Mekanisme adaptasi kedelai (Glycine max (L) Merrill) terhadap cekaman intensitas cahaya rendah

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kedelai (Glycine max (L) Merrill) adalah salah satu tanaman sumber pangan penting
di Indonesia. Beberapa makanan populer di Indonesia seperti tahu, tempe, tauco, dan kecap
menggunakan biji kedelai sebagai bahan bakunya. Kandungan protein kedelai cukup tinggi,
yaitu 40 persen, sedangkan beras hanya 9 persen. Keunggulan lainnya bisa dilihat pada
kandungan asam amino esensialnya. Jumlah asam amino lisin yang rendah pada beras
ternyata sangat tinggi pada kedelai. Kandungan lisin pada beras 253 mg/100 g, sedangkan
pada kedelai 2300 mg/100 g (Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi, 1995). Karena itu
kedelai diharapkan dapat memperbaiki level gizi sebagian besar penduduk Indonesia dan
beberapa negara Asia (Chomchalow dan Laosuwan, 1993). Penduduk miskin yng sulit
memperoleh protein hewani bisa memenuhi kebutuhan gizi dari protein nabati kedelai.
Sekitar 80% kebutuhan kedelai dipergunakan untuk bahan baku industri, terutama
tahu dan tempe, sedangkan 20% sisanya untuk pakan ternak dan konsumsi rumah tangga
(Amang dan Sawit, 1996). Karena kebutuhan dalam negeri tidak tercukupi oleh produksi
dalam negeri Indonesia mengimpor kedelai. Pada tahun 1994 impor kedelai Indonesia
sekitar 628 ribu ton dan pada tahun 1999 impor itu mencapai 1301 ribu ton (BPS, 2000).
Impor kedelai itu telah diupayakan dikurangi melalui strategi peningkatan produksi dalam
negeri (Manwan dan Sumarno, 1996). Namun, upaya itu sulit dilaksanakan karena

kenyataannya impor kedelai tetap tinggi. Pada tahun 2004 impor kedelai Indonesia sebesar
1116 ribu ton (BPS, 2005).
Strategi peningkatan produksi kedelai nasional itu dirumuskan dalam Sumber
Pertumbuhan Produksi yang terdiri atas lima peluang yaitu: (a) perluasan areal panen, (b)
peningkatan produktivitas, (c) peningkatan keseragaman dan stabilitas hasil, (d) penekanan
senjang hasil, dan (e) penekanan kehilangan hasil panen. Dalam sumber pertumbuhan
produksi tersebut peningkatkan luas areal panen dilakukan dengan pembukaan areal baru,
peningkatan indeks pertanaman (IP), dan pelaksanaan tumpang sari kedelai dengan tanaman
perkebunan dan kehutanan (Adisarwanto et al, 1997).
Upaya peningkatan produksi kedelai tampaknya mengalami hambatan dalam
pelaksanaan karena kenyataannya produksi kedelai cenderung menurun (Tabel 1). Data
pada Tabel 1 menunjukkan bahwa penurunan produksi nasional disebabkan oleh penurunan

2

luas panen kedelai. Luas panen pada tahun 2003 sekitar 50% luas panen pada tahun 1998.
Karena itu peningkatan produktivitas (yield) sekitar 10% tidak bisa mengkompensasi
pengurangan luas panen dalam mempertahankan produksi nasional. Tahun 2004 produksi
kedelai nasional meningkat dibanding tahun 2003 karena adanya peningkatan luas panen.
Dengan produktivitas yang sama kebutuhan kedelai nasional bisa dipenuhi tanpa impor

(swasembada) bila luas panen kedelai ditambah 871 ribu ha menjadi 1435 ribu ha.
Tabel 1. Produksi kedelai nasional tahun 1998 – 2004

Luas Panen

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

1095


1151

825

679

545

527

563

1306

1383

1018

827


673

672

721

11.2

12.0

12.3

12.2

12.4

12.8

12.8


(1000 ha)
Produksi
(1000 ton)
Produktivitas
(kw/ha)
Sumber: BPS (1999-2005)
Peluang untuk meningkatkan luas panen kedelai nasional melalui aplikasi tumpang sari
kedelai dengan tanaman perkebunan dan kehutanan cukup besar. Luas perkebunan di
Indonesia tidak kurang dari 15 juta hektar. Luas perkebunan pada tahun 2002 bahkan
melebihi 19 juta ha (BPS, 2003). Dengan siklus peremajaan 25 - 30 tahun, maka sekitar 3
- 4% dari luas perkebunan tersebut merupakan areal tanaman baru yang masih
memungkinkan untuk ditumpangsarikan dengan kedelai sampai tanaman pokoknya (TBM)
mencapai umur 2 - 3 tahun. TBM berumur 2 - 3 tahun memberi naungan sebesar 33-50 %
(Asadi et al., 1997).
Selama ini ruang di antara tegakan tanaman pokok perkebunan ditanami dengan
tanaman legum penutup tanah (LCC). Tujuan penanaman LCC di sini antara lain untuk: (a)
perlindungan terhadap erosi tanah, (b) penambahan nitrogen tanah melalui penangkapan
nitrogen udara, dan (c) pengendalian gulma (Gardner et al., 1990). Dengan manajemen
yang baik pengalihan pemanfaatan lahan dari LCC kepada kedelai tidak akan mengurangi

keuntungan seperti dikemukakan di atas. Bahkan pemanfaatan kedelai menambah
keuntungan yang berupa peningkatan ketersedian pangan dan perbaikan gizi penduduk di

3

sekitar perkebunan. Hal ini berarti pengembangan kedelai di lahan perkebunan dapat
meningkatkan ketahanan pangan nasional, sekaligus mempertahankan kualitas lingkungan.
Depertemen Pertanian RI melalui Program Aksi Masyarakat Agribisnis Tanaman
Pangan memproyeksikan lahan tanaman kedelai pada tahun 2004 seluas 680 ribu ha atau
meningkat 28% dari luas panen pada 2003. Salah satu sumber lahan yang digarap adalah
lahan perkebunan rakyat seluas 11 juta ha dan kehutanan seluas 14.2 juta ha (Direktorat
Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan, 2003).
Salah satu kendala utama dalam pengembangan kedelai pada lahan tersebut di atas
adalah intensitas cahaya rendah karena tajuk pohon-pohon tersebut menaungi ruang di
bawahnya. Berdasarkan penelitian pada perkebunan karet diperoleh informasi bahwa ratarata intensitas cahaya pada areal terbuka adalah 0.773 kal cm-2 mnt-2. Intensitas cahaya di
bawah tegakan karet umur 1, 2, dan 4 tahun berturut- turut sebesar 0.571 kal cm-2 mnt-1,
0.253 kal cm-2 mnt-1, dan 0.216 kal cm-2 mnt-1 atau berarti memberi naungan 26%, 67%,
dan 72% terhadap areal terbuka.(Sukaesih, 2002). Sementara itu, naungan 20% sudah
digolongkan ke dalam agroklimat yang tidak sesuai bagi pertanaman kedelai (Adisarwanto
et al, 2000)

Reduksi cahaya oleh naungan merupakan cekaman (stres) terhadap cahaya. Levitt
(1980) mendefinisikan cekaman sebagai faktor lingkungan apapun yang secara potensial
tidak sesuai bagi makhluk hidup. Cekaman itu bisa menimbulkan strain. Strain adalah suatu
keadaan perubahan fisik atau kimia pada makhluk hidup akibat dikenai cekaman. Strain itu
bisa bersifat elastis (dapat balik) artinya keadaan akan kembali seperti semula bila
cekamannya dihilangkan. Cekaman yang besar bisa menyebabkan strain permanen (plastis)
yang berarti kerusakan atau bahkan kematian pada organisme.
Dalam pandangan agronomi varietas unggul ialah varietas bergenotipe tertentu yang
bisa berproduksi tinggi atau sesuai yang dikehendaki dengan memanipulasi lingkungan
tumbuhnya. Varietas unggul berproduksi tinggi (high-yielding variety) memberi hasil tinggi
bila ditumbuhkan di lingkungan yang cocok serta mendapat perlakuan yang sesuai berupa
pengairan, pemupukan, perlindungan terhadap hama penyakit dan sebagainya. Namun
lingkungan yang cocok tidak selalu bisa diperoleh. Bila faktor lingkungan tersebut tidak
dapat dimanipulasi, maka faktor lingkungan tersebut menjadi faktor pembatas (limiting
factor). Berdasarkan hukum ekologi faktor pembatas Liebig maka pertumbuhan dan hasil

4

tanaman ditentukan oleh faktor pembatas tersebut walaupun faktor lain dalam kondisi
optimum.

Tanaman membutuhkan radiasi cahaya matahari sebagai sumber energi untuk
menggerakkan proses-proses biokimia dalam fotosintesis. Naungan membuat ketersediaan
cahaya, terutama intensitas berkurang. Dalam keadaan ternaungi cahaya menjadi faktor
pembatas. Perbedaan karakteristik tanaman sebagaimana diatur oleh gennya menyebabkan
kemampuan tanaman untuk beradaptasi terhadap kondisi ternaungi berbeda pula.
Walaupun sumber cahaya adalah sama yaitu matahari, namun banyaknya penyerapan
energi matahari oleh sehelai daun bisa berbeda-beda. Perbedaan tersebut disebabkan antara
lain oleh halangan awan di atmosfer, naungan di atas tanaman, atau bahkan oleh bagian
tanaman (daun) yang lain.
Fotosintesis bersih tajuk adalah jumlah fotosintesis daun total. Fotosintesis ini
menghasilkan sukrosa dan pati yang selanjutnya dengan hara mineral yang diabsorbsi
disintesis menjadi bahan kering tanaman. Energi yang digunakan untuk menyusun bahan
kering juga berasal dari hasil fotosintesis. Bahan kering tanaman ini bisa berupa tajuk, akar,
dan biji (Gardner et al, 1990).
Energi yang tersimpan dalam karbohidrat kemudian

bisa dipakai untuk sintesis

protein, enzim serta absorbsi hara. Baik enzim maupun hara penting bagi proses produksi
kedelai. Pada kedelai bintil akar juga mensuplai hara N. Pembentukan bintil memerlukan

sukrosa hasil fotosintesis. Pengurangan energi yang diterima tanaman menyebabkan
penurunan hasil fotosintesis yang pada giliran berikutnya menurunkan cadangan energi,
bahan kering tanaman (termasuk daun), dan pertumbuhan bintil. Akhirnya, berkurangnya
penyerapan energi matahari menyebabkan penurunan produksi tanaman (Gambar 1).
Radiasi matahari optimum untuk fotosintesis kedelai adalah berkisar antara 0.3 – 0.8
kal cm-2 mnt-1. Pada radiasi 0.430 kal cm-2 mnt-1 fotosintesis mencapai maksimum (White
dan Izquierdo, 1993). Pengurangan intensitas radiasi matahari yang ditimbulkan oleh
naungan bisa menyebabkan cekaman yang selanjutnya menyebabkan strain yang kemudian
menyebabkan penurunan hasil biji per tanaman.
Penelitian tentang naungan pada kedelai menunjukkan bahwa reduksi cahaya menjadi
40 % sejak perkecambahan sampai panen menurunkan jumlah buku, cabang, diameter

5

batang, jumlah polong dan hasil biji kedelai. Perlakuan tersebut pada awal pengisian polong
menurunkan jumlah polong, hasil biji, dan kandungan protein biji (Baharsjah et al, 1985).
Penelitian tentang naungan juga dilaporkan oleh Sunarlim (1985). Naungan pada
penelitian tersebut menyebabkan antara lain kenaikan kandungan klorofil daun dan bobot
100 biji, penurunan jumlah polong dan produksi biji per tanaman. Penelitian ini menunjukkan
bahwa naungan tidak mempengaruhi kadar N daun, bobot spesifik daun secara nyata.

Namun, penelitian ini belum membedakan respon yang berbeda antar genotipe yang
berbeda ketenggangannya.
Naungan 50% menyebabkan penurunan produksi biji antara 0 – 46% terhadap
kontrol. Ceneng dan B613 menunjukkan paling toleran, sedangkan Godek paling peka
(Sopandie et al, 2002). Selanjutnya, Ceneng dan Godek bisa menjadi model dan bahan
tanaman yang utama untuk penelitian dan pengembangan, yang masing-masing mewakili
genotipe toleran dan peka.
Pemuliaan tanaman kedelai telah dilakukan pada kondisi naungan ringan (33 %) yaitu
pada tumpang sari dengan jagung, sedangkan pada kondisi naungan berat (50 %) yaitu pada
tumpang sari dengan tanaman perkebunan belum pernah dilakukan. Penurunan hasil kedelai
dengan naungan ringan seperti tumpang sari jagung - kedelai mencapai 2 - 56%. (Asadi et
al, 1997). Peningkatan cekaman (stres) cahaya dalam bentuk naumgan 50% akan
menyebabkan strain dan pengurangan hasil lebih besar.
Program pemuliaan untuk memperoleh varietas kedelai unggul toleran naungan
dilakukan dengan lima tahap yaitu: (a) pencarian sumber gen toleran, (b) hibridisasi, (c)
seleksi tanaman F2 - F5, (d) uji daya hasil, dan (e) uji adaptasi dan pelepasan varietas
unggul.

Strategi yang ditempuh adalah


menambah sumber gen toleran naungan dan

meningkatkan pengetahuan tentang mekanisme toleransi (Asadi et al., 1997). Untuk itu
penelitian dan pengetahuan tentang fisiologi tanaman perlu ditingkatkan.
Penelitian tentang mekanisme adaptasi sangat penting bagi pengembangan IPTEK
dan pembangunan pertanian. Evaluasi adaptasi di lapangan terhadap galur toleran naungan
yang berproduksi tinggi memerlukan informasi pendukung antara lain karakter anatomi,
morfologi, dan fisiologi yang berkaitan dengan mekamisme adaptasi terhadap naungan. Studi
fisiologi memberi informasi berharga untuk menuntun atau menentukan pilihan-pilihan dalam
manajemen budidaya dan saran strategis untuk pemuliaan tanaman. Proses-proses fisiologi

6

tertentu menentukan hasil (yield) tanaman. Pengetahuan tentang proses fisiologi yang
menentukan hasil inilah yang dipakai untuk menduga potensi hasil dan toleransi cekaman.
Dengan pengetahuan yang meningkat, maka keuntungan praktispun akan segera dapat
diperoleh (White dan Izquierdo, 1993).
Studi fisiologi terhadap tanaman toleran naungan akan memberi banyak manfaat
mengingat keterkaitan naungan dengan proses fisiologi dalam tanaman. Sebuah studi
(Kerstiens, 1998) menunjukkan adanya dugaan bahwa tanaman toleran naungan dapat
menghasilkan bahan kering lebih tinggi dengan perlakuan penambahan CO2 dibanding
tanaman yang peka naungan.
Informasi tentang pengaruh naungan terhadap pertumbuhan dan fisisologi kedelai
seyogyanya bisa dirunut dari hasil penelitian tanaman padi yang dinaungi. Pada kondisi
ternaungi, genotipe padi gogo toleran naungan mempunyai kemampuan intersepsi cahaya
dan kandungan klorofil a dan b yang lebih tinggi. Kelompok ini juga mampu
mempertahankan sintesis pati dan sukrosa serta aktivitas sukrosa fosfat sintase (Lautt et al,
2000) dan enzim rubisco (Sopandie et al, 2003a) lebih tinggi dibanding kelompok peka
naungan pada saat dinaungi. Informasi ini menunjukkan bahwa padi gogo toleran naungan
memiliki kemampuan penghindaran dan toleransi yang lebih baik daripada yang peka pada
kondisi naungan berat.
Pada kedelai informasi tersebut belum terungkap sehingga perlu dilakukan penelitian.
Hasil penelitian yang mengungkapkan perbedaan perubahan karakter bisa mengungkapkan
mekanisme adaptasi tanaman kedelai terhadap naungan apakah melalui mekanisme
penghindaran atau mekanisme toleransi atau keduanya.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberi informasi tentang (1) produktivitas delapan
genotipe kedelai pada empat tingkat intensitas cahaya yang berbeda serta (2) karakter
tanaman mana yang berhubungan dengan adaptasi tanaman terhadap kondisi naungan di
bawah tegakan pohon. Informasi pertama (produktivitas) akan menjadi dasar bagi
penentuan pilihan genotipe kedelai yang sesuai bagi lahan-lahan berintensitas cahaya rendah.
Informasi kedua akan menjadi dasar bagi penentuan sumber gen untuk pemuliaan tanaman
yang mampu beradaptasi dengan kondisi naungan di bawah tegakan tanaman perkebunan
atau kehutanan.

7

Penerapan hasil penelitian ini berupa peningkatan produksi produksi pertanian
khususnya kedelai melalui peningkatan indeks pertanaman dan pemanfaatan lahan tidur.
Selanjutnya, hasil penelitian ini akan memberi dampak dalam:
a. peningkatkan kualitas lingkungan, khususnya kesuburan tanah dan perlindungan tanah
terhadap erosi,
b. perlindungan hutan dan perkebunan dari kerusakan akibat penebangan dan penga-lihan
fungsi atau penyerobotan,
c. peningkatan ketahanan pangan dan keamanan sosial melalui penyediaan sumber pangan
berkualitas gizi baik.
Kerangka Pemikiran
Sekitar 75 persen (600 000 ha) kedelai dibudidayakan secara tumpang sari.
Kebanyakan berupa tumpang sari jagung - kedelai dan kedelai-ubi kayu. Tajuk pada jagung
dan ubi kayu memberi naungan maksimal 33%. Karena itu penelitian naungan pada kedelai
selama ini dilakukan pada naungan 33% (Asadi, et al, 1997).
Pemanfaatan lahan-lahan di bawah tegakan pohon perlu ditingkatkan mengingat
kecenderungan penurunan luas panen kedelai secara nasional. Lahan tidur dan tak
termanfaatkan di bawah tegakan tanaman perkebunan dan kehutanan berpotensi cukup
besar untuk pengembangan kedelai. Namun, upaya pengembangan kedelai tersebut
menghadapi kendala, terutama pada ketersediaan galur-galur yang toleran naungan. Tajuk
pohon karet memberi naungan yang lebih besar dari 33% apabila karet telah berumur 2
tahun (Lampiran 1). Karena itu perlu penelitian untuk naungan berat (50%) bila kita hendak
mengembangkan kedelai di bawah tegakan pohon karet umur 2 tahun.
Penelitian kedelai pada naungan berat dimulai dengan mengevaluasi 75 genotipe
kedelai yang selama pertumbuhannya diberi naungan 50% dan kemudian disaring menjadi
20 genotipe (Elfarisna, 2000). Setelah itu dilakukan pengkajian ulang terhadap 20 genotipe
hasil penyaringan tersebut secara in situ pada lahan di bawah pohon karet pada areal
perkebunan di Sukabumi (Sukaesih, 2002; Sopandie et al, 2001). Kemudian dilakukan
penelitian tentang karakter agronomi. anatomi dan morfologi pada beberapa genotipe yang
dipilih. Dari penelitian-penelitian di atas diperoleh antara lain 4 genotipe toleran, yaitu
Ceneng, B613, Pangrango, dan Tampomas; 1 genotipe moderat, yaitu Wilis; 3 genotipe
peka, yaitu Klungkung Hijau, MLG2999, dan Godek (Sopandie et al, 2002).

8

Menurut Levitt (1980) tanaman mampu beradaptasi terhadap intensitas cahaya rendah
melalui mekanisme penghindaran dan toleransi. Mekanisme penghindaran defisit cahaya
dilakukan dengan meningkatkan efisiensi penangkapan cahaya. Mekanisme toleransi
terhadap defisit cahaya diperoleh melalui kemampuan tanaman mengurangi respirasi,
mengurangi derajat penurunan aktivitas enzim dan kerusakan pigmen.
Merunut dan membandingkan penelitian naungan yang telah dilakukan pada kedelai
dan padi gogo, maka terdapat beberapa informasi yang belum terungkap pada kedelai
tentang mekanisme penghindaran dan toleransi. Gambar 2 menunjukkan skema pengaruh
cahaya terhadap tanaman serta mekanime penghindaran dan toleransi berdasarkan hasil
penelitian yang telah diperoleh.
Perubahan anatomi dan morfologi sebagai mekanisme penghindaran telah dilakukan
untuk beberapa genotipe (Sopandie et al, 2002; Sopandie et al, 2005). Namun,
mekanisme penghindaran untuk genotipe lain juga perlu diteliti. Perubahan karakter daun
akibat perlakukan cahaya ekstrim (gelap total) juga belum pernah dilakukan. Selain itu,
pembahasan tentang persentase perubahan karakter daun yang berhubungan dengan
mekanisme penghindaran perlu dipertajam.
Penelitian pada padi gogo menunjukkan bahwa padi toleran mampu mempertahankan
kandungan rubisco dan aktivitasnya tetap tinggi (Sopandie et al, 2003a). Genotipe padi
gogo yang toleran naungan juga memiliki rasio sukrosa/pati dan aktivitas enzim sukrosa
fosfat sintase (SPS) lebih tinggi dibanding padi peka naungan saat dinaungi 50% (Lautt et al,
2003). Selanjutnya, genotipe padi gogo yang toleran naungan memiliki tingkat respirasi
gelap lebih rendah dibanding yang peka Semua peubah tersebut menunjukkan mekanisme
adaptasi melalui toleransi yang belum diungkap pada kedelai.
Penelitian dalam disertasi ini mengkaji perubahan karakter fisiologi akibat naungan yang
pernah dilakukan pada padi tetapi belum dilakukan pada kedelai, yaitu komponen nitrogen
(N) daun, aktivitas enzim rubisco, aktivitas enzim SPS, kandungan sukrosa dan pati daun.
Selain itu juga dilakukan penelitian perlakuan cahaya dalam waktu singkat secara on/off
yang bisa menggambarkan penyembuhan setelah cekaman naungan, adaptasi terhadap
naungan, dan pendugaan respirasi gelap. Alur penelitian disertasi ini dipaparkan pada
Gambar 3.

9

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengkaji mekanisme adaptasi tanaman kedelai terhadap
intensitas cahaya rendah melalui mekanisme penghindaran (avoidance) maupun toleransi
(tolerance). Mekanisme tersebut dikaji berdasarkan respon berbagai genotipe kedelai
terhadap intensitas cahaya rendah melalui perubahan karakter produksi, karakteristik daun,
dan fisiologi yang berhubungan dengan fotosintesis dan respirasi.
Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
a. Intensitas cahaya rendah menyebabkan penurunan produksi lebih besar pada
genotipe peka daripada genotipe toleran
b. Genotipe toleran menunjukkan perubahan karakter daun yang lebih besar daripada
genotipe peka sehingga mempunyai mekanisme penghindaran lebih baik.
c. Genotipe toleran naungan mengalami perubahan karakter fisiologi lebih kecil
daripada genotipe peka sehingga mempunyai mekanisme toleransi lebih baik

10

Cahaya Matahari

Penyerapan Cahaya
oleh Tanaman

Fotosintesis Daun

Fotosintesis Daun

Fotosintesis Daun

pada masa vegetatif
pembentukan source

Fo t o s i n t e s i s B e r s i h T a j u k

Bahan Kering Tanaman

Tajuk
(source atau sink)

Akar

Biji

(sink)

(sink)

realokasi pada masa
generatif/pengisian polong
pembentukan
bintil akar
sintesis enzim
absorbsi hara
metabolisme hara

sukrosa hasil
fotosintesis

pemanfaatan energi
hasil respirasi tajuk

Gambar 1. Hubungan ketersediaan energi cahaya dengan proses metabolisme untuk
produksi biji kedelai (Gardner et al, 1990)

11

11

Kekurangan Cahaya

Kerkurangan cahaya
karena naungan
Mengakibatkan (pada kedelai):
- Penurunan hasil biji
- Penurunan laju fotosintesia aktual dan maksimum
- Tetap menghasilkan butir pati
- Perkembangan membran tilakoid tetap baik
- Perubahan jumlah cabang utama
- Menambah panjang (tinggi) tanaman (etiolasi)

Respon untuk menghindari defisit cahaya dengan meningkatkan
efisiensi penangkapan cahaya (pada padi dan kedelai):
- Peningkatan kandungan klorofil a
- Peningkatan kandungan klorofil b
- Penurunan rasio kandungan klorofil a terhadap klorofil b
- Peningkatan rasio luas/ bobot daun
- Penipisan daun, pengurangan bulu daun

Kerkurangan cahaya
karena kondisi gelap

Mengakibatkan (pada kedelai):
- Penurunan bobot kering kedelai
- Fotosintesis bersih negatif
- Tidak menghasilkan butir pati
- Tilakoid tidak berkembang

1. Perlakuan singkat on/off
2. Perlakuan variasi pergiliran gelapnaungan/ terang

Mengakibatkan:
- Perubahan kandungan
karbohidrat daun?
- Adaptasi dan penyembuhan?
-

Respon untuk toleran terhadap kondisi defisit
cahaya (pada padi):
- Mempertahankan perimbangan kandungan
sukrosa/pati dan aktivitas enzim SPS dan
rubisco tetap tinggi
- Kandungan N terlarut daun meningkat

Respon untuk toleran
dengan menurunkan
tingkat respirasi gelap
(pada padi)

12
Gambar 2. Respon tanaman terhadap kekurangan cahaya (Baharsjah et al, 1985; Khumaida, 2002; Lautt et al, 2000; Sopandie et al, 2003a;
Sopandie et al, 2005; Taiz dan Zeiger, 1991)

13

Studi Pendahuluan
Evaluasi 75 genotipe
(Elfarisna, 2000)

Perbanyakan Benih

Percobaan di
Sukabumi

Penelitian
Disertasi
Percobaan
1-A

Penelitian
Disertasi
Percobaan
I-B

Penelitian
Disertasi
Percobaan II

Evaluasi Ulang terhadap Daya Adaptasi in situ
(Percobaan di Bawah Tegakan Pohon Karet di Sukabumi)
(Sukaesih, 2002; Sopandie et al, 2001)

Penelitian Disertasi
Produktivitas dan Mekanisme Adaptasi Kedelai
pada Naungan Sejak Tanam sampai Panen
(Percobaan di Kebun Cikabayan IPB)
1. Respon delapan genotipe terhadap naungan
- Produksi (penelitian 1)
2. Identifikasi karakter struktur daun (penelitian 2)
- morfologi dan anatomi daun
- klorofil
3. Identifikasi karakter fisiologi (penelitian 3)
- aktivitas enzim rubisco
- perimbangan sukrosa/pati
- N daun
- aktivitas enzim SPS

Penelitian Disertasi
Studi Mekanisme Adaptasi pada Cekaman Ekstrim (on/off)
melalui Variasi Pergiliran Gelap - Terang
(Percobaan di Kebun Cikabayan IPB)
1. Perubahan struktur daun (penelitian 2)
2. Perubahan fisiologi (penelitian 3)

14

Gambar 3. Alur penelitian dan sumber benih.

15

TINJAUAN PUSTAKA
Kedelai
Kedelai (Glycine max

(L) Merrill) merupakan anggota keluarga Papilonaceae.

Kedelai adalah tanaman semusim berbentuk semak-semak rendah, tumbuh tegak dengan
panjang batang antara 100 – 200 cm. Akar kedelai bisa membentuk bintil akar yang
berbentuk bulat atau tidak beraturan yang merupakan koloni bakteri Rhizobium japonicum.
Hubungan saling menguntungkan (mutualisme) antara bakteri dengan kedelai ini terjadi
karena bakteri memperoleh karbohidrat dari hasil fotosintesis kedelai, sedangkan kedelai
memperoleh suplai nitrogen yang ditambat dari udara (Hidayat, 1985).
Jumlah buku dan panjang ruas kedelai tergantung genotipe, panjang hari, dan tipe
tumbuh. Pembentukan buku pada tanaman selesai pada umur 35 hari. Jumlah buku, cabang
dan diameter batang bisa turun bila lingkungan tumbuhnya kekurangan cahaya (Lersten dan
Carlson, 1987).
Agronomi dan Produksi Tanaman
Kemampuan kedelai untuk berproduksi tergantung kepada potensi genetik yang
tersimpan dalam benihnya serta lingkungan tumbuhnya yang mensuplai cahaya, air, dan hara
mineral (Iowa State University, 1994). Bahan kering total kedelai merupakan hasil tajuk
tanaman dalam memanfaatkan radiasi matahari yang tersedia selama masa pertumbuhan.
Proses yang menentukan produksi tanaman adalah akumulasi dan partisipasi bahan kering.
Akumulasi bahan kering merupakan pertumbuhan tanaman dan hasil langsung dari
keseimbangan fotosintesis dan respirasi serta kehilangan karena senesens dan absisi.
Partisipasi adalah keseimbangan antara pertumbuhan vegetatif dan generatif (Gardner et al,
1990).
Pertumbuhan tanaman pada dasarnya disebabkan pertambahan atau pembesaran sel.
Proses pembesaran sel dimulai dari air yang berdifusi ke dalam sel sehingga menimbulkan
tekanan hidrostatis. Tekanan hidrostatis ini menekan dinding sel ke arah luar sehingga sel
mengembang dan membesar (Taiz dan Zeiger, 1991; Salisburry dan Ross, 1992).
Akumulasi bahan kering tanaman sangat ditentukan oleh kapasitas fotosintesis tajuk dan
respirasi tajuk. Produksi tanaman akan lebih tinggi pada tanaman yang mempunyai respirasi
tajuk lebih rendah. Respirasi tajuk terdiri atas respirasi gelap dan fotorespirasi (Gardner et

16

al, 1990). Respirasi gelap ini bisa untuk pertumbuhan atau pemeliharaan (Smith, 1997).
Akhirnya, produksi biji kedelai tergantung kepada kekuatan biji sebagai sink untuk
menarik biomasa menjadi biomasa biji ( Shibels et al, 1987).
Produksi tanaman ditentukan oleh pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan
ialah penambahan pada ukuran tanaman, berupa jumlah daun, jumlah buku, tinggi dan bobot
kering tanaman. Perkembangan menyangkut perubahan fase siklus hidup, yaitu
perkecambahan, inisiasi cabang bunga, pembungaan, dan pengisian biji (White dan
Izquierdo, 1993).
Kapasitas dan laju fotosintesis daun kedelai sangat dipengaruhi oleh usia daun dan
kondisi lingkungan (Shibels et al, 1987). Laju fotosintesis daun meningkat sejalan dengan
pertambahan luasnya, lalu mencapai maksimum untuk beberapa lama yang tergantung pada
genotipe dan posisi daun, kemudian menurun. Penurunan ini disebabkan terutama oleh
kehilangan kapasitas fotosintesis, disamping penurunan konduktansi stomata terhadap air
dan udara. Penurunan kapasitas fotosintesis ini berkorelasi positif dengan pengurangan N
dan aktifitas mobilisasi.
Saat intensitas cahaya rendah kecepatan fotosintesis berbanding lurus (linear) dengan
PPFD (photosynthetic photon flux density). Semakin bertambah intensitas cahaya,
perbandingan tersebut semakin mengecil sampai mencapai laju fotosintesis maksimum. Laju
fotosintesis daun kedelai maksimum dicapai pada saat radiasi 300 W m-2 atau 0.430 kal cm-2
mnt-1 (White dan Izquierdo, 1993).
Penelitian Khumaida (2002) menunjukkan bahwa genotipe Ceneng (toleran),
Pangrango (toleran), Orba (moderat), dan Godek (peka) mencapai fotosintesis maksimum
pada intensitas cahaya yang sama yaitu sekitar 1500 µmol cm-2 dtk-1. Baik pada kedelai
yang beradaptasi terhadap cahaya penuh maupun yang ternaungi fotosintesis maksimum
dicapai pada intensitas cahaya yang sama.

Namun, laju fotosintesis dan fotosintesis

maksimum lebih rendah pada kedelai yang ternaungi.
Fotosintesis bisa turun bila permintaan (kebutuhan) di jaringan yang sedang tumbuh
kecil. Ini terjadi karena permintaan (demand) yang rendah menyebabkan laju transpor hasil
fotosintes keluar dari jaringan daun juga kurang. Akibatnya, akumulasi pati di daun
meningkat. Akumulasi pati di daun menghambat fotosintesis (White dan Izquierdo, 1993;
Shibels et al, 1987)

17

Fotosintesis
Cahaya berperan sangat penting dalam kehidupan tanaman. Cahaya mempengaruhi
pertumbuhan produksi biomasa tanaman melalui fotomorfogenesis dan fotosintesis. Total
energi yang masuk dan tersimpan dalam sistem tanaman tergantung kepada laju fotosintesis
per unit area dan luas bagian tanaman yang menerima cahaya. Kecepatan fotosintesis
tergantung kepada cahaya, umur daun, tahap perkembangan tanaman, kandungan N daun,
status air, temperatur, konsentrasi CO2, dan distribusi (penyebaran) daun (Raper dan
Kramer, 1987). Di bawah kondisi suhu 20 - 30o C dan kelembaban optimum, serta jenuh
cahaya bisa diketahui AP (apparent photosynthesis) potensial kedelai yang juga
mencerminkan aparatus fotosintesis (Shibels et al, 1987).
Hasil fotosintesis tajuk ditentukan oleh efisiensi fotosintesis daun dan penerimaan
cahaya. Kapasistas penerimaan cahaya tergantung antara lain oleh banyaknya radiasi dan
efisiensi penerimaannya (Gardner et al, 1990). Dengan kata lain, akumulasi bahan kering
tergantung kepada banyaknya radiasi cahaya tersedia dan kemampuan tanaman menangkap,
menyerap, dan memanfaatkan cahaya. Jadi naungan akan menyebabkan produksi biji
kedelai turun karena radiasi tersedia yang sampai ke badan tanaman berkurang. Dalam hal
kapasitas, naungan tidak menyebabkan penurunan yang signifikan.
Proses Fotosintesis
Peranan fotosintesis sangat penting dalam manajemen produksi tanaman karena hampir
semua produksi tanaman didominasi oleh komponen karbohidrat yang merupakan hasil akhir
fotosintesis. Sementara itu, metabolisme lipid dan protein yang juga merupakan komponen
hasil utama memerlukan unsur karbon hasil fotosintesis.
Dalam fotosintesis energi cahaya diserap oleh klorofil dan berbagai pigmen. Pada
fotosintesis energi matahari digunakan untuk mereduksi CO2 menjadi gula. Klorofil adalah
pigmen hijau penyerap cahaya: Chl + hν → Chl*. Energi cahaya yang ditangkap digunakan
untuk penggerak tranfer elektron dalam rangkaian energi sehingga terbentuk senyawa
berenergi tinggi yaitu NADPH dan ATP. Terbentuknya senyawa ATP dan NADPH ini
menandai berakhirnya reaksi cahaya dalam fotosintesis, untuk berlanjut kepada reaksi
gelap. Dalam reaksi gelap energi yang tersimpan dalam ATP dan NADPH digunakan untuk
menambat dan mengubah CO2 menjadi karbohidrat (Taiz dan Zeiger, 1991).

18

Pada dasarnya fotosintesis adalah suatu reaksi redoks yang digerakkan oleh cahaya.
Reaksi fotosintesis terdiri atas 3 tahapan yaitu: (1) tahap antena menangkap cahaya dan
mentransfernya ke pusat reaksi, (b) tahap rangkaian reaksi transfer elektron dan
fotofosforilasi, serta (c) metabolisme karbon. Metabolisme karbon adalah suatu rangkaian
proses reaksi yang disebut siklus PCR (photosinthetic carbon reduction). Siklus PCR
terdiri atas karboksilasi, reduksi, dan regenerasi. Dalam karboksilasi CO2 masuk siklus
PCR melalui reaksinya dengan ribulose 1, 5 bisphosphate (RuBP) yang menghasilkan 3phosphoglycerate (3-PGA). Reaksi ini dikatalisis oleh enzim ribulose bisphosphate
carboxylase/ oxygenase (rubisco). Kelompok tanaman yang menangkap CO2 atmosfir
dengan RuBP disebut tanaman C3. Salah satunya ialah kedelai.
Tanaman C3 dan Fiksasi Karbon
Produksi tanaman sangat ditentukan oleh produksi bahan kering yang dalam fisiologi
ditentukan oleh selisih CO2 udara yang diserap melalui fotosintesis dan CO2 yang dilepas
tanaman melalui respirasi. Selama pertumbuhan umumnya respirasi tanaman menggunakan
25 - 30 % total fotosintesis sehingga ada selisih positif yang digunakan untuk pertumbuhan
(akumulasi) bobot kering. Bila respirasi lebih tinggi daripada fotosintesis (tanaman diletakkan
dalam gelap sehingga tidak ada fotosintesis) maka bobot tanaman akan berkurang (Gardner
et al., 1990).
Berdasarkan perbedaan proses fiksasi karbondioksida tanaman bisa digolongkan
menjadi tanaman C3, C4, dan CAM. Kedelai dimasukkan ke dalam tanaman C3 yang
efisien memanfaatkan cahaya (Gardner et al, 1990 dan Specht, 1999). Pada tanaman C3
karbondioksida atmosfer diikat oleh RuBP menjadi 3-PGA yaitu suatu molekul 3-karbon.
Tanaman C4 menangkap CO2 udara dengan fosfoenol piruvat (PEP) untuk menghasilkan
molekul 4-karbon. Fiksasi CO2 pada tanaman CAM juga menghasilkan molekul 4-karbon.
Perbedaannya, pada CAM karbondioksida diikat pada malam hari (yaitu saat stomata
terbuka maksimum) dengan menggunakan energi glikolisis. Pada siang terik dan stomata
tertutup tanaman CAM hanya menjalankan reaksi terang. Jika kondisi air mencukupi
beberapa tanaman CAM juga bisa bertindak seperti tanaman C3 (Gardner et al., 1990;
Taiz dan Zeiger, 1991)
Fiksasi CO2 menjadi 3-PGA dikatalisis oleh enzim ribulose bis-phosphate (RuBP)
carboxylase/oxygenase atau rubisco. ATP dari hasil fotofosforilasi digunakan untuk

19

mengubah riboluse-5-phosphat menjadi RuBP. ATP dan NADPH hasil reaksi terang juga
digunakan untuk mengubah 3-PGA menjadi 3-PGAld. Keseluruhan proses ini disebut siklus
Calvin. Pada tanaman C3 siklus Calvin berlangsung di sel mesofil.
Pada tanaman C4 fiksasi CO2 udara oleh PEP dikatalisis oleh enzim phosphoenol
pyruvate (PEP) carboxylase. ATP hasil fotofosforilasi digunakan untuk mengubah piruvat
menjadi PEP. Penangkapan CO2 udara oleh PEP berlangsung di sel mesofil, tetapi siklus
Calvinnya berlangsung di sel seludang pembuluh (Gardner et al., 1990; Taiz dan Zeiger,
1991)
Selain perbedaan dalam proses penangkapan CO2 tanaman C3 dan C4 juga berbeda
dalam hal berikut, yaitu: (a) anatomi, (b) efisiensi penangkapan CO2 dan kecepatan
fotosintesis, dan (c) kandungan rubisco dan adaptasi. Tanaman C4 memiliki kloroplas di sel
seludang pembuluh, sedangkan tanaman C3 tidak punya. Untuk tanaman C3, kloroplas di
mesofil menjadi tempat bagi pengikatan CO2, proses siklus Calvin, dan akumulasi pati.
Untuk tanaman C4, pati tidak terbentuk di sel mesofil karena siklus Calvin berlangsung di sel
seludang (Gardner et al., 1990).
Tanaman C4 mempunyai tingkat efisiensi pengikatan CO2 dan kecepatan fotosintesis
lebih tinggi, tetapi efisiensi pemakaian energi lebih rendah. Enzim PEP karboksilase
mempunyai afinitas terhadap CO2 lebih tinggi dibanding rubisco sehingga pada level CO2
rendah fotosintesis tanaman C4 lebih efisien. Karena itu, pada intensitas cahaya tinggi
tanaman C4 mempunyai efisiensi fotosintesis lebih tinggi. Namun, efisiensi energi pada
tanaman C4 lebih rendah karena sebagian ATP digunakan untuk membentuk PEP. Jadi
pada kondisi intensitas cahaya rendah, hasil fotosintesis berupa karbohidrat bisa lebih rendah
(Gardner et al., 1990)
Tanaman C3 mempunyai kandungan rubisco per bobot kering daun lebih tinggi
dibanding tanaman C4. Tetapi, tanaman C3 tidak memiliki enzim PEP karboksilase. Karena
stomata menutup pada kondisi kering dan panas, maka tanaman C4 yang efisien dalam
menangkap CO2 akan lebih adaptif untuk ditanam pada daerah kering dan panas dibanding
tanaman C3 (Gardner et al, 1990). Dengan demikian tanaman C4 lebih responsif terhadap
perubahan radiasi cahaya daripada tanaman C3.
Rubisco juga mengikat O2 selain CO2. Pengikatan O2 menyebabkan terjadinya proses
fotorespirasi yang menghasilkan CO2. Fotorespirasi pada tanaman C3 jauh lebih besar

20

dibanding tanaman C4. Pada tanaman C4 fotorespirasi sangat rendah karena CO2
dikonsentrasikan terlebih dulu di sel-sel seludang pembuluh. Pengkonsentrasian CO2 ini
menyebabkan rasio CO2 terhadap O2 meningkat sehingga lebih cocok untuk RuBP
karboksilase daripada RuBP oksigenase. Fotorespirasi memungkinkan aminasi untuk sintesa
asam amino dan mempertahankan fosfat inorganik bersiklus sehingga lebih cocok dan
menguntungkan pada kondisi intensitas cahaya rendah dan temperatur sejuk (Gardner et al.,
1990; Taiz dan Zeiger, 1991). Hampir semua tanaman lantai hutan tergolong tanaman C3
(Smith, 1997). Tanaman C3 teraklimisasi pada cahaya rendah karena memiliki laju respirasi
gelap rendah dan titik jenuh cahaya yang rendah (Salisburry dan Ross, 1992).
Daun dan Produksi Tanaman
Daun tanaman budidaya kebanyakan mempunyai (a) permukaan luar rata dan luas, (b)
lapisan pelindung atas dan bawah, (c) beberapa stomata per satuan luas, (d) ruang udara
yang saling berhubungan di dalamnya, (e) sejumlah banyak kloroplas, dan (f) saluran
pembuluh. Yang ideal untuk fotosintesis ialah daun yang bertebal satu sel untuk
memaksimumkan intersepsi cahaya per unit volume dan meminimumkan jarak yang harus
dilalui untuk pertukaran gas (Gardner et al., 1990).
Daun juga perlu perlindungan terhadap lingkungan, maka daun juga perlu beberapa
lapis sel dan lapisan permukaan pelindung. Lapisan kutikula dan lilin bersifat transparan dan
dapat dilalui cahaya, tetapi tidak dapat dilalui CO2. Karena itu daun mempunyai jendela
pada permukaannya berupa stomata (Gardner et al., 1990).
Anatomi Daun dan Stomata
Sel-sel palisade biasanya dijumpai pada bagian adaxial (atas) daun, berbentuk tiang,
dan mengandung klorofil. Sel parenkima palisade bisa berbentuk barisan dengan satu lapisan
atau dua lapisan. Panjang selnya bisa sama atau semakin mengecil bila menuju ke bagian
tengah mesofilnya (Lersten dan Carlson, 1987).
Stomata terletak di bagian epidermis. Stomata merupakan pintu untuk pertukaran gas
antara jaringan dalam tumbuhan dan lingkungannya. Pada tumbuhan darat, umumnya stomata
tersebar pada epidermis bawah. Beberapa tanaman mempunyai stomata pada kedua
permukaan daunnya.
Kerapatan stomata daun berbeda-beda. Pada kedelai yang pernah diteliti kerapatan
stomata antara 130 – 316 per mm2. Banyaknya stomata bisa berkurang bila kedelai ditanam

21

di tempat yang cahayanya kurang (Lersten dan Carlson, 1987). Penurunan stomata karena
naungan juga terjadi pada manggis (Garcinia mangostana) (Wiebel et al, 1999) dan
Amborella trichopoda (Field et al, 2001). Penelitian Sopandie et al (2002) menunjukkan
bahwa naungan 50% menyebabkan penurunan kerapatan stomata. Dalam hal ini kelompok
genotipe toleran mengalami persentase penurunan lebih sedikit dibanding genotipe peka,
yaitu masing-masing 12% dan 32%.
Ketersediaan cahaya dan konsentrasi CO2 menjadi faktor pembatas bagi kecepatan
fotosintesis tumbuhan. Untuk mengefektifkan penerimaan dan penangkapan cahaya susunan
sel-sel palisade dan bunga karang dibuat sedemikian sehingga cahaya bisa terdistribusi dalam
sel mesofil dan penangkapan cahaya secara total optimum. Tumbuhan juga bisa mengatur
letak kloroplas dan mengorientasikan daun sesuai dengan arah dan intensitas cahaya. Dalam
situasi ternaungi kloroplas mengumpul ke dekat lapisan epidermis sehingga daun tampak
lebih hijau (Taiz dan Zeiger, 1991).
Daun bisa beradaptasi dengan lingkungan untuk meningkatkan fotosintesis melalui
pengaturan laju pertukaran gas. Kecepatan pertukaran gas pada daun tergantung kepada
banyaknya stomata per luas daun dan lebar pembukaan stomata. Di sini stomata adalah
jendela yang bisa dilalui gas dan air. Konduktansi stomata mencerminkan kondisi
kemudahan stomata untuk pertukaran gas CO2 dan air. Semakin banyak dan lebar
pembukaan stomata maka semakin tinggi konduktansi stamota dan semakin tinggi
pertukaran CO2 per satuan luas daun. Karena itu konduktansi stomata juga mencerminkan
level fotosintesis (Taiz dan Zeiger, 1991).
Kloroplas
Kloroplas adalah tempat konversi energi yang bisa ditemukan hanya pada sel
fotosintesis. Ukurannya sekitar 5 x 2 x (1-2) µm. Organel ini dipisahkan oleh sitosol dengan
membran ganda (membran luar dan dalam). Kloroplas tergolong plastid yang memiliki
pigmen klorofil dan protein yang berhubungan dengan fotosintesis. Karena mengandung
klorofil maka kloroplas berwarna hijau. Kloroplas punya membran ketiga, yaitu tilakoid. Di
tilakoid inilah terdapat klorofil dan protein yang berfungsi dalam fotokimia di fotosintesis.
Stroma ialah bagian cairan yang mengelilingi tilakoid, sedangkan lamella ialah tilakoid yang
tidak bertumpuk (Taiz dan Zeiger, 1991; Gardner et al, 1990).

22

Stroma mengandung banyak ribosom, bahan protein, dan protein. Rubisco menempati
lebih 50 persen bagian dari protein stroma. Proses reduksi karbondioksida (reaksi gelap)
terjadi di stroma, sedangkan transformasi energi cahaya menjadi energi kimiawi (reaksi
terang) terjadi di lamela. Pembentukan potensi kimia terjadi karena transformasi energi
cahaya membentuk gradien proton antara sisi membran. Dengan bantuan enzim ATP sintase
perbedaan gradien digunakan untuk mengubah ADP menjadi ATP dan NADP menjadi
NADPH. Selanjutnya, ATP dan NADPH dipergunakan dalam proses perubahan
karbondioksida (CO2 ) menjadi karbohidrat, molekul -molekul organik serta proses biologi
lain (Gardner et al, 1990; Newcomb, 1990; Mullet, 1990).
Pigmen dalam kloroplas sebagian besar berupa klorofil (a dan b) serta karotenoid
(karotin dan xantofil). Klorofil merupakan pigmen fotosintesis yang terdapat pada membran
tilakoid dalam kloroplas. Pada tumbuhan tingkat tinggi, termasuk kedelai selalu terdapat dua
jenis klorofil a (C55H72O5N4Mg) dan klorofil b (C55H70O6N4Mg). Klorofil bergabung dalam
suatu kompleks yang disebut fotosistem.
Klorofil adalah pigmen penyerap cahaya utama. Karotenoid bisa tidak aktif, bisa
menyerap cahaya dan mentranfer elektron ke klorofil, atau mentrafer elektron antar
fotosistem. Cahaya yang diserap daun berbeda dengan yang diserap oleh kloroplas. Yang
paling banyak diserap oleh klorofil adalah cahaya merah, kemudian biru dan yang paling
sedikit adalah cahaya hijau (Gardner et al, 1990; Hall dan Rao, 1999). Cahaya yang
diserap daun tetapi tidak diserap klorofil, tidak dapat dimanfaatkan untuk fotosintesis.
Sel meristematik akar, tajuk, embrio, endosperma, dan daun muda yang sedang
berkembang berisi proplastid. Proplastid tidak berwarna. Proplastid tidak atau sedikit
memiliki membran dalam, tidak punya klorofil, serta perangkat fotosintesisnya tidak lengkap
untuk kerja fotosintesis. Perkembangan kloroplas dari proplastid di batang dan daun dipicu
oleh cahaya. Setelah terkena penyinaran proplastid membesar dan terjadi perubahan: (a)
enzym terbentuk dalam proplastid atau diimpor dari sitosol, (b) pigmen penyerap cahaya
terbentuk, (c) membran dalam berkembang cepat membentuk lamela stroma dan grana
(lamela yang bertumpuk) yang jelas (Taiz dan Zeiger, 1991; Newcomb, 1990)
Pada kecambah, kloroplas terbentuk hanya jika tajuk terkena cahaya. Jika tidak ada
cahaya proplastid berubah jadi etioplas. Proplastid berisi protoklorofil (perkusor pigmen
berwarna hijau kuning pucat). Beberapa menit setelah terkena cahaya proplastid

23

berdiferensiasi: (a) prolamela menjadi tilakoid dan lamela stroma (b) protoklorofil menjadi
klorofil. Kloroplas juga bisa kembali jadi etioplas bila dikenai gelap panjang (Gardner et al,
1990; Taiz dan Zeiger, 1991). Kloroplas yang usang dan tidak berfungsi berubah menjadi
kromoplas. Di sini lamela stroma dan grana teracak dan klorofilnya hancur. Namun,
kromoplas juga bisa balik menjadi kloroplas (Newcomb, 1990).
Pada tanaman yang mengalami etiolasi, yaitu tanaman yang ditumbuhkan pada tempat
gelap secara terus menerus kloroplas tidak berkembang normal, tetapi menjadi etioplas.
Etioplas berwarna kuning karena adanya protoklorofil, dan bukan klorofil. Membran
dalamnya disebut badan prolamelar. Bila menerima cahaya etioplas menjadi kloroplas
ditandai dengan: protoklorofil menjadi klorofil dan badan prolamelar menjadi grana dan
lamela stroma (Newcomb, 1990; Taiz dan Zeiger, 1991).
Peranan cahaya dalam pembentukan klorofil terdapat pada dua proses (Gambar 4),
yaitu pada regulasi ekspresi gen untuk komplek pemanen cahaya (gen cab) dan pada
perubahan protoklorofilida (Pchl) menjadi klorofil ( Mohr dan Schopfer, 1995). Selanjutnya,
seperti diperlihatkan pada Gambar 5 klorofil b bisa terbentuk dari bahan klorofil a (Schoefs
dan Bertrand, 1997). Hambatan pembentukan gen cab bisa disebabkan oleh tingkat
kandungan karbohidrat yang tinggi pada daun (Madore, 1997).
Klorofil dan Adaptasi terhadap naungan
Tanaman merespon kondisi lingkungan berintensitas cahaya rendah dengan
meningkatkan kandungan klorofil, mengurangi ketebalan daun, dan mengurangi rasio klorofil
a terhadap klorofil b (Taiz dan Zeiger, 1991; Zhao dan Oosterhuis, 1998; Johnston dan
Onwueme, 1998).
Tumbuhan Atriplex triangularis memiliki adaptasi plastik terhadap ketersediaan
cahaya. Atriplex yang beradaptasi dan toleran naungan memiliki klorofil total per pusat
reaksi fotosintesis lebih tinggi. Selain itu, Atriplex yang toleran memiliki daun lebih tipis dan
rasio klorofil a/b lebih kecil dibanding yang kurang toleran. Daun yang beradaptasi terhadap
cahaya berlebih mempunyai protein terlarut tinggi, aktivitas rubisco tinggi, tingkat respirasi
tinggi dibanding yang yang beradaptasi terhadap lingkungan berintensitas cahaya rendah
(Taiz dan Zeiger, 1991). Pembentukan klorofil dipengaruhi oleh cahaya, sehingga tanaman
toleran mungkin memerlukan intensitas cahaya minimal lebih rendah bagi pemicuan
pembentukan klorofil.

24

gen cab

hv

Pr

apoprotein Light Harvesting
Complex II
Pfr

hv

ALA

PChl

Chl

(klorofil dalam LHC II)

Gambar 4. Peranan cahaya dalam pembentukan klorofil daun ( Mohr dan Schopfer, 1995)

PChl a

Pchl b

Chlide a

Chlide b

Chl a

Chl b

cahaya

Gambar 5. Peranan cahaya pada proses pembentukan klorofil a dan b (Schoefs dan
Bertrand, 1997).
Johnston dan Onwueme (1998) menunjukkan daun talas yang dinaungi memiki
kandungan klorofil lebih tinggi dan rasio klorofil a/b lebih rendah. Fenomena yang sama
diungkapkan oleh Zhao dan Oosterhuis (1998) terjadi pada kapas (Gossypium hirsutum).
Selanjutnya, Sopandie et al (2003) menunjukkan bahwa genotipe padi yang toleran naungan
meningkatkan jumlah klorofil lebih banyak, baik secara kuantitas maupun persentase bila
diberi perlakuan naungan. Rasio klorofil a/b (klorofil a terhadap klorofil b) pada kedua jenis
padi yang dinaungi menurun, tetapi penurunan pada genotipe yang toleran naungan lebih
besar.

25

Cahaya dan Tanaman
Matahari adalah sumber energi bagi kehidupan. Besarnya radiasi surya yang diterima
oleh suatu area di bumi pada satu hari dipengaruhi oleh: (a) sudut sinar terhadap titik
tersebut, (b) panjang hari, (c) besarnya atmosfir yang dilalui sinar, dan (4) partikel di
atmosfir. Pada daerah tropik sudut sinar dan panjang hari hampir tetap. Besarnya atmosfir
yang dilalui tergantung kepada waktu harian. Pada sekitar jam 12 siang matahari tepat tegak
lurus di atas, sehingga jarak atmosfer yang dilalui paling pendek. Pada pagi hari atau sore
hari matahari membentuk sudut lancip dengan permukaan bumi dan jarak atmosfir yang
dilalui sinar matahri lebih panjang. Pada daerah tropis basah partikel air (awan) dan asap
bisa menyebabkan cahaya yang sampai ke permukaan bumi berkurang (Gardner et al.,
1990).
Karakteristik Cahaya
Cahaya yang bisa dimanfaatkan untuk fotosintesis adalah cahaya tampak, yaitu cahaya
dengan panjang gelombang 400 - 700 nm. Spektrum cahaya pada gelombang tersebut
meliputi cahaya ungu, biru, hijau, kuning, oranye, merah. Cahaya infra merah (tidak termasuk
cahaya tampak) mempunyai panjang gelombang 700 - 1000 nm. Energi matahari berada
dalam foton yang bisa bergerak secara bergelombang. Reaksi cahaya pada proses
fotosintesis diawali saat absorpsi foton oleh pigmen klorofil.
PFD (photon flux density) adalah banyaknya foton yang mengenai suatu luasan
permukaan per satuan waktu. PPFD (photosyntetic photon flux density) atau PAR
(photosynthetically active radiation) adalah PFD yang terbatas pada panjang gelombang
paling efisien bagi fotosintesis yaitu 400 - 700 nm.
Intensitas cahaya rendah berarti cahaya ber-PFD rendah sehingga PPFD-nya juga
rendah. Pada situasi ternaungi oleh tanaman perkebunan atau paranet PPFD yang diterima
permukaan daun tidak konstan. Maka, besarnya foton yang diterima daun bukanlah hasil
perkalian PPFD (X) kali waktu (T) atau X.T, tetapi merupakan kumpulan hasil Xi.Ti setiap
saat atau ∑(Xi.Ti).
Sinar matahari yang berpengaruh terhadap tanaman meliputi tiga komponen, yaitu: (a)
energi radiasi atau intensitas cahaya, (b) lama penyinaran, (c) kualitas cahaya (panjang
gelombang). Sedikit perbedaan pada panjang gelombang bisa punya pengaruh banyak
terhadap tanaman, seperti pengaruh cahaya merah (red) dan merah panjang (far red).

26

Berdasarkan perbedaan responnya terhadap panjang hari tanaman digolongkan pada
tanaman hari netral, hari pendek dan hari panjang. Kedelai termasuk tanaman hari pendek
(Dennis, 1988; Tomkins dan Shipe, 1996). Pada panjang hari melebihi 15 jam kedelai tidak
atau terlambat berbunga. Dari berbagai percobaan diketahui bahwa yang menginduksi
pembungaan adalah panjang masa gelapnya. Perlakuan fotoperiodisme pada tahap R5 (awal
pembentukan biji) menunjukkan kandungan total karbohidrat nonstruktural (TNC) di daun
lebih besar pada perlakuan hari panjang daripada perlakuan hari pendek (Cure et al, 1985).
Efek paling nyata dari fotoperiodisme adalah: (a) jumlah buku dari batang utama, (b) tinggi
tanaman, (c) permulaan berbunga. (d) umur kematangan biji.
Energi cahaya rendah hanya untuk menginduksi inisiasi pembungaan, sementara untuk
perkembangan bunga selanjutnya diperlukan energi cahaya yang lebih tinggi. Buktinya,
produksi bunga turun drastis karena naungan. Pada apel penurunan menjadi 37%, 25% dan
11% cahaya penuh menurunkan pembungaan berturut-turut sebesar 40%, 56%, dan 76%
(Masaya dan White, 1993).
Cahaya dan Fitokrom
Durasi periode malam (gelap) diterjemahkan dalam sel tanaman oleh fitokrom (
Masaya dan White, 1993). Penghitungan malam dimulai dari suatu tingkat Pr dalam
tanaman. Semakin tinggi Pr berarti semakin banyak Pfr menyerap gelombang infra merah,
yaitu situasi gelap. Respon fotoperiodisme hanya perlu flux cahaya 15 lux. Ini sangat rendah
mengingat cahaya matahari normal sekitar 50 - 100 klux. Jadi pengaruh fotoperiodisme tidak
berhubungan dengan fotosintesis (Dennis, 1988).
Fitokrom seringkali dihubungkan dengan kondisi aktif suatu enzim karena perlakuan
cahaya. Fitokrom juga menyebabkan rangsangan terhadap pembentukan rubisco subunit
kecil, klorofil a dan b. Gen-gen yang mengatur pembentukan rubisco subunit kecil dan
protein klorofil a/b pada komplek penangkapan cahaya diaktifkan oleh cahaya melalui
mekanisme perubahan fitokrom (Taiz dan Zeiger, 1991).
Faktor Pembatas pada Fotosintesis
Kecepatan fotosintesis dibatasi dan ditentukan oleh langkah yang paling lambat.
Langkah yang paling lambat tersebut bisa disebabkan oleh faktor lingkungan seperti
ketersediaan cahaya, konsentrasi CO2 atau air. Kedua faktor tersebut bersama dengan
faktor dalam tanaman sendiri menentukan tiga langkah pembatas fotosintesis yaitu: aktivitas

27

rubisco, regenerasi RuBP, dan metabolisme triosfosfat. Kenyataan di alam menunjukkan
bahwa dua langkah pertama yaitu aktivitas rubisco dan regenarasi RuBP yang sering menjadi
faktor pembatas utama. Fakta bahwa daun yang dinaungi daun lain memiliki kecepatan
fotosintesis yang lebih rendah bisa disebabkan oleh faktor pembatas di atas (Taiz dan Zeiger,
1991).
Naungan pada padi menurunkan produktivitas karena perkembangan biji terganggu
dan indeks panen rendah. Naungan juga menyebabkan karbohidrat rendah dan nitrogen
terlarut meningkat sehingga banyak bakal biji menjadi seteril.

Selanjutnya, naungan