Pengadilan Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Pemalsuan Uang Kertas Rupiah Dan Pengedarannya Di Kotamadya Medan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

oleh Deputi Gubernur BI, S Budi Rochadi dalam sambutan acara Diskusi Panel Arah Dan Strategi Kebijakan Penanggulangan Pemalsuan Rupiah di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Kamis 16042009. Menurutnya, ketidakseragaman ini terlihat dalam hal penuntutan oleh pihak kejaksaan maupun pemidanaan yang dijatuhkan oleh para hakim. Di mana dalam beberapa kasus tindak pidana uang palsu, terdapat tuntutan pidana dan pemidanaan yang mencapai lebih dari 5 tahun kepada para pelaku, sebagaimana diterapkan dalam wilayah kerja kejaksaan dan pengadilan negeri Cibinong. Namun pada penanganan kasus lain yang sejenis, para pelaku tindak pidana pemalsuan uang Rupiah hanya dituntut dan dijatuhi pidana penjara beberapa bulan saja. Diharapkan agar tercipta suatu penyamaan persepsi dan pandangan antara BI dengan aparat penegak hukum serta masyarakat luas mengenai bahaya dan risiko penyebaran uang rupiah palsu. Sehingga keputusan proses pidana uang palsu yang diberikan kepada pelaku tindak pidana uang Rupiah palsu benar-benar berperan optimal dan menimbulkan efek jera bagi para pelaku.

C. Pengadilan

Di negara-negara yang menerapkan rule of law, termasuk Indonesia, kebebasan Kehakiman merupakan hal yang pokok yang ditentukan di dalam undang-undang. Artinya kekuasaan Kehakiman tidak boleh dipengaruhi oleh kekuasaan lain. Apabila terdapat kerja sama antara pengadilan dengan instansi Universitas Sumatera Utara yang lain dalam pelaksanaan sistem Peradilan Pidana, hal ini akan mengalami titik rawan, karena dalam suatu Negara Hukum dimana Kekuasaan Kehakiman tidak boleh dipengaruhi lembaga lain. Hakim harus menjaga jarak sehingga keputusan mereka tidak saja bersifat tidak memihak secara pribadi tetapi juga tidak memihak di mata masyarakat. Namun, dalam kenyatannya Hakim dalam memutuskan suatu perkara sering menimbulkan Disparitas Hukuman Disparity of sentencingi. Yang dimaksud dengan Disparitas Hukuman Disparity of sentencing dalam hal ini adalah penerapan pidana yang sama Same offence atau terhadap tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat diperbandingkan offences comparable seriousness tanpa dasar pembenaran yang jelas. Di dalam Hukum Pidana positif Indonesia, Hakim mempunyai kebebasan yang sangat luas untuk memilih jenis strafsort yang dikehendaki, sehubungan dengan sistem alternatif di dalam pengancaman pidana di dalam undang-undang. Di samping itu Hakim juga mempunyai kebebasan untuk memilih beratnya pidana strafmaat yang akan dijatuhkan, sebab yang ditentukan oleh KUHP hanyalah maksimumnya. Faktor disparitas itu dapat bersumber dari hukum maupin pada diri Hakim, yang bersifat internal dan eksternal. Kedua sifat ini sulit dipisahkan karena sudah terpadu sebagai atribut seseorang yang disebut sebagai Human EquationI atau Personality of Judge, dalam arti luas yang menyangkut pengaruh latar belakang sosial, pendidikan, agama, pengalaman, perangai dan perilaku sosial. Universitas Sumatera Utara Pemidanaan terhadap Kejahatan Pemalsuan Mata Uang Sebagaimana terjadi di antara para ahli filsafat, di antara ahli hukum pidana pun diskusi mengenai pemidanaan masih terus berlangsung. Disadari bahwa terdapat gap antara apa yang disebut pemidanaan dan apa yang digunakan sekarang sebagai metode untuk memaksakan kepatuhan. Perubahan dalam senimen publik, kemajuan dalam ilmu pengetahuan, adanya kesatuan polisi penuh, semuanya mendorong adaptasi metode-metode pemidanaan. Sebagian berpandangan, pemidanaan adalah sebuah persoalan yang murni hukum purely legal matter. J. D. Mabbot, misalnya, memandang seseorang “penjahat” sebagai seseorang yang telah melanggar hukum bukan orang jahat. Seorang yang “tidak bersalah” adalah seseorang yang belum melanggar suatu hukum, meskipun ia bisa jadi merupakan orang jahat dan telah melanggar hukum-hukum lain. Sebagai seorang retributivis, Mabbot memandang, pemidanaan merupakan akibat wajar yang disebabkan bukan dari hukum, tetapi dari pelanggaran hukum. Artinya, jahat atau tidak jahat, bila seseorang telah bersalah melanggar hukum maka orang itu harus dipidana. Beberapa di antara para ahli hukum pidana menyadari betul persoalan pemidanaan bukanlah sekedar masalah tentang proses sederhana memidana seseorang dengan menjebloskannya ke penjara. Refleksi yang paling kecil saja, dengan mudah menunjukkan bahwa memidana sesungguhnya mencakup pola pencabutan peniadaan, termasuk proses pengadilan itu sendiri. Oleh karena itu, kesepakatan tentang apa pemidanaan itu merupakan hal yang penting sebelum menempatkan perintah putusan ke berbagai aplikasi paksaan publik pada Universitas Sumatera Utara individu, entah atas nama kesehatan, pendidikan, ataupun kesejahteraan umum. 63 Ketiga, penguasa yang berwenang berhak untuk menjatuhkan pemidanaan hanya pada subyek yang telah terbukti secara sengaja melanggar hukukm atau peraturan yang berlaku dalam masyarakatnya. Unsur ketiga ini memang mengundang pertanyaan tentang “hukuman kolektif”, misalnya embargo Sedangkan Ted Honderich berpendapat, pemidanaan harus memuat 3 tiga unsur berikut: Pertama, pemidanaan harus mengandung semacam kehilangan deprivation atau kesengsaraan distress yang biasanya secara wajar dirumuskan sebagai sasaran dari tindakan pemidanaan. Unsur pertama pada dasarnya merupakan kerugian atau kejahatan yang diderita oleh subyek yang menjadi korban akibat dari tindakan sadar subyek lain. Secara aktual, tindakan subyek lain dianggap salah bukan saja karena mengakibatkan penderitaan bagi orang lain, tetapi juga karena melawan hukum yang berlaku secara sah. Kedua, suatu pemidanaan harus datang dari institusi yang berwenang secara hukum. Jadi, pemidanaan tidak merupakan konsekuensi alamiah suatu tindakan, melainkan sebagai hasil keputusan pelaku-pelaku personal suatu lembaga yang berkuasa. Karenanya, pemidanaan bukan merupakan tindakan balas dendam dari korban terhadap pelanggar hukum yang mengakibatkn penderitaan. 63 Teguh Prasetyo, Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hlm.73-74. Universitas Sumatera Utara ekonomi ynag dirasakan juga oleh orang-orang yang tidak bersalah. Meskipun demikian, secara umum pemidanaan dapat dirumuskan terbuka sebagai denda dirumuskan terbuka sebagai denda penalty yang diberikan oleh instansi yang berwenang pada pelanggar hukum atau peraturan. Perkembangan pemikiran tentang pemidnaan juga diikuti oleh kemajuan pemikiran mengeni tujuan pemidanaan. Sejarah pemidanaan selama seratus tahun terakhir memberi pengaruh kuat pada harapan-harapan yang membaik ini, bagi orang yang dihukum bahkan lebih mengesankan ketika itu dipandang bersama dengan kekerasan yang meningkat yang telah diciptakan oleh perang modern hampir dalam setiap kehidupan. Hakim dan Kewajibannya Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 28 ditegaskan: Hakim wajib menggali , mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, yakni dalam masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta berada dalam mas apergolakan dan peradilan. Hakim merupakan perumus dan penggali nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan masyarakat. Untuk itu ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan, dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian, hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Universitas Sumatera Utara Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa. Sifat-sifat yang baik maupun yang jahat dari terdakwa wajib diperhatikan hakim dalam mempertimbangkan pidana yang akan dijatuhkan. Keadaan-keadaan pribadi seseorang perlu diperhitungkan untuk memberikan pidana yang setimpal dan seadil-adilnya. Keadaan pribadi tersebut dapat diperoleh dari keterangan orang- orang dari lingkungannya, rukun tetangganya, dokter ahli jiwa dan sebagainya. Profesi Hakim Hakim memiliki kedudukan dan peranan yang penting demi tegaknya negara hukum. Inilah sebabnya, Undang-Undang Dasar 1945 mengatur secara khusus masalah kekuasaan kehakiman ini yakni dalam Pasal 24 dan 25. Penjelasan kedua pasal tersebut menegaskan, bahwa kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka independent, artinya terlepas dari pengaruh pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undang- undang tentang kedudukan para hakim.

D. Lembaga Pemasyarakatan