Tawadhu’ Akhlak Terhadap Diri Sendiri

ditemui hal-hal yang tidak menyenangkan atau menyinggung perasaan. Oleh karena itu, dalam pergaulan sehari-hari diperlukan kesabaran, sehingga tidak cepat marah atau memutuskan hubungan apabila menemui hal-hal yang tidak disukai. Begitu pula yang dicontohkan oleh Imam Syafi’i ketika berdebat, ia tidak pernah berkeinginan untuk mengalahkan dan mngucilkan lawan debatnya yang hal itu akan mendatangkan permusuhan, akan tetapi dia memilih bersabar dalam pergaulan, yaitudengan menjaga persaudaraan.

D. Faktor yang Mempengaruhi Imam Syafi’i Memiliki Akhlak Mulia

Demikianlah keteladanan akhlak yang mulia dari Imam Syafi`i, tentunya kemuliaan akhlak Syafi`i ini tidak bisa terbentuk dengan sendirinya. Ada beberapa faktor yang mempengaruh Imam Syafi`i memiliki akhlak mulia, diantaranya: 1. Pendidikan orang tua Faktor pertama yang mempengaruhi Imam Syafi`I memiliki akhlak mulia dimulai dengan pendidikan dari orang tua terutama ibu, karena sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa Ayah Imam Syafi`I telah meninggal dunia saat Imam Syafi`I masih usia belia, ia tumbuh dalam asuhan ibunya Adz-Dzahabi, tt: 336. Ibunya mendidiknya hingga tumbuh menjadi remaja dan dewasa. Pada masa Imam Syafi`i remaja, ibunya merasa khawatir akan kehilangan nasab anaknya yang mulia. Maka ketika usianya dua tahun ibunya membawanya ke Mekkah Adz-Dzahabi, tt: 338. Hidup dalam kondisi sebagai yatim, Imam Syafi`I banyak mendapat pendidikan dari ibunya. Karena kondisi ekonomi yang kurang mampu, Imam Syafi`I dididik agar menjadi sosok yang hidup sederhana, dan sabar. Al-Humaidi pernah berk ata, “Aku mendengar Imam Syafi`I berkata, `Aku hidup sebagai anak yatim dalam asuhan ibuku, ia tidak mampu untuk memberiku biaya pendidikan`.”Adz- Dzahabi, tt: 338. Oleh karena itu, Saat belajar Imam Syafi`I menulis pelajarannya pada potongan-potongan tulang dan daun Adz-Dzahabi, tt: 338. Keluarga sebagai salah satu dari pusat atau lembaga pendidikan menunjukkan bahwa dalam keluarga ada terjadi proses pendidikan dan pengajaran menurut caranya sendiri-sendiri yang tidak persis dengan pendidikan formal. Bahkan ahli pendidikan mengakui bahwa proses pendidikan dalam keluarga memiliki peranan dan hasill yang cukup besar. Secara kodrati maka ibu-bapak di dalam rumah tangga keluarga adalah sebagai penanggung jawab tertinggi, mau tidak mau merekalah yang menjadi tumpuan utama yang harus memenuhi segala kebutuhan bagi anak-anaknya, dari segi materi maupun rohani. Tanggung jawab ini tidak dapat dielakkan lagi oleh orang tua, harus dipikul dengan rasa penuh tanggung jawab.