dicantumkan unsur kesengajaan terhadap perbuatan meniru atau memalsu, secara tersirat unsur kesengajaan terhadap kedua perbuatan materil itu
sesungguhnya ada. Kesengajaan terhadap kedua perbuatan itu adalah berupa unsur yang terselubung.
Oleh karena unsur kesengajaan yang ditujukan pada perbuatan meniru atau memalsu tidak dicantumkan dalam rumusan, kesengajaan yang ditujukan
pada perbuatan itu tidak perlu dibuktikan. Cukup membuktikan bahwa telah terjadinya perbuatan, maka dianggap unsur kesengajaan itu telah terbukti pula.
Berdasarkan pada pandangan ini, hal yang tidak mungkin terjadi pada pemalsuan uang yang dilakukan oleh sebab atau kelalaian culpa.
36
Barangsiapa dengan sengaja mengedarkan mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank sebagai mata uang atau uang kertas asli dan
tidak dipalsu, padahal ditiru atau dipalsu olehnya sendiri, atau waktu diterima diketahuinya bahwa tidak asli atau dipalsu, ataupun barangsiapa menyimpan
Perbuatan mengedarkan atau menyuruh mengedarkan uang palsu tidak perlu telah terwujud. Perihal mengedarkan atau menyuruh mengedarkan adalah
berupa apa yang dituju oleh maksud pelaku belaka, berupa unsur subjektif. Selesainya kejahatan ditentukan oleh perbuatan meniru atau memalsu, bukan
pada telah terjadinya perbuatan mengedarkan atau menyuruh mengedarkan. Uang palsu yang telah diedarkan tidak termasuk kejahatan Pasal 244 KUHP
tetapi masuk dalam kejahatan Pasal 245 KUHP.
B. Mengedarkan Uang Palsu Pasal 245 KUHP
Pasal 245 KUHP merumuskan sebagai berikut:
36
Ibid, hlm.28.
Universitas Sumatera Utara
atau memasukkan ke Indonesia mata uang dan uang kertas yang demikian, dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai uang
asli dan tidak dipalsu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 lima belas tahun.
Dalam rumusan Pasal 245 tersebut di atas, ada 4 empat bentuk kejahatan mengedarkan uang palsu, yaitu:
37
1. Melarang orang yang dengan sengaja mengedarkan mata uang atau uang
kertas negara atau uang kertas bank palsu sebagai mata uang atau uang kertas asli dan tidak dipalsu, uang palsu mana ditiru atau dipalsu olehnya
sendiri. Unsur-unsur objektif:
1 Perbuatan: mengedarkan sebagai asli dan tidak dipalsu;
2 Objeknya:
a mata uang tidak asli atau dipalsu;
b uang kertas negara tidak asli atau dipalsu;
c uang kertas bank tidak asli atau dipalsu;
3 Tidak asli atau palsunya uang itu karena ditiru atau dipalsu olehnya
sendiri; Unsur subjektif:
4 Dengan sengaja.
2. Melarang orang yang waktu menerima mata uang atau uang kertas negara
atau uang kertas bank diketahuinya sebagai palsu, dengan sengaja mengedarkannya sebagai mata uang atau uang kertas asli dan tidak dipalsu.
37
Ibid., hal 29-33.
Universitas Sumatera Utara
Unsur-unsur objektif: 1
Perbuatan: mengedarkan sebagai asli dan tidak dipalsu; 2
Objeknya: a mata uang tidak asli atau dipalsu; b
uang kertas negara tidak asli atau dipalsu; c uang kertas bank tidak asli atau dipalsu;
3 Yang tidak asli atau palsunya itu diketahuinya pada saat diterimanya; Unsur subjektif:
4 Dengan sengaja. 3.
Melarang orang yang dengan sengaja menyimpan atau memasukkan ke Indonesia mata uang atau uang kertas negara atau uang kertas bank palsu,
yang mana uang palsu itu ditiru atau dipalsu oleh dirinya sendiri dengan maksud untuk mengedakan atau menyuruh mengedarkan sebagai uang asli
dan tidak dipalsu. Unsur-unsur objektif:
1 Perbuatan: a menyimpan;
b memasukkan ke Indonesia; 2
Objeknya: a mata uang tidak asli atau dipalsu; b uang kertas negara tidak asli atau dipalsu;
c uang kertas bank tidak asli atau dipalsu; 3 Yang ditiru atau dipalsu olehnya sendiri;
Unsur subjektif: 4 Dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan
sebagai asli dan tidak dipalsu.
Universitas Sumatera Utara
4. Melarang orang yang dengan sengaja menyimpan atau memasukkan ke
Indonesia mata uang atau uang kertas negara atau uang kertas bank yang pada waktu diterimanya diketahuinya sebagai uang palsu, dengan maksud
untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan seperti uang asli dan tidak dipalsu.
Unsur-unsur objektif: 1
Perbuatan: a menyimpan; b memasukkan ke Indonesia;
2 Objeknya: a mata uang tidak asli atau dipalsu;
b uang kertas negara palsu tidak asli atau dipalsu; c uang kertas bank tidak asli atau dipalsu;
3 Yang tidak asli atau palsunya itu diketahuinya pada saat menerimanya. Unsur subjektif:
4 Dengan maksud untuk mengedarkannya atau menyuruh mengedarkan sebagai uang asli dan tidak dipalsu.
Bentuk pertama dan kedua memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya terletak pada unsur-unsur perbuatan, objeknya dan unsur
kesengajaan. Perbedaannya, pada bentuk pertama ialah tidak aslinya atau palsunya uang itu disebabkan perbuatan meniru atau memalsu yang dilakukan
olehnya sendiri. Berarti dalam bentuk pertama, sebelum perbuatan menegdarkan dilakukan, terlebih dahulu pelaku melakukan perbuatan meniru atau memalsu,
perbuatan mana sama dengan perbuatan dalam Pasal 244. Sedangkan pada
Universitas Sumatera Utara
bentuk kedua, tidak aslinya atau palsunya uang itu bukan disebabkan oleh perbuatan pelaku, tetapi oleh orang lain selain pelaku. Orang lain ini tidak perlu
diketahuinya, melainkan pada waktu menerima uang itu ia mengetahui bahwa uang itu tidak asli atau dipalsu. Pengetahuannya itu harus ditujukan pada tidak
asli atau palsunya uang dan bukan pada si pembuat palsunya uang.
38
Sedangkan pada bentuk keempat, pelaku tidak melakukan perbuatan meniru atau memalsu terhadap uang itu, yang melakukannya adalah orang lain,
dan orang lain itu tidak perlu diketahui olehnya, melainkan pelaku pada waktu menerima uang itu mengetahui bahwa uang itu tidak asli atau dipalsu.
Pengetahuan perihal tidak aslinya atau palsunya uang itu harus ada sebelum ia melakukan perbuatan menyimpan atau memasukkan ke Indonesia. Berarti dalam
hal ini ada 2 dua sikap batin, yaitu ia mengetahui tentang tidak aslinya atau Kemudian bentuk ketiga dan bentuk keempat juga memiliki persamaan
dan perbedaan. Persamaannya terletak pada unsur-unsur perbuatan, objeknya dan unsur subjektif. Perbedaannya sama dengan bentuk pertama, bahwa pada
bentuk ketiga tidak asli atau palsunya uang itu disebabkan oleh perbuatan meniru atau memalsu yang dilakukannya sendiri. Berarti sebelum pelaku
melakukan perbuatan menyimpan atau memasukkan ke Indonesia, ia terlebih dahulu melakukan perbuatan meniru atau memalsu terhadap uang itu. Pada
bentuk ketiga selain harus terbukti perbuatan menyimpan atau memasukkan ke Indonesia, juga harus terbukti adanya perbuatan meniru atau memalsu yang
dilakukan oleh orang yang sama.
38
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
palsunya uang yang diterimanya, dan yang kedua sikap sengaja yang ditujukan pada perbuatan mengedarkan atau menyuruh mengedarkan uang palsu sebagai
asli dan tidak dipalsu. Jika terjadi kejahatan bentuk pertama atau bentuk ketiga dengan sendirinya
telah juga terjadi kejahatan Pasal 244. oleh karena bentuk pertama dan bentuk ketiga kejahatan Pasal 245 yang melarang perbuatan mengedarkan, menyimpan
dan memasukkan ke Indonesia uang palsu tidak asli atau dipalsu hasil dari perbuatan meniru atau memalsu dalam kejahatan Pasal 244 yang artinya telah
terjadi 2 dua kejahatan sekaligus, dipandang dari sudut ini tampaknya tidak adil menetapkan ancaman pidana yang sama maksimum 15 tahun penjara bagi
Pasal 244 dan Pasal 245. Bukankah kejahatan Pasal 245 lebih berat dari kejahatan Pasal 244, karena di dalam kejahatan Pasal 245 ada kejahatan Pasal
244, dan tidak ada kejahatan Pasal 245 di dalam kejahatan Pasal 244.
Delik tersebut di atas yang mencantumkan syarat “dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan” dapat melemahkan penuntutan
dalam hal uang palsu dimaksud belum diedarkan. Seyogianya dengan terpenuhinya unsur meniru atau memalsu uang, maka delik tersebut telah
memenuhi unsur pemalsuan uang. Sedangkan unsur mengedarkan seyogianya merupakan unsur yang memberatkan.
Dalam melihat kasus pemalsuan uang rupiah, hendaknya tidak terfokus pada timbulnya kerugian setelah uang palsu itu diedarkan, akan tetapi haruslah
dilihat pula dari sisi lain, yaitu bahwa uang rupiah merupakan salah satu simbol
Universitas Sumatera Utara
kenegaraan, sehingga tindakan pemalsuan uang rupiah dapat pula dianggap sebagai kejahatan terhadap simbol negara. Oleh karena itu, meskipun belum
diedarkannya uang palsu dimaksud seyogianya tidak menjadi alasan yang meringankan hukuman karena terdakwa belum menikmati hasil kejahatannya.
Seharusnya, yang menjadi fokus adalah dengan telah selesainya perbuatan memalsukan uang rupiah, maka kejahatan tersebut telah selesai dilakukan.
Berkaitan dengan hal itu, maka perbuatan mengedarkan uang palsu seharusnya adalah delik yang berdiri sendiri terpisah dari perbuatan memalsukan uang,
sehingga apabila pelaku pemalsuan uang juga sekaligus mengedarkan uang palsu tersebut, maka hukumannya harus lebih berat.
Melihat dampak dari kejahatan terhadap mata uang, maka dalam Undang Undang tentang Mata Uang kelak, perlu dicantumkan ancaman pidana dan
denda minimal agar tujuan pemidanaan lebih efektif yaitu untuk menimbulkan efek jera dapat dicapai.
39
Namun, saat ini Pasal 244 dan 245 KUHP tersebut sebenarnya sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan di Indonesia, di mana perlu disesuaikan
bahwa uang kertas yang dikeluarkan oleh Pemerintah sudah tidak ada lagi. Hanya ada uang kertas yang dikeluarkan oleh Bank dalam hal ini Bank
Indonesia yang sah sebagai alat pembayaran di Negara kita sebagaimana kewenangan Bank Indonesia sebagai bank sentral untuk mengeluarkan dan
39
Direktorat Hukum Bank Indonesia, “Perlunya Paradigma Baru dalam Pemberantasan Pemalsuan Uang dan Pengedaran Uang Palsu”, makalah dalam Seminar Kejahatan terhadap Mata
Uang dan Upaya Penegakan Hukumnya di Wilayah Sumatera Utara pada tanggal 14 Januari 2006 di Biro Rektor USU Medan, hal. 6-7.
Universitas Sumatera Utara
mengedarkan uang kertas rupiah yang berlaku saat ini dalam Pasal 2 Undang- undang No.3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia.
Dari berbagai kasus kejahatan pemalsuan mata uang rupiah, hukuman pidana yang dijatuhkan kepada para pelaku berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku saat ini relatif rendah, padahal patut untuk dipahami bahwa kejahatan pemalsuan uang nampaknya sebagian besar merupakan:
40
a Kejahatan yang sifatnya tidak berdiri sendiri namun merupakan
kejahatan yang terorganisir dengan baik, bahkan sangat mungkin merupakan kejahatan yang bersifat transnasional;
b Pelaku kejahatan pemalsuan mata uang rupiah pada umumnya
dilakukan oleh para residivis. Hal ini kemungkinan dikarenakan hukuman yang dijatuhkan bagi para pelaku sangat ringan;
c Pemalsuan terhadap mata uang memerlukan suatu proses yang cukup
rumit, oleh karena itu biasanya pelaku kejahatan pemalsuan uang tersebut dilakukan oleh orang-orang yang memiliki keahlian khusus.
Oleh karena itu, kejahatan pemalsuan mata uang rupiah perlu diberi hukuman yang berat setimpal dengan mempertimbangkan lamanya jangka
waktu beredarnya suatu emisi uang rupiah. Hukuman bagi pemalsu uang dikaitkan dengan jangka waktu edar suatu emisi uang agar para pemalsu
tersebut setelah menjalani hukuman tersebut tidak dapat melakukan pemalsuan lagi terhadap uang rupiah dengan emisi yang sama. Selain itu, pidana penjara
40
Ibid, hal. 7-8.
Universitas Sumatera Utara
saja tidak cukup untuk menimbulkan efek jera, oleh karena itu terhadap para pemalsu uang perlu ditambahkan hukuman lain yaitu berupa penggantian
kerugian materil yang diakibatkan oleh kejahatan tersebut.
41
Mengenai perlunya penanganan hukum yang tegas bagi para pelaku kejahatan pemalsuan uang termasuk para pengedarnya, dalam sambutan beliau
di Karawang, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara tegas menginstruksikan kepada kepolisian dan penegak hukum lainnya untuk
memproses tindak pidana pemalsuan uang dan pengedarannya dengan sungguh- sungguh dalam menjatuhkan sanksi yang tegas dan tepat. Karen presidin
memiliki perhatian yang sangat besar terhadap kejahatan yang sangat merugikan perekonomian negara. Selengkapnya dapat dikutp pernyataan presiden sebagai
berikut: “Oleh karena itulah, merespons terjadinya kejahatan pembuatan uang palsu, saya minta kepada pihak kepolisian dan penegak hukum lainnya untuk
memprosesnya dengan sungguh-sungguh, berikan sanksi yang tegas dan tepat, karena sangat, sangat merugikan perekonomian negara kita”.
42
41
Ibid, hal. 8.
42
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
BAB III PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN PEMALSUAN UANG
KERTAS RUPIAH DAN PENGEDARANNYA DI KOTAMADYA MEDAN
Penegakan Hukum
Pelaksanaan penegakan hukum sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-undang No.4 Tahun 2004 yang menggantikan Undang-undang No.14
Tahun 1970 jo. Undang-undang No.35 Tahun 1999, perumusannya sebagai berikut:
Pasal 1 Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia.
Pembatasan pengertian kekuasaan kehakiman dalam arti sempit sebagaimana disebutkan di atas, sepatutnya dikaji ulang, karena pada hakikatnya
“kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara dalam menegakkan hukum”. Jadi, kekuasaan kehakiman identik dengan “kekuasaan untuk menegakkan
hukum” atau “kekuasaan penegakan hukum”. Hakikat pengertian yang demikian sebenarnya terungkap juga dalam perumusan di atas, yaitu pada kalimat terakhir
yang berbunyi: “guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.” Hanya sayangnya
kalimat itu tidak dirumuskan sebagai hakikatpengertian dari kekuasaan kehakiman, tetapi dirumuskan sebagai “tujuan” dari diselenggarakannya
peradilan. Sekiranya “tujuan” itulah yang menjadi hakikat dari kekuasaan
63
Universitas Sumatera Utara
kehakiman, maka pengertian “kekuasaan kehakiman” seyogianya dirumuskan sebagai “kekuasaan negara untuk menegakkan hukum dan keadilan demi
terselenggaranya Negara hukum Republik Indonesia”.
43
Dengan demikian “kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana dilaksanakan oleh 4 empat badanlembaga seperti dikemukakan di atas.
Keempat badan-badan itulah yang dapat disebut sebagai “badan-badan penegak hukum”. Dengan kata lain, kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana,
bukan hany diwujudkan dalam “kekuasaan mengadili”, tetapi diwujudkandiimplementasikan dalam 4 empat tahap kekuasaan di atas.
Keempat tahap kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana itulah yang
merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana, yang biasa dikenal
Dengan pengertian kekuasaan kehakiman dalam arti luas sebagaimaan disebutkan di atas, maka kekuasaan kehakiman tidak hanya berarti “kekuasaan
mengadili” kekuasaan menegakkan hukum di badan-badan pengadilan, tetapi mencakup menegakkan hukum dalam seluruh proses penegakan hukum. Ini
berarti, dalam perspektif sistem peradilan pidana SPP, “kekuasaan kehakiman kekuasaan penegakan hukum di bidang hukum pidana” mencakup seluruh
kekuasaankewenangan dalam menegakkan hukum pidana, yaitu “kekuasaan penyidikan” oleh badanlembaga penyidik, “kekuasaan penuntutan” oleh
badanlembaga penuntut umum, “kekuasaan mengadili” oleh badan pengadilan, dan kekuasaan pelaksana putusanpidana” oleh badan lembaga
eksekusi
43
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Jakarta, 2007, ha. 33-34.
Universitas Sumatera Utara
dengan istilah “sistem peradilan pidana yang terpadu” “integrated criminal justice system”. Dengan kata lain, SPP sistem peradilan pidana pada
hakikatnya merupakan “sistem penegakan hukum pidana” atau “sistem kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana”.
Masalah penegakan hukum, baik secara “in abstracto” maupun secara “in concreto”, merupakan masalah aktual yang akhir-akhir ini mendapat sorotan
tajam dari masyarakat.
44
Ruang lingkup dari istilah “penegak hukum” adalah luas sekali, oleh karena mencakup mereka yang secara langsung dan secara tidak langsung
berkecimpung di bidang penegakan hukum. Di dalam tulisan ini, yang Kualitas penegakan hukum yang dituntut masyarakat
saat ini bukan sekedar kualitas formal, tetapi kualitas penegakan hukum secara materiilsubstansial seperti terungkap dalam beberapa isu sentral yang dituntut
masyarakat, antara lain: 1 adanya perlindungan HAM hak asasi manusia; 2 tegaknya nilai kebenaran, kejujuran, keadilan, dan kepercayaan antarsesama; 3
tidak adanya penyalahgunaan kekuasaanwewenang; 4 bersih dari praktek “favoritisme” pilih kasih, KKN, dan mafia peradilan; 5 terwujudnya
kekuasaan kehakimanpenegakan hukum yang merdeka, dan tegaknya kode etikkode profesi; 6 adanya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan
berwibawa.
Penegak Hukum
44
Ibid., hal 18.
Universitas Sumatera Utara
dimaksudkan dengan penegak hukum akan dibatasi pada kalangan yang secara langsung berkecimpung dalam bidang penegakan hukum yang tidak hanya
mencakup law enforcement, akan tetapi juga peace maintance. Kiranya sudah dapat diduga bahwa kalangan tersebut mencakup mereka yang bertugas di
bidang-bidang kepolisian, kejaksaan, kehakiman, dan pemasyarakatan.
45
Secara sederhana sistem peradilan pidana Criminal Justice System dapat dipahami sebagai suatu usaha untuk memahami serta menjawab pertanyaan apa
tugas Hukum Pidana di masyarakat dan bukan sekedar bagaimana Hukum Pidana di dalam undang-undang dan bagaimana Hakim menerapkannya.
Secara sosiologis, maka setiap penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan status dan peranan role. Kedudukan sosial merupakan posisi
tertentu di dalam struktur kemasyarakatan, yang makin tinggi, sedang-sedang saja atau rendah. Kedudukan tersebut merupakan suatu wadah yang isinya
adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu. Dalam bidang hukum pidana yang mencakup tugas kemasyarakatan maka mengenai kedudukan ini
disebutkan sebagai tugas-tugas dan kewenangan-kewenangan. Tugas dan kewenangan tersebut merupakan peranan atau role. Oleh karena itu, seseorang
yang mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya dinamakan pemegang peranan role occupant.
Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
46
45
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 19.
46
Petrus I. Panjaitan dan Pandapotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hal. 54.
Universitas Sumatera Utara
Di Indonesia, sistem peradilan pidana setelah berlakunya Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mempunyai empat komponen
empat sub sistem, yaitu: Sub sistem Kepolisian yang secara administratif di bawah Departemen Pertahanan dan Keamanan, Kejaksaan di bawah Kejaksaan
Agung, Pengadilan di bawah Mahkamah Agung dan Lembaga Pemasyarakatan di bawah departemen Kehakiman. Tujuan sistem peradilan pidana dapat
dikategorikan sebagai berikut:
47
1. Tujuan jangka pendek, apabila yang hendak dicapai resosialisasi dan
rehabilitasi pelaku tindak pidana; 2.
Dikategorisasikan sebagai tujuan jangka menengah, apabila yang hendak dituju lebih luas yakni pengendalian dan pencegahan kejahatan dalam
konteks politik kriminal Criminal Policy; 3.
Tujuan jangka panjang, apabila yang hendak dicapai adalah kesejahteraan masyarakat Social Welfare dalam konteks politik kriminal Criminal
Policy. Sedangkan menurut Mardjono Reksodiputro, sistem ini dianggap berhasil,
apabila terdapat laporan dan keluhan masyarakat bahwa mereka telah menjadi korban dari suatu kejahatan dapat diselesaikan dengan diajukannya pelaku ke
muka sidang pengadilan dan menerima pidana. Dengan demikian cakupan tugas sistem ini sangat luas, yaitu:
48
a. Mencegah masyarakat menjadi korban;
47
Ibid.
48
Ibid., hal. 55.
Universitas Sumatera Utara
b. Menyelesaikan kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa
keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah telah dipidana; c.
Berusaha agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak lagi mengulangi perbuatannya.
Mekanisme Sistem Peradilan Pidana dalam Kejahatan Uang Palsu
Sistem ini mulai bekerja pada saat adanya laporan kejahatan uang palsu dari masyarakat, setelah itu Polisi melakukan penangkapan, seleksi, penyelidikan,
penyidikan dan membuat Berita Acara Pemeriksaan. Para pelaku yang bersalah diteruskan kepada Kejaksaan, sedangkan yang tidak bersalah dikembalikan
kepada masyarakat. Kemudian Jaksa mengadakan seleksi lagi terhadap pelaku dan mengadakan penuntutan serta membuat surat dakwaan.
Para pelaku yang tidak bersalah dibebaskan, sedang yang bersalah diajukan ke Pengadilan. Dalam hal ini pun Pengadilan juga melakukan hal yang
sama, artinya yang tidak terbukti bersalah dibebaskan, sedang yang terbukti melakukan kejahatan uang palsu diserahkan ke Lembaga Pemasyarakatan
sebagai instansi terakhir yang melakukan pembinaan terhadap si terhukum. Di dalam sistem peradilan pidana terdapat adanya suatu proses Input-
Process-Output. Adapun yang dimaksud dengan Dikaitkan dengan kejahatan uang palsu, Input adalah laporan tentang terjadinya kejahatan uang palsu; dan
yang dimaksud dengan Process adalah sebagai tindakan yang diambil pihak Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Sedangkan
Universitas Sumatera Utara
yang dimaksud dengan Output adalah hasil-hasil yang diperoleh, yaitu tujuan dari penegakan hukum pidana.
49
Sistem peradilan pidana diimplementasikan oleh seluruh kekuasaan dalam menegakkan hukum pidana, yaitu kekuasaan penyidikan, kekuasaan penuntutan,
kekuasaan mengadili, dan kekuasaan eksekusi pidana. Keseluruhan proses Sebagai suatu sistem, maka di dalam mekanismenya mensyaratkan adanya
kerja sama diantara sub sistem. Apabila salah satu sub sistem itu tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka hal itu akan mengganggu sistem ini secara
keseluruhan. Oleh karena itu, keempat sub sistem itu memiliki hubungan yang erat satu dengan yang lainnya dimana tujuannya adalah satu, tetapi tugasnya
berbeda-beda.
Komponen Sistem Peradilan Pidana
Berdasarkan telaahan terhadap isi ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP ditemukan empat komponen yang mempengaruhi
sistem peradilan pidana, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan pemasyarakatan. Keempat komponen aparatur hukum ini memiliki hubungan
yang amat erat satu sama lain, bahkan saling menentukan. Dibandingkan dengan bidang-bidang lain peraturan penegakan hukum
dalam bidang pidana ini lebih lengkap, yang terdapat dalam ketentuan hukum acara pidana, undang-undang kekuasaan kehakiman, undang-undang kepolisian,
undang-undang kejaksaan, dan peraturan tentang penjara.
49
Ibid., hal 56.
Universitas Sumatera Utara
penegakan hukum pidana ini dapat dimasukkan dalam pengertian kekuasaan kehakiman dalam bidang hukum pidana. Karena itu sistem peradilan pidana itu
pada hakekatnya merupakan sistem penegakan hukum pidana atau sistem kekuasaan kehakiman dalam bidang hukum pidana.
Meskipun komponen sistem peradilan pidana ini merupakan satu kesatuan dalam penegakan hukum, namun masing-masing bekerja dalam batas tugas dan
kewenangannya. Artinya satu komponen tidak harus mencampuri tugas dan kewenangan aparat penegak hukum lainnya. Hubungan komponen-komponen
tersebut hanya sebatas komunikasi, dan koordinasi agar tercipta harmonisasi dalam pelaksanaan tugas, dan tidak terjadi konflik kewenangan di antara aparat
penegak hukum. Dengan demikian akn terwujud proses peradilan yang jujur dan adil.
Dalam sejarah penegakan hukum pidana khususnya di Indonesia tercatat adanya pertemuan-pertemuan di antara unsur-unsur penegak hukum kepolisian,
kejaksaan, dan pengadilan yang biasanya dilaksanakan di Cibogo sehingga dikenal dengan sebutan “pertemuan Cibogo”. Selain itu dikenal pula forum
Mahkamah Agung, Kehakiman, Kejaksaan, dan Kepolisian Mahkejapol. Pertemuan maupun forum ini sangat tepat dijadikan sebagai wadah
pertemuan komunikasi dan koordinasi sekaligus evaluasi antara aparat penegak hukum pidana dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Pengawasan dan
pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dan kewenangan tetap berada dalam kekuasaan penegak hukum secara vertikal. Oleh karenanya, atasan sebagai
Universitas Sumatera Utara
pimpinan dari masing-masing unsur harus mengamati semua kegiatan yang diperankan oleh aparat bawahannya secara intensif.
Berikut adalah mekanisme penegakan hukum yang dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan yang diuraikan
secara umum sebagai berikut.
A. Kepolisian