Studi Salmonella Enteritidis pada Telur Ayam Ras di Pasar Tradisional Kabupaten Tangerang

(1)

STUDI SALMONELLA ENTERITIDIS PADA TELUR

AYAM RAS DI PASAR TRADISIONAL

KABUPATEN TANGERANG

FEBYA SATYANINGSIH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul :

”STUDI SALMONELLA ENTERITIDIS PADA TELUR AYAM RAS DI PASAR TRADISIONAL

KABUPATEN TANGERANG”

Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Mei 2007

Febya Satyaningsih


(3)

FEBYA SATYANINGSIH. Studi Salmonella Enteritidis pada Telur Ayam Ras di Pasar Tradisional Kabupaten Tangerang. Dibimbing oleh RETNO DAMAYANTI SOEJOEDONO, IETJE WIENTARSIH dan ANDRIANI.

Untuk memenuhi kebutuhan protein hewani, masyarakat Kabupaten Tangerang mengkonsumsi telur ayam ras yang diperoleh dari pasar tradisional.

Salmonella Enteritidis (S. Enteritidis) dapat mengkontaminasi telur ayam ras secara vertikal dan horizontal. Konsumsi telur ayam ras yang terkontaminasi oleh

S. Enteritidis dapat menyebabkan penyakit pada saluran pencernaan yang dikenal sebagai salmonellosis. Lebih dari 44% kasus salmonellosis di dunia melibatkan konsumsi telur mentah atau yang dimasak tidak sempurna.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keberadaan S. Enteritidis pada telur ayam ras yang dijual di pasar tradisional Kabupaten Tangerang. Sebanyak 104 butir telur ayam ras yang diambil dari 16 pasar tradisional diuji secara konvensional di Laboratorium Bakteriologi Balitvet. Berdasarkan hasil pengujian pada kerabang, putih dan kuning telur tidak ditemukan S. Enteritidis pada sampel-sampel tersebut. Tidak ditemukannya S. Enteritidis dimungkinkan karena adanya pertahanan fisik berupa kerabang, kutikula dan selaput telur serta pertahanan kimiawi yang secara alamiah dimiliki oleh albumin telur yaitu enzim lisosim dan ovotransferin. Penggunaan probiotik dalam air minum unggas, mekanisme kerja immunomodulator serta hasil dari competitive exclusion bakteri disertai peningkatan sanitasi higiene merupakan alternatif untuk mengurangi infeksi S. Enteritidis.

Diperlukan kerjasama antara pemerintah, produsen dan konsumen untuk mengontrol keberadaan S. Enteritidis. Praktek-praktek Good Manufacturing Practices (GMP), Good Hygienic Practices (GHP) dan implementasi dari prinsip-prinsip Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh peternak, distributor dan penjual telur ayam ras. Peningkatan pengetahuan konsumen tentang higiene makanan dan tata cara penyimpanan serta pengolahan produk telur sangat diperlukan untuk mencegah kejadian salmonellosis pada manusia terutama yang disebabkan oleh S. Enteritidis.


(4)

ABSTRACT

FEBYA SATYANINGSIH. Study of Salmonella Enteritidis on Layer Chicken Eggs in Tangerang District Traditional Market. Under the direction of RETNO DAMAYANTI SOEJOEDONO, IETJE WIENTARSIH and ANDRANI.

To fulfil animal protein needs, people in Tangerang District, consume layer chicken eggs which they could get in traditional market. Salmonella

Enteritidis (S. Enteritidis) that contaminated eggs vertically or horizontally could cause foodborne diseases in human. In recent years, more than 44% salmonellosis has been attribute to raw or to undercooked eggs.

The purpose of this research was to find out the occurence of S. Enteritidis in eggs were sold in traditional market. One hundred and four samples of eggs were taken from sixteen traditional market. After examining the eggshells, eggwhite and yolk in Balitvet-Bogor, S. Enteritidis was not found in those samples. This were also supported by secondary data from two hundred and fifty samples of eggs from twenty five layer chicken farm commercial in Tangerang District.

No discovery on the S. Enteritidis in layer chicken eggs might be caused by the defence of the eggs themselves. On physically defence, the eggs have cuticle, shell and shell membrane and chemical defences which have natural anti microbial factors that was albumin. Meanwhile, some of farm used probitics as a growth promotan and to reduce smelt from manure. The immune-modulation effect of bacteria contained in competitive exclusion product and probiotics was an alternative for the prevention of S. Enteritidis infection maintaining the integrity of the gut and stability of their microflora.

To control S. Enteritidis, it needed the attention from the goverment, producers and consumers. Application of Good Manufacturing Practices (GMP), Good Hygienic Practices (GHP) and implementation of Hazard Analytical Critical Control Point (HACCP) principles were prerequisites for layer chicken farm, distribution and retail sales. Further more, education/informing the consumer about basic food hygiene and how to handle the risk with eggs product were considered to the prevention of salmonellosis in human.


(5)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya


(6)

STUDI SALMONELLA ENTERITIDIS PADA TELUR

AYAM RAS DI PASAR TRADISIONAL

KABUPATEN TANGERANG

FEBYA SATYANINGSIH

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(7)

Nama : Febya Satyaningsih

NIM : B551034164

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. drh. Retno Damayanti Soejoedono, MS. Ketua

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dr. drh. Denny W. Lukman, MSi. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.

Tanggal Ujian : 14 Mei 2007 Tanggal Lulus : drh. Andriani, MSi.

Anggota

Dr. Dra. Ietje Wientarsih, Apt. MSc. Anggota


(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan bimbingan dan inayah-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Bulan Agustus 2005 ini ialah Studi Salmonella Enteritidis pada Telur Ayam Ras di Pasar Tradisional Kabupaten Tangerang.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. drh. Retno Damayanti Soejoedono, MS., Ibu Dr. Dra. Ietje Wientarsih, Apt. MSc. dan Ibu drh. Andriani, MSi. selaku pembimbing, serta Bapak Dr. drh. Denny W. Lukman, MSi. selaku ketua program studi atas bimbingan dan motivasinya.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak drh. H. Didi Aswadi, MM. selaku Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Tangerang, atas kesempatan yang diberikan hingga penulis dapat menyelesaikan program studi ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibu, bapak, serta seluruh keluarga dan teman-teman atas segala doa dan dukungannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2007

Febya Satyaningsih


(9)

Penulis dilahirkan di Tangerang pada tanggal 18 Pebruari 1969 dari Ibu Hj. Mulyani dan Bapak Setia Hady. Penulis merupakan putri keempat dari lima bersaudara.

Tahun 1987 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Tangerang dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Penelurusan Minat dan Kemampuan (PMDK). Penulis memilih Fakultas Kedokteran Hewan dan meraih gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada tahun 1991 dan lulus Dokter Hewan di tahun 1992. Pada tahun 2004, penulis diterima di Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner pada Sekolah Pascasarjana IPB.

Penulis bekerja sebagai Kepala Seksi Peningkatan Kesehatan Masyarakat Veteriner di Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Tangerang.


(10)

ix

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Rumusan Masalah ... 3

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

Hipotesis Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Wilayah Administratif dan Geografis Kabupaten Tangerang ... 4

Pasar Tradisional di Kabupaten Tangerang ... 5

Potensi Peternakan Ayam Ras di Kabupaten Tangerang ... 5

Probiotik ... 9

Struktur Telur ... 12

Kuman Pencemar ... 13

Salmonella enteritica Serovar Enteritidis (Salmonella Enteritidis) ... 14

BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ... 21

Materi Penelitian ... 21

Bahan dan Alat-alat Penelitian ... 22

Metode ... 22

Analisis Data ... 28

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

KESIMPULAN DAN SARAN ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 42


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Jumlah Peternak dan Populasi Ayam Ras Petelur

di Kabupaten Tangerang ... 8 2 Struktur Antigenik Salmonella Menurut Skema Kauffmann-White ... 26 3 Hasil Pengujian Cemaran Salmonella sp. pada Kerabang, Putih

dan Kuning Telur ... 29 4 Hasil Pemeriksaan Salmonella sp. pada Telur Ayam Ras yang Berasal


(12)

xi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Pelaksanaan Pengujian Pullorum pada Peternakan Ayam Bibit ... 7

2 Mekanisme Immuno-Modulation, Probiotik dan Competitive Exclusion dalam Usus Unggas ... 11

3 Bakteri Salmonella Enteritidis ... 15

4 Patogenesis Enterokolitis dan Diare Salmonellosis ... 17

5 Ringkasan Patogenesis Salmonellosis ... 18

6 Penimbangan Kerabang Telur serta Penambahan Media Pre Enrichment (Buffered Pepton Water/BPW) pada Kerabang, Putih dan Kuning Telur ... 22

7 Morfologi Biakan Salmonella sp. pada Media Selektif Xylose Lysine Deoxycholate (XLD) ... 23

8 Hasil Uji Biokimia pada Isolat Persumtif Salmonella sp. ... 24

9 Pemisahan Putih dan Kuning Telur serta Pemberian Media Pre Enrichment (Buffered Pepton Water/BPW) pada Putih dan Kuning Telur ... 25

10 Kerabang, Kutikula dan Selaput Telur ... 31


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Penentuan Besaran Sampel Telur Ayam Ras di 16 Pasar Tradisional

Kabupaten Tangerang ... 48 2 Penentuan Besaran Sampel Telur Ayam Ras per Pedagang

di Pasar Ciputat ... 49 3 Penentuan Besaran Sampel Telur Ayam Ras per Pedagang

di Pasar Pamulang ... 49 4 Penentuan Besaran Sampel Telur Ayam Ras per Pedagang

di Pasar Serpong ... 50 5 Penentuan Besaran Sampel Telur Ayam Ras per Pedagang

di Pasar BSD Serpong ... 50 6 Penentuan Besaran Sampel Telur Ayam Ras per Pedagang

di Pasar Curug ... 51 7 Penentuan Besaran Sampel Telur Ayam Ras per Pedagang

di Pasar Kelapa Dua-Curug ... 51 8 Penentuan Besaran Sampel Telur Ayam Ras per Pedagang

di Pasar Cikupa ... 52 9 Penentuan Besaran Sampel Telur Ayam Ras per Pedagang

di Pasar Cisoka ... 53 10 Penentuan Besaran Sampel Telur Ayam Ras per Pedagang

di Pasar Sepatan ... 53 11 Penentuan Besaran Sampel Telur Ayam Ras per Pedagang

di Pasar Kronjo ... 54 12 Penentuan Besaran Sampel Telur Ayam Ras per Pedagang

di Pasar Gembong-Balaraja ... 54 13 Penentuan Besaran Sampel Telur Ayam Ras per Pedagang


(14)

xiii

14 Penentuan Besaran Sampel Telur Ayam Ras per Pedagang

di Pasar Pasar Kemis ... 56 15 Penentuan Besaran Sampel Telur Ayam Ras per Pedagang

di Pasar Kutabumi-Pasar Kemis ... 57 16 Penentuan Besaran Sampel Telur Ayam Ras per Pedagang

di Pasar Kresek ... 58 17 Penentuan Besaran Sampel Telur Ayam Ras per Pedagang

di Pasar Mauk ... 58 18 Peta Kabupaten Tangerang ... 59


(15)

Latar Belakang

Kabupaten Tangerang merupakan salah satu sentra peternakan di Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) dengan jenis ternak yang dominan yaitu unggas. Selain sebagai daerah produsen, tingkat konsumsi masyarakat terhadap produk peternakan dan olahannya pun semakin meningkat sejalan dengan perubahan taraf hidup dan pendidikan masyarakat.

Untuk memenuhi kebutuhan protein hewani dalam rangka pemenuhan kebutuhan gizi, masyarakat Kabupaten Tangerang mengkonsumsi telur, daging dan susu. Dibandingkan produk peternakan lainnya, telur merupakan produk yang paling banyak dikonsumsi karena faktor ketersediaan dan harganya yang relatif murah (Bapeda 2005).

Secara keseluruhan, produksi telur di Kabupaten Tangerang mencapai 30.819.741 kg/tahun dimana kontribusi produksi telur ayam ras mencapai 90% sedangkan selebihnya berasal dari telur ayam lokal dan telur itik. Kebutuhan konsumsi telur adalah 10,94 kg/kapita/tahun sehingga dengan memperhitungkan jumlah penduduk Kabupaten Tangerang pada tahun 2005 sebesar 3.204.291 jiwa maka kebutuhan telur per tahun adalah sebesar 35.054.943 kg. Dengan kondisi tersebut, kekurangan kebutuhan telur sebanyak 4.135.229 kg/tahun, masih didatangkan dari beberapa daerah seperti Kabupaten Serang, Bogor bahkan beberapa daerah di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur (Distanak 2005).

Salmonella Enteritidis adalah salah satu serovar atau serotipe dari subspesies Salmonella enteritica dan termasuk dalam anggota famili

Enterobacteriaceae (OIE 2000). Habitat utamanya berada dalam saluran pencernaan hewan dan manusia (Portillo 2000). S. Enteritidis merupakan salah satu emerging foodborne zoonotic pathogens, ditemukan pada spesies unggas dan dengan mudah dapat ditularkan ke manusia melalui telur atau daging ayam yang terkontaminasi (Agricultural Research Service 2002). Infeksi bakteri ini pada hewan dan manusia dapat mengakibatkan penyakit dengan gangguan pada bagian


(16)

2

saluran pencernaan atau gastroenteritis dan penyakit akibat infeksi Salmonella

disebut salmonellosis (Serbeniuk 2002).

Akhir-akhir ini, telur ayam telah banyak dilaporkan sebagai sumber infeksi

S. Enteritidis pada manusia (Wang & Slavik 1998). Bakteri S. Enteritidis dalam jumlah besar yang terdapat di dalam telur ayam sering sebagai penyebab

foodborne disease (CDC 2001). Lebih dari 44% wabah salmonellosis yang terjadi di seluruh dunia melibatkan konsumsi telur ayam dan cara memasak telur ayam yang kurang sempurna seperti dimasak setengah matang atau dikonsumsi masih mentah. Telur-telur ayam yang telah dibekukan atau dikeringkan, telur-telur ayam utuh yang tidak disimpan dalam refrigerator baik selama di pengecer, di rumah-rumah atau pada usaha katering juga dapat mengkontaminasi makanan (CDC 2001; Lillehoj et al. 2000; WHO 2002).

Induk ayam petelur atau pedaging yang terinfeksi S. Enteritidis secara vertikal dapat menularkan bakteri tersebut melalui produk telurnya. Ayam petelur dapat terinfeksi S. Enteritidis dari flok ayam pembibit yang terinfeksi, pakan yang terkontaminasi atau melalui vektor rodensia. Selain itu, burung puyuh dan burung liar juga dapat bertindak sebagai sumber penularan Salmonella secara horizontal (Miyamoto et al. 1998).

Pasar tradisional merupakan salah satu lokasi dimana konsumen dapat memperoleh telur ayam ras. Telur yang dijual di tempat tersebut, berasal dari berbagai peternakan ayam ras yang ada di Wilayah Kabupaten Tangerang maupun dari daerah lain seperti Bogor, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Berbeda halnya dengan telur ayam ras yang dijual di toko atau supermarket, maka penjualan telur ayam ras di pasar tradisional bila ditinjau dari cara penyimpanan serta aspek higiene sanitasi masih sangat rendah. Oleh karena itu, dalam upaya penyediaan pangan asal hewan yang aman untuk dikonsumsi dan sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) tahun 2001 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu pada Bahan Pangan Asal Hewan kandungan

Salmonella sp. harus negatif, maka studi S. Enteritidis pada telur ayam ras di pasar tradisional Kabupaten Tangerang ini perlu dilakukan disertai dengan upaya-upaya penanggulangannya.


(17)

Rumusan Masalah

Dari latar belakang permasalahan yang telah diuraikan, maka dapat dibuat suatu rumusan apakah telur ayam ras yang dijual di pasar tradisional Kabupaten Tangerang mengandung S. Enteritidis?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan S. Enteritidis pada telur ayam ras yang dijual di pasar tradisional Kabupaten Tangerang.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Memberikan informasi ilmiah tentang keberadaan S. Enteritidis pada telur

ayam ras yang dijual di pasar tradisional Kabupaten Tangerang.

2. Memberikan informasi kepada penentu kebijakan dalam penanganan telur ayam ras ditingkat peternakan, pendistribusian, penyimpanan, penjualan serta tata cara penyajian terutama berkaitan dengan S. Enteritidis.

Hipotesis Penelitian

S. Enteritidis tidak terdapat pada telur ayam ras yang dijual di pasar tradisional Kabupaten Tangerang.


(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Wilayah Administratif dan Geografis Kabupaten Tangerang

Wilayah Kabupaten Tangerang mempunyai luas 1.110,38 Km2, terdiri dari 26 Kecamatan dan 251 Desa dan 77 Kelurahan. Terletak di bagian timur wilayah Provinsi Banten yang berbatasan :

- Sebelah Barat dengan Kabupaten Serang dan Lebak,

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Kota Depok,

- Sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta dan Kota Tangerang, dan

- Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa.

Wilayah bagian utara merupakan dataran pesisir dengan panjang pantai mencapai + 50 Km.

Letak geografis wilayah Kabupaten Tangerang berada pada batas astronomis / koordinat 106o 20’ – 106o 43’ Bujur Timur dan 6o 00’ – 6o 20’ Lintang Selatan. Jenis tanah yang terdapat di Kabupaten Tangerang terdiri dari 5 (lima) jenis yaitu Alluvial (31%), Regosol (1%), Latosol (42%), Podsolik Merah Kuning (19%) dan Hidromorp Kelabu (7%). Keadaan topografi Kabupaten Tangerang termasuk kedalam zone I yaitu relatif datar dengan kemiringan 0-3% dan ketinggian tempat rata-rata 0-85 m dpl. Wilayah Kabupaten Tangerang memiliki iklim AF (iklim hujan tropis) menurut klasifikasi Koppen, dan termasuk zone iklim D (sedang) menurut klasifikasi Oldeman.

Kabupaten Tangerang, sebagian wilayahnya adalah pantai sehingga dipengaruhi iklim laut (ada muson barat pada musim hujan dan muson timur pada musim kemarau). Curah hujan rata-rata 1.898 mm per tahun. Sedangkan temperatur udara berkisar antara 23,5 - 33,2 oC. Rata-rata kelembaban udara dan intensitas matahari sekitar 79,8% dan 61,7% (Bapeda 2005).


(19)

Pasar Tradisional di Kabupaten Tangerang

Kabupaten Tangerang memiliki 28 pasar tradisional yang terdiri dari 16 pasar tradisional yang dikelola oleh pemerintah daerah melalui PD Pasar Kertarahardja dan 12 pasar desa yang dikelola oleh pemerintahan desa. Aktifitas pasar desa tidak berlangsung setiap hari, tetapi hanya berlangsung satu hari dalam satu pekan yaitu yang disebut dengan ”hari pasar” dengan jumlah dan jenis komoditi yang diperjualbelikan amat terbatas. Sedangkan pasar tradisional yang dikelola oleh PD Pasar, beraktifitas setiap hari dengan jumlah dan jenis komoditi yang beraneka ragam. Kondisi pasar tradisional di Wilayah Kabupaten Tangerang saat ini masih sangat sederhana, dimana belum ada pemisahan yang jelas antara berbagai jenis komoditi seperti produk peternakan dengan sayuran, ikan maupun produk lainnya (Bapeda 2005).

Pasar tradisional menjual berbagai jenis produk peternakan, diantaranya yaitu telur ayam ras. Sumber telur ayam ras yang dijual 87% berasal dari peternakan ayam ras di Wilayah Kabupaten Tangerang, sedangkan selebihnya berasal dari daerah Bogor (9%) dan Jawa Tengah serta Jawa Timur (4%) (Distanak 2005).

Potensi Peternakan Ayam Ras di Kabupaten Tangerang

a. Peternakan Pembibitan Ayam Ras (Breeder) dan Penetasan Telur Tetas (Hatchery)

Di Wilayah Kabupaten Tangerang terdapat 4 buah peternakan pembibitan ayam ras niaga (Breeding Farm Final Stock), yaitu : PT. Charoen Pokphand Indonesia, PT. Central Agromina, PT. Sierad Produce dan PT. Cibadak Indah Sari Farm dengan total populasi berkisar 400-600 ribu ekor. Dari keempat peternakan tersebut, hanya PT. Sierad Produce yang tidak memiliki fasilitas Penetasan (Hatchery) di Kabupaten Tangerang dan mengirimkan Telur Tetasnya (Hatching Eggs) ke Wilayah Bogor. Produksi maksimum Anak Ayam Umur Sehari (Day Old Chick/DOC) Pedaging (Broiler) dan Petelur (Layer) sebanyak 12-15 juta ekor per tahun dengan prosentasi produksi DOC Layer sebesar 12-18%. Distribusi

DOC tidak hanya diperuntukkan di Wilayah Kabupaten Tangerang, tetapi juga ke beberapa daerah lainnya seperti Jawa Timur sebanyak 20%, Jawa Tengah


(20)

6

sebanyak 20%, Jawa Barat sebanyak 20%, Lampung sebanyak 10%, sedangkan untuk Wilayah Jabodetabek sebanyak 30% (Distanak 2005).

Sesuai dengan Surat Keputusan Direktorat Jenderal Peternakan Nomor 26/TN.530/Kpts/DJP/Deptan/86 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengujian Penyakit Pullorum, maka semua perusahaan Pembibitan (Breeder) ayam petelur atau ayam pedaging wajib menyelenggarakan pengujian pullorum, yang bertujuan untuk mengetahui keberadaan Salmonella pullorum yang menjadi penyebab penyakit pullorum pada ayam bibit. Pengujian terhadap penyakit pullorum hanya boleh dilakukan oleh lembaga, badan hukum atau pihak yang berwenang. Pengujian pertama dilakukan pada semua ayam bibit yang berumur 14 minggu sampai menjelang bertelur, selanjutnya dilaksanakan secara teratur satu kali dalam waktu selang enam bulan. Tiap kali pengujian harus dilakukan ulangan selang waktu 35 hari sampai tidak ditemukan reaktor lagi dalam dua kali uji ulang berturut-turut.

Sesuai dengan laporan pemasukan ayam bibit atau laporan berkala dari tiap breeder, Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Tangerang melaksanakan pengujian pullorum dengan menggunakan antigen pullorum yang berasal dari Balai Penelitian Veteriner (Balitvet) Bogor. Pengujian dilakukan dengan mencampurkan satu tetes antigen pullorum (0,01 ml) di atas porselen putih dengan darah yang berasal dari pembuluh darah balik di sayap ayam. Reaksi Positif, apabila terjadi gumpalan (aglutinasi) yang jelas dengan sekelilingnya bening beberapa detik sesudah pengadukan. Reaksi negatif, apabila campuran tetap serba sama, tidak terjadi gumpalan hingga waktu dua menit berlalu. Reaksi dubius, apabila penggumpalan tidak spesifik dengan cairan sekelilingnya tetap keruh. Pelaksanaan pengujian pullorum pada salah satu peternakan pembibitan ayam di Kabupaten Tangerang, dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini :


(21)

Gambar 1 Pelaksanaan pengujian pullorum pada peternakan Ayam Bibit (Breeder) (Distanak 2006)

Peternakan pembibitan dinyatakan bebas penyakit pullorum, apabila dari pengujian pertama dan pengujian ulangan tidak ditemukan reaktor yang dikukuhkan dengan sertifikat bebas pullorum dari Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Tangerang (Distanak 2006).

b. Peternakan Ayam Ras Petelur

Pada tahun 2005 di Wilayah Kabupaten Tangerang terdapat 50 peternakan ayam ras petelur dengan populasi total berjumlah 3.110.000 ekor dengan produksi telur ayam ras sebesar 27.737.766 kg/tahun (Distanak 2005). Data peternakan ayam ras petelur di Kabupaten Tangerang dapat dilihat pada tabel 1.

Peternak ayam ras petelur di Kabupaten Tangerang, sebagian besar memelihara ayam ras mulai dari ayam berumur satu hari dengan menggunakan sistem kandang litter yang beralaskan sekam padi atau serbuk gergaji hingga ayam berumur 14 atau 16 minggu. Setelah ayam mencapai umur 18-21 minggu, ayam sudah mendekati masa produksi dan harus dipindah ke kandang layer dengan sistem cage. Bahan cage pada umumnya terbuat dari bambu atau kawat dengan tempat ransum maupun air minum ditempatkan di luar cage dengan bentuk trough. Tempat air minum ditempatkan di atas tempat ransum, agar ransum tidak mengotori air minum. Beberapa peternakan sudah menggunakan

nipple untuk tempat air minum ayam sehingga air minum tidak berceceran di sekitar lokasi kandang.


(22)

8

Tabel 1 Jumlah peternakan dan populasi ayam ras petelur di Kab. Tangerang Tahun 2005.

No. Kecamatan Nama Farm Populasi (ekor)

No. Kecamatan Nama Farm Populasi (ekor) 1. 2. 3. Legok Curug Ps. Kemis 1. Buana 2. Langsing 3. Koming 4. Budi 5. Atung 6. Babat 7. Tungki 8. Teddy 9. Trijaya 10. Ayung 11. LM 12. KM 13. Garuda 14. LC 15. YS 16. HS 17. S Jaya 18. Darmaw 19. Hidup J 20. Tanto 21. S Multi 22. Acun 23. HO 24. SIH 25. Kurnia 80.000 70.000 60.000 45.000 80.000 75.000 60.000 60.000 60.000 45.000 60.000 60.000 60.000 65.000 65.000 60.000 50.000 80.000 60.000 55.000 70.000 60.000 65.000 60.000 45.000 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Kemeri Panongan Pd. Aren Ciputat Cikupa Cisoka Pagedangan 26. TKK 27. Gloria 28. Kemeri 29. Napoya 30. Asia J 31. Sinar F 32. Klebet 33. Abadi 34. Timur J 35. Garuda 36. SH 37. Sumber 38. Rudy 39. SR 40. Eden 41. Eden P 42. Arman 43. AEC 44. Dunia 45. Soka 46. TA 47. YA 48. LA 49. Ok Kio 50. Tuti F

55.000 85.000 60.000 30.000 80.000 75.000 65.000 60.000 75.000 65.000 65.000 60.000 60.000 65.000 60.000 65.000 65.000 85.000 80.000 60.000 60.000 20.000 45.000 40.000 80.000 Sub Total 1.550.000 Sub Total 1.560.000

T o t a l 3.110.000

Sumber : Distanak Kabupaten Tangerang 2005

Usaha pencegahan penyakit dilakukan dengan melakukan vaksinasi dengan memberikan vaksin New Castledisease, Infectious Bursal Disease,

Cholera, Coccidiosis, Coryza, Chronic Respiratory Disease dan Avian Influenza

(Distanak 2005). Pelaksanaan vaksinasi terhadap S. Enteritidis di Indonesia tidak direkomendasikan, karena antibodi yang terbentuk pascavaksinasi dapat ’mengacaukan” pemeriksaan uji pullorum yang dilakukan akibat adanya reaksi silang antara Salmonella spp. yang terdapat dalam satu Grup. Sesuai dengan klasifikasi struktur antigenik menurut Skema Kaufman-White, bakteri S. Enteritidis dan S. Pullorum termasuk dalam grup D yang memiliki kesamaan struktur antigenik somatik yaitu O1,9,12 (Ariyanti et al. 2004).


(23)

Untuk menurunkan biaya produksi, para peternak pada umumnya membuat ransum sendiri (self mixing) dari berbagai jenis bahan baku, antara lain : jagung kuning, dedak halus, bungkil kedelai, bungkil kelapa, tepung ikan dan tepung kerang. Dari data yang diperoleh, 40 % peternak ayam ras di Kabupaten Tangerang telah menggunakan probiotik dalam air minum sebagai pengganti pemacu pertumbuhan (growth promotor) yang biasanya dicampurkan dalam pakan ternak. Dosis probiotik yang digunakan adalah 2 ml/liter air minum yang diberikan setiap hari menjelang masa produksi atau bila kondisi kesehatan ayam terlihat menurun. Pemilihan penggunaan probiotik dalam air minum dilakukan untuk menghindari resistensi antibiotika dan membuat konsistensi feces menjadi lebih kering sehingga mengurangi bau dan lalat disekitar lokasi peternakan.

Probiotik

Probiotik merupakan mikroorganisme hidup yang diaplikasikan secara oral dengan tujuan untuk meningkatkan kesehatan ternak dengan cara memanipulasi komposisi bakteri yang ada dalam saluran pencernaan ternak. Alternatif penggunaan probiotik yang dilakukan oleh para peternak disebabkan karena beberapa negara telah melakukan pelarangan penggunaan antibiotika sebagai growth promotor serta kecenderungan terjadinya resistensi bakteri-bakteri patogen terhadap antibiotika tertentu (Revolledo et al. 2006).

Berdasarkan hasil pengujian beberapa serotipe Salmonella yang berasal dari spesimen hewan dengan 17 jenis antibiotika, diperoleh hasil bahwa terjadi resistensi terhadap antibiotika-antibiotika tersebut yang umumnya selain digunakan untuk pengobatan manusia dan hewan, juga di bidang industri peternakan digunakan sebagai growth promotor (Headrick & Cray 2001).

Sebagian besar probiotik yang digunakan sebagai aditif tergolong dalam jenis bakteri, diantaranya species Lactobacillus (L. acidophilus, L. lactis, L. plantarum) dan Bifidobacterium (B. bifidum, B. thermophilum), disamping itu terdapat juga bakteri Streptococcus lactis dan jenis fungi seperti Aspergilus niger

dan Aspergilus oryzue.

Terdapat monostrain, multistrain dan multispecies probiotik. Monostrain probiotik mengandung satu strain bakteri dari satu species, multistrain probiotik


(24)

10

mengandung lebih dari satu strain bakteri dari satu species atau genus yang sama, sedangkan multispecies probiotik mengandung beberapa strain bakteri dari species atau genus yang berbeda (Timmerman et al. 2004).

Hingga saat ini, belum dapat dipastikan mekanisme kerja probiotik dalam mengurangi infeksi bakteri patogen dalam tubuh induk semang. Lactobacillus

mempunyai kemampuan untuk mencegah perlekatan, perkembangbiakan dan menurunkan patogenitas bakteri enteropatogen. Mekanisme lainnya, yaitu dengan memproduksi rantai pendek asam lemak terbang sehingga akan menurunkan pH lumen usus dimana hal ini merupakan kondisi yang tidak mendukung bagi perkembangan bakteri enteropatogen, menghasilkan substansi yang bersifat menghambat metabolit yang diperlukan oleh bakteri patogen dan memproduksi senyawa spesifik seperti bakteriosin yang bersifat bakterisidal. Penelitian terhadap reaksi imunologi dari pemberian probiotik saat ini terus dikembangkan, Lactobacillus mampu meningkatkan imunitas mukosal dan sistemik saluran pencernaan terhadap bakteri enteropatogen dengan meningkatkan produksi dari SIgA (Secretory IgA). Efek immmune-modulation

bakteri yang terdapat dalam probiotik juga dimiliki oleh mekanisme lain yang disebut dengan competitive exclusion (CE) yaitu suatu mekanisme bakteri untuk memanipulasi komposisi mikrobiota intestinal. Kedua mekanisme ini, mampu mencegah infeksi bakteri enteropatogen seperti Salmonella dengan cara mempertahankan kondisi optimal dari usus induk semang dan menjaga kestabilan mikroflora normal usus. Kondisi kesehatan induk semang merupakan faktor penting yang mempengarungi kinerja probiotik untuk menghambat infeksi bakteri enteropatogen (Nemeth et al. 2006 & Tellez et al. 2001). Mekanisme immuno-modulation probiotik dan competitive exclusion dalam usus unggas, dapat dilihat pada gambar 2 berikut.


(25)

Gambar 2 Mekanisme immuno-modulation probiotik dan Competitive Exclusion dalam usus unggas (Revolledo et al. 2006)

Keterangan gambar :

SIgA=Sekresi IgA; CE=Competitive Exclusion; SIL=Sel Intraepitelial; ILI=Intraepitelial Limfosit Intestinal; LPL=lamina propria limfosit (T limfosit aktivasi); LB= Limfosit B; LT=Limfosit T; M sel=sel yang berfungsi untuk mengirimkan antigen dari lumen intestinal ke usus unggas; KS=Komponen Sekresi.

Mekanisme kerja :

Penangkapan antigen : 1. antigen dapat dikenali secara langsung oleh Intraepitelial Limfosit Intestinal (ILI) yang kemudian mengirimkan sinyalnya pada lamina propia; 2. pada saat antigen ditangkap oleh sel-sel M , terdapat 2 kemungkinan untuk menstimulasi terjadinya respon imunologi : a) antigen langsung ditangkap oleh makrofag atau sel-sel dendrit, yang mampu memproses untuk menghasilkan Limfosit T (LT) pada lamina propia; atau b) antigen akan mengaktifkan sel-sel B, yang akan menstimulasi LT pada lamina propia; 3. Antigen dapat ditangkap oleh Sel Intraepitelial (SIL) melalui proses endositosis. SIL mempunyai kemampuan seperti LT untuk memproses antigen. SigA akan memproduksi : LT aktivasi dan menghasilkan sitokin yang akan menstimulir aktivasi Limfosit B (LB) dan pada akhirnya sel plasma akan menghasilkan IgA. Pada akhirnya produksi IgA akan menghambat perlekatan antigen di permukaan mukosa usus unggas.

SIL

Sekresi IgA (SIgA)

ILI

Komponen Sekresi (KS)

Sitokin

Peningkatan Imunitas Mukosa Usus


(26)

12

Struktur Telur

Telur ayam mempunyai struktur sangat khusus, yaitu mengandung zat gizi yang cukup untuk mengembangkan sel yang telah dibuahi menjadi seekor anak ayam (Puslitnak 2000).

Telur secara umum terbagi atas kulit telur (kerabang), putih telur (albumen) dan kuning telur. Pada umumnya telur ayam berbentuk bulat lonjong, tetapi ada sebagian kecil telur mempunyai bentuk yang abnormal. Perbedaan bentuk itu dapat terjadi karena adanya faktor yang mempengaruhi diantaranya adalah sifat genetis, umur ayam pada waktu bertelur, sifat-sifat biologis sewaktu bertelur dan sifat-sifat fisiologis yang terdapat pada induknya.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi besarnya telur antara lain bangsa ayam, umur, perubahan musim sewaktu bertelur, sifat keturunan, umur pembuahan, bobot badan induk dan pakan yang diberikan pada ayam yang bersangkutan (AEB 2005).

a. Kerabang Telur

AEB (2005), menyatakan bahwa kerabang telur tersusun atas empat bagian utama yaitu lapisan mammilari, lapisan spongiosa, kutikula dan pori-pori. Kerabang adalah bagian kulit telur yang keras yang melindungi isi telur dan embrio terhadap gangguan dari luar, baik fisik maupun kimia serta sebagian lapisan untuk difusi udara respirasi (Bloomquist 2000).

Sebutir telur memiliki 7000-17.000 pori-pori yang tersebar tidak merata pada permukaan kerabang. Ujung telur yang tumpul mengandung paling banyak pori-pori, sedangkan ujung yang lancip paling sedikit. Jumlah pori-pori yang terbuka pada telur segar relatif lebih sedikit dibandingkan telur yang mengalami penyimpanan (Yahya 2005).

Warna kerabang telur ayam sangat bervariasi, ada yang berwarna putih, coklat muda sampai coklat tua. Perbedaan warna kerabang tersebut disebabkan oleh pigmen dan sifat genetis induk ayam. Kerabang telur yang berwarna coklat disebabkan adanya pigmen cophorpyrin yang terdapat pada permukaan kerabang telur (AEB 2005).


(27)

b. Putih Telur

Menurut FDHS (2004), putih telur terdiri dari 4 lapisan yaitu lapisan putih telur kental dalam, lapisan putih telur encer dalam, lapisan putih telur kental luar dan lapisan putih telur encer luar.

Lapisan putih telur kental dalam, langsung mengelilingi kuning telur dan ujungnya membentuk tali kalaza yang berfungsi memegang kuning telur pada kedua ujungnya. Lapisan ini sangat tipis dan menyusun 3% dari total putih telur.

Lapisan putih telur encer dalam, mengelilingi lapisan putih telur kental dalam dan merupakan 21% dari total putih telur.

Lapisan putih telur kental luar, membentuk amplop yang membungkus lapisan putih telur encer dalam serta kuning telur. Lapisan ini merupakan bagian putih telur yang tertinggi (55%).

Lapisan putih telur encer luar terletak di bawah membran kulit kecuali pada bagian dimana lapisan putih telur kental luar menyentuh membran kulit dan merupakan 21% dari total putih telur.

c. Kuning Telur

Kuning telur terdiri dari blastoderma, latebra, lingkaran pusat, lingkaran kuning dan membran vitelin. Latebra merupakan saluran yang menghubungkan blastoderm ke pusat kuning telur yang berfungsi untuk tempat pertumbuhan embrio. Blastoderm yang terlihat sebagai bintik kecil pada permukaan kuning telur, dimana dalam telur yang terbuahi benih ini berkembang menjadi anak ayam. Membran vitelin merupakan lapisan tipis yang mengelilingi kuning telur (FDHS 2004).

Kuman Pencemar

Thiagarajan et al. (1994), melaporkan bahwa pencemaran kuman pada telur dapat terjadi sejak telur di dalam induk ayam yaitu secara vertikal, sampai telur dikeluarkan oleh induk ayam. Secara vertikal yaitu pencemaran terjadi melalui telur, hal ini karena mikroba berada dalam indung telur (ovarium). Mikroba yang mencemari telur yang sudah berada diluar tubuh induk atau yang dinamakan dengan kontaminasi secara horizontal, dapat berasal dari feses, tanah,


(28)

14

kandang, tangan peternak, udara dan tempat pengemasan. Penyebaran infeksi oleh mikroba diantara kelompok ayam merupakan mata rantai yang selalu berkaitan, yaitu pengeluaran kuman bersama kotoran dari ayam sakit atau karier, dan menginfeksi ayam sehat lain melalui pakan yang tercemar mikroba. Kondisi pasar tradisional yang masih sederhana dan sanitasi lingkungan yang kurang memadai serta iklim tropis akan mendukung peningkatan kontaminasi dan perkembangbiakan mikroba (Jekti 1990).

Pertumbuhan mikroba dapat dibagi menjadi empat fase yaitu fase lag, fase pertumbuhan logaritmik (exponential), fase konstan (stationary) dan fase pertumbuhan yang menurun atau fase kematian (death). Berdasarkan suhu optimum pertumbuhan mikroba digolongkan menjadi psikrofilik dengan suhu optimum pertumbuhan sekitar 0 – 20 oC, psiktotrofik -5 – 30 oC, mesofilik sekitar 20– 43 oC dan termofilik sekitar 40 – 65 oC (Supardi & Sukamto 1999).

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kuman di dalam telur yaitu faktor intrinsik yaitu nilai nutrisi telur, kadar air, pH, ada tidaknya bahan penghambat serta faktor ekstrinsik yaitu suhu lingkungan, kelembaban dan ada tidaknya oksigen (Buckle et al. 1987).

Salmonella enteritica Serovar Enteritidis (S. Enteritidis)

Menurut Gianella (2001) menyatakan bahwa genus Salmonella merupakan anggota famili Enterobacteriaceae yaitu bakteri yang terdapat dalam saluran pencernaan manusia dan hewan. Salmonella memiliki dua jenis spesies yaitu

Salmonella enteritica dan Salmonella bongori. Salmonella enteritica memiliki enam subspesies yaitu subspesies I : subspesies enteritica; subspesies II : subspesies salamae; subspesies IIIa : subspesies arizonae; subspesies IIIb : subspesies diarizonae; subspesies IV : subspesies hautenae dan subspesies V : subspesies indica. Pengelompokan subspesies dibedakan berdasarkan sifat-sifat biokimianya. Berdasarkan sifat-sifat biokimianya, S. Enteritidis merupakan subspesies enteritica.


(29)

Berdasarkan struktur antigennya subspesies dibagi menjadi serovar/serotipe. Untuk menuliskan nama serotipe, misalnya cara lama S. enteritidis menjadi S. enteritica subspesies enteritica serotipe Enteritidis menjadi

Salmonella ser Enteritidis dan saat ini penulisannya menjadi Salmonella

Enteritidis (Murray 1991).

Salmonella diklasifikasikan dalam group sesuai dengan klasifikasi Kaufman-White yang didasarkan pada antigen badan somatik O (ohne) dan antigen flagel H (hauch). Genus ini mempunyai struktur antigen yang tidak stabil dan dapat mengalami perubahan sewaktu-waktu dan bakteri ini pada suatu saat dapat membentuk variasi secara tiba-tiba (Kaufmann 1972).

S. Enteritidis bersifat Gram negatif, berbentuk batang pendek, tidak berspora dengan ukuran 0,7-1,5 x 2,0-5,0 mm, umumnya bergerak dengan flagella peritrikus. S. Enteritidis tidak memfermentasi laktosa dan sukrosa, akan tetapi membentuk asam dan juga gas dari glukosa, maltosa, dan mannitol. S. Enteritidis memberi reaksi positif terhadap sitrat, lisin, ornithin dekarboksilase, serta memberi reaksi negatif pada indol dan urease. Karakteristik lainnya yaitu dapat mereduksi nitrat menjadi nitrit, dapat memfermentasi dulsitol, memproduksi H2S, dan tumbuh secara optimal pada suhu 37 oC (Cox et al. 2000).


(30)

16

Kontaminasi S. Enteritidis pada telur diketahui dengan dua mekanisme yaitu melalui induk yang terinfeksi oleh S. Enteritidis (vertikal) dan secara horizontal.

Kontaminasi vertikal dikenal juga sebagai kontaminasi transovarial (transovarial contaminated). Teori penularan vertikal menyebutkan bahwa S. Enteritidis pada telur ayam, berasal dari induk ayam yang terinfeksi (Cox et al. 2000). Penelitian yang dilakukan dengan menggunakan ayam yang sedang bertelur dan diinfeksi dengan S. Enteritidis, ternyata mengakibatkan telur-telur tersebut terinfeksi dengan strain S. Enteritidis yang sama (FSIS dan FDA 1998).

S. Enteritidis dapat menginfeksi telur yang berasal dari induk ayam yang sehat dimana kontaminasi terjadi sebelum kulit telur terbentuk, letak infeksi biasanya di putih telur dekat membran kuning telur (CDC 2003). FSIS dan FDA (1998) telah melakukan survei mengenai keberadaan S. Enteritidis di telur. Hasil survey membuktikan adanya S. Enteritidis di kerabang, kuning dan putih telur. Selain telur, FSIS dan FDA (1998) melakukan survei tentang keberadaan S. Enteritidis di tubuh ayam petelur. Hasil dari survei tersebut ditemukan S. Enteritidis di organ usus buntu, hati, ginjal, indung telur dan saluran indung telur.

Kontaminasi S. Enteritidis pada kerabang telur ayam secara horizontal, diakibatkan oleh infeksi dari saluran reproduksi induk ayam bagian bawah dan/atau kontaminasi feses dari induk ayam saat pengeraman. Kontaminasi ini difasilitasi dengan kondisi kerabang-kerabang telur yang lembab, penyimpanan pada suhu tinggi dan kerusakan kerabang telur. Kontaminasi pada kerabang telur, tidak hanya meningkatkan resiko terjadinya kontaminasi pada isi telur, tetapi juga meningkatkan resiko terjadinya kontaminasi silang pada telur disekitarnya dan produk-produk berbahan telur lainnya. Sejumlah penelitian menunjukkan adanya penetrasi dan multiplikasi S. Enteritidis diantara telur-telur ayam. Faktor-faktor yang mempengaruhi penetrasi S. Enteritidis di antara telur-telur tersebut, yaitu: kualitas kerabang telur, banyaknya pori-pori pada kerabang telur, temperatur, kelembaban dan tekanan uap. Penetrasi pada isi telur meningkat dengan lamanya kontak dengan bahan-bahan yang terkontaminasi, khususnya selama penyimpanan dan kelembaban pada temperatur tinggi (FSIS dan FDA 1998; Cox


(31)

S. Enteritidis tidak mempengaruhi kualitas suatu makanan, serta tidak menimbulkan kerusakan dan pembusukan pada telur. Namun apabila manusia memakan telur yang terkontaminasi dan tidak dimasak sempurna atau setengah matang, maka akan mengakibatkan penyakit pada manusia (CDC 2003).

Salmonellosis menyebabkan berbagai gejala seperti gastroenteritis, demam enterik, septikemia dan infeksi fokal. Salah satu gejala yang ditimbulkan oleh infeksi S. Enteritidis adalah gastroenteritis. Patogenesis ini sangat tergantung dari faktor virulensi bakteri yaitu: (1) kemampuan invasi sel, (2) lapisan lipopolisakarida yang lengkap, (3) kemampuan replikasi intrasel, dan (4) kemungkinan perbanyakan toksin. Setelah bakteri dicerna, organisme tersebut berkoloni di ileum dan kolon, memasuki epitel usus dan terjadi proliferasi epitel dan folikel limfoid (Gianella 2001).

Tahap selanjutnya yaitu menginduksi membran enterosit yang terganggu dan menstimulasi pinositosis organisme. Invasi tergantung dari pengaturan sel sitoskeleton dan kemungkinan melibatkan peningkatan fosfat inositol dan kalsium sel. Perlekatan dan invasi tersebut di bawah regulasi genetik dan melibatkan gen-gen ganda pada kromosom plasmid. Selanjutnya, patogen-genesis enterokolitis dan diare akibat salmonellosis dapat dilihat pada gambar 4 berikut ini.

Gambar 4 Patogenesis enterokolitis dan diare salmonellosis (Gianella 2001) 1. tempat masuknya

S. Enteritidis

2. S. Enteritidis menyebar (demam non tipoid )

3. gastroenteritis dan diare

4. tempat pengeluaran S. Enteritidis


(32)

18

Setelah menginvasi epitel usus, bakteri ini menginduksi respon inflamasi yang dapat menyebabkan ulserasi dan peningkatan sitokin sehingga menghambat sintesis protein. Mekanisme tersebut belum diketahui secara pasti. Namun, invasi pada mukosa menyebabkan sel epitel mensintesis dan melepaskan berbagai sitokin proinflamasi, seperti IL-1, IL-6, IL8, TNF2. Hal ini membangkitkan respon inflamasi akut dan juga meningkatkan terjadinya kerusakan usus karena reaksi inflamasi usus. Akibat reaksi tersebut, dapat terjadi gejala panas-dingin, nyeri perut, lekositosis dan diare. Feses dapat mengandung lekosit polimorfonuklear (PMN), darah dan lendir. Patogenesis munculnya diare secara ringkas dapat dilihat pada gambar 5.

Gambar 5 Ringkasan patogenesis salmonellosis (Gianella 2001)

Termakannya S. Enteritidis

S. Enteritidis berkoloni di usus halus dan usus buntu

S. Enteritidis melakukan invasi ke dalam mukosa usus usus sitotoksin

Inflamasi akut akibat adanya invasi bakteri dan produksi sitotoksin

+ ulserasi

Sintesa prostaglandin Enterotoksin sitokin

Aktivasi adenyl cyclase

Produksi cairan dalam jumlah besar atau kecil

c-AMP meningkat


(33)

Invasi mukosa usus diikuti aktivasi adenylate cyclase dan peningkatan keseimbangan sekresi siklik AMP (c-AMP). Mekanisme tersebut juga belum diketahui dengan pasti, kemungkinaan adanya keterlibatan produksi lokal dari prostaglandin atau komponen lain dari prostaglandin akibat reaksi inflamasi. Strain-strain Salmonella mengeluarkan satu atau lebih substansi enterotoksin yang

menstimulasi sekresi usus, namun peran toksin tersebut pada patogenesis

S. Enteritidis masih belum pasti.

Orang dewasa dan anak-anak yang berisiko untuk terinfeksi S. Enteritidis dari telur adalah wanita hamil dan orang-orang dengan sistem imun yang lemah, meningkatkan risiko timbulnya penyakit yang lebih serius. Pada orang-orang ini, bakteri dengan jumlah yang relatif kecil sudah dapat mengakibatkan penyakit (WHO 2005; Berkeley 2002).

Penderita yang terinfeksi S. Enteritidis menimbulkan gejala berupa diare, demam, kedinginan, nyeri perut, nyeri kepala, yang dimulai 12 sampai 72 jam setelah mengkonsumsi telur mentah atau setengah matang yang telah terkontaminasi (Blumenthal 2002). Penyakit tersebut dapat bertahan sampai 4-7 hari. Meskipun banyak penderita dapat sembuh sempurna tanpa pemberian antibiotika. Namun, diare dapat berlebihan dan memerlukan perawatan rumah sakit (FSIS & FDA 1998; Hecht 2004). Pada penderita dengan risiko tinggi, infeksi dapat menyebar dari usus ke aliran darah atau ke tempat lain di seluruh tubuh dan dapat menyebabkan kematian tanpa pengobatan antibiotika pada penderita (CDC 2003).

Sumber utama terjadinya infeksi pada manusia adalah peternakan. Mengurangi keberadaan S. Enteritidis pada hewan/ternak, secara signifikan juga akan mengurangi paparan bakteri tersebut pada manusia. Salah satu pengendalian yang penting adalah menjaga kebersihan peternakan. Penelitian menunjukkan bahwa pembersihan secara intensif dan penggunaan desinfektan dapat mengurangi keberadaan bakteri tersebut (Berkeley 2002).

Telur seperti juga daging, hasil ternak, susu dan bahan olahan lainnya akan aman bila diolah dengan baik. Telur ayam akan aman bila disimpan dalam pendingin (refrigerator) tersendiri dan dimasak serta dikonsumsi segera (Blumenthal 2002).


(34)

20

Diperkirakan 100 sel S. Enteritidis pada 100 gram telur, akan memudahkan timbulnya penyakit. Penyimpanan telur pada pendingin secara adekuat dapat mencegah perbanyakan bakteri tersebut pada telur, sehingga telur sebaiknya disimpan pada pendingin, sampai saat akan digunakan. Pemasakan juga akan mengurangi jumlah bakteri yang ada pada telur, namun putih telur dan kuning telur yang belum matang, akan berisiko lebih besar menimbulkan infeksi dibandingkan dengan telur yang telah matang karena S. Enteritidis akan mati karena pemanasan paling sedikit selama 12 menit pada suhu 66 oC atau 77-83 menit pada suhu 60 oC (Blumenthal 2002; CDC 2003).

Untuk mengurangi risiko infeksi S. Enteritidis pada telur yang akan dikonsumsi, dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut: (1) simpan telur pada pendingin, (2) buang telur yang telah pecah atau kotor, (3) cuci tangan dan rebus peralatan rumah tangga dengan sabun dan air setelah kontak dengan telur mentah, (4) makan segera telur setelah dimasak dan jangan menyimpan telur matang pada suhu kamar lebih dari 4 jam, (5) dinginkan telur yang belum digunakan, (6) hindarkan makan telur mentah (seperti telur campuran es krim produksi rumah tangga atau telur mentah yang dicampur dalam minuman) dan (7) hindari memakan makanan restoran yang menggunakan bahan telur mentah atau telur yang tidak dipasteurisasi (WHO 2002).

Amerika Serikat telah melakukan upaya pengendalian untuk mengurangi wabah S. Enteritidis. CDC telah meminta departemen kesehatan, rumah sakit, dan tempat-tempat perawatan untuk menggunakan peralatan spesifik dengan tujuan mengurangi risiko infeksi. Beberapa negara bagian di sana diminta untuk mendinginkan telur-telur dari produsen sebelum sampai ke konsumen. Departemen Pertanian Amerika Serikat menilai kelayakan peternakan yang memproduksi ayam petelur untuk memastikan telah terbebas dari S. Enteritidis. Telur-telur yang diketahui telah terkontaminasi dari peternakan, dilakukan pasteurisasi. USFDA telah mengeluarkan petunjuk penanganan telur di pengecer makanan dan akan memonitor ayam-ayam yang sedang bertelur (CDC 2003).


(35)

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Bakteriologi Balai Penelitian Veteriner Bogor. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2005 sampai dengan Pebruari 2006.

Materi Penelitian

Materi penelitian terdiri dari 104 (seratus empat) butir telur ayam ras yang diambil dari 67 orang pedagang telur ayam ras di 16 (enam belas) pasar tradisional di Kabupaten Tangerang. Pengambilan sampel dilakukan selama 2 minggu berturut-turut dengan menggunakan plastik steril dan dibawa ke laboratorium pada suhu ruangan. Sampel selanjutnya dibawa ke Laboratorium Bakteriologi, Balai Penelitian Veteriner Bogor untuk dilakukan pengujian kuman

S. Enteritidis.

Sampling ditentukan dengan menggunakan metode proporsional random sampling, sedangkan untuk menghitung besaran sampel menggunakan rumus: 4 PQ

n =

L2 Keterangan:

n = besaran sampel yang digunakan P = asumsi prevalensi

Q = (1 - P)

L = galat yang diinginkan (Martin et al. 1988 & Thrusfield 1994).

Dengan tingkat konfidensi 95% dan galat yang diinginkan 5% serta asumsi prevalensinya 7% maka didapat:

4 x 0,07 x 0,93 n =

(0,05)2 = 104 sampel telur

Jumlah sampel telur ayam ras yang diambil dari tiap pedagang di setiap pasar tradisional dapat dilihat pada lampiran tesis ini.


(36)

22

Bahan dan Alat-Alat Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan berupa Buffered Pepton water, Rappaport Vassiliadis Broth, Xylose Lysine Deoxycholate, Manitol Selenite Cystein Broth, Mac Conkey Agar, Brilliant Green Agar, Triple Sugar Iron Agar, Lysine Iron Agar, Urea Agar, Nutrient Agar, Nutrient Broth, Pereaksi Indol, kapas, pewarnaan gram, NaCl fisiologis, alkohol 70%, isolat Salmonella sp. dalam

Nutrient Agar miring, antisera (O dan H).

Alat-alat yang dipakai dalam penelitian ini yaitu petridish diameter 9 cm dan 12 cm, pipet 1 ml, erlenmeyer, beaker glass, tabung reaksi, cabinet UV, pengaduk, ose, mikropipet, vortex, bunsen, incubator, autoclave, microwaveoven,

spreader, kaca preparat 5 x 7,5 cm, batang pengadukaglutinasi,lampu penerang,

lemari es, freezer, bunsen, stomacher, pipet pasteur 1-10 ml, tabung reaksi 5 – 20 ml, timbangan 0,5 – 500 gram, mikroskop, rubber teat, tabung craigie, rak tabung reaksi.

Metode

Isolasi dan Identifikasi Salmonella Enteritidis a. Kerabang Telur

Setiap sampel kerabang telur yang memiliki berat berkisar 15 – 20 gram dimasukkan ke dalam 135 - 180 ml (10%) larutan Buffered Pepton Water (BPW) sebagai media pre-enrichment, dihomogenisasi dan diinkubasi pada suhu 35-37 oC selama 16-20 jam. Campuran sampel kerabang, putih dan kuning telur dalam BPW dapat dilihat pada gambar 6 berikut ini :

Gambar 6 Penimbangan kerabang telur serta pemberian media pre-enrichment Buffered Pepton Water (BPW) pada kerabang, kuning dan putih telur


(37)

Sebanyak 1 ml suspensi tersebut ditanam pada 9 ml (10%) media enrichment Rappaport Vassiliadis Broth (RVB) dan diinkubasi pada suhu 42 oC selama 24 jam. Suspensi tersebut diambil satu ose dan ditanam pada media agar selektif

Xylose Lysine Deoxycholate (XLD) dan diinkubasi lagi pada suhu 37 oC selama 24 jam. Sebanyak 3-5 koloni berwarna hitam yang diduga Salmonella sp. kemudian dilakukan uji biokimia dengan melakukan inokulasi pada media TSIA, LIA, Indol, Sitrat dan Urea. Koloni yang diduga Salmonella sp. pada media XLD dapat dilihat pada gambar 7 berikut ini :

Gambar 7 Morfologi biakan Salmonella sp. pada media Xylose Lysine Deoxycholate (XLD)

Biakan yang ditumbuhkan pada media penyubur dan media selektif, dinyatakan

Salmonella sp.apabila memberikan hasil uji TSIA positif yang ditunjukan dengan warna slant merah dan butt kuning; LIA positif yang ditunjukan dengan warna media slant hitam dan butt violet; H2S positif yang ditunjukan dengan warna hitam pada media TSIA dan LIA; Indol negatif yang ditunjukan dengan tidak terbentuknya cincin berwarna pink; Sitrat positif yang ditunjukan dengan adanya pertumbuhan dan warna biru pada media serta Urea negatif dimana tidak terjadi perubahan warna media. Koloni bakteri yang diduga presumtif Salmonella sp., ditanam pada media nutrient agar miring dan semisolid untuk dilanjutkan dengan Serotiping untuk menentukan serotipenya (Balitvet 2005).

Morfologi biakan Salmonella

Negatif pada media XLD

Morfologi biakan yang diduga


(38)

24

Jenis Uji Hasil Uji Gambar

TSIA H2S LIA Sitrat

Positif Positif Positif Positif

Indol Negatif

Negatif Positif

Urea Negatif

Negatif Positif

Gambar 8 Hasil uji biokimia pada isolat persumtif Salmonella sp. b. Putih dan Kuning Telur

Sampel putih dan kuning telur diambil dengan memecah telur terlebih dahulu. Kemudian dipisahkan antara putih dan kuning telur. Langkah selanjutnya dari masing-masing bagian telur tersebut diambil 15 - 20 gram dan dimasukkan ke dalam 135 – 180 ml (10%) larutan Buffered Pepton Water (BPW) sebagai media

preenrichmnet dan dihomogenisasi.

Selanjutnya pemeriksaan diteruskan seperti pada pengujian kerabang telur (Balitvet 2005). Pemisahan putih dan kuning telur serta pencampuran dalam BPW dapat dilihat pada gambar 9 berikut ini.


(39)

Gambar 9 Pemisahan putih dan kuning telur serta pemberian media pre-enrichment (BPW)

Serotiping Salmonella Enteritidis

Prinsip kerja serotiping untuk identifikasi antigen somatik O tahan panas, dilakukan dengan cara suspensi sel bakteri Salmonella sp. yang dipanaskan pada suhu 100 oC selama satu jam. Setelah dingin direaksikan dengan antiserum grup B, C, D dan E. Bila terjadi aglutinasi pada grup tertentu kemudian diuraikan menggunakan antiserum somatik (nomor antigen dalam grup tertentu). Sedangkan untuk identifikasi H antigen dari Salmonella yang sudah diketahui O serotipenya, dilakukan dengan mengkultur bakteri Salmonella tersebut pada media semisolid dengan tabung ”Craigie”. Bakteri yang mempunyai antigen flagella akan bergerak keluar dari dalam tabung ”Craigie” melalui dasar tabung, sedangkan yang tidak mempunyai flagella tidak terdapat pertumbuhan diluar tabung ”Craigie”. Satu suspensi sel bakteri hidup dibuat dari sel diluar tabung ”Craigie”, direaksikan dengan anti H antiserum antibodi spesifik poly Ha, Hb, Hc, Hd, He, dan H polyz. Kemudian dari grup poly H positif diuraikan menjadi nomor-nomor antigen H kelompok tersebut. Sampel dinyatakan positif S. Enteritidisbila berasal dari grup D, identifikasi O: 1, 9, 12, dan H: g, m, 1, 7, sesuai dengan Skema Kauffmann-White pada tabel 2 (Balitvet 2005).


(40)

26

Tabel 2 Struktur antigenik Salmonella menurut Skema Kauffmann-White Tipe Species/Serotipe Antigen O

(somatik)

Antigen H (Flagella) Fase 1 Fase 2

A S. paratyphi A 1, 2, 12 8 -

B S. paratyphi B 1, 4, (5), 12 B 1, 2

S. (schottmulleri)

S. java 1, 4, (5), 12 B (1, 2)

S. saint-paul 1, 4, (5), 12 e, h 1, 2

S. san-diego 4, (5), 12 e, h e, n, z15

S. derby 1, 4, (5), 12 f, g (1, 2)

S. agona 1, 4, 12 f, g, s -

S. typhimurium 1, 4, (5), 12 I 1,2

S. typhimurium var

copenhagen 1, 4, 12 I 1, 2

S. heidelberg 1, 4, (5), 12 R 1, 2

S. tinda 1, 4, 12, 27 A e, n, z15

C1 S. paratyphi C 6, 7, (Vi) C 1, 5

S. choleraesuis 6, 7 (c) 1, 5

S. montevideo 6, 7 g, m, s, (p) -

S. oranienburg 6, 7 m, t -

S. thompson 6, 7 K 1, 5

S. infantis 6, 7 R 1, 5

C2 S. newport 6, 8 e, h 1, 2

D1 S. typhi 9, 12, (Vi) B -

S. Enteritidis 1, 9, 12 g, m -

S. dublin 1, 9, 12, (Vi) g, p -

S. panama 1, 9, 12 l, v 1, 5

S. javiana 1, 9, 12 l, z28 1, 5

S. pullorum 1, 9, 12 - -

S. sendai 1, 9, 12 A 1, 5

E1 S. oxford 3, 10 A 1, 7

S. anatum 3, 10 e, h 1, 6

S. london 3, 10 l, v 1, 6

S. meleagridis 3, 10 e, h l, w

S. lexington 3, 10 z10 1, 5

E4 S. seftenberg 1, 3, 19 g, (s), t -

F S. rubislaw 11 R e, n, x

G2 S. worthington 1, 3, 23 Z l, w


(41)

a. Menentukan Struktur Antigen ”O”

1. Penentuan antigen O atau somatik dilakukan dengan menggunakan antisera polivalen atau monovalen grup B, C, D, E karena grup ini yang paling sering ditemukan pada hewan;

2. Apabila salah satu grup dari antisera positif, maka untuk selanjutnya dilakukan uji dengan single faktor antisera yang sesuai sebagai berikut :

Grup B, menggunakan single factor 4,5,12,27 (4,5 adalah antigenik spesifik grup B)

Grup C, menggunakan single factor : 6,7; 6,8; 14; 8(20); 6,14

Grup D, menggunakan serum tunggal faktor (single factor) 12,46. Grup D mempunyai faktor spesifik 9. Antigen somatik 9 merupakan diagnostik faktor untuk grup D dan faktor ini dapat berkombinasi baik dengan faktor 12 dan 46. Grup E, menggunakan serum faktor tunggal 10,15,19. Bila terjadi aglutinasi dengan faktor 15, kemudian diuji dengan faktor 34 dan selanjutnya disesuaikan dengan skema Kauffmann-White.

b. Menentukan Serotipe yang Berhubungan dengan antigen ”H”

Suspensi bakteri Salmonella sp. yang dipakai adalah sama dengan suspensi bakteri untuk uji antigen O tersebut di atas, kemudian diuji terhadap antisera polivalen ”H”: Ha, Hb,Hc,He, g kompleks dan Poly z. Bakteri ini ditumbuhkan pada media semisolid dengan tabung Craigie dan diinokulasikan melalui tabung tersebut yang kemudian diinkubasikan pada suhu 37 oC selama 24 jam. Suspensi bakteri yang akan digunakan untuk uji antigen H diambil dari luar tabung Craigie pada permukaan semisolid. Apabila terjadi reaksi dengan dengan salah satu antisera tersebut diatas, kemudian diuji dengan salah satu antisera sebagai berikut :

Ha : a, b, c, d, I Hb : K, lu/lw, r, y, z Hc : 2, 5, 6 , 7 He : h, x, Z15

Hg : ge, f, m, s, t, p, g, u


(42)

28

Bila tidak terjadi aglutinasi dengan antisera (H) tersebut di atas, dibuat preparat ”hanging drop” untuk mengetahui motiliti dari bakteri yang sedang diuji atau dengan metode ”Craigie”. Bila bakteri tersebut motil, biakan bakteri ini ditumbuhkan pada media diferensiasi (misalnya XLD, BRG), lalu diambil koloni tunggal untuk dilakukan uji biokimia lengkap agar diketahui apakah bakteri ini benar-benar Salmonella sp. atau bukan. Jika benar, maka dilakukan uji ulang

Salmonella sp. untuk menentukan serotipenya. Setelah penentuan/uji terhadap antigen O dan H selesai, hasil ditabulasikan dan dicocokkan struktur antigen yang diperoleh dengan skema Kauffmann-White untuk mendapatkan nama serotipe

Salmonella sp. yang diuji.

Analisis Data


(43)

Pengambilan sampel telur dilakukan di 16 (enam belas) pasar tradisional yang berada di Wilayah Kabupaten Tangerang. Jumlah sampel telur ayam ras diambil secara proporsional random sebanyak 104 butir. Hasil pemeriksaan laboratorium terhadap cemaran Salmonella sp. pada kerabang, putih dan kuning telur ayam ras di pasar tradisional di Wilayah Kabupaten Tangerang adalah sebagai berikut :

Tabel 3 Hasil pengujian cemaran Salmonella sp. pada kerabang, putih dan kuning telur ayam ras di 16 pasar tradisional di Wilayah Kabupaten Tangerang

No. Nama Pasar Tradisional

Jumlah Telur (butir)

Hasil Pemeriksaan Laboratorium Bagian Telur

Kerabang Putih Kuning

1. Pasar Ciputat 15 Negatif Negatif Negatif

2. Pasar Pamulang 5 Negatif Negatif Negatif

3. Pasar Serpong 5 Negatif Negatif Negatif

4. 5.

Pasar BSD-Serpong Curug

2 4

Negatif Negatif

Negatif Negatif

Negatif Negatif

6. Pasar Sepatan 15 Negatif Negatif Negatif

7. Pasar Kelapa Dua-Curug 6 Negatif Negatif Negatif

8. 9.

Pasar Cikupa Pasar Cisoka

8 8

Negatif Negatif

Negatif Negatif

Negatif Negatif

10. Pasar Kronjo 1 Negatif Negatif Negatif

11. Pasar Gembong-Balaraja 3 Negatif Negatif Negatif

12. Pasar Sentiong-Balaraja 10 Negatif Negatif Negatif

13. Pasar Pasar Kemis 4 Negatif Negatif Negatif

14. Pasar Kutabumi-Ps. Kemis 15 Negatif Negatif Negatif

15. Pasar Kresek 1 Negatif Negatif Negatif

16. Pasar Mauk 2 Negatif Negatif Negatif

Jumlah 104

Berdasarkan hasil pengujian melalui tahapan isolasi dan identifikasi bakteri serta uji biokimia, tidak ditemukan cemaran Salmonella Enteritidis pada telur ayam ras.


(44)

30

Tidak ditemukannya cemaran Salmonella sp. pada telur ayam ras, dimungkinkan karena telur mempunyai pertahanan fisik berupa kutikula, kerabang telur dan selaputnya serta kekenyalan putih telur dan pertahanan kimia (albumin) yang merupakan faktor antimikroba alamiah.

a. Pertahanan fisis

Kutikula. Mulai dari pembentukannya di saluran telur, kerabang telur telah diselaputi oleh suatu lapisan protein setebal 0,01 mm yang disebut sebagai kutikula. Penyelaputan ini akan menutupi sebagian besar pori-pori dari kerabang telur sehingga mengurangi kemungkinan masuknya S. Enteritidis ke bagian lebih dalam lagi dari telur (Bloomquist 2000).

Kerabang telur. Merupakan lapisan terluar dengan struktur yang keras sebagai pertahanan mekanis terhadap berbagai sumber kontaminasi, sebagian besar terdiri dari CaCO3 dengan matriks yang terdiri dari protein dan polisakarida. (AEB 2005).

Gambar 10 Kutikula, kerabang dan selaput telur (Yahya 2005)

Selaput telur. Terdiri dari 2 lapis yang saling terjalin kecuali di bagian ujung tumpul telur untuk menjadi kantung hawa. Terdiri dari serabut keratin yang akan berfungsi juga sebagai penyaring mikroorganisme. Selaput bagian dalam, kaya akan lisosim yang mempunyai peranan lebih besar dalam mematikan mikroorganisme (Puslitnak 2000).

Kutikula

Kerabang

Selaput bagian luar

Selaput bagian dalam


(45)

b. Pertahanan kimiawi

Apabila kutikula, kerabang telur dan selaput telur tidak berfungsi dalam pertahanan terhadap infasi bakterial, maka putih telur akan terkontaminasi. Tetapi untuk membuat kerusakan telur akibat cemaran mikroorganisme, maka mikroorganisme harus mencapai bagian kuning telur terlebih dahulu karena komposisi kuning telur merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri (Puslitnak 2000).

Banyak faktor yang mempengaruhi perjalanan mikroorganisme dari selaput telur sampai ke kuning telur. Pertama-tama adalah kekenyalan yang cukup tinggi dari putih telur terutama lapisan tebal dari putih telur karena kandungan protein yang ada di dalamnya akan menghambat pergerakan bakteri. Lebih-lebih karena adanya penggantung telur (kalaza) yang akan menahan kuning telur segar tetap dalam posisi sentral sehingga cukup jauh dari kulit telur sebagai sumber utama kontaminasi. Adapun gambaran anatomi bagian dalam telur adalah sebagai berikut :

Gambar 11 Anatomi bagian dalam telur (Grijspeerdt et al. 2005)

Selain kekenyalan yang cukup tinggi dari putih telur, pertahanan kimiawi putih telur lainnya adalah sebagai berikut :


(46)

32

pH basa. pH dari putih telur dari telur yang baru saja ditelurkan berada di sekitar 7,5 dan ini merupakan pH optimum bagi pertumbuhan sebagian besar mikroorganisme dan saprofit. Pada permulaan penyimpanan, telur akan kehilangan sebagian besar CO2 melalui pori-pori telur yang akan menaikkan pH hingga mencapai diatas 9,0. Keadaan ini akan tercapai dengan cepat bila suhu udara di sekitar cukup tinggi. Untuk sebagian besar mikroorganisme, pH setinggi itu tidak baik untuk pertumbuhan ataupun daya tahannya.

Lisosim. Lisosim adalah suatu protein alami putih telur, mempunyai aktivitas muramidasi, khususnya hidrolisis ikatan 1,4-β antara N-acetyl muramic acid dan N-acetylglucosamine pada glycan di dinding sel bakteri gram positif.

Ovotransferin. Ovotransferin menghambat pertumbuhan mikroorganisme karena daya khelasi yang dimiliki terutama terhadap ion Fe++. Reaksi ini amat tergantung pada pH dan konsentrasi besi. Aktifitas ovotransferin akan bertambah bila pH > 7.0. Inhibisi ini amat tergantung jenis bakteri. Bakteri gram negatif kurang terhambat oleh ovotransferin daripada gram positif. Sedangkan sensitifitas Micrococcus sp. terhadap ovotransferin lebih tinggi daripada Bacillus spp. yang ia sendiri lebih sensitif daripada bakteri-bakteri gram negatif (Humprey 1994).

Beberapa tahun belakangan ini, telah dilaporkan aktivitas ”pore-forming” yang merupakan mekanisme baru yang dimiliki oleh lisosim dan ovotransferin. Lisosim menunjukan kemampuan melakukan penetrasi pada bakteri gram negatif dengan mengurangi ikatan disulfida dan memperluas kemampuan hidrofobiknya pada permukaan enzim lisosim, aktivitas ini terlepas dari aktivitas muramidase yang dimilikinya. Sedangkan aktivitas bakterisidal ovotransferin lainnya, selain dari kemampuan besi chelatnya adalah adanya kationik peptida dalam lobus N ovotranferin yang mampu melintasi membran terluar dari bakteri gram negatif dan merusak membran sitoplasma bakteri tersebut (Lu et al. 2003 & Touch et al. 2004)


(47)

Metode pengujian yang dilakukan untuk mengetahui cemaran Salmonella sp dalam telur ayam ras adalah metode konvensional. Metode ini memiliki 4 prinsip tahapan pemeriksaan untuk mengidentifikasi Salmonella sp, yaitu : pre-enrichment adalah tahap untuk meningkatkan pertumbuhan sejumlah kecil Salmonella atau untuk memulihkan kondisi Salmonella yang telah lemah; selective enrichment adalah tahap untuk meningkatkan populasi Salmonella seraya menekan pertumbuhan mikroorganisme lainnya; plating on selective agar media adalah tahap untuk memperoleh isolasi koloni yang berasal dari beberapa kumpulan sel-sel tunggal dan biochemical and serological test yang merupakan tahap untuk mendapatkan konfirmasi tentang genus dan serotipe Salmonella (Humprey & Whitehead 1992).

Isolasi dan identifikasi Salmonella dalam bahan pangan dengan

menggunakan metode konvensional memerlukan waktu selama 7 hari untuk hasil positif, sedangkan apabila hasil negatif diperlukan waktu sekitar 3-4 hari. Beberapa tahun belakangan ini, penelitian tentang metode uji cepat untuk Salmonella telah banyak dilakukan, tetapi tes tersebut belum dapat distandarisasi dan diterima oleh sebagian besar peneliti, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut sebelum dapat dibuktikan penggunaannya secara mudah dan dengan biaya yang cukup efektif di lapangan. Spesifik antibodi untuk Salmonella antigen telah digunakan untuk suatu jenis metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dengan menggunakan monoklonal dan poliklonal antibodi terhadap Salmonella lipid polysaccharide (LPS) atau flagella, tetapi metode ini dilaporkan tidak terlalu sensitif dibandingkan dengan metode konvensional (Keller et al. 1990 & Kim et al. 1991).

Teknologi Polymerase Chain Reaction (PCR), immunodifusi serta

hibridisasi asam nuklet untuk mendeteksi Salmonella juga telah banyak dilaporkan, tetapi masih diperlukan validasi dan pengujian sensitifitas serta spesifisitas terhadap sampel lapangan (Feng 1992).

Berdasarkan hasil pendataan, telur-telur ayam ras yang dijajakan di pasar tradisional 87% berasal dari peternakan di Wilayah Kabupaten Tangerang, 9% dari Bogor dan 4% berasal dari Jawa Tengah serta Jawa Timur. Untuk itu, dilakukan pengambilan data sekunder hasil surveilans cemaran Salmonella sp.


(48)

34

dari 250 butir telur ayam ras yang berasal dari 25 peternakan ayam ras petelur di Wilayah Kabupaten Tangerang yang dilakukan oleh Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Tangerang di tahun 2006. Sampel diambil di 10 kecamatan di Wilayah Kabupaten Tangerang yang merupakan lokasi sentra peternakan ayam ras. Dari masing-masing peternakan dilakukan pengambilan sampel sebanyak 10 butir secara acak.

Pengujian Salmonella secara kualitatif dilakukan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Hasil uji tertuang dalam tabel 4 berikut ini :

Tabel 4 Hasil pemeriksaan Salmonella sp. pada telur ayam ras dari peternakan ayam ras petelur di Kabupaten Tangerang (Data Sekunder)

No. Kecamatan Nama

Farm Kode Sampel Jumlah Sampel (Butir) Hasil Pemeriksaan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Pondok Aren Ciputat Cikupa Cisoka Pasar Kemis Curug Kemeri Pagedangan Panongan Legok Sumber Rejeki Eden Eden Prapatan Arman AEC Harapan Oktober SIH Hidup Jaya Dharmawan Sarang Multi TKK Gloria Kemeri Tuti Farida Ok Kiong Dunia Unggas Garuda Mas Sari Harapan Sumber Alam Rudy Tri Jaya Garuda Jaya Legok Babat Buana Karsa Atung A 1-10 B 11-20 C 21-30 D 31-40 E 41-50 F 51-60 G 61-70 H 71-80 I 81-90 J 91-100 K 101-110 L 111-120 M 121-130 N 131-140 O 141-150 P 151-160 Q 161-170 R 171-180 S 181-190 T 191-200 U 201-210 V 211-220 W 221-230 X 231-240 Y 241-250 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Jumlah 250


(49)

Dari data yang diperoleh, 40% peternak ayam petelur di Kabupaten Tangerang menggunakan probiotik dalam air minum unggasnya, dengan tujuan selain sebagai growth promotor juga untuk mengurangi bau yang ditimbulkan oleh feces, karena probiotik dapat mengoptimalkan pencernaan makanan di dalam tubuh unggas sehingga feces yang dihasilkan tidak mengandung bahan-bahan yang sering menimbulkan bau seperti protein dan lemak sehingga feces yang dikeluarkan hanya ampasnya saja dan kering. Dengan konsistensi feces yang kering dan berkurangnya bau, maka hal itupun akan mengurangi perkembangbiakan lalat yang juga merupakan salah satu problema di industri peternakan (Distanak 2006).

Kompiang et al. (2005) dalam hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa B. apiarius dan probiotik komersial dapat mencegah perkembangan Salmonella Enteritidis. Hal ini dimungkinkan karena probiotik secara in vitro dapat menghambat pertumbuhan beberapa bakteri patogen enterik dengan melakukan perlekatan pada mukosa intestinal sehingga mencegah agen lain melekat pada mukosa intestinal unggas. Beberapa probiotik juga akan menurunkan kolonisasi dan shedding dari Salmonella dan Campylobacter pada unggas yang akan mengurangi resiko kontaminasi secara horizontal. Penelitian terhadap reaksi imunologi dari pemberian probiotik saat ini terus dikembangkan, Lactobacillus mampu meningkatkan imunitas mukosal dan sistemik terhadap bakteri enteropatogen dengan meningkatkan produksi dari SIgA (Secretory IgA).

Selain penggunaan probiotik, reaksi imunostimulan bakteri yang merupakan hasil dari competitive exclusion (CE) merupakan alternatif dalam pencegahan infeksi Salmonella dengan cara memelihara kondisi dan kestabilan mikroflora usus. Di beberapa negara, terapi CE digunakan sebagai salah satu

bagian dalam program pengendalian Salmonella yang didukung dengan

peningkatan standar higiene dan desinfeksi di seluruh rantai produksi (Revolledo et al.).

Berdasarkan hasil penelitian cemaran S. Enteritidis pada ayam ras yang dijual di pasar tradisional dan didukung oleh data sekunder, diperoleh hasil

bahwa tidak ditemukan S. Enteritidis pada telur ayam ras. Untuk


(50)

36

asal hewan yang terintegrasi antara pemerintah, produsen maupun konsumen (Holt et al. 1998; Moerad 2003). Pemerintah dan produsen/swasta harus bekerjasama untuk merancang aturan, standar dan implementasinya yang berhubungan dengan upaya pengendalian Samonella dalam rantai proses di industri perunggasan (Sudirman 2005). Penanganan yang higienis terhadap ternak dan produknya dari berbagai pihak sangat berguna untuk meningkatkan keamanan pangan asal hewan terhadap kontaminasi S. Enteritidis.

Beberapa kebijakan pemerintah terhadap pengamanan pangan asal hewan meliputi pengawasan dan pembinaan keamanan terhadap daging, telur dan susu. Dalam pelaksanaan operasionilnya meliputi beberapa kegiatan yaitu pemberian sertifikat bebas Salmonella pada unit usaha pangan asal hewan, sertifikat kontrol veteriner unit usaha pangan asal hewan, penerapan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP), program monitoring dan surveilans cemaran mikroba serta pengembangan sistem jaringan kerja pengawas kesmavet (Moerad 2003).

Sertifikat bebas Salmonella merupakan sertifikasi kelayakan dari cara produksi di suatu usaha pangan asal hewan. Sertifikat tersebut diberikan kepada perusahaan-perusahaan penghasil bibit ternak terutama ternak unggas, hal ini sesuai dengan Surat Keputusan Direktorat Jenderal Peternakan Nomor 26/TN.530/Kpts/DJP/Deptan/1986 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengujian Penyakit Pullorum. Peternakan ayam petelur juga harus bebas dari Salmonella sehingga jika akan memasukkan unggas baru sebagai pengganti, unggas tersebut harus benar-benar berasal dari peternakan yang bebas salmonellosis (Dharmojono 2001; Moerad 2003).

Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 381/Kpts/OT.140/10/2005 tentang Pedoman Sertifikasi Kontrol Veteriner Unit Usaha Pangan asal Hewan, maka dalam peraturan tersebut, sertifikat kontrol veteriner unit usaha pangan asal hewan yang selanjutnya disebut Nomor Kontrol Veteriner (NKV) adalah sertifikat sebagai bukti tertulis yang sah telah dipenuhinya persyaratan higiene-sanitasi sebagai kelayakan dasar jaminan keamanan pangan asal hewan pada unit usaha pangan asal hewan. Pelaku usaha pangan asal hewan yang wajib memiliki NKV diantaranya adalah usaha budidaya unggas petelur.


(51)

Untuk usaha budidaya unggas petelur, maka persyaratan higiene-sanitasi harus diterapkan pada seluruh rantai produksi mulai dari sistem pemeliharaan, perkandangan, kualitas pakan dan air minum, gudang telur hingga proses pengepakan dan distribusi telur. Setelah memenuhi dan menjalankan seluruh persyaratan yang telah ditetapkan dan dinyatakan layak untuk mendapatkan NKV oleh tim auditor, maka pelaku usaha budidaya unggas petelur wajib memberikan stempel pada kerabang telur dan atau label pada kemasannya.

Sistem HACCP merupakan sistem jaminan mutu yang mendasarkan pada kesadaran dan perhatian bahwa bahaya dapat timbul pada berbagai titik atau tahapan produksi, akan tetapi dapat dilakukan pengendalian pencegahan

bahaya-bahaya tersebut (Moerad 2003). Pengawasan Salmonella di peternakan

melibatkan pentingnya sanitasi-higiene terhadap kandang, peralatan maupun lingkungan peternakan, serta fumigasi penetasan telur ayam untuk mengurangi keberadaan bakteri patogen. Menyediakan pakan dan air minum bebas Salmonella (Barrow 1993; OIE 2000; Schuldt et al. 2001; Sudirman 2005). Pemberantasan vektor (burung-burung liar, rodentia dan serangga) di sekitar peternakan. Usaha ini dilakukan untuk mencegah penularan Salmonella secara horizontal (Dharmojono 2001).

Vaksinasi terhadap S. Enteritidis di Indonesia tidak direkomendasikan, karena antibodi yang terbentuk pascavaksinasi dapat ”mengacaukan” pemeriksaan uji Pullorum yang rutin dilakukan akibat adanya reaksi silang antara Salmonella spp. yang terdapat dalam satu Grup yaitu Grup D. Bakteri S. Enteritidis dan S. Pullorum atau S. Gallinarum termasuk dalam Grup D yang memiliki kesamaan struktur antigen somatik yaitu O1,9,12. Untuk membedakan S. Pullorum dengan S. Gallinarum yang mempunyai kesamaan pada struktur antigennya, hanya dapat dilakukan dengan uji biokimianya yaitu dulsitol dan ornithin dekarboksilase (Ariyanti et al. 2004).

Program monitoring dan surveilans residu dan cemaran mikroba termasuk Salmonella bertujuan untuk memperoleh gambaran tingkat kandungan residu dan cemaran mikroba pada pangan asal hewan yang beredar di Indonesia serta memberi perlindungan pada konsumen melalui pangan asal hewan yang tidak mengandung cemaran mikroba atau residu yang membahayakan kesehatan


(52)

38

konsumen. Cara pengawasan residu dan cemaran mikroba meliputi pemantauan (monitoring) di seluruh mata rantai produksi, pengamatan (surveillance) terhadap suatu masalah residu dalam pangan asal hewan dan dampaknya pada kesehatan manusia dan pemeriksaan (inspection) residu dan cemaran mikroba pada bahan pangan di laboratorium penguji yang berwenang (Moerad 2003).

Pengembangan Sistem Jaringan Kerja Pengawas Kesmavet merupakan pengawasan penanganan daging, susu dan telur. Penanganan kesehatan telur adalah kegiatan pengawasan terhadap kesehatan unggas, lingkungan dan kandang, pengemasan dan pengangkutan. Adapun kelembagaan yang terlibat adalah pemerintah pusat, dinas daerah dan laboratorium (Moerad 2003).

Penanganan yang baik dan benar terhadap pangan asal hewan bermanfaat untuk mencegah terjadinya kontaminasi S. Enteritidis. Penyimpanan telur dalam suhu rendah sangat penting untuk mencegah pertumbuhan S. Enteritidis dalam telur (Hara-Kudo et al. 2001). Disarankan untuk menyimpan telur ayam dalam refrigerator dengan suhu maksimal 4 oC sampai akan digunakan, yang sebelumnya telur ayam dicuci dengan bersih, dengan menggunakan air hangat suhu 65,5 oC selama 3 menit atau dengan larutan deterjen pada suhu 45 oC (Supardi & Sukamto 1999). Berdasarkan hasil penelitian di laboratorium, S. Enteritidis tidak dapat tumbuh dan berkembang dalam kuning telur yang telah diinokulasi apabila disimpan pada suhu 4 oC dan 8 oC. Pada temperatur 10 oC, pertumbuhan S. Enteritidis terlihat lambat tetapi bakteri tersebut akan tumbuh relatif cepat dalam waktu yang pendek apabila disimpan pada temperatur 12 oC (Humprey 1990). Jumlah S. Enteritidis pada telur-telur yang terkontaminasi secara alam meningkat apabila disimpan pada suhu 25 oC selama 7 hari namun tingkat kontaminasi tidak berubah apabila disimpan pada suhu 7 oC selama 7 hari (Hara-Kudo et al. 2001). Di Amerika Serikat, telah dikeluarkan peraturan bahwa suhu penyimpanan dan transportasi untuk telur ayam tidak lebih tinggi dari 7 oC ( Gast & Holt 2000).

Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian, telah mengeluarkan pedoman tentang penanganan higienis pada telur dan produk telur dengan melaksanakan prinsip dasar penerapan Good Manufacturing Practices (GMP), Good Hygienic Practices (GHP) serta implikasi dari prinsip-prinsip HACCP.


(53)

Adapun tata cara penyimpanan telur di tempat pengumpulan adalah sebagai berikut :

1. Disimpan di dalam ruangan dengan suhu 20 oC dengan kelembaban 75-85%;

2. Terpisah dari bahan non pangan dan bahan kimia yang dapat mengubah

kualitas telur, misalnya kontaminasi zat-zat berbahaya pada kerabang telur; 3. Terhindar dari sinar matahari langsung;

4. Wadah yang digunakan harus bersih dan jauh dari dinding serta langit-langit sehingga terhindar dari kemungkinan kontaminasi;

5. Jarak yang cukup antar tumpukan sehingga terdapat sirkulasi udara yang baik serta memudahkan penanganan;

6. Menerapkan sistem FIFO (first in first out) dimana telur yang masuk duluan akan keluar duluan.

Adapun tata cara penjualan telur di tempat penjajaan adalah sebagai berikut : 1. Telur yang datang harus ditangani dengan cara yang baik dan higienis; 2. Memisahkan telur yang rusak;

3. Telur dijajakan pada suhu 20 oC;

4. Wadah telur disusun dengan rapi dan diatur jaraknya sehingga sirkulasi udara akan terjadi dengan baik;

5. Terhindar dari sinar matahari langsung; 6. Perputaran stock terjamin;

7. Telur dijajakan kurang dari 21 hari.

Upaya lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi kontaminasi S. Enteritidis pada pangan asal hewan antara lain dengan menghindari makan telur mentah (minuman yang dicampur dengan telur atau jamu, bahan pembuatan es krim) atau telur setengah matang, menghindari restoran yang menyediakan makanan dari telur-telur mentah yang tidak dimasak dengan matang dan tidak dipasteurisasi, apabila terdapat telur-telur yang retak dan kotor karena feses sebaiknya dibuang dan tidak dianjurkan menyimpan telur-telur pada temperatur yang panas (40-140 oC) selama lebih dari 2 jam (CDC 2001). Kontaminasi dapat dihindari dengan memasak secara sempurna telur dan produk olahannya, mencuci tangan sebelum dan sesudah memegang telur mentah, menggunakan alat-alat memasak yang telah dicuci bersih (Duguid & North 1991; Schlundt et al. 2004;


(54)

40

Serbeniuk 2002). Pengetahuan dan keperdulian masyarakat terhadap bahaya infeksi Salmonella perlu ditingkatkan (Schlundt et al. 2004; Sudirman 2005).

Pemanasan merupakan cara yang paling banyak dilakukan untuk membunuh Salmonella (Supardi & Sukamto 1999). Bakteri Salmonella akan mati dalam pemanasan 60 oC selama beberapa menit dalam larutan telur namun temperatur tersebut tidak membunuh bakteri dalam telur ayam karena panas tersebut lambat menembus masuk ke dalam isi telur ayam yang mengandung masa yang kental. Salmonella pada kerabang telur dapat dibunuh dengan merebus telur pada temperatur 100 oC, tetapi beberapa penelitian menunjukkan bahwa cara tersebut menghasilkan putih telur yang matang tetapi sebagian kuning telur masih setengah matang/lunak sehingga tidak membunuh bakteri dalam kuning telur. Salmonella Enteritidis masih dapat ditemukan pada kuning telur yang direbus atau dikeringkan selama 4 menit, tetapi bakteri tersebut tidak dapat diisolasi dari telur ayam terinfeksi yang direbus atau dikeringkan selama 8 menit (Duguid & North 1991). Pemanasan yang direkomendasikan untuk membunuh Salmonella di dalam makanan umumnya adalah selama paling sedikit 12 menit pada suhu 66 oC atau 78-83 menit pada suhu 60 oC. Perlakuan lain yang dapat membunuh Salmonella adalah dengan asam asetat, H2O2, radiasi ionisasi, radiasi ultraviolet, pemanasan dengan oven mikrowave (Gast & Holt 2000; Supardi & Sukamto 1999).


(55)

Kesimpulan

1. Setelah dilakukan pengujian pada kerabang, putih dan kuning telur, tidak ditemukan Salmonella Enteritidis pada 104 (seratus empat) butir sampel telur ayam ras yang berasal dari 16 (enam belas) pasar tradisional di Wilayah Kabupaten Tangerang;

2. Tidak ditemukannya S. Enteritidis pada sampel-sampel tersebut, dimungkinkan karena telur ayam ras mempunyai pertahanan fisik berupa kutikula, kerabang dan selaput telur serta pertahanan kimia berupa zat antimikrobial alamiah yaitu lisosim dan ovotransferin.

Saran

1. Perlu adanya penyuluhan yang berkelanjutan kepada peternak, pedagang, industri maupun masyarakat umum tentang pentingnya sanitasi higiene penanganan makanan asal hewan untuk menghindari kontaminasi Salmonella; 2. Perlu adanya kerjasama antar pemerintah, produsen dan konsumen dalam

upaya untuk memperoleh pangan asal hewan yang aman, sehat dan bebas


(1)

Lampiran 14 Penentuan besaran sampel telur ayam ras per pedagang di Pasar Pasar Kemis

No. Nama Pedagang

Kode Sampel

Omset Telur/ Pedagang/Hari

(butir) (u)

*Sampel Telur yang Diambil per Pedagang

(butir) (v)

Pembulatan

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Asmari Hasan Sudir Kardi Yono Barkah Dino Wasno

PKI 1 PKII 1 PKIII 1 PKIV 1 - - - -

720 720 720 720 240 480 360 280

0,61 0,61 0,61 0,61 0,20 0,41 0,30 0,24

1 1 1 1 0 0 0 0 Total Omset Telur (r)

Jumlah Sampel Telur yang Diambil di Tiap Pasar Jumlah Sampel yang Diambil

4.240

3,58 (x)

4 * Keterangan :


(2)

Lampiran 15 Penentuan besaran sampel telur ayam ras per pedagang di Pasar Kutabumi-Pasar Kemis No. Nama Pedagang Kode Sampel Omset Telur/ Pedagang/Hari (butir) (u)

*Sampel Telur yang Diambil per Pedagang

(butir) (v)

Pembulatan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Yanto Ucok Lilis Valent Sinta Yudi Akwang Finsen Agus Herry KBI 1 KBII 1 KBIII 1 KBIV 1 KBV 1 KBVI 1 KBVII 1-8 KBVIII 1 - - 720 720 720 720 720 720 9.600 720 480 480 0,61 0,61 0,61 0,61 0,61 0,61 8,12 0,61 0,41 0,41 1 1 1 1 1 1 8 1 0 0

11. Amah - 480 0,41 0

12. Riki - 480 0,41 0

13. Nani - 480 0,41 0

14. Darsono - 288 0,24 0

15. Frans - 480 0,41 0

16. Anako - 480 0,41 0

Total Omset Telur (r) Jumlah Sampel Telur yang Diambil di Tiap Pasar Jumlah Sampel yang Diambil

18.288

15,46 (x)

15 * Keterangan :


(3)

Lampiran 16 Penentuan besaran sampel telur ayam ras per pedagang di Pasar Kresek No. Nama Pedagang Kode Sampel Omset Telur/ Pedagang/Hari (butir) (u)

*Sampel Telur yang Diambil per Pedagang

(butir) (v)

Pembulatan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Aang Dana Bahtiar Anton Agus Asno Eva KRI 1 - - - - - - 720 100 80 100 100 100 64 0,61 0,08 0,07 0,08 0,08 0,08 0,05 1 0 0 0 0 0 0 Total Omset Telur (r)

Jumlah Sampel Telur yang Diambil di Tiap Pasar Jumlah Sampel yang Diambil

1.264

1,07 (x)

1 * Keterangan :

- Pembulatan dilakukan apabila nilai v > 0,50

Lampiran 17 Penentuan besaran sampel telur ayam ras per pedagang di Pasar Mauk No. Nama Pedagang Kode Sampel Omset Telur/ Pedagang/Hari (butir) (u)

*Sampel Telur yang Diambil per Pedagang

(butir) (v)

Pembulatan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Haer Saidi Ogong Suhaemi Jatra Irup Hasan MKI 1 MKII 1 - - - - - 720 1.200 240 240 152 240 120 0,61 1,01 0,20 0,20 0,13 0,20 0,10 1 1 0 0 0 0 0 Total Omset Telur (r)

Jumlah Sampel Telur yang Diambil di Tiap Pasar Jumlah Sampel yang Diambil

2.912

2,46 (x)

2 * Keterangan :


(4)

Lampiran 18 Peta Kabupaten Tangerang


(5)

(6)