Analisis tataniaga ubi jalar di Desa Purwasari Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor

(1)

ANALISIS TATANIAGA UBI JALAR DI DESA PURWASARI

KECAMATAN DRAMAGA KABUPATEN BOGOR

SKRIPSI

HARIRY ANWAR 109092000046

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2015 M / 1436 H


(2)

ANALISIS TATANIAGA UBI JALAR DI DESA PURWASARI KECAMATAN DRAMAGA KABUPATEN BOGOR

Oleh

Hariry Anwar 109092000046

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Agribisnis

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2015 M/1436 H


(3)

(4)

(5)

CURRICULUM VITAE

HARIRY ANWAR

Nama : Hariry Anwar

Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 03 September 1991 Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Islam

Status Pernikahan : Belum Menikah Tinggi : 165 cm

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat : Jl. Raya Bekasi Kp Gempol Rt 010/01 No.135 cakung Jakarta Timur 13910 Nomor Telpon/Hp : 081932148660

Email : anwarhariry@gmail.com

1996-2003 : SD Negeri 01 Pagi Jakarta 2003-2006 : SMP Negeri 256 Jakarta 2006-2009 : SMA Negeri 89 Jakarta

2009-2015 : S1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Fakultas Sains dan Teknologi, Jurusan Agribisnis

2009-2010 : Badan Eksekutif Mahasiswa BEMJ-Agribisnis 2009-2010 : Staf Organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)

Komfastek

2010 – 2011 : Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan Agribisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pendidikan Formal

Pengalaman Kegiatan dan Organisasi

Data Diri


(6)

i

RINGKASAN

HARIRY ANWAR, ANALISIS TATANIAGA UBI JALAR DI DESA PURWASARI KECAMATAN DRAMAGA KABUPATEN BOGOR. DI BAWAH BIMBINGAN ELPAWATI DAN ACEP MUHIB

Ubi jalar atau ketela rambat (Ipomoea batatas L.) adalah sejenis tanaman budidaya. Ubi jalar merupakan komoditas sumber karbohidrat utama, setelah padi, jagung, dan ubi kayu, dan mempunyai peranan penting dalam penyediaan bahan pangan, bahan baku industri maupun pakan ternak. ubi jalar dapat dimanfaatkan sebagai pengganti makanan pokok karena merupakan sumber kalori yang efisien. Salah satu daerah sentra budidaya ubi jalar di Jawa Barat yaitu Kabupaten Bogor mempunyai peluang yang sangat luas untuk budidaya ubi jalar, Salah satu area potensial yaitu Desa Purwasari, desa yang berada di kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor.

Tujuan penelitian ini adalah (1) Menganalisis saluran tataniaga dan fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga pada komoditas ubi jalar (2) Menganalisis struktur dan perilaku pasar pada masing-masing lembaga tataniaga yang terlibat (3) Menganalisis efisiensi saluran tataniaga ubi jalar berdasarkan margin tataniaga, farmer’s share, rasio keuntungan dan biaya di Desa Purwasari Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor.

Penelitian ini dilakukan di Desa Desa Purwasari Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi langsung di lapangan dan wawancara responden dengan menggunakan pertanyaan yang telah dipersiapkan. Data sekunder diperoleh dari berbagai instansi yang berkaitan dengan penelitian. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan analisis margin tataniaga, analisis farmer’s share dan analisis rasio keuntungan dan biaya.

Terdapat lima lembaga dalam sistem tataniaga ubi jalar di Desa Purwasari, yaitu petani selaku produsen ubi jalar, pedagang pengumpul tingkat pertama, pedagang pengumpul tingkat kedua, pedagang grosir, dan pedagang pengecer. Setiap lembaga tataniaga melakukan fungsi tataniaga yang berbeda-beda. Saluran tataniaga yang terbentuk dalam sistem tataniaga ubi jalar ada tiga saluran, yaitu


(7)

ii

Saluran tataniaga 1 (petani - pedagang pengumpul tingkat 1 - pabrik tepung); Saluran tataniaga 2 (petani - pedagang pengumpul tingkat 1 - pedagang pengumpul tingkat 2 - pedagang grosir - pedagang pengecer – konsumen); dan Saluran tataniaga 3 (petani - pedagang pengumpul tingkat 1 - pedagang pengumpul tingkat 2 - pedagang grosir - konsumen). Struktur pasar pada petani dan pedagang grosir cenderung mendekati pasar persaingan sempurna, sedangkan pedagang pengumpul tingkat pertama, pedagang pengumpul tingkat kedua, dan pedagang pengecer cenderung mendekati pasar oligopoly.

Petani ubi jalar sebaiknya membentuk kelompok tani guna menjual hasil panennya secara bersama-sama dan mencari alternatif tujuan penjualan sehingga meningkatkan posisi tawar (bargaining position) petani. Selain itu, untuk dapat meningkatkan pendapatannya, petani atau kelompok tani dapat melakukan nilai tambah (value added) terhadap ubi jalar sehingga menghasilkan produk-produk lain seperti tepung, saos, keripik, dan lain-lain yang berbahan baku ubi jalar.


(8)

iii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, puji syukur atas kehadirat Allah S.W.T sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan penelitian ini dengan judul “Analisis Tataniaga Ubi Jalar di Desa Purwasari Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor”. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan program studi Strata-1 di Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam penulisan penelitian ini, penulis banyak mendapatkan bantuan baik berupa materil dan moral yang sangat berarti dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Kedua orang tua tercinta yang selalu memberikan kasih sayang, doa, nasihat, motivasi, saran, dukungan, dan dorongan moril maupun materil. Semoga adinda dapat membalas semua perjuangan Ayahanda H. Abdul Rachman dan Ibunda Hj. Lily Nurlailiyah.

2. Kakak dan adik tersayang (Rif’at dan Salwa Anwar) yang telah memberikan motivasi, dukungan, doa, dan keceriaan.


(9)

iv

3. Bapak Dr. Agus Salim M. Si, selaku dekan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Drs. Acep Muhib MM, selaku ketua program studi Sosial Ekonomi Pertanian/ Agribisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Ibu Dr. Elpawati, MP, selaku dosen pembimbing I yang telah membimbing untuk memberikan arahan dan pemikiran, memberikan saran dan nasihat, memberikan tenaga dan waktu, memberikan doa, serta dukungan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

6. Bapak Drs. Acep Muhib, MM, selaku pembimbing II yang telah membimbing untuk memberikan arahan dan pemikiran, memberikan saran dan nasihat, memberikan tenaga dan waktu, memberikan doa, serta dukungan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

7. Bapak Dr. Iskandar Andi Nuhung, MS, selaku dosen penguji I dalam sidang munaqosyah skripsi penulis yang telah memberikan kritik, saran dan masukan yang berharga untuk perbaikan skripsi ini.

8. Bapak Achmad Tjachja Nugraha, MP, selaku dosen penguji II dalam sidang munaqosyah skripsi penulis yang telah memberikan kritik, saran dan masukan yang berharga untuk perbaikan skripsi ini.

9. Seluruh dosen Agribisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak dapat disebutkan satu per satu tanpa mengurangi rasa hormat atas ilmu dan pelajaran dalam perkuliahan atau di luar perkuliahan.


(10)

v

10.Seluruh jajaran pimpinan dan staff Fakultas Sains dan Teknologi atas bantuan dalam persiapan pelaksanaan seminar proposal dan seminar hasil.

11.Bapak Indra selaku kepala desa dan bapak Saprudin selaku sekretaris Desa Purwasari yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan penelitian di Desa Purwasari Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor.

12.Teman-teman Agribisnis 2009 (Eka, Hana, Benita, Pipah, Elis, Dian, Sarah, Nauli, Vinka, Bambang, Tio, Ade Hariadi, Amin, Eriza, Jamal, Bimbim, Gembul, Jajil, Ucon, Azam, Rahman, Slamet, Hilman, Anto, Arif, dll terimakasih atas kebesamaan dan keceriaan yang telah dihadirkan, serta arti persahabatan dan arti kehidupan yang telah diajarkan.

13.Nur Ikhsan Ramdhani dan Ahmad Jazilil Mustopa sebagai teman satu kost selalu menemani dari awal kuliah hingga wisuda bareng, terimakasih banyak atas doa, dukungan, motivasi, kebersamaa serta dorongan yang telah diberikan.

14.Senior-senior Agribisnis mulai dari angkatan 2002-2008 dan junior-junior dari angkatan 2010-2012 atas doa dan dukungannya.

15.Ella Purwanti dan M. Iswanto terimakasih atas doa dan dukungannya.

16.Semua pihak yang telah membantu yang belum disebutkan tanpa mengurangi rasa hormat. Terima kasih banyak.


(11)

vi

Sebagai manusia biasa yang tidak pernah luput dari kekurangan dan keterbatasan, penulis menyadari bahwa penelitian ini mungkin masih banyak kekurangannya. Oleh sebab itu, penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun untuk menyempurnakan penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Penulis mengharapkan penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak dan dapat memenuhi apa yang diharapkan oleh semua pihak. Semoga Allah SWT memberi keberkahan kepada kita semua. Amiin Ya Allah Ya Rabbal Allamin.

Wassalamu’alaikum. Wr. Wb

Jakarta, January 2015

Hariry Anwar


(12)

vii

DAFTAR ISI

RINGKASAN………... i

KATA PENGANTAR……….. ii

DAFTAR ISI………. vii

DAFTAR TABEL………. x

DAFTAR GAMBAR……… xi

DAFTAR LAMPIRAN……… xii

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang……….. 1

1.2. Perumusan Masalah……….. 6

1.3. Tujuan………... 8

1.4. Manfaat Penelitian……… 9

1.5. Ruang lingkup……….. 9

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Tataniaga………. 10

2.2. Konsep Lembaga Tataniaga……….. 11

2.3. Saluran Tataniaga……….. 15

2.4. Fungsi-Fungsi Tataniaga………... 16

2.5. Struktur Pasar……… 18

2.6. Perilaku Pasar……… 22

2.7. Keragaan Pasar………... 24

2.8. Efisiensi Tataniaga………. 27

2.8.1. Margin Tataniaga………. 28

2.8.2. Farmer’s Share………. 31

2.8.3. Rasio Keuntungan dan Biaya………... 31

2.9. Ubi Jalar………. 32

2.9.1. Kandungan Gizi Ubi Jalar……… 33

2.9.2. Manfaat dan Penggunaan Ubi Jalar………. 35

2.10. Penelitian-Penelitian Terdahulu……….. 38


(13)

viii

III METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian………. 44

3.2. Sumber Data……….. 44

3.3. Metode Pengumpulan Data………. 45

3.4. Metode Penentuan Responden……… 45

3.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data……… 46

3.5.1. Analisis Saluran Tataniaga……… 46

3.5.2. Analisis Lembaga dan Fungsi-Fungsi Tataniaga……….. 47

3.5.3. Analisis Struktur Pasar………. 47

3.5.4. Analisis Perilaku Pasar………. 48

3.5.5. Analisis Margin Tataniaga……… 48

3.5.6. Analisis Farmer’s Share……… 49

3.5.7. Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya……….. 49

3.6.Definisi Operasional……… 50

IV GAMBARAN UMUM WILAYAH 4.1. Gambaran Umum Desa Purwasari……….. 52

4.1.1. Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat………. 52

4.1.2. Keadaan Usahatani Ubi Jalar………. 53

4.2. Karakteristik Petani Responden………... 56

4.2.1. Umur Petani………... 56

4.2.2. Tingkat Pendidikan Formal……… 57

4.2.3. Status Usahatani Ubi jalar………. 57

4.2.4. Pengalaman Usahatani……….. 58

4.2.5. Luas Lahan……… 58

4.2.6. Status kepemilikan Lahan……….. 59

4.3. Karakteristik Pedagang Responden………. 60

4.3.1. Usia Pedagang Responden………. 61

4.3.2. Pendidikan Pedagang Responden……….. 61

V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Saluran Tataniaga dan Fungsi-Fungsi Tataniaga Yang Dilakukan Lembaga Tataniaga……….. 62

5.1.1. Analisis Saluran Tataniaga………... 62

5.1.1.1. Saluran Tataniaga 1……… 64

5.1.1.2. Saluran Tataniaga 2……… 64


(14)

ix

5.1.2. Analisis Fungsi Tataniaga………. 65

5.1.2.1. Fungsi Tataniaga Petani……… 66

5.1.2.2. Fungsi Tataniaga Pedagang Pengumpul Tingkat 1……….. 67

5.1.2.3. Fungsi Tataniaga Pedagang Pengumpul Tingkat 2……….. 69

5.1.2.4. Fungsi Tataniaga Pedagang Grosir……….. 70

5.1.2.5. Fungsi Tataniaga Pedangang Pengecer……… 72

5.2. Analisis Struktur dan Perilaku Pasar Pada Lembaga Tataniaga………. 74

5.2.1. Analisis Struktur Pasar………. 74

5.2.1.1. Struktur Pasar di Tingkat Petani………. 75

5.2.1.2. Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengumpul Tingkat 1………. 75

5.2.1.3. Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengumpul Tingkat 2……… 76

5.2.1.4. Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Grosir……… 76

5.2.1.5. Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengecer………. 77

5.2.2. Analisis Perilaku Pasar………. 77

5.2.2.1. Praktek Pembelian dan Penjualan………... 77

5.2.2.2. Sistem Penentuan Harga dan Pembayaran……….. 78

5.2.2.3. Kerjasama Antar Lembaga Tataniaga………. 80

5.3. Analisis Efisiensi Saluran Tataniaga Ubi Jalar……… 80

5.3.1. Analisis Margin Tataniaga……… 80

5.3.1.1. Analisis Margin Tataniaga Saluran 1……… 82

5.3.1.2. Analisis Margin Tataniaga Saluran 2……… 83

5.3.1.3. Analisis Margin Tataniaga Saluran 3……… 85

5.3.2. Analisis Farmer’s Share……… 86

5.3.3. Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya………. 88

5.3.4. Efisiensi Tataniaga………... 90

VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan………. 91

6.2. Saran……… 92

DAFTAR PUSTAKA………... 93


(15)

x

DAFTAR TABEL

TABEL

1 Kandungan Gizi pada 100 Gram Ubi Jalar, Beras, Jagung dan Terigu………... 2

2 Kandungan Gizi Mineral Ubi Jalar Dibandingkan Dengan Nasi Per 100 Gram……… 2

3 Produktivitas, Luas Panen dan Produksi Ubi Jalar pada Sentra Produksi Ubi Jalar Tahun 2013……… 3

4 Potensi Penggunaan Lahan Kabupaten Bogor Tahun 2013……… 4

5 Karakteristik Pasar Berdasarkan Sudut Penjual dan Pembeli………. 22

6 Komponen Gizi Ubi Jalar……… 36

7 Sebaran Responden Menurut Usia Petani Ubi Jalar di Desa Purwasari Tahun 2013……….. 58

8 Sebaran Responden Menurut Pendidikan Formal Petani Ubi Jalar di Desa Purwasari Tahun 2013……….. 59

9 Sebaran Responden Menurut Status Usahatani Ubi Jalar di Desa Purwasari Tahun 2013………... 60

10 Sebaran Responden Menurut Pengalaman Usahatani Ubi Jalar di Desa Purwasari Tahun 2013………. 60

11 Sebaran Responden Menurut Luas Lahan Garapan Petani Ubi Jalar di Desa Purwasari Tahun 2013……….. 61

12 Sebaran Responden Menurut Status Penguasaan Lahan Ubi Jalar di Desa Purwasari Tahun 2013……….. 61

13 Komposisi Umur Pedagang Responden di Desa Purwasari, Pasar Induk Kramat Jati, Pasar Minggu……… 62

14 Tingkat Pendidikan Pedagang Responden di Desa Purwasari, Pasar Induk Kramat Jati, Pasar Minggu……….. 62

15 Fungsi-Fungsi Tataniaga Yang Dilaksanakan Oleh Lembaga-Lembaga Tataniaga Ubi Jalar Pada Setiap Saluran Tataniaga Ubi Jalar Di Desa Purwasari , Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor………. 75 16 Analisis Margin Tataniaga Ubi Jalar pada ketiga Skema Saluran Pemasaran di Desa Purwasari……… 83

17 Rekapitulasi Harga di tingkat Petani, Harga di Tingkat Konsumen, Margin tataniaga, dan Farmer’s Share Saluran tataniaga Ubi Jalar di Desa Purwasari……… 89

18 Rasio Keuntungan dan Biaya Pada Lembaga tataniaga Ubi Jalar di Desa Purwasari………. 90


(16)

xi

GAMBAR

1 Hubungan antara fungsi – fungsi Pertama dan Turunan Terhadap Margin Tataniaga dan Nilai Margin Tataniaga……….. 30 2 Aneka Kegunaan Ubi Jalar Dalam Skema Pohon Industri……… 38 3 Kerangka Pemikiran Penelitian Ubi Jalar di Desa Purwasari, Kecamatan

Dramaga, Bogor………... 44 4 Skema Saluran Tataniaga Ubi Jalar di Desa Purwasari………. 65


(17)

xii

LAMPIRAN

1 Rekapitulasi Petani Responden………. 96 2 Rincian Biaya Tataniaga, Harga Jual, dan Harga Beli Saluran 1 Tataniaga

Ubi Jalar di Desa Purwasari, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor……… 98 3 Rincian Biaya Tataniaga, Harga Jual, dan Harga Beli Saluran 2 Tataniaga

Ubi Jalar di Desa Purwasari, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor……… 99 4 Rincian Biaya Tataniaga, Harga Jual, dan Harga Beli Saluran 3 Tataniaga

Ubi Jalar di Desa Purwasari, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor……… 100 5 Kuisioner Penelitian……… 101


(18)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sentra produksi ubi jalar adalah Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Irian Jaya dan Sumatera Utara. Komoditas ubi jalar ditempatkan sebagai salah satu dari 7 (tujuh) komoditas utama tanaman pangan (padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu dan ubi jalar) yang perlu terus dikembangkan (Departemen Pertanian, 2009).

Pengembangan kelompok pangan sumber karbohidrat khususnya umbi-umbian perlu menjadi perhatian. Diantara kelompok umbi-umbi-umbian, ubi jalar merupakan salah satu bahan pangan lokal yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai penunjang program diversifikasi pangan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa ubi jalar merupakan; (1) sumber karbohidrat keempat setelah padi, jagung dan ubi kayu; (2) memiliki produktivitas tinggi dibandingkan dengan beras dan ubi kayu. Ubi jalar dengan masa panen empat bulan dapat berproduksi hingga 25-30 ton/ha lebih; (3) memiliki potensi diversifikasi produk yang cukup beragam; (4) memiliki potensi permintaan pasar baik lokal, regional maupun ekspor yang terus meningkat; (5) serta memiliki kandungan gizi yang cukup beragam dan tidak dimiliki oleh tanaman pangan lainnya (Tabel 1).


(19)

2 Tabel 1. Kandungan Gizi pada 100 Gram Ubi Jalar, Beras, Jagung dan Terigu

No Zat Makanan Ubi Putih Beras Jagung Terigu

1 Kalori (kal) 123,00 360,00 325,00 365,00

2 Protein (g) 1,80 1,10 9,2 8,90

3 Lemak (g) 0,70 0,40 3,90 1,30

4 Karbohidrat (g) 27,90 32,30 73,70 77,30

5 Vitamin A 60,00 0,26 - 0,12

6 Vitamin B 0,90 - - -

7 Vitamin C 22,00 0,12 - 0,12

8 Kalsium 30,00 - - -

Sumber: Direktorat Gizi Depkes RI (1981) dalam Susmono (1995)

Kandungan gizi mineral ubi jalar juga lebih tinggi dibandingkan dengan kandugan gizi mineral pada nasi. Perbandingan kandungan mineral antara ubi jalar dan nasi per 100 gram bisa dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan Gizi Mineral Ubi Jalar dibandingkan Dengan Nasi Per 100 Gram

No Mineral Ubi Jalar (mg/100 gr) Nasi (mg/100 gr) 1 Thiamin 0,09 0,02

2 Riboflavin 0,06 0,01 3 Niacin 0,60 0,04 4 K 243,00 28,00

5 P 47,00 28,00

6 Fe 0,70 0,20

7 Ca 32,00 10,00 Sumber: Horton et al. (1989), Dalam Zuraida dan Supriati (2005)

Pilihan untuk menjadikan ubi jalar sebagai komoditas alternatif untuk mendampingi beras bukan pilihan tanpa alasan, yaitu: (1) sesuai dengan agroklimat sebagian besar wilayah Indonesia, (2) ubi jalar juga mempunyai produktivitas yang tinggi, sehingga menguntungkan untuk diusahakan, (3) mengandung zat gizi yang berpengaruh positif pada kesehatan (prebiotik, serat makanan dan antioksidan), dan (4) potensi penggunaannya cukup luas dan cocok untuk program diversifikasi pangan.


(20)

3 Potensi yang begitu besar terhadap komoditas ubi jalar sangat didorong dengan perkembangan produktivitas beberapa provinsi yang ada di Indonesia dengan Jawa Barat menjadi sentra produksi ubi jalar terbesar nasional pada tahun 2013 dengan jumlah produksi 471.344 ton kemudian diurutan kedua Jawa Timur 391.807 ton, selanjutnya Papua dengan 351.028 ton, Jawa Tengah 185.605 ton, dan Sumatera Utara sebesar 139.890 ton.

Tabel 3. Produktivitas, Luas Panen dan Produksi Ubi Jalar pada Sentra Produksi Ubi Jalar Tahun 2013

No Provinsi Luas Panen (ha)

Produktivitas (ku/ha)

Produksi (ton) 1 Jawa Barat 26.443 178,25 471.344

2 Papua 30.178 116,32 351.028 3 Jawa Timur 18.596 210,69 391.807 4 Jawa Tengah 10.323 179,80 185.605 5 Sumatera

Utara 11.154 125,20 139.890 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013

Salah satu daerah sentra budidaya ubi jalar di Jawa Barat yaitu Kabupaten Bogor mempunyai peluang yang sangat luas untuk budidaya ubi jalar, melihat adanya potensi lahan pertanian yang masih luas. Luas lahan berdasarkan penggunaanya di Kabupaten Bogor mencapai 299.990,00 hektar dengan potensi areal pengembangan baik untuk lahan pertanian maupun lahan non pertanian. Sebagian besar lahan tersebut dimanfaatkan untuk aktivitas pertanian yaitu sebesar 159.151, 36 hektar. Pemanfaatan lahan pertanian di Kabupaten Bogor dibagi menjadi dua macam yaitu lahan pertanian berupa sawah dan lahan pertanian bukan sawah. Lahan pertanian bukan sawah digunakan untuk aktivitas berladang, tegal, perkebunan besar dan perkebunan rakyat, aktivitas


(21)

4 penggembalaan, dan juga untuk kolam ikan atau empang. Luas lahan bukan sawah ini mencapai 110.264,36 hektar (Tabel 4).

Tabel 4. Potensi Penggunaan Lahan Kabupaten Bogor Tahun 2013

No. Potensi Luas (Ha)

A. Lahan Pertanian 159.152, 36 Lahan Pertanian 159.152, 36 Lahan Sawah 48.888,00 Lahan Bukan Sawah 110.264,36 - Tegal Kebun 56.277,00 - Ladang/Huma 10.671,00 - Penggembalaan/padang 1.510,00 - Sementara tidak diusahakan 710,00 - Perkebunan Besar Negara 5.219,15 - Perkebunan Besar Swasta 4.128,35 - Perkebunan Rakyat 14.102,20 - Ditanami pohon/Hutan Rakyat 15.345,66 - Kolam/Tebat/Empang 2.351,00 B. Lahan Bukan Pertanian 140.837,64

Jumlah 299.990,00

Sumber: Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, 2013

Berdasarkan data Tabel 4, potensi areal untuk budidaya ubi jalar cukup luas, mengingat ubi jalar dapat menggunakan lahan yang digunakan untuk sawah maupun tegal atau ladang. Selain itu, masih ada lahan yang tidak digunakan yang dapat dimanfaatkan yang juga dapat dimanfaatkan untuk membudidayakan ubi jalar. Salah satu area potensial yaitu Desa Purwasari, desa yang berada di kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor memiliki luas lahan pertanian mencapai seluas ± 170.509 ha. Lahan pertanian tersebut mampu ditanami dua hingga tiga kali musim tanam dalam setahun, dan memiliki produktivitas sebesar ± 340 ton/ha (padi sawah) dan 12,5 ton/ha (ubi jalar).

Pada periode tahun 2013 luas panen ubi jalar di Desa Purwasari mencapai 25 hektar dengan produksi rata-rata yaitu 12,5 ton per hektar. Usahatani ubi jalar


(22)

5 di Desa purwasari juga didukung dengan adanya pedagang pengumpul yang berada satu desa sehingga petani sama sekali tidak ada kesulitan dalam menjual hasil produksi mereka.

Kendala yang paling banyak dikeluhkan petani yaitu harga yang tidak menentu dan tidak sebanding dengan kenaikan harga input seperti pupuk dan input-input lainnya. Harga ubi jalar di Desa Purwasari sangat berfluktuatif pada periode tahun 2004-2008 harga ubi jalar berkisar Rp.300 – Rp.1.000, sedangkan periode 2009-2013 harga sedikit naik pada kisaran Rp.1.000 sampai dengan Rp.2.000. Selain itu adanya gabungan kelompok tani belum begitu berperan penting bagi petani yang mengusahakan ubi jalar, karena bantuan kepada kelompok tani yang datang dari pemerintah sejauh ini hanya untuk komoditas padi seperti bantuan benih unggul.

Melihat adanya permasalahan yang terjadi di desa Purwasari, membuat peneliti ingin menganalisis saluran tataniaga ubi jalar serta pada pola saluran tataniaga ubi jalar perlu ditelusuri sehingga dapat diketahui saluran tataniaga mana yang lebih efisien. Dan diharapkan dengan pola saluran tataniaga yang efisien dapat diketahui saluran tataniaga yang dapat mendatangkan manfaat bagi petani dan lembaga yang terlibat dari saluran tataniaga yang efisien tersebut.


(23)

6 1.2. Perumusan Masalah

Sebagian besar komoditi agribisnis bersifat perishable atau mudah

rusak/busuk, begitu halnya dengan ubi jalar. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisir risiko tersebut diperlukan adanya pemasaran atau pendistribusian yang relatif cepat, karena ubi jalar pada umumnya tidak tahan lama dan mudah busuk jika tidak disimpan pada tempat yang ideal. Pendistribusian ubi jalar yang lambat dapat menimbulkan produk mudah rusak dan busuk. Untuk itu, petani sebagai produsen harus sesegera mungkin mendistribusikannya kepada konsumen. Distribusi ubi jalar di Desa Purwasari pada umumnya tidak selalu dapat dilakukan oleh petani secara langsung kepada konsumen, melainkan dengan melibatkan pihak-pihak atau lembaga tataniaga untuk ikut serta dalam melakukan fungsi tataniaga.

Petani ubi jalar di Desa Purwasari, Kecamatan Dramaga berperan sebagai produsen sekaligus pihak yang menerima harga (price taker). Dalam posisi tawar

menawar sering tidak seimbang, petani dikalahkan dengan kepentingan pedagang yang lebih dulu mengetahui harga. Berdasarkan informasi yang diperoleh di lapangan, harga ubi jalar ditingkat petani berfluktuatif yaitu berkisar antara Rp.1.000 - 2.000/Kg. Sedangkan harga yang diterima konsumen akhir dapat mencapai Rp.5.000 - 6.000/Kg. Dari selisih harga yang diterima oleh petani dengan harga yang diterima konsumen akhir relatif tinggi, maka diperlukan adanya analisis mengenai saluran tataniaga yang efisien.


(24)

7 Mekanisme pasar pihak petani tidak memiliki peran dalam penentuan harga. Kondisi perkembangan harga ubi jalar lebih dominan dikendalikan pedagang pengumpul dan pedagang pengecer. Para pedagang ini memiliki kekuatan besar dalam penentuan harga dan perolehan keuntungan. Selain rendahnya harga ubi jalar di tingkat petani, permasalahan lain dalam tataniaga ubi jalar yaitu tingginya margin tataniaga yang dikarenakan akibat panjangnya rantai tataniaga dan banyaknya lembaga tataniaga yang terlibat sehingga besar selisih harga yang diterima petani dengan harga yang dibayar oleh konsumen menjadi besar. Hal ini di sebabkan karena adanya biaya-biaya tataniaga dan keuntungan yang di ambil tiap lembaga tataniaga yang terlibat.

Besarnya biaya tataniaga akan mengarah pada semakin besarnya perbedaan harga antara petani produsen dengan konsumen. Hubungan antara harga yang diterima petani produsen dengan harga yang dibayar oleh konsumen sangat bergantung pada struktur pasar yang menghubungkannya dan biaya tataniaga. Analisis saluran tataniaga pada pola saluran pemasaran ubi jalar perlu dilakukan sehingga dapat diketahui saluran mana yang lebih efisien. Diharapkan dengan pola saluran pemasaran yang efisien dapat diketahui saluran pemasaran yang dapat mendatangkan manfaat bagi petani dan lembaga yang terlibat dari saluran pemasaran yang efisien tersebut.


(25)

8 Berdasarkan permasalahan di atas maka penelitian ini mengangkat topik mengenai analisis tataniaga ubi jalar di Desa Purwasari, Kecamatan Dramaga, Bogor, Jawa Barat dengan perumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana saluran tataniaga dan fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga pada komoditas ubi jalar ?

2. Bagaimana struktur dan perilaku pasar pada masing-masing lembaga tataniaga yang terlibat?

3. Bagaimana efisiensi saluran tataniaga ubi jalar berdasarkan margin tataniaga, farmer’s share, rasio keuntungan dan biaya ?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menganalisis saluran tataniaga dan fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga pada komoditas ubi jalar.

2. Menganalisis struktur dan perilaku pasar pada masing-masing lembaga tataniaga yang terlibat.

3. Menganalisis efisiensi saluran tataniaga ubi jalar berdasarkan margin tataniaga, farmer’s share, rasio keuntungan dan biaya.


(26)

9 1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dengan adanya penelitian ini antara lain : 1. Petani dan lembaga tataniaga sebagai bahan pertimbangan dalam

pembentukan sistem tataniaga ubi jalar yang menguntungkan bagi kedua belah pihak.

2. Pemerintah sebagai bahan informasi bagi perencanaan kebijaksanaan guna meningkatkan efisiensi tataniaga ubi jalar. 3. Pihak lain sebagai bahan masukan atau rujukan bagi penelitian

berikutnya.

4. Bagi peneliti sebagai penerapan ilmu atau teori yang telah didapat selama masa perkuliahan dan dapat diterapkan dalam permasalahan yang terjadi di masyarakat dan dapat memberikan alternatif pemecahan masalah tersebut.

1.5. Ruang Lingkup

Penelitian ini merupakan analisis tataniaga ubi jalar di Desa Purwasari, Kecamatan Dramaga, Bogor, Jawa Barat. Harga yang dijadikan acuan merupakan harga yang berlaku pada saat penelitian. Analisis saluran tataniaga menggunakan indikator ukuran efisiensi operasional (teknis) yaitu analisis margin tataniaga, analisis Farmer’s Share, serta analisis rasio keuntungan dan biaya. Ubi jalar yang dijadikan objek dalam penelitian ini ialah komoditas ubi jalar varietas jawa.


(27)

10 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Tataniaga

Kata tataniaga dan pemasaran sering digunakan secara bergantian karena pada dasarnya memiliki makna yang sama. Dalam bahasa Inggris kedua kata tersebut berasal dari kata yang sama yaitu marketing (Asmarantaka, 2009).

Sehingga tataniaga maupun pemasaran sama-sama memiliki tujuan dalam menyalurkan (aliran) barang maupun jasa hasil produksi dari produsen kepada konsumen akhir yang terdiri dari beberapa serangkaian kegiatan bisnis. Tataniaga dapat diartikan sebagai suatu tempat atau wahana dimana ada kekuatan supply dan

demand yang bekerja, ada proses pembentukan harga dan terjadinya proses

pengalihan kepemilikan barang maupun jasa. (Dahl dan Hammond, 1987).

Menurut Limbong dan Sitorus (1987) juga, tataniaga merupakan serangkaian proses kegiatan atau aktivitas yang ditujukan untuk menyalurkan barang-barang atau jasa-jasa dari titik produsen ke konsumen. Dalam hal ini, konsep yang paling mendasar yang melandasi tataniaga yaitu kebutuhan manusia. Kebutuhan manusia merupakan pernyataan kehilangan, berdasarkan kebutuhan inilah maka konsumen akan memenuhi kebutuhannya dengan mempertukarkan produk dan nilai dari produsen. Oleh sebab itu, segala produk adalah sesuatu yang ditawarkan kepada pasar untuk memuaskan kebutuhan atau keinginan konsumen.

Berdasarkan dari berbagai telaah konsep tataniaga, maka dapat diintisarikan bahwa tataniaga merupakan segala kegiatan yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dan fisik barang-barang hasil pertanian dari tangan


(28)

11 produsen ke tangan konsumen termasuk di dalamnya kegiatan-kegiatan yang dilakukan para pelaku-pelaku tataniaga.

Sebagian besar hasil produksi pertanian dijual oleh petani untuk memperoleh pendapatan. Dalam praktik tataniaga terdapat banyak pihak yang terlibat karena pada umumnya petani tidak menjual langsung produk yang dihasilkannnya kepada konsumen akhir. Pihak yang terlibat disini yaitu perantara yang berperan dalam menyalurkan produk maupun memberikan perlakuan khusus terhadap produk pertanian dan mengalirkannya hingga konsumen akhir. Pihak-pihak yang terlibat dalam tataniaga (agribisnis) disebut dengan lembaga tataniaga. 2.2. Konsep Lembaga Tataniaga

Proses tataniaga terlibat berbagai pelaku ekonomi untuk melaksanakan fungsi-fungsi tataniaga. Fungsi-fungsi pemasaran tersebut adalah kegiatan produktif (meningkatkan nilai guna bentuk, tempat, waktu dan kepemilikan), sedangkan pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut dilakukan oleh skala perusahaan atau individu yang disebut sebagai lembaga pemasaran (Dahl dan Hamond, 1987). Dalam tataniaga barang atau jasa terlibat beberapa badan mulai dari produsen, lembaga-lembaga perantara dan konsumen, hal ini dikarenakan jarak antara produsen yang menghasilkan barang dan jasa seringkali berjauhan dengan konsumen, sehingga fungsi lembaga perantara sangat diharapkan untuk menggerakkan barang dan jasa tersebut dari produsen ke konsumen serta penghubung informasi mengenai suatu barang dan jasa (Limbong dan Sitorus, 1987).


(29)

12 Limbong dan Sitorus (1987) menggolongkan lembaga-lembaga tataniaga berdasarkan fungsi yang dilakukannya; penguasaan terhadap barang; kedudukan dalam struktur pasar; dan bentuk usaha.

1. Berdasarkan fungsi yang dilakukan, lembaga tataniaga dapat dibedakan atas : a) Lembaga fisik tataniaga yaitu lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi

fisik pemasaran, meliputi: lembaga pengolahan, lembaga pengangkutan, pergudangan;

b) Lembaga perantara tataniaga yaitu suatu lembaga yang khusus mengadakan fungsi pertukaran, seperti: pedagang pengecer, grosir, dan lembaga perantara lainnya;

c) Lembaga fasilitas tataniaga yaitu lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi-fungsi fasilitas seperti: Bank, Badan Perkreditan, dan KUD.

2. Berdasarkan penguasaan suatu badan terhadap barang dan jasa, lembaga tataniaga terdiri dari:

a) Lembaga tataniaga yang tidak memiliki tetapi menguasai barang, meliputi: agen, perantara dan broker;

b) Lembaga tataniaga yang memiliki dan menguasai barang, seperti: pedagang pengumpul, pedagang pengecer, pedagang besar, eksportir dan importir;

c) Lembaga tataniaga yang tidak memiliki dan tidak menguasai barang, seperti: badan transportasi, pergudangan dan asuransi.


(30)

13 3. Penggolongan lembaga tataniaga menurut kedudukannya dalam struktur pasar

dapat digolongkan atas:

a) Lembaga tataniaga yang bersaing sempurna, seperti: pedagang pengecer rokok, pengecer beras, dan lain-lain;

b) Lembaga tataniaga bersaing monopolistik, seperti: pedagang asinan, pedagang benih, pedagang bibit, dan lain-lain;

c) Lembaga tataniaga oligopolis; d) Lembaga tataniaga monopolis.

Limbong dan Sitorus (1987) juga mengungkapkan bahwa peranan lembaga tataniaga sangat penting terutama untuk komoditas pertanian yang bersifat mudah rusak atau tidak tahan disimpan lama, volume produk besar dengan nilai yang kecil, dan harga pasar ditentukan oleh mutunya, serta pada umumnya sentra produksi relatif jauh dari tempat konsumen yang tersebar dari pedesaan sampai perkotaan. Oleh karena pentingnya peranan lembaga tataniaga tersebut, makaperlu ada koordinasi pelaksanaan fungsi-fungsi untuk mencapai efisiensi tataniaga yang tinggi serta efektif, dengan cara :

1. Integrasi vertikal, yaitu lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi-fungsi yang berbeda dihubungkan satu dengan yang lainnya menurut saluran barang tersebut. Integrasi vertikal akan menurunkan pengeluaran tataniaga sehingga barang dapat dijual dengan harga lebih murah, hal ini dikarenakan perbedaan harga antara tingkat produsen dengan tingkat konsumen tidak terlalu besar sehingga dapat menguntungkan konsumen.


(31)

14 2. Integrasi horizontal, dimana lembaga-lembaga tataniaga yang menyelenggarakan fungsi yang sama disatukan di dalam suatu tindakan pemasaran suatu barang. Integrasi horisontal dapat merugikan konsumen, karena integrasi macam ini dimaksudkan untuk memperkuat posisi dan menghindari adanya persaingan dari perusahaan atau lembaga tataniaga yang sejenis sehingga lembaga tersebut dapat mengontrol harga barang.

Berdasarkan beberapa pendapat yang dikemukan oleh para ahli maka dapat disintesakan bahwa lembaga tataniaga adalah lembaga yang akan menjalankan fungsi-fungsi pemasaran serta memenuhi keinginan konsumen semaksimal mungkin. Aliran produk pertanian dari produsen ke konsumen akhir disertai peningkatan nilai guna komoditi-komoditi pertanian akan ada apabila lembaga pemasaran ini menjalankan fungsi-fungsi pemasarannya.

Umumnya lembaga pemasaran komoditi pertanian terdiri dari petani, pedagang pengumpul ditingkat lokal, pedagang antar daerah, pedagang besar, pengecer, dan agen-agen penunjang. Agen penunjang seperti perusahaan pengangkutan, perusahaan penyimpanan, pengolahan, biro-biro periklanan, lembaga keuangan, dan lain sebagainya. Lembaga ini dapat berbentuk perorangan, perserikatan atau perseroan. Lembaga ini memiliki peranan penting dalam proses penyampaian komoditi pertanian. Sehingga pelaku pemasaran harus memasok barang dengan jumlah yang cukup untuk mencapai jumlah yang dibutuhkan konsumen dan tersedia secara kontinyu. Semakin efisien sistem tataniaga hasil pertanian, semakin sederhana pula saluran tataniaganya.


(32)

15 2.3. Saluran Tataniaga

Saluran tataniaga adalah suatu usaha yang dilakukan untuk menyampaikan barang dan jasa dari produsen sampai ke konsumen yang di dalamnya terlibat beberapa lembaga tataniaga yang menajalankan fungsi-fungsi tataniaga (Limbong dan Sitorus, 1987).

Beberapa faktor yang harus pertimbangkan dalam memilih saluran tataniaga (Limbong dan Sitorus, 1987) yaitu :

1. Pertimbangan pasar : siapa konsumen, rumah tangga atau industri besarnya potensi pembelian, bagaimana konsentrasi pasar secara geografis, berapa jumlah pesanan dan bagaimana kebiasaan konsumen dalam membeli.

2. Pertimbangan barang : berapa besar nilai per unit barang tersebut, besar dan berat barang (mudah rusak atau tidak), sifat teknis (berupa barang standar atau pesanan) dan bagaimana luas produk perusahaan yang bersangkutan.

3. Pertimbangan dari segi perusahaan : sumber modal, kemampuan dan pengalaman manajerial, pengawasan penyaluran dan pelayanan yang diberikan penjual.

4. Pertimbangan terhadap lembaga perantara meliputi pelayanan yang dapat diberikan oleh lembaga perantara, sikap perantara terhadap kebijakan produsen, volume penjualan dan pertimbangan biaya.

Secara umum saluran tataniaga dapat dipandang sebagai serangkaian organisasi yang saling tergantung yang terlibat dalam proses untuk menjadikan suatu produk barang atau jasa siap untuk digunakan atau dikonsumsi. Sebuah saluran tataniaga melaksanakan tugas memindahkan barang dari produsen ke


(33)

16 konsumen. Dengan mengetahui saluran pemasaran suatu komoditas maka dapat diketahui jalur mana yang lebih efisien dari semua kemungkinan jalur-jalur dapat ditempuh. Tugas-tugas atau segala aktifitas yang dilakukan dalam proses tersebut dikenal sebagai fungsi-fungsi tataniaga.

2.4. Fungsi Tataniaga

Dalam proses penyampaian produk dari produsen ke konsumen akhir diperlukan berbagai kegiatan atau tindakan-tindakan yang dapat memperlancar proses penyampaian barang atau jasa bersangkutan, dan kegiatan tersebut dinamakan fungsi-fungsi tataniaga (Limbong dan Sitorus, 1997). Fungsi-fungsi tataniaga tersebut dikelompokan menjadi tiga fungsi yaitu:

1. Fungsi pertukaran

Fungsi pertukaran adalah kegiatan yang memperlancar perpindahan hak milik dan jasa yang dipasarkan. Fungsi pertukaran ini terdiri dari dua fungsi yaitu fungsi pembelian dan fungsi penjualan. Fungsi pembelian merupakan kegiatan melakukan penetapan jumlah dan kualitas barang, mencari sumber barang, menetapkan harga, dan syarat-syarat pembelian. Sedangkan kegiatan penjualan diikuti dengan mencari pasar, menetapkan jumlah kualitas serta menentukan saluran tataniaga yang paling sesuai.

2. Fungsi fisik

Fungsi fisik adalah suatu tindakan langsung yang berhubungan dengan barang dan jasa sehingga menimbulkan kegunaan tempat, bentuk dan waktu. Fungsi fisik terdiri dari tiga fungsi:


(34)

17 a) Fungsi penyimpanan yaitu membuat komoditi selalu tersedia saat

konsumen menginginkannnya.

b) Fungsi pengangkutan yaitu proses pemindahan, melakukan kegiatan membuat komoditi selalu tersedia pada tempat tertentu yang diinginkan.

c) Fungsi pengolahan yaitu untuk komoditi pertanian merupakan kegiatan yang dilakukan merubah bentuk melalui proses yang diinginkan sehingga dapat meningkatkan kegunaan, kepuasan dan merupakan usaha untuk memperluas pasar dari komoditi asal. 3. Fungsi fasilitas

Fungsi fasilitas adalah semua tindakan yang bertujuan untuk memperlancar kegiatan pertukaran yang terjadi antara produsen dan konsumen. Fungsi fasilitas terdiri dari empat fungsi :

a) Fungsi standarisasi dan grading yaitu mempermudah pembelian barang,

mempermudah pelaksanaan jual beli, mengurangi biaya pemasaran dan memperluas pasar.

b) Fungsi penanggungan risiko dengan menerima kemungkinan kehilangan dalam proses pemasaran yang disebabkan risiko fisik dan risiko pasar.

c) Fungsi pembiayaan yaitu kegiatan pembayaran dalam bentuk uang untuk memperluas proses tataniaga

d) Fungsi informasi pasar dengan mengumpulkan interpretasi dari sejumlah data sehingga proses pemasaran menjadi lebih sempurna.


(35)

18 Asmarantaka (2009) mengemukakan bahwa fungsi-fungsi tataniaga merupakan aktivitas-aktivitas bisnis atau perlakuan oleh lembaga-lembaga tataniaga dalam proses tataniaga. Sedangkan Dahl and Hammond (1987), mendefinisikan fungsi-fungsi tataniaga sebagai serangkaian fungsi yang dipergunakan dalam menggerakkan input dari titik produsen sampai konsumen akhir terdiri dari fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Fungsi-fungsi pemasaran tersebut adalah kegiatan produktif (meningkatkan nilai guna bentuk, tempat, waktu dan kepemilikan).

Ketiga definisi para ahli maka dapat diintisarikan bahwa fungsi-fungsi tataniaga sebagai aktivitas dalam proses tataniaga yang melibatkan lembaga-lembaga tataniaga untuk menyampaikan komoditi dari produsen hingga ke konsumen akhir. Fungsi tataniaga juga membentuk suatu pasar yang di dalamnya terdiri dari beberapa penjual dan pembeli. Hubungan antara pelaku-pelaku tataniaga tersebut dapat dilihat pada bentuk struktur pasarnya. Tataniaga yang baik harus dilihat pula struktur pasarnya.

2.5. Struktur Pasar

Struktur pasar merupakan dimensi yang menjelaskan pengambilan keputusan oleh perusahaan maupun industri, jumlah perusahaan dalam suatu pasar, distribusi perusahaan menurut berbagai ukuran, deskripsi komoditi dan diferensiasi komoditi, syarat pasar dan lainnya (Limbong dan Sitorus, 1987).

Struktur pasar didefinisikan sebagai saling hubungan (korelasi) antara pembeli (calon pembeli) dan penjual (calon penjual) yang secara strategi mempengaruhi penentuan harga dan pengorganisasian pasar (Asmarantaka, 1999).


(36)

19 Menurut Dahl dan Hammond (1997), struktur pasar adalah sifat-sifat atau karakteristik pasar, dimana ada empat faktor penentu dari karakteristik struktur pasar (1) jumlah atau ukuran pasaran, (2) kondisi atau keadaaan produk, (3) kondisi keluar atau masuk pasar dan (4) tingkat pengetahuan informasi pasar yang dimiliki oleh partisipan dalam pemasaran misalnya biaya, harga dan kondisi pasar antara partisipan.

Berdasarkan karakteristik struktur pasar tersebut Dahl and Hammond (1987) dan Limbong dan Sitorus (1987) mengelompokkan pasar ke dalam empat struktur pasar yang berbeda, yaitu: (1) Pasar Persaingan Sempurna (Perfect

Competition); (2) Pasar Monopoli atau Monopsoni (Monopoly/Monopsony); (3)

Pasar Oligopoli atau Oligopsoni (Oligopoly/Oligopsony); dan (4) Pasar

Persaingan Monopolistik (Monopolistic Competition).

Struktur pasar persaingan sempurna adalah pasar dimana banyak pembeli dan penjual memperdagangkan komoditi yang bersifat homogen atau seragam dengan jumlah yang banyak, sehingga setiap pembeli dan penjual tidak dapat mempengaruhi harga di pasar, atau dengan kata lain bahwa pembeli dan penjual merupakan pihak yang mengikuti harga (price taker) bukan sebagai pihak yang

menetapkan harga (price maker). Disamping itu, pasar persaingan sempurna tidak

terdapat hambatan untuk keluar atau masuk pasar, sehingga pembeli dan penjual dapat dengan mudah untuk keluar dan masuk pasar. Pengetahuan atau informasi yang dimiliki oleh pembeli dan penjual mengenai kondisi pasar relatif sempurna, dan mobilitas sumber-sumber ekonomi juga relatif sempurna.


(37)

20 Struktur pasar monopoli dicirikan dengan penjual tunggal dari sebuah komoditas yang bersifat unik dan sangat dideferensiasi dan penjual tersebut memiliki pengaruh atas penawaran produk tertentu sehingga pada struktur pasar monopoli penjual merupakan pihak yang menetapkan harga. Hambatan untuk masuk dan keluar yang besar seringkali merintangi pendatang potensial dan menawarkan kesempatan untuk memperoleh laba ekonomi. Dari segi pembeli disebut pasar monopsoni, yang terdiri hanya dari seorang pembeli suatu komoditi.

Pasar oligopoli terdiri dari beberapa penjual yang sangat peka akan strategi pemasaran dan penetapan harga penjual lain dan menjual produk yang bersifat homogen serta standar. Sedikit jumlah penjual ini disebabkan tingginya hambatan untuk memasuki industri yang bersangkutan, hal ini dapat disebabkan beberapa hal, seperti: paten, kebutuhan modal yang besar, pengendalian bahan baku, pengetahuan yang sifatnya perorangan dan lokasi yang langka dan sebagainya. Sedangkan pasar yang terdiri dari beberapa pembeli disebut pasar oligopsoni.

Pasar yang terdiri dari beberapa penjual yang menjual produk yang bersifat terdeferensiasi atau heterogen disebut pasar oligopoli terdeferensiasi. Sedangkan pasar oligopsoni terdeferensiasi merupakan pasar yang dicirikan dengan beberapa pembeli yang membeli produk yang terdeferensiasi.

Pasar persaingan monopolistik merupakan karakteristik struktur pasar antara pasar persaingan sempurna dan pasar oligopoli. Pasar persaingan monopolistik dicirikan dengan terdapat banyak penjual dan pembeli yang melakukan transaksi pada berbagai macam harga dan bukan atas satu harga pasar, dimana munculnya beberapa macam harga ini disebabkan penjual dapat


(38)

21 melakukan penawaran yang berbeda kepada pembeli. Produk fisik dapat dibedakan menurut kualitas, ciri atau gayanya, service dapat berbeda, sebagai akibat penglihatan pembeli yang berbeda atas barang yang ditawarkan dan kesediaan membayar harga yang berbeda.

Pada pasar persaingan monopolistik, penjual mengajukan penawaran yang berbeda untuk segmen pembeli yang berbeda dan dengan bebas menggunakan merek, periklanan dan personal selling, disamping harga untuk menonjolkan

penawaran. Dari segi pembeli pasar ini disebut pasar persaingan monopsoni. Menurut Limbong dan Sitorus (1987), analisis struktur pasar merupakan salah satu elemen penting yang harus diamati dalam menganalisis tataniaga. Agar produsen dan konsumen dapat melakukan sistem tataniaga yang efisien, maka ada tiga hal yang perlu diperhatikan yaitu : (a) Konsentrasi pasar dan jumlah produsen, (b) Sistem keluar masuk barang yang terjadi di pasar, dan (c) diferensiasi produk. Berikut adalah Tabel mengenai karakteristik masing-masing struktur pasar yang dilihat dari dua sisi yaitu sisi produsen dan sisi konsumen.


(39)

22 Tabel 5. Karakteristik Pasar Berdasarkan Sudut Penjual dan Pembeli

Sumber: Dahl dan Hammond (1997)

Dari beberapa pengertian yang telah disebutkan diatas, maka dapat dikatakan bahwa struktur pasar adalah karakteristik organisasional yang berdasarkan hubungan antara penjual dengan penjual lainnya, antara pembeli dengan pembeli lainnya, antara penjual dengan pembeli, dan antara pedagang dengan suplier yang potensial bisa masuk pasar. Dalam beberapa karakteristik struktur pasar tersebut di dalamnya terdapat perilaku pasar yang berbeda-beda.

2.6. Perilaku Pasar

Asmarantaka (1999), mendefinisikan perilaku pasar adalah seperangkat strategi dalam pemilihan yang ditempuh baik penjual maupun pembeli untuk mencapai tujuannya. Terdapat tiga cara mengenal perikau pasar, yakni :

1. Penentuan harga dan setting level of output ; penentuan harga :

menetapkan dimana harga tersebut tidak berpengaruh terhadap perusahaan lain, ditetapkan secara bersama-sama penjual atau penetapan harga berdasarkan pemimpin harga (price leadership).

Karakteristik Struktur Pasar NO Jumlah

Penjual

Jumlah

Pembeli Sifat Produk Sudut Penjual Sudut Pembeli 1 Banyak Banyak Homogen Persaingan

Sempurna

Persaingan Sempurna 2 Banyak Sedikit Diferensiasi Persaingan

Monopolistik

Oligopsoni 3 Sedikit Banyak Homogen Oligopoli Persaingan

Monopolistik 4 Sedikit Sedikit Diferensiasi Oligopoli

Diferensiasi

Oligopoli Diferensiasi 5 Satu Satu Unik Monopoli Monopsoni


(40)

23 2. Product promotion policy ; melalui pameran dan iklan atas nama

perusahaan.

3. Predatory and exlusivenary tactics ; strategi ini bersifat ilegal karena

bertujuan mendorong persahaan pesaing untuk keluar dari pasar. Strategi ini antara lain menetapkan harga di bawah biaya marginal sehingga perusahaan lain tidak dapat bersaing secara sehat. Cara lain adalah berusaha menguasai bahan baku (intergrasi vertikal ke belakang).

Perilaku pasar menurut Dahl dan Hammond (1987) merupakan pola atau tingkah laku dari lembaga-lembaga pemasaran yang menyesuaikan dengan struktur pasar dimana lembaga-lembaga tersebut melakukan kegiatan penjualan dan pembelian, penentuan harga dan kerjasama antar lembaga pemasaran. Perilaku pasar dapat diketahui dengan mengamati praktik penjualan dan pembelian yang dilakukan oleh masing-masing lembaga pemasaran, sistem penentuan harga, kemampuan pasar menerima jumlah produk yang dijual, stabilitas pasar dan pembayaran serta kerjasama di antara berbagai lembaga pemasaran.

Menganalisis tingkah laku pasar terdapat tiga pihak yang memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Produsen menghendaki harga yang tinggi pasar output secara lokal menghendaki pilihan beberapa pembeli, tersedia waktu dan informasi pasar yang cukup dan adanya kekuatan tawar menawar yang lebih kuat. Lembaga tataniaga menghendaki keuntungan yang maksimal, yaitu selisih margin tataniaga dengan biaya untuk melaksanakan fungsi-fungsi tataniaga relatif besar.


(41)

24 Sedangkan konsumen menghendai tersedianya produk pertanian sesuai kebutuhan konsumen dengan harga yang wajar.

Kriteria yang digunakan dalam menilai tingkah laku pasar meliputi : (1) Apakah tingkah laku pasar tidak wajar, eksklusif, saling mematikan ataukah peserta pasar menetapkan taktik paksaan, (2) Apakah tidak terjadi promosi penjualan yang menyesatkan. (3) Persengkongkolan penetapan harga apakah dapat dinyatakan secara terang-terangan atau sembunyi, (4) Apakah ada perlindungan terhadap praktek tataniaga yang tidak efisien, (5) Apakah praktek penetapan harga yang sama untuk kualitas produk yang lebih merugikan konsumen.

Beberapa pemaparan mengenai perilaku pasar diatas dapat didefinisikan bahwa perilaku pasar merupakan pola tingkah laku peserta pasar, yaitu produsen, konsumen, dan lembaga tataniaga dalam memberikan respon terhadap situasi penjualan dan pembelian yang terjadi. Perilaku suatu pemasar akan sangat jelas pada saat beroperasi, misalkan dalam penentuan harga, promosi, usaha dan pangsa pasar, penjualan, pembelian, siasat pemasaran dan lain sebagainya. Struktur pasar dan perilaku pasar akan menentukan keragaan pasar yang dapat diukur melalui peubah harga, biaya dan marjin pemasaran serta jumlah komoditas yang diperdagangkan (Dahl & Hammond, 1987).

2.7. Keragaan Pasar

Keragaan pasar menunjukkan akibat dari keadaan struktur dan perilaku pasar dalam kenyataan sehari-hari yang ditunjukkan dengan harga, biaya, volume produksi, yang akhirnya memberikan penilaian baik atau tidaknya suatu sistem


(42)

25 tataniaga. Keragaan pasar juga dapat diidentifikasi melalui penggunaan teknologi dalam pemasaran, pertumbuhan pasar, efisiensi penggunaan sumberdaya, penghematan pembiayaan dan peningkatan jumlah barang yang dipasarkan sehingga mencapai keuntungan maksimum (Dahl dan Hammond, 1987).

Asmarantaka (1999) menambahkan keragaan pasar dapat diukur dengan beberapa ukuran. Secara khusus ukuran tersebut diklasifikasikan sebagai berikut :

a) Pricing efficiency, ukurannya adalah seberapa jauh harga mendekati

biaya total (ATC). Dapat dilakukan melalui beroprasi pada produksi yang efisien atau efisiensi output.

b) Cost efficiency or productive efficiency ; ukuran yang digunakan dapat

dalam jangka pendek, yaitu efisiensi pada fungsi produksi dan efisiensi alokasi sumberdaya ; sedangkan ukuran dalam jangka panjang adalah

excess capacity and optimal size.

c) Sale promotion cost, ukuran dapat dilihat dari volume penjualan.

d) Technical progressive (dinamic product efficiency); pengukuran ini

dapat dilihat dari seberapa jauh menurunnya Long-run Average Total

Cost (LRATC).

e) Rate of product development atau inovasi; pengukuran bagaimana dapat

memproduksi (how to produce) dengan kualitas, efisiensi dan higinitas

sehingga dihasilkan produk yang memiliki keunggulan kompetitif, f) Exchange efficiency; meliputi efisiensi biaya dalam penentuan harga


(43)

26 g) Market externality; bagaimana dapat meminimalkan market

externalities yang negatif dan meningkatkan yang positif.

h) Conversation; berkaitan dengan isue-isue antara lain ecolabeling,

greenpeace.

i) Price flexibility; dalam kegiatan bagaiman penyesuaian atau perubahan

harga dengan adanya perubahan biaya.

Keragaan pasar merupakan hasil akhir yang dicapai akibat dari penyesuaian yang dilakukan oleh lembaga pemasaran pada struktur pasar tertentu, didefinisikan sebagai seberapa bagus sistem pemasaran bisa memenuhi harapan masyarakat dan pelaku pasar. Secara teoritis keragaan suatu industri ditentukan oleh 2 faktor yaitu: struktur industri (jumlah dan ukuran perusahaan, derajat diferensiasi produk, dan kemudahan keluar masuk pasar); dan market conduct

(harga di tingkat produsen, produk, dan strategi promosi). (Kohl dan Uhl, 1990). Dari penjelasan diatas maka dapat disebut bahwa keragaan pasar merupakan hasil keputusan akhir yang diambil yang berhubungan dengan proses tawar-menawar dan persaingan pasar. Keragaan pasar ini dapat digunakan untuk melihat seberapa jauh pengaruh struktur dan perilaku pasar dalam proses tataniaga suatu komoditi pertanian. Dengan mengetahui pengaruh struktur dan perilaku pasar maka dapat dilihat apakah tataniaga dari suatu komoditas sudah efisien atau belum.


(44)

27 2.8. Efisiensi Tataniaga

Hal yang perlu diperhatikan dalam kegiatan tataniaga adalah tingkat efisiensi dari tataniaga, karena tataniaga yang efisien dapat memberikan kepuasan kepada semua pihak yang terlibat dalam tataniaga. Tataniaga disebut efisiensi, apabila tercipta keadaan dimana pihak produsen, lembaga tataniaga dan konsumen memperoleh kepuasan dengan adanya aktivitas tataniaga tersebut. Untuk meningkatkan efisiensi sistem tataniaga, unsur-unsur produsen, lembaga tataniaga, konsumen serta pemerintah dapat memberikan sumbangan (Limbong dan Sitorus, 1987). Mubyarto (1994) menambahkan efisiensi tataniaga dapat terjadi jika :

1. Mampu menyampaikan hasil-hasil dari petani produsen kepada konsumen dengan biaya semurah-murahnya.

2. Mampu mengadakan pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayar konsumen terakhir kepada semua pihak yang ikut serta di dalam kegiatan produksi dan tataniaga barang itu.

Berdasarkan uraian sebelumnya dapat diintisarikan bahwa efisiensi tataniaga merupakan suatu kondisi dimana terciptanya kepuasan dan kesejahteraan pada setiap lembaga yang terlibat dalam kegiatan tataniaga. Pendekatan efisiensi tataniaga dapat dibedakan menjadi dua, yaitu efisiensi harga dan efisiensi operasional (Hammond dan Dahl, 1987). Efisiensi harga menekankan keterkaitan harga dalam mengalokasikan komoditas dari produsen ke konsumen sebagai akibat perubahan tempat, bentuk, dan waktu termasuk pengolahan, penyimpanan, pengangkutan. Efisiensi operasional/teknis


(45)

28 menunjukkan hubungan antara input-output, di mana biaya input pemasaran dapat diturunkan tanpa mempengaruhi jumlah output barang dan jasa.

Efisiensi operasional dalam rantai tataniaga pertanian menekankan pada kemampuan meminimumkan biaya yang digunakan menyelenggarakan fungsi-fungsi tataniaga, maupun untuk menggerakkan komoditas dari produsen ke konsumen. Efisiensi operasional diukur dari margin tataniaga, farmer’s share serta rasio keuntungan dan biaya.

2.8.1. Margin Tataniaga

Asmarantaka (1999), mendefinisikan margin tataniaga adalah perbedaan antara harga diberbagai tingkat lembaga tataniaga di dalam sistem tataniaga; pengertian margin tataniaga ini sering dipergunakan untuk menjelaskan fenomena yang menjembatani gap (bridging the gap) antara pasar ditingkat petani (farmer)

dengan pasar ditingkat eceran (retailer).

Margin tataniaga sebagai perbedaan harga ditingkat petani (Pf) dengan harga pedagang pengecer (Pr). Margin tataniaga menjelaskan perbedaan harga dan tidak memuat pernyataan mengenai jumlah produk yang dipasarkan. Nilai margin tataniaga (value of marketing margin) merupakan perkalian antara margin

tataniaga dengan volume produk yang terjual (Pr-Pf) x Qrf yang mengandung pengertian marketing cost dan marketing charge (Dahl dan Hammond, 1987).


(46)

29 P (Harga)

Sr

Pr Sf

Dr

Pf Df

O Qr,f Q (jumlah) Gambar 1. Hubungan antara fungsi – fungsi pertama dan turunan

terhadap margin tataniaga dan nilai margin tataniaga (Limbong dan Sitorus, 1987)

Keterangan :

Pr = Harga di Tingkat Pedagang Pengecer Pf = Harga di Tingkat Petani

Sr = Supply di tingkat pengecer (derived supply) Sf = Supply di tingkat petani

Dr = Demand di tingkat pengecer (derived demand) Df = Demand di tingkat petani (primary demand) Qr,f = Jumlah Produk di Tingkat Petani dan Pengecer

Berdasarkan Gambar 1 dapat dilihat besarnya nilai Margin Tataniaga yang merupakan hasil perkalian dari perbedaan harga pada dua tingkat lembaga tataniaga (dalam hal ini selisih harga eceran dengan harga petani) dengan jumlah produk yang dipasarkan. Semakin besar perbedaan harga antara lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat, terutama antara harga yang terjadi di tingkat eceran dengan harga yang diterima petani, maka semakin besar pula margin tataniaga dari komoditi yang bersangkutan.


(47)

30 Adanya perbedaan dari banyak lembaga tataniaga yang terlibat mengakibatkan biaya tataniaga meningkat akan diikuti peningkatan pengambilan keuntungan oleh setiap lembaga tataniaga yang terlibat. Pada dasarnya besar kecilnya margin tataniaga sering digunakan sebagai kriteria untuk penilaian apakah pasar tersebut sudah efisien atau belum. Namun tinggi-rendahnya margin tataniaga tidak selamanya dapat digunakan sebagai ukuran efisiensi kegiatan tataniaga. Secara umum suatu sistem tataniaga dapat dikatakan efisiensi, apabila dalam memasarkan suatu komoditi yang sama terdapat penyebaran margin yang merata dan masing-masing memiliki keuntungan (kesejahteraan) di semua pelaku pemasaran.

Penjelasan mengenai margin tataniaga yang telah disebutkan diatas dapat dikatakan bahwa margin tataniaga adalah perbedaan harga atau selisih harga yang dibayar konsumen dengan harga yang diterima petani produsen, atau dapat juga dinyatakan sebagai nilai dari jasa-jasa pelaksanaan kegiatan tataniaga sejak dari tingkat produsen sampai ke titik konsumen akhir.

Tingginya margin tataniaga belum mencerminkan efisiennya jasa yang diberikan oleh sistem tataniaga tersebut. Salah satu indikator yang cukup berguna adalah memperbandingkan bagian yang diterima (farmer’s share) oleh petani (Limbong dan Sitorus, 1987).


(48)

31 2.8.2. Farmer’s Share

Salah satu indikator yang menentukan efisiensi pemasaran ialah farmer’s share (selama komoditas tidak berubah bentuk hinga sampai di tangan konsumen

akhir). Bagian yang diterima petani (farmer’s share) merupakan perbandingan harga yang diterima petani dengan harga yang dibayar konsumen. Bagian yang diterima lembaga pemasaran ini dinyatakan dalam persentase (Limbong dan Sitorus, 1987).

Farmer’s Share mempunyai hubungan yang negatif dengan margin tataniaga, karena apabila margin tataniaganya semakin tinggi umumnya akanmengakibatkan farmer’s share akan semakin kecil, begitu juga sebaliknya. Sehingga, farmer’s share mempunyai nilai yang relatif lebih rendah jika harga di tingkat konsumen akhir relatif tinggi jika dibandingkan dengan harga yang diterima oleh petani. Sebaliknya juga jika farmer’s share mempunyai nilai yang relatif lebih tinggi jika harga di tingkat konsumen akhir tidak terpaut jauh jika dibandingkan dengan harga yang diterima oleh petani.

2.8.3. Rasio Keuntungan dan Biaya (R/C)

Kriteria lain yang biasanya digunakan dalam menetukan efisiensi tataniaga dari suatu komoditas ialah rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga. Hal ini dikarenakan pembanding opportunity cost dari biaya adalah keuntungan. Sistem

tataniaga secara teknis dikatakan efisien apabila rasio terhadap biaya semakin besar dan nilainya bernilai positif atau lebih besar dari nol (> 0).

Menurut Limbong dan Sitorus (1987), tingkat efisiensi suatu sistem pemasaran dapat dilihat dari penyebaran rasio keuntungan dan biaya dengan


(49)

32 demikian, meratanya penyebaran rasio keuntungan dan biaya dan margin tataniaga terhadap biaya tataniaga, maka secara teknis sistem tataniaga tersebut semakin efisien.

2.9. Ubi Jalar

Ubi jalar atau ketela rambat (Ipomoea batatas L.) adalah

sejenis tanaman budidaya. Bagian yang dimanfaatkan adalah akarnya yang membentuk umbi dengan kadar gizi (karbohidrat) yang tinggi. Di Afrika, umbi ubi jalar menjadi salah satu sumber makanan pokok yang penting. Di Asia, selain dimanfaatkan umbinya, daun muda ubi jalar juga dibuat sayuran. Terdapat pula ubi jalar yang dijadikan tanaman hias karena keindahan daunnya.

Umbi-umbian merupakan tanaman lokal yang telah lama dikenal dan dikonsumsi masyarakat Indonesia. Dalam bentuk segar kandungan protein ubi jalar masih sedikit. Masalah ini dapat diatasi dengan mengolahnya menjadi bentuk kering (Astanto Kasno: 2006). Salah satu bentuk kering tersebut adalah beras ubi. Ubi jalar atau ketela rambat (Ipomoea batatas L.) adalah sejenis

tanaman budidaya. Bagian yang dimanfaatkan adalah akarnya yang membentuk umbi dengan kadar gizi (karbohidrat) yang tinggi.

Varietas atau kultivar ubi jalar yang ditanam di berbagai daerah jumlahnya cukup banyak, antara lain: lampeneng, sawo, cilembu, Rambo, SQ-27, mendut dan kalasan.


(50)

33 Varietas yang digolongkan sebagai varietas unggul harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

a) Berdaya hasil tinggi, diatas 30 ton/hektar b) Berumur pendek antara 3 – 4 bulan c) Rasa ubi enak dan manis

d) Tahan terhadap hama penggerek ubi (cylas sp.)dan penyakit kudis oleh

cendawan elsinoe sp.

e) Kadar karotin tinggi diatas 10 mg/100 gram f) Keadaan serat ubi relatif rendah

Di beberapa daerah tertentu, ubi jalar merupakan salah satu komoditi bahan makanan pokok dan diusahakan penduduk mulai dari daerah dataran rendah sampai dataran tinggi. Tanaman ini mampu beradaptasi di daerah yang kurang subur dan kering. Dengan demikian tanaman ini dapat diusahakan orang sepanjang tahun.

2.9.1. Kandungan Gizi Ubi Jalar

Ubi jalar merupakan komoditas sumber karbohidrat utama, setelah padi, jagung, dan ubi kayu, dan mempunyai peranan penting dalam penyediaan bahan pangan, bahan baku industri maupun pakan ternak. ubi jalar dapat dimanfaatkan sebagai pengganti makanan pokok karena merupakan sumber kalori yang efisien. Selain itu, ubi jalar juga mengandung vitamin A dalam jumlah yang cukup, asam askorbat, tianin, riboflavin, niasin, fosfor, besi, dan kalsium. Di samping sumbangan vitamin dan mineral, kadar karotin pada ubi jalar sebagai bahan utama pembentukan vitamin A setaraf dengan karotin pada wortel (Daucuscarota).


(51)

34 Kandungan Vitamin A yang tinggi dicirikan oleh umbi yang berwarna kuning kemerah-merahan. Kadar vitamin C yang terdapat di dalam umbinya memberikan peran yang tidak sedikit bagi penyediaan dan kecukupan gizi dan dapat dijangkau oleh masyarakat di pedesaan.

Di antara bahan pangan sumber karbohidrat, ubi jalar memiliki keunggulan dan keuntungan yang sangat tinggi bagi masyarakat Indonesia, berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut:

1. Ubi jalar mudah diproduksi pada berbagai lahan dengan produkti-vitas antara 20-40 t/ha umbi segar.

2. Kandungan kalori per 100 g cukup tinggi, yaitu 123 kal dan dapat memberikan rasa kenyang dalam jumlah yang relatif sedikit

3. Cara penyajian hidangan ubi jalar mudah, praktis dan sangat beragam, serta serasi (compatible) dengan makanan lain yang dihidangkan.

4. Harga per unit-hidang murah dan bahan mudah diperoleh di pasar lokal.

5. Dapat berfungsi dengan baik sebagai substitusi dan suplementasi makanan sumber karbohidrat tradisional nasi beras.

6. Bukan jenis makanan baru dan telah dikenal secara turun temurun oleh masyarakat Indonesia.

7. Rasa dan teksturnya sangat beragam, sehingga dapat dipilih yang paling sesuai dengan selera konsumen.

8. Mengandung vitamin dan mineral yang cukup tinggi sehingga layak dinilai sebagai golongan bahan pangan sehat.


(52)

35 Tabel 6. Komponen Gizi Ubi Jalar

No Kandungan Gizi Ubi Putih Ubi Merah Ubi Kuning

Daun

1 Kalori (kal) 123 123 136 47

2 Protein (g) 1,8 1,8 1,1 2,8

3 Lemak (g) 0,7 0,7 0,4 0,4

4 Karbohidrat (g) 27,9 27,9 32,3 10,4

5 Air (g) 62 68,5 - 84,7

6 Serat Kasar 0,9 1,2 1,4 -

7 Kadar Gula 0,4 0,4 0,3 -

8 Beta karoten 31,2 174,2 - -

Sumber : Direktorat Gizi Depkes RI, 1981, Suismono, 1995

Sifat-sifat yang positif tersebut, ubi jalar dinilai sangat sesuai untuk mendukung program diversifikasi sumber karbohidrat. Ubi jalar juga bisa di jadikan sebagai bahan pangan alternatif yang memiliki kandungan gizi yang baik.

2.9.2. Manfaat dan Penggunaan Ubi Jalar

Dalam program diversifikasi pangan, peranan ubi jalar dapat menunjang dua arah, yaitu horizontal dan vertical. Dalam diversifikasi horizontal, dapat dikembangkan sebagai tanaman baru di daerah-daerah potensial yang mempunyai kesesuaian lahan dan lingkungan yang tepat untuk budi daya. Diharapkan ini dapat diterima petani setempat ke dalam sistem usahataninya. Adapun untuk diversifikasi vertikal, lebih banyak diarahkan dalam pengembangan dan penganekaragaman produk (Darmardjati dan Widowati, 1994).

Berkembangnya pengetahuan dan teknologi industri pengolahan pangan, manfaat dan kegunaan ubi jalar sebagai bahan baku menjadi semakin luas, terutama untuk industri makanan, seperti dibuat keripik, chips, tepung, mie, snack,


(53)

36 permen, dan gula fruktosa. Di Amerika Serikat, ubi jalar diolah menjadi gula fruktosa yang digunakan sebagai bahan baku industri minuman coca-cola.

Limbah ubi jalar berupa batang dan daun dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak. Di Irian Jaya, limbah daun ubi jalar digunakan sebagai pakan ternak kelinci. Daun-daun muda (pucuk), terutama yang berasal dari varietas ubi jalar berdaun kecil dan menjari, dapat dimanfaatkan untuk sayur.

Adapun manfaat penggunaan ubi jalar membuka peluang bisnis dan prospek potensial dalam memberikan nilai ekonomi dan sosial bagi yang memanfaatkan dapat dilihat pada gambar 2.


(54)

37 Sektor pertanian Sektor Industri Konsumen

Gambar 2. Aneka Kegunaan Ubi Jalar dalam Skema Pohon Industri

Sumber : Penanganan Panen, Pascapanen dan Pengolahan Hasil (Ditjentan dan - IPB, 1996) Saus Tape Brem Kremes Keripik Ubi Goreng Getuk

Kulit Makanan Ternak

Daun Sayuran

Umbi Ubi Jalar Pilus Kroket Gaplek I N D U S T R I M A K A N A N Chip Pati Tepung Rebus/Kukus Saus Tape Brem Kremes Keripik Ubi Goreng Getuk

Kulit Makanan Ternak

Daun Sayuran

Umbi


(55)

38 2.10. Penelitian-Penelitian Terdahulu

Rachma (2008) melakukan penelitian tentang Efisiensi Tataniaga Cabai Merah, (Studi kasus Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis, Propinsi Jawa Barat). Hasil penelitian menunjukkan terdapat lima jenis saluran tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum. Saluran tataniaga 1 (pedagang pengumpul – pedagang grosir – pedagang pengecer ke 2), saluran tataniaga II (pedagang pengumpul – pedagang grosir – pedagang pengecer 1 – pedagang pengecer 2), saluran tataniaga III (pedagang pengumpul – pedagang grosir – pedagang pengecer 2), saluran tataniaga IV (pedagang pengumpul – pedagang pengecer 1 – pedagang pengecer 2), dan saluran tataniaga V (pedagang pengumpul dan pedagang pengecer 1).

Berdasarkan kelima saluran tataniaga tersebut, terlihat bahwa 100 persen cabai merah dijual petani ke pedagang pengumpul. Hasil analisis marjin tataniaga menunjukkan bahwa marjin terbesar terdapat pada saluran II, III, dan IV, sedangkan marjin terkecil terdapat pada saluran I dan V. Struktur pasar yang terbentuk dalam tataniaga cabai merah adalah bersaing tidak sempurna, maka setelah dianalisis tidak ada keterpaduan. Persaingan yang tidak sempurna dalam tataniaga cabai merah ini menunjukkan bahwa sistem tataniaga cabai merah di lokasi penelitian belum efisien.

Penelitian mengenai Analisis Usahatani dan Tataniaga Kedelai di Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat dilakukan oleh Maryani (2008) dengan tujuan untuk menganalisis tingkat pendapatan usahatani kedelai, mengkaji saluran tataniaga, struktur pasar dan permasalahan yang ada di setiap


(56)

39 pelaku pasar, dan menganalisis tingkat efisiensi tataniaga kedelai di Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Untuk tataniaga digunakan penelusuran saluran tataniaga, analisis margin pemasaran, analisis struktur pasar, dan analisis efisiensi tataniaga. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, terdapat dua saluran tataniaga kedelai di Kecamatan Ciranjang, Kecamatan Cianjur, Jawa Barat.

Dua saluran tataniaga tersebut yakni saluran tataniaga kedelai polong tua dan saluran tataniaga polong muda. Saluran tataniaga kedelai polong muda yaitu, kedelai yang dihasilkan oleh petani kemudian didistribusikan kepada pedagang pengumpul dan didistribusikan kembali ke pedagang Pasar Induk di Parung. Sedangkan untuk saluran tataniaga kedelai polong tua terdapat delapan saluran saluran tataniaga yang digunakan oleh petani hingga sampai produk sampai kepada konsumen akhir. Struktur yang dihadapi antara petani dan pedagang pengumpul, petani dan pedagang Kecamatan, serta antara petani dan pedagang besar adalah persaingan dan oligopsoni. Struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang pengumpul adalah persaingan, sedangkan struktur pasar yang dihadapi oleh Kecamatan adalah oligopsoni. Berdasarkan perhitungan margin tataniaga total margin tataniaga, yaitu Rp.1.000/kg dan farmer’s share yang paling tinggi yaitu sebesar 77,78 persen.

Penelitian Peranginangin (2011) dengan judul Analisis Tataniaga Markisa Ungu di Kabupaten Karo dengan studi kasus di Desa Sebaraya, Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara menganalisis mengenai tataniaga dan tingkat efisiensi tataniaga markisa ungu serta menemukan alternatif


(57)

40 saluran tataniaga yang lebih efisien secara relatif jika dibandingkan dengan tataniaga yang lain. Tataniaga markisa ungu merupakan serangkaian kegiatan bisnis dalam menyalurkan markisa ungu mulai dari tingkat petani hingga konsumen akhir. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terdapat beberapa lembaga tataniaga yang terlibat yaitu diantaranya petani, pedagang pengumpul (perkoper), grosir, pabrik pengolah, pedagang antar kota, pedagang pengecer,

toko minuman serta cafe minuman. Namun selain kedelapan lembaga tataniaga tersebut, dalam penelitian ini “tukang kilo” (pemilik alat timbangan/jasa penimbangan markisa ungu) juga menjadi pelaku tataniaga.

Saluran tataniaga yang dihasilkan pada penelitian ini sebanyak 7 saluran tataniaga. Saluran 1 : petani – pabrik pengolahan – toko minuman – konsumen. Saluran 2 : petani – pedagang pengumpul - grosir – pabrik pengolah – toko minuman – konsumen. Saluran 3 : petani – pedagang pengumpul – grosir – pedagang antar kota – pedagang pengecer luar kota – konsumen. Saluran 4 : petani – grosir – pabrik pengolah – toko minuman – konsumen. Saluran 5 : petani – grosir – pedagang antar kota – pedagang pengecer luar kota – konsumen. Saluran 6 : petani pedagang pengecer lokal – konsumen. Dan saluran 7 : petani – toko minuman – konsumen.

Fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan oleh setiap lembaga tataniaga yaitu fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Dari ketujuh saluran tataniaga yang dihasilkan saluran tataniaga yang paling efisien secara relatif dibandingkan dengan saluran tataniaga yanag lain dengan produk akhir sirup markisa adalah saluran tataniaga 1. Sedangkan saluran tataniaga yang efisien


(58)

41 secara relatif dengan produk akhir buah markisa yaitu saluran tataniaga 5. Namun secara keseluruhan, saluran tataniaga 1 merupakan saluran tataniaga yang paling efisien secara relatif jika dibandingkan dengan saluran tataniaga yang lain yaitu dengan nilai farmer’s share 18,75 persen, margin tataniaga 81,25 persen, penerimaan bersih petani Rp.2.710/kg dan mampu menampung 19,43 persen volume markisa yang dihasilkan petani dengan nilai penyebaran rasio keuntungan terhadap biaya relatif merata.

2.11. Kerangka Pemikiran Operasional

Penelitian ini dimulai dengan meninjau masalah-masalah yang terkaitdengan tataniaga ubi jalar di lokasi penelitian. Selanjutnya dilakukan analisis sistem tataniaga ubi jalar yaitu dengan menganalisis saluran dan lembaga pemasaran, fungsi-fungsi pemasaran, struktur dan perilaku pasar, serta analisis efisiensi operasional yang mencakup margin tataniaga, farmer’s share, serta rasio keuntungan dan biaya. Fungsi-fungsi pemasaran yang dianalisis meliputi fungsi pertukaran berupa penjualan dan pembelian; fungsi fisik berupa pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan; serta fungsi fasilitas berupa standarisasi dan

grading, penanggungan risiko, pembiayaan, dan informasi pasar.

Struktur pasar dapat diketahui dengan mengetahui jumlah pembeli dan penjual yang terlibat pada tataniaga ubi jalar, heterogenitas produk yang dipasarkan, mudah tidaknya keluar masuk pasar, serta informasi perubahan harga pasar. Setelah mengetahui struktur pasar, maka dilakukan analisis perilaku pasar,yaitu dengan mengamati praktek pembelian dan penjualan, praktek penentuan dan pembayaran harga, serta kerjasama antar lembaga tataniaga.


(59)

42 Struktur dan perilaku pasar akan menentukan keragaan pasar yang dapat diukur dengan analisis efisiensi operasional yang mencakup analisis margin tataniaga, farmer’s share, serta rasio keuntungan dan biaya. Dengan melihat hasil dari analisis tersebut, akan dapat diketahui apakah tataniaga ubi jalar tersebut sudah efisien atau belum. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3 tentang kerangka pemikiran operasional tataniaga ubi jalar di Desa Purwasari , Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor.


(60)

43 Gambar 3. Kerangka Pemikiran Penelitian Ubi Jalar di Desa Purwasari, Kecamatan Dramaga, Bogor.

Terdapat perbedaan harga ubi jalar yang cukup besar antara harga di tingkat petani dan di tingkat konsumen akhir

Bagaimana Tataniaga Ubi Jalar di Desa Purwasari, Kecamatan Dramaga,

Bogor

Analisis Deskriptif Kualitatif: 1. Saluran tataniaga dan

lembaga tataniaga 2. Fungsi-fungsi

tataniaga 3. Struktur pasar 4. Perilaku Pasar

Analisis Kuantitatif: 1. Margin Tataniaga 2. Farmer’s Share 3. Rasio Keuntungan

dan Biaya

KESIMPULAN & SARAN

Rekomendasi Alternatif Saluran Tataniaga yang Efisien


(61)

44 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Desa Purwasari,Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa daerah yang dipilih merupakan salah satu sentra produksi ubi jalar di Kabupaten Bogor. Waktu penelitian dilakukan pada bulan April – Juni 2014.

3.2. Sumber Data

Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pembagian daftar pertanyaan yang telah di siapkan dengan teknik wawancara langsung kepada petani serta lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat seperti pedagang pengumpul, dan pedagang pengecer. Pengamatan responden dilakukan dengan menggunakan metode informasi dari pelaku pasar pada saat penelusuran saluran tataniaga, sehingga responden yang diambil adalah responden yang benar-benar memasok ubi jalar ke pasar.

Data sekunder dikumpulkan dari instansi terkait seperti Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura, Kementrian Pertanian, Badan Pusat Statistik, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Bogor serta literatur-literatur dan sumber – sumber lain yang terkait dengan judul penelitian.


(62)

45 3.3. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan tiga metode utama, yaitu wawancara, identifikasi langsung dan studi kepustakaan.

1. Wawancara

Wawancara dilakukan terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam topik penelitian, seperti petani, pedagang pengumpul, pedangang pengecer (lembaga tataniaga lainnya), serta konsumen akhir. Wawancara disertai dengan kuisioner yang telah disediakan untuk keperluan dan tujuan dari penelitian.

2. Identifikasi Langsung

Identifikasi dilakukan dengan melakukan proses pengamatan langsung dan verifikasi terhadap kondisi yang ada di lapangan. Proses identifikasi dilakukan untuk mengetahui mekanisme pemasaran termasuk saluran tataniaga hingga konsumen akhir.

3. Studi Kepustakaan

Studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan informasi yang akan diperoleh dari bahan pustaka, hasil penelitian terdahulu, maupun dokumen dari instansi terkait.

3.4. Metode Penentuan Responden

Responden dalam penelitian ini adalah petani dan pedagang. Pemilihan responden petani ubi jalar dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik snowball sampling. Petani pertama (sebagai titik awal) yang menjadi responden adalah Bapak Saprudin yang ditentukan secara sengaja berdasarkan


(1)

16.Apakah kriteria panen sesuai dengan permintaan pasar ? Jika ya, spesifikasikan tiap kriteria pasar yang dituju : ………...

17.Apakah jika harga pasar turun, anda tetap melakukan kegiatan panen ? 18. Alat yang digunakan dalam pemanenan : ………

19.Kemana hasil panen selanjutnya ? (dijual langsung ditempat/disimpan/………..)

20.Apakah anda mengeluarkan biaya pengangkutan ?

21.Apakah lembaga tataniaga yang menerima hasil dari petani menerapkan standarisasi?

22.Sebelum dijual apakah melalui proses penyortiran ? (ya/tidak)

23.Hasil sortiran yang tidak terpilih digunakan untuk apa dan bagaimana ? 24.Bagaimana menentukan harga jual ?

25.Informasi harga diperoleh darimana ?

26.Berapa kali dalam seminggu menjual ubi Jalar ?

27. Harga jual ubi jalar Rp. ………../kg. volume yang dijual………. 28. Apakah tujuan selalu sama? Jika tidak, sebutkan alternative lain………. 29.Bagaimana teknik penjualannya ?

(kontrak/langganan/langsung/lainnya……….)

30.Bagaimana cara pembayarannya ? (tunai/kredit/lainnya………..) 31.Apakah bapak/ibu melakukan pencatatan/perhitungan pembiayaan dari

usahatani ubi jalar ?

32.Apakah ada kesulitan dalam memasarkan ubi jalar ? (ya/tidak)

Alasan ……… 33.Sumber modal (modal sendiri/dapatbantuan)

a. Besarnya modal berapa ………..

b. Jika mendapat bantuan dalam bentuk………jangka


(2)

KUISIONER UNTUK LEMBAGA TATANIAGA (PEDAGANG) 1. No. kuisioner :

2. Nama :

3. Alamat :

4. Umur dan Jenis Kelamin : 5. Pendidikan : 6. Golongan Pedagang : 7. Status Berdagang :

(pekerjaan utama/sampingan/lainnya…………..) A. CARA PEMBELIAN

1. Dari mana biasanya bapak/ibu memperoleh/membeli ubi jalar ?

Nama Alamat Golongan Pembayaran Keterangan (sebelum/sesudah) penerimaan barang

2. Apakah bapak/ibu selalu membeli dari orang tersebut ? (ya/tidak) Jika tidak, dari siapa bapak mendapat produk tersebut ?

3. Berapa frekuensi pembelian ubi jalar yang bapak/ibu beli ? (tiap hari/tiap minggu/lainnya ………..)

4. Berapa volume ubi jalar yang dibeli setiap harinya ………….kg/…….ton

5. Kualitas ubi jalar yang di beli

a. ………../kg

b. ………../kg


(3)

6. Berapa harga beli pada saat panen besar/kecil

Kualitas Harga Pembelian/kg/ton Harga Pembelian/kg/ton Panen Besar Panen Kecil Panen Besar Panen

Kecil

7. Kegiatan apa saja yang bapak/ibu lakukan :

a. Pembelian f. Pengradingan b. Penjualan g. Bongkar muat c. Pengangkutan h. Penyortiran

d. Pengemasan i. Penanggungan risiko e. Penyimpanan j. Retribusi

8. Apakah anda melakukan kegiatan penyimpanan?

a. Jumlah yang disimpan………..

b. Lama penyimpanan………

c. Cara penyimpanan………..

d. Lokasi penyimpanan………

9. Besarnya biaya yang dikeluarkan :

a. Biaya : Pengangkutan………..

Tenaga Kerja ………..

Pengemasan……….

Penyimpanan……….

Penyusutan………..

Bongkarmuat……….


(4)

Lain-lain ………. 10.Jumlah tenaga kerja ………., upah …………..HOK 11.Apakah anda melakukan standarisasi/sortasi ?

Bila komoditi tidak dijual apakah anda mengalami kerugian? Siapa yang menanggung ?

12.Apakah anda melakukan pengemasan ? (ya/tidak) jika ya kemasan apa yang digunakan ? dan berapa harganya ?

13.Apakah anda menanggung biaya dan resiko dari kegiatan pembelian ? 14.

B. CARA PENJUALAN

1. Kemana biasanya anda melakukan kegiatan penjualan ?

Nama Alamat Golongan Pembayaran Keterangan

(sebelum/sesudah) penerimaan barang

2. Apakah anda selalu menjual ke orang yang sama ? jika tidak, alternative lain :


(5)

3. Bagaimana cara penjualannya ? (kontrak/langganan/langsung/lainnya ………)

4. Bagaimana cara pembayarannya ? (tunai/kredit/lainnya………….)

5. Berapa banyak ubi jalar yang anda jual ? 6. Bagaimana frekuensi penjualan ubi jalar ini ? 7. Kualitas ubi jala yang di jual:

a. ………../kg

b. ………../kg

c. ………../kg

8. Berapa harga jual pada saat panen besar/panen kecil ?

Kualitas Harga Pembelian/kg/ton Harga Pembelian/kg/ton Panen Besar Panen Kecil Panen Besar Panen Kecil

9. Ada berapa banyak pedagang ubi jalar seperti bapak/ibu disini?

10.Apakah hambatan-hambatan yang anda alami dalam memasarkan ubi jalar ini ?

11.Manakah dari pertanyaan di bawah ini yang sesuai dengan keadaan anda sekarang?

a. Pembeli sedikit, penjual banyak (ya/tidak) b. Kualitas ubijalar kurang bagus (ya/tidak) c. Biaya transportasi tinggi (ya/tidak) d. Ketersediaan ubi jalar continue (ya/tidak)

12.Bagaimana mendapatkan informasi mengenai jumlah, harga,dan mutu ubi jalar yang akan dijual ?


(6)

14.Bagaimana cara anda menentukan harga jual?

a. Berdasarkan biaya yang dikeluarkan ditambah dengan persentasi keuntungan

b. Berdasarkan harga yang ditetapkan c. Tergantung pada permintaan

d. Lainnya………