Di RSUP. H. Adam Malik Medan dan BPK. Dr. Pirngadi Medan, sejauh ini belum ada evaluasi skrining pendengaran pada bayi baru lahir baik di
SMF THT-KL maupun di divisi perinatologi SMF Ilmu Kesehatan anak.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut :
a. Bagaimana gambaran hasil pemeriksaan emisi otoakustik pada skrining awal pendengaran bayi baru lahir di RSUP. H. Adam Malik Medan dan
BPK. Dr. Pirngadi Medan. b. Bagaimana gambaran hasil pemeriksaan emisi otoakustik pada skrining
awal pendengaran bayi baru lahir dengan faktor risiko dan tanpa faktor risiko.
c. Bagaimana karakteristik faktor risiko pada skrining awal pendengaran bayi baru lahir yang dilakukan pemeriksaan emisi otoakustik.
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui gambaran hasil pemeriksaan emisi otoakustik pada skrining awal pendengaran bayi baru lahir di RSUP. H. Adam Malik
Medan dan BPK. Dr. Pirngadi Medan.
Okti Trihandani : Gambaran Hasil Pemeriksaan Emisi Otoakustik Sebagai Skrining Awal Pendengaran Bayi Baru Lahir Di RSUP H.Adam Malik Medan Dan Balai Pelayanan Kesehatan Dr.Pirngadi Medan, 2009
USU Repository © 2008
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui gambaran hasil pemeriksaan emisi otoakustik pada skrining awal pendengaran bayi baru lahir di RSUP. H. Adam
Malik Medan dan BPK. Dr. Pirngadi Medan. b. Mengetahui gambaran hasil pemeriksaan emisi otoakustik pada
skrining awal pendengaran bayi baru lahir dengan faktor risiko dan tanpa faktor risiko.
c. Mengetahui karakteristik faktor risiko pada skrining awal
pendengaran bayi baru lahir pada pemeriksaan emisi otoakustik. d.
Mengetahui distribusi jenis kelamin bayi baru lahir yang dilakukan pemeriksaan emisi otoakustik.
e. Mengetahui karakteristik jenis persalinan pada bayi baru lahir yang dilakukan pemeriksaan emisi otoakustik.
1.4 Manfaat Penelitian
a. Dapat mengetahui faktor-faktor risiko yang dapat mempengaruhi fungsi koklea sehingga dapat dilakukan pencegahan gangguan pendengaran
sedini mungkin. b. Sebagai pengembangan keilmuan di bidang Ilmu Penyakit Telinga
Hidung, Tenggorok Kepala dan Leher, divisi Neurootologi dan divisi THT Komunitas
c. Sebagai dasar penelitian selanjutnya dalam skrining pendengaran pada bayi baru lahir sebagai upaya deteksi dini gangguan pendengaran.
Okti Trihandani : Gambaran Hasil Pemeriksaan Emisi Otoakustik Sebagai Skrining Awal Pendengaran Bayi Baru Lahir Di RSUP H.Adam Malik Medan Dan Balai Pelayanan Kesehatan Dr.Pirngadi Medan, 2009
USU Repository © 2008
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 EMBRIOLOGI TELINGA DALAM
Telinga adalah organ fungsi pendengaran dan pengatur keseimbangan, yang dapat dibagi atas tiga bagian, yaitu telinga luar,
telinga tengah dan telinga dalam Soetirto, 2001. Telinga dalam adalah organ pertama dari tubuh yang dalam
perkembangannya telah terbentuk secara sempurna baik dalam ukuran maupun konfigurasinya yaitu pada umur kehamilan trimester kedua.
Diferensiasi telinga dalam dimulai pada awal minggu ketiga, perkembangan intra uterine yang ditandai dengan tampaknya plakode
auditori ektoderm pada setingkat myelencephalon. Plakode auditori berinvaginasi membentuk lubang pit auditori sepanjang minggu ke 4,
yang kemudian menjadi vesikula auditori Mattox, 1991; Austin, 1997. Perkembangan prenatal dibagi dalam sejumlah periode yang
terpisah. Periode pertama mulai dari waktu implantasi, perkembangan blastosit di dalam dinding uterus sampai sirkulasi intra embrionik
berkembang. Selama periode pendahulu ini kurang lebih 25 hari, pelapisan dari ektoderm, mesoderm, endoderm, berkembang membentuk lempeng
yang mengandung notocord.
Okti Trihandani : Gambaran Hasil Pemeriksaan Emisi Otoakustik Sebagai Skrining Awal Pendengaran Bayi Baru Lahir Di RSUP H.Adam Malik Medan Dan Balai Pelayanan Kesehatan Dr.Pirngadi Medan, 2009
USU Repository © 2008
Periode kedua sekitar 35 hari yaitu sampai akhir minggu ke 8, yang disebut periode embrionik. Selama waktu ini, ada pertumbuhan yang cepat
dan diferensiasi sel sehingga menjelang hari ke 56, semua sistem utama organ dibentuk dan embrio mempunyai bentuk luar yang dikenal sebagai
manusia Wright, 1997.
2. 2 ANATOMI 2. 2. 1 TELINGA DALAM
Berdasarkan bentuknya, telinga dalam disebut sebagai labirin. Labirin terdiri dari labirin bagian membran dan labirin bagian
tulang. Labirin bagian membran berisi cairan endolimfe yang tinggi kalium dan rendah natrium, sedang labirin bagian tulang berisi
cairan perilmfe yang tinggi natrium dan rendah kalium. Labirin bagian tulang dan membran memiliki bagian vestibular dan bagian
koklear. Bagian vestibularis berhubungan dengan keseimbangan, sementara bagian koklearis merupakan organ pendengaran Austin
D. F., 1997; Liston S.L. Duvall A.J., 1994.
2. 2. 1. 1 KOKLEA
Bagian inferior labirin berbentuk spiral dengan 2 ½ sampai 2 ¾ putaran. Aksis dari spiral tersebut dikenal sebagai
modiolus, berisi berkas saraf dan suplai arteri dari arteri vertebralis. Serabut saraf kemudian berjalan menerobos suatu
Okti Trihandani : Gambaran Hasil Pemeriksaan Emisi Otoakustik Sebagai Skrining Awal Pendengaran Bayi Baru Lahir Di RSUP H.Adam Malik Medan Dan Balai Pelayanan Kesehatan Dr.Pirngadi Medan, 2009
USU Repository © 2008
lamina tulang yaitu lamina spiralis oseus untuk mencapai sel- sel sensorik organ Corti. Rongga koklea bertulang dibagi
menjadi tiga bagian oleh duktus koklearis yang panjangnya 35mm dan berisi cairan endolimfe Austin D. F., 1997; Liston
S.L. Duvall A.J., 1994. Bagian atas adalah skala vestibuli berisi cairan perilimfe
dan dipisahkan dari duktus koklearis oleh membran Reissner yang tipis. Bagian bawah adalah skala timpani juga
mengandung cairan perilimfe dan dipisahkan dari duktus koklearis oleh lamina spiralis oseus dan membran basilaris.
Cairan perilimfe pada kedua skala berhubungan pada apeks koklea spiralis tepat setelah ujung buntu duktus koklearis
melalui suatu celah yang dikenal sebagai helikotrema. Membran basilaris sempit pada basisinya nada tinggi dan
melebar pada apeks nada rendah Austin D. F., 1997; Liston S.L. Duvall A.J., 1994.
Terletak di atas membran basilaris dari basis ke apeks adalah organ Corti, yang mengandung organel-organel
penting untuk mekanisme saraf perifer pendengaran. Organ Corti terdiri dari satu baris sel rambut dalam 3000-3500 dan
tiga baris sel rambut luar 12000. Sel-sel ini menggantung lewat lubang-lubang lengan horizontal dari suatu jungkat-
jungkit yang dibentuk oleh sel-sel penyokong. Ujung saraf
Okti Trihandani : Gambaran Hasil Pemeriksaan Emisi Otoakustik Sebagai Skrining Awal Pendengaran Bayi Baru Lahir Di RSUP H.Adam Malik Medan Dan Balai Pelayanan Kesehatan Dr.Pirngadi Medan, 2009
USU Repository © 2008
aferen dan eferen menempel pada ujung bawah sel rambut. Pada permukaan sel-sel rambut terdapat stereosilia yang
melekat pada suatu selubung di atasnya yang cenderung datar, bersifat gelatinosa dan aselular, dikenal sebagai
membran tektoria. Membran tektoria disekresi dan disokong oleh suatu panggung yang terletak di medial disebut sebagai
limbus Austin D. F., 1997; Liston S.L. Duvall A.J., 1994.
Gambar 2. 1 Koklea Leblane A., 2000
Okti Trihandani : Gambaran Hasil Pemeriksaan Emisi Otoakustik Sebagai Skrining Awal Pendengaran Bayi Baru Lahir Di RSUP H.Adam Malik Medan Dan Balai Pelayanan Kesehatan Dr.Pirngadi Medan, 2009
USU Repository © 2008
Gambar 2. 2 Pemnampang koklea potongan melintang
Leblane A., 2000
2. 3 FISIOLOGI
Getaran suara dihantarkan lewat liang telinga dan telinga tengah ke telinga dalam melalui stapes, menimbulkan suatu gelombang yang berjalan
di sepanjang membran basilaris dan organ Corti. Puncak gelombang yang berjalan di sepanjang membran basilaris yang panjangnya 35mm tersebut,
ditentukan oleh frekuensi gelombang suara. Hal ini berakibat membengkoknya stereosilia oleh kerja pemberat membran tektoria, dengan
demikian menimbulkan depolarisasi sel rambut dan menciptakan potensial aksi pada serabut-serabut saraf pendengaran yang melekat padanya. Di
sinilah gelombang suara mekanis diubah menjadi energi elektrokimia agar dapat ditransmisikan melalui saraf kranialis ke-8 Liston S.L. Duvall A.J.,
1994; Mills J. et al, 2006.
Okti Trihandani : Gambaran Hasil Pemeriksaan Emisi Otoakustik Sebagai Skrining Awal Pendengaran Bayi Baru Lahir Di RSUP H.Adam Malik Medan Dan Balai Pelayanan Kesehatan Dr.Pirngadi Medan, 2009
USU Repository © 2008
Paling tidak sebagian analisis frekuensi telah terjadi pada tingkat organ Corti. Peristiwa listrik pada organ dapat diukur dan dikenal sebagai
mikrofonik koklearis. Peristiwa listrik yang berlangsung dalam neuron juga dapat diukur dan disebut sebagai potensial aksi Liston S.L. Duvall A.J.,
1994; Mills J. et al, 2006.
2. 4 PERKEMBANGAN MERESPON SUARA 2. 4. 1 Respon Neonatal
Selama minggu pertama kehidupan, respon bayi terhadap suara keras dengan refleks terkejut. Respon ini termasuk aural
palpebra reflex, perubahan pada denyut jantung dan pola dari pernapasan, sentakan kepala ke belakang, respon menangis,
gerakan tubuh Refleks Morrow atau kadang-kadang penghentian aktifitas. Respon-respon ini tidak terjadi dengan suara yang tenang
dan intensitas suara yang rendah. Nada murni antara 500-4000 Hz dengan intensitas 85 – 95 dB dapat menimbulkan refleks ini pada
neonates sampai umur 2 minggu. Adanya suatu respon sangat tergantung pada keadaan psikofisiologikal anak. Untuk alasan ini
maka tidak mungkin untuk menilai ambang pendengaran neonatal secara akurat dengan teknik perilaku Bellman S. Vanniasegaram
I., 1997; Feldman A. S Grimes C. T., 1997.
Okti Trihandani : Gambaran Hasil Pemeriksaan Emisi Otoakustik Sebagai Skrining Awal Pendengaran Bayi Baru Lahir Di RSUP H.Adam Malik Medan Dan Balai Pelayanan Kesehatan Dr.Pirngadi Medan, 2009
USU Repository © 2008
2. 4. 2 Respon pada bayi di bawah 4 bulan
Pada usia ini mulai memperhatikan suara dan merespon dengan diam dan mendengarkan. Pada usia 4 bulan, bayi diam dan
tersenyum untuk merespon suara orang tuanya, bahkan ketika sumber suara tidak terlihat. Respon ini terutama dijumpai pada suara
keras dan tidak tetap pada suara yang lebih tenang, sehingga dapat digunakan untuk perkiraan ambang dengar Bellman S.
Vanniasegaram I., 1997.
2. 4. 3 Respon pada usia 4 – 6 bulan
Pada usia ini bayi mulai menggerakkan kepala ke sumber suara dengan lebih konsisten. Respon ini tidak hanya lebih nyata, tetapi
juga terjadi pada intensitas suara rendah. Jadi perkiraan ambang pendengaran dengan menggunakan teknik perilaku terkadang
mungkin untuk dilakukan. Bagaimanapun juga, perubahan respon terhadap lokalisasi suara yang tepat terlihat pada bayi yang lebih tua
Bellman S. Vanniasegaram I., 1997 . Mengarah ke arah sumber rangsangan suara seringkali
terlambat dan memerlukan pemberian rangsangan suara yang lama tanpa meningkatkan intensitas suara. Anak pada usia ini mungkin
belajar melokalisasi suara pada arah suara pertama, tetapi kemudian hanya mengarahkan pada arah ini dimanapun sumber suara
Bellman S. Vanniasegaram I., 1997.
Okti Trihandani : Gambaran Hasil Pemeriksaan Emisi Otoakustik Sebagai Skrining Awal Pendengaran Bayi Baru Lahir Di RSUP H.Adam Malik Medan Dan Balai Pelayanan Kesehatan Dr.Pirngadi Medan, 2009
USU Repository © 2008
2. 4. 4 Respon pada usia 7 – 9 bulan
Pada usia ini anak dapat menentukan lokasi suara intensitas rendah secara tepat pada arah horizontal. Sebagian besar anak
masih belum mampu untuk menentukan sumber suara dari arah bawah dan diatas kepalanya. Anak akan bergerak ke arah suara
orang tuanya yang berada diluar kamar dan mencari sumber suara yang menarik perhatiannya. Anak juga akan berceloteh nyaring dan
mulai untuk meniru suara-suara dengan lebih jelas Bellman S. Vanniasegaram I., 1997 .
2. 4. 5. Respon pasa usia 10 – 12 bulan
Pada usia ini anak dapat melokalisasi suara intensitas rendah pada berbagai tempat bila ia tidak terlalu sibuk dengan kegiatan lain.
Pengucapan kata-kata berkembang untuk kata-kata tunggal seperti namanya, kata tidak, dan objek-objek yang telah dikenal baik
olehnya. Pada saat perkembangan vokalisasi sampai ulang tahunnya yang pertama, beberapa anak mencoba untuk berkata-kata dan
mengulang beberapa kata Bellman S. Vanniasegaram I., 1997 .
2. 4. 6. Respon pada usia 13 – 24 bulan
Anak pada usia ini mampu melokalisasi suara secara cepat tetapi mulai dapat mengantisipasi dan mengamati sumber suara
selama uji tingkah laku dilakukan. Terjadi perkembangan dalam
Okti Trihandani : Gambaran Hasil Pemeriksaan Emisi Otoakustik Sebagai Skrining Awal Pendengaran Bayi Baru Lahir Di RSUP H.Adam Malik Medan Dan Balai Pelayanan Kesehatan Dr.Pirngadi Medan, 2009
USU Repository © 2008
pemahaman kata-kata, juga pada beberapa anak usia 18 bulan dapat mengenali beberapa bagian tubuh. Pada usia 2 tahun, anak
akan selalu memungut mainannya ketika terjatuh. Perbendaharaan kata – kata anak berkembang setelah tahun kedua kehidupan dan
anak mulai menggabungkan dua kata secara bersamaan pada usia 18 -21 bulan Bellman S. Vanniasegaram I., 1997.
2. 4. 7. Respon pada usia lebih dari 2 tahun
Pada usia ini anak biasanya akan bereaksi terhadap rangsangan suara yang pertama diberikan, dan akan mengabaikan
suara yang diberikan berikutnya. Pada tahap ini sangat sulit dilakukan pemeriksaan, play audiometry dengan menggunakan
tempat seluas mungkin dapat dicoba untuk dilakukan. Pada beberapa anak sudah dapat dilakukan pemeriksaan audiometri nada
murni pada usia 3 tahun Bellman S. Vanniasegaram I., 1997 .
2. 5 PATOGENESIS GANGGUAN PENDENGARAN
Gangguan pendengaran pada bayi baru lahir dapat disebabkan oleh karena kegagalan perkembangan satu atau lebih dari bagian sistem
auditori atau terhentinya proses perkembangan pada tahap tertentu. Selain itu, terdapat juga beberapa faktor yang dapat menyebabkan degenerasi
mekanisme perkembangan pendengaran.
Okti Trihandani : Gambaran Hasil Pemeriksaan Emisi Otoakustik Sebagai Skrining Awal Pendengaran Bayi Baru Lahir Di RSUP H.Adam Malik Medan Dan Balai Pelayanan Kesehatan Dr.Pirngadi Medan, 2009
USU Repository © 2008
Ormerod 1960 mengelompokkan patologi tuli kongenital sebagai berikut Friedmann I., 1997.
a. Kegagalan atau terhentinya perkembangan akibat adanya faktor genetik, atau pengaruh toksik yang didapatkan semasa kehamilan
trimester pertama. aplasia b. Terhentinya pertumbuhan
c. Degenerasi bagian sistem auditori yang telah mencapai kematangan abiotrofi :
1 Duktus koklearis atau skala media 2 End organ sensoris
3 Serabut – serabut syaraf
2. 6 EMISI OTOAKUSTIK
Emisi otoakustik pertama kali ditemukan oleh Gold pada tahun 1948 dan diperkenalkan oleh Kemp pada tahun 1978. Emisi otoakustik
merupakan suara dengan intensitas rendah yang diproduksi oleh koklea baik secara spontan ataupun menggunakan stimulus, yang disebabkan
oleh gerakan sel-sel rambut luar di telinga bagian dalam. Gerakan- gerakan ini adalah hasil mekanisme sel yang aktif, yang dapat terjadi baik
secara spontan, maupun oleh rangsangan bunyi dari luar Suleh S. Djelantik, 1999.
Bunyi click dengan intensitas sedang atau kombinasi yang sesuai dari dua tone dapat mencetuskan pergerakan sel rambut luar, kemudian
Okti Trihandani : Gambaran Hasil Pemeriksaan Emisi Otoakustik Sebagai Skrining Awal Pendengaran Bayi Baru Lahir Di RSUP H.Adam Malik Medan Dan Balai Pelayanan Kesehatan Dr.Pirngadi Medan, 2009
USU Repository © 2008
terjadi biomekanik dari membran basilaris sehingga menghasilkan amplifikasi energi intrakoklear dan tuning koklear. Pergerakan sel rambut
luar menimbulkan energi mekanis dalam koklea yang diperbanyak keluar melalui sistem telinga tengah dan membran timpani menuju liang telinga.
Getaran dari membrana timpani menghasilkan sinyal bunyi Emisi otoakustik, yang dapat diukur dengan mikrofon Bellman S.
Vanniasegaram I., 1997; Hall Antonelli, 2006.
2. 6. 1 Anatomi dan fisiologi dasar emisi otoakustik
Ketika suara digunakan untuk memperoleh emisi, ditransmisikan melalui telinga luar, pada saat rangsang auditori
dirubah dari sinyal akustik menjadi sinyal mekanik di membran timpani dan ditransmisikan melalui tulang-tulang pendengaran
pada telinga tengah; footplate dari tulang stapes akan bergerak pada foramen ovale yang akan menyebabkan pergerakan
gelombang cairan pada koklea. Pergerakan gelombang cairan tersebut menggetarkan membrana basilaris dimana setiap bagian
dari membran basilaris sensitif terhadap frekuensi yang terbatas dalam rentang tertentu. Bagian yang paling dekat dengan foramen
ovale lebih sensitif terhadap rangsang suara dengan frekuensi tinggi, sementara bagian yang jauh dari foramen ovale lebih sensitif
terhadap rangsang suara dengan frekuensi rendah. Pada emisi otoakustik, respon pertama yang kembali dan direkam
Okti Trihandani : Gambaran Hasil Pemeriksaan Emisi Otoakustik Sebagai Skrining Awal Pendengaran Bayi Baru Lahir Di RSUP H.Adam Malik Medan Dan Balai Pelayanan Kesehatan Dr.Pirngadi Medan, 2009
USU Repository © 2008
menggunakan mikrofon berasal dari bagian koklea dengan frekuensi paling tinggi Campbell K.C.M., 2006.
Pada saat membran basilaris bergetar, sel-sel rambut turut bergerak dan respon elektromekanik terjadi, pada saat yang
bersamaan sinyal aferen ditransmisikan dan sinyal eferen diemisikan. Sinyal eferen ditransmisikan kembali melalui jalur
auditori dan sinyal tersebut diukur pada liang telinga Campbell K.C.M., 2006; Moller A. R., 2006.
Dasar-dasar dari timbulnya keaktifan emisi ini adalah kemampuan telinga dalam untuk mengadakan kompresi dinamis
sinyal bunyi. Dengan kompresi ini tekanan dinamik suara dapat diteruskan telinga bagian dalam kira-kira sebesar 0,7 ke sistem
saraf yang mempunyai kapasitas dinamis yang jauh lebih kecil. Kompresi ini merupakan kemampuan sel-sel rambut yang tidak
linear. Sel-sel rambut dalam yang sebenarnya adalah bagian aferen untuk sistem pendengaran, baru terangsang pada tekanan
bunyi yang lebih kecil, sel-sel rambut luar secara serentak menambah energi kepada sel-sel rambut dalam dengan cara
gerakan mekanis. Proses gerakan inilah yang diperkirakan merupakan sumber aktifitas emisi telinga bagian dalam Suleh S.
Djelantik, 1999; Moller A. R., 2006.
Okti Trihandani : Gambaran Hasil Pemeriksaan Emisi Otoakustik Sebagai Skrining Awal Pendengaran Bayi Baru Lahir Di RSUP H.Adam Malik Medan Dan Balai Pelayanan Kesehatan Dr.Pirngadi Medan, 2009
USU Repository © 2008
2. 6. 2. Tujuan pemeriksaan
Tujuan utama pemeriksaan emisi otoakustik adalah guna menilai keadaan koklea, khususnya fungsi sel rambut. Hasil
pemeriksaan dapat berguna untuk : Campbell K.C.M., 2006 a. Skrining pendengaran khususnya pada neonatus, infan atau
individu dengan gangguan perkembangan. b. Memperkirakan sensitivitas pendengaran dalam rentang
tertentu. c. Membedakan gangguan sensori dan neural pada gangguan
pendengaran sensorineural. d. Pemeriksaan pada gangguan pendengaran fungsional berpura-
pura. Pemeriksaan dapat dilakukan pada pasien yang sedang tidur, bahkan pada keadaan koma, karena hasil pemeriksaan
tidak memerlukan respon tingkah laku.
2. 6. 3. Syarat – syarat untuk menghasilkan emisi otoakustik
Campbell K.C.M., 2006 a. Liang telinga luar tidak obstruksi
b. Menutup rapat-rapat liang telinga dengan probe c. Posisi optimal dari probe
d. Tidak ada penyakit telinga tengah e. Sel rambut luar masih berfungsi
f. Pasien kooperatif g. Lingkungan sekitar tenang.
Okti Trihandani : Gambaran Hasil Pemeriksaan Emisi Otoakustik Sebagai Skrining Awal Pendengaran Bayi Baru Lahir Di RSUP H.Adam Malik Medan Dan Balai Pelayanan Kesehatan Dr.Pirngadi Medan, 2009
USU Repository © 2008
Audiometri nada murni dapat memeriksa telinga luar, telinga tengah, koklea, nervus cranial VIII dan system auditori sentral. Emisi otoakusik
hanya dapat menilai sistem auditori perifer, meliputi telinga luar, telinga tengah dan koklea. Respon memang berasal dari koklea, tetapi telinga
luar dan telinga tengah harus dapat mentransmisikan kembali emisi suara sehingga dapat direkam oleh mikrofon. Pemeriksaan emisi otoakustik
sering digunakan untuk skrining menentukan ada atau tidaknya fungsi koklea, meskipun sebenarnya pemeriksaan dapat dilakukan pada daerah
koklea dengan frekuensi tertentu. Emisi otoakustik tidak dapat digunakan untuk menentukan ambang dengar individu Campbell K.C.M. 2006.
Emisi otoakustik dapat terjadi spontan sebesar 40-60 pada telinga normal, tetapi secara klinis yang memberikan respon baik adalah evoked
otoacoutic emissions Bellman S. Vanniasegaram I., 1997.
2. 6. 4. Pembagian Emisi Otoakustik
Emisi otoakustik dibedakan menjadi 4 jenis, diantaranya : Norton Stover, 1994; Campbell K.C.M., 2006; Lee K. J. Peck
J. E., 2003 a. Spontaneous otoacoustic emissions SOAEs, merupakan emisi
suara tanpa adanya rangsangan bunyi secara spontan.
Okti Trihandani : Gambaran Hasil Pemeriksaan Emisi Otoakustik Sebagai Skrining Awal Pendengaran Bayi Baru Lahir Di RSUP H.Adam Malik Medan Dan Balai Pelayanan Kesehatan Dr.Pirngadi Medan, 2009
USU Repository © 2008
b. Transient otoacoustic emission TOAEs atau Transient evoked otoacoustic emissions TEOAEs, merupakan emisi suara yang
dihasilkan oleh rangsangan bunyi menggunakan durasi yang sangat pendek, biasanya bunyi click, tetapi dapat juga tone-
bursts. c. Distortion product otoacoustic emission DPOAEs, merupakan
emisi suara sebagai respon dari dua rangsang yang berbeda frekuensi.
d. Sustained-frequncy otoacoustic emission SFOAEs, merupakan emisi suara sebagai respon dari nada yang
berkesinambungan kontinyu.
2. 6. 4. 1. Spontaneous Otoacoustic Emissions
Respon non stimulus ini biasanya diukur dalam rentang frekuensi perekaman yang sempit 30 Hz bandwidth dalam
liang telinga luar. Diperlukan perekaman multiple untuk memastikan kemampuan replikasi dan untuk membedakan
respon dari tingkat bising. Perekaman SOAEs biasanya berada dalam rentang frekuensi 500 – 7000 Hz Campbell K.C.M. 2006.
Pada umumnya, SOAEs terjadi hanya pada 40-50 individu dengan pendengaran normal. Pada dewasa sekitar 30-60, pada
neonatus sekitar 25-80. SOAEs tidak ditemukan pada individu dengan ambang dengar 30 dB HL. Karena itu tidak adanya
Okti Trihandani : Gambaran Hasil Pemeriksaan Emisi Otoakustik Sebagai Skrining Awal Pendengaran Bayi Baru Lahir Di RSUP H.Adam Malik Medan Dan Balai Pelayanan Kesehatan Dr.Pirngadi Medan, 2009
USU Repository © 2008
SOAEs bukan pertanda adanya ketidaknormalan pendengaran dan biasanya tidak berhubungan dengan adanya tinitus.
Campbell K.C.M., 2006. SOAEs biasanya terjadi pada frekuensi 1000-2000 Hz,
amplitudo antara -5 dan 15 dB SPL. SOAEs biasanya terjadi secara bilateral, jika terjadi unilateral, biasanya lebih sering terjadi
pada sebelah kanan dibandingkan sebelah kiri, dan lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria Campbell K.C.M., 2006.
2. 6. 4. 2 Transient Evoked Otoacoustic Emission
TEOAE merupakan tes emisi otoakustik yang pertama kalinya digunakan dalam klinik. Stimulus yang dipakai pada
TEOAE adalah click, yang dapat merangsang seluruh partisi koklea sehingga menghasilkan respons yang melibatkan
beberapa frekuensi. Stimulus diberikan sekitar 60-80 dB SPL Abiratno S.F., 2003.
Dalam tes TEOAE, suara Emisi otoakustik direkam selama waktu yang tenang antara dua stimulus yang berlangsung
pendek, sehingga status sel rambut luar dalam keadaan relaks dapat dinilai. Seperti koklea pada umumnya yang dirangsang
dengan ‘klik’, stimulus akan diterima secara simultan di beberapa area di organ corti. TEOAE menunjukkan kondisi beberapa
bagian koklea dan sekaligus menilai status fungsi koklea pada tingkatan mendekati ambang stimulus Abiratno S.F., 2003.
Okti Trihandani : Gambaran Hasil Pemeriksaan Emisi Otoakustik Sebagai Skrining Awal Pendengaran Bayi Baru Lahir Di RSUP H.Adam Malik Medan Dan Balai Pelayanan Kesehatan Dr.Pirngadi Medan, 2009
USU Repository © 2008
Transducer Signal
Generation
Amplifier Filter
Time Domain
Averaging
Gambar 2. 3
Diagram skematik dari sistem representatif alat transient evoked otoacoustic emissions
Norton Stover, 1994
2. 6. 4. 3 Distortion Product Otoacoustic Emissions
Stimulus terdiri dari dua bunyi murni pada dua frekuensi contoh : f1, f2; f2f1 dan dua level intensitas contoh : L1, L2.
Hubungan antara L1-L2 dan f1-f2 menunjukkan respon frekuensi. Suatu rasio f1f2 menghasilkan DPOAEs terbesar pada 1,2 untuk
frekuensi tinggi dan rendah pada 1,3 untuk frekuensi medium. Untuk menghasilkan respon optimal, atur instensitasnya sehingga
L1 menyamai atau melebihi L2. Merendahkan intensitas absolut dari stimulus yang dibuat, DPOAE menjadi lebih sensitif terhadap
Okti Trihandani : Gambaran Hasil Pemeriksaan Emisi Otoakustik Sebagai Skrining Awal Pendengaran Bayi Baru Lahir Di RSUP H.Adam Malik Medan Dan Balai Pelayanan Kesehatan Dr.Pirngadi Medan, 2009
USU Repository © 2008
abnormalitas. Setting 6555 dB SPL L1-L2 adalah yang sering digunakan. Respon biasanya lebih bagus atau kuat dan direkam
pada frekuensi yang dipancarkan dari 2f1-f2, hal tersebut dibuat dalam bentuk grafik sesuai dengan f2, karena kawasan tersebut
memperkirakan regio frekuensi koklea yang menghasilkan respon Campbell K.C.M., 2006.
DPOAEs dapat memperoleh frekuensi yang spesifik dan dapat digunakan untuk merekam frekuensi yang lebih tinggi
daripada TEOAEs. DPOAEs dapat digunakan untuk mendeteksi kerusakan koklea akibat obat-obat ototoksik dan akibat bising
Campbell K.C.M., 2006.
2. 6. 4. 4 Sustained Frequency Otoacoustic Emissions
SPOAEs merupakan emisi suara sebagai respon dari nada yang berkesinambungan kontinyu. Secara klinis tidak digunakan
karena antara rangsang bunyi dan emisi otoakustik tumpang tindih di liang telinga overlap, sehingga mikrofon merekam
keduanya Campbell K.C.M., 2006.
Okti Trihandani : Gambaran Hasil Pemeriksaan Emisi Otoakustik Sebagai Skrining Awal Pendengaran Bayi Baru Lahir Di RSUP H.Adam Malik Medan Dan Balai Pelayanan Kesehatan Dr.Pirngadi Medan, 2009
USU Repository © 2008
2. 6. 5. Aplikasi Klinis Pemeriksaan Emisi Otoakustik
Aplikasi Klinis dari pemeriksaan emisi otoakustik terfokus untuk identifikasi gangguan sensorineural perifer, walaupun
diketahui bahwa kelainan di telinga luar dan telinga tengah sangat mempengaruhi transmisi hantaran suara Agustian R. A., 2008.
Pemeriksaan emisi otoakustik secara klinis dapat dibagi dalam beberapa kategori yaitu: Agustian R. A., 2008; Ballenger
J.J., 2003; Hall Antonelli, 2006
a. Aplikasi klinis Pada Anak