Pengaruh Suhu Eterifikasi Terhadap Kualitas Karboksimetil Kitosan (KMK) Dari Kulit Udang (Penaeus modonon)

(1)

PENGARUH SUHU ETERIFIKASI TERHADAP KUALITAS

KARBOKSIMETIL KITOSAN (KMK) DARI

KULIT UDANG (

PENAEUS MODONON

)

SKRIPSI

RATRI KARMILANINGTYAS

100822041

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

PENGARUH SUHU ETERIFIKASI TERHADAP KUALITAS

KARBOKSIMETIL KITOSAN (KMK) DARI

KULIT UDANG (

PENAEUS MODONON

)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

RATRI KARMILANINGTYAS

100822041

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2012


(3)

PERSETUJUAN

Judul : PENGARUH SUHU ETERIFIKASI TERHADAP

KUALITAS KARBOKSIMETIL KITOSAN (KMK) DARI KULIT UDANG (Penaeus modonon)

Kategori : SKRIPSI

Nama : RATRI KARMILANINGTYAS

Nomor Induk Mahasiswa : 100822041

Program Studi : SARJANA (S1) KIMIA

Departemen : KIMIA

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Diluluskan di Medan, Juli 2012

Komisi Pembimbing :

Pembimbing 2 Pembimbing 1

Prof. Dr. Zul Alfian, M.Sc. Prof. Dr. Harry Agusnar, M.Sc., M.Phill NIP. 195504051983031002 NIP. 195308171983031002

Diketahui/Disetujui oleh :

Departemen Kimia FMIPA USU Ketua,

Dr. Rumondang Bulan Nasution, MS NIP. 195408301985032001


(4)

PERNYATAAN

PENGARUH SUHU ETERIFIKASI TERHADAP KUALITAS KARBOKSIMETIL KITOSAN (KMK) DARI KULIT UDANG (Penaeus modonon)

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Juli 2012

RATRI KARMILANINGTYAS 100822041


(5)

PENGHARGAAN

Bismillahirrahmanirahim,

Alhamdulillah, segala puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, yang dengan segala Rahmat dan RidhaNya saya dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Kimia di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara. Serta salawat dan salam saya panjatkan kepada Nabi besar Muhammad Saw, semoga kelak mendapat syafaat beliau.

Saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga kepada kedua orang tua tercinta Papa Muhammad Rusli dan Mama Widhy Prihyati atas segala pengorbanan baik materi dan khususnya atas doa yang tulus yang selalu mereka panjatkan untuk kesuksesan saya,i pround of you. juga kepada abangda saya Singgih Rusdhy Susetyo,SE serta adik saya Bagus Imam Rusdhy yang telah mendukung saya, saya ucapkan terima kasih.

Selesainya Skripsi ini juga tidak lepas dari bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Dengan segala kerendahan hati, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Harry Agusnar, M.Sc, M.Phill selaku pembimbing I dan Prof. Dr. Zul Alfian M.Sc selaku dosen pembimbing II yang telah banyak memberikan pengarahan dan bimbingan hingga terselesaikannya skripsi ini.

2. Dr. Rumondang Bulan. MS dan Dr. Darwin Yunus, MS selaku Ketua dan Koordinator Departemen Kimia Ekstensi FMIPA USU.

3. Bapak dan Ibu Dosen yang telah memberikan ilmunya dan pengetahuan selama masa studi saya di FMIPA USU.

4. Kepala, staf dan seluruh asisten Laboratorium Kimia Analitik dan Laboratorium Penelitian FMIPA USU Medan yang telah memberikan segala fasilitas terbaik selama saya melakukan penelitian terutama untuk Bang Man, terima kasih atas masukan, bantuan dan kerjasamanya.

5. Abang Muhammad Ridwan Harahap,S.Si yang masih tetap setia menemani saya,mengajarkan,membimbing, serta memberikan kasih sayangnya kepada saya, terima kasih telah menjadi teman,sahabat, dan pacar yang baik untuk saya.I love you.

6. Teman seperjuangan saya : Indah Lestari Rahman dan teman-teman yang selalu ada memberi dukungan dalam segala aktivitas : Julia Wansiska dan Rianza Rizqi yang telah memberikan semangat dan motivasi kepada saya.

7. Rekan-rekan PT.Bank Tabungan Negara Syariah Cabang Medan. Branch Manager Ibu Nelisma Suryani, Bapak Damar Pribadi, Icha, Kak beby, Kak Adhe, bang Olmo atas dukungan dan motivasi untuk segera menyelesaikan kuliah saya.


(6)

Saya menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, karena keterbatasan saya baik dalam literatur maupun pengetahuan. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini, dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Medan, Juli 2012

Ratri Karmilaningtyas


(7)

ABSTRAK

Penelitian pembuatan karboksimetilkitosan dari kulit udang telah dilakukan dengan perlakuan perbedaan suhu eterifikasi. Perlakuan suhu eterifikasi yang diberikan adalah berturut turut 60.75, dan 90 C, sedangkan rasio antara kitosan dan asam monokloroasetat adalah 1 ; 0,9(b/b). Proses eterifikasi untuk semua perlakuan dilakukan selama 4 jam. Hasil penelitian menemukan bahwa suhu eterifikasi berpengaruh terhadap kualitas karboksimetilkitosan yang dihasilkan. Semakin tinggi suhu eterifikasi yang diberikan, tingkat kelarutan semakin tinggi. Perlakuan terbaik ditemukan pada suhu 90 C ditinjau dari nilai kelarutan, kadar air 7,585% dan kadar abu 62,63%.


(8)

EFFECT OF ETHERIFICATION TEMPERATURE ON THE QUALITY OF KARBOKSIMETHIL CHITOSAN PRODUCED FROM SHRIMP SHELL

ABSTRACT

An experiment on karboksimethil chitosan produced from shrimp shellwas carried out using different temperatures of etherification is 60,75 and 90oC,while the ratio between chitosan and monochloro asetic acids was 1 : 0,9(w/w). Etherification time for all treatments were 4 hours. The result showed that etherification temperature affected the quality of karboksimethil chitosan. Increasing betherificatin temperature also increased the solubility. Etherification temperature of 90oC was the best among the treatment based on moisture content 7,585% and ash content 62,63%.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan ii

Pernyataan iii Penghargaan iv Abstrak vi Abstract vii Daftar Isi viii Daftar Tabel x

Daftar Gamar xi Daftar Lampiran xii Bab 1 Pendahuluan 1 1.1. Latar Belakang 1 1.2. Identifikasi Masalah 2 1.3. Pembatasan Masalah 2 1.4. Tujuan Penelitian 2 1.5. Manfaat Penelitan 2 1.6. Metodologi Penelitian 3 1.7. Lokasi Penelitian 3 Bab 2 Tinjauan Pustaka 4 2.1. Udang (Penaeus Modonon) 4 2.1.1. Pendayagunaan Limbah Udang 5 2.1.2. Susunan Kimia Limbah Udang 6 2.2. Kitin dan Kitosan 7 2.2.1. Kitin 6 2.2.2. Kitosan 7

2.2.3. Struktur Kitosan 9

2.2.4. Sifat Kimia Kitin dan Kitosan 9

2.2.4.1. Sifat Kitin 9

2.2.4.2. Sifat Kitosan 10

2.2.5. Kelarutan Kitosan 11

2.3. Karboksimetil Kitosan (KMK) 11

2.4. Reaksi Alkalisasi dan Eterifikasi 12

Bab 3 Metodologi Penelitian 14


(10)

3.3.1. Pembuatan Larutan Asetat 1% 15

3.3.2. Pembuatan Larutan HCl 10% 15

3.3.3. Pembuatan larutan NaOH 5% 15

3.3.4. Pembuatan Larutan Kitosan 1% 15

3.3.5. Pembuatan Karboksimetil Kiotsan 15

3.3.6. Uji 16

3.3.6.1. Analisis Kadar Air 16

3.3.6.2. Analisis Kadar Abu 16

3.4. Bagan Penelitian 17

3.4.1. Pembuatan Larutan Kitosan 1% 17

3.4.2. Pembuatan Karboksimetil Kitosan 18

Bab 4 Hasil dan Pembahasan 19

4.1. Hasil Penelitian 19

4.1.1. Analisis Kelarutan 19

4.1.2. Analisis Kadar Air 19

4.1.3. Analisis Kadar Abu 21

4.1.4. AnalisisSpektroskopiInframerah (FTIR) 23

4.2. Pembahasan 25

4.3. Mekanisme Reaksi 26

Bab 5 Kesimpulan Dan Saran 27

5.1. Kesimpulan 27

5.2. Saran 27

Daftar Pustaka 28


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Susunan kimia limbah udang 6

Tabel 2.2. Komposisi Kitin dan Protein berdasarkan Berat Kering pada Limbah 7 Tabel 4.1. Nilai Kelarutan Karboksimetil Kitosan dari Suhu Eterifikasi yang 19

Berbeda

Tabel 4.2. Nilai Kadar Air Karboksimetil Kitosan dari Suhu Eterifikasi yang 19 Berbeda

Tabel 4.3. Nilai Kadar Abu Karboksimetil Kitosan dari Suhu Eterifikasi yang 21 Berbeda


(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Struktur kitosan 9

Gambar 2.2. Struktur Karboksimetil Kitosan dalam suasana Asam dan Basa 12 Gambar 4.1. Spektrum FT-IR Karboksimetil Kiotsan pada suhu 60oC 23 Gambar 4.2. Spektrum FT-IR Karboksimetil Kiotsan pada suhu 75oC 23 Gambar 4.3. Spektrum FT-IR Karboksimetil Kiotsan pada suhu 90oC 24


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman


(14)

ABSTRAK

Penelitian pembuatan karboksimetilkitosan dari kulit udang telah dilakukan dengan perlakuan perbedaan suhu eterifikasi. Perlakuan suhu eterifikasi yang diberikan adalah berturut turut 60.75, dan 90 C, sedangkan rasio antara kitosan dan asam monokloroasetat adalah 1 ; 0,9(b/b). Proses eterifikasi untuk semua perlakuan dilakukan selama 4 jam. Hasil penelitian menemukan bahwa suhu eterifikasi berpengaruh terhadap kualitas karboksimetilkitosan yang dihasilkan. Semakin tinggi suhu eterifikasi yang diberikan, tingkat kelarutan semakin tinggi. Perlakuan terbaik ditemukan pada suhu 90 C ditinjau dari nilai kelarutan, kadar air 7,585% dan kadar abu 62,63%.


(15)

EFFECT OF ETHERIFICATION TEMPERATURE ON THE QUALITY OF KARBOKSIMETHIL CHITOSAN PRODUCED FROM SHRIMP SHELL

ABSTRACT

An experiment on karboksimethil chitosan produced from shrimp shellwas carried out using different temperatures of etherification is 60,75 and 90oC,while the ratio between chitosan and monochloro asetic acids was 1 : 0,9(w/w). Etherification time for all treatments were 4 hours. The result showed that etherification temperature affected the quality of karboksimethil chitosan. Increasing betherificatin temperature also increased the solubility. Etherification temperature of 90oC was the best among the treatment based on moisture content 7,585% and ash content 62,63%.


(16)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Kitosan dapat digunakan di berbagai macam aplikasi industri diantaranya : Bahan tambahan dan penolong di bidang farmasi, kesehatan dan kosmetik. Kitosan bisa juga berfungsi sebagai pengawet dan penyerap lemak. Manfaat lain di bidang industri adalah menyerap logam berat.

Kitin merupakan polimer aktif yang dapat dilakukan modifikasi pelarut dan suhu sehingga dapat menghasilkan beberapa turunan kitosan. (Muzzarelli, R.A.A. 1977)

David, J. 2001, melaporkan telah melaporkan modifikasi pada kitosan sehingga menjadi N.asil kitosan yang dapat digunakan sebagai membran pada industri tekstil.

Pada industri logam telah digunakan turunan kitosan yaitu N-karboksialkil kitosan sebagai penggumpal ion logam yang terbuang dalam limbahnya, sehingga dapat dioeroleh kembali. ( Robert,G. 2004)

Turunan kitosan ada yang larut dalam air diantaranya N-karboksimetil kitosan yang telah dibuat oleh Fujita T, (2008) sebagai pengemulsi pada makanan hingga dapat bertahan lama.

Karboksilmetil kitosan (KMK) adalah suatu senyawa turunan kitosan yang dapat larut dalam air, tidak beracun, biodegradable, biocompatible dan memiliki


(17)

banyak potensi untuk diaplikasikan pada pembuatan obat-obatan, kosmetik, pengawetan makanan, kesehatan, pertanian dan lain sebagainya.

Jamal B,et.al. 2007 telah melakukan penelitian terhadap karboksimetil kitosan tenpa dipengaruhi suhu sehingga dapat digunakan sebagai pengemulsi yang larut dalam air.

Hal ini yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian tentang pengaruh suhu eterifikasi terhadap kualitas karboksimetil kitosan (KMK) dari kulit udang (Penaeus modonon).

1.2.Permasalahan

Bagaimanakah pengaruh suhu eterifikasi terhadap kualitas karboksilmetilkitosan yang dihasilkan dari kulit udang (Penaeus modonon).

1.3.Pembatasan Masalah

Penelitian ini hanya dibatasi oleh :

1. Sampel yang digunakan adalah kitosan yang berasal dari limbah kulit udang (Penaeus modonon) yang diperoleh dari pabrik pengolahan udang daerah pantai Belawan

2. Perbandingan antara kitosan dengan monokloroasetat adalah 1 : 0,9 (b/b) 3. Variasi suhu yang digunakan adalah 60 oC, 75 oC dan 90 oC

4. Proses pemanasan dilakukan selama 4 jam.


(18)

1.5. Manfaat Penelitian

Diharapkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini memberikan suatu informasi ilmiah bahwa dengan proses eterifikasi terhadap karbosimetilkitosan dapat menghasilkan kitosan yang mampu larut dalam air.

1.6. Metodologi Penelitian

Penelitian ini bersifat percobaan laboratorium yaitu melihat karakterisasi pengaruh suhu selama proses eterifikasi terhadap kualitas karboksimetilkitosan yang dihasilkan dari kulit udang (Penaeus modonon). Analisa kuantitatifnya yang dilakukan adalah penentuan kadar air, kadar abu, kelarutan dan analisis gugus fungsi menggunakan spektrofotometer Fourier Transform Infra Red (FTIR) pada bilangan gelombang 4000 cm-1 sampai 400 cm-1.

1.7. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Penelitian FMIPA Universitas Sumatera Utara. Analisis spektrofotometer Fourier Transform Infra Red (FTIR) dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Sumatera Utara.


(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Udang (Penaeus modonon)

Udang merupakan jenis biota air,dan struktur tubuh terdiri dari badan beruas berjumlah 13 (5 ruas kepala dan 8 ruas dada) dan seluruh tubuh ditutupi oleh kerangka luar yang disebut eksosketelon. Umumnya udang yang terdapat di pasaran sebagian besar terdiri dari udang laut dan sebagian kecil saja yang terdiri dari udang air tawar, terutama di daerah sekitar sungai besar dan rawa dekat pantai. Udang air tawar pada umumnya termasuk dalam keluarga Palaemonidae, sehingga para ahli sering menyebutnya sebagai kelompok udang palaemonid. Udang laut, terutama dari keluarga Penaeidae, yang biasa disebut udang penaeid oleh para ahli (Menristek, 2003).

Udang dapat kita klasifikasikan sebagai berikut:

Kelas : Crustacea (binatang berkulit keras)

Sub Kelas : Malacostraca (udang-udangan tingkat tinggi) Super Ordo : Eucarida

Ordo : Decapoda (binatang berkaki sepuluh) Sub Ordo : Natantia (kaki digunakan untuk berenang) Famili : Palaemonidae, Penaeidae

(Menristek, 2003).


(20)

keseluruhan 24-41% dan kulit ekor 17-23% dari seluruh berat badan, tergantung juga dari jenis udangnya (Suparno dan Nurcahaya, 1984).

2.1.1. Pendayagunaan Limbah Udang

Limbah udang yang mencapai 30-40% dari produksi udang beku belum banyak dimanfaatkan. Moelyanto (1979) mengatakan bahwa pemanfaatan limbah udang menjadi produk udang yang bernilai ekonomis tinggi merupakan contoh yang sangat baik untuk memperoleh bahan makanan dengan kandungan protein tinggi. Selama ini jengger udang telah dimanfaatkan sebagai bahan pembuat terasi, keripik udang dan petis serta pasta udang dan hidrolisat protein yang merupakan produk jenis baru dari limbah jengger udang. Akan tetapi pemanfaatan limbah ini hanya 3% dari skala limbah udang (Suparno dan Nurcahaya, 1974).

Menurut Moelyanto (1979), limbah udang selain dimafaatkan sebagai bahan pangan, dapat juga dipergunakan untuk keperluan industri. Pembuatan kitosan dari kulit udang dapat dipakai sebagai bahan kimia untuk industri dan kertas. Kepala udang yang menyatu dengan jengger udang sebagai limbah industri udang beku baru sebagian kecil yang dimafaatkan, yaitu dibuat tepung kepala udang yang dibuat sebagai pencampur bahan dalam pembuatan pellet untuk pakan ternak (Mudjiman, 1982).

Kulit udang mengandung unsur yang bermanfaat yaitu protein kalsium dan kitin yang mempunyai kegunaan dan prospek yang baik dalam industri. Protein dan kalsium dapat digunakan sebagai bahan tambahan dalam pembuatan pakan ternak, sedang kitin dapat dimanfaatkan sebagai surfaktan, zat pengemulsi, bahan tambahan untuk antibiotika dan kosmetik (Knorr, 1984).


(21)

2.1.2. Susunan Kimia Limbah Udang

Produk hasil perikanan mengandung dua unsur utama, yaitu air dan protein selain unsur lain yang terdapat dalam jumlah kecil. Susunan kimia limbah udang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 2.1. Susunan kimia limbah udang (%)

Unsur Kepala Udang Jengger Udang

Air 78,51 69,30

Protein 12,28 20,70

Lemak 1,27 8,40

Abu 5,34 1,50

Sumber: Juhairi, 1986.

Kulit udang yang terdapat pada kepala, jengger dan tubuh udang mengandung protein 34,9%, kalsium 26,7%, khitin 18,1% dan unsur lain seperti zat terlarut, lemak dan protein tercerna sebesar 19,4% (Casio dkk.,1982).

2.2. Kitin dan Kitosan 2.2.1. Kitin

Kitin sebagai prekursor kitosan pertama kali ditemukan pada tahun 1811 oleh Henri Braconnot (Perancis) sebagai hasil isolasi dari jamur. Sedangkan kitin dari kulit serangga ditemukan kemudian pada tahun 1820. Kitin merupakan polimer kedua terbesar di bumi selelah selulosa. Kitin adalah senyawa amino polisakarida berbentuk polimer gabungan. Kitosan ditemukan C. Roughet pada tahun 1859 dengan cara memasak kitin dengan basa. Perkembangan penggunaan kitin dan kitosan meningkat pada tahun 1940-an, terlebih dengan makin diperlukannya bahan alami oleh berbagai industri sekitar tahun 1970-an. Penggunaan kitosan untuk aplikasi khusus, seperti farmasi dan kesehatan dimulai pada pertengahan 1980 - 1990. Umumnya kitin


(22)

penghilangan protein menggunakan basa. Ketiga, dekolorisasi atau proses penghilangan warna menggunakan oksidator atau pelarut organik (Rismana, 2006).

Kitin merupakan salah satu biopolimer homopolisakarida yang tersedia sangat banyak di alam. Kitin terutama terdapat pada invertebrata laut, serangga, kapang dan beberapa jenis khamir. Kitin biasanya banyak ditemukan dalam keadaan bergabung dengan protein (Knorr, 1984).

Kitin merupakan biopolimer alami yang melimpah dari kulit luar kepiting, udang dan juga dinding sel jamur dan serangga. Pada saat ini hanya sedikit jumlah limbah dan cangkang yang dimanfaatkan sebagai pakan ternak atau sumber bahan kitin, sehingga pengolahan kerang – kerangan menimbulkan pencemaran lingkungan (Synowiecky and Al-Khateeb, 2003).

Komposisi kitin dan protein pada limbah Crustaceae dapat dilihat pada

Tabel 2.2 Komposisi (%) kitin dan protein berdasarkan berat kering pada limbah Crustaceae

Sumber Kitin Protein Kitin

Kepiting : Collnectes sapidus

Chinocetes opilio

21,5 29,2

13,5 26,6 Udang: Pandanus borealis

Crangon crangon Penaeus monodon 41,9 40,6 47,4 17,0 17,8 40,4 Udang karang: Procamborus clarkii 29,8 13,2

Krill: Euphausia superba 41,0 24,0

Udang biasa 61,6 33,0

Sumber: Synowiecky and Al-Khateeb (2003)

2.2.2. Kitosan

Kitosan adalah senyawa polimer alam turunan kitin yang diisolasi dari limbah perikanan, seperti kulit. udang dan cangkang kepiting dengan kandungan kitin antara 65-70 persen. Sumber bahan baku kitosan yang lain di antaranya kalajengking, jamur, cumi, gurita, serangga, laba - laba dan ulat sutera dengan kandungan kitin antara 5-45 persen. Kitosan merupakan bahan kimia multiguna berbentuk serat dan merupakan


(23)

kopolimer berbentuk lembaran tipis, berwarna putih atau kuning, tidak berbau. Kitosan merupakan produk deasetilasi kitin melalui proses kimia menggunakan basa natrium bidroksida atau proses enzimatis menggunakan enzim chitin deacetylase. Serat ini bersifat tidak dicerna dan tidak diserap tubuh. Sifat menonjol kitosan adalah kemampuan mengabsorpsi lemak hingga 4-5 kali beratnya (Rismana, 2006).

Kitosan adalah senyawa kimia yang berasal dari bahan hayati kitin, suatu senyawa organik yang melimpah di alam ini setelah selulosa. Kitin ini umumnya diperoleh dari kerangka hewan invertebrata dari kelompok Arthopoda sp, Molusca sp,

Coelenterata sp, Annelida sp, Nematoda sp, dan beberapa dari kelompok jamur Selain dari kerangka hewan invertebrata, juga banyak ditemukan pada bagian insang ikan, trakea, dinding usus dan pada kulit cumi-cumi. Sebagai sumber utamanya ialah cangkang Crustaceae sp, yaitu udang, lobster, kepiting, dan hewan yang bercangkang lainnya, terutama asal laut. Sumber ini diutamakan karena bertujuan untuk memberdayakan limbah udang (Hawab, 2005).

Kitosan adalah produk terdeasetilasi dari kitin yang merupakan biopolimer alami kedua terbanyak di alam setelah selulosa, yang banyak terdapat pada serangga, krustasea, dan fungi (Sanford and Hutchings, 1987). Diperkirakan lebih dari 109-1.010 ton kitosan diproduksi di alam tiap tahun. Sebagai negara maritim, Indonesia sangat berpotensi menghasilkan kitin dan produk turunannya. Limbah cangkang rajungan di Cirebon saja berkisar 10 ton perhari yang berasal dari sekurangnya 20 industri kecil. Kitosan tersebut masih menjadi limbah yang dibuang dan menimbulkan masalah lingkungan. Data statistik menunjukkan negara yang memiliki industri pengolahan kerang menghasilkan sekitar 56.200 ton limbah. Pasar dunia untuk produk turunan kitin menunjukkan bahwa oligomer kitosan adalah produk yang termahal, yaitu senilai $ 60.000/ton.

Kitosan merupakan senyawa turunan kitin, senyawa penyusun rangka luar hewan berkaki banyak seperti kepiting, ketam, udang dan serangga. Kitosan dan kitin termasuk senyawa kelompok polisakarida. Senyawa – senyawa lain yang termasuk


(24)

cara monosakarida – monosakarida berikatan membentuk polisakarida (Rismana, 2006).

2.2.3. Struktur Kitosan

Kitosan adalah jenis polimer rantai yang tidak linier yang mempunyai rumus umum (C6H11NO4)n atau disebut sebagai (1,4)-2-Amino-2-Deoksi-β-D-Glukosa, dimana strukturnya dapat dilihat sebagai berikut :

Gambar 2.1. Struktur Kitosan

2.2.4. Sifat – Sifat Kimia Kitin dan Kitosan

2.2.4.1. Sifat Kitin

Sifat utama kitin sangat sulit larut dalam air dan beberapa pelarut organik. Rendahnya reaktivitas kimia dan sangat hidrofobik, menyebabkan penggunaan kitin relatif kurang berkembang dibandingkan dengan kitosan dan derivatnya. Reaksi pada kondisi heterogen menimbulkan beberapa permasalahan termasuk tingkat reaksi yang rendah, kesulitan dalam substitusi regioselektif, ketidakseragaman struktur produk, dan degradasi parsil disebabkan kondisi reaksi yang kuat (Kaban, 2009).

Penggunaan kitin relatif lebih sedikit dibandingkan kitosan dan derivatnya. Aplikasi kitin yang utama adalah sebagai senyawa pengkelat logam dalam instalasi pengolahan air bersih atau limbah, kosmetik sebagai fungisida dan fungistatik penyembuh luka (Rismana 2006).


(25)

2.2.4.2. Sifat Kitosan

Menurut Rismana (2006) sifat alami kitosan dapat dibagi menjadi dua sifat besar yaitu, sifat kimia dan biologi. Sifat kimia kitosan sama dengan kitin tetapi yang khas antara lain :

• Merupakan polimer poliamin berbentuk linear. • Mempunyai gugus amino aktif.

• Mempunyai kemampuan mengikat beberapa logam. Sifat biologi kitosan antara lain:

• Bersifat biokompatibel artinya sebagai polimer alami sifatnya tidak mempunyai akibat samping, tidak beracun, tidak dapat dicerna, mudah diuraikan oleh mikroba (biodegradable).

• Dapat berikatan dengan sel mamalia dan mikroba secara agresif. • Bersifat hemostatik, fungistatik, spermisidal, antitumor, antikolesterol.

• Bersifat sebagai depresan pada sistem saraf pusat. Berdasarkan kedua sifat tersebut maka kitosan mempunyai sifat fisik khas yaitu mudah dibentuk menjadi spons, larutan, pasta, membran, dan serat. yang sangat bermanfaat.

Dalam hal kelarutan kitin berbeda dengan selulosa karena kitin merupakan senyawa yang stabil terhadap pereaksi kimia. Kitin bersifat hidrofobik, tidak larut dalam air, alkohol dan hampir semua pelarut organik. Kitin dapat larut dalam asam klorida, asam sulfat dan asam fosfat pekat (Roberts, 1992).

Kitosan dengan bentuk amino bebas tidak selalu larut dalam air pada pH lebih dari 6,5 sehingga memerlukan asam untuk melarutkannya. Kitosan larut dalam asam asetat dam asam formiat encer. Adanya dua gugus hidroksil pada kitin sedangkan kitosan dengan 1 gugus amino dan 2 gugus hidroksil merupakan target dalam modifikasi kimiawi (Hirano, dkk.,1987).


(26)

hidroksil yang reaktif. Aplikasi kitosan dalam berbagai bidang tergantung sifat – sifat kationik, biologi dan kimianya (Sandford dan Hutchings, 1987).

2.2.5. Kelarutan Kitosan

Kitosan yang disebut juga dengan β-1,4-2 amino-2-dioksi-D-glukosa merupakan senyawa yang sedikit larut dalam HCl, HNO3, dan H3PO4 dan tidak larut dalam

H2SO4. Kitosan tidak beracun, mudah mengalami biodegradasi dan bersifat

polielektrolitik. Disamping itu kitosan dapat dengan mudah berinteraksi dengan zat-zat organik lainnya seperti protein. Oleh karena itu, kitosan relatif lebih banyak digunakan pada berbagai bidang industri terapan dan industri kesehatan. Kitosan tidak larut dalam air, pelarut-pelarut organik, juga tidak larut dalam alkali dan asam-asam mineral pada pH di atas 6,5. Dengan adanya sejumlah asam, maka dapat larut dalam air-metanol, air-etanol, air-aseton, dan campuran lainnya. Kitosan larut dalam asam formiat dan asam asetat dan menurut Peniston dalam 20% asam sitrat juga dapat larut. Asam organik lainnya juga tidak dapat melarutkan kitosan, asam-asam anorganik lainnya pada pH tertentu setelah distirer dan dipanaskan dan asam sitrat juga dapat melarutkan kitosan pada sebagian kecil setelah beberapa waktu akan terbentuk endapan putih yang menyerupai jelly. ( Widodo. A, 2005 )

2.3. Karboksimetil Kitosan (KMK)

Karboksimetil kitosan (KMK) merupakan bahan alam yang berasal dari hewan yaitu senyawa turunan kitosan. Kitosan merupakan hasil deasetilasi (kehilangan gugus asetil) kitin. Kitin diisolasi dari kulit Crustacea sp, misalnya udang, ketam dan kepiting, serangga; jamur serta ragi (Fernandes-Kim, 2004). Karboksimetil kitosan dapat digunakan sebagai inhibitor korosi dalam media asam dan air (Cheng dkk., 2007; Erna dkk., 2009). Karboksimetil kitosan merupakan inhibitor yang baik dan berpotensi karena mengandung gugus fungsi -COOH, -OH dan –NH2 dalam

molekulnya yang kaya akan pasangan elektron bebas dan sumbernya sangat melimpah di alam setelah selulosa. Tetapi penggunaan KMK sebagai inhibitor dalam air gambut


(27)

belum ada laporan. Oleh karena itu, melalui penelitian penggunaan KMK sebagai inhibitor diharapkan dapat meningkatkan nilai ekonomis produk kitosan secara

umum dan dapat digunakan secara luas.

Gambar 2.2. Struktur karboksimetil kitosan dalam suasana asam dan basa

Secara garis besar pembuatan karboksimetil kitosan meliputi pelarutan kitosan dengan asam asetat 1% untuk membebaskan kitosan dari bahan-bahan lain yang tidak larut, selanjutnya larutan kitosan tersebut dipresipitasi menggunakan larutan NaOH 5% hingga terbentuk gel kitosan yang berwarna putih. Gel kitosan yang diperoleh kemudian ditambah dengan asam monokloroasetat dengan rasio antara kitosan : asam monokloroasetat adalah 1 : 0,9(b/b) secara perlahan lahan. Proses eterifikasi dilakukan pada suhu 60,75, dan 90 C selama 4 jam. Setelah proses eterifikasi selesai dilakukan pengaturan tingakat keasaman hingga mencapai pH 5 menggunakan larutan NaOH 0,5%, selanjutanya dilakukan proses presipitasi menggunakan isopropil alkohol dengan rasio filtrat kitosan larut air dengan isopropil alkohol 1:2. Serat kitosan yang diperoleh kemudian diangin anginkan hingga kering dan selanjutnya digiling menjadi tepung kitosan larut air (Basmal et al.,2005).

2.4. Reaksi Alkalisasi dan Eterifikasi

Pada pembuatan karboksilmetil kitosan melalui 2 (dua) tahap reaksi, yaitu reaksi alkalisasi dan kedua reaksi eterifikasi. Pada reaksi pertama, yaitu alkalisasi merupakan reaksi antara selulosa dengan larutan soda (basa) menjadi alkali kitosan, sedangkan tahap kedua yaitu eterifikasi merupakan reaksi antara alkali kitosan dengan senyawa monokloro asetat menjadi karboksilmetil kitosan (KMK) yang membentuk larutan


(28)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Bahan

- NaOH p.a. (E. Merck)

- HCL p.a. (E. Merck)

- Mono kloro asetat p.a. (E. Merck)

- Asam asetat glasial p.a. (E. Merck)

- Isopropil alkohol p.a. (E. Merck)

- Akuades

3.2. Alat

- Beaker Glass Pyrex

- Erlenmeyer Pyrex

- Gelas Ukur Pyrex

- pH meter Walklab - Spatula

- Corong

- Kertas Saring whatman no 1/41

- Labu takar Pyrex

- Neraca analitik (presisi ± 0,0001 g) Mettler

- pH meter digital Lutron pH-207HA - Spatula kaca

- Termometer - Oven


(29)

3.3. Prosedur Penelitian

3.3.1. Pembuatan Larutan Asetat 1 % (v/v)

Sebanyak 1 mL larutan Asetat glasial dimasukkan kedalam beaker glass. Ditambahkan dengan 100 mL akuades. Lalu diaduk sampai homogen, sehingga diperoleh larutan asetat 1%.

3.3.2. Pembuatan larutan HCl 10% (v/v)

Sebanyak 100 mL HCl dimasukkan kedalam labu takar 1000mL. Ditambahkan aquadest. Lalu diaduk sampai homogen sehingga diperoleh larutan HCl 10%.

3.3.3. Pembuatan larutan NaOH 5% (b/v)

Sebanyak 5 g NaOH pelet dimasukkan kedalam beaker glass. Ditambahkan 100 mL akuades. Lalu diaduk sampai homogen sehingga diperoleh larutan NaOH 5%.

3.3.4. Pembuatan larutan kitosan 1% (b/v)

Sebanyak 1 g kitosan kulit udang dilarutkan kedalam 100 mL larutan asetat 1% di dalam beaker glass, lalu diaduk sampai homogen.sehingga diperoleh larutan kitosan 1%.

3.3.5. Pembuatan Karboksimetilkitosan


(30)

secara perlahan-lahan. Kemudian dipanaskan diatas magnetik strirer pada suhu 60 oC sambil diaduk selama 4 jam. Setelah dipanaskan kemudian diatur tingkat keasamannya sampai pH 5 dengan menggunakan HCl 10%. Lalu dilakukan kembali proses presipitasi menggunakan isopropil alkohol dengan rasio kitosan larut air : isopropil alkohol adalah 1 : 2 untuk membentuk serat – serat kitosan larut air. Dilakukan hal yang sama untuk suhu 75 oC dan 90 oC.

3.3.6. Uji

3.3.6.1 Analisis Kadar Air (SNI 01-2354.1-2006)

Cawan porselin dikeringkan dalam oven pada suhu 100 oC selama 15 menit kemudian dinginkan dalam dsikator dan ditimbang beratnya.

Kitosan larut air sebanyak kira-kira 2 gram dimasukkan kedalam cawan lalu ditimbang dan dikeringkan dalam oven selama 24 jam pada suhu 100 oC hingga 105oC. Kemudian sample dikeluarkan dan didinginkan dalam dsikator. Setelah dingin, ditmbang beratnya sampai konstan.

3.3.6.2. Analisis Kadar Abu (SNI 01-2354.1-2006)

Cawan abu porselin dipijarkan sampai berwarna merah dalam tungku pengabuan bersuhu 600oC selama 1 jam (kenaikan suhu harus bertahap). Setelah suhu tungku pengabuan turun menjadi suhu kamar, cawan abu porselin didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan timbang berat cawan abu porselin kosong.

Kedalam cawan abu dimasukkan kira-kira 2 gram karboksimetilkitosan, kemudian dimasukkan kedalam oven sampai kering, selanjutnya diabukan dalam tungku pengabuan sampai kira-kira 600 oC dan dibiarkan pada suhu ini selama 1 jam ( cawan abu menjadi merah). Timbang berat cawan abu porselin.


(31)

3.3.6.3. Spektroskopi Inframerah (FTIR)

Kitosan larut air yang diperoleh diletakkan pada alat kearah sinar infra merah dengan panjang gelombang 4000 cm-1 sampai 400 cm-1, hasil akan direkam kedalam kertas berkala aliran kurva bilangan gelombang terhadap intensitas cahaya.

3.4 Bagan penelitian

3.4.1. Pembuatan Larutan Kitosan 1%

Dilarutkan dalam 100 mL asam asetat

1%

Diaduk sampai homogen

1 g Kitosan Kulit Udang


(32)

3.4.2. Pembuatan Karboksimetilkitosan

Dipresipitasi dengan larutan NaOH 5% hingga terbentuk gel kitosan berwarna putih

ditambah dengan asam monokloroasetat dengan ratio 1:0,9 (b/b) secara perlahan-lahan

Dilakukan pada suhu 60, 75 dan 90°C Diatur tingkat keasaman hingga pH 5 menggunakan larutan HCl 10%

Disaring

Dipresipitasi menggunakan isopropil alkohol dengan rasio filtrat kitosan larut air dengan isopropil alkohol 1:2

Diangin-anginkan hingga kering Digiling menjadi tepung kitosan larut ai

Larutan Kitosan 1%

Hasil


(33)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.Hasil Penelitian 4.1.1. Analisis Kelarutan

Data hasil pengukuran uji kelarutan karboksimetilkitosan tertera pada tabel 4.1 berikut:

Tabel 4.1 Nilai kelarutan karboksimetilkitosan dari suhu eterifikasi yang berbeda Suhu eterifikasi keterangan

60o Sukar larut

75o Larut

90o Mudah larut

4.1.2. Analisis Kadar Air

Data hasil pengukuran uji kadar air karboksimetilkitosan tertera pada tabel 4.2 berikut: Tabel 4.2 Nilai kadar air karboksimetilkitosan dari suhu eterifikasi yang berbeda

Suhu eterifikasi Kadar Air

60o 8,525%

75o 8,65%


(34)

Untuk suhu 60oC

Berat cawan kosong = 40,8550 gram Berat sampel = 2 gram

Berat cawan setelah dipanaskan = 42,6845 gram

% 100 ) ( x l beratsampe anaskan setelahdip beratcawan l beratsampe kosong beratcawan

kadarair = + −

% 525 , 8 % 100 2 6845 , 42 8550 , 42 % 100 2 6845 , 42 ) 2 8550 , 40 ( = − = − + = x g g g x g g g g

Untuk suhu 75oC

Berat cawan kosong = 42,0850 gram Berat sampel = 2 gram

Berat cawan setelah dipanaskan = 43,9120 gram

% 100 ) ( x l beratsampe anaskan setelahdip beratcawan l beratsampe kosong beratcawan

kadarair = + −

% 65 , 8 % 100 2 9120 , 43 0850 , 44 % 100 2 9120 , 43 ) 2 0850 , 42 ( = − = − + = x g g g x g g g g

Untuk suhu 90oC

Berat cawan kosong = 36,0923 gram Berat sampel = 2 gram


(35)

% 100 ) ( x l beratsampe anaskan setelahdip beratcawan l beratsampe kosong beratcawan

kadarair = + −

% 585 , 7 % 100 2 9406 , 37 0923 , 38 % 100 2 9406 , 37 ) 2 0923 , 36 ( = − = − + = x g g g x g g g g

4.1.3. Analisis kadar Abu

Data hasil pengukuran uji kadar abu karboksimetilkitosan tertera pada tabel 4.3 berikut:

Tabel 4.3 Nilai kadar abu karboksimetilkitosan dari suhu eterifikasi yang berbeda

Suhu eterifikasi Kadar Abu

60o 43,34%

75o 46,78%

90o 62.63%

Perhitungan : % 100 2 1 (%) x W W W

kadarabu = −

Dimana :

W = berat sampel

W1 = berat cawan+sampel yang telah diabukan W2 = berat cawan yang telah dipijarkan


(36)

Untuk suhu 60oC W = 2 gram W1 = 41,7218 gram W2 = 40,8550 gram

% 34 , 43 % 100 2 8668 , 0 % 100 2 8550 , 40 7218 , 41 = = − = x g g x g g g

Untuk suhu 75oC W = 2 gram W1 = 42,0850 gram W2 = 41.1223 gram

% 78 , 46 % 100 2 9357 , 0 % 100 2 1223 , 41 0850 , 42 = = − = x g g x g g g

Untuk suhu 90oC W = 2 gram W1 = 36,7881 gram W2 = 35,5354 gram

% 63 , 62 % 100 2 2527 , 1 % 100 2 5354 , 35 7881 , 36 = = − = x g x g g


(37)

4.1.4. Analisis Spektroskopi Infra Merah (FTIR)

Adapun grafik analisis spektroskopi infra merah dari karboksimetilkitosan terhadap variasi suhu eterifikasi adalah sebagai berikut:


(38)

(39)

4.2.Pembahasan

Dari hasil analisis kelarutan,dapat dilihat bahwa semakin tinggi suhu eterifikasi maka tingkat kelarutan karboksimetil kitosan semakin tinggi.

Hasil analisis kadar air terhadap karboksimetil kitosan antara 7,585% sampai 8,525%, antara perlakuan suhu eterifikasi 60 dan 75oC tidak terlalu menunjukkan perbedaan yang nyata. Sedangkan perlakuan suhu eterifikasi 90oC menunjukkan perbedaab yang nyata yaitu 7,585%. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi suhu, maka jumlah gugus karboksimetil yang berasal dari asam monokloro asetat yang bereaksi dengan atom C2 dan C6 semakin banyak, peningkatan gugus karboksimetil

akan menyebabkan karboksimetil kitosan menjadi lebih lembab (higroskopis) pada saat penyimpanan.

Kadar abu karboksimetil kitosan berada diantara 43,34% sampai 62,63%, dengan nilai kadar abu terbesar adalah pada suhu eterifikasi 90oC yaitu 62,63%. Peningkatan kadar abu pada perlakuan suhu eterifikasi 90oC kemungkinan disebabkan adanya penambahan bobot dari hasil reaksi antara NaOH dengan kitosan pada proses alkalisasi dan proses penetralan selama proses pembuatan karboksimetil kitosan.

Pengukuran kadar abu ini bertujuan untuk mengetahui bahan organik yang masih tersisa dalam karboksimetil kitosan yang dihasilkan. Semakin tinggi kadar abu dalam karboksimetil kitosan, semakin kecil pula kadar bahan anorganik dalam karboksimetil kitosan.

Kadar abu karboksimetil kitosan ini tidak hanya dipengaruhi oleh kadar abu awal kitosan sebelum diolah menjadi karboksimetil kitosan tetpi juga dipengaruhi oleh banyaknya bahan-bahan anorganik yang bereaksi dengan kitosan selama proses pembuatannya. Dalam proses pembuatan karboksimetil kitosan digunakan larutan NaOH 5% untuk mengubah kitosan menjadi aloksida kitosan, sedangkan asam monokloroasetat digunakan untuk mensubtitusi gugus hidroksil dengan gugus karboksimetil selama proses eterifikasi. Kedua bahan ini yang berpeluang untuk


(40)

4.3. Mekanisme Reaksi

CH2OH O O OH CH2OH

O

O + C C O

HO O H O HO O NH2 asid glioksilik

N

H C

COOH

kitosan H

NaNH4

CH2OH O

O

HO O

N

H C COOH H


(41)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa dalam pembuatan karboksimetil kitosan dari kulit udang, faktor suhu sangat berpengaruh teerhadap kualitas karboksimetil kitosan yang dihasilkan. Perlakuan suhu yang terbaik adalah pada suhu 90oC yang ditinjau dari karboksimetil kitosan yang terlarut serta kadar air 7,585%.

5.2. Saran

Disarankan pada peneliti selanjutnya agar melakukan uji nilai kekentalan dari karboksimetil kitosan yang dihasilkan agar dapat diketahui ketahanan cairan untuk mengalir.


(42)

DAFTAR PUSTAKA

Basmal, J., A. Prasetyo dan Y. N. Fawzya, 2007. Pengaruh Konsentrasi Asam Monokloroasetat dalam Proses Karboksimetilasi Kitosan terhadap Karboksimetil Kitosan yang Dihasilkan. J. Penel. Perik. Indonesia. 11(B) : 47 – 56

Casio, G. Ignatio, Fischer, Robert, Carrod dan A. Paul. 1982. Biocoversion of Shellfish Chitin Waste. J. Food Sci. 47 (1);901.

David.J.,2001. A textil digling using N-asilkotosan. Fujita. T.,2008. Japan Patent.

Ghozali, M., 2010. Penentuan Senyawa Karboksi Metil Selulosa (CMC), Politeknik Negeri Bandung, Bandung.

Gupta, C. K. and R. Kumar, 2000. An Overview on Chitin and Chitosan Aplications with an Emphasis on Controlled Drug Release Formulations. India : Polymer Research Laboratory Departement of Chemitry University of Roorkee. Marcel Dekker Inc. p. 274 – 98.

Hawab, H.M., 2004. Perlu Berhati-hati Mengkonsumsi Kitosan. http://www.kompas.com. (16 April 2012).

Hirano, S., 1986. Chitin and Chitosan. In Ullmann’s Encyclopedia of Industrial Chemistry. Completely revised edition. Weinheim, New York.

Knorr, D., 1984. Recovery and Utilization of Chitin and Chitosan in Food Processing Waste Management in Food Technology 45, 114-122.

Kumar, M.N.V.R., 2000. Chitin and Chitosan for Versatile Applications. http://members.tripod.com (16 April 2012).

Menristek. (2003) Budidaya Udang Windu. 2012)

Moelyanto, R. 1979. Udang Sebagai Bahan Makanan. LPTP, Departemen Pertanian, Jakarta.

Mudjiman, A., 1982. Budidaya Udang Windu. Penerbit Swadaya, Jakarta. Muzzarelli.R.A.A.,1977. Chitin. Pergama Press. USA

Rismana, 2003. Serat Kitosan Pengikat Lemak. 2012).


(43)

Sanford, P.T., 2003. World Market of Chitin and Its Derivatives. Di dalam Varum KM, Domard A and Smidsrod O, editors. Advances in Chitin Science. Vol VI. Trondheim, Norway.

Soetomo, M., 1990. Teknik Budidaya Udang Windu. Sinar Baru, Bandung.

Suparno dan Nurcahaya, 1984. Pemanfaatan Limbah Udang. Balai Penelitian Limbah Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.

Synowiecky, J. And N.A. Al-Khateeb, 2003. Production, Properties and Some New Aplications of Chitin and Its Derivites. Crit.Rev.Food Sci.Nutr;43(2); 145-171.

Widodo, A. 2005. Potensi Kitosan dari Sisa Udang Sebagai Koagulan Logam Berat Limbah Cair Industri Tekstil. Jurnal. Surabaya : ITS.


(44)

(1)

4.2.Pembahasan

Dari hasil analisis kelarutan,dapat dilihat bahwa semakin tinggi suhu eterifikasi maka tingkat kelarutan karboksimetil kitosan semakin tinggi.

Hasil analisis kadar air terhadap karboksimetil kitosan antara 7,585% sampai 8,525%, antara perlakuan suhu eterifikasi 60 dan 75oC tidak terlalu menunjukkan perbedaan yang nyata. Sedangkan perlakuan suhu eterifikasi 90oC menunjukkan perbedaab yang nyata yaitu 7,585%. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi suhu, maka jumlah gugus karboksimetil yang berasal dari asam monokloro asetat yang bereaksi dengan atom C2 dan C6 semakin banyak, peningkatan gugus karboksimetil akan menyebabkan karboksimetil kitosan menjadi lebih lembab (higroskopis) pada saat penyimpanan.

Kadar abu karboksimetil kitosan berada diantara 43,34% sampai 62,63%, dengan nilai kadar abu terbesar adalah pada suhu eterifikasi 90oC yaitu 62,63%. Peningkatan kadar abu pada perlakuan suhu eterifikasi 90oC kemungkinan disebabkan adanya penambahan bobot dari hasil reaksi antara NaOH dengan kitosan pada proses alkalisasi dan proses penetralan selama proses pembuatan karboksimetil kitosan.

Pengukuran kadar abu ini bertujuan untuk mengetahui bahan organik yang masih tersisa dalam karboksimetil kitosan yang dihasilkan. Semakin tinggi kadar abu dalam karboksimetil kitosan, semakin kecil pula kadar bahan anorganik dalam karboksimetil kitosan.

Kadar abu karboksimetil kitosan ini tidak hanya dipengaruhi oleh kadar abu awal kitosan sebelum diolah menjadi karboksimetil kitosan tetpi juga dipengaruhi oleh banyaknya bahan-bahan anorganik yang bereaksi dengan kitosan selama proses pembuatannya. Dalam proses pembuatan karboksimetil kitosan digunakan larutan NaOH 5% untuk mengubah kitosan menjadi aloksida kitosan, sedangkan asam monokloroasetat digunakan untuk mensubtitusi gugus hidroksil dengan gugus karboksimetil selama proses eterifikasi. Kedua bahan ini yang berpeluang untuk meningkatkan kadar abu dari karboksimetil kitosan yang dihasilkan.


(2)

4.3. Mekanisme Reaksi

CH2OH O O OH CH2OH O

O + C C O

HO O H O HO O NH2 asid glioksilik N

H C

COOH

kitosan H

NaNH4 CH2OH O

O

HO O

N

H C COOH H


(3)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa dalam pembuatan karboksimetil kitosan dari kulit udang, faktor suhu sangat berpengaruh teerhadap kualitas karboksimetil kitosan yang dihasilkan. Perlakuan suhu yang terbaik adalah pada suhu 90oC yang ditinjau dari karboksimetil kitosan yang terlarut serta kadar air 7,585%.

5.2. Saran

Disarankan pada peneliti selanjutnya agar melakukan uji nilai kekentalan dari karboksimetil kitosan yang dihasilkan agar dapat diketahui ketahanan cairan untuk mengalir.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Basmal, J., A. Prasetyo dan Y. N. Fawzya, 2007. Pengaruh Konsentrasi Asam Monokloroasetat dalam Proses Karboksimetilasi Kitosan terhadap Karboksimetil Kitosan yang Dihasilkan. J. Penel. Perik. Indonesia. 11(B) : 47 – 56

Casio, G. Ignatio, Fischer, Robert, Carrod dan A. Paul. 1982. Biocoversion of Shellfish Chitin Waste. J. Food Sci. 47 (1);901.

David.J.,2001. A textil digling using N-asilkotosan. Fujita. T.,2008. Japan Patent.

Ghozali, M., 2010. Penentuan Senyawa Karboksi Metil Selulosa (CMC), Politeknik Negeri Bandung, Bandung.

Gupta, C. K. and R. Kumar, 2000. An Overview on Chitin and Chitosan Aplications with an Emphasis on Controlled Drug Release Formulations. India : Polymer Research Laboratory Departement of Chemitry University of Roorkee. Marcel Dekker Inc. p. 274 – 98.

Hawab, H.M., 2004. Perlu Berhati-hati Mengkonsumsi Kitosan. http://www.kompas.com. (16 April 2012).

Hirano, S., 1986. Chitin and Chitosan. In Ullmann’s Encyclopedia of Industrial Chemistry. Completely revised edition. Weinheim, New York.

Knorr, D., 1984. Recovery and Utilization of Chitin and Chitosan in Food Processing

Waste Management in Food Technology 45, 114-122.

Kumar, M.N.V.R., 2000. Chitin and Chitosan for Versatile Applications. http://members.tripod.com (16 April 2012).

Menristek. (2003) Budidaya Udang Windu. 2012)

Moelyanto, R. 1979. Udang Sebagai Bahan Makanan. LPTP, Departemen Pertanian, Jakarta.

Mudjiman, A., 1982. Budidaya Udang Windu. Penerbit Swadaya, Jakarta. Muzzarelli.R.A.A.,1977. Chitin. Pergama Press. USA

Rismana, 2003. Serat Kitosan Pengikat Lemak. 2012).


(5)

Sanford, P.T., 2003. World Market of Chitin and Its Derivatives. Di dalam Varum KM, Domard A and Smidsrod O, editors. Advances in Chitin Science. Vol VI. Trondheim, Norway.

Soetomo, M., 1990. Teknik Budidaya Udang Windu. Sinar Baru, Bandung.

Suparno dan Nurcahaya, 1984. Pemanfaatan Limbah Udang. Balai Penelitian Limbah Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.

Synowiecky, J. And N.A. Al-Khateeb, 2003. Production, Properties and Some New Aplications of Chitin and Its Derivites. Crit.Rev.Food Sci.Nutr;43(2); 145-171.

Widodo, A. 2005. Potensi Kitosan dari Sisa Udang Sebagai Koagulan Logam Berat Limbah Cair Industri Tekstil. Jurnal. Surabaya : ITS.


(6)