosa juga terjadi sehingga dapat menurunkan yield dan kekuatan serat. (Mimms, 1993)

9. Hot Liquor Filling (HLF) Efficiency

Hot liquor filling efficiency merupakan gambaran terjadinya channeling

dengan melihat banyaknya impregnation liquor yang masuk ke WBL tank pada saat


(43)

oleh hot liquor dan temperatur di dalam digester antara 130-1400C sehingga tidak membutuhkan waktu lama pada fase heating.

Sebaliknya jika HLF efficiency < 80% maka tidak seluruh impregnation liquor tergantikan oleh hot liquor. Artinya masih banyak impregnation liquor yang tertinggal di digester dan temperatur di dalam digester < 1300C sehingga membutuhkan waktu yang lama pada fase heating. Rendahnya HLF efficiency juga menyebabkan tingginya

kappa number karena HWL sebagai pemasak tidak tinggal di digester sehingga alkali

aktif yang dibutuhkan tidak cukup. (Anonymous, 2002)

2.8 Proses Pemasakan pada Superbatch Digester

A. Chip Filling (pengisian chip)

Accept chip dari chip screening didistribusikan dengan conveyor kemudian ditampung dalam chip silo. Setelah itu didistribusikan dengan screw conveyor dan dimasukkan ke dalam digester melalui bagian atas (capping valve). FL 1 memiliki satu chip silo sedangkan FL 2 memiliki dua chip silo. Pada saat chip filling dibantu oleh Low Pressure steam (LP steam / steam bertekanan rendah) dengan tekanan 3-4 bar melalui steam packer untuk memadatkan dan meratakan chip sehingga pengisian

chip maksimal sampai sekitar 135-155 ton memenuhi digester. Selain itu udara di

dalam digester juga diusahakan untuk dihilangkan melalui screen sirkulasi dengan bantuan blower. Proses berlangsung kira-kira 25-32 menit.

B. Impregnation (impregnasi)

Pada bagian ini Warm black liquor dengan suhu sekitar 900C dari


(44)

sampai overflow (penuh/berlebihan) kira-kira dengan volume 300 m3 untuk FL 2 dan 280 m3 untuk FL 1. Volume digester 350 m3 untuk FL 1 dan 400 m3 untuk FL 2.

Liquor yang terisi ke dalam digester + 60% dari volume digester dan + 40% dari

volume digester terisi chip. Liquor diisi sampai overflow tujuannya adalah untuk menghilangkan udara (gas) dari dalam digester sehingga lebih padat dan merata, sebagai pemanasan awal pada chip yang akan memberikan impregnasi (penetrasi) yang bagus pada chip, dan juga untuk menetralkan asam-asam yang terdapat pada

chip. Suhu dalam digester setelah impregnasi mencapai 90-950C.

C. Hot Filling (pengisian cairan pemasak panas)

Pada bagian ini, pertama-tama hot black liquor (HBL) dengan suhu 150-1700C sebanyak kira-kira 300 m3 untuk FL 2 dan 235 m3 untuk FL 1 dari HBL accumulator

1 dipompakan ke dalam digester melalui bagian bawah sehingga perlahan-lahan warm black liquor dalam digester dapat tergantikan. Warm black liquor yang keluar disebut

dengan weak black liquor yang memiliki kandungan padatan kira-kira 14-17%. Setelah itu akan dialirkan ke weak black liquor tank untuk seterusnya dikirim ke

evaporator untuk diuapkan lalu dikirim ke recovery boiler. Tujuan hot black liquor filling adalah untuk menaikkan temperatur dan tekanan sehingga mendekati

temperatur pemasakan. Impregnasi dengan hot black liquor akan mempercepat delignifikasi, memperbaiki kekuatan pulp dan rendemen, menurunkan reject, memanfaatkan residual alcali yang masih terdapat dalam black liquor, dan menurunkan pemakaian bahan kimia pada proses pemutihan. Hot black liquor yang memiliki konsentrasi alkali lebih rendah terlebih dahulu ditambahkan sebelum hot


(45)

alkali pada white liquor sangat tinggi. Setelah penuh, lalu dipompakan hot white

liquor (HWL) dengan suhu sekitar 150-1700 C dari HWL accumulator ke dalam digester melalui bagian bawah sebanyak kira-kira 149 m3 untuk FL 2 dan 105 m3 untuk FL 1 sebagai larutan pemasak yang mengandung alkali untuk mendegradasi lignin dan juga berfungsi menaikkan temperatur pemasakan yang akan mendorong dan menggantikan hot black liquor. Selanjutnya sebagian hot black liquor yang memiliki suhu < 1000C akan dibawa ke weak black liquor tank sedangkan sebagian lagi yang memiliki suhu > 1000C dibawa ke HBL accumulator 2. Suhu dalam digester setelah hot filling mencapai 140-1550C.

D. Heating and Cooking (pemanasan dan pemasakan)

Tujuan dari heating ini adalah untuk menaikkan suhu sampai dicapai suhu pemasakan yaitu 160-1650C. Setelah hot filling, suhu dalam digester belum mencapai suhu pemasakan, masih sekitar 140-1550C. Oleh karena itu, perlu dilakukan heating dengan bantuan MP (Middle Pressure steam) atau steam bertekanan sedang dengan tekanan 13-14 bar sehingga dicapai suhu yang diperlukan untuk pemasakan dan tekanan pada`saat cooking adalah sekitar`7-11 bar. Setelah dicapai suhu untuk pemasakan, MP steam dihentikan selanjutnya hot white liquor dalam digester disirkulasikan dengan pompa sirkulasi agar proses pemasakan dapat merata ke seluruh bagian digester dan semua chip dapat matang. Hot white liquor disirkulasikan ke bagian atas digester sebesar + 60% dan ke bagian bawah sebesar + 40%. Suhu pada proses pemasakan tetap dijaga sampai selesai pemasakan dan memerlukan waktu


(46)

E. Displacement (penggantian)

Setelah waktu pemasakan terpenuhi atau setelah tercapainya H-faktor (suhu dan waktu pemasakan), pompa sirkulasi hot white liquor dihentikan kemudian dari

displacement tank dipompakan filtrat yang mengandung black liquor dari washing

yang dikumpulkan dalam displacement tank dengan suhu yang lebih dingin kira-kira 70-750C melalui bagian bawah digester. Filtrat yang lebih dingin ini sebanyak kira-kira 450 m3 dipompakan ke dalam digester melalui bagian bawah untuk menggantikan

hot white liquor yang bersuhu lebih tinggi sampai suhu di dalam digester turun sampai

sekitar 1000C. Tujuan dari displacement (penggantian) ini adalah untuk menghentikan reaksi pemasakan dan sebagai tahap pencucian awal pada chip. Hot white liquor dalam digester akan berubah menjadi black liquor setelah pemasakan karena mengalami reaksi dengan chip. Selanjutnya black liquor akan masuk ke HBL

accumulator 2. Setelah filtrat dari displacement tank memenuhi digester lalu akan

keluar sebagian menuju HBL akumulator 1 yang memiliki suhu 150-1700C sekitar 350 m3 dan sebagian sisanya ke HBL akumulator 2 yang memiliki suhu 120-1500C.

F. Discharge (Pengisian)

Chip yang telah masak dari dalam digester selanjutnya dipompakan ke dalam discharge tank untuk selanjutnya dikirim ke proses washing. Sebelumnya pada proses discharge, dilakukan proses dilusi (pengenceran) menggunakan filtrat dari displacement tank sehingga konsistensi pulp mencapai 4-6% dari 8-9% untuk

memudahkan pemompaan ke discharge tank. Selain itu, filtrat ini juga berfungsi untuk membersihkan digester dari sisa pulp.


(47)

Pada proses pemasakan di digester diharapkan pulp yang dihasilkan memiliki

kappa number 13-14. Keseluruhan proses pada digester/cooking dari chip filling

sampai discharge memakan waktu 240-260 menit (cooking cycle) yang berarti satu digester kira-kira dapat melakukan 5,5 kali cooking per hari dan keseluruhan digester (14 buah) dapat melakukan kira-kira 70 kali cooking per hari dengan catatan tidak ada waktu istirahat (spare time) untuk masing-masing digester. Untuk satu kali blow (pengeluaran) dapat menghasilkan + 40 ADT (air dry ton) pulp. (Anonymous, 2000)

Waktu yang dibutuhkan untuk masing-masing tahap pada digester kira-kira adalah :

Tabel 2.6 Waktu yang Dibutuhkan pada Tahap Cooking

Chip filling 26 menit

Impregnation 26 menit

Hot liquor filling 47 menit Heating and cooking 75 menit

Displacement 55 menit

Discharge 35 menit

Total 264 menit


(48)

BAB III

METODOLOGI PERCOBAAN

3.1Pengukuran chip moisture 3.1.1 Alat

- neraca analitik - wadah sampel - oven

3.1.2 Bahan

- sampel chip

3.1.3 Prosedur

Diambil sampel chip yang ada kemudian ditimbang sebanyak 200 gram sampel chip basah (air dry chip) pada neraca analitik. Setelah itu, dimasukkan sampel

chip tersebut ke dalam oven kemudian dikeringkan pada temperatur 105oC selama 20-24 jam. Setelah 20-20-24 jam kemudian sampel chip dikeluarkan dari oven kemudian ditimbang di neraca analitik dan diperoleh sampel chip kering (oven dry chip).

3.1.4 Perhitungan

- chip moisture =

chip dry air

chip dry oven -chip dry air

x 100 %


(49)

3.2Pengukuran Total Active Alcali (TAA) 3.2.1 Alat

- Erlenmeyer 250 ml - Pipet volume 2 ml - Bola karet

- Pompa volume - Buret 25 ml - Statif dan klem

3.2.2 Bahan

- Sampel white liquor - BaCl2 10%

- Indikator PP - HCl 0,5 N

- Formaldehida 40%

3.2.3 Prosedur

Ke dalam wadah sampel, dipipet 2 ml sampel dengan pipet volume dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml. Lalu ditambahkan 25 ml BaCl2 10% kemudian ditambahkan indikator PP. Setelah itu, dititrasi dengan HCl 0,5 N sehingga terjadi perubahan warna dari pink menjadi bening (colorless) dan dicatat volume HCl 0,5 N yang terpakai yang dinyatakan sebagai A. Sampel tersebut kemudian ditambahkan 5 ml formaldehida 40% lalu dititrasi kembali dengan HCl 0,5 N


(50)

sehingga terjadi perubahan warna dari pink menjadi bening (colorless) dan dicatat volume HCl 0,5 N yang terpakai yang dinyatakan sebagai B.

3.2.4 Perhitungan

- NaOH (g/l) =

sampel volume

0,5 x 31 x B) (2A−

- Na2S (g/l) =

sampel volume

0,5 x 31 x 2 x A) (B−


(51)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Data dan Hasil Percobaan

Tabel 4.1 Data Chip untuk Akasia (22-31 Agustus 2009)

Date Chip Chip

Number of

Chip to

Digester Chip per

Oven dry Miosture Dryness cooks per day cook chip

(%) (%) (tons) (tons) (tons)

22 36.20 63.80 67 9192.1 137.2

87.53

23 39.70 60.30 74 10025.9 135.5

81.71

24 41.10 58.90 73 9952.2 136.3

80.28

25 42.90 57.10 70 9886.7 141.2

80.63

26 43.10 56.90 73 10193.1 139.6

79.43

27 40.50 59.50 73 10594.3 145.1

86.33

28 44.00 56.00 75 10611.8 141.5

79.24

29 41.60 58.40 73 10237.1 140.2

81.88

30 41.90 58.10 75 10447.4 139.3

80.93

31 44.20 55.80 73 10234.0 140.2

78.23 Maximum 44.20 63.80 75 10611.8 145.1

87.53 Minimum 36.20 55.80 67 9192.1 135.5 78.23 Average 41.52 58.48 72.6 10137.46 139.61 81.62

Sumber : (Fibreline Department PT RAPP) 4.1.1 Perhitungan untuk Chip

Contoh perhitungan untuk data pada tanggal 28 Agustus 2009

- Chip per cook =

cooks of number day per digester to chip


(52)

=

75 tons 10611,8

= 141,5 tons

- Chip dryness = 100 % - chip moisture (%) = 100 % - 44 %

= 56 %

- Oven (Bone) dry chip = chip dryness (%) x chip per cook (tons) = 56 % x 141,5 tons

= 79,24 tons

4.1.2 Perhitungan untuk Alkali Aktif

Tabel 4.2 Data Alkali Aktif pada White Liquor untuk Akasia (22-31 Agustus 2009)

Date NaOH Na2S TAA

(g/l) (g/l) (g/l)

22 70.03 29.98 100.01

23 71.97 30.75 102.72

24 70.3 30.75 101.05

25 70.77 28.7 99.47

26 70.72 29.98 100.7

27 72.37 31 103.37

28 71.25 31 102.25

29 72.47 31 103.47

30 71.13 31 102.13

31 72.45 31.13 103.58

Maximum 72.47 31.13 103.58

Minimum 70.03 28.7 99.47

Average 71.346 30.529 101.875 Sumber : (Fibreline Department PT RAPP)

Contoh perhitungan untuk data pada tanggal 28 Agustus 2009 Diketahui :

Volume pertama titrasi larutan HCl (A) : 11,1935 mL Volume pertama titrasi larutan HCl (B) : 13,1935 mL


(53)

Normalitas HCl : 0,5 N

Volume sampel : 2 ml

Berat ekivalen Na2O : ½ x BM Na2O = ½ x 62 = 31 Ditanya : jumlah NaOH dan Na2S ?

Jawab :

NaOH = sampel volume Na2O ekivalen berat x HCl normalitas x B) (2A− = 2 31 x 0,5 x 13,1935) (2x11,1935− = 2 15,5 x 9,1935 = 2 49925 , 142

= 71,2496 g/l

Na2S =

sampel volume Na2O ekivalen berat x HCl normalitas x A) 2(B− = 2 31 x 0,5 x 11,1935) 2(13,1935− = 2 31 x 0,5 x 2 x 2 = 2 62

= 31 g/l

TAA = NaOH + Na2S = 71,25 + 31 = 102,25 g/l


(54)

4.1.3 Perhitungan untuk AA Charge

Tabel 4.3 Data AA Charge untuk Akasia (22-31 Agustus 2009)

Date AA Charge WL to Kappa

as Na2O digester Pre O2

(%)

8/22/2009 18.0 157.71 14.1 8/23/2009 19.1 151.93 13.4 8/24/2009 18.4 145.86 13.5 8/25/2009 18.7 151.53 12.9 8/26/2009 19.2 151.38 12.8 8/27/2009 17.6 147.17 12.7 8/28/2009 19.0 147.12 13.7 8/29/2009 18.5 146.27 13.7 8/30/2009 18.1 143.35 14.3 8/31/2009 19.0 143.76 14.3 Maximum 19.2 157.71

14.30 Minimum 17.6 143.35

12.70 Average 18.56 148.61

13.54 Sumber : (Fibreline Department PT RAPP)

Contoh perhitungan untuk data pada tanggal 28 Agustus 2009

- AA charge =

(g/l) Liquor TAA White (tons) chip dry oven x (%) charge AA = g/l 102,25 tons 79,24 x % 19,0 x 10

= 147,24303 m3 = 147.243,03 liter

Perhitungan AA charge secara keseluruhan dari tanggal 22 – 31 Agustus 2009

- AA charge =

(g/l) Liquor TAA White (tons) chip dry oven x (%) charge AA = g/l 101,875 tons 81,62 x % 18,56 x 10

= 148,69764 m3 = 148.697,64 liter


(55)

Dengan perincian :

- TAA dalam white liquor = TAA x WL

= 1000 m3 148,69764 x g/l 101,876

= 15,149 ton - NaOH dalam white liquor = NaOH x WL

= 1000 m3 148,69764 x g/l 71,346

= 10,609 ton - Na2 dalam white liquor = Na2S x WL

= 1000 m3 148,69764 x g/l 30,529

= 4,540 ton

- Konsumsi white liquor pada masing-masing digester untuk satu kali proses pemasakan adalah 148,69764 m3

4.2 Pembahasan

Tabel 4.4 Data AA charge untuk Akasia (22-31 Agustus 2009)

Date AA Kappa

Charge Pre O2

8/22/2009 157.71 14.1 8/23/2009 151.93 13.4 8/24/2009 145.86 13.5 8/25/2009 151.53 12.9 8/26/2009 151.38 12.8 8/27/2009 147.17 12.7 8/28/2009 147.12 13.7 8/29/2009 146.27 13.7 8/30/2009 143.35 14.3 8/31/2009 143.76 14.3 Sumber : (Fibreline Department PT RAPP)


(56)

AA charge yaitu banyaknya alkali aktif (NaOH dan Na2S) sebagai Na2O yang dibutuhkan untuk satu tahap cooking. AA charge digunakan untuk menentukan banyaknya jumlah white liquor yang diisi ke dalam digester berdasarkan jumlah chip yang masuk ke dalam digester. Bila AA charge tinggi maka akan terjadi penurunan

kappa number dan dapat menyebabkan degradasi selulosa dan penurunan fiber strength karena alkali aktif tidak selektif lagi melarutkan lignin tapi juga akan

menyerang selulosa yang harus dipertahankan sehingga menyebabkan chip akan menjadi hancur dan tidak terbentuk pulp . Selain itu, pemakaian white liquor yang berlebihan juga akan menaikkan biaya produksi dan menghasilkan banyak limbah. Sebaliknya bila AA charge kurang, dapat terjadi peningkatan kappa number sehingga membutuhkan bahan pemutih yang lebih banyak pada tahap bleaching karena akan menyebabkan chip yang dimasak menjadi tidak masak atau tidak matang sehingga tidak dapat diolah menjadi pulp.

135 140 145 150 155 160 8/22 /2009 8/23 /2009 8/24 /2009 8/25 /2009 8/26 /2009 8/27 /2009 8/28 /2009 8/29 /2009 8/30 /2009 8/31 /2009 Kappa number W L ( m 3 ) 11.5 12 12.5 13 13.5 14 14.5

WL to digester Kappa Pre O2

Gambar 4.1 Hubungan Kappa Number terhadap AA Charge

Dari gambar 5.1. dapat dilihat bahwa pada umumnya jika white liquor yang dimasukkan ke dalam digester lebih besar maka kappa number akan semakin kecil dan sebaliknya jika white liquor yang dimasukkan lebih kecil maka kappa number


(57)

akan semakin besar. Namun terkadang jumlah white liquor yang dimasukkan lebih banyak tidak lantas membuat kappa number turun. Ini disebabkan oleh variabel proses yang lainnya. AA charge yang sesuai target kappa number 13-14 adalah 145,86-151,93 m3 yang terjadi pada tanggal 23,24,25,28,dan 29 Agustus 2009.


(58)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

- Dengan demikian diperoleh rata-rata AA charge pada masing-masing digester untuk satu kali proses pemasakan pada tanggal 22-31 Agustus 2009 untuk akasia adalah 148,69764 m3, dengan range AA charge yang sesuai target

kappa number 13-14 adalah 145,86-151,93 m3.

- Pengaruh AA Charge pada proses pemasakan terhadap kualitas pulp yang dihasilkan adalah bila AA charge tinggi maka akan terjadi penurunan kappa

number dan dapat menyebabkan degradasi selulosa dan penurunan fiber strength. Selain itu, pemakaian white liquor yang berlebihan juga akan

menaikkan biaya produksi dan menghasilkan banyak limbah. Sebaliknya bila

AA charge kurang, dapat terjadi peningkatan kappa number sehingga

membutuhkan bahan pemutih yang lebih banyak pada tahap bleaching.

- Faktor-faktor atau variabel-variabel pada proses pemasakan yang mempengaruhi kappa number dan memenuhi target kappa number 13-14 pada tanggal 22-31 Agustus 2009 adalah :


(59)

Tabel 5.1 Variabel-Variabel pada Proses Pemasakan

Variabel Range

- Chip accept - Chip bulk density - Bark content - AA charge - AA charge (%)

- Total Active Alcali (TAA) - Sulphidity

- Residual alkali (EA) - Total liquor charge - Liquor to wood ratio - H- factor

- HLF efficiency

87 - 91% 275 - 278 kg/m3 < 1%

147 – 151 m3 18-19% 100 – 103 g/l 29 – 30% 19 – 20 g/l 303 – 305 m3 1 : 6

620 - 650 > 80 %

5.2 Saran

- Untuk mendapatkan kappa number sesuai target maka variabel-variabel proses khususnya pada proses pemasakan harus dikontrol dengan baik yaitu dengan

range yang dapat dilihat pada bagian kesimpulan

- Jika kappa number yang diperoleh lebih tinggi dari target maka kappa number harus diturunkan dengan cara menaikkan waktu pemasakan dengan meningkatkan nilai H-faktor atau menaikkan persentase AA charge

- Jika kappa number yang diperoleh lebih rendah dari target maka kappa

number harus dinaikkan dengan cara menurunkan persentase AA charge

terlebih dahulu dan jika diperlukan menurunkan nilai H-faktor (menurunkan waktu pemasakan)


(60)

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 2000. Introduction to Pulp and Paper Technology. Indonesia: PT RAPP. Anonymous. 2000. Pulp Mill Overview. Indonesia : PT RAPP.

Anonymous. 2000. Digester Plant. Indonesia : PT RAPP.

Fengel, D and Gerd Wegener. 1995. Kayu : Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-Reaksi. Cetakan Pertama. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Johan, Gullichsen and Carl John Fgelholm. 1999. Paper Making Science and

Technology : Chemical Pulping. Helsinki: TAAP Press.

Kocurek, M.J. 1989. Pulp and Paper Manufacture : Alkaline Pulping. Fifth Volume . Third Edition. Atlanta: TAPPI Press.

Mimms, Agneta. 1993. Kraft Pulping: A Compilation of Notes. Third Printing. Atlanta: TAPPI Press.

Smook, G.A. 2002. Handbook for Pulp and Paper Technologists. Third Edition. . Canada: Angus Wilde Publications Inc.

Sjostrom, E. 1995. Kimia Kayu, Dasar-Dasar dan Penggunaan. Edisi Kedua. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Wilcox, W.W. 1991. Wood as a Building Material. New York: John Wiley and Sons Inc.


(1)

Dengan perincian :

- TAA dalam white liquor = TAA x WL = 1000 m3 148,69764 x g/l 101,876 = 15,149 ton

- NaOH dalam white liquor = NaOH x WL = 1000 m3 148,69764 x g/l 71,346

= 10,609 ton - Na2 dalam white liquor = Na2S x WL

= 1000 m3 148,69764 x g/l 30,529

= 4,540 ton

- Konsumsi white liquor pada masing-masing digester untuk satu kali proses pemasakan adalah 148,69764 m3

4.2 Pembahasan

Tabel 4.4 Data AA charge untuk Akasia (22-31 Agustus 2009)

Date AA Kappa

Charge Pre O2

8/22/2009 157.71 14.1 8/23/2009 151.93 13.4 8/24/2009 145.86 13.5 8/25/2009 151.53 12.9 8/26/2009 151.38 12.8 8/27/2009 147.17 12.7 8/28/2009 147.12 13.7 8/29/2009 146.27 13.7 8/30/2009 143.35 14.3 8/31/2009 143.76 14.3 Sumber : (Fibreline Department PT RAPP)


(2)

AA charge yaitu banyaknya alkali aktif (NaOH dan Na2S) sebagai Na2O yang

dibutuhkan untuk satu tahap cooking. AA charge digunakan untuk menentukan banyaknya jumlah white liquor yang diisi ke dalam digester berdasarkan jumlah chip yang masuk ke dalam digester. Bila AA charge tinggi maka akan terjadi penurunan

kappa number dan dapat menyebabkan degradasi selulosa dan penurunan fiber strength karena alkali aktif tidak selektif lagi melarutkan lignin tapi juga akan

menyerang selulosa yang harus dipertahankan sehingga menyebabkan chip akan menjadi hancur dan tidak terbentuk pulp . Selain itu, pemakaian white liquor yang berlebihan juga akan menaikkan biaya produksi dan menghasilkan banyak limbah. Sebaliknya bila AA charge kurang, dapat terjadi peningkatan kappa number sehingga membutuhkan bahan pemutih yang lebih banyak pada tahap bleaching karena akan menyebabkan chip yang dimasak menjadi tidak masak atau tidak matang sehingga tidak dapat diolah menjadi pulp.

135 140 145 150 155 160 8/22 /2009 8/23 /2009 8/24 /2009 8/25 /2009 8/26 /2009 8/27 /2009 8/28 /2009 8/29 /2009 8/30 /2009 8/31 /2009 Kappa number W L ( m 3 ) 11.5 12 12.5 13 13.5 14 14.5

WL to digester Kappa Pre O2

Gambar 4.1 Hubungan Kappa Number terhadap AA Charge

Dari gambar 5.1. dapat dilihat bahwa pada umumnya jika white liquor yang dimasukkan ke dalam digester lebih besar maka kappa number akan semakin kecil


(3)

akan semakin besar. Namun terkadang jumlah white liquor yang dimasukkan lebih banyak tidak lantas membuat kappa number turun. Ini disebabkan oleh variabel proses yang lainnya. AA charge yang sesuai target kappa number 13-14 adalah 145,86-151,93 m3 yang terjadi pada tanggal 23,24,25,28,dan 29 Agustus 2009.


(4)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

- Dengan demikian diperoleh rata-rata AA charge pada masing-masing digester untuk satu kali proses pemasakan pada tanggal 22-31 Agustus 2009 untuk akasia adalah 148,69764 m3, dengan range AA charge yang sesuai target

kappa number 13-14 adalah 145,86-151,93 m3.

- Pengaruh AA Charge pada proses pemasakan terhadap kualitas pulp yang dihasilkan adalah bila AA charge tinggi maka akan terjadi penurunan kappa

number dan dapat menyebabkan degradasi selulosa dan penurunan fiber strength. Selain itu, pemakaian white liquor yang berlebihan juga akan

menaikkan biaya produksi dan menghasilkan banyak limbah. Sebaliknya bila

AA charge kurang, dapat terjadi peningkatan kappa number sehingga

membutuhkan bahan pemutih yang lebih banyak pada tahap bleaching.

- Faktor-faktor atau variabel-variabel pada proses pemasakan yang mempengaruhi kappa number dan memenuhi target kappa number 13-14 pada tanggal 22-31 Agustus 2009 adalah :


(5)

Tabel 5.1 Variabel-Variabel pada Proses Pemasakan

Variabel Range

- Chip accept - Chip bulk density - Bark content - AA charge - AA charge (%)

- Total Active Alcali (TAA) - Sulphidity

- Residual alkali (EA) - Total liquor charge - Liquor to wood ratio - H- factor

- HLF efficiency

87 - 91% 275 - 278 kg/m3 < 1%

147 – 151 m3 18-19% 100 – 103 g/l 29 – 30% 19 – 20 g/l 303 – 305 m3 1 : 6

620 - 650 > 80 %

5.2 Saran

- Untuk mendapatkan kappa number sesuai target maka variabel-variabel proses khususnya pada proses pemasakan harus dikontrol dengan baik yaitu dengan

range yang dapat dilihat pada bagian kesimpulan

- Jika kappa number yang diperoleh lebih tinggi dari target maka kappa number harus diturunkan dengan cara menaikkan waktu pemasakan dengan meningkatkan nilai H-faktor atau menaikkan persentase AA charge

- Jika kappa number yang diperoleh lebih rendah dari target maka kappa

number harus dinaikkan dengan cara menurunkan persentase AA charge

terlebih dahulu dan jika diperlukan menurunkan nilai H-faktor (menurunkan waktu pemasakan)


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 2000. Introduction to Pulp and Paper Technology. Indonesia: PT RAPP. Anonymous. 2000. Pulp Mill Overview. Indonesia : PT RAPP.

Anonymous. 2000. Digester Plant. Indonesia : PT RAPP.

Fengel, D and Gerd Wegener. 1995. Kayu : Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-Reaksi. Cetakan Pertama. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Johan, Gullichsen and Carl John Fgelholm. 1999. Paper Making Science and

Technology : Chemical Pulping. Helsinki: TAAP Press.

Kocurek, M.J. 1989. Pulp and Paper Manufacture : Alkaline Pulping. Fifth Volume . Third Edition. Atlanta: TAPPI Press.

Mimms, Agneta. 1993. Kraft Pulping: A Compilation of Notes. Third Printing. Atlanta: TAPPI Press.

Smook, G.A. 2002. Handbook for Pulp and Paper Technologists. Third Edition. . Canada: Angus Wilde Publications Inc.

Sjostrom, E. 1995. Kimia Kayu, Dasar-Dasar dan Penggunaan. Edisi Kedua. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Wilcox, W.W. 1991. Wood as a Building Material. New York: John Wiley and Sons Inc.