Evaluasi Produksi Dan Kualitas Hasil Buncis (Phaseolus Vulgaris) Pada Dua Sistem Tanam Di Desa Purwasari, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor

EVALUASI PRODUKSI DAN KUALITAS HASIL BUNCIS
(Phaseolus vulgaris L.) PADA DUA SISTEM TANAM DI DESA
PURWASARI, KECAMATAN DRAMAGA, KABUPATEN
BOGOR

IVAN TANOTO
A24100018

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi Produksi dan
Kualitas Hasil Buncis (Phaseolus vulgaris L.) pada Dua Sistem Tanam di Desa
Purwasari, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya

yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, November 2015
Ivan Tanoto
NIM A24100018

ABSTRAK
IVAN TANOTO. Evaluasi Produksi dan Kualitas Hasil Buncis (Phaseolus
vulgaris) pada Dua Sistem Tanam di Desa Purwasari, Kecamatan Dramaga,
Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh HENI PURNAMAWATI dan HERI HARTI
Kebutuhan terhadap buncis semakin meningkat. Konsumsi buncis tidak
diikuti dengan peningkatan produktivitas buncis. Buncis biasa ditanam oleh petani
dengan dua sistem tanam yang berbeda yaitu: sitem monokultur dan tumpangsari,
sehingga diperlukan penelitian untuk mengetahui sitem budidaya mana yang lebih
baik produktivitasnya. Percobaan berlangsung dari pada bulan Maret-Mei 2015.
Percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap satu faktor dan 20 ulangan.
Faktor tersebut adalah sistem tanam. Sistem yang digunakan adalah sistem
tumpangsari dan monokultur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem tanam

tumpangsari berpengaruh nyata terhadap produktivitas tanaman buncis. Perlakuan
tumpangsari menghasilkan buncis berdiameter lebih besar dan padatan terlarut
total yang lebih tinggi, buncis yang ditanam monokultur menunjukkan pajang
polong, bobot polong yang lebih besar dan nilai brix yang lebih tinggi.
Kata kunci: Buncis, Monokultur, Padatan terlarut total, Produktivitas, Tumpang
sari
ABSTRACT
IVAN TANOTO. Production Evaluation and Yield Quality of Common Bean
(Phaseolus vulgaris) with Two Cropping System in Purwasari, Dramaga, Bogor.
Supervised by HENI PURNAMAWATI and HERI HARTI
The demand on common bean keep increasing. The increase in
consumtion is not followed by the increase in productivity. Common bean is
planted in two different cropping system, a research is needed to get information
on which cropping system yield better than other. This research is conducted in
order to compare which system yield that farmer practiced in Purwasari,
Dramaga, Bogor. This reasearh conducted in March-Mei 2015. This research is
conducted by using randomize complete block design with single factor from
twenty repetition. The factors are planting system which are intercropping and
monoculture on the common bean. The result of research shows that intercropping
give significance diffrence to the productivity of common bean.. The common

which is intercropped tend to have larger pod diameterand higher brix indeks,
while the monoculture have better length and weight pod.
Key words: Brix,Common bean, Intercropping, Monoculture, Productivity

EVALUASI PRODUKSI DAN KUALITAS HASIL BUNCIS
(Phaseolus vulgaris L.) PADA DUA SISTEM TANAM DI DESA
PURWASARI KECAMATAN DRAMAGA KABUPATEN
BOGOR

IVAN TANOTO
A21400018

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2015

Judul Skripsi

Nama
NIM

: Evaluasi Produksi dan Kualitas Hasil Buncis (Phaseolus
vulgaris L.) pada Dua Sistem Tanam di Desa Purwasari,
Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor
: Ivan Tanoto
: A24100018

Disetujui oleh

Dr Ir Heni Purnamawati, MSc.Agr
Dosen Pembimbing


Diketahui oleh

Dr. Ir. Sugiyanta, MSi
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

Heri Harti, SP, MSi
Dosen Pembimbing

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
senantiasa memberikan rahmat dan hidayat-Nya sehingga skripsi dengan judul
Evaluasi Produksi dan Kualitas Hasil Buncis Buncis (Phaseolus vulgaris L.)
pada Dua Sistem Tanam di Desa Purwasari, Kecamatan Dramaga,
Kabupaten Bogor dapat diselesaikan dengan baik. Penelitian ini Berlangsung di
Desa Purwasari dan Laboratorium Pasca Panen Departemen Agronomi dan
Hortikultura Institut Pertanian Bogor dari Februari hingga Mei 2015
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Heni Purnamawati, MSc.Agr

dan Ibu Heri Harti, SP, MSi selaku pembimbing dan telah memberikan
pengarahan dan saran selama penyusunan skripsi ini, kepada kedua orang tua
yang telah memberikan support selama kegiatan penyusunan skripsi. Selain itu,
ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada adik, teman-teman dan seluruh
keluarga yang telah memberikan doa serta kasih sayang sehingga skripsi ini dapat
diselesaikan dengan baik.

Bogor, November 2015

Ivan Tanoto

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Buncis
Syarat Tumbuh dan Budi Daya
Hama dan Penyakit pada Buncis
Panen Buncis
Tumpangsari
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Bahan dan Peralatan Penelitian
Rancangan Percobaan
Pelaksanaan Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum
Morfologi Tanaman
Panjang dan Bobot Polong
Diameter dan Padatan Terlarut Total Polong
Analisis Usaha Tani
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

RIWAYAT HIDUP

viii
viii
viii
1
1
1
2
2
3
3
4
4
5
5
5
5
6
7

7
9
9
10
11
15
15
15
16
24

viii

DAFTAR TABEL
1 Tipe pertumbuhan, warna bunga, warna polong, kelengkungan dan bentuk
ujung polong
9
2 Hasil analisis sidik ragam dan uji beda nyata terkecil panjang polong dan bobot
polong buncis
9

3 Hasil analisis sidik ragam dan uji beda nyata terkecil diameter polong dan
padatan terlarut total polong buncis
10

DAFTAR GAMBAR
1 Buncis lahan tumpangsari
2 Buncis lahan monokultur
3 Derajat kelengkungan polong
4 Bagian ujung polong
5 Kelengkungan paruh
6 Kategori buncis berdasarkan usia panen
7 Pengemasan buncis
8 Buncis rusak
9 Buncis Yang tidak dijual
10 Lahan Monokultur sebelum tanam

6
6
6
7

7
13
23
23
23
23

DAFTAR LAMPIRAN
1 Data Cuaca Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor November 2014 –
Mei 2015
17
2 Layout lahan tumpangsari milik petani
18
3 Hasil analisis sidik ragam dan uji beda nyata terkecil Diameter polong 20
19
tanaman buncis monokultur dan tumpangsari
4 Hasil analisis sidik ragam dan uji beda nyata terkecil Bobot polong
20 tanaman buncis monokultur dan tumpangsari
20
5 Hasil analisis sidik ragam dan uji beda nyata terkecil Panjang polong
21
20 tanaman buncis monokultur dan tumpangsari
6 Hasil analisis sidik ragam dan uji beda nyata terkecil padatan terlarut total
20 tanaman buncis monokultur dan tumpangsari
22
7 Gambar dan dokumentas
23

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Sayuran merupakan salah satu komponen penyusun makanan bergizi,
Sayuran mengandung protein, vitamin, karbohidrat, mineral dan
serat yang
dibutuhkan tubuh. Peningkatan jumlah penduduk Indonesia memicu tumbuhnya
permintaan terhadap sayuran. Salah satu sayuran yang diminati adalah buncis.
Menurut Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian rata-rata pertumbuhan
konsumsi buncis di Indonesia tahun 2007-2011 adalah 0.26%-0.90% dari
keseluruhan produksi tersebut dikonsumsi dalam bentuk sayur mayur, dan sisanya
dijadikan benih (Pusdatin 2012).
Upaya peningkatan produksi buncis dapat dilakukan dengan intensifikasi
dan ekstensifkasi. Salah satu upaya intensifikasi yang dapat dilakukan adalah
dengan meningkatkan produktivitas lahan melalui sistem pertanaman berganda
seperti tumpang sari. Tujuan dari pola tanam tumpang sari adalah memanfaatkan
faktor produksi yang dimiliki petani secara optimal. Pada umumnya pola tanam
tumpang sari lebih menguntungkan dibandingkan dengan monokultur karena
produktivitas lahan menjadi tinggi, jenis komoditas yang dihasilkan beragam,
hemat dalam pemakaian sarana produksi dan resiko kegagalan dapat diperkecil
(Beets 1982). Disamping keuntungan tersebut, pola tanam tumpang sari juga
dapat memperkecil erosi, bahkan cara ini berhasil mempertahankan kesuburan
tanah (Francis 1986). Meskipun demikian, keberhasilan tumpang sari ditentukan
oleh kesesuaian jenis tanaman. Penanaman secara tumpang sari antar tanaman
yang kurang sesuai dapat menyebabkan terjadinya kompetisi. Unsur-unsur yang
dipersaingkan meliputi unsur hara, cahaya, air, dan ruang (Tsubo et al. 2003).
Persaingan terjadi apabila masing-masing dua atau lebih spesies tanaman
memerlukan kebutuhan hidup yang sama (Harjadi 1996). Oleh sebab itu, dalam
penanaman tumpang sari harus dipilih dua atau lebih tanaman yang sesuai
sehingga mampu memanfaatkan ruang dan waktu secara efisien dan dapat
memperkecil terjadinya kompetisi (Safuan et al. 2008). Tanaman buncis yang
tumbuh dengan penyinaran matahari yang kurang danpat memperlambat waktu
panen dan menurunkan produktivitas tanaman (Nonnecke 1989).
Tanaman buncis termasuk golongan leguminoceae atau kacang-kacangan.
Secara alamiah tanaman kacang-kacangan mampu bersimbiosis dengan rhizobium
dan membentuk bintil akar. Simbiosis buncis dan rhizobium tersebut memberikan
asupan nitrogen secara mandiri pada tanaman, sehingga memungkinkan tanaman
buncis untuk ditumpangsarikan dengan tanaman lain tanpa menimbulkan
kompetisi unsur hara yang ketat (Rubatzky dan Yamaguchi 1997).
Tanaman buncis umumnya ditanam di dataran tinggi. Tanaman buncis
memiliki 2 tipe pertumbuhan yaitu: (1) merambat/melilit yang batangnya bersifat
determinate dan (2) tegak (George 1999). Petani umumnya menanam buncis tipe
merambat. Buncis tipe merambat ini ditanam menggunakan
ajir sebagai
penyangga. Petani di Desa Purwasari menanam buncis dan pisang sebagai
tanaman samping, bersama dengan cabai sebagai tanaman utama dalam sistem
tumpangsari. Petani juga menanam buncis dengan sistem pertanaman monokultur.

2
Penelitian perlu dilakukan untuk mengetahui sistem budidaya buncis yang lebih
baik, untuk mendapatkan hasil dan produktivitas buncis yang tinggi dan dapat
memenuhi kebutuhan konsumen.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengamati produktivitas dan kualitas hasil
pada dua sistem budidaya yang dilakukan petani yaitu sistem monokultur buncis
dan sistem tumpangsari.
TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Buncis
Buncis (Phaseolus vulgaris L.) termasuk sayuran buah polong semusim,
divisi spermatophyta, subdivisi angiospermae, kelas dicotyledoneae, subkelas
calyciflorae, ordo leguminales, famili Leguminoceae, sub-family papillionaceae,
dan genus phaseolus (Cahyono 2007). Tanaman ini bukan tanaman asli Indonesia
melainkan tempat asal primernya adalah Meksiko Selatan dan Amerika Tengah,
sedangkan daerah sekunder adalah Peru, Equador, dan Bolivia (Maesen dan
Sadikin 1992)
Kacang buncis dikenal dengan nama latin Phaseolus vulgaris L. atau biasa
disebut Phaseolus esculentus salis B. Tanaman buncis memiliki jumlah kromosom
2n=22 dan termasuk tanaman berhari pendek (untuk berbunga memerlukan
jumlah penyinaran matahari kurang dari dua belas jam setiap hari). Oleh karena
itu, tanaman buncis mudah berkembang di Indonesia (Pitojo 2004).
Sistem perakaran berbagai jenis buncis tidak besar atau ekstensif,
percabangan lateralnya dangkal. Akar tunggang yang terlihat jelas biasanya
pendek, tetapi pada tanah remah yang dalam, akar dapat tumbuh hingga sekitar 1v
meter. Bakteri rhizobium pada akar menyebabkan bintil berkembang pada akar
lateral. Sistem perakaran yang menjangkat kuat adalah sifat penting untuk panen
dengan mesin (Nonnecke 1989).
Panjang batang tipe merambat dapat mencapai 3 m, dengan lebih dari 25
buku pembungaan. Bentuk akar ini mudah rebah, karena itu, umumnya ditopang
dengan lanjaran atau tiang. Bentuk semak determinate memang pendek, beberapa
jenis lagi lebih tinggi dari 60 cm, memiliki jumlah buku sedikit dan
perbungaannya terbentuk diujung batang tanaman (Maesen 1992).
Ukuran daun sangat bervariasi tergantung varietasnya (Cahyono 2007).
Daun buncis beranak daun tiga dan menyirip. Kultivar sekarang memiliki daun
kecil sehingga meningkatkan penetrasi cahaya kedalam kanopi tanaman,
khususnya untuk penanaman yang sangat rapat. Walaupun sifat ini cenderung
meningkatkan hasil total, ukuran daun kecil menghasilkan polong yang kecil pula.
Daun merupakan salah satu organ tanaman yang menjadi tempat
berlangsungnya proses fotosintesis yang menghasilkan karbohidrat. Karbohidrat
hasil fotosintesis akan digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan organorgan lainnya (Bleasdale 1973). Jumlah daun yang cukup merupakan syarat bagi

3
tanaman untuk dapat melakukan fotosintesis secara optimal, sehingga dapat
meningkatkan kualitas bunga dan polong berisi.
Bunga berukuran kecil dan mudah terlihat, berwarna putih, merah jambu,
atau ungu. Bunga ini sempurna dan seperti halnya kapri memiliki 10 benang sari,
9 diantaranya menyatu membentuk tabung yang melingkupi bakal buah panjang,
dan satu benang sari teratas terpisah dari yang lain. Bunga menyerbuk sendiri dan
umumnya jarang terjadi persilangan terbuka.
Polong bentuknya ada yang pipih lebar dan memanjang ± 20 cm, bulat
lurus dan pendek ± 12 cm dan bulat panjang ± 15 cm. Susunan polong bersegmensegmen dengan jumlah biji 5–14 per polong. Ukuran dan warna polong bervariasi
tergantung kepada jenis varietas. Biji berukuran agak besar, bentuknya bulat
lonjong dan pada bagian tengah melengkung (cekung), berat 100 bijinya sebesar
16-40.6 g dengan warna biji hitam (Cahyono 2007).
Polong tanaman hampir selalu memanjang, bukan membesar, panjangnya
berkisar 8–20 cm atau lebih dengan lebar mulai kurang dari 1 cm hingga beberapa
cm. Bergantung pada kultivar, ujung polong dapat meruncing dan tumpul, bentuk
polong melintangnya beragam, mulai dari bundar hingga oval memanjang dan
beberapa jenis membentuk hati. Polong sebagian besar kultivar terbaru agak lurus,
walaupun beberapa jenis biasanya melengkung. Sebagian besar kultivar memiliki
polong berwarna hijau muda hingga hijau kebiruan tua, yang kutivar lain
berpolong kuning (berlilin), ungu, atau multiwarna (Rubatzky dan Yamaguchi
1997).

Syarat Tumbuh dan Budi Daya
,
Tanaman buncis dapat tumbuh dengan baik apabila ditanam pada dataran
tinggi dengan ketinggian 1000–1500 mdpl dengan iklim kering (Rubatzky dan
Yamaguchi 1997). Tidak menutup kemungkinan untuk menanam buncis pada
daerah dengan ketinggian 500–600 mdpl.(Setianingsih dan Khaerodin 2002).
Banyak penelitian mengenai penanaman buncis di dataran rendah (200–300
mdpl). Sifat yang baik untuk buncis seperti tanahnya gembur, remah, subur, dan
mempunyai pH 5.5–6.0 Tanaman buncis tidak menghendaki curah hujan yang
khusus, melainkan dapat ditanam di daerah dengan curah hujan 1500–2500 mm
pertahun. Suhu udara yang paling baik untuk pertumbuhan buncis adalah antara
20–25oC. Pada suhu udara lebih rendah dari 20oC, tanaman tidak dapat melakukan
fotosintesis dengan baik. Akibatnya pertumbuhan polong menjadi terhambat.
Sebaliknya pada suhu udara lebih tinggi dari 25oC banyak polong yang hampa.
Kelembapan udara yang dibutuhkan untuk dapat tumbuh dengan baik adalah
sebesar 50–60% (Setianingsih dan Khaerodin 2002).

Hama dan Penyakit pada Buncis
Penyakit yang dijumpai pada buncis adalah bercak daun bersudut
Phaeocercospora sp. Penyakit yang dominan pada kacang-kacangan lain adalah
bercak daun yang disebabkan oleh beberapa jamur dari genera Cercospora
(Hardaningsih 2012). Serangan ini dapat menyebabkan kehilangan hasil hingga

4
62% (Balitsa 2010). Serangan penyakit karat terjadi sejak tanaman berumur 18
hari setelah tanam (HST) dan berkembang sesuai dengan waktu, tetapi laju
perkembangannya bervariasi untuk setiap perlakuan yang berbeda. Perbedaan data
kerusakan tanaman terjadi lebih signifikan sejak tanaman berumur 32 HST
(Suryaningsih 2008).

Panen Buncis
Buncis dipanen saat polong belum mencapai kematangan sempurna.
Penentuan panen buncis didasarkan pada fase pertumbuhan polong (Soule 1985) .
Untuk memperoleh hasil yang tinggi, polong harus mencapai panjang maksimum
sebelum pembesaran biji terlihat nyata dan selama masih sukulen. Situasi yang
ideal adalah memanen seluruh polong pada fase perkembangan yang sama
(Rubatzky dan Yamaguchi 1997). Metode untuk menghitung waktu panen yang
tepat adalah menghitunga hari setelah tanaman mekar seluruhnya. Polong buncis
dipanen kira-kira 14-18 hari setelah terbentuknya polong. Selain itu pemanenan
dapat dilakukan saat tanaman berumur 60 hari dan polong memperlihatkan ciriciri tertentu, seperti: warna polong masih agak muda dapn suram, permukaan
kulitnya agak kasar, biji dalam polong belum menonjol, polongnya belum berserat
serta bila polong dipatahkan akan menimbulkan bunyi letup (Setianingsih dan
Khaerodin 2002).

Tumpangsari
Tumpangsari merupakan salah satu bentuk pengauran tanaman dalam suatu
ruang atau lahan. Tumpangsari didefinisikan sebagai penanaman dua atau lebih
jenis tanamanyang lain famili secara serempak pada sebidang lahan yang sama
dengan pengaturan jarak tanam tertentu. Tumpangsari umumnya dilakukan dengan
membentuk barisan-barisan yang lurus untuk setiap jenis tanaman dan berseling
antara barisan tanaman satu dan barisan tanaman lainnya (Rubatzky dan
Yamaguchi 1997).
Keuntungan dari sistem tumpangsari antara lain efisiensi pengolahan tanah
meningkat, pemanfaatan ruang secara ekonomis, efisiensi penggunaan pupuk
meningkat, menekan perkembangan hama dan penyakit, serta meningkatkan
pendapatan petani (Suwandi 2003).
Pengaturan sifat-sifat perakaran sangat perlu untuk menghindarkan
persaingan unsur hara dan air yang berasal dari dalam tanah. Sistem perakaran
tanaman dapat ditumpangsarikan adalah dengan tanaman yang berakar dangkal
dan tanaman yang perakarannya dalam. Pembagian kedalaman perakaran ini
bertujuan untuk mengurangi kompetisi memperebutkan sumberdaya untuk tumbuh
yaitu: air, hara, cahaya matahari, ruang tumbuh (Jumin 1994).
Tanaman Legume merupakan jenis yang ideal untuk ditumpangsarikan
karena keampuannya memfiksasi nitrogen dari udara melalui simbiosis dengan
rhizobium. Pada sistem tumpangsari fiksasi nitrogen tanaman legume menjadi
lebih tinggi, karena kandungan unsur nitrogen dalam tanah yang berkurang akibat
pemanfaatan bersama tanaman yang ditumpangsarikan (Giller 2001).

5

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu
Percobaan ini dilaksanakan selama tiga bulan dari Maret-Mei 2015 di
Desa Purwasari Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor. Desa ini terletak pada
ketinggian 550 mdpl, curah hujan rata-rata di daerah Dramaga dari bulan Februari
hingga Mei 2015 sebesar 281.9 mm/bulan (Lampiran 1). Beberapa pengamatan
seperti panjang polong, bobot polong, diameter polong, dan nilai brix dilakukan di
Laboratorium Pascapanen Departemen Agronomi dan Hortikultura Institut
Pertanian Bogor .

Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah benih buncis, pupuk kandang , NPK mutiara
(15:15:15), pupuk pelengkap cair, insektisida berbahan aktif karbofuran. Alat yang
digunakan adalah cangkul, koret, arit, ajir, alat tulis, penggaris/meteran, kamera,
tali rafia, dan plastik bening.

Rancangan Percobaan
Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor.
Percobaan ini menggunakan 20 tanaman contoh sebagai ulangan pada masingmasing lahan. Dari 20 tanaman kemudian dipanen lima buah polong tiap pohon
untuk dijadikan sampel, pemanenan dilakukan selama selama empat minggu,
sehingga terdapat 80 satuan percobaan.
Model rancangan yang digunakan menurut Gomez dan Gomez (1995)
adalah:
Yij = + i + j + ij
b Keterangan :
Yij
= nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan pengelompokan ke-j

= rataan umum.
i
= pengaruh perlakuan ke-i terhadap polong buncis
j
= pengaruh pengelompokan ke-j
ij
= galat percobaan.
Data yang diperoleh dianalisis sidik ragam untuk mengetahui ada atau
tidaknya perbedaan rata-rata pada parameter yang diamati (Walpole 1993).
Apabila probabilitas