Pengaruh Berbagai Cara Pemberian Bahan Humat serta Efek Residunya pada Produksi Kangkung Darat (Ipomoea reptans Poir.)

PENGARUH BERBAGAI CARA PEMBERIAN BAHAN
HUMAT SERTA EFEK RESIDUNYA PADA PRODUKSI
KANGKUNG DARAT (Ipomoea reptans Poir.)

ANDRE DANI MAWARDHI

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Pengaruh Berbagai
Cara Pemberian Bahan Humat serta Efek Residunya pada Produksi Kangkung
Darat (Ipomoea reptans Poir.)” adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2014
Andre Dani Mawardhi
NIM A14090078

ABSTRAK
ANDRE DANI MAWARDHI. Pengaruh Berbagai Cara Pemberian Bahan Humat
serta Efek Residunya pada Produksi Kangkung Darat (Ipomoea reptans Poir.)
Dibimbing oleh SUWARDI dan DYAH TJ SURYANINGTYAS.
Penggunaan bahan humat belum banyak diterapkan pada budidaya sayuran.
Di samping itu, cara pemberian bahan humat perlu dipelajari mengingat bahan
humat mudah larut dalam air dan diberikan dalam jumlah kecil. Penelitian ini
bertujuan untuk mempelajari pengaruh pemberian bahan humat dengan berbagai
cara terhadap produksi kangkung darat (Ipomoea reptans Poir.) pada beberapa
musim tanam serta menerangkan mekanisme pengaruh tersebut pada tanaman dan
tanah. Hasil menunjukkan bahwa aplikasi bahan humat dengan carrier zeolit
merupakan cara pemberian terbaik dalam meningkatkan produksi terutama di dua
musim tanam pertama. Peningkatan tersebut didukung oleh stimulasi tinggi
tanaman, panjang daun, dan jumlah daun. Pada akhir musim tanam ketiga, tidak

terdapat perubahan sifat kimia tanah akibat perlakuan yang diberikan. Pemberian
bahan humat dengan carrier zeolit secara ekonomis lebih menguntungkan
dibandingkan cara pemberian yang lain. Mekanisme peningkatan produksi
kangkung darat terutama diperoleh melalui perbaikan kondisi perakaran seperti
yang terlihat dari biomassa akar sehingga serapan N, P, dan Fe lebih baik.
Kata kunci: bahan humat, efek residu, kadar hara, kangkung darat, zeolit

ABSTRACT
ANDRE DANI MAWARDHI. The Effect of Various Methods on Application of
Humic Substances and Their Residual Effect on Production of Kangkung Darat
(Ipomoea reptans Poir.). Supervised by SUWARDI and DYAH TJ
SURYANINGTYAS.
Application of humic substances has not been well-implemented in
horticultural cultivation. In the other hand, methods on application of humic
substances need to be examined due to their solubility in water and little amount
required on application. The research was conducted in order to study the effect of
various methods of application of humic substances on production of Ipomoea
reptans Poir. in several growing seasons and also to describe their mechanism in
increasing plant and soil properties. Results show that the application of humic
substances carried by zeolite was the best method in increasing plant yields

especially at first two planting times. This increasing was supported by
stimulation in plant height, number of leaves and length of leaf. After the third
planting time, there was no change in soil chemical properties affected by the
treatments. The application of humic substances carried by zeolite gave more
profit compared to other methods. The mechanism of increasing plant yield by the
ameliorants especially resulted by enhancements in rhizosphere i.e. root biomass
can uptake nutrients such as N, P, and Fe were better than in other methods.
Keywords: humic substances, Ipomoea reptans Poir., nutrient content, residual
effect, zeolite

PENGARUH BERBAGAI CARA PEMBERIAN BAHAN
HUMAT SERTA EFEK RESIDUNYA PADA PRODUKSI
KANGKUNG DARAT (Ipomoea reptans Poir.)

ANDRE DANI MAWARDHI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada

Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Pengaruh Berbagai Cara Pemberian Bahan Humat serta Efek
Residunya pada Produksi Kangkung Darat (Ipomoea reptans Poir.)
Nama
: Andre Dani Mawardhi
NIM
: A14090078

Disetujui oleh

Dr Ir Suwardi, MAgr
Pembimbing I


Dr Ir Dyah Tj Suryaningtyas, MApplSc
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Baba Barus, MSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 ini ialah bahan humat,
dengan judul Pengaruh Berbagai Cara Bahan Humat serta Efek Residunya pada
Produksi Kangkung Darat (Ipomoea reptans Poir.)
Ungkapan terima kasih penulis ucapkan kepada:
1. Bapak Dr Ir Suwardi, MAgr atas ide penelitian serta arahan yang diberikan
sejak awal penelitian ini dilakukan sampai dapat diselesaikannya penelitian ini.
2. Ibu Dr Ir Dyah Tj Suryaningtyas MApplSc atas bimbingan dan masukan yang

diberikan selama penelitian dilakukan hingga terselesaikannya penelitian ini.
3. Bapak Dr Ir Gunawan Djajakirana, MSc atas kritikan dan masukan yang
diberikan kepada penulis sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan.
4. Pemerintah Kabupaten Kutai Barat yang telah memberikan beasiswa sepanjang
menempuh pendidikan di IPB.
5. Kedua orang tua, kedua kakak, dan Rodearni Simarmata atas doa dan
dukungan yang diberikan kepada penulis selama menjalankan studi serta
seluruh mahasiswa Manajemen Sumberdaya Lahan IPB angkatan 2009 atas
semangat yang diberikan kepada penulis.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2014
Andre Dani Mawardhi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR


vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian


2

Ruang Lingkup Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

3

Bahan Humat

3

Zeolit

5

Kangkung Darat


6

Latosol

7

METODE

8

Lokasi dan Waktu Penelitian

8

Bahan dan Alat

8

Rancangan Penelitian


9

Pelaksanaan Penelitian

9

HASIL DAN PEMBAHASAN

11

Pengaruh Berbagai Cara Pemberian Bahan Humat terhadap Produksi
Kangkung Darat di Musim Tanam Pertama

11

Efek Residu dari Pemberian Bahan Humat dengan Berbagai Cara terhadap
Produksi Kangkung Darat di Musim Tanam Kedua dan Ketiga

13


Mekanisme Peningkatan Produksi Kangkung Darat Melalui Pemberian
Bahan Humat dengan Berbagai Cara

17

Analisis Usaha Tani Kangkung Darat dengan Berbagai Cara Pemberian
Bahan Humat

22

KESIMPULAN DAN SARAN

23

Kesimpulan

23

Saran

23

DAFTAR PUSTAKA

23

LAMPIRAN

26

RIWAYAT HIDUP

41

DAFTAR TABEL
1 Pengaruh cara pemberian bahan humat terhadap pertumbuhan
kangkung darat 4 MST pada musim tanam pertama
2 Pengaruh cara pemberian bahan humat terhadap pertumbuhan
kangkung darat 4 MST pada tiga musim tanam
3 Pengaruh cara pemberian bahan humat terhadap kandungan C-org dan
nilai KTK tanah di akhir musim tanam ketiga
4 Pengaruh cara pemberian bahan humat terhadap serapan N, P, dan Fe
oleh kangkung darat pada tiga musim tanam
5 Biaya tetap usaha tani kangkung darat
6 Analisis keuntungan bersih dari berbagai cara penggunaan bahan humat
pada budidaya kangkung darat selama tiga musim tanam

12
14
16
20
22
22

DAFTAR GAMBAR
1 Peta lokasi penelitian lapang
2 Dokumentasi saat uji lapang (a) petak percobaan dan (b) penanaman
kangkung darat
3 Pengaruh cara pemberian bahan humat terhadap produksi kangkung
darat di musim tanam pertama
4 Pengaruh cara pemberian bahan humat terhadap produksi kangkung
darat pada tiga musim tanam
5 Pengaruh cara pemberian bahan humat terhadap produksi total
kangkung darat pada tiga musim tanam
6 Mekanisme penyerapan bahan humat oleh tanaman (a) Bahan humat
disemprotkan di daun. (b) Bahan humat disiram di tanah. (c) Bahan
humat dengan carrier zeolit
7 Pengaruh cara pemberian bahan humat terhadap bobot akar kering
kangkung darat pada tiga musim tanam
8 Sketsa akar tanaman pada (a) kontrol dan (b) setelah diberi bahan
humat dengan carrier zeolit. (c) Perbandingan akar tanaman antar
perlakuan di lapang

8
10
11
13
14

17
18

19

DAFTAR LAMPIRAN
A. TABEL
1 Hasil analisis bahan humat
2 Karakteristik zeolit
3 Sifat kimia tanah pada awal penelitian
4 Hasil sidik ragam produksi kangkung darat pada tiga musim tanam
5 Hasil sidik ragam tinggi kangkung darat 4 MST pada tiga musim tanam
6 Hasil sidik ragam panjang daun kangkung darat 4 MST pada tiga
musim tanam
7 Hasil sidik ragam jumlah daun kangkung darat 4 MST pada tiga musim
tanam
8 Hasil sidik ragam biomassa kangkung darat pada tiga musim tanam

26
26
27
28
28
29
29
30

9 Pengaruh cara pemberian bahan humat terhadap serapan hara makro
kangkung darat pada tiga musim tanam
10 Hasil sidik ragam serapan hara makro kangkung darat pada tiga musim
tanam
11 Pengaruh cara pemberian bahan humat terhadap serapan hara mikro
kangkung darat pada tiga musim tanam
12 Hasil sidik ragam serapan hara mikro kangkung darat pada tiga musim
tanam
13 Pengaruh cara pemberian bahan humat terhadap sifat kimia tanah di
akhir musim tanam ketiga
14 Hasil sidik ragam sifat kimia tanah setelah panen musim tanam ketiga

37
37

B. GAMBAR
Dokumentasi keadaan kangkung darat selama penelitian lapang

40

31
32
34
35

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sebagian besar kawasan di Indonesia khususnya bagian barat didominasi
oleh daerah beriklim tropika basah. Ciri utama daerah ini adalah curah hujan yang
tinggi sehingga proses pencucian hara semakin intensif terjadi. Pemiskinan hara
dalam kompleks tanah mengakibatkan tanah bereaksi masam. Dalam kondisi
demikian, sebagian hara seperti P, K, Ca, dan Mg yang dibutuhkan tanaman
berada dalam jumlah sedikit. Masalah utama yang dihadapi lainnya yaitu proses
mineralisasi bahan organik berjalan dengan cepat dan hanya sedikit humus yang
terbentuk terlebih pada dataran rendah (Tan 2008).
Penurunan kandungan bahan organik di dalam tanah akibat praktik
pengolahan tanah intensif mengakibatkan tanah menjadi tidak optimal dalam
menunjang pertumbuhan tanaman dan kurang responsif terhadap pemupukan.
Pengembalian sisa tanaman untuk meningkatkan kadar bahan organik tanah masih
jarang dilakukan oleh sebagian besar petani. Sementara itu, dosis pupuk organik
yang dibutuhkan cukup besar, umumnya mencapai kisaran ton per hektar. Hal
tersebut dianggap kurang praktis bagi petani dalam mencari sumber pupuk
organik dalam jumlah banyak maupun saat pemberiannya di lapang.
Akhir-akhir ini dikembangkan alternatif dalam rangka mempermudah
aplikasi bahan organik, yaitu ekstraksi bahan tersebut menjadi senyawa humat.
Salah satu sumber ekstrak bahan organik ialah lignit. Lignit yang sering pula
disebut brown coal merupakan batubara dengan kadar energi terendah
dibandingkan tipe batubara lainnya. Bahan humat juga dapat diekstrak dari
gambut, kompos sisa tanaman, dan sampah dapur (Dariah dan Nurida 2011).
Sebagian kecil bahan humat juga dapat diekstrak dari perairan (Malcolm 1990)
dan endapan limbah (Boyd dan Sommers 1990).
Bahan humat dicirikan oleh strukturnya yang kompleks, bobot molekul
yang tinggi, resisten terhadap dekomposisi, koloidal, dan berwarna coklat
kehitaman (Stevenson 1982). Bahan humat menyusun sebagian besar bahan
organik tanah serta memiliki peranan penting dalam ekosistem (Zech et al. 1990)
termasuk pengaruhnya pada sifat fisik, kimia, dan biologi tanah serta
pertumbuhan tanaman (Chen dan Aviad 1990; Eyheraguibel et al. 2008; Baskoro
2010).
Oleh karena bentuknya berupa cairan, aplikasi bahan humat di lapang masih
terdapat kekurangan. Saat diberikan ke tanah, bahan ini mudah tercuci oleh air
hujan sehingga hilang dari daerah perakaran. Begitu pula ketika disemprotkan ke
daun, bahan humat yang harus diberikan bertahap dianggap kurang praktis.
Aplikasinya ke daun secara sekaligus dapat membahayakan tanaman akibat terlalu
pekat. Untuk itu diperlukan suatu bahan pembawa yang selain praktis juga dapat
meningkatkan ketersediaan bahan humat di kompleks rizosfer. Salah satu materi
yang potensial sebagai carrier bagi bahan humat adalah zeolit (Suwardi 2012).
Zeolit merupakan mineral aluminosilikat terhidrasi dengan kapasitas tukar kation
tinggi dan ruang pori yang besar. Zeolit yang memiliki struktur rongga selektif
terhadap ion dan molekul tertentu mampu menjerap bahan humat yang
ditambahkan dan melepaskannya secara perlahan ke kompleks tanah.

2
Aplikasi bahan humat dengan berbagai cara masih belum banyak dipelajari
khususnya pada sayuran. Begitu pula dengan efek residunya dalam beberapa masa
musim tanam masih belum banyak diteliti. Efek residu menjadi penting dalam
rangka mengetahui lamanya suatu bahan yang tersisa berada di dalam tanah dan
masih dapat menunjang pertumbuhan tanaman. Penelitian ini dilakukan untuk
mengamati pengaruh berbagai cara penambahan bahan humat baik langsung ke
tanah dan tanaman serta menggunakan bahan pembawa berupa zeolit pada musim
tanam pertama terhadap produksi kangkung darat (Ipomoea reptans Poir.) Efek
residu dari berbagai cara tersebut terhadap tanaman dan sifat kimia tanah pada
masa tanam berikutnya juga diteliti.

Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan
masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana respon produksi kangkung darat terhadap berbagai cara
pemberian bahan humat di musim tanam pertama?
2.
Apakah berbagai cara pemberian bahan humat pada musim tanam pertama
masih berpengaruh pada produksi kangkung darat di musim tanam
berikutnya?
3.
Bagaimana mekanisme peningkatan produksi oleh pemberian bahan humat
dengan berbagai cara baik ditinjau secara langsung pada tanaman maupun
pada perbaikan sifat kimia tanah?
4.
Berapa besar keuntungan ekonomi yang diperoleh dari usaha tani kangkung
darat dengan berbagai cara pemberian bahan humat selama tiga musim
tanam?

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menguji pengaruh berbagai cara pemberian
bahan humat pada produksi kangkung darat di musim tanam pertama serta efek
residunya di dua musim tanam berikutnya. Penelitian ini bertujuan pula
menerangkan mekanisme peningkatan produksi kangkung darat baik secara
langsung pada tanaman maupun pada perbaikan sifat kimia tanah setelah
pemberian bahan humat dengan berbagai cara. Di samping itu, penelitian ini juga
bertujuan menghitung keuntungan ekonomi yang diperoleh dari usaha tani
kangkung darat pada masing-masing cara pemberian bahan humat tersebut.

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini hanya dibatasi pada lingkup parameter produksi, parameter
pertumbuhan, parameter bobot akar kering tanaman, dan parameter serapan hara
kangkung darat yang diukur di setiap musim tanam. Parameter pertumbuhan
meliputi tinggi tanaman, jumlah daun, dan panjang daun. Parameter lainnya yakni
sifat kimia tanah mencakup pH, kandungan C-org, kadar N-total, ketersediaan
hara, dan kapasitas tukar kation hanya diuji setelah musim tanam ketiga.

3

TINJAUAN PUSTAKA
Bahan Humat
Tanah tersusun atas berbagai fraksi yaitu bahan mineral, bahan organik, air,
dan udara. Bahan organik umumnya dijumpai dalam jumlah sedikit akan tetapi
perannya bagi kesuburan tanah sangatlah penting. Bahan organik di dalam tanah
mineral berkisar antara 1% sampai 6%. Kandungan yang lebih besar dijumpai
pada tanah organik yakni sekitar 12-18% bahkan lebih (Brady dan Weil 2008).
Humus yang merupakan bahan organik tanah terlapuk sempurna terbagi
menjadi dua grup, yaitu bahan tidak terhumifikasi dan bahan terhumifikasi.
Golongan pertama meliputi karbohidrat, asam amino, protein, lipid, lignin, asam
nukleat, pigmen, hormon dan berbagai asam organik hasil perombakan sisa
tumbuhan atau hewan. Golongan kedua terbentuk sepanjang proses dekomposisi
lanjut dari konstituen bahan tidak terhumifikasi dan terdiri dari senyawa kompleks
meliputi fraksi humin, fraksi asam humat, dan fraksi asam fulvik. Pembagian
fraksi tersebut didasarkan pada kelarutannya dalam kondisi basa dan asam
(Stevenson 1982).
Elemen yang menyusun bahan humat utamanya adalah C dan O sedangkan
sebagian kecil terdiri dari H, N, dan S. Bahan humat memiliki sejumlah gugus
fungsional di antaranya karboksil, hidroksil, karbonil, dan sejumlah grup amino
(Tan 2003). Gugus fungsional ini memiliki Kapasitas Tukar Kation (KTK) yang
tinggi dan mampu membentuk ikatan kompleks dengan logam. Besarnya KTK
pada bahan humat tergantung oleh disosiasi H+ dari gugus –COOH dan –OH
sehingga dapat berubah-ubah sesuai reaksi di dalam tanah. Nilai KTK dari bahan
humat dapat meningkat beberapa kali lipat dari pH 3 hingga 10 (Oades 1989).
Sebagai makromolekul heterogen, senyawa humat memiliki bobot molekul
berkisar dari 2 600-1 360 000 Da dan radius molekul berkisar dari 0.57-1.78 nm
(Tan 2003).
Bahan humat dapat dengan mudah diperoleh dari berbagai ekosistem baik
daratan maupun perairan. Ayuso et al. (1996) mengekstrak senyawa humat dari
endapan limbah, kompos, gambut, dan leonardit dan diperoleh ratio C:N yang
beragam. Leonardit memiliki ratio C:N tertinggi yaitu sebesar 52.7 dan endapan
limbah mengandung ratio C:N paling rendah yaitu sebesar 6.3. Hasil berkebalikan
diperoleh pada ratio gugus –OH:-COOH yakni leonardit sebesar 0.40 dan endapan
limbah sebesar 1.39. Kandungan C-organik pada bahan humat yang diekstrak dari
pupuk kandang, sampah rumah tangga, gambut, dan batubara muda menunjukkan
variasi yang cukup besar berkisar dari 25.37% sampai 50.20% dan kandungan N
relatif sama yakni 1.05-1.53% (Dariah dan Nurida 2011).
Pengujian senyawa humat untuk stimulasi pertumbuhan tanaman telah lama
dilakukan. Di awal abad ke-19, humus telah dianggap sebagai fraksi utama di
dalam tanah yang menyuplai hara bagi tanaman. Satu abad setelahnya, berbagai
penelitian pioner menunjukkan efek senyawa humat dalam mendukung
pertumbuhan dari berbagai tanaman yang dikembangkan pada larutan hara. Sejak
saat itu, bahan humat dipercaya berperan sebagai hormon pertumbuhan dan
dikenal sebagai auximones (Chen et al. 2004).

4
Senyawa humat menstimulasi pertumbuhan tanaman melalui berbagai
mekanisme yang tampak dari beberapa parameter antara lain tinggi tanaman,
bobot akar, bobot tajuk, panjang akar, jumlah daun, jumlah buah, dan jumlah
bunga. Hasil penelitian yang dilakukan Arancon et al. (2006) menunjukkan bahwa
senyawa humat dari kotoran sapi, sampah dapur, dan vermikompos meningkatkan
bobot kering akar marigolds, cabai, dan strawberi. Jumlah bunga dan buah pada
tanaman cabai juga lebih banyak setelah penambahan asam humat dari sampah
dapur dibandingkan kontrol. Senyawa humat juga dapat meningkatkan tinggi
tanaman dan luas daun pada tomat seiring penambahan dosis yang diberikan
walaupun pada dosis yang sangat tinggi tidak berbeda nyata terhadap kontrol
(Atiyeh et al. 2002).
Proses fisiologis dan metabolisme pada jaringan tanaman merupakan
mekanisme penting bagi senyawa humat dalam mendorong pertumbuhan tanaman.
(Trevisan et al. 2010). Asam humat dan asam fulvat yang diabsorb oleh tanaman
mampu meningkatkan permeabilitas sel sehingga serapan hara turut meningkat.
Fotosintesis dan respirasi tanaman cenderung meningkat pada tanaman yang
diberikan senyawa humat. Peran penting lainnya dari senyawa humat adalah
dalam sintesis protein dan asam nukleat serta dalam aktivitas enzim (Chen dan
Aviad 1990). Selain itu, senyawa humat dianggap memiliki aktivitas yang mirip
dengan hormon auxin (Nardi et al. 2002).
Senyawa humat sebagai konstituen dari bahan organik tanah juga
berpengaruh terhadap sifat kimia, fisik, dan biologi tanah. Peningkatan kadar Corg terdapat pada tanah yang diberi bahan humat (Dewi 2012). Nilai N total tanah
yang diberi bahan humat cenderung lebih besar dibandingkan kontrol (Hermawan
2012). Tanah yang diberi senyawa humat juga mengandung P dan K lebih besar
dibandingkan dengan kontrol (Tahir et al. 2010). Ikatan kompleks dan khelat yang
terbentuk antara senyawa humat dan logam-logam (Fe, Cu, Mn, Zn) berdampak
pada ketersediaan hara mikro bagi tanaman (Chen dan Aviad 1990). Salah satu
sifat fisik tanah yang dipengaruhi oleh penambahan bahan humat adalah
kemampuan mengikat air. Tanah yang diberi bahan tersebut cenderung mampu
mengikat air lebih baik dibandingkan kontrol dan dalam waktu yang relatif lebih
lama (Baskoro 2010). Sebagai bahan yang kaya akan sumber energi, adanya
senyawa humat pada tanah dapat menjadi makanan bagi mikroorganisme. Alhasil,
kondisi biologis di dalam tanah menjadi lebih aktif (Tan 2003). Seluruh efek
posistif ini secara tidak langsung mempengaruhi pertumbuhan tanaman.
Pengaruh langsung senyawa humat pada tanaman melalui proses fisiologis
dan metabolisme maupun pengaruh secara tidak langsung melalui perbaikan sifatsifat tanah menghasilkan produksi tanaman yang lebih tinggi dibandingkan tanpa
pemberian bahan tersebut. Aplikasi bahan humat dengan carrier zeolit pada
tanaman pangan menunjukkan kenaikan tingkat produksi dibandingkan kontrol
sebesar 19% untuk jagung (Hermawan 2012) dan 13% untuk padi (Dewi 2012).
Penggunaan bahan humat secara tunggal bahkan mampu meningkatkan produksi
secara nyata dibandingkan kontrol dan cenderung lebih tinggi dibandingkan
kompos pada tanaman ubi kayu (Baskoro 2010).

5
Zeolit
Zeolit merupakan mineral kristalin aluminosilikat terhidrasi yang
mengandung kation alkali dan alkali tanah. Mineral ini memiliki struktur kristal
tiga dimensi yang sangat panjang. Karakteristik yang melekat pada zeolit adalah
kemampuannya untuk terhidrasi dan terdehidrasi secara reversible tanpa terjadi
perubahan berarti pada strukturnya. Zeolit ditemukan pertama kali pada tahun
1756 oleh ahli mineralogi Swedia bernama Axel Cornstedt. Kata “zeolit” berasal
dari bahasa Yunani yang berarti batu mendidih. Sekitar 50 jenis mineral zeolit
telah ditemukan di alam dan setidaknya 150 jenis zeolit telah disintesis di
laboratorium. Beberapa jenis zeolit yang umum ditemukan di alam adalah analsim,
chabazit, clinoptilolit, erionit, heulandit, laumonit, mordenit, dan phillipsit (Ming
dan Mumpton 1989).
Serupa dengan kuarsa dan feldspar, zeolit memiliki kerangka tiga dimensi
yang tersusun oleh SiO44- tetrahedra yang dihubungkan satu sama lain oleh atom
O. Sebagian Si quadrivalen dapat digantikan Al trivalen yang menyebabkan
elektron pada struktur bertambah. Kation alkali dan alkali tanah, umumnya Na+,
K+, Ca2+, dan Mg2+, kemudian mengisi kekurangan muatan positif tersebut.
Gottardi (1978) menyusun rumus umum untuk zeolit sebagai berikut:
).
(
)(Al
Si
+
2+
di mana M dan M secara berurutan adalah kation monovalen dan kation divalen.
Kation yang pertama merupakan kation dapat dipertukarkan sedangkan kation
yang kedua merupakan penyusun struktur zeolit bersama dengan atom O.
Kadangkala Ca2+, Sr2+, Ba2+, Mg2+ juga ditemukan dominan sebagai kation dapat
dipertukarkan pada beberapa jenis zeolit (Ming dan Mumpton 1989).
Zeolit dengan struktur kristalinnya merupakan bahan adsorben yang khas
mengingat volume pori yang dimiliki sekitar 20-50% dan luas permukaan
mencapai 1x105 m2 tiap kilogram mineral tersebut. Molekul dengan diameter
lintang yang cukup kecil mampu melewati lubang-lubang (0.3-1.0 nm) pada
mineral zeolit dan menempati rongga-rongga di dalamnya. Selain itu, ion dengan
radius tertentu juga dapat menempati rongga dengan proses yang tidak jauh
berbeda. Molekul maupun ion dengan ukuran yang lebih besar maka tidak akan
mampu mengisi rongga zeolit. Ming dan Mumpton (1989) menamakan sifat unik
ini sebagai chemical sieving.
Karakteristik utama zeolit yang berkaitan dengan strukturnya ialah KTK
yang tinggi. Kation dapat dipertukarkan dari zeolit diperoleh saat kerangka
tetrahedral yang disusun oleh Si digantikan oleh Al (terkadang Fe3+) sehingga
terjadi kelebihan muatan negatif dan kemudian diimbangi oleh kation alkali
maupun alkali tanah agar muatan mineral tetap netral. Berdasarkan hal tersebut,
maka semakin besar substitusi yang terjadi oleh Al dan Fe bagi Si semakin besar
pula KTK dan kation dapat dipertukarkan pada zeolit. Ming dan Mumpton (1989)
mencontohkan, zeolit Linde A dengan ratio Si:Al sebesar 1:1 memiliki KTK
sekitar 540 cmol(+) kg-1, sebaliknya mordenit dengan ratio Si:Al lebih besar yakni
4.2-5.0:1 hanya memiliki KTK sekitar 220 cmol(+) kg-1. Meskipun demikian, KTK
zeolit umumnya berkisar antara 200-300 cmol(+) kg-1, atau dua hingga tiga kali
lipat dari KTK smektit dan vermikulit.
Pemanfaatan mineral zeolit di bidang pertanian telah cukup lama dilakukan,
khususnya sebagai bahan ameliorasi, bahan campuran pupuk, bahan untuk

6
mengurangi bau pada pengomposan, dan bahan media tumbuh tanaman (Suwardi
2000). Penambahan zeolit secara nyata dapat meningkatkan KTK pada tanah
Ultisol dan Entisol serta sangat nyata meningkatkan kalium dapat dipertukarkan
pada Ultisol, Entisol, dan Andisol. Oleh karena strukturnya yang stabil di dalam
tanah maka sekali pemberian zeolit terutama di tanah-tanah marginal, hasilnya
dapat dirasakan untuk beberapa tahun kemudian (Suwardi 2000). Efisiensi
pemupukan N dengan pencampuran zeolit melalui mekanisme penjerapan
ammonium yang dikeluarkan oleh pupuk pada struktur zeolit sehingga potensi
kehilangan N karena pencucian volatilisasi dapat berkurang (Suwardi 2000;
Malekian et al. 2011; Gholamhoseini et al. 2013).
Kapabilitas mineral zeolit sebagai pembenah tanah dan perannya dalam
efisiensi pemupukan secara tidak langsung mempengaruhi pertumbuhan dan
produksi tanaman menjadi lebih baik. Malekian et al. (2011) melaporkan
pemberian clinoptilolit maupun surfactant-modified zeolit dapat meningkatkan
kadar N pada biji, bobot brangkasan, dan serapan N jagung. Produksi jagung juga
meningkat seiring penambahan dosis dari 9 ton ha-1 menjadi 27 ton ha-1. Pupuk
kandang yang dicampur zeolit juga menghasilkan produksi yang lebih besar pada
bunga matahari karena kombinasi tersebut dapat berperan sebagai pupuk tersedia
lambat (Gholamhoseini et al. 2013). Peningkatan bobot gabah sebesar 8% hingga
20% diperoleh ketika zeolit ditambahkan ke dalam pupuk urea (Suwardi 2000).

Kangkung Darat
Kangkung (Ipomoea spp.) merupakan salah satu sayuran daun yang
tergolong ke dalam famili Convolvulaceae. Berdasarkan tempat tumbuhnya,
secara umum kangkung dibagi menjadi kangkung air (Ipomoea aquatica Forssk.)
dan kangkung darat (Ipomoea reptans Poir.) Meskipun demikian, kangkung darat
tetap membutuhkan pengairan yang cukup agar dapat tumbuh secara baik.
Kangkung darat memiliki beragam varietas di antaranya kangkung Grand,
Bangkok LP-1, Bisi, Serimpi, dan Sutera. Umumnya, varietas-varietas tersebut
memiliki ciri morfologi yang serupa yaitu pertumbuhan tanaman tegak, seragam,
warna daun dan batang hijau, bentuk daun lonjong atau lancip, tinggi tanaman
mencapai 20-30 cm (Wahyudi 2010).
Syarat tumbuh bagi tanaman kangkung tidaklah sulit. Faktor pembatas yang
penting dalam budidaya sayuran tersebut ialah kecukupan air. Kangkung darat
dapat ditanam baik di dataran tinggi maupun di dataran rendah. Tidak ada jenis
tanah yang khusus bagi budidaya kangkung namun pH tanah optimum untuk
pertumbuhan adalah sekitar 5.5 – 6.5. Waktu tanam yang baik adalah pada musim
hujan (Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian 2012).
Tanaman yang merupakan sumber provitamin A ini sebaiknya ditanam pada
lokasi terbuka dan memperoleh sinar matahari langsung, namun juga dapat
ditanam di tanah rawa yang drainase airnya tidak lancar. Kangkung darat dapat
dipanen setelah berumur 20-30 hari yang biasanya dengan cara dicabut beserta
akarnya.
Produksi kangkung dilaporkan dalam nilai bervariasi yang umumnya dari 6
ton ha-1 hingga 20 ton ha-1. Nurtika et al. (1997) melaporkan hasil panen
kangkung darat varietas Sutera mencapai 13.88-18.53 ton ha-1 pada musim tanam

7
pertama dengan aplikasi pupuk kandang dan pada musim berikutnya hanya
mencapai 6.94-8.11 ton ha-1 tanpa pemberian pupuk kandang lagi. Berdasarkan
laporan Direktorat Jenderal Hortikultura (2013) rata-rata hasil panen kangkung
dalam negeri hanya 6.38 ton ha-1 di tahun 2011. Masih kecilnya hasil panen
kangkung dalam negeri dibandingkan potensi produksinya menandakan perlu
dilakukan upaya peningkatan produksi sayuran ini yang salah satunya dapat
dicapai dengan penambahan pupuk maupun bahan pembenah tanah. Pemberian
pupuk organik diketahui dapat meningkatkan hasil panen kangkung darat (Nurtika
et al. 1997) dan keuntungan yang lebih besar (Wahyudi 2010).

Latosol
Latosol merupakan kelompok tanah yang terbentuk dari bahan induk
volkan atau batuan tufa masam di bawah curah hujan dan suhu yang tinggi, serta
ketinggian kurang dari 1 000 m di atas permukaan laut. Latosol banyak dijumpai
di daerah tropika dengan formasi tua dan berasal dari bahan induk vulkanik yang
telah mengalami pelapukan lanjut (Hardjowigeno 2007). Latosol di Indonesia
merupakan tanah mineral yang berbahan induk tufa volkan, bahan volkan
intermedier dan basa, menyebar pada ketinggian 10 – 1 000 m di atas permukaan
laut dengan topografi bergelombang, berbukit, dan bergunung (Dudal dan
Soeraptohardjo 1975).
Proses pembentukan tanah pada Latosol dinamakan latosolisasi yaitu
pemindahan silika secara kimia keluar dari solum tanah sehinga konsentrasi Fe
dan Al meningkat secara relatif. Proses ini terjadi di daerah tropika dengan suhu
dan curah hujan yang tinggi sehingga Si mudah larut di mana dalam kondisi
demikian, hidrolisis dan oksidasi berlangsung sangat intensif dan mineral-mineral
silikat cepat hancur (Hardjowigeno 2007). Basa-basa seperti kalium, magnesium,
kalsium, dan natrium dengan cepat dibebaskan. Selain itu, dekomposisi bahan
organik juga berlangsung secara cepat. Pencucian basa-basa, silika, dan bahan
organik meninggalkan senyawa-senyawa oksida dan hidrousoksida Fe dan Al
(seskuioksida) dengan kadar tinggi pada horizon B. Hal inilah yang menyebabkan
kapasitas tukar kationnya rendah
Sifat morfologi yang dimiliki oleh Latosol antara lain solum dalam,
perbedaan horizon kurang jelas, tekstur liat, struktur remah sampai gumpal lemah,
konsistensi gembur, drainase vertikal yang baik, plastisitas dan kohesi sedang,
stabilitas agregat tinggi. Warna tanah merah, coklat kemerah-merahan atau
kekuning-kuningan, atau kuning tergantung dari komposisi bahan induk, umur
tanah, iklim dan elevasi.
Karakteristik kimia yang terdapat pada Latosol adalah pH rendah yakni
sekitar 4.5 – 5.5, kandungan mineral primer dan hara rendah, serta kapasitas tukar
kation rendah karena kadar bahan organik yang rendah dan sebagian oleh sifat liat
hidrousoksida. Adanya seskuioksida yang tinggi pada Latosol yang berimplikasi
pada pupuk fosfat yang tidak tersedia bagi tanaman. Menurut Brady dan Weil
(2008), kandungan Al dan Fe yang tinggi pada Latosol menyebabkan fosfat
mudah terikat dan membentuk Al-P dan Fe-P yang kurang tersedia bagi tanaman.

8

METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian

106’713312

106’701608

106’725016

106’736720

106’748424
Lokasi Penelitian
Desa Bantarjaya
Kecamatan Rancabungur
Kabupaten Bogor
Jawa Barat

-6’526384

-6’526384

-6’537396

-6’537396

Penelitian dibagi ke dalam dua tahap. Tahap pertama yaitu percobaan
lapang yang dilaksanakan di Desa Bantarjaya, Kecamatan Rancabungur,
Kabupaten Bogor. Selanjutnya, analisis kandungan hara tanaman dan analisis
tanah dilaksanakan di Laboratorium Pengembangan Sumberdaya Fisik Lahan dan
Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung dari April
2013 sampai Oktober 2013.

-6’515412

-6’515412

DESA

-6’504440

DESA
DESA
DESA

-6’504440

DESA

DESA

Jakarta

KOTA
BOGOR

106’701608

106’713312

106’725016

106’736720

-6’493468

-6’493468

DESA

Bogor

Bandung

106’748424

Gambar 1. Peta lokasi penelitian lapang
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa benih kangkung darat
(Ipomoea reptans Poir.), bahan humat, dan zeolit. Sebagai pupuk dasar digunakan
pupuk kandang dan urea sementara herbisida dipakai untuk pengendalian gulma.
Alat-alat yang digunakan selama percobaan di lapang adalah cangkul, hand
sprayer, automatic sprayer, penggaris, dan timbangan digital. Analisis kandungan
hara tanaman dan analisis tanah antara lain menggunakan UV-VIS, Atomic
Absorption Spectrophotometer (AAS), dan Flamephotometer.

9
Rancangan Penelitian
Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan acak kelompok
(RAK) dengan faktor tunggal yaitu cara pemberian bahan humat. Model
matematika rancangan tersebut adalah sebagai berikut:
Yij = µ + Ti + Pj + Eij
Keterangan:
Yij = respons pengamatan akibat cara pemberian ke-i dalam ulangan ke-j
µ = nilai tengah
Ti = pengaruh cara pemberian ke-i
Pj = pengaruh ulangan/kelompok ke-j
Eij = pengaruh galat percobaan dari cara pemberian ke-i ulangan ke-j
Perlakuan yang diberikan dalam penelitian ini meliputi K (tanpa pemberian
bahan humat dan zeolit), HT (bahan humat disiram ke tanah dengan dosis 15 liter
ha-1 pengenceran 100 kali), HD (bahan humat disemprot ke daun dengan dosis 15
liter ha-1 pengenceran 100 kali), Z (zeolit dibenamkan ke tanah dengan dosis 150
kg ha-1), dan HZ (bahan humat dengan dosis 15 liter ha-1 pengenceran 100 kali
dicampur zeolit sebanyak 10 kg liter-1). Masing-masing perlakuan terdiri atas tiga
ulangan sehingga jumlah satuan percobaan adalah 15 satuan percobaan. Bahan
humat dan zeolit yang digunakan merupakan bahan-bahan komersial.
Karakteristik kedua bahan amelioran tersebut disajikan pada Lampiran 1 dan 2.
Data hasil pengamatan dan analisis laboratorium diolah dengan
menggunakan “One-way Analysis of Variance” (ANOVA). Apabila perlakuan
yang diberikan berpengaruh nyata pada parameter yang diamati, berikutnya
dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji jarak berganda Duncan (DMRT)
pada taraf nyata 5%.

Pelaksanaan Penelitian
Percobaan Lapang
Kangkung darat ditanam pada petakan berukuran 2 m x 3 m dengan jarak
antar lajur 40 cm sehingga terdapat 5 lajur dalam setiap petak. Kebutuhan benih
sebanyak 70 gram dan ditebar dalam tiap lajur secara merata. Tiap petakan
diberikan pupuk dasar berupa pupuk kandang dan urea dengan dosis masingmasing 3 ton ha-1 dan 150 kg ha-1. Pemberian pupuk kandang bersamaan dengan
awal tanam pada lajur sedangkan urea diberikan setengah dosis awal pada 1
Minggu Setelah Tanam (1 MST) dan sisanya diberikan pada 2 MST. Perlakuan
HT, Z, dan HZ diberikan saat 1 MST sedangkan perlakuan HD diaplikasikan saat
2 MST sebanyak setengah dari dosis dan saat 3 MST untuk sisanya. Seluruh
perlakuan tersebut hanya diberikan pada musim tanam pertama. Untuk musim
tanam berikutnya, hanya urea dan pupuk kandang yang diberikan dengan dosis
seperti pada musim tanam pertama.
Parameter pertumbuhan meliputi tinggi tanaman, jumlah daun, dan panjang
daun diukur setiap minggunya selama tiga musim tanam. Tinggi tanaman diukur
dari bagian batang yang sejajar dengan permukaan tanah sampai ujung titik
tumbuh. Jumlah daun mulai dihitung sejak munculnya daun primordial hingga 4
MST. Panjang daun diukur dari pangkal daun hingga ujung daun. Di setiap petak

10
diambil lima tanaman sebagai sampel. Hasil pengamatan ketiga parameter
pertumbuhan tersebut kemudian dirata-ratakan.
Panen dilakukan saat tanaman mencapai umur 28-30 hari. Tanaman
kangkung dicabut pada masing-masing petak dan kemudian ditimbang untuk
memperoleh hasil produksi. Contoh tanaman diambil sebagian untuk diukur kadar
air tanamannya. Lima sampel tanaman yang digunakan pada parameter
pertumbuhan dipisahkan untuk diukur bobot tajuk dan bobot akar dalam kondisi
basah lalu dioven pada suhu 65oC hingga bobot konstan untuk mendapatkan bobot
biomassa kering.

(a)
(b)
Gambar 2. Dokumentasi saat uji lapang (a) petak percobaan dan (b) penanaman
kangkung darat
Analisis Kadar Hara Tanaman
Persiapan analisis kadar hara tanaman diawali dengan pemilahan daun
kangkung dari tajuk. Berikutnya, daun dicuci menggunakan aquadest dan dioven
pada suhu 65oC selama minimal tiga hari. Daun yang telah kering digiling untuk
didapatkan ukuran yang halus dan relatif seragam. Sampel tanaman selanjutnya
diekstrak melalui pengabuan basah menggunakan H2SO4 dan H2O2. Kemudian
dilakukan penetapan kadar hara N, P, K, Ca, Mg, dan hara mikro (Fe, Cu, Mn, Zn)
untuk dihitung serapannya pada kangkung darat. Analisis kadar hara tanaman
dilakukan di setiap akhir musim tanam.
Analisis Sifat Kimia Tanah
Beberapa sifat kimia tanah juga diuji pada penelitian ini untuk melihat
pengaruh setiap perlakuan pada tanah yang ditanami kangkung darat. Contoh
tanah awal diambil secara komposit pada lahan percobaan dan kemudian
dikeringudarakan untuk kemudian diukur beberapa sifat kimianya seperti yang
ditunjukkan pada Lampiran 3. Pada akhir panen musim tanam ketiga, contoh
tanah diambil pada masing-masing petak untuk dianalisis pula dan dibandingkan
antar perlakuan. Sifat kimia tanah yang diamati meliputi pH, kadar C-organik,
kandungan N-total, P-tersedia, KTK dan basa-basa (Ca, Mg, K, Na) dapat
dipertukarkan, serta mikro tersedia (Fe, Cu, Mn, Zn).

11

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Berbagai Cara Pemberian Bahan Humat terhadap Produksi
Kangkung Darat di Musim Tanam Pertama

Produksi MT I (g petak-1)

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa cara pemberian bahan humat tidak
berpengaruh nyata terhadap produksi per petak pada MT I (Lampiran 4).
Meskipun demikian, terdapat kecenderungan bahwa bahan humat yang diberikan
pada tanaman meningkatkan produksi terutama pada perlakuan HZ.
9000
8000
7000
6000
5000
4000
3000
2000
1000
0

7634
6467
5948

6179
4806

K

HT

HD
Perlakuan

Z

HZ

Gambar 3 Pengaruh cara pemberian bahan humat terhadap produksi
kangkung darat di musim tanam pertama
Peningkatan produksi pada MT I oleh karena pemberian bahan humat
tergolong cukup besar (Gambar 1). Perlakuan HZ meningkatkan hasil panen 59%
lebih besar daripada kontrol. Perlakuan HT dan HD meningkatkan produksi
berturut-turut 35% dan 29% lebih besar daripada kontrol. Penambahan zeolit
menunjukkan hasil panen lebih kecil dibandingkan perlakuan penambahan bahan
humat. Hal tersebut dapat dikarenakan jumlah zeolit yang diberikan relatif sedikit
mengingat peran zeolit dalam penelitian ini hanya sebagai bahan pembawa
(carrier) bahan humat.
Peningkatan produksi oleh aplikasi bahan humat dengan carrier zeolit juga
dilaporkan pada padi, jagung, dan kelapa sawit (Suwardi 2012). Kombinasi 15 L
ha-1 bahan humat dengan 150 kg ha-1 zeolit dapat meningkatkan produksi padi,
jagung, dan kelapa sawit masing-masing sekitar 15%, 7%, dan 10%. Peningkatan
produksi tersebut terutama disebabkan oleh perkembangan akar yang lebih baik
sehingga memungkinkan tanaman dapat menyerap lebih banyak unsur hara dari
dalam tanah.
Selain pengaruhnya pada hasil panen, pemberian bahan humat turut pula
menstimulasi pertumbuhan tanaman. Data pertumbuhan tanaman menunjukkan
hasil yang selaras dengan produksi kangkung darat di musim tanam pertama
(Tabel 1). Parameter pertumbuhan tersebut meliputi tinggi tanaman, panjang
daun, dan jumlah daun. Akan tetapi, hanya tinggi tanaman yang menunjukkan

12
perbedaan nyata antar perlakuan (Lampiran 5). Pada hasil panjang daun dan
jumlah daun terdapat kecenderungan bahwa pemberian bahan humat
meningkatkan kedua parameter tersebut (Lampiran 6 dan 7).
Kombinasi bahan humat dengan zeolit mampu meningkatkan tinggi
tanaman lebih baik dibandingkan dengan cara pemberian humat lainnya maupun
pemberian zeolit di MT I secara nyata (Tabel 1). Kangkung darat yang diberi
perlakuan HZ lebih tinggi 14% dibandingkan kontrol, sedangkan perlakuan HT,
HD, dan Z secara berturut-turut meningkatkan tinggi kangkung darat sebesar 3%,
7%, dan 5% dibandingkan kontrol. Suwardi (2012) melaporkan peningkatan
tinggi padi dan jagung setelah pemberian bahan humat yang diberi carrier zeolit.
Temuan yang sama juga dilaporkan oleh Atiyeh et al. (2002) pada tanaman
sayuran lain yang diberikan bahan humat dengan peningkatan tinggi sekitar 3%
sampai 26%.
Tabel 1 Pengaruh cara pemberian bahan humat terhadap pertumbuhan kangkung
darat 4 MST pada musim tanam pertama
Tinggi tanaman
Jumlah
Panjang daun
(cm)
daun
(cm)
K
19.3b
23
11.5
HT
20.0ab
28
11.8
HD
20.6ab
27
11.9
Z
20.3ab
27
10.9
HZ
22.0a
30
12.1
Keterangan: Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan uji DMRT pada taraf nyata 5%

Panjang daun sebagai parameter pertumbuhan lain yang diamati pada
penelitian ini juga menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Meskipun tidak
berbeda nyata berdasarkan hasil sidik ragam (Lampiran 6), namun pada Tabel 1
tampak bahwa pemberian bahan humat dengan berbagai cara aplikasi dapat
meningkatkan panjang daun pada 4 MST dibandingkan kontrol. Perlakuan HZ
merupakan cara paling efektif dalam meningkatkan panjang daun diikuti oleh
perlakuan HD dan HT. Namun, perlakuan Z tampaknya tidak memiliki
kecenderungan meningkatkan panjang daun. Hal tersebut didasari oleh dosis
zeolit yang diberikan cukup kecil untuk dapat menstimulasi panjang daun.
Hasil serupa ditunjukkan pula oleh parameter jumlah daun seperti yang
tercantum pada Tabel 1. Jumlah daun pada perlakuan HZ merupakan hasil yang
tertinggi hingga mencapai 30 helai daun per tanaman. Perlakuan HT, HD, dan Z
turut mendorong perbanyakan jumlah daun tanaman dibandingkan kontrol.
Walaupun begitu, hasil analisis ragam pada cara pemberian bahan humat terhadap
jumlah daun 4 MST tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (Lampiran 7).
Eyheraguibel et al. (2008) melaporkan bahwa pemberian Humic Like Substance
(HLS) pada larutan hara dapat memperbanyak jumlah daun jagung. Sebaliknya,
Dariah dan Nurida (2011) mendapatkan bahwa pemberian HLS yang diekstrak
dari berbagai sumber pada media pot secara nyata tidak mempengaruhi jumlah
daun jagung.

13
Efek Residu dari Pemberian Bahan Humat dengan Berbagai Cara terhadap
Produksi Kangkung Darat di Musim Tanam Kedua dan Ketiga

Produksi tanaman per MT (g petak-1)

Pengaruh dari pemberian bahan humat dengan berbagai cara pada MT I
terhadap produksi kangkung darat masih dapat terlihat di musim tanam
berikutnya. Gambar 4 menampilkan perbandingan hasil panen tiap perlakuan dari
musim tanam pertama hingga ketiga. Berdasarkan hasil yang diperoleh tersebut,
tampak bahwa terdapat trend produksi yang menurun seiring berlanjutnya musim
tanam terutama di musim tanam ketiga.
9000
8000
7000
6000
5000
4000
3000
2000
1000
0

7634
6467

5948

6179
5084ab

4806
3644c

5577a

5467a
4431b

MT 1

2895

2693

2845

2319

2873

MT 2

MT 3

K

HT

HD
Perlakuan

Z

HZ

Keterangan: Huruf yang sama di atas balok data menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan uji DMRT pada taraf nyata 5%

Gambar 4 Pengaruh cara pemberian bahan humat terhadap produksi kangkung
darat pada tiga musim tanam
Perbedaan yang signifikan antar perlakuan pada produksi tanaman terjadi di
musim tanam kedua berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 4). Pada musim
tanam ini perlakuan HD dan perlakuan HZ secara nyata mencapai hasil panen
paling tinggi yakni sekitar 50% lebih besar dibandingkan kontrol. Selanjutnya,
perlakuan HT memberikan produksi 40% lebih besar daripada kontrol sedangkan
persentase peningkatan hasil panen pada perlakuan Z tidak jauh berbeda dari
musim tanam sebelumnya.
Produksi kangkung darat di musim tanam ketiga tidak terlalu berbeda
dibandingkan kontrol untuk semua perlakuan yang diberikan seperti yang tersaji
pada Gambar 4. Walaupun demikian, perlakuan HD tetap menghasilkan produksi
yang sedikit lebih baik daripada perlakuan lainnya. Apabila dibandingkan dengan
kedua musim tanam sebelumnya, maka hasil panen di musim tanam ketiga
cenderung menurun cukup jauh. Variasi tersebut dapat dipengaruhi oleh kondisi
cuaca yang berbeda dibandingkan bulan-bulan sebelumnya. Masa panen musim
tanam ketiga yang mendekati puncak kemarau (akhir Juli) dapat mempengaruhi
produksi tanaman akibat suhu harian yang cukup tinggi dan laju evapotranspirasi
yang besar.

14

Produksi total tanaman (g pteak-1)

Secara total dari ketiga musim tanam, produksi kangkung darat lebih besar
pada perlakuan yang diberikan bila dibandingkan kontrol (Gambar 5). Perlakuan
HZ menunjukkan hasil panen yang terbaik diikuti perlakuan HD. Persentase
kenaikan produksi pada perlakuan HZ dan HD secara berturut-turut sebesar 43%
dan 34% dibandingkan kontrol. Berikutnya, nilai produksi kangkung darat pada
perlakuan HT dan Z lebih besar 22% dan 19% dibandingkan kontrol secara
berturut-turut.
18000
16000
14000
12000
10000
8000
6000
4000
2000
0

13581

15974

14939
13225

11143

K

HT

HD
Perlakuan

Z

HZ

Gambar 5 Pengaruh cara pemberian bahan humat terhadap produksi total
kangkung darat pada tiga musim tanam
Penurunan produksi dalam rentang tiga musim tanam tercermin pula pada
tinggi tanaman. Meskipun demikian, di setiap musim tanam pemberian bahan
humat secara nyata meningkatkan tinggi tanaman dibandingkan kontrol
(Lampiran 6). Tabel 2 menampilkan perbandingan tinggi tanaman dalam tiga
musim tanam secara berturut-turut.
Tabel 2 Pengaruh cara pemberian bahan humat terhadap pertumbuhan kangkung
darat 4 MST pada tiga musim tanam
Tinggi Tanaman (cm)
Jumlah daun
Panjang daun (cm)
MT 1
MT 2
MT 3
MT 1 MT 2 MT 3 MT 1 MT 2
MT 3
K
19.3b 14.0c
12.0 c
23
17
11
11.5
9.0 8.3b
HT 20.0ab 19.8a
13.9 abc
28
18
15
11.8
10.0 9.2ab
HD 20.6ab 19.3a
15.3 ab
27
18
14
11.9
10.3 9.8ab
Z
20.3ab 16.7b
13.1bc
27
16
14
10.9
10.0 8.8ab
HZ 22.0a
18.3ab 15.7a
30
18
15
12.1
10.3 10.2a
Keterangan: Huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT
pada taraf nyata 5%

Cara pemberian bahan humat pada MT II menunjukkan trend yang berbeda
dibandingkan musim tanam sebelumnya. Perlakuan HT dan HD merupakan
perlakuan yang meningkatkan tinggi kangkung darat paling nyata dibandingkan
kontrol, diikuti oleh perlakuan HZ dan Z. Perbedaan tinggi tersebut terhadap
kontrol adalah sebesar 42% untuk HT, 38% untuk HD, 31% untuk HZ, dan 19%
untuk Z.

15
Tinggi kangkung darat pada musim tanam ketiga menunjukkan trend yang
serupa pada musim tanam pertama. Pemberian bahan humat dengan carrier zeolit
secara nyata menstimulasi tinggi tanaman sebesar 31% dibandingkan kontrol.
Perlakuan HD dan HT tetap mendukung pertumbuhan tanaman secara nyata pada
musim tanam ini sehingga tinggi yang diperoleh secara berturut-turut lebih besar
28% dan 16% dibandingkan kontrol. Perbedaan tinggi tanaman pada perlakuan Z
lebih besar 9% dibandingkan kontrol.
Hasil dari ketiga musim tanam tersebut mengindikasikan bahwa tinggi
kangkung darat yang lebih baik dicapai pada musim tanam pertama meskipun
persentase kenaikan tinggi di musim kedua dan ketiga lebih besar daripada di
musim pertama. Hal tersebut dapat terjadi akibat penurunan kualitas tanah untuk
menyokong pertumbuhan tanaman. Perlakuan pupuk dasar saja belum mampu
membenahi tanah sepanjang tiga musim tanam. Sebaliknya, penggabungan bahan
humat dengan zeolit relatif mampu mempertahankan kualitas tanah dalam
menstimulasi pertumbuhan kangkung darat.
Panjang daun sebagai parameter pertumbuhan lain yang diamati dalam
penelitian ini menunjukkan hasil yang cenderung berbeda antar perlakuan pada
musim pertama dan kedua serta hasil yang signifikan pada musim tanam ketiga di
antara perlakuan berdasarkan hasil sidik ragam (Lampiran 6). Setelah musim
tanam pertama, panjang daun pada perlakuan HZ dan HD umumnya cenderung
serupa terlebih pada musim tanam kedua. Di musim tanam berikutnya, efek residu
dari perlakuan HZ secara nyata meningkatkan panjang daun lebih baik
dibandingkan perlakuan lain. Berdasarkan Tabel 2, secara umum diketahui bahwa
panjang daun pada pemberian bahan humat dengan berbagai cara dapat mencapai
lebih dari 9 cm. Pemberian zeolit tampaknya tidak memiliki kecenderungan dalam
meningkatkan panjang daun.
Hasil analisis ragam pada cara pemberian bahan humat terhadap jumlah
daun 4 MST di musim tanam kedua dan ketiga tidak menunjukkan perbedaan
yang signifikan antar perlakuan (Lampiran 7). Berdasarkan Tabel 2, tampak pula
bahwa jumlah daun 4 MST di kedua musim tanam tersebut tidak menampilkan
kecenderungan yang meningkat oleh pemberian bahan humat. Hal tersebut
mengindikasikan efek residu dari perlakuan di musim tanam sebelumnya tidak
berpengaruh untuk meningkatkan jumlah daun.
Selain parameter produksi dan pertumbuhan tanaman, pengaruh berbagai
cara pemberian bahan humat terhadap sifat kimia tanah juga diukur pada akhir
musim tanam ketiga untuk melihat efek residu dari perlakuan yang diberikan
(Lampiran 13). Berdasarkan sidik ragam, hanya P tersedia, KTK, dan Na dapat
dipertukarkan (Na-dd) yang menunjukkan hasil berbeda nyata. Akan tetapi kadar
C-org, Ca-dd, Mg-dd, K-dd, dan beberapa hara mikro-tersedia cenderung
menampilkan hasil yang berbeda antara perlakuan yang diberikan dengan kontrol.
Hasil sidik ragam sifat kimia tanah disajikan pada Lampiran 14.
Beberapa parameter yang menunjukkan trend yang meningkat pada
perlakuan penambahan bahan humat tidak secara langsung menandakan bahwa
hasil tersebut dipengaruhi baik oleh bahan humat maupun zeolit yang diberikan.
Hal tersebut dapat dikarenakan variabilitas pengambilan sampel tanah semata.
Selain itu, dosis kedua bahan sedikit sehingga tidak mampu secara signifikan
memperbaiki sifat kimia tanah.

16
Sebagai contoh, kadar C-org tanah setiap perlakuan yang diberikan lebih
besar dibandingkan kontrol seperti yang tersaji pada Tabel 3. Bahkan kadar C-org
tanah pada perlakuan HZ mencapai 2%. Cara aplikasi bahan humat lainnya juga
meningkatkan kadar C-org tanah 0.03% dan 0.11% dibandingkan kontrol.
Perlakuan zeolit pun menunjukkan kadar C-org yang tidak jauh berbeda
dibandingkan penambahan bahan humat di daun dan di tanah. Untuk dapat
mencapai persentase sebesar itu, maka diperlukan sumbangan 600 kg – 3400 kg C
yang lebih besar dibandingkan kontrol. Jumlah tersebut tidak dapat dipenuhi oleh
bahan humat yang hanya diberikan 15 L ha-1 dengan kandungan C 10.13%
(Lampiran 1).
Tabel 3 Pengaruh cara pemberian bahan humat terhadap kandungan C-org dan
nilai KTK tanah di akhir musim tanam ketiga
Parameter
Satuan
K
HT
HD
Z
HZ
C-org
%
1.84
1.87
1.95
1.95
2.01
-1
KTK
cmol(+) kg
16.54b 18.57ab 19.00ab 20.34a 20.03a
Keterangan: Huruf yang sama pada lajur yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan uji DMRT pada taraf nyata 5%

Begitu pula