Implementasi Kebijakan Publik TINJAUAN PUSTAKA

praktika sosial yang ada dalam masyarakat. Ketika kebijakan publik berisi nilai- nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, maka kebijakan publik tersebut akan mendapat resistensi ketika diimplementasikan. Sebaliknya, suatu kebijakan publik harus mampu mengakomodasi nilai-nilai dan praktika-praktika yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Konsep kebijakan publik digunakan dalam penelitian ini karena program kerja Kecamatan Banyuwangi Tahun 2013 merupakan salah satu bentuk kebijakan publik yang ada di tataran kecamatan yang dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan tertentu, untuk melakukan kegiatan tertentu, atau untuk mencapai kegiatan tertentu, yang dilakukan oleh instansi Kecamatan Banyuwangi dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan negara dan pembangunan.

2.2. Implementasi Kebijakan Publik

Dalam suatu proses kebijakan publik tahapan yang paling penting adalah implementasi kebijakan. Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik. Suatu program kebijakan harus diimplementasikan atau dilaksanakan agar mempunyai dampak yang sesuai dengan tujuan-tujuan yang diinginkan. Ripley dan Franklin yang dikutip Winarno 2007:145 berpendapat bahwa, “implementasi adalah apa yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan benefit, atau suatu jenis keluaran yang nyata tangibel output ”. Istilah implementasi merunjuk pada serangkaian kegiatan yang mengikuti pernyataan maksud tentang tujuan-tujuan program dan hasil-hasil yang diinginkan oleh para pejabat pemerintah. Selanjutnya menurut Wibawa yang dikutip Koryati, dkk, 2004:10 menyatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan: “Pengejawantahan keputusan mengenai kebijakan yang mendasar, biasanya tertuang dalam suatu undang-undang, namun juga dapat berbentuk instruksi-instruksi eksekutif yang penting atau keputusan perundangan. Idealnya keputusan-keputusan tersebut menjelaskan masalah-masalah yang hendak ditangani, menentukan tujuan yang hendak dicapai dan dalam berbagai cara menggambarkan struktur proses implementasi tersebut.” Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier yang dikutip Wahab 2008:65 juga menjelaskan makna implementasi kebijakan dengan mengatakan bahwa: “Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijaksanaan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan- kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat atau dampak nyata pada masyarakat atau kejadian- kejadian.” Dari definisi yang dijelaskan oleh Mazmanian dan Sabatier di atas maka dapatlah dijelaskan bahwa implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Pada dasarnya kebijakan negara atau publik akan selalu mengandung resiko untuk gagal. Hoogwood dan Gunn yang dikutip Wahab 2008:61-62 membagi kegagalan kebijakan policy failure dalam dua kategori berikut ini. 1. Non Implementation tidak terimplementasikan. Mengandung arti bahwa suatu kebijakan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana, mungkin karena pihak-pihak yang terlibat di dalam pelaksanaannya tidak mau bekerjasama, atau mereka telah bekerja secara tidak efisien, bekerja setengah hari, atau karena mereka tidak sepenuhnya menguasai permasalahan, atau kemungkinan permasalahan yang digarap di luar jangkauan kekuasaannya, sehingga betapapun gigih usaha mereka, hambatan-hambatan yang ada tidak sanggup mereka tanggulangi, akibatnya implementasi yang efektif sukar untuk dipenuhi. 2. Unsuccesful Implementation implementasi yang tidak berhasil. Mengandung arti bahwa suatu kebijakan tertentu telah dilaksanakan sesuai dengan rencana, namun mengingat kondisi eksternal ternyata tidak menguntungkan sehingga kebijakan tersebut tidak berhasil dalam mewujudkan dampak atau hasil akhir yang dikehendaki. Merse Sunggono, dalam Koryati, dkk, 2004:14-16 mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat menjadi penyebab kegagalan dalam implementasi suatu kebijakan, yaitu: 1. Informasi Informasi sangat diperlukan sebagai sarana untuk penyatuan pemahaman, visi dan misi dari kebijakan yang dirumuskan. Kekurangan informasi akan mengakibatkan adanya gambaran yang tepat baik kepada obyek kebijakan maupun kepada para pelaksana dari kebijakan yang akan dilaksanakan. 2. Isu Kebijakan Kebijakan publik merupakan sarana untuk mengatasi permasalahan publik, maka isi kebijakan harus jelas dan tegas serta mengandung memuatan-muatan politik yang mengakomodir kepentingan seluruh stakeholders. 3. Dukungan Dalam hal ini dapat berupa dukungan fisik maupun non fisik. Apabila pada pelaksanaannya tidak cukup dukungan untuk kebijakan tersebut, maka implementasi kebijakan akan sulit untuk dilaksanakan. Dukungan yang dimaksud adalah adanya partisipasi masyarakat. Program akan berlangsung secara berkelanjutan jika didukung oleh tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi, dalam berbagai tahapan yang ada. 4. Pembagian Potensi Pembagian potensi pada dasarnya berkaitan dengan kinerja koordinasi yang intensif antar pelaku yang ada, baik pihak pemerintah, swasta maupun masyarakat luas. Implementasi kebijakan dalam prosesnya dapat dilihat dari beberapa sudut pandang. Menurut Wahab 2008:63, ada tiga sudut pandang proses implementasi sebagai berikut. 1. Pemrakarsa kebijakan atau pembuat kebijakan the centerpusat Fokus implementasi kebijakan itu akan mencakup usaha-usaha yang dilakukan oleh pejabat-pejabat atau lembaga-lembaga di tingkat pusat untuk mendapatkan kepatuhan dari lembaga- lembaga atau pejabat-pejabat ditingkat yang lebih rendah atau daerah dalam upaya untuk memberikan pelayanan atau untuk mengubah perilaku masyarakatkelompok sasaran dari program yang bersangkutan. 2. Pejabat-pejabat pelaksana di lapangan the periphery Fokus implementasi kebijakan adalah pada tindakan atau perilaku para pejabat dan instansi-instansi di lapangan dalam upayanya untuk menanggulangi gangguan-gangguan yang terjadi di wilayah kerjanya yang disebabkan oleh usaha-usaha dari pejabat-pejabat lain di luar instansinya demi berhasilnya suatu kebijakan baru. 3. Aktor-aktor perorangan di luar badan-badan pemerintahan kepada siapa program itu ditujukan yakni kelompok sasaran target group Yakni sejauh mana kebijakan yang diimplementasikan mampu memberikan dampak yang positif dalam jangka panjang bagi peningkatan mutu hidup, mengubah pola hidup masyarakat dan juga pendapatan. Pada dasarnya implementasi kebijakan harus berjalan efektif agar penerima kebijakan dapat merasakan sesunggunya dampak dari adanya suatu kebijakan tersebut. Menurut Nugroho 2006:137-139 bahwa dalam hal keefektifan implementasi kebijakan terdapat empat ketepatan yang harus dipenuhi, yaitu: 1. Kebijakan tersebut apakah sudah tepat Ketepatan kebijakan ini dinilai dari sejauh mana kebijakan yang ada bermuatan hal-hal yang memang memecahkan masalah yang hendak dipecahkan. 2. Tepat pelaksanaan Dalam mengimplementasikan kebijakan terdapat pelaksana kebijakan. Pelaksana kebijakan bukan hanya pemerintah, melainkan terdapat kerjasama antara pemerintah dengan masyarakat atau swasta. 3. Tepat target Menurut Nugroho 2006:138 ketepatan target ini berkenaan dengan tiga hal. Pertama, apakah target yang diintervensi sesuai dengan yang direncanakan. Kedua, apakah targetnya dalam kondisi siap untuk diintervensi ataukah tidak. Ketiga, apakah intervensi implementasi kebijakan bersifat baru atau memperbaruhi implementasi kebijakan sebelumnya. 4. Tepat lingkungan Terdapat dua lingkungan yang paling menentukan. Menurut Nugroho 2006:139 yang pertama adalah lingkungan kebijakan yaitu interaksi di antara lembaga perumus kebijakan dan pelaksana kebijakan dengan lembaga lain yang terkait. Lingkungan yang kedua adalah lingkungan eksternal kebijakan yang terdiri atas public opinion, yaitu persepsi publik akan kebijakan dan implementasi kebijakan; interpretive instutions yang berkenaan dengan interpretasi lembaga dalam masyarakat seperti media massa, kelompok penekan, dan kelompok kepentingan; serta individuals, yaitu individu-individu tertentu yang mampu memainkan peran penting dalam menginterpretasikan kebijakan dan implementasi kebijakan. Berdasarkan pada pendapat di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa implementasi kebijakan adalah suatu proses yang melibatkan sumber-sumber yang di dalamnya termasuk manusia, dana, dan kemampuan organisasional, baik oleh pemerintah maupun swasta individu atau kelompok untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh pembuat kebijakan. Selain itu implementasi kebijakan harus tepat sasaran agar pelaksanaan kebijakan tersebut dapat berjalan dengan baik dan benar. 2.2.1 Model-model Implementasi Kebijakan 2.2.1.1 Model Implementasi Kebijakan Menurut Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier Menurut Mazmanian dan Sabatier yang dikutip Wahab 2008:81 “bahwa peran penting dari analisis implementasi kebijakan adalah mengidentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal pada keseluruhan implementasi”. Mazmanian dan Sabatier yang dikutip Wahab 2008:65 juga mengatakan bahwa implementasi kebijaksanaan adalah sebagai berikut: “Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijaksanaan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman- pedoman kebijaksanaan negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat atau dampak nyata pada masyarakat atau kejadian- kejadian.” Model ini disebut juga sebagai model Kerangka Analisis Implementasi A Framework for Implementation Analysis. Di sini Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier membagi tiga variabel. Variabel- variabel tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut. 1. Mudah tidaknya masalah yang akan digarap dikendalikan. 2. Kemampuan keputusan kebijakan untuk menstrukturkan secara tepat proses implementasinya. 3. Pengaruh langsung berbagai varibel politik terhadap keseimbangan dukungan bagi tujuan yang termuat dalam keputusan kebijakan tersebut. Ketiga variabel tersebut juga saling berhubungan satu sama lain, dan masing-masing faktor dapat digambarkan sebagai berikut. Gambar 2.1 Model implementasi kebijakan Daniel Mazmanian dan Paul a. Sabatier Sumber: Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier dikutip Wahab 2008:82

A. Mudahtidaknya masalah dikendalikan

 kesukaran-kesukaran teknis  keragaman perilaku kelompok sasaran  prosentase kelompok sasaran dibanding jumlah penduduk  ruang lingkup perubahan perilaku yang diinginkan

B. Kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan

proses implementasi  kejelasan dan konsistensi tujuan  digunakannya teori kausal yang memadai  keterpaduan hierarki dalam dan di antara lembaga pelaksana  aturan-aturan keputusan dari badan pelaksana  rekruitmen pejabat pelaksaana  akses formal pihak luar

C. Variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi proses

implementasi  kondisi sosial ekonomi dan teknologi  dukungan publik  sikap dan sumber-sumber yang dimiliki kelompok-kelompok  dukungan dari pejabat atasan  komitmen dan kemampuan kepemimpinan pejabat-pejabat pelaksana

D. Tahap-tahap dalam proses implementasi

Output kebijakan badan- badan pelaksana Dampak nyata Output kebijaka n Kesediaan kelompok sasaran mematuhi output kebijakan Perbaikan mendasar dalam undang- undang Dampak output kebijakan sebagai dipersepsi Berdasarkan gambar dari model imlementasi menurut Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier di atas, untuk menjawab bagaimana implementasi yang baik, menurut Mazmanian dan Sabatier yang dikutip Nugroho 2006:129 harus melakukan analisis terhadap tiga variabel berikut. a Variabel independen, yaitu mudah atau tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman objek, dan perubahan seperti apa yang dikehendaki. b Variabel intervening, yaitu variabel kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan, dipergunakannya teori kausal, ketepatan alokasi sumber dana, keterpaduan hierarkis di antara lembaga pelaksana, aturan pelaksana dari lembaga pelaksana, dan perekrutan pejabat pelaksana dan keterbukaan kepada pihak luar, serta variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan indikator kondisi sosial ekonomi dan teknologi, dukungan publik, sikap dan risorsis konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi, serta komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana. c Varibel dependen, yaitu tahapan dalam proses implementasi dengan lima tahapan seperti pemahaman dari lembaga atau badan pelaksana dalam bentuk disusunnya kebijakan pelaksana, kepatuhan objek, hasil nyata, penerimaan atas hasil nyata tersebut, dan akhirnya mengarah pada revisi atas kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan tersebut.

2.2.1.2. Model Implementasi Kebijakan Menurut Merilee S. Grindle

Menurut Nugroho 2006:132 bahwa dalam model Grindle ini ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa setelah kebijakan ditransformasikan, dilakukan implementasi kebijakan. Keberhasilannya ditentukan oleh derajat implementasi kebijakan tersebut. Isu kebijakan tersebut meliputi enam hal berikut. 1. Kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan. 2. Jenis manfaat yang akan dihasilkan. 3. Derajat perubahan yang diinginkan. 4. Kedudukan pembuat kebijakan. 5. Siapa pelaksana program. 6. Sumber daya yang dikerahkan. Sementara itu, konteks implementasinya adalah sebagai berikut. 1. Kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat. 2. Karakteristik lembaga dan penguasa. 3. Kepatuhan dan daya tanggap.

2.2.1.3. Model Implementasi Kebijakan Menurut Van Meter dan Van Horn

Menurut Van Meter dan Van Horn yang dikutip Wahab 2008:78 menyatakan bahwa, “perbedaan-perbedaan dalam proses implementasi akan dipengaruhi oleh sifat kebijaksanaan yang akan dilaksanakan”. Model implementasi kebijakan yang dikembangkan oleh Van Meter dan Van Horn dalam Wahab, 2008:80 digambarkan sebagai berikut. Gambar 2.2 Model Implementasi Kebijakan Van Meter dan Van Horn Sumber: D.S Van Meter dan Van Horn dikutip Wahab 2008:80 Dalam bagan di atas, terdapat enam variabel bebas yang menghubungkan antara kebijakan dengan prestasi kerja, yaitu sebagai berikut 1. Ukuran dan Tujuan Kebijakan. Dalam implementasi kebijakan, ukuran dan tujuan kebijakan merupakan gambaran ke arah mana kebijakan ini nantinya akan membawa perubahan dalam masyarakat. Menurut Van Meter dan Van Horn yang dikutip Winarno 2007:156, identifikasi indikator pencapaian merupakan tahap yang krusial dalam analisis implementasi kebijakan. Indikator-indikator pencapaian ini menilai sejauh mana ukuran dasar dan tujuan kebijakan telah direalisasikan. Ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan berguna Komunikasi antar organisasi dan kegiatan pelaksanaan Karakteristik badan pelaksana Ukuran dan tujuan kebijakan Sikap para pelaksana Prestasi kerja Lingkungan: Ekonomi, sosial dan politik Sumber- sumber kebijakan dalam menguraikan tujuan-tujuan keputusan kebijakan secara menyeluruh. Disamping itu, ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan merupakan bukti itu sendiri dan dapat diukur dengan mudah dalam beberapa kasus. 2. Sumber-Sumber Kebijakan. Menurut Van Meter dan Van Horn yang dikutip Winarno 2007:158 menerangkan, disamping ukuran-ukuran dasar dan sasaran kebijakan, yang perlu mendapatkan perhatian dalam proses implementasi kebijakan adalah sumber-sumber yang tersedia. Sumber-sumber yang dimaksud adalah mencakup dana atau perangsang incentive lain yang mendorong dan memperlancar implementasi yang efektif. 3. Komunikasi antar Organisasi terkait dan Kegiatan-kegiatan Pelaksanaan. Menurut Van Meter dan Van Horn yang dikutip Winarno 2007:159-160 menyatakan bahwa implementasi yang berhasil sering kali membutuhkan mekanisme-mekanisme dan prosedur-prosedur lembaga. Hal ini sebenarnya akan mendorong kemungkinan yang lebih besar kepada para pejabat tinggi untuk mendorong pelaksana bertindak dalam suatu acara yang konsisten dengan ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan. Para pejabat dalam struktur organisasi mempunyai kekuasaan personil yang diukur dari: Pertama, rkruitmen dan seleksi; Kedua, penugasan dan relokasi; Ketiga, kenaikan pangkat dan; Keempat, akhirnya pemecatan. 4. Karakteristik Badan Pelaksana. Menurut Van Meter dan Van Horn yang dikutip Winarno 2007:163 mengetengahkan beberapa unsur yang mungkin berpengaruh terhadap suatu organisasi dalam mengimplementasikan kebijakan: a. kompetisi dan ukuran staf suatu badan; b. tingkat pengawasan hirarkis terhadap keputusan-keputusan sub unit dan proses-proses dalam badan-badan pelaksana; c. sumber-sumber politik suatu organisasi misalnya dukungan di antara anggota-anggota legislatif dan eksekutif; d. vitalisasi suatu organisasi; e. tingkat komunikasi-komunikasi “terbuka”, yang didefinisikan sebagai jaringan kerja komunikasi horisontal dan vertikal secara bebas serta tingkat kebebasan yang secara relatif tinggi dalam komunikasi dengan individu-individu di luar organisasi; f. kaitan formal dan informal suatu badan “pembuat keputusan” atau “pelaksana keputusan”. 5. Kondisi-kondisi Ekonomi, Sosial dan Politik. Dampak kondisi-kondisi ekonomi, sosial dan politik pada kebijakan publik merupakan pusat perhatian yang besar. Sekalipun danpak dari faktor- faktor ini pada implementasi keputusan-keputusan kebijakan mendapat perhatian yang kecil, namun menurut Van Meter dan Van Horn yang dikutip Winarno 2007:164, faktor-faktor ini mungkin mempunyai efek yang mendalam terhadap pencapaian badan-badan pelaksana. 6. Kecenderungan Pelaksana implementors. Menurut Van Meter dan Van Horn yang dikutip Winarno 2007:165 berpendapat bahwa setiap komponen dari model yang dibicarakan sebelumnya harus disaring melalui persepsi-persepsi pelaksana dalam yuridiksi dimana kebijakan tersebut dihasilkan. Arah kecenderungan- kecenderungan pelaksana terhadap ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan juga merupakan suatu hal yang sangat penting. Para pelaksana mungkin gagal dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan dengan tepat karena mereka menolak tujuan-tujuan yang terkandung dalam kebijakan- kebijakan tersebut. Dan begitu sebaliknya, penerimaan tehadap ukuran- ukuran dasar dan tujuan-tujuan k1ebijakan yang diterima yang diterima secara luas oleh para pelaksana kebijakan akan menjadi pendorong bagi implementasi kebijakan yang berhasil.

2.2.1.4 Model Implementasi Kebijakan Menurut George Edward III

Menurut pandangan George C. Edwards III yang dikutip Winarno 2007:174 implementasi kebijakan adalah krusial bagi public administration dan public policy. Implementasi kebijakan adalah tahap pembuatan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya. Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mengurangi masalah yang merupakan sasaran dari kebijakan, maka kebijakan itu mungkin akan mengalami kegagalan sekalipun kebijakan itu diimplementasikan dengan baik, sementara suatu kebijakan yang cemerlang mungkin juga akan mengalami kegagalan jika kebijakan tersebut kurang diimplementasikan dengan baik oleh para pelaksana kebijakan. Gambar 2.3 Model Implementasi Kebijakan George C. Edward IIISumber: George C. Edwards III dikutip Winarno 2007:208 Disini George C. Edward III menyebutkan kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yaitu komunikasi, sumber-sumber, kecenderungan- kecenderungan, dan struktur birokrasi. Keempat variabel tersebut juga saling berhubungan satu sama lain, dan masing-masing faktor dapat kita uraikan sebagai berikut. 1. Komunikasi Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompak sasaran target group sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran. Menurut G. Edwards III yang dikutip Winarno Komunikasi Kecenderungan- kecenderungan Efektifitas implementasi Struktur birokrasi Sumber-sumber 2007:175, ”persyaratan pertama bagi implementasi kebijakan yang efektif adalah bahwa mereka yang melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan”. Keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah harus diteruskan kepada personil yang tepat sebelum keputusan-keputusan dan perintah-perintah itu dapat diikuti. Tentu saja, komunikasi-komunikasi harus akurat dan harus dimengerti dengan cermat oleh para pelaksana. Terdapat tiga indikator penting dalam mengukur keberhasilan komunikasi tersebut, yaitu: a. Transmisi Menurut Winarno 2007:176 sebelum pejabat dapat mengimplementasikan suatu keputusan, ia harus menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan suatu perintah untuk pelaksanaannya telah dikeluarkan. Hal ini tidak selalu merupakan proses yang langsung sebagaimana tampaknya. Banyak sekali ditemukan keputusan-keputusan tersebut diabaikan atau jika tidak demikian, seringkali terjadi kesalahpahaman terhadap keputusan-keputusan yang dikeluarkan. b. Kejelasan Jika kebijakan-kebijakan diimplementasikan seperti yang diinginkan, maka kebijakan tersebut harus dikomunikasikan dengan jelas. Karena sering kali terjadi instruksi-instruksi yang diteruskan kepada pelaksana kabur dan tidak menetapkan kapan dan bagaimana sesuatu program dilaksanakan. Menurut Winarno 2007:177 ketidakjelasan pesan komunikasi yang disampaikan yang berkenaan dengan implementasi kebijakan akan mendorong terjadinya interprestasi yang salah atau bertentangan dengan makna pesan awal. c. Konsistensi Menurut Winarno 2007:177 jika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif, maka perintah-perintah pelaksana harus konsisten dan jelas. Karena jika perintah yang diberikan sering berubah-ubah, maka dapat menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di lapangan. Disisi yang lain, perintah-perintah implementasi kebijakan yang tidak konsisten akan mendorong para pelaksana mengambil tindakan yang longgar dalam menafsirkan dan mengimplementasikan kebijakan. Bila hal ini terjadi, maka akan berakibat pada ketidakefektifan implementasi kebijakan karena tindakan yang sangat longgar besar kemungkinan tidak dapat digunakan untuk melaksanakan tujuan-tujuan kebijakan. 2. Sumber-Sumber Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan jelas dan konsisten, tetapi bila implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan efektif. Menurut Winarno 2007:181, sumber-sumber yang penting meliputi staf yang memadai serta keahlian- keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang, dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk menterjemahkan usul-usul di atas kertas guna melaksanakan pelayanan-pelayanan publik. Indikator sumber-sumber yang dimaksud yaitu: a. Staf Menurut Winarno 2007:181 sumber yang paling penting dalam melaksanakan kebijakan adalah staf. Ada satu hal yang harus diingat bahwa jumlah tidak selalu mempunyai efek positif bagi implementasi kebijakan. Hal itu berarti bahwa jumlah staf yang banyak tidak secara otomatis mendorong implementasi yang berhasil. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kecakapan yang dimiliki oleh para pegawai ataupun staf, namun disisi lain kekurangan staf juga akan menimbulkan persoalan yang pelik menyangkut implementasi kebijakan yang efektif. b. Informasi. Menurut Winarno 2007:183-184 dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai dua bentuk, yaitu: 1. Informasi mengenai bagaimana melaksanakan suatu kebijakan. Pelaksana-pelaksana perlu mengetahui apa yang dilakukan dan bagaimana mereka harus melakukanya. Dengan demikian, para pelaksana kebijakan harus diberikan petunjuk untuk melakukan kebijakan. 2. Informasi adalah data tentang ketaatan personil-personil terhadap peraturan-peraturan pemerintah. Pelaksana-pelaksana harus mengetahui apakah orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan mentati peraturan tersebut atau tidak. c. Wewenang. Sumber lain yang penting dalam pelaksanaan adalah wewenang. Wewenang ini akan berbeda-beda dari satu program ke program yang lain serta mempunyai banyak bentuk yang berbeda. Menurut Winarno 2007:185 dalam beberapa hal suatu badan mempunyai wewenang yang terbatas atau kekurangan wewenang untuk melaksanakan suatu kebijakan dengan tepat. Bila wewenang formal tidak ada, atau sering disebut sebagai wewenang diatas kertas sering kali salah dimengerti oleh pengamat dengan wewenang yang efektif. Padahal keduanya mempunyai perbedaan yang substansial. d. Fasilitas-fasilitas. Fasilitas fisik juga merupakan faktor penting dalam implementasi kebijakan. Implementor mungkin memiliki staf yang mencukupi, mengerti apa yang dilakukan, dan memiliki wewenang melaksanakan tugasnya, tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung sarana dan prasarana maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan berhasil. 3. Kecenderungan-kecenderungan Kecenderungan adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran sifat demokratis. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembut kebijakan. Ketika implementor memiliki perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif. Menurut Edward yang dikutip Winarno 2007:194 dampak dari kecenderungan-kecenderungan banyak kebijakan masuk kedalam “zona ketidakacuhan”. Ada kebijakan yang dilaksanakan secara efektif karena mendapat dukungan dari para pelaksana kebijakan, namun kebijakan-kebijakan lain mungkin akan bertentangan secara langsung dengan pandangan-pandangan pelaksana kebijakan atau kepentingan pribadi atau organisasi dari para pelaksana. 4. Struktur Birokrasi Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Menurut Winarno 2002:149 birokrasi merupakan salah satu badan yang paling sering bahkan secara keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan. Sistem birokrasi kadang kala memang sengaja diciptakan untuk menjalankan suatu kebijakan tertentu. Oleh sebab itu, mereka tidak hanya terdapat dalam struktur pemerintah, tetapi bisa juga berada dalam organisasi-organisasi swasta yang lain bahkan di institusi-institusi pendidikan dan kadang kala suatu sistem birokrasi sengaja diciptakan untuk menjalankan suatu kebijakan tertentu. Menurut Edward ada dua karakter utama dalam birokrasi, yakni: a. Standart Operating Procedures SOP Menurut Winarno 2007:204, salah satu aspek-aspek struktural paling dasar dari suatu organisasi adalah prosedur-prosedur kerja ukuran dasarnya Standart Operating Procedures, SOP. Dengan mengunakan SOP, para pelaksana dapat memanfaatkan waktu yang tersedia. Selain itu, SOP juga menyeragamkan tindakan-tindakan dari para pejabat dalam organisasi-organisasi yang kompleks dan tersebar luas, yang pada giliranya dapat menimbulkan fleksibilitas yang besar dan kesamaan yang besar dalam penerapan peraturan-peraturan. b. Fragmentasi. Kemudian menurut Winarno 2007:206, konsekuensi yang paling buruk dari fragmentasi birokrasi adalah usaha menghambat koordinasi. Para birokrat karena alasan-alasan prioritas dari badan-badan yang berbeda mendorong para birokrat ini untuk menghindari koordinasi dengan badan- badan lain. Menurut Winarno 2007:207, Fragmentasi mengakibatkan pandangan-pandangan yang sempit dari banyak lembaga birokrasi. Hal ini menimbulkan dua konsekuensi pokok yang merugikan bagi implementasi yang berhasil, yaitu: a. tidak ada orang yang akan mengakhiri implementasi kebijakan dengan melaksanakan fungsi-fungsi tertentu karena tanggung jawab bagi suatu kebijakan yang terpecah-pecah; b. pandangan-pandangan yang sempit dari badan-badan yang dapat menghambat perubahan. Konsep implementasi kebijakan digunakan dalam penelitian ini karena penelitian ini membahas tentang Implementasi Program Pengembangan Budaya Baca an Pembinaan Perpustakaan Di Kecamatan Banyuwangi Kabupaten Banyuwangi Tahun 2013. Untuk mengetahui bagaimana implementasi program ini, penulis menggunakan model implementasi kebijakan yang dikemukakan Van Meter dan Van Horn. Alasan penggunaan model Van Meter dan Van Horn adalah variabel-variabel yang dikembangkan oleh Van Meter dan Van Horn yaitu: ukuran dan tujuan kebijakan, sumber-sumber kebijakan, komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan, karakteristik badan pelaksana, kondisi-kondisi ekonomi, sosial dan politik, kecenderungan pelaksana implementors dapat menjelaskan proses Implementasi Program Pengembangan Budaya baca dan Pembinaan Perpustakaan di Kecamatan Banyuwangi, Kabupaten Banyuwangi Tahun 2013. Lebih lanjut mereka menjelaskan bahwa secara implisit, kaitan yang tercakup dalam model tersebut menjelaskan hipotesis- hipotesis yang dapat diuji secara impirik. Selain itu, indikator-indikator yang memuaskan dapat dibentuk dan data yang tepat dapat dikumpulkan Dari penjelasan tersebut, dalam pandangan Van Meter dan Van Horn, kita mempunyai harapan yang besar untuk menguraikan proses-proses dengan cara melihat bagaimana keputusan-keputusan kebijakan dapat dilaksanakan dibandingkan hanya sekedar menghubungkan variable bebas dan variabel terikat dalam suatu cara semena-mena. Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa semua kebijaksanaan pemerintah itu barulah ada artinya, bila pelaksanaan kebijakan itu dilakukan melalui jalan yang sesuai dan sebagaimana seharusnya untuk kepentingan bersama. Sehingga proses pelaksanaan kebijakan merupakan proses yang dapat panjang dan meluas guna tercapainya tujuan kebijakan itu, karena penerapan kebijakan itu adalah terhadap rakyat, dan rakyat ini mempunyai sifatnya berkembang dengan kesadaran nilai-nilai yang berkembang pula.

2.3. Diskresi Pelaksana Program