EFEK MODEL PEMBELAJARAN INQUIRY TRAINING DAN PENALARAN FORMAL TERHADAP KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA.

EFEK MODEL PEMBELAJARAN INQUIRY TRAINING DAN
PENALARAN FORMAL TERHADAP
KETERAMPILAN PROSES
SAINS SISWA

TESIS

Diajukan dan Untuk Memenuhi Persyaratan
Dalam Memperoleh Gelar Magister Pendidikan
Pada Program Studi Pendidikan Fisika

Oleh :

ENI SUMANTI NASUTION
NIM : 8146176003

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
MEDAN
2016


ABSTRAK

Eni Sumanti Nasution. NIM. 8146176003. Efek Model Pembelajaran inquiry
training dan Penalaran Formal Terhadap Keterampilan Proses Sains Siswa. Tesis.
Medan: Program Pascasarjana Universitas Negeri Medan, 2016.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis : (1) keterampilan proses sains siswa
dengan menggunakan pembelajaran inquiry training lebih baik dibandingkan
dengan pembelajaran ekspositori, (2) keterampilan proses sains siswa pada
kelompok siswa yang mempunyai penalaran formal diatas rata-rata lebih baik
dibandingkan kelompok siswa yang mempunyai penalaran formal dibawah ratarata, dan (3) interaksi antara model pembelajaran inquiry training dan
pembelajaran ekspositori dengan penalaran formal dalam meningkatkan
keterampilan proses sains siswa.
Penelitian merupakan penelitian eksperimen dengan quasi eksperimen dengan
desain two group pretes-postest desaign. Populasi Penelitian ini adalah siswa
kelas X SMA IT Al-Fityan School Medan. Pemilihan sampel dilakukan secara
cluster random sampling. Sampel dibagi dalam dua kelas, kelas eksperimen yang
diajarkan dengan model pembelajaran inquiry training dan kelas kontrol diajarkan
dengan pembelajaran ekspositori. Instrumen penelitian ini menggunakan tes
keterampilan proses sains dalam bentuk observasi dan tes penalaran formal dalam

bentuk uraian serta telah dinyatakan valid dan reliabel. Data dalam penelitian ini
dianalisis dengan ANAVA dua jalur.
Hasil penelitian melalui analisis uji hipotesis bahwa ada perbedaan nilai signifikan
yang positif antara efek model pembelajaran, penalaran formal terhadap
keterampilan proses sains dan efek model pembelajaran dengan penalaran formal
terhadap keterampilan proses sains siswa. Kesimpulan menunjukkan bahwan: (1)
model pembelajaran inquiry training
lebih baik dibandingkan dengan
pembelajaran ekspositori, (2) keterampilan proses sains siswa pada kelompok
siswa dengan penalaran diatas rata-rata lebih baik dibandingkan dengan kelompok
siswa dengan penalaran formal dibawah rata-rata, dan (3) terdapat interaksi antara
model pembelajaran inquiry training dan penalaran formal dalam meningkatkan
keterampilan proses sains siswa.
Kata Kunci : inquiry training, ekspositori, Penalaran formal, Keterampilan Proses
Sains.

i

ABSTRACT


Eni Sumanti Nasution. Roll No. 8146176003. The Effects of Inquiry Training
Learning Model and Formal Reasoning on Students’ Science Process Skills.
A Thesis. Medan: Post Graduate School, State University of Medan, 2016.
This research aimed to analyze : (1) the students’ science process skills by using
inquiry training learning model were better than using expository learning, (2)
students’ science process skills in the group of students who had formal reasoning
above average were better than those students who had formal reasoning below
average, and (3) interaction inquiry training learning model and expository
learning model with formal reasoning of the students’ science process skills.
This research carried out by a quasi-experimental and desaign was two group
pretes-postest desaign. The population of this study was class X SMA IT AlFityan School Medan. Sample selection was done by cluster random sampling.
Sample devided two class, eksperimen class by using inquiry training learning
model and control class by using expository. The instruments of this study used
science process skills test in the form of a observations and formal reasoning test
in the form of a description which were valid and reliable. The formal reasoning
test was in narrative form. The data were analyzed by ANOVA two -ways.
The results by analyzed hypothesis tes that there were different significant value
postive between effect learning model, formal reasoning to students’s science
process skill and effect learning with formal reasoning to students’s science
process skill. The Conclusion showed that : (1) The student s’ physics science

process skills by using inquiry training learning model were better than learning
outcomes of using expository learning model, (2) students’ science process skills
in the group of students who had formal reasoning above average were better than
the group of students had formal reasoning below average and (3) there were
interactions between the inquiry training learning model and expository learning
model with formal reasoning in improving students' science process skills.
Keywords: Inquiry Training, Expository, Formal Reasoning, Science Process
Skills.

ii

KATA PENGANTAR

Segala Puji Syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha
Esa kareana atas berkat dan pertolongan-Nya tesis yang berjudul “Efek Model
Pembelajaran Inquiry Training dan Penalaran Formal Terhadap Keterampilan
Proses Sains Siswa” dapat selesai ditulis. Penulis menyadari tesis ini dapat
selesai berkat adanya bantuan moril maupun materil dari berbagai pihak. Untuk
itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada :
1.


Bapak Prof. Dr. Sahyar, M.S., M.M selaku Ketua Program Studi Pendidikan
Fisika Pascasarjana dan Pembimbing II yang selalu setia memberikan
bimbingan dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis
ini.

2.

Bapak Prof. Dr. Nurdin Bukit, M.Si selaku Pembimbing I yang selalu
memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan
penulisan tesis ini.

3.

Ibu Prof. Dr. Retno Dwi Suyanti, M.Si selaku narasumber yang memberikan
masukan guna kesempurnaan tesis ini.

4.

Bapak Dr. Ridwan Sani, M.Si selaku narasumber yang memberikan masukan

guna kesempurnaan tesis ini.

5.

Ibu Dr. Derlina, M.Si selaku narasumber yang memberikan masukan guna
kesempurnaan tesis ini.

iii

6.

Bapak Kepala Sekolah SMA IT Al-Fityan School Medan yang telah
memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian.

7.

Seluruh pegawai perpustakaan UNIMED yang telah memberikan kemudahan
dan bantuan kepada penulis dalam pembacaan dan peminjaman buku-buku.

8.


Suamiku tercinta Ali Mukmin Hasibuan yang telah memberikan motivasi
dalam penulisan tesis ini.

9.

Orangtuaku tercinta Masri Nasution dan Roslina Simatupang yang telah
memberikan segala semangat dan perjuangan hidup yang telah ditanamkan di
jiwaku yang tak pernah lekang waktu. Serta kepada saudara-saudariku yang
telah memberikan dukungan kepada penulis.

10. Rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Fisika Kelas B Eksekutif
dan adek-adek kosku tercinta.
Doa dan harapan penulis semoga Tuhan Yang Maha Pengasih dan
Penyayang membalas kebaikan dan bantuan yang telah saudara berikan kepada
penulis.
Akhir kata penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat
kepada para pembacanya.

Medan,


Maret 2016

Penulis

Eni Sumanti Nasution

iv

DAFTAR ISI

Abstrak
Abstrac
Kata Pengantar
Daftar isi
Daftar Tabel
Daftar Gambar
Daftar Lampiran

i

ii
iii
v
viii
x
xi

BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Identifikasi Masalah
1.3. Pembatasan Masalah
1.4. Rumusan Masalah
1.5. Tujuan Penelitian
1.6. Manfaat Penelitian
1.7. Defenisi Operasional

1
1
13
14

14
15
15
17

BAB II. KAJIAN PUSTAKA
2.1
Kerangka Teoritis
2.1.1. Model Pembelajaran
2.1.2. Pembelajaran Ekspositori
2.1.2.1 Pengertian Pembelajaran Ekspositori
2.1.2.2 Fase-fase Pembelajaran Ekspositori
2.1.2.3 Keunggulan dan Kelemahan Pembelajaran Ekspositori
2.1.3. Model Pembelajaran Inquiry Training
2.1.3.1 Pengertian Model Pembelajaran Inquiry Training
2.1.3.2 Sintaks Model Pembelajaran Inquiry Training
2.1.3.3 Dampak Instruksional Model Inquiry Training
2.1.3.4 Keunggulan dan Kelemahan model Inquiry Training
2.1.4. Penalaran Formal
2.1.4.1 Pengertian Penalaran Formal

2.1.4.2 Indikator Penalaran Formal
2,1,5. Keterampilan Proses Sains
2.1.5.1 Pengertian Sains
2.1.5.2 Pengertian Keterampilan Proses Sains
2.1.2.3 Indikator Keterampilan Proses Sains
2.1.6. Teori Belajar yang Mendukung Inquiry Training
2.1.6.1 Teori Belajar Konstruktivisme
2.1.6.2 Teori Belajar Jerome S. Brunner
2.1.6.3 Teori Belajar Piaget
2.1.6.4 Teori Belajar M. Gagne
2.1.7. Penelitian yang Relevan
2.2
Kerangka Konseptual
2.3
Hipotesis Penelitian

18
18
18
20
20
22
23
24
24
27
30
31
33
33
34
37
37
39
41
46
48
50
51
53
58
63
69

v

BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1.
Tempat dan Waktu Penelitian
3.2
Populasi dan Sample
3.2.1
Populasi Penelitian
3.2.2
Sampel Penelitian
3.3
Jenis dan Desain Penelitian
3.3.1
Jenis Penelitian
3.3.2
Desain Penelitian
3.4
Prosedur dan Pelaksanaan Penelitian
3.5
Variabel Penelitian
3.6
Instrumen Penelitian
3.6.1. Instrumen Keterampilan Proses Sains
3.6.1.1 Hasil Uji Coba Instrumen
3.6.1.2 Reliabilitas Tes Keterampilan Proses Sains
3.6.1.3 Tingkat Kesukaran Keterampilan Proses Sains
3.6.1.4 Daya Beda Tes Keterampilan Proses Sains
3.6.2. Instrumen Penalaran Formal
3.7
Teknik Analisis Data
3.7.1. Simpangan Baku
3.7.2. Uji Normalitas Data
3.7.3. Uji Homogenitas Data
3.7.4. Uji Hipotesis

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1.
Hasil Penelitian
4.1.1
Deskripsi Hasil Penelitian
4.1.2. Analisis Statistika Data Hasil Penelitian Pretes
4.1.2.1 Deskripsi Data Pretes
4.1.2.2 Uji Normalitas
4.1.2.3 Uji Homogenitas
4.1.2.4 Uji Kemampuan Awal Keterampilan Proses Sains
4.1.3
Analisis Statistika Data Hasil Penelitian Postes
4.1.3.1 Perlakuan dalam Pelaksanaan Penelitian
4.1.3.2 Deskripsi Data Postes Keterampilan Proses Sains
4.1.3.3 Uji Normalitas
4.1.3.4 Uji Homogenitas
4.1.4
Hasil Instrumen Penalaran Formal
4.1.5
Analisis Hasil Penelitian
4.1.5.1 Analisis Data Postes Keterampilan Proses Sains
4.1.5.2 Analisis Data Keterampilan Proses Sains Berdasarkan
Tingkat Kemampuan Penalaran Formal
4.2
Pengujian Hipotesis
4.3.
Pembahasan Hasil Penelitian
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan

vi

70
70
70
70
71
71
71
71
74
76
77
77
81
84
86
87
89
90
91
91
92
93

95
95
95
95
98
98
99
100
100
104
107
107
108
111
111
112
113
125

136

5.2.

Saran

137

DAFTAR PUSTAKA

138

vii

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Fase-fase Pembelajaran Ekspositori

22

Tabel 2.2 Fase-fase Model Pembelajaran Inquiry Training

28

Tabel 2.3 Indikator dan Subindikator Keterampilan Proses
Sains

43

Tabel 2.4 Tahap-tahap Perkembangan Kognisi Menurut
Piaget

52

Tabel 2.5 Penelitian yang mengangkat Model Pembelajaran
Inquiry Training

58

Tabel 3.1. Control Grup Pretest-Posttest Design

72

Tabel 3.2 Desain Penelitian Anava 2 Jalur

72

Tabel 3.3 Kisi-kisi Keterampilan Proses Sains

78

Tabel 3.4 Rubrik Penilaian Keterampilan Proses Sains

79

Tabel 3.5 Validitas Tes Keterampilan Proses Sains

83

Tabel 3.6 Realibilitas Tes Keterampilan Proses Sains

86

Tabel 3.7 Tingkat Kesukaran

87

Tabel 3.8 Daya Beda

88

Tabel 3.9 Rubrik Penilaian Instrumen Penalaran Formal

89

Tabel 3.10 Kisi-Kisi Soal Penalaran Formal

90

Tabel 4.1 Data Pretes Kemampuan Keterampilan Proses Sains

96

Tabel 4.2 Uji Normalitas Data Pretes

98

Tabel 4.3 Uji Homogenitas Data Pretes

99

Tabel 4.4 Uji Kesamaan Pretes Keterampilan Proses Sains

100

Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
Tabel 4.5 Nilai Postes Keterampilan Proses Sains Pada Kelas Kontrol

105

Dan Kelas Eksperimen
Tabel 4.6 Normalitas Distribusi Postes Kelas Eksperimen dan

107

Kelas Kontrol
Tabel 4.7 Homogenitas Dua Varians Tes Akhir (Postes) Kelas

108

Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
Tabel 4.8 Data Penalaran Formal Siswa Gabungan Kedua Kelas
viii

109

Eksperimen dan Kelas Kontrol
Tabel 4.9 Keterampilan Proses Sains Siswa Berdasarkan Tingkat

110

Penalaran Formal
Tabel 4.10 Analisis Data Keterampilan Proses Sains Berdasarkan

112

Tingkat Kemampuan Penalaran Formal
Tabel 4.11 Hasil Uji Anava Dua Jalur

114

Tabel 4.12 Data Faktor Antar Subjek

115

Tabel 4.13Uji Homogenitas Antar Kelompok

115

Tabel 4.14 Statistik Deksriptif Anava

116

Tabel 4.15 Uji Anava

117

Tabel 4.16 Ringkasan Hasil Perhitungan Uji Scheff (Pos_Hoc)

123

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar

2.1 Bagan Model Inkuiri Suchman

26

Gambar

2.2 Dampak Model Pembelajaran Inquiry Training

31

Gambar

2.3 Fase-fase Kegiatan/peristiwa Belajar

54

Gambar

3.1 Bagan Alur Pelaksanaan Penelitian

76

Gambar

4.1 Histogram Data Pretes Kelas Kontrol

97

Gambar

4.2 Histogram Data Pretes Kelas Eksperimen

97

Gambar

4.3 Hasil Data Observasi Keterampilan Proses Sains Siswa

102

Gambar

4.4 Nilai Rata-rata Uji Lembar Kerja Siswa

103

Gambar

4.5 Histogram Data Postes Kelas Kontrol

106

Gambar

4.6 Histogram Data Postes Kelas Eksperimen

107

Gambar

4.7 Diagram Postes dan Pretes Kelas Eksperimen dan
Kontrol

111

Gambar

4.8 Pola Garis Interaksi Antara Model Pembelajaran
Dan Penalaran Formal Siswa Terhadap Keterampilan
Proses Sains

122

Gambar

4.9 Hubungan model pembelajaran dengan nilai rata-rata
KPS

126

Gambar

4.10 Hubungan Tingkat Penalaran Formal dengan nilai
rata-rata KPS

Gambar

4.11 Hubungan Model Pembelajaran dengan nilai rata-rata
KPS yang memiliki Penalaran Formal diatas rata-rata
Dan dibawah rata-rata

x

130
132

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Silabus Pembelajaran
RPP Pertemuan I
Bahan Ajar I Pengaruh Kalor Terhadap Suhu
LKS I
RPP Pertemuan II
Bahan Ajar II Perubahan Wujud Zat
LKS II
RPP Pertemuan III
Bahan Ajar III Asas Black dan Perpindahan
Kalor
10. LKS III
11. Instrumen Keterampilan Proses Sains
12. Instrumen Penalaran Formal
13. Tabel Sebaran Data Uji Coba Keterampilan Proses Sains
14. Uji Validasi Tes Keterampilan Proses Sains
15. Realibilitas
16 Tabel Tingkat Kesukaran Keterampilan Proses Sains
17. Tabel Penolong Daya Beda Keterampilan Proses Sains
18 Tabulasi Hasil Jawaban Penalaran Formal Eksperimen
19 Tabulasi Hasil Jawaban Penalaran Formal Kontrol
20. Tabulasi Hasil Jawaban Pretes Kelas Kontrol
21. Tabulasi Hasil Jawaban Pretes Kelas Eksperimen
22. Tabulasi Hasil Jawaban Postes Kelas Kontrol
23. Tabulasi Hasil Jawaban Postes Kelas Eksperimen
24. Deskriptif Statistik Data Penelitian
25. Uji Normalitas
26. Uji Homogenitas
27. Uji Kesamaan Sample Tes
28 Uji Anava dua jalur
29. Uji Scheeff
30. Rubrik Penilaian Kriteria Penilaian Keterampilan
Proses Sains
31. Rekap Nilai Lembar Kegiatan Siswa Setiap Pertemuan
32 Rekap Nilai Observasi Aktivitas KPS Setiap Pertemuan
33 Dokumentasi

xi

144
146
155
166
172
182
191
196
206
215
223
228
233
234
237
238
239
240
241
242
243
244
245
246
249
250
251
252
253
254
259
260
261

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Prof.

Langeveld

seorang

ahli

pedagogik

dari

negeri

Belanda

mengemukakan batasan pendidikan, bahwa pendidikan ialah suatu bimbingan
yang diberikan oleh orang dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk
mencapai tujuan, yaitu kedewasaan. Bimbingan ada beberapa aspek yang
berhubungan dengan usaha pendidikan, yaitu bimbingan sebagai suatu proses,
orang dewasa sebagai pendidik, anak sebagai manusia yang belum dewasa, dan
yang terakhir adalah tujuan pendidikan. Dengan menggunakan istilah bimbingan,
secara filosofi bahwa pendidikan itu merupakan suatu usaha yang disadari, bukan
suatu perbuatan serampangan begitu saja, harus dipertimbangkan segala akibat
dari perbuatan pendidikan itu (Salam, 2011).
Pendidikan adalah salah satu bentuk perwujudan kebudayaan manusia
yang dinamis dan sarat perkembangan. Oleh karena itu, perubahan atau
perkembangan pendidikan adalah hal yang memang seharusnya terjadi sejalan
dengan perubahan kehidupan. Perubahan dalam arti perbaikan pendidikan pada
semua tingkat perlu terus menerus dilakukan antisipasi kepentingan masa depan
(Trianto, 2011).
Pendidikan merupakan proses yang dilakukan dalam mentransfer atau
mengalihkan nilai-nilai, pandangan hidup, visi, misi, kepercayaan, kebudayaan,
dan berbagai simbol yang digunakan dalam mengekspresikan pengetahuan dan

2

teknologi kepada generasi muda sehingga komunikasi sosial antara generasi tua
tua dan generasi muda dapat berjalan dengan lancar (Jamaris, 2013).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah suatu
proses manusiawi berupa tindakan komunikatif, dialogis, transformatif antara
peserta didik dan pendidik yang bertujuan etis, yaitu membantu pengembangan
kepribadian peserta didik seutuhnya dalam konteks lingkungan ilmiah

dan

kebudayaan yang berkeadaban. Oleh sebab itu, pendidikan adalah usaha sadar
yang terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spritual keagaamaan, pengendalian diri, kecerdasarn, akhak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Dewasa ini, kita lihat bahwa sebagian besar pola pembelajaran masih
bersifat transmisif, pengajar mentransfer menggerojokkan konsep-konsep secara
langsung pada peserta didik. Dalam pandangan ini, siswa secara pasif menyerap
struktur pengetahuan yang diberikan guru atau yang terdapat dalam buku
pelajaran. Pembelajaran hanya sekedar penyampaian fakta, konsep, prinsip, dan
keterampilan kepada siswa (Clement & Battista, 2001). Senada dengan itu,
Soedjadi (2000) menyatakan, bahwa dalam kurikulum sekolah di Indonesia
terutama mata pelajaran eksak (matematika, fisika, kimia) dan dalam
pengajarannya selama ini terpatri kebiasaan dengan sajian pembelajaran sebagai
berikut : (1) Diajarkan teori/teorema/defenisi; (2) Diberikan contoh-contoh; dan
(3) diberikan latihan soal-soal (Trianto, 2011).
Berdasarkan hasil survei pendahuluan peneliti yang telah dilakukan dari
31 orang siswa di SMA IT Al-Fityan dengan melakukan tes berupa angket

3

ditemukan bahwasanya dalam kegiatan belajar mengajar siswa dalam

kelas

ternyata sebanyak 54,8 % menyatakan pembelajaran langsung dengan mencatat
dari guru yang bersangkutan dan mengerjakan soal-soal sebesar 45,16%,
menyatakan diskusi dan tanya jawab berupa kuis untuk penambahan nilai berupa
review terhadap pelajaran sebelumnya yang diberikan berupa soal-soal fisika
sebanyak 20%, dan untuk praktikum berdasarkan hasil angket menyatakan jarang
dilakukan oleh guru yang bersangkutan.
Proses pembelajaran yang seperti ini merupakan proses pembelajaran
dengan pendekatan Teaching learning center, yang artinya guru lebih dominan
dan aktif saat proses pembelajaran langsung. Sedangkan siswa hanya mencatat,
mendengar dan memperhatikan atau secara sederhananya siswa menjadi pasif dan
dibebankan

menyelesaikan

permasalahan

yang

merupakan

permasalahan

perhitungan. Sehingga siswa lebih ditekan dalam penguasaan matematis. Fisika
merupakan salah satu mata pelajaran di sekolah menengah atas yang sering
dikeluhkan kesulitannya. Kemampuan siswa dalam memahami pelajaran fisika
masih dalam kategori rendah. Rata-rata siswa Indonesia hanya mempunyai
pengetahuan dasar matematika tetapi tidak cukup untuk memecahkan masalah
rutin (manipulasi bentuk, memilih strategi, dan sebagainya) dan masalah non-rutin
(penalaran inuitif dan induktif berdasarkan pola dan kerugelaran), selain itu siswa
Indonesia belum mampu menerapkan konsep-konsep yang kompleks dan abstrak.
Proses pembelajaran dengan pendekatan Teaching Learning Center seperti
ini yang kemudian menghambat keterampilan poses sains siswa. Karena siswa
tidak difasilitasi dalam mengembangkan keterampilannya dalam proses sains.
Pada Hakikatnya IPA dibangun atas dasar produk ilmiah, proses ilmiah, dan sikap

4

ilmiah. Selain itu, IPA dipandang pula sebagai proses, sebagai produk, dan
sebagai prosedur. Secara khusus fungsi dan tujuan IPA berdasarkan kurikulum
berbasis kompetensi (Depdiknas, 2003) adalah sebagai berikut : (1) menanamkan
keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (2) mengembangkan keterampilan,
sikap, dan nilai ilmiah, (3) mempersiapkan siswa menjadi warga negar yang
melek sains dan teknologi, (4) menguasai konsep sains untuk bekal hidup di
masyarakat dan melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi (Trianto, 2013).
Keterampilan proses sains melibatkan keterampilan intelektual, manual,
dan sosial yang digunakan untuk membangun pemahaman terhadap suatu konsep
atau gagasan/pengetahuan dan meyakinkan atau menyempurnakan pemahaman
yang sudah terbentuk. Hal ini penting dimiliki oleh setiap individu sebagai modal
dasar seseorang agar memecahkan masalah hidupnya dalam kehidupan sehari-hari
(Dahar, 1996). Siswa sebagai subyek dan sekaligus obyek pembelajaran
hendaknya memiliki kemampuan dan tersebut (meliputi kemampuan/keterampilan
dalam melakukan pengamatan, klasifikasi, pengukuran, menyusun hipotesis,
merancang serta melakukan eksperimen, menarik kesimpulan, meramalkan, dan
mengkomunikasikan hasil eksperimen) (Menda, 2014).
Keterampilan proses sains harus dilatihkan agar siswa dapat berpikir
kreatif dan lebih memahami sains. Fisika dengan karakteristiknya merupakan
salah satu media yang cukup baik dalam melatih kemampuan keterampilan proses
sains tersebut. Kompetensi sains pada jenjang pendidikan SMA yang ingin
dicapai adalah mampu mengalami proses pembentukan dan melakukan inquiry
ilmiah melalui pengamatan dan penelitian sederhana.

5

Dari data percobaan untuk tes pendahuluan untuk melihat hasil
keterampilan siswa pada SMA IT AL-Fityan dari 31 orang siswa yang telah di uji
coba, diperoleh bahwa

untuk indikator paling tinggi terdapat 24 % yang

menjawab betul, disusul oleh hipotesis terhadap suatu percobaan sebanyak 19%,
kemudian mengklasifikasikan suatu data terdapat 15 %, dalam menerapkan
konsep keterampilan sains dalam kehidupan sehari-hari adalah 11%, untuk proses
mengamati,

merancang

percobaan,

meramalkan,

menyimpulkan

dan

mengkomunikasikankan sangat rendah yaitu berada dibawah 5 % bahkan ada
yang 0 %. Untuk hasil belajar dari keseluruhan siswa dari nilai Kriteria
Ketuntasan Minimal (KKM) yang diberikan oleh guru bidang studi sebesar 75 %,
maka dari hasil observasi didapatkan untuk nilai KKM-nya sangat rendah yaitu 9
%. Ini dapat dilihat dari data observasi siswa bahwa cukup memuaskan adalah
3,22 % (nilai antara 60-50), 48,38 % untuk kriteria kurang memuaskan (nilai 4030), tidak memuaskan adalah 48,38 % (nilai 20-10). Dari data tersebut tidak ada
seorang siswa yang bisa mencapai KKM yang telah diterapkan oleh sekolah.
Masih berdasarkan studi pendahuluan, ternyata rendahnya keterampilan
proses sains siswa disebabkan bahwa tidak tertariknya siswa kepada pelajaran
materi fisika, dimana dari 31 orang siswa yang telah diberikan angket terdapat
beberapa mata pelajaran yang tidak disukai diantaranya : Bahasa inggris 25,81 %,
Fisika 22,58 % (disini dengan catatan yang sebagaian suka hanya berupa
prakteknya saja untuk masalah konsep mereka tidak menyukainya), Matematika
19,35 %, seni budaya 12,9%, Bahasa Arab dan Kimia adalah 6,45 %, Biologi dan
PKN 3,23 %. Dengan dilihat dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa siswa

6

tersebut yang lebih menggemari mata pelajaran yang dapat dipraktekkan
langsung.
Ketidaktertarikan dari siswa ini dapat dilihat bahwa berdasarkan angket
yang disebarkan bahwa mereka tidak suka dengan penyampaian materi, karena
menurut dari siswa tersebut materi yang dijelaskan berbelit-belit hanya diterapkan
melalui penjelasan materi berupa rumus-rumus dari fisika yang kemudian
diarahkan untuk mengerjakan soal-soal materi yang ada. Disamping itu dalam
pembelajaran fisika jarang dilakukannya praktikum di sekolah oleh guru yang
bersangkutan dan tidak adanya Lembar Kegiatan Siswa (LKS). Berdasarkan hasil
angket untuk media pembelajarannya melalui buku paket yang ada disekolah
sebesar 58,06%, internet sebesar 32,26 %, catatan guru sebesar 12,9%, guru fisika
yang lain sebesar 12,9% dan dari artikel 6,4 %.’
Berdasarkan data dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada
tahun 2011 jumlah sekolah menengah atas 11.306 tersebar di seluruh Indonesia,
dari jumlah tersebut sebagian berada di daerah-daerah terpencil atau kepulauan
yang sulit transportasi dan sarana pendukung lainnya . Pada umumnya sekolahsekolah tersebut sangat kurang sarana dan prasarana khususnya peralatan
laboratorium IPA, sedangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan mewajibkan
ujian praktik bagi mata pelajaran IPA (Fisika, Kimia dan Biologi). Menurut
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP : 2006), Sekolah Menengah
Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA) harus memiliki sarana: perabot, peralatan
pendidikan, media, bahan habis pakai, dan perlengkapan lainnya, serta prasarana
laboratorium. Adapun kondisi Laboratorium IPA 8.886 SMA Negeri/Swasta
(Data Balitbang Depdiknas : 2005), memiliki laboratorium IPA (gabung) 26,20%,

7

memiliki laboratorium IPA (2 Laboratorium terpisah) 18,62%, memiliki
laboratorium fisika, biologi, kimia (3 laboratorium terpisah) 24,18%, memiliki
laboratorium IPA 69%, dan belum memiliki laboratorium IPA 31%. Kondisi
gedung laboratorium IPA baik 41%, rusak berat 33%, rusak ringan 26%. Keadaan
alat/ bahan lengkap 27%, dan belum lengkap 73%. Penggunaan laboratorium IPA
dengan frekuensi tinggi 36%, Sedang 31%, rendah 33%. Memiliki laboran IPA
17,72% (Suprayitno, 2011).
Berdasarkan uraian mengenai penelitian Balitbag Depdiknas diatas
mengenai laboratorium, setelah peneliti melakukan wawancara dengan Bapak
Solikin, S.Pd yang telah dilakukan di sekolah SMA IT Al-Fityan Medan,
menjelaskan kondisi dan alat praktikum IPA terutama fisika di SMA IT Al-Fityan
adalah 80 % baik. Adapun dalam pelaksanaan laboratorium jarang dilakukan oleh
guru untuk melatih keterampilan proses sains siswa, disamping itu penggunaan
LKS siswa hanya dilakukan berdasarkan buku paket yang ada.
Adapun dalam proses pembelajaran yang dilakukan setelah dilakukan
wawancara dengan guru fisika di SMA Al-Fityan adalah dalam pembelajaran
fisika kendala yang dihadapi oleh siswa adalah kurangnya matematika siswa
sehingga ketika mengerjakan soal siswa mengalami kesulitan. Disamping itu
dalam melakukan proses pembelajaran guru masih menggunakan model
ekpositori yang berupa pengajaran langsung ataupun disebut juga dengan
ceramah.
Penalaran formal penting untuk meningkatkan keterampilan proses sains
terutama dalam manipulasi data, pengontrolan variabel penelitian dan untuk

8

menentukan hubungan sebab akibat dalam memecahkan suatu permasalahan
(Baird, et al., 1985).
Pengertian penalaran formal secara luas adalah kemampuan bernalar
abstrak yang penting untuk mengerti banyak konsep dan prinsip ilmu

dan

membuat keputusan dalam suatu permasalahan umum (Yan, 1996). Penalaran
sangat diperlukan oleh siswa dalam memecahkan suatu masalah yang
dihadapinya.

Penalaran

hipotesis-deduktif

yaitu

peneliti

dalam

proses

memecahkan suatu masalah mengikuti proses penelitian dimana pertama kali
dihadapkan dari suatu permasalahan baru. Artinya ketika mereka dihadapkan
dengan masalah, mereka akan menggunakan suatu penalaran hipotesis-deduktif
(Gillani, 2010). Berdasarkan hasil dari soal yang telah dilakukan kepada siswa
berupa soal penalaran hanya 5 % rata-rata hasil belajar siswa dari target yang
dibuat sekolah sebesar 75%.
Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik suatu
kesimpulan berupa pengetahuan. Penalaran ini menghasilkan pengetahuan yang
dikaitkan dengan kegiatan berpikir dan bukan perasaan, meskipun seperti yang
dikatakan Pascal, hatipun mempunyai logika tersendiri (Jujun, 2010). Penalaran
adalah suatu metode penalaran induktif dan deduktif yang dikembangkan berupa
test hipotesis. Perkembangan penalaran ini berhubungan dengan pengetahuan
berupa fakta (Thoron dan Myers, 2012).
Berdasarkan uraian di atas, maka diperlukan suatu pendekatan
pembelajaran yang tepat dan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran
akan lebih bermakna dan informasi yang didapatkan akan bertahan lebih lama,
jika ada kaitan antara konsep awal siswa dengan konsep baru yang sedang

9

dipelajari (Dahar, 2006). Hal ini akan sesuai dengan pandangan konstruktivisme
yang mengungkapkan bahwa keberhasilan belajar tidak hanya tergantung pada
lingkungan atau kondisi belajar, tetapi juga pengetahuan siswa.
Battencourt (1989) menyatakan “ pengetahuan bukanlah suatu imitasi dari
kenyataan, dan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada”. Pengetahuan
selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif dari kenyataan yang terjadi
melalui serangkaian aktivitas seseorang. Seseorang (pebelajar) membentuk
skema, kategori, konsep, dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk
pengetahuan (Hamid, 2014).
Pengetahuan dibangun dalam diri seorang individu melalui proses
interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Proses ini tidak berjalan
terpatah-patah, terpisah-pisah, tetapi melalui proses yang mengalir, bersambungsambung, menyeluruh.(Uno, 2008).
Dalam proses pembelajaran dalam membangun pengetahuannya guru
mengambil peranan berupa menghidupkan interaksi, yaitu menjadi motor dari
proses belajar mengajar. Guru menjadi motivasi (pemberi dorongan), guru juga
menjelaskan, dan sebagainya. Guru merupakan tokoh utama dalam interaksi,
dialah memulai, memimpin proses, menghentikan proses (Sadulloh, 2011).
Menurut pandangan konstruktivisme, dalam pembelajaran siswa belajar
membangun pengetahuannya sendiri. Salah satunya adalah pada inquiry yang
merupakan salah satu model pembelajaran yang merujuk pada paham
konstruktivisme. Model inquiry adalah menggambarkan tentang mengajar dan
belajar ilmu pengetahuan. Menurut NSES Inquiry adalah mengacu kepada
ilmuwan dalam mempelajari alam dan menjelaskan berdasarkan bukti yang

10

berasal dari penelitian. Kegiatan ini mengacu pada kegiatan siswa dalam
mengembangkan dan pemahaman tentang ide ilmiah (Colburn, 2000). Salah satu
jenis model pembelajaran inquiry adalah model pembelajaran inquiry training.
Model pembelajaran inquiry training adalah model yang mengajarkan siswa
tentang proses dalam meneliti dan menjelaskan fenomena asing. Model Suchman
ini melibatkan siswa dalam versi-versi kecil tentang jenis-jenis prosedur yang
digunakan oleh para sarjana untuk mengolah pengetahuan dan menghasilkan
prinsip-prinsip. Didasarkan pada konsepsi metode ilmiah, model ini mencoba
mengajarkan siswa beberapa keterampilan dan bahasa penelitian ilmiah. Kegiatankegiatan inquiry training terdiri dari (1) menghadapkan pada masalah, (2)
Pengumpulan

data-verifikasi,

(3)

Pengumpulan

Data-Eksperimentasi,

(4)

Mengolah, memformulasikan suatu penjelasan, dan (5) Analisis Proses Penelitian
(Joyce, et al., 2009).
Menurut Eruce & Weil dalam Hosnan (2014)

menyebutkan “latihan

inquiry dapat menambah pengetahuan sains, menghasilkan berpikir kreatif,
keterampilan dalam memperoleh dan menganalisis data”. Menurut Rilley (1971)
Model inquiry training dapat meningkatkan keterampilan proses sains siswa
melalui keterampilan berupa observasi, inference, pengukuran, klasifikasi dan
komunikasi.
Disamping itu model pembelajaran inquiry training dapat meningkatkan
kualitas pembelajaran dan perkembangan kognitif siswa dengan cara siswa
dihadapkan dengan masalah, mengajarkan siswa tentang proses dan prosedur
seperti perencanaan dan komunikasi yang kompleks dan mendukung penelitian
otentik dan belajar mandiri bagi siswa ( Vaishnav, 2013).

11

Model inquiry training ini dapat meningkatkan nilai dan sikap ilmiah
termasuk

dalam

proses

keterampilan

(mengamati,

mengumpulkan

dan

mengorganisasi data, mengidentifikasi dan mengontrol variabel, merumuskan dan
menguji hipotesis dan penjelasan, menyimpulkan), belajar mandiri dan aktif,
toleransi ambiguitas dan berpikir logis (Jacinta dan Nkasiobi, 2011).
Hasil penelitian utama dari model inquiry training adalah proses-proses
yang

melibatkan

aktivitas

observasi,

mengumpulkan,

mengolah

data,

mengidentifikasi, mengontrol variabel, membuat dan menguji hipotesis,
merumuskan penjelasan. Dengan demikian model ini memadukan beberapa
keterampilan memproses kedalam satu unit pengalaman yang bermakna.
disamping itu juga model ini juga dapat meningkatkan keberanian siswa dalam
mengajukan pertanyaan-pertanyaan sehingga siswa lebih terampil dalam ekspresi
verbal dalam mendengarkan dan mengingat apa yang diutarakan (Joyce, et al.,
2009).
Richard Suchman dalam Wiyanto (2006), menyatakan Pendekatan inquiry
training dapat menganilisis metode yang biasa dikerjakan oleh peneliti, khususnya
oleh ilmuwan fisika. Setelah ia mengidentifikasi elemen-elemen dalam proses
inquiry

yang

biasa

mengimplementasikannya

dilakukan
dalam

oleh
model

ilmuwan,
pembelajaran

kemudian
dan

Suchman

menunjukkan

keefektifan itu didalam laboratorium.
Berdasarkan pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa model
pembelajaran inquiry training dapat meningkatkan keterampilan proses sains
siswa karena dalam inquiry ini melibatkan proses-proses berupa observasi,
mengumpulkan, mengolah data, mengontrol variabel, membuat hipotesis dan

12

menggambarkan kesimpulan yang dapat menjadikan siswa menjadi terampil
dalam memperoleh dan menganalisis informasi dalam mencari jawaban atas suatu
permasalahan.
Adapun penalaran ilmiah didefenisikan secara luas termasuk pemikiran,
keterampilan penalaran yang diperlukan dalam tahap inquiry berupa eksperimen,
evaluasi, inferensi, argumentasi yang mendukung dan memodifikasi konsep teori
pengetahuan IPA dan sosial. Dua jenis dari pengetahuan tersebut adalah
pengetahuan khusus dan pengetahuan umum yang telah banyak diteliti (Bao,
et.al., 2009).
Dari pendapat ahli tersebut maka inquiry training dapat meningkatkan
penalaran formal siswa dimana peneliti dalam proses memecahkan suatu masalah
mengikuti proses penelitian berupa eksperimen, evaluasi, inferensi, argumentasi,
mereka akan menggunakan suatu penalaran hipotesis-deduktive.
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan sebelumnya
antara lain : (1) model pembelajaran inquiry training dengan menggunakan media
sangat membantu dalam meningkatkan keterampilan proses sains siswa dan lebih
baik daripada model konvensional berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh,
(2014) Sakdiah, Fatmi dan Rizal, (2) model pembelajaran inquiry training dapat
meningkatkan hasil belajar fisika siswa pada materi usaha dan energi MTsN 3
Medan sebagaimana yang diteliti oleh Ratna Sirait (2012), (3) Inquiry terbimbing
dapat juga mengembangkan keterampilan proses sains siswa

dalam hal ini

peneliti melakukan dengan pembelajarannya melalui praktikum seperti yang
diteliti oleh Endah dan Kurniawa (2010), (4) penalaran dinyatakan penalaran
formal sangat mempengaruhi pembelajaran siswa yang dilakukan melalui model

13

pembelajaran inquiry dan bisa memperkuat hasil belajar siswa dibandingkan
dengan penalaran siswa yang dilakukan dalam penguasaan konsep fisika siswa
(Wirtha dan Rapi, 2008; Suma, 2012; Susanti, 2012).
Berdasarkan uraian latar belakang diatas kemudian peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai model pembelajaran inquiry training, dengan
judul “ Efek Model Pembelajaran Inquiry Training dan Penalaran Formal
Terhadap Keterampilan Proses Sains Siswa”.

1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dapat diidentifikasi
beberapa masalah sebagai berikut :
1) Keterampilan Proses sains siswa sangat rendah, hal ini ditandai dengan hasil
belajar yang telah diujicoba pada siswa pada tingkat tidak memuaskan
48,38%.
2) Penalaran Formal Fisika siswa rendah ini dibuktikan dengan rendahnya siswa
dalam menalar, menyimpulkan dan mengkomunikasikan suatu permasalahan
fisika.
3) Materi pelajaran fisika kurang diminati, siswa lebih berminat kepada
pembelajaran praktek.
4) Kegiatan belajar mengajar yang menjemukan yang hanya terpaku kepada
mencatat dan mengerjakan soal.
5) Sebagian besar media yang digunakan masih kurang karena dari hasil data
yang diperoleh menyatakan media yang digunakan adalah dari buku paket
yang ada disekolah.

14

6) Kurangnya waktu untuk praktikum fisika dan dimana LKS yang digunakan
hanya berasal dari buku paket siswa.
7) Dalam mengajar guru kurang kreatif dalam menerapkan model pembelajaran
apa yang seharusnya digunakan dalam suatu pembelajaran fisika.
8) Adanya kesalahan konsep fisika dari guru, dimana menurut pendapat guru
bahwa fisika itu menjadi kendala karena lemahnya matematika dari seorang
siswa tersebut.

1.3. Pembatasan Masalah
Setiap aspek dalam pembelajaran Fisika mempunyai ruang lingkup yang
sangat luas, agar tidak terlalu melebar, perlu pembatasan masalah dalam
penelitian ini agar lebih fokus, maka batasan masalahnya adalah :
1. Pembelajaran yang digunakan adalah Model pembelajaran Inquiry training
pada kelas eksperimen dan pembelajaran ekspositori pada kelas kontrol.
2. Dalam penelitian ini digunakan penalaran formal sebagai moderator dalam
penelitian.
3. Hasil belajar berupa pengetahuan keterampilan proses sains siswa.

1.4. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukan pada latar belakang masalah maka
permasalahan utama pada penelitian ini adalah :
1) Apakah keterampilan proses sains siswa antara kelas yang menggunakan
model pembelajaran inquiry training lebih baik dibandingkan dengan kelas
yang menggunakan pembelajaran ekspositori?

15

2)

Apakah

keterampilan proses sains siswa antara kelompok siswa yang

memiliki penalaran formal di atas rata-rata lebih baik dibandingkan dengan
kelompok siswa yang memiliki penalaran formal di bawah rata-rata?
3) Apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran inquiry training dan
pembelajaran ekspositori dengan penalaran formal dalam meningkatkan
keterampilan proses sains siswa?

1.5. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah maka tujuan dari penelitian ini adalah :
1) Untuk

menganalisis

keterampilan

proses

sains

antara

kelas

yang

menggunakan model pembelajaran inquiry training lebih baik dibandingkan
dengan kelas yang menggunakan pembelajaran ekspositori.
2)

Untuk menganalisis keterampilan proses sains antara siswa yang memiliki
penalaran formal di atas rata-rata lebih baik dibandingkan dengan yang
memiliki penalaran formal di bawah rata-rata.

3) Untuk menganalisis interaksi antara model pembelajaran inquiry training
dan pembelajaran ekspositori dengan penalaran formal siswa dalam
meningkatkan keterampilan proses sains siswa.

1.6.Manfaat Penelitian
Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara
teoritis dan praktis. Secara teoritis hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat
untuk memperkaya dan menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang model

16

pembelajaran inquiry training dalam meningkatkan keterampilan proses sains
siswa. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat :
1) Manfaat Teoritis
a. Memberikan inspirasi dalam mengembangkan model-model pembelajaran
kreatif dan inovatif fisika untuk meningkatkan pengetahuan keterampilan
proses sains siswa
b. Mengembangkan

penalaran

formal

siswa

untuk

meningkatkan

keterampilan proses sains siwa melalui model pembelajaran inquiry
training.
2) Manfaat Praktis
a. Untuk guru, sebagai informasi untuk menerapkan model pembelajaran
inquiry training
b. Untuk siswa, untuk membantu siswa agar termotivasi untuk terus
meningkatkan pengetahuan keterampilan proses sains siswa khususnya
bagi pelajaran fisika.
c. Untuk sekolah, sebagai informasi untuk menerapkan model pembelajaran
yang lebih kreatif dan inovatif

17

1.7. Defenisi Operasional
Untuk memberikan konsep yang sama dan menghindari kesalahan penafsiran
terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka perlu dijelaskan
defenisi operasional sebagai berikut :
1)

Pembelajaran ekspositori suatu kegiatan pembelajaran yang menekankan
kepada proses penyampaian materi secara verbal dari seorang pendidik
kepada sekelompok peserta didik dengan maksud agar peserta didik dapat
menguasai materi pelajaran secara optimal.

2)

Model pembelajaran inquiry training adalah model pembelajaran yang
menekankan pada proses berfikir kritis dan analisis dalam mencari dan
menemukan jawaban permasalahannya dengan menggunakan prosedur
ilmiah, mulai dari menemukan masalah, mengajukan hipotesis sampai
menemukan jawaban dari permasalahan yang dihadapinya.

3)

Penalaran formal adalah kapasitas siswa untuk melakukan operasi-operasi
formal yang meliputi penalaran proporsional, pengontrolan variabel,
probabilistik, korelasi dan kombinatorial.

4)

Keterampilan proses sains adalah kemampuan siswa untuk menerapkan
metode ilmiah dalam memahami, mengembangkan dan menemukan ilmu
pengetahuan dimana dalam proses pembelajaran yang memberi kesempatan
kepada siswa agar dapat menemukan fakta, membangun konsep-konsep
melalui kegiatan atau pengalaman dalam melaksanakan kegiatan belajar
mengajar yang dapat mencerminkan sikap ilmiah.

136

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah di uraikan pada bab sebelumnya,

maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.

Keterampilan proses sains fisika siswa menggunakan pembelajaran inquiry
training lebih baik dibandingkan dengan kemampuan keterampilan proses
sains siswa menggunakan model pembelajaran ekspositori. Berdasarkan data
dari nilai rata-rata siswa pembelajaran inquiry training sebesar 78,61 untuk
kelas ekspositori 66,94.

2.

Keterampilan proses sains fisika siswa pada kelompok penalaran formal di
atas rata-rata lebih baik dibandingkan kemampuan keterampilan proses sains
fisika siswa pada kelompok penalaran formal di bawah rata-rata. Hal ini dapat
ditunjukkan dari data penelitian yang menunjukkan bahwa keterampilan
proses sains pada kelompok penalaran formal di atas rata-rata sebesar 75,61
dan pada kelompok penalaran formal di bawah rata-rata sebesar 69,18

3.

Terdapat interaksi antara model pembelajaran dengan penalaran formal dalam
meningkatkan keterampilan proses sains fisika siswa.

Hasil belajar

keterampilan proses sains siswa yang diajarkan melalui model pembelajaran
inquiry training pada kelompok penalaran formal di atas rata-rata sebesar
81,95 dan penalaran formal di bawah rata-rata sebesar 72,73 lebih tinggi
dibandingkan dengan hasil belajar keterampilan proses sains siswa yang
diajarkan melalui pembelajaran ekspositori pada kelompok penalaran formal

137

di atas rata sebesar 67 dan pada kelompok penalaran formal di bawah ratarata sebesar 66,75

5.2.
1.

Saran
Siswa harus dibimbing dengan memberikan latihan yang cukup untuk
meningkatkan kemampuan keterampilan proses sains fisika siswa.

2.

Peneliti selanjutnya menggunakan jangka waktu yang lebih lama karena
waktu yang tersedia dalam pelaksanaan pembelajaran baik dibelajarkan
dengan menggunakan model pembelajaran inquiry training dan dibelajarkan
dengan pembelajaran ekspositori masih sangat kurang, sebab disesuaikan
dengan jadwal sekolah yang bersangkutan.

3.

Pendidik hendaknya memilih model pembelajaran yang sesuai, dengan tujuan
pembelajaran.

4.

Pendidik dalam mengajar dengan menggunakan model pembelajaran inquiry
training lebih baik diterapkan pada siswa yang memiliki penalaran formal di
atas rata-rata karena dapat meningkatkan keterampilan proses sains siswa.

5.

Dilihat dengan karakter siswa, siswa belum terbiasa dengan menggunakan
model pembelajaran inquiry training, maka sebaiknya siswa mulai dilatih
untuk melakukan percobaan-percobaan sederhana ketika pembelajaran fisika
agar memiliki respon yang cepat akan melakukan model pembelajaran
inquiry training.

6. Untuk peneliti selanjutnya dapat mengalokasi waktu yang lebih banyak
sehingga pelaksanaanya lebih optimal.

138

DAFTAR PUSTAKA

Arends, R. I. 2007. Learning to Teach. Newyork : McGraw Hill.
Arikunto, Suharsimi. 2013. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan Edisi 2. Jakarta :
Bumi Aksara.
Astuti,Rina, Widha Sumarno, Suciati Sudarisman. 2012. Pembelajaran Ipa
dengan Pendekatan Keterampilan Proses Sains Menggunakan Metode
Eksperimen Bebas Termodifikasi dan Eksperimen Terbimbing Ditinjau
dari Sikap Ilmiah dan Motivasi Belajar Siswa. Jurnal Inkuiri 1(1):51-59.
Azizah, Aulia & Parmin. 2012. Inquiry Training Untuk Mengembangkan
Keterampilan Meneliti Mahasiswa. Unnes Science Educational Journal
1(1) : 1-11.
B, Melia Siska, Kurnia, Yayan Suparna. 2013. Peningkatan Keterampilan Proses
Sains Melalui Pembelajaran Praktikum Berbasis Inkuiri Pada Materi
Laju Reaksi. Jurnal Riset dan Praktik Pendidikan Kimia 1(1) : 69-75
Baird, William E, Gary D.Borich. 1985. Validity Considerations for the Study of
formal Reasoning Ability and Integreted Science Process Skills. Peper
presented at the Annual Meeting of the National Association for
Research in Science Teaching 58th, Freach Lick Springs, In, April 15-18.
Bao, Lei, Tianfan Cai, Katty Koenig, Kai Fang, Jing Han, Jing Wang, Qing
Liu, Lin Ding, Lili CuiYing, Luo Yufeng Wang, Lieming Li, Nianle
Wu. 2009. Learning and Scientific Reasoning. Journal American
Association for the Advancement of Science 323, 586 (2009).
Beeth, Michel E., Jenice Pirro. 1999. Developing A Rubric For Assessing Science
Process Knowledge In Grades K-6. Paper Presented at the of the
National Science Teachers Association, Boston, MA.
Colburn, Alan. 2000. An Inquiry Primer. Special issue, hlm 42- 44
Dewi, Riska Sartika. 2011. Pengaruh Pendekatan Keterampilan Proses Sains
Terhadap Keterampilan Proses Sains Siswa Pada Konsep Suhu dan
Kalor. Skripsi. Jakarta : Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Gillani, Bijan B. 2010. Inquiry-Based Training Model and the Design of Elearning Environmens. Issues in Informing Science and Information
Technology, 7 : 1- 9.

139

Hosnan, M. 2014. Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran
Abad 21. Bogor : Ghalia Indonesia.
Hayati, Retni Dwi Suyani. 2013. Efek Model Pembelajaran Inquiry Training
Berbasis Multimedia dan Motivasi Terhadap Hasil Belajar Fisika Siswa,
2(1) : 24-33
Ihsan, Fuad H. A. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta : Rineka Cipta.
Inhelder, Barbel. 1980. Toward A Theory Of Psychological Development. New
Jersey : NFER Publishing Company Ltd.
Jamaris, Martini. 2014. Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan. Bogor :
Ghalia Indonesia
Joyce, B. Weil, Marsha & Calhoun, E. 2009. Models of Teaching. Terjemahan
oleh Achmad Fawaid & Ateilla Mirza. 2011. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
K, Abdul Hamid. 2014. Teori Belajar dan Pembelajaran. Medan : Program
Pascasarjana Unimed.
Kalia, Ashok K. 2005. Effectiveness of Mastery Learning Strategy and Inquiry
Training Model on Pupil’s Achievement in Science. Journal Indian
Educational Review 41 (1) : 76 – 83.
Kurniawan, Wawan & Diana Endah H. 2010. Pembelajaran Fisika dengan
Metode Inquiry Terbimbing Untuk Mengembangkan Keterampilan
Proses Sains. JP2F 1(2) : 149-158.
Laten, Hengky. 2014. Aplikasi Analisis Data Statistik Untuk Ilmu Sosial Sains
dengan IBM SPSS. Bandung : Penerbit Alfabeta.
Lawson, Anton E, Floyd Norland. 1975. A Note on The Factor Structure of Some
Piaget Tasks.
Lawson, Anton, Anthony J. D. Blake. 1974. Concrete and Formal Thinking
Ability for High School Biology Students As Measured By Three Separate
Instruments. California : National Science Education.
Marnoko. 2011. Perbedaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games
Tournament dan Model Pembelajaran Konvensional pada Hasil Belajar
Ekonomi Mahasiswa FE UNPAB. Jurnal Ilmiah Abdi Ilmu 4(2) : 612 :
632.

140

Menda, Marini Sri. 2014. Efek Model Pembelajara Inquiry Training dan
Keterampilan Proses Sains Terhadap Hasil Belajar Siswa pada Listrik
Dinamis di Kelas X SMAN 1 Sunggal. Tesis Tidak Diterbitkan. Medan :
Unimed.
Nawi, M. 2012. Pengaruh Strategi Pembelajaran dan Kemampuan Penalaran
Formal Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Sekolah Menengah
Atas (Swasta) Al Ulum Medan. Jurnal Taburasa PPS Unimed Medan.
9(1) : 81-96.
Pandey A., Nanda G.K, Ranjan V. 2011. Effectiviness of Inquiry Training Model
Over Conventional Teaching Method on Academic Achievement of
Science Students in India. Journal of Innovative Research in Education
1(1).
Rakhmat, Jalaluddin. 2002. Psikologi Komunikasi. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya.
Rao, Digumarti Bhaskara and Uyyala Naga Kumari. 2008. Science Process Skills
of School Students. New Delhi : Discovery Publishing House PVT.
LTD.
Rapi, Ni Ketut. 2008. Implementasi Siklus Belajar Hipotesis-Deduktif untuk
Meningkatkan Sikap Ilmiah dan Keterampilan Proses IPA di SMAN 4
Singaraja. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran Undiksha, Vol 41(3) : 701720.
Rilley, Josep. P, 1971. The Effect of Science Process Training on Preservice
Elementary Teachers' Process Skill Abilities,Understanding of Science,
and Attitudes TowardScience and Science Teaching. College of
EducationThe University of Delaware Newark.
Rizal, Muhammad. 2014. Pengaruh Pembelajaran Inquiry Terbimbing dengan
Multirepresentasi terhadap Keterampilan Proses Sains dan Penguasaan
Konsep IPA Siswa di SMP. Journal Pendidikan Sains 2(3) : 159-165.
Sadulloh, Uyoh. 2011. Pedagogik (Ilmu Mendidik). Bandung : Alfabeta.
Sagala, S. 2011. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung : Alfabeta.
Sahyar, H. 2015. Hand Book Konsep dan Teori Sains Fisika. Medan : Unimed
Press.
Sakdiah, Halimatuss, Sahyar. 2014. Efek Model Pembelajaran Inquiry Training
Berbantukan Handout dan Sikap Ilmiah Terhadap Kemampuan Siswa
Berbasis Keterampilan Proses Sains (KPS). Jurnal Pendidikan Fisika
Universitas Negeri Medan 3(2) : 33-39.

141

Salam, H. Burhanuddin. 2011. Pengantar Pedagogik Dasar-Dasar Ilmu
Mendidik. Jakarta : Rineka Cipta.
Sani, Ridwan Abdullah. 2012. Pengembangan Laboratorium Fisika. Medan :
Unimed Press.
Sani, Ridwan Abdullah. 2014. Inovasi Pembelajaran. Jakarta : PT Bumi Aksara.
Sani, Ridwan Abdullah. 2014. Pembelajaran Saintifik Untuk Implementasi
Kurikulum 2013. Jakarta : PT Bumi Aksara.
Sani, Ridwan Abdullah, M. Zainul Abidin T. Syihab.2010. Pengaruh Model
Pembelajaran Inquiry Training (Latihan Inkuiri) Terhadap Penguasaan
Konsep Fisika Siswa Kelas X Sma Negeri 1Tanjung Beringin. Jurnal
Penelitian Inovasi Pembelajaran Fisika 2(2) : 16-22
Sanjaya, H. Wina. 2014. Strategi Pembelajaran Berorentasi Standar Proses
Pendidikan. Jakarta : Kencana Prenadamedia Group.
Saripuddin. 2009. Praktis Belajar Fisika Untuk SM