Gambaran Emisi Otoakustik Pada Bayi Baru Lahir Dengan Berbagai Faktor Risiko Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Periode Januari 2011 Sampai Juni 2012

(1)

KARYA TULIS ILMIAH

GAMBARAN EMISI OTOAKUSTIK PADA BAYI BARU

LAHIR DENGAN BERBAGAI FAKTOR RISIKO DI RUMAH

SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN

PERIODE JANUARI 2011 SAMPAI JUNI 2012

LYDIA YUSUF

090100044

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

GAMBARAN EMISI OTOAKUSTIK PADA BAYI BARU LAHIR DENGAN BERBAGAI FAKTOR RISIKO DI RUMAH SAKIT UMUM

PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN PERIODE JANUARI 2011 SAMPAI JUNI 2012

KARYA TULIS ILMIAH

”Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran”

LYDIA YUSUF 090100044

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2012


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Gambaran Emisi Otoakustik pada Bayi Baru Lahir dengan Berbagai Faktor Risiko di Rumah Sakit Adam Malik Medan Periode Januari 2011-Juni 2012 Nama : Lydia Yusuf

NIM : 090100044

Pembimbing

(dr. H. R. Yusa Herwanto, M.Ked (ORL-HNS), Sp.THT-KL) NIP. 196701261997071001

Penguji I Penguji II

(dr. Rumondang, M.Kes) (dr. Maya Savira, M.Kes) NIP. 196112101987032007 NIP. 197611192003122001

Medan, 15 Januari 2013 Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH) NIP: 19540220 198011 1 001


(4)

ABSTRAK

Latar belakang: Gangguan pendengaran pada bayi baru lahir tidak mudah untuk diketahui secara langsung. Gangguan pendengaran sering diabaikan sejak dini karena orang tua tidak langsung menyadari adanya gangguan pada anaknya sehingga diagnosa dini gangguan pendengaran pada bayi seringkali baru diketahui setelah usia 2-3 tahun. Oleh karena itu, mengetahui adanya gangguan pendengaran sedini mungkin sangat penting yaitu dengan pemeriksaan emisi otoakustik pada bayi baru lahir yang merupakan pemeriksaan baku emas.

Tujuan: Mengetahui gambaran hasil pemeriksaan emisi otoakustik pada bayi baru lahir dengan berbagai faktor risiko.

Metode: Desain penelitian berupa studi deskriptif yang bersifat retrospektif. Data yang digunakan adalah data rekam medis bayi baru lahir yang dilakukan pemeriksaan emisi otoakuastik. Data kemudian dianalisis dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.

Hasil : Sampel yang diperoleh sebanyak 86 bayi dengan faktor risiko dengan hiperbilirubinemia sebanyak 53 bayi (61.6%), berat bayi lahir rendah sebanyak 45 bayi (52.3%), TORCH sebanyak 10 bayi (11.6%), asfiksia berat sebanyak 9 orang (10.5%), kelainan anatomi sebanyak 6 bayi (7%), penggunaan alat bantu napas sebanyak 5 bayi (7%), sindroma tuli kongenital sebanyak 3 orang (3.5%) dan penggunaan obat ototoksik sebanyak 1 bayi (1.2%).

Kesimpulan: Gambaran hasil pemeriksaan emisi otoakustik pada 86 bayi baru lahir dengan faktor risiko di RSUP H. Adam Malik Medan adalah sebanyak 35 bayi (40.7%) bilateral pass, 31 bayi (36%) bilateral refer, 12 bayi (12.9%) unilateral refer kanan dan 8 bayi (9.3%) unilateral refer kiri, dimana faktor risiko terbanyak adalah hiperbilirubinemia (61.6%).


(5)

ABSTRACT

Background: Hearing loss in newborns is not easy to be known directly. Hearing loss is often overlooked in the beginning because the parents are not immediately aware of a disturbance in the child so that early diagnosis of hearing loss in infants is often known only after the age of 2-3. Therefore, knowing the presence of hearing loss as early as possible is very important by doing the otoaccoustic emission inspection in newborns which is the gold standard

Objective:

examination

Reveal the results of the otoaccoustic emission profile in newborns with multiple risk factors

Methods:

.

Design research is a retrospective descriptive study. The data used is the medical records of newborns who otoaccoustic emissions inspection. The data was then analyzed and presented in the form of a frequency distribution table Results:

. Samples were obtained as much as 86 newborns with risk factors

Conclusion:

which are 53 babies (61.6% hyperbilirubinemia, 45 babies (52.3%) low birth weight, 10 babies (11.6%) TORCH, 9 babies (10.5%) severe asphyxia, 6 babies (7%) anatomy disorder, 5 babies (7%) using additional breathing equipments, 3 babiescongenital death syndrome and 1 baby (1.2%) using ototoxicity drugs.

Overview of the results of otoaccoustic emission on 86 newborns with risk factors in Dr H. Adam Malik Medan is a total of 35 infants (40.7%) with bilateral pass result, 31 infants (36%) with bilateral refer results 12 babies (12.9%)with right unilateral refer and 8 babies (9.3%) with left unilateral refer with the largest risk factors is hyperbilirubinemia (61.6%).


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan sarjana kedokteran Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyelesaian karya tulis ilmiah ini, penulis banyak mendapat bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Prof. Dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian.

2. dr. H. R. Yusa Herwanto, M.Ked (ORL-HNS), Sp. THT-KL selaku dosen pembimbing penulis atas kesabaran, waktu, dan masukan-masukan yang diberikan kepada penulis untuk melakukan penelitian.

3. dr. Rumondang, M.Kes dan dr. Maya Savira, M.Kes selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dalam memperbaiki penelitian ini menjadi lebih baik.

4. Seluruh staf pengajar dan civitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara atas bimbingan selama perkuliahan hingga penyelesaian studi dan juga penulisan karya tulis ilmiah ini.

5. Kakak dan abang senior yang memberikan nasihat-nasihat, dukungan materi dan moril, bagi penulis dalam menjalani pendidikan selama ini. 6. Rekan satu dosen pembimbing dari penulis yang telah saling memberikan

masukan terhadap karya tulis ilmiah masing-masing.

7. Teman-teman karib penulis, yang dengan setia memberikan dukungan dan saran sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.


(7)

8. Rekan-rekan mahasiswa FK USU stambuk 2009 yang tidak mungkin disebutkan namanya satu per satu ,yang telah memberi saran, kritik, dukungan materi, dan moril dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini. 9. Orang tua penulis yang telah membesarkan dengan penuh kasih sayang

dan tiada bosan-bosannya mendoakan serta memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan karya tulis dan pendidikan.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan ilmu pengetahuan dan pengalaman penulis. Oleh karena itu,segala saran dan kritik sangat diharapkan demi kemajuan kualitas penelitian ini.

Akhir kata, penulis mengharapkan agar penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada semua orang untuk pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam dunia kedokteran.

Medan, 8 Desember 2012

Lydia Yusuf (NIM: 090100044)


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.3.1. Tujuan Umum ... 3

1.3.2. Tujuan Khusus ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Embriologi Telinga Dalam ... 5

2.2. Anatomi Telinga Dalam ... 6

2.2.1. Vestibulum ... 7

2.2.2. Kanalis Semisirkularis ... 8

2.2.3. Koklea... 8

2.2.4. Sakulus dan Utrikulus... 9

2.2.5. Duktus Semisirkularis ... 10

2.2.6. Duktus Koklearis ... 10

2.3. Vaskularisasi Telinga Dalam ... 11

2.4. Persarafan Telinga Dalam ... 11

2.5. Fisiologi Pendengaran ... 12

2.6. Perkembangan Merespon Suara ... 12

2.6.1. Respon pada Bayi di bawah 4 Bulan ... 13

2.6.2. Respon pada Bayi Usia 5-7 Bulan ... 13

2.6.3. Respon pada Bayi Usia 6-10 Bulan ... 13

2.6.4. Respon pada Bayi Usia 9-13 Bulan ... 13

2.6.5. Respon pada Bayi Usia 13-15 Bulan ... 13

2.6.6. Respon pada Bayi Usia 18-24 Bulan ... 14


(9)

2.7. Emisi Otoakustik ... 14

2.7.1. Anatomi dan Fisiologi Emisi Otoakustik ... 14

2.7.2. Tujuan Pemeriksaan Emisi Otoakustik ... 15

2.7.3. Syarat Untuk Menghasilkan Emisi Otoakustik ... 16

2.7.4. Pembagian Emisi Otoakustik ... 16

2.7.4.1. Spontaneous Otoacoustic Emissions ... 17

2.7.4.2. Transient Evoked Otoacoustic Emissions ... 17

2.7.4.3. Distortion Product Otoacoustic Emissions ... 17

2.7.4.4. Sustained Frequency Otoacoustic Emissions .. 18

2.7.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Emisi Otoakustik .. 18

2.7.5.1. Nonpatologi ... 18

2.7.5.2. Patologi ... 18

2.8. Skrining Pendengaran Bayi ... 19

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 22

3.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 22

3.2. Defenisi Operasional ... 22

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 26

4.1. Rancangan Penelitian ... 26

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 26

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 26

4.4. Metode Pengumpulan Data ... 27

4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 27

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 28

5.1. Hasil Penelitian 5.1.1 Deskripsi lokasi Penelitian ... 28

5.1.2 Deskripsi Karakteristik Subjek penelitian ... 28

5.2. Pembahasan ... 32

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 36

6.1. Kesimpulan ... 36

6.2. Saran ... 37

DAFTAR PUSTAKA...36


(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 2.1. Tabel Hiperbilirubinemia yang

Memerlukan Transfusi Darah 20

Tabel 3.1. Tabel Pengukuran 23

Tabel 5.1. Tabel Distribusi Frekuensi Banyak Subjek

Penelitian 29

Tabel 5.2. Tabel Distribusi Frekuensi Hasil Pemeriksaan

Emisi Otoakustik 29

Tabel 5.3. Tabel Distribusi Hasil OAE pada Bayi

Hiperbilirubinemia 30

Tabel 5.4. Tabel Distribusi Hasil OAE pada Bayi Berat

Lahir Rendah 30

Tabel 5.5. Tabel Distribusi Hasil OAE pada Bayi TORCH 30 Tabel 5.6. Tabel Distribusi Hasil OAE pada Bayi Asfiksia

Berat 31

Tabel 5.7. Tabel Distribusi Hasil OAE pada Bayi Kelainan

Anatomi 31

Tabel 5.8. Tabel Distribusi Hasil OAE pada Bayi yang

Menggunakan Alat Bantu Napas 31

Tabel 5.9. Tabel Distribusi Hasil OAE pada Bayi Sindroma

Tuli Kongenital 32

Tabel 5.10. Tabel Distribusi Hasil OAE pada Bayi yang

Menggunakan Obat Ototoksik 32

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 2.1. Perkembangan Telinga Dalam 6

Gambar 2.2. Membran Labirin 7

Gambar 2.3. Potongan Melintang Koklea 9

Gambar 2.4. Transmisi Suara 12

Gambar 2.5. Transient Evoked Otoacoustic Emission (TEOAE) 15 Gambar 2.6. Emisi Otoakustik pada Bayi Baru Lahir 16


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Riwayat Hidup Peneliti Lampiran 2 Ethical Clearance Lampiran 3 Data Induk Penelitian


(12)

ABSTRAK

Latar belakang: Gangguan pendengaran pada bayi baru lahir tidak mudah untuk diketahui secara langsung. Gangguan pendengaran sering diabaikan sejak dini karena orang tua tidak langsung menyadari adanya gangguan pada anaknya sehingga diagnosa dini gangguan pendengaran pada bayi seringkali baru diketahui setelah usia 2-3 tahun. Oleh karena itu, mengetahui adanya gangguan pendengaran sedini mungkin sangat penting yaitu dengan pemeriksaan emisi otoakustik pada bayi baru lahir yang merupakan pemeriksaan baku emas.

Tujuan: Mengetahui gambaran hasil pemeriksaan emisi otoakustik pada bayi baru lahir dengan berbagai faktor risiko.

Metode: Desain penelitian berupa studi deskriptif yang bersifat retrospektif. Data yang digunakan adalah data rekam medis bayi baru lahir yang dilakukan pemeriksaan emisi otoakuastik. Data kemudian dianalisis dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.

Hasil : Sampel yang diperoleh sebanyak 86 bayi dengan faktor risiko dengan hiperbilirubinemia sebanyak 53 bayi (61.6%), berat bayi lahir rendah sebanyak 45 bayi (52.3%), TORCH sebanyak 10 bayi (11.6%), asfiksia berat sebanyak 9 orang (10.5%), kelainan anatomi sebanyak 6 bayi (7%), penggunaan alat bantu napas sebanyak 5 bayi (7%), sindroma tuli kongenital sebanyak 3 orang (3.5%) dan penggunaan obat ototoksik sebanyak 1 bayi (1.2%).

Kesimpulan: Gambaran hasil pemeriksaan emisi otoakustik pada 86 bayi baru lahir dengan faktor risiko di RSUP H. Adam Malik Medan adalah sebanyak 35 bayi (40.7%) bilateral pass, 31 bayi (36%) bilateral refer, 12 bayi (12.9%) unilateral refer kanan dan 8 bayi (9.3%) unilateral refer kiri, dimana faktor risiko terbanyak adalah hiperbilirubinemia (61.6%).


(13)

ABSTRACT

Background: Hearing loss in newborns is not easy to be known directly. Hearing loss is often overlooked in the beginning because the parents are not immediately aware of a disturbance in the child so that early diagnosis of hearing loss in infants is often known only after the age of 2-3. Therefore, knowing the presence of hearing loss as early as possible is very important by doing the otoaccoustic emission inspection in newborns which is the gold standard

Objective:

examination

Reveal the results of the otoaccoustic emission profile in newborns with multiple risk factors

Methods:

.

Design research is a retrospective descriptive study. The data used is the medical records of newborns who otoaccoustic emissions inspection. The data was then analyzed and presented in the form of a frequency distribution table Results:

. Samples were obtained as much as 86 newborns with risk factors

Conclusion:

which are 53 babies (61.6% hyperbilirubinemia, 45 babies (52.3%) low birth weight, 10 babies (11.6%) TORCH, 9 babies (10.5%) severe asphyxia, 6 babies (7%) anatomy disorder, 5 babies (7%) using additional breathing equipments, 3 babiescongenital death syndrome and 1 baby (1.2%) using ototoxicity drugs.

Overview of the results of otoaccoustic emission on 86 newborns with risk factors in Dr H. Adam Malik Medan is a total of 35 infants (40.7%) with bilateral pass result, 31 infants (36%) with bilateral refer results 12 babies (12.9%)with right unilateral refer and 8 babies (9.3%) with left unilateral refer with the largest risk factors is hyperbilirubinemia (61.6%).


(14)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Bayi baru lahir normal adalah bayi yang lahir dengan berat lahir antara 2500-4000 gram, cukup bulan, ketika lahir langsung menangis dan tidak ada kelainan kongenital (cacat bawaan) yang berat (Kosim, 2007). Ada banyak kriteria menentukan bayi baru lahir normal dimulai dari ciri-ciri bayi baru lahir, refleks-refleks fisiologis serta penanganan yang harus segera dilakukan setelah bayi lahir. Salah satu hal yang perlu mendapat perhatian adalah gangguan pendengaran (tuli bawaan) pada bayi yang baru lahir.

Gangguan pendengaran sering diabaikan sejak dini karena orang tua tidak langsung menyadari adanya gangguan pada anaknya. Kadang-kadang anak dianggap sebagai anak autis atau hiperaktif karena sikapnya yang sulit diatur. Oleh karena itu, diagnosa dini gangguan pendengaran pada bayi tidaklah mudah, seringkali baru diketahui setelah usia 2-3 tahun. Di Poliklinik THT Komunitas Rumah Sakit Dokter Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 1992-2006, didapatkan 3.087 bayi atau anak yang tuli saraf bilateral berat dengan usia terbanyak adalah 1-3 tahun (Suwento, 2007).

Gangguan pendengaran yang terjadi pada usia prasekolah dapat berpengaruh pada perkembangan berbicara, sosial, emosional, tingkah laku, perhatian dan prestasi akademik. Oleh karena itu, mengetahui adanya gangguan pendengaran sedini mungkin penting untuk menentukan kelangsungan hidup individu (Haddad Jr. J., 2004).

Skrining awal pendengaran pada bayi baru lahir dapat dilakukan dengan baik dengan menggunakan alat emisi otoakustik yang saat ini merupakan pemeriksaan baku emas. Tentu saja dengan adanya upaya deteksi dini, diharapkan rehabilitasi menggunakan alat bantu dapat dilakukan segera mungkin untuk memperoleh hasil yang lebih baik sehingga terjadi perbaikan dalam hal perkembangan bahasa dan pertambahan kosakata anak (Zizlavsky, 2008).


(15)

Dengan menggunakan alat emisi otoakustik, pemeriksa dapat mendeteksi adanya kerusakan koklea yang disebabkan oleh obat-obat otoakustik, suara bising dan hipoksia (Norton, 1994). Penggunaan alat emisi otoakustik ini juga dikarenakan metoda ini objektif, aman dan tidak memerlukan prosedur yang invasif atau pengobatan sebelum dilakukan pemeriksaan. Pemeriksaan emisi otoakustik ini juga cepat karena hanya memerlukan waktu beberapa detik sampai menit dan mudah karena dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa memerlukan keahlian khusus (Lee K. J., 2003).

Survei kesehatan indera pendengaran yang dilakukan pada 7 provinsi di Indonesia pada tahun 1994-1996 mendapatkan prevalensi tuli sejak lahir sebesar 0,1% dari 19.375 sampel yang diperiksa. Dari angka tersebut dapat diperkirakan berapa jumlah penderita ketulian pada penduduk Indonesia saat ini (Hendarmin H., 2006). Suleh dan Djelantik pada tahun 1999 di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung, melaporkan dari 212 bayi yang dilakukan pemeriksaan emisi otoakustik ditemukan 3 bayi dengan hasil refer pada kedua telinganya.

Conolly pada tahun 2005, menemukan gangguan pendengaran sebanyak 1 dari 811 kelahiran tanpa faktor resiko dan 1 dari 75 kelahiran dengan faktor resiko (Sokol, 2002). Di Bulacan-Philipina, dari 724 bayi baru lahir dijumpai 708 (97,8%) bayi dengan pendengaran normal, 7 (1,0%) bayi mengalami tuli unilateral, 8 (1,1%) bayi mengalami tuli ringan bilateral dan 1 (0,1%) bayi mengalami tuli berat bilateral (Chiong C., 2007).

Di Liguria, Italia, dari 3.238 bayi baru lahir yang dilakukan pemeriksaan emisi otoakustik, didapatkan sebanyak 3.180 bayi (98,2%) memberikan hasil pass dan sebanyak 58 bayi (1,8%) memberikan hasil refer (Calevo M. G., 2007). Menurut data WHO tahun 2007, prevalensi gangguan pendengaran pada populasi penduduk Indonesia diperkirakan 4,2% sehingga berdasarkan data tahun 2002 bila jumlah penduduk Indonesia sebesar 221.900.000 maka 9.319.800 penduduk Indonesia diperkirakan menderita gangguan pendengaran.

Di Rumah Sakit Umum dan Pusat Haji Adam Malik Medan pada tahun 2008 dilakukan penelitian skrining pendengaran pada bayi baru lahir dengan menggunakan emisi otoakustik. Dari hasil penelitian, didapatkan dari 44 bayi baru


(16)

lahir yang diperiksa terdapat sebanyak 31 bayi (70,45%) dengan hasil bilateral pass dan sebanyak 13 bayi (29,95%) dengan hasil refer baik bilateral maupun unilateral (Trihandani O., 2008).

Penelitian yang dilakukan pada bayi baru lahir dengan berat badan rendah didapatkan dari 64 bayi berat lahir rendah terdapat sebanyak 45 bayi (70,3%) pass bilateral, 10 bayi (15,6%) refer bilateral, 2 bayi (10,9%) pass unilateral dan 3 bayi (4,6%) refer unilateral (Sigit, 2011). Di Yogyakarta didapatkan dari 31 bayi baru lahir dengan asfiksia sebanyak 15 bayi (48,38%) pass bilateral dan sebanyak 16 bayi (51,61%) refer bilateral maupun unilateral (Hakim L., 2011).

1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, didapatkan rumusan masalah berupa: “Gambaran Emisi Otoakustik Sebagai Skrining Awal Pendengaran pada Bayi Baru Lahir dengan Berbagai Faktor Risiko di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.”

1.3.Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui gambaran hasil pemeriksaan emisi otoakustik pada bayi baru lahir dengan berbagai faktor risiko.

1.3.2. Tujuan Khusus

Mengetahui gambaran faktor resiko yang menyebabkan gangguan pendengaran pada bayi baru lahir.

1.4.Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat :

a) Memberikan informasi kepada masyarakat luas, khususnya orang tua mengenai pemeriksaan emisi otoakustik sebagai evaluasi pendengaran pada bayi baru lahir.


(17)

b) Memberikan pengetahuan, wawasan, dan keterampilan kepada peneliti mengenai gambaran hasil pemeriksaan emisi otoakustik pada bayi baru lahir.


(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Embriologi Telinga Dalam

Telinga pada manusia terdiri atas tiga daerah yaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam. Telinga luar pada dasarnya merupakan corong pengumpul suara yang terdiri atas pinna dan saluran pendengaran luar. Telinga tengah adalah bagian yang menyalurkan suara dari telinga luar ke telinga dalam dan telinga dalam yang mengubah suara menjadi rangsangan saraf (Adnan,2008).

Telinga dalam adalah organ pertama dari tubuh yang dalam perkembangannya telah terbentuk secara sempurna baik dalam ukuran maupun konfigurasinya yaitu pada kehamilan trimester kedua. Diferensiasi telinga dalam dimulai pada awal minggu ketiga yaitu perkembangan intrauterin yang ditandai dengan tampaknya plokade ektoderm pada setingkat miensefalon. Plokade auditori berinvaginasi membentuk lubang (pit) auditori sepanjang minggu ke-4 yang kemudian menjadi vesikula auditori (Mattox, 1997).

Pada tahap perkembangan selanjutnya vesikula otik (vesikula auditori) bagian ventral membentuk sakulus dan koklearis sedangkan bagian dorsal membentuk utrikulus, kanalis semisirkularis dan duktus endolimfatikus. Pembentukan saluran-saluran tersebut disebabkan adanya bagian-bagian tertentu dari daerah tersebut yang berdegenerasi. Duktus koklearis yang sedang tumbuh menembus mesenkim di sekitarnya dan berpilin seperti membentuk spiral. Selanjutnya duktus koklearis tetap berhubungan dengan sakulus melalui duktus reunien.

Duktus semisirkularis, duktus utrikulus, duktus sakulus dan duktus koklearis kemudian diisi dengan cairan endolimfe sehingga semua struktur membran dari saluran tersebut dinamakan membran labirin. Dinding sel membran labirin sangat tipis dan terdiri atas sel-sel epitel tunggal yang ditutupi oleh lapisan serabut jaringan ikat yang dibentuk dari mesenkim di sekitarnya. Beberapa dari


(19)

sel epitel tersebut dimodifikasi menjadi sel-sel rambut (sel neuroepitel dan beberapa sel pendukung).

Dasar dari sel-sel neuroepitel dikelilingi oleh ujung serabut saraf yang datang dari ganglion spinal dan ganglion vestibular. Ganglion-ganglion tersebut berhubungan dengan otak melalui serabut saraf yang dibentuk oleh tulang yang disebut tulang labirin . Ruang diantara membran labirin dan tulang labirin tersebut berisi cairan perilimfe.

Gambar 2.1. Perkembangan Telinga Dalam (Majumdar, 1985)

2.2. Anatomi Telinga Dalam

Telinga dalam terdiri dari serangkaian rongga tulang yang disebut labirin tulang serta duktus dan sakulus membran yang disebut labirin membran (Drake R. L., Vogl W. and Mitchell A. W. M., 2004).

Labirin tulang terdiri dari vestibulum, kanalis semisirkularis dan koklea. Rongga tulang ini dibatasi dengan peritoneum dan mengandung cairan jernih disebut cairan perilimfe. Berbatasan dengan perilimfe tetapi tidak mengisi seluruh ruangan labirin tulang terdapat labirin membranosa yang terdiri dari duktus


(20)

semisirkularis, duktus koklearis, utrikulus dan sakulus. Ruang labirin membranosa ini diisi dengan cairan endolimfe.

Struktur dari telinga dalam membantu penyampaian informasi ke otak tentang keseimbangan dan pendengaran yaitu :

a. duktus koklear sebagai organ pendengaran.

b. duktus semisirkularis, utrikulus dan sakulus sebagai organ keseimbangan.

Gambar 2.2. Membran Labirin (Drake R. L., Vogl W. and Mitchell A. W. M., 2004)

2.2.1. Vestibulum

Vestibulum yang mengandung jendela oval pada dinding lateralnya adalah bagian pusat dari labirin tulang. Vestibulum berhubungan dengan koklea di bagian anterior dan dengan kanalis semisirkularis di bagian posterosuperior.

Pada dinding lateral vestibulum terdapat foramen oval yang ditutupi foot plate stapes beserta ligamentum anulare. Dinding medial vestibulum menghadap ke meatus akustikus internus dan ditembus oleh saraf. Pada dinding medial ini terdapat dua cekungan yaitu cekungan sferis untuk sakulus dan cekungan elips untuk utrikulus.


(21)

Pada dinding posterior vestibulum terdapat lima lubang kanalis semisirkularis dan di dinding anterior vestibulum terdapat dua lubang yang berbentuk elips ke skala vestibularis koklea (Wright, 1997).

2.2.2. Kanalis Semisikularis

Terdapat tiga buah kanalis yaitu kanalis semisirkularis superior, posterior dan lateral yang terletak di atas dan belakang vestibulum. Ketiga kanalis semisirkularis bermuara pada utrikulus. Bentuk kanalis seperti 2/3 lingkaran dengan panjang yang hampir sama yaitu ± 0,8 mm.

Pada salah satu ujung masing-masing kanalis ini melebar disebut ampula dan mengandung sel-sel rambut krista yang berisi epitel sensori vestibular dan terbuka ke vestibulum. Struktur reseptor ini disebut krista ampularis terletak memanjang di ujung ampula pada tiap kanal membranosa. Setiap krista terdiri dari sel rambut dan sel pendukung (sustenakular) yang dikelilingi oleh bagian gelatinosa (kupula) yang menutupi ampula. Prosesus dari sel rambut melekat pada kupula dan basis sel rambut berhubungan dekat dengan serabut aferen dari bagian vestibular dari kranial ke nervus VII (vestibulokoklear) (Barrett K. E. et al, ).

2.2.3. Koklea

Koklea terletak di depan vestibulum dan berbentuk seperti rumah siput yang mengarah ke dasar dari kanalis auditorius interna dan sumbunya yang panjang mengarah keluar dengan membentuk sudut 300

Di dasar koklea, skala vestibuli berakhir pada jendela oval yang ditutupi oleh kaki tulang pendengaran (stapes). Skala timpani berakhir pada jendela oval, sebuah foramen di dinding medial dari telinga dalam yang ditutupi oleh membran timpani yang fleksibel. Skala media, ruang tengah koklea, berlanjut ke labirin

dengan bidang horizontal. Di sepanjang koklea, membran basilar dan membran Reissner membagi koklea menjadi tiga ruang atau skala. Di atas terdapat skala vestibuli dan di bawah skala vestibuli dan di bawah terdapat skala timpani yang mengandung cairan perilimfe dan berhubungan satu sama lain di puncak koklea melalui sebuah lubang terbuka yang disebut helikotrema.


(22)

membraniosa dan tidak berhubungan dengan kedua skala lainnya (Guyton A. C. dan Hall J. E., 2010).

Gambar 2.3. Potongan Melintang Koklea (Leblane A., 2000)

2.2.4. Sakulus dan Utrikulus

Utrikulus terletak di bagian belakang lekukan dinding atas vestibulum, sakulus bentuknya jauh lebih kecil tetapi strukturnya sama dan terletak di dalam lekukan bagian bawah dan di depan utrikulus. Sakulus menyokong suatu struktur makula pada dinding medialnya dalam suatu bidang vertikal yang meluas ke dinding anterior. Sakulus berhubungan dengan utrikulus melalui suatu duktus yang sempit yang juga merupakan saluran menuju sakus endolimfatikus. Makula utrikulus terletak pada bidang tegak lurus terhadap macula sakulus, utrikulus dan sakulus seluruhnya dikelilingi oleh perilimfe kecuali pada tempat masuknya saraf di daerah makula (Liston, 1997).

Di dalam setiap labirin membranosa, di lantai utrikulus terdapat organ otolit (makula). Makula yang lain terletak pada dinding sakulus di posisi semivertikal. Makula mengandung sel pendukung dan sel rambut dikelilingi oleh sebuah membran otolit dimana melekat pada kristal kalsium karbonat yang disebut otolit. Otolit yang disebut juga otokonia atau debu telinga berukuran 3-19


(23)

µm pada manusia dan lebih padat dari cairan endolimfe. Prosesus dari sel rambut melekat pada membran. Serabut saraf dari sel rambut bergabung dengan krista dari bagian vestibular saraf kranial ke VII.

2.2.5. Duktus Semisirkularis

Bagian ini terbuka ke bagian posterior dari utrikulus melalui lima lubang yang terpisah dan letaknya tegak, ini merupakan tiga daratan pada ruang telinga dalam. Masing-masing duktus pada semisirkularis melebar pada salah satu ujungnya yang membentuk ampula dan terletak pada saluran tulang yang melebar. Panjang sumbu dari masing-masing ampula kira-kira 2mm.

2.2.6. Duktus Koklearis

Duktus koklearis disebut juga skala media dan merupakan bagian labirin membran koklea sedangkan bagian labirin tulang koklea disebut skala vestibuli dan skala timpani. Bentuk duktus koklearis ini mengikuti bentuk labirin tulang koklea berupa dua setengah sampai dua tiga perempat putaran spiral. Duktus koklearis meluas mulai dari basis koklea sampai ke apek koklea kemudian akan berakhir sebagai saluran buntu pada apeks yang disebut caecum cupulare. Skala vestibuli dan skala timpani pada apeks koklea berhubungan satu sama lain terdapat helikotrema (Austin, 1997).

2.2.7. Organ Corti

Pada membran basilaris terdapat organ corti dimana struktur tersebut mengandung sel rambut yang merupakan reseptor pendengaran. Organ ini memanjang dari apeks ke dasar koklea dan mempunyai bentuk spiral. Prosesus sel rambut melubangi lamina retikular, membran yang disokong oleh sel pilar atau rods of corti. Sel rambut disusun menjadi empat baris, tiga baris dari sel rambut luar lateral terhadap terowongan dibentuk oleh rods of corti dan satu baris dari sel rambut medial ke terowongan.

Menutupi barisan sel rambut adalah membran tektorial yang tipis, kental, dan elastik dimana sel rambut luar melekat. Badan sel neuron sensoris yang


(24)

terdapat di sekeliling dari dasar sel rambut terletak di ganglion spiral di dalam modiolus yang merupakan inti tulang dimana koklea terdapat.

2.3. Vaskularisasi Telinga Dalam

Telinga dalam mendapat vaskularisasi dari arteri labirin cabang dari arteri serebralis anterior-inferior tetapi dapat juga sebagai cabang langsung dari arteri basilaris. Arteri ini masuk ke meatus akustikus internus dan terpisah menjadi arteri vestibularis anterior dan arteri koklearis komunis yang bercabang pula menjadi arteri koklearis dan arteri vestibulokoklearis. Arteri vestibularis anterior memperarahi vestibularis anterior memperdarahi vestibularis, utrikulus dan sebagian duktus semisirkularis.

Arteri vestibulokoklearis sampai di modiolus di daerah putaran basal koklea terpisah menjadi cabang terminal vestibular dan cabang koklear. Cabang vestibular memperdarahi sakulus, sebagian besar kanalis semisirkularis dan ujung basal koklea. Cabang koklear memperdarahi ganglion spiralis, lamina spiralis ossea, limbus dan ligament/spiralis. Arteri koklearis berjalan mengitari nervus akustikus di kanalis akustikus di kanalis akustikus internus dan di dalam koklea mengitari modiolus.

Vena dialirkan ke vena labirintin yang diteruskan ke sinus petrosus inferior atau sinus sigmoideus. Vena-vena kecil melewati akuaduktus vestibularis dan koklearis ke sinus petrosus superior dan inferior (Wright, 1997).

2.4. Persarafan Telinga Dalam

Nervus vestibulokoklearis (nervus akustikus) yang dibentuk oleh bagian koklear dan vestibular di dalam meatus akustikus internus bersatu pada sisi lateral akar nervus fasialis dan masuk ke batang otak antara pons dan medulla. Sel sel sensoris vestibularis dipersarafi nervus koklearis dengan ganglion vestibularis (Scarpa) terletak di dasar meatus akustikus internus. Sel-sel sensoris pendengaran dipersarafi nervus koklearis dengan ganglion spiralis Corti terletak di modiolus, pada dasar meatus akustikus internus terletak ganglion vestibular (Donaldson, 1991).


(25)

2.5. Fisiologi Pendengaran

Proses mendengar diawali dengan dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong.

Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga cairan perilimfe pada skala vestibuli bergerak. Getaran diteruskan melalui membrana Reissner yang mendorong cairan endolimfe sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsangan mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis (Soepardi, 2007).


(26)

2.6. Perkembangan Merespon Suara 2.6.1. Respon pada Bayi di bawah 4 bulan

Pada masa ini bayi mulai menunjukkan perhatian lebih pada suara ibu daripada suara orang lain. Bayi akan terkejut jika ada bunyi keras dan mulai menyadari suara yang lembut. Bayi mulai bermain dengan mainan yang mengeluarkan bunyi dan berhenti menangis untuk mendengar suara. Bayi juga terbangun ketika ada suara keras dan mengedipkan atau melebarkan matanya sebagai reflex terhadap suara (Northen J. dan Downs H., 1991).

2.6.2. Respon pada Bayi Usia 5-7 bulan

Bayi mulai mencari sumber bunyi dan dapat menggeser kepalanya ke arah lateral ketika mendengar bunyi. Bayi memberikan tanggapan yang berbeda terhadap bunyi yang berbeda dan menangis jika mendengar suara yang tidak diinginkannya. Bayi mulai menyukai nyanyian dan siulan serta suara dari alat musik (Northen J. dan Downs H., 1991).

2.6.3. Respon pada Bayi Usia 6-10 bulan

Pada masa ini respon bayi tehadap suara meningkat dengan kepala berputar cepat. Bayi mulai dapat memberikan respon terhadap namanya, suara telepon dan suara lainnya. Bayi juga sudah dapat mengeluarkan suara dengan nada tinggi dan rendah (Northen J. dan Downs H., 1991).

2.6.4. Respon pada Bayi Usia 9-13 bulan

Perkembangan bayi mulai meningkat ditandai dengan bayi sudah dapat mengeluarkan beberapa suku kata seperti “ma-ma”. Bayi dapat mengeluarkan nada-nada nyanyian dan mengingat apa yang didengarnya. Bayi juga dapat menghubungkan bunyi tertentu dengan kejadian tertentu (Northen J. dan Downs H., 1991).


(27)

2.6.5. Respon pada Bayi Usia 13-15 bulan

Pada masa ini bayi sudah dapat mengikuti perintah sederhana dan dapat mengeluarkan 3-5 kata serta dapat menirukan bunyi-bunyi tertentu (Northen J. and Downs H., 1991).

2.6.6. Respon pada Bayi Usia 18-24 bulan

Bayi dapat mengenal bagian dari tubuh dan dapat mengeluarkan 20-50 kata. Bayi juga dapat mendengar namanya dipanggil dari ruangan lain (Northen J. dan Downs H., 1991).

2.6.7. Respon pada Bayi Usia di atas 24 bulan

Pada tahap ini bayi sudah dapat mengatakan 4-5 kalimat dan dapat dimengerti oleh orang yang mendengarkannya (Northen J. dan Downs H., 1991).

2.7. Emisi Otoakustik

Emisi otoakustik merupakan respon koklea yang dihasilkan oleh sel-sel rambut luar yang dipancarkan dalam bentuk energi akustik (Soepardi, 2007). Pemeriksaan emisi otoakustik dilakukan dengan cara memasukkan sumbat telinga (probe) ke dalam liang telinga luar. Dalam probe tersebut terdapat mikrofon dan pengeras suara. Mikrofon berfungsi menangkap suara yang dihasilkan koklea setelah pemberian stimulus. Sumbat telinga dihubungkan dengan komputer untuk mencatat respon yang timbul dari koklea. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan di ruangan yang sunyi atau kedap suara, hal ini untuk mengurangi bising lingkungan (Adams et al, 1997).

2.7.1. Anatomi dan Fisiologi Dasar Emisi Otoakustik

Ketika bunyi dihasilkan sebagai suatu emisi, bunyi tersebut ditransmisikan melalui telinga luar dimana rangsangan suara diubah dari suatu sinyal akustik menjadi sinyal mekanis pada membran timpani dan ditransmisikan melalui tulang pendengaran telinga tengah, kemudian kaki tulang stapes bergerak pada jendela oval menyebabkan gelombang bergerak di dalam koklea berisi cairan. Gelombang


(28)

yang bergerak di koklea menggerakkan membran basilar, setiap bagian membran basilar sensitif hanya pada jangkauan tertentu saja.

Penyusunan ini berdasarkan gradien tonotopik, bagian yang terdekat ke jendela oval lebih sensitif terhadap stimulus frekuensi tinggi. Bagian yang lebih jauh lebih sensitif terhadap stimulus frekuensi rendah. Oleh karena itu, respon pertama yang dikembalikan dan direkam oleh mikrofon adalah bagian koklea frekuensi tertinggi karena jarak tempuhnya lebih pendek. Respon dari bagian frekuensi lebih rendah yang dekat apeks koklea sampai setelahnya.

Ketika membran basilar bergerak, sel-sel rambut ikut bergerak dan sebuah respon elektromekanik dihasilkan ketika sebuah sinyal aferen ditransmisikan dan sebuah sinyal eferen dikeluarkan. Sinyal eferen ditransmisikan kembali melalui jalur pendengaran dan sinyal tersebut diukur di kanal telinga luar (Campbell K. C. M., 2010).

Gambar 2.5. Transient Evoked Otoacoustic Emission (TEOAE) (Soepardi, 2007)

2.7.2. Tujuan Pemeriksaan Emisi Otoakustik

Tujuan utama pemeriksaan emisi otoakustik adalah untuk menilai keadaan koklea terutama sel rambut. Hasil pemeriksaan dapat berguna untuk antara lain:

a. Skrining pendengaran awal khususnya pada neonatus infan atau individu dengan gangguan perkembangan


(29)

c. Membedakan gangguan sensori dan neural; pada gangguan pendengaran sensorineural

d. Dapat memeriksa gangguan pendengaran fungsional (berpura-pura) dan juga dapat dilakukan pada pasien yang sedang tidur bahkan pada keadaan koma

2.7.3. Syarat untuk Menghasilkan Emisi Otoakustik

Beberapa syarat yang diperlukan untuk mendapatkan hasil emisi otoakustik yang tepat adalah sebagai berikut :

a. Liang telinga luar tidak obstruksi

b. Menutup rapat-rapat liang telinga dengan probe c. Posisi yang optimal dari probe

d. Tidak ada penyakit telinga tengah e. Sel rambut luar masih berfungsi f. Pasien kooperatif

g. Lingkungan sekitar tenang

Gambar 2.6. Emisi otoakustik pada bayi baru lahir (Norton and Stoner, 1994)

2.7.4. Pembagian Emisi Otoakustik

Seiring dengan perkembangan teknologi, terdapat empat jenis emisi otoakustik yang digunakan saat ini yaitu :

a. Spontaneous Otoacoustic Emissions (SOAEs)

b. Transient Evoked Otoacoustic Otoacoustic Emissions (TEOAEs) c. Distortion Product Otoacoustic Emissions (DPOAEs)


(30)

d. Sustained Frequency Otoacoustic Emissions (SFOAEs)

2.7.4.1.Spontaneous Otoacoustic Emissions

Spontaneous Otoacoustic Emissions merupakan emisi suara tanpa adanya rangsangan bunyi (secara spontan). Respon non stimulus ini biasanya diukur dalam rentang frekuensi perekaman yang sempit (<30Hz) dalam liang telinga luar. Perekaman Spontaneous Otoacoustic Emissions biasanya berada dalam rentang frekuensi 500-7000 Hz. Pada umumnya Spontaneous Otoacoustic Emissions tidak terjadi pada setiap pasien yang diperiksa. Oleh karena itu, tidak adanya Spontaneous Otoacoustic Emissions bukan pertanda adanya ketidaknormalan pendengaran dan biasanya tidak berhubungan dengan adanya tinnitus. Spontaneous Otoacoustic Emissions tidak ditemukan pada individu dengan ambang dengar >30 dB HL.

2.7.4.2.Transient Evoked Otoacoustic Emissions

Transient Evoked Otoacoustic Emissions merupakan emisi suara yang dihasilkan oleh rangsangan bunyi dengan menggunakan durasi yang sangat pendek, biasanya bunyi click, tetapi dapat juga tone burst. Transient Evoked Otoacoustic Emissions merupakan emisi otoakustik yang pertama kali digunakan dalam klinik. Stimulus yang diberikan sekitar 60-80 dB SPL. Transient Evoked Otoacoustic Emissions menunjukkan kondisi beberapa bagian koklea dan sekaligus menilai status fungsi koklea pada tingkatan mendekati ambang stimulus.

2.7.4.3.Distortion Product Otoacoustic Emissions

Distortion Product Otoacoustic Emissions merupakan emisi sebagian respon dari dua rangsangan yang berbeda frekuensi. Stimulus terdiri dari dua bunyi murni pada dua frekuensi (f1, f2; f2>f1) dan dua level intensitas (L1, L2). Suatu rasio f1/f2 menghasilkan Distortion Product Otoacoustic Emissions terbesar pada 1,2 untuk frekuensi tinggi dan rendah pada 1,3 untuk frekuensi sedang. Untuk menghasilkan respon optimal, atur intensitasnya sehingga L1 menyamai atau melebihi L2. Penyesuaian 65/66 dB SPL L1-L2 adalah yang


(31)

sering digunakan. Distortion Product Otoacoustic Emissions dapat memperoleh frekuensi yang spesifik dan dapat digunakan untuk merekam frekuensi yang lebih tinggi dari Transient Evoked Otoacoustic Emissions. Distortion Product Otoacoustic Emissions dapat digunakan untuk mendeteksi kerusakan koklea akibat obat-obat ototoksik dan akibat pajanan suara bising.

2.7.4.4.Sustained Frequency Otoacoustic Emissions

Sustained Frequency Otoacoustic Emissions merupakan emisi suara sebagai respon dari nada yang berkesinambungan. Secara klinis tidak digunakan karena antara rangsangan bunyi dan emisi otoakustik tumpang tindih di liang telinga (overlap) sehingga mikrofon merekam keduanya.

2.7.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Emisi Otoakustik 2.7.5.1. Nonpatologi

a. Kesalahan dalam memasang probe b. Serumen yang menghalangi probe c. Debris atau benda asing dalam telinga d. Vernix caseosa pada neonatus

e. Pasien yang tidak kooperatif

2.7.5.2. Patologi

a. Telinga luar seperti: - stenosis

- otitis eksterna - kista

b. Membran timpani seperti : adanya perforasi c. Telinga tengah seperti :

- Tekanan telinga tengah yang abnormal - Otosklerosis

- Disartikulasi telinga tengah - Kista


(32)

- Otitis media d.Koklea

- Pemaparan obat-obat ototoksik atau pemaparan suara bising

2.8. Skrining Pendengaran Bayi

Gangguan pendengaran (hearing loss) adalah salah satu kelainan mayor yang sering terjadi pada bayi baru lahir. Oleh karena itu, upaya skrining gangguan pendengaran sangatlah penting. Skrining pendengaran pada bayi tidak hanya dilakukan pada bayi baru lahir dengan faktor risiko, tetapi dilakukan pada semua bayi yang lahir.

The Joint Committee on Infant Hearing mengeluarkan prinsip dan panduan untuk deteksi dan intervensi terhadap bayi, dimana evaluasi audiologi dan klinis secara lengkap dilaksanakan sampai umur 3 bulan dan intervensi dilakukan sebelum umur 6 bulan. Program ini disebut Early Hearing Detection and Intervention yang merupakan program berbasis keluarga dan komunitas yang dilaksanakan secara komprehensif, terkoordinir dan dilakukan pada semua bayi (Joint Committee on Infant Hearing, 2000).

Untuk melakasanakan skrining pendengaran bayi haruslah menggunakan alat yang objektif dan bersifat fisiologis. Tes yang dapat dipertanggungjawabkan dengan kriteria tersebut adalah emisi otoakustik dengan teknik transient evoked (TEOAE) atau ditorton product (DPOAE). Tes ini dapat dilakukan pada bayi dan klinisi tidak perlu mempunyai pengetahuan untuk interpretasi hasil. Hasil skrining dinyatakan pass atau refer. Pass dimaksudkan bahwa bayi sementara tidak memerlukan tes lebih lanjut dan refer dimaksudkan bayi harus dites ulang. Dengan hasil pass atau refer maka klinisi dapat merencanakan tindak lanjut dari hasil skrining tersebut.

Faktor risiko gangguan pendengaran pada bayi berdasarkan Joint Committe on Infant Hearing (Konvensi HTA, 2006) sebagai berikut :

a. Riwayat keluarga dengan tuli sejak lahir mulai dari kakek, nenek, ayah, ibu dan saudara kandung.


(33)

TORCH merupakan infeksi yang disebabkan oleh Toxoplasmosis, Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes simplex.

c. Kelainan anatomi pada kepala dan leher seperti kraniostosis, kelainan morfologi daun telinga dan liang telinga.

d. Sindroma yang berhubungan dengan tuli kongenital seperti sindroma Waardenburg dan sindroma Usher’s.

e. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)

Bayi dikatakan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) jika berat badan lahir di bawah 2500 gram.

f. Meningitis bakterialis

Diagnosa meningitis bakterialis ditegakkan berdasarkan kultur cairan serebrospinal.

g. Hiperbilirubinemia yang membutuhkan transfusi darah Hiperbilirubinemia yang membutuhkan transfusi darah dikelompokkan sebagai berikut :

Tabel 2.1. Tabel hiperbilirubinemia yang memerlukan transfusi darah Berat Badan (gram) Total Serum Bilirubin

(mg/dl) < 1500

1500-2000 2000-2500

>2500

10-14 14-16 16-18 17-22

h. Asfiksia berat

Asfiksia berat ditentukan berdasarkan kriteria sebagai berikut : - APGAR skor 0-3 lebih dari 5 menit

- Gangguan metabolik yang berat - Adanya manifestsi neurologik - Disfungsi sistem multiorgan


(34)

i. Pemberian obat ototoksik Obat ototoksik sebagai berikut :

Aminoglikosida : Gentamicin, Kanamisin, Neomisin, Tobramisin, Amikasin

Makrolida : Eritromisin, Azitromisin Obat-obat anti neoplastik : Cisplatin

Obat-obat diuretik : Furosemid, Ethyranic acid

j. Menggunakan alat bantu napas pernapasan/ventilasi mekanik lebih dari 5 hari.


(35)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

Gambar 3.1. Kerangka Konsep penelitian

3.2. Definisi Operasional 3.2.1. Bayi Baru Lahir

Bayi baru lahir adalah semua bayi yang lahir di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

3.2.2. Faktor Risiko Gangguan Pendengaran Pada Bayi

Faktor risiko gangguan pendengaran pada bayi yang diteliti adalah faktor risiko Joint Committe on Infant Hearing (Konvensi HTA, 2006) sebagai berikut :

a. Riwayat Keluarga

Riwayat keluarga adalah riwayat keluarga yang menderita tuli sejak lahir yang tercantum dalam rekam medis.

b. TORCH

TORCH adalah infeksi pada bayi baru lahir yang

disebabkan oleh Toxoplasmosis, Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes Gambaran Emisi Otoakustik Bayi Baru Lahir dengan

Berbagai Faktor Risiko : - Riwayat Keluarga - TORCH

- Kelainan Anatomi

- Sindroma Tuli Kongenital - BBLR

- Hiperbilirubinemia - Asfiksia Berat

- Pemberian Obat Ototoksik - Penggunaan Alat Bantu Napas > 5 hari


(36)

simplex yang tercantum dalam rekam medis. c. Kelainan Anatomi

Kelainan anatomi adalah kelainan anatomi kepala dan leher yang terdapat pada bayi baru lahir yang tercantum dalam rekam medis. d. Sindroma Tuli Kongenital

Sindroma tuli kongenital adalah sindroma yang berhubungan dengan tuli kongenital seperti sindroma Waardenburg dan sindroma Usher’s yang tercantum dalam rekam medis.

e. Berat Badan Lahir Rendah

Berat badan lahir rendahadalah berat badan bayi baru lahir di bawah 2500 gram yang tercantum dalam rekam medis.

f. Meningitis Bakterialis

Meningitis bakterialis adalah infeksi pada selaput otak (meningeal) yang disebabkan oleh bakteri yang tercantum dalam rekam medis.

g. Hiperbilirubinemia adalah jumlah bilirubin yang melebihi 12 mg/dl pada bayi baru lahir yang tercantum dalam rekam medis.

h. Asfiksia Berat

Asfiksia Berat adalah gangguan pernapasan pada bayi baru lahir yang dinilai dengan skor APGAR dan tercantum pada rekam medis.

i. Pemberian Obat Ototoksik

Pemberian obat ototoksik adalah pemberian obat ototoksik kepada ibu sebelum melahirkan yang tercantum dalam rekam medis.

j. Penggunaan Alat Bantu Napas

Penggunaan alat bantu napas adalah menggunakan alat bantu

pernapasan/ventilasi mekanik lebih dari 5 hari pada bayi baru lahir yang tercantum dalam rekam medis.

Pengukuran faktor risiko gangguan pendengaran pada bayi baru lahir di atas disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut :


(37)

Tabel 3.1. Tabel Pengukuran

Faktor Risiko Cara Ukur Alat Ukur Skala Ukur Hasil Ukur Riwayat Keluarga Pengamatan

Rekam medis

Rekam medis

Nominal ada : (+) tidak : (-)

TORCH Pengamatan

Rekam medis

Rekam medis

Nominal ada : (+) tidak : (-)

Kelainan Anatomi Pengamatan Rekam medis

Rekam medis

Nominal ada : (+) tidak : (-)

Sindroma Tuli Kongenital Pengamatan Rekam medis Rekam medis

Nominal ada : (+) tidak : (-)

BBLR Pengamatan

Rekam medis

Rekam medis

Ordinal - < 2500 gram : rendah - ≥ 2500 gram : normal Meningitis Bakterialis Pengamatan Rekam medis Rekam medis

Nominal ada : (+) tidak : (-)

Hiperbilirubinemia Pengamatan Rekam medis

Rekam medis

Ordinal - ≤ 12 mg/dl : normal - > 12 mg/dl: tinggi


(38)

Asfiksia Berat Pengamatan Rekam medis

Rekam medis

Interval - 7-10 : normal - 4-6 : asfiksia ringan - 0-3 : asfiksia berat Pemberian Obat Ototoksik Pengamatan Rekam medis Rekam medis

Nominal ada : (+) tidak : (-)

Penggunaan Alat Bantu Napas > 5 hari Pengamatan Rekam medis Rekam medis

Nominal < 5hari : (-) > 5hari : (+)

3.2.3. Gambaran Emisi Otoakustik

Gambaran emisi otoakustik adalah hasil pemeriksaan alat emisi otoakustik yang dilakukan pada bayi baru lahir yang tercantum dalam rekam medis.

a. Cara Ukur : pengamatan data rekam medis b. Alat Ukur : rekam medis

c. Skala Pengukuran : nominal d. Hasil Pengukuran :

− Pass : tidak ada gangguan pada telinga dalam − Refer : ada gangguan pada telinga dalam


(39)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif retrospektif.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan di bagian Perinatologi dan THT Komunitas.

Pengumpulan data penelitian dilakukan dari bulan Juli 2012 sampai dengan September 2012.

4.3. Populasi dan Sampel 4.3.1. Populasi

Populasi adalah semua data bayi baru lahir yang dilakukan pemeriksaan emisi otoakustik di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

4.3.2. Sampel

Pada penelitian ini, teknik pemilihan sampel yang digunakan ialah teknik total sampling, yaitu dengan mengambil semua data bayi baru lahir dari bulan Januari 2011 sampai Juni 2012 yang dilakukan pemeriksaan emisi otoakustik dan memenuhi kriteria inklusi.

Adapun kriteria inklusi dan eksklusi dalam peneltian ini adalah: Kriteria Inklusi

Semua bayi baru lahir dengan faktor risiko yang dilakukan pemeriksaan emisi otoakustik di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.


(40)

Faktor risikonya adalah sebagai berikut : - Riwayat Keluarga

- TORCH

- Kelainan Anatomi

- Sindroma Tuli Kongenital - BBLR

- Hiperbilirubinemia - Asfiksia Berat

- Pemberian Obat Ototoksik

- Pengguanaan Alat Bantu Napas > 5 hari

Kriteria Eksklusi

Bayi yang mengalami infeksi pada kedua telinga.

4.4. Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang didapatkan dari data rekam medis bayi baru lahir yang dilakukan pemeriksaan emisi otoakuastik.

4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Data yang telah terkumpul dari hasil pemeriksaan akan ditabulasi untuk kemudian diolah lebih lanjut dengan menggunakan sistemanalisis komputerisasi. Data kemudian dianalisis dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.


(41)

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Tempat penelitian dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan. RSUP H. Adam Malik Medan merupakan rumah sakit pemerintah kelas A dan juga rumah sakit pendidikan Fakultas Kedokteran USU Medan. RSUP H. Adam Malik juga merupakan rumah sakit pusat rujukan dari berbagai daerah. RSUP H. Adam Malik didirikan pada tahun 1990 dan beralamat di Jalan Bunga Lau No. 17 Medan.

5.1.2. Deskripisi Karakteristik Subjek Penelitian

Setelah pengambilan data dari rekam medis, didapatkan subjek penelitian sebanyak 86 sampel yang telah memenuhi kriteria inklusi. Dari sepuluh faktor risiko yang diteliti, mayoritas subjek penelitian adalah bayi yang mengalami hiperbilirubinemia sebanyak 53 bayi (61.6%), berat bayi lahir rendah sebanyak 45 bayi (52.3%), TORCH sebanyak 10 bayi (11.6%), asfiksia berat sebanyak 9 bayi (10.5%), kelainan anatomi sebanyak 6 bayi (7%), penggunaan alat bantu napas sebanyak 5 bayi (7%), sindroma tuli kongenital sebanyak 3 bayi (3.5%) dan penggunaan obat ototoksik sebanyak 1 bayi (1.2%). Data tersebut dapat dilihat dari tabel berikut ini.


(42)

Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Banyak Subjek Penelitian

Faktor Risiko Jumlah (bayi) Persentase (%)

Riwayat Keluarga 0 0

11.6 7 3.5 52.3

0 61.6 10.5 1.2

7

TORCH 10

Kelainan Anatomi 6

Sindroma Tuli Kongenital 3

BBLR 45

Meningitis Bakteriaris 0

Hiperbilirubinemia 53

Asfiksia Berat 9

Pemberian Obat Ototoksik 1 Penggunaan Alat Bantu 5

Dari hasil pemeriksaan emisi otoakustik yang dilakukan pada 86 bayi, didapatkan bilateral pass sebanyak 35 bayi (40.7%), bilateral refer sebanyak 31 bayi (36%), unilateral refer kanan sebanyak 12 bayi (13.9%) dan unilateral refer kiri sebanyak 8 bayi (9.3%).

Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Hasil Pemeriksaan Emisi Otoakustik Hasil OAE Jumlah (bayi) Persentase (%)

Bilateral Pass 35 40.7

Bilateral Refer 31 36

Unilateral Refer Kanan 12 13.9

Unilateral Refer Kiri 8 9.3

Total 86 100

Pada bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia, dari 53 bayi didapatkan 20 bayi (37.7%) bilateral pass, 21 bayi (39.6%) bilateral refer, 6 bayi (11.3%) unilateral refer kanan dan 6 bayi (11.3%) unilateral kiri.


(43)

Tabel 5.3. Distribusi Hasil OAE pada Bayi Hiperbilirubinemia Hasil OAE Jumlah (bayi) Persentase (%)

Bilateral Pass 20 37.7

Bilateral Refer 21 39.6

Unilateral Refer Kanan 6 11.3

Unilateral Refer Kiri 6 11.3

Total 53 100

Pada bayi baru lahir dengan berat badan lahir rendah, dari 45 bayi didapatkan 19 bayi (42.2%) bilateral pass, 19 bayi (42.2%) bilateral refer, 3 bayi (6.7%) unilateral refer kanan dan 4 bayi (8.9%) unilateral refer kiri.

Tabel 5.4. Distribusi Hasil OAE pada Bayi Berat Badan Lahir Rendah Hasil OAE Jumlah (bayi) Persentase (%)

Bilateral Pass 19 42.2

Bilateral Refer 19 42.2

Unilateral Refer Kanan 3 6.7

Unilateral Refer Kiri 4 8.9

Total 45 100

Pada bayi baru lahir dengan TORCH, dari 10 bayi didapatkan 5 bayi (50%) bilateral pass, 2 bayi (20%) bilateral refer, 2 bayi (20%) unilateral refer kanan dan 1 bayi (10%) unilateral refer kiri.

Tabel 5.5. Distribusi Hasil OAE pada Bayi TORCH

Hasil OAE Jumlah (bayi) Persentase (%)

Bilateral Pass 5 50

Bilateral Refer 2 20

Unilateral Refer Kanan 2 20

Unilateral Refer Kiri 1 10


(44)

Pada bayi baru lahir dengan asfiksia berat, dari 9 bayi didapatkan 4 bayi (44.4%) bilateral pass, 3 bayi (33.3%) bilateral refer, 1 bayi (11.1%) unilateral refer kanan dan 1 bayi (11.1%) unilateral refer kiri.

Tabel 5.6. Tabel Distribusi Hasil OAE pada Bayi Asfiksia Berat Hasil OAE Jumlah (bayi) Persentase (%)

Bilateral Pass 4 44.4

Bilateral Refer 3 33.3

Unilateral Refer Kanan 1 11.1

Unilateral Refer Kiri 1 11.1

Total 9 100

Pada bayi baru lahir dengan kelainan anatomi, dari 6 bayi didapatkan 1 bayi (16.7%) bilateral pass, 3 bayi (50%) bilateral refer dan 2 bayi (33.3%) unilateral refer kanan.

Tabel 5.7. Distribusi Hasil OAE pada Bayi dengan Kelainan Anatomi Hasil OAE Jumlah (bayi) Persentase (%)

Bilateral Pass 1 16.7

Bilateral Refer 3 50

Unilateral Refer Kanan 2 33.3

Total 6 100

Pada bayi baru lahir dengan penggunaan alat bantu napas, dari 5 bayi didapatkan 3 bayi (60%) bilateral pass, 1 bayi (20%) bilateral pass dan 1 bayi (20%) unilateral refer kiri.

Tabel 5.8. Distribusi Hasil OAE pada Bayi yang Menggunakan Alat Bantu Napas Hasil OAE Jumlah (bayi) Persentase (%)

Bilateral Pass 3 60

Bilateral Refer 1 20

Unilateral Refer Kiri 1 20


(45)

Pada bayi baru lahir dengan sindroma tuli kongenital, dari 3 bayi didapatkan 1 bayi (33.3%) bilateral pass dan 2 bayi (66.7%) bilateral refer.

Tabel 5.9. Distribusi Hasil OAE pada Bayi Sindroma Tuli Kongenital Hasil OAE Jumlah (bayi) Persentase (%)

Bilateral Pass 1 33.3

Bilateral Refer 2 66.7

Total 3 100

Pada bayi baru lahir dengan penggunaan obat ototoksik, didapatkan 1 bayi (100%) bilateral refer.

Tabel 5.10. Distribusi Hasil OAE pada Bayi yang Menggunakan Obat Ototoksik Hasil OAE Jumlah (bayi) Persentase (%)

Bilateral Refer 1 100

Total 1 100

5.2. Pembahasan

Hasil penelitian ini menunjukkan gambaran pemeriksaan emisi otoakustik pada bayi baru lahir dengan berbagai faktor risiko. Pada penelitian ini didapatkan 86 bayi dengan faktor risiko dimana faktor risiko yang paling banyak adalah hiperbilirubinemia sebanyak 53 bayi (61.6%), kedua terbanyak adalah berat bayi lahir rendah sebanyak 45 bayi (52.3%), ketiga terbanyak adalah TORCH sebanyak 10 bayi (11.6%), keempat terbanyak adalah asfiksia berat sebanyak 9 bayi (10.5%), kelima terbanyak adalah kelainan anatomi sebanyak 6 bayi (7%), keenam terbanyak adalah penggunaan alat bantu napas lebih dari 5 hari sebanyak 5 bayi (7%), ketujuh terbanyak adalah sindroma tuli kongenital sebanyak 3 bayi (3.5%) dan paling sedikit adalah penggunaan obat ototoksik sebanyak 1 bayi (1.2%).

Dari 86 bayi dengan faktor risiko, didapatkan 35 bayi (40.7%) dengan hasil bilateral pass, 31 bayi (36%) dengan hasil bilateral refer, 12 bayi (12.9%) dengan hasil unilateral refer kanan dan 8 bayi (9.3%) dengan hasil unilateral refer


(46)

kiri. Dari hasil yang didapatkan tersebut menunjukkan banyaknya bayi yang mengalami gangguan pendengaran yaitu 36% yang berbeda sedikit dengan bayi yang tidak mengalami gangguan pendengaran (40.7%). Hal ini sesuai dengan penelitian di Liguria, Italia, dari 3.238 bayi baru lahir yang dilakukan pemeriksaan emisi otoakustik, didapatkan sebanyak 3.180 bayi (98,2%) memberikan hasil pass dan sebanyak 58 bayi (1,8%) memberikan hasil refer, sebagaimana dilaporkan oleh Calevo M. G. (2007).

Dari faktor risiko yang paling banyak ditemukan yaitu hiperbilirubinemia sebanyak 53 bayi, didapatkan 20 bayi (37.7%) bilateral pass, 21 bayi (39.6%) bilateral refer, 6 bayi (11.3%) unilateral refer kanan dan 6 bayi (11.3%) unilateral kiri. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Yusa Herwanto dimana pada 62 bayi yang mengalami hiperbilirubinemia, didapatkan pada bayi dengan kadar bilirubin > 1.8 mg/dl terdapat 7 bayi bilateral pass, 7 bayi unilateral refer kanan dan 7 bayi unilateral refer kiri. Kemudian pada bayi dengan kadar bilirubin > 17 mg/dl terdapat 3 bayi bilateral pass, 19 bayi unilateral refer kanan dan 19 bayi unilateral refer kiri.

Berdasarkan tabel 5.5. hasil pemeriksaan emisi otoakustik pada bayi baru lahir dengen berat badan lahir rendah, dari 45 bayi didapatkan 19 bayi (42.2%) bilateral pass, 19 bayi (42.2%) bilateral refer, 3 bayi (6.7%) unilateral refer kanan dan 4 bayi (8.9%) unilateral refer kiri. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Sigit pada tahun 2011 dimana pada bayi baru lahir dengan berat badan rendah didapatkan dari 64 bayi berat lahir rendah terdapat sebanyak 45 bayi (70,3%) pass bilateral, 10 bayi (15,6%) refer bilateral, 2 bayi (10,9%) pass unilateral dan 3 bayi (4,6%) refer unilateral. Perbedaan tersebut mungkin disebabkan karena perbedaan tempat penelitian dan sampelnya.

Berdasarkan tabel 5.6. hasil pemeriksaan emisi otoakustik pada bayi baru lahir dengan TORCH, dari 10 bayi didapatkan 5 bayi (50%) bilateral pass, 2 bayi (20%) bilateral refer, 2 bayi (20%) unilateral refer kanan dan 1 bayi (10%) unilateral refer kiri. Sepengetahuan saya, belum ada penelitian emisi otoakustik pada bayi baru lahir dengan TORCH sehingga belum dapat dibandingkan. Pada tabel 5.7. hasil pemeriksaan emisi otoakustik pada bayi baru lahir dengan


(47)

sindroma tuli kongenital, dari 10 bayi didapatkan 2 bayi (20%) bilateral pass, 5 bayi (50%) bilateral refer dan 3 bayi (30%) unilateral refer kanan. Sepengetahuan saya, belum ada penelitian emisi otoakustik pada bayi baru lahir dengan sindroma tuli kongenital sehingga belum dapat dibandingkan.

Berdasarkan tabel 5.8. hasil pemeriksaan emisi otoakustik pada bayi baru lahir dengan asfiksia berat, dari 9 bayi didapatkan 4 bayi (44.4%) bilateral pass, 3 bayi (33.3%) bilateral refer, 1 bayi (11.1%) unilateral refer kanan dan 1 bayi (11.1%) unilateral refer kiri. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilaporkan oleh Hakim L. pada tahun 2011 di Yogyakarta didapatkan dari 31 bayi baru lahir dengan asfiksia sebanyak 15 bayi (48,38%) pass bilateral dan sebanyak 16 bayi (51,61%) refer bilateral maupun unilateral.

Pada tabel 5.9. didapatkan hasil pemeriksaan emisi otoakustik pada bayi baru lahir dengan kelainan anatomi, dari 6 bayi didapatkan 1 bayi (16.7%) bilateral pass, 3 bayi (50%) bilateral refer dan 2 bayi (33.3%) unilateral refer kanan. Sepengetahuan saya, belum ada penelitian emisi otoakustik pada bayi baru lahir dengan kelainan anatomi sehingga belum dapat dibandingkan. Pada tabel 5.10. didapatkan hasil pemeriksaan emisi otoakustik pada bayi baru lahir dengan penggunaan alat bantu napas lebih dari 5 hari, dari 5 bayi didapatkan 3 bayi (60%) bilateral pass, 1 bayi (20%) bilateral pass dan 1 bayi (20%) unilateral refer kiri. Sepengetahuan saya, belum ada penelitian emisi otoakustik pada bayi baru lahir dengan penggunaan alat bantu napas lebih dari 5 hari sehingga belum dapat dibandingkan.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah didapatkan menunjukkan bahwa besarnya persentase terjadinya gangguan pendengaran pada bayi baru lahir dengan faktor risiko. Maka penelusuran adanya gangguan pendengaran sedini mungkin penting untuk menentukan kelangsungan hidup individu seperti yang disampaikan oleh Haddad Jr. J. (2004). Jika skrining awal gangguang pendengaran tidak dilakukan maka seperti data dari WHO tahun 2007, dimana prevalensi gangguan pendengaran pada populasi penduduk Indonesia diperkirakan 4,2% sehingga berdasarkan data tahun 2002 bila jumlah penduduk Indonesia sebesar 221.900.000 maka 9.319.800 penduduk Indonesia diperkirakan menderita gangguan


(48)

pendengaran. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemeriksaan emisi otoakustik sebagai skrining awal gangguan pendengaran pada bayi baru lahir.


(49)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari uraian-uraian yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dalam penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu sebagai berikut.

6.1. Kesimpulan

1. Gambaran hasil pemeriksaan emisi otoakustik pada 86 bayi baru lahir dengan faktor risiko di RSUP H. Adam Malik Medan adalah

35 bayi (40.7%) dengan hasil bilateral pass, 31 bayi (36%) dengan hasil sebanyak

bilateral refer, 12 bayi (12.9%) dengan hasil unilateral refer kanan dan 8 bayi (9.3%) dengan hasil unilateral refer kiri.

2.Gambaran emisi otoakustik p

3. Gambaran emisi otoakustik pada bayi baru lahir dengan berat badan lahir rendah, dari 45 bayi didapatkan 19 bayi (42.2%) bilateral pass, 19 bayi (42.2%) bilateral refer, 3 bayi (6.7%) unilateral refer kanan dan 4 bayi (8.9%) unilateral refer kiri.

ada bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia, dari 53 bayi didapatkan 20 bayi (37.7%) bilateral pass, 21 bayi (39.6%) bilateral refer, 6 bayi (11.3%) unilateral refer kanan dan 6 bayi (11.3%) unilateral kiri.

4. Gambaran emisi otoakustik pada bayi baru lahir dengan TORCH, dari 10 bayi didapatkan 5 bayi (50%) bilateral pass, 2 bayi (20%) bilateral refer, 2 bayi (20%) unilateral refer kanan dan 1 bayi (10%) unilateral refer kiri.

5. Gambaran emisi otoakustik pada bayi baru lahir dengan asfiksia berat, dari 9 bayi didapatkan 4 bayi (44.4%) bilateral pass, 3 bayi (33.3%) bilateral refer, 1 bayi (11.1%) unilateral refer kanan dan 1 bayi (11.1%) unilateral refer kiri.

6. Gambaran emisi otoakustik pada bayi baru lahir dengan kelainan anatomi, dari 6 bayi didapatkan 1 bayi (16.7%) bilateral pass, 3 bayi (50%) bilateral refer dan 2 bayi (33.3%) unilateral refer kanan.


(50)

7. Gambaran emisi otoakustik pada bayi baru lahir dengan penggunaan alat bantu napas, dari 5 bayi didapatkan 3 bayi (60%) bilateral pass, 1 bayi (20%) bilateral pass dan 1 bayi (20%) unilateral refer kiri.

8. Gambaran emisi otoakustik pada bayi baru lahir dengan sindroma tuli kongenital, dari 3 bayi didapatkan 1 bayi (33.3%) bilateral pass dan 2 bayi (66.7%) bilateral refer.

9. Gambaran emisi otoakustik pada bayi baru lahir dengan penggunaan obat ototoksik, didapatkan 1 bayi (100%) bilateral refer.

Dari seluruh proses penelitian yang telah dijalani oleh penulis dalam menyelesaikan penelitian ini, maka dapat diungkapkan beberapa saran yang mungkin dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berperan dalam penelitian ini. Adapun saran tersebut, yaitu:

6.2. Saran

1. Perlu dilakukannya pemeriksaan emisi otoakustik pada bayi baru lahir dengan berbagai faktor risiko sebagai skrining awal gangguan

pendengaran.

2. Bayi yang hasil pemeriksaan emisi otoakustiknya refer bilateral maupun unilateral dianjurkan untuk datang 3 bulan kemudian untuk pemeriksaan ulangan dan dilanjutkan dengan pemeriksaan lain seperti timpanometri, BERA dan pemeriksaan lainnya.

3. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui ada tidaknya hubungan faktor risiko dengan gangguan pendengaran pada bayi baru lahir.


(51)

DAFTAR PUSTAKA

Adams G. L. et al, 1997. BOEIS Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Audiologi. Jakarta: EGC. Bab IV.

Adnan, 2008. Perkembangan Telinga. Available

a

Austin D. F., 1997. Ballenger J. J. Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi 13. Jilid II. Anatomi dan Embriologi. Jakarta: Binarupa Aksara. pp.101-151.

Barrett K. C. et al, 2010. Ganong’s Review if Medical Physiology. 23rd

Calevo M. G. et al. Neonatal Hearing Screening Model : An Italian Regional

Experience. Available a

ed. Hearing and Equilibrium. USA: The Mc-Graw Hill Company Inc, Ch. 3.

Accessed 25 Maret 2012

Campbell K. C. M., 2006. Otoacoustic Emissions. Available a Chiong C. Hearing Screening Investigators at University of the Philipines

National Institute of Health Zero in On Hearing Screen. Available

a


(52)

Donaldson A. J., Duckert L. G., 1991. Paparella MM Otolaryngology. Anatomy of The Ear. 3rd

Drake, R. L., Vogl, W. and Mitchell A. W. M., 2004. Gray’s Anatomy for Students. 19

edition. Vol 1. USA: WB Saunders Company. pp. 39-56.

th

Guyton, A.C. and Hall, J.E., 2006. Textbook of Medical Physiology. 11th ed. The Sense of Hearing. Philadelphia: Elsevier Inc, Ch. 52.

ed. London: Churchill Livingstone.

Haddad Jr. J., 2004. Nelson Textbook of Pediatrics. 17th

Hakim L. Gambaran OAE pada Bayi dengan Riwayat Asfiksia di RSUPNDR. Sardjito Periode Januari 2011 – Juni 2011. Medan. 2011.

ed. Hearing Loss. Philadelphia: Saunders. pp. 2129-2135.

Health Technology Assessment Indonesia, Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir di Rumah Sakit. 2010.

Hendarmin H. Pencegahan Gangguan Pendengaran dan Ketuliaan di Indonesia. Available a

Herwanto, Yusa. Gambaran Gangguan Pendengaran Pada Bayi Dengan Hiperbilirubinemia di RSUP h. Adam Malik Medan. Medan. 2012.

Joint Committe on Infant Hearing, American Academy of Audiology, American Academy of Pediatrics: Principles ang Guidelines for Early Hearing Detection and Intervention Programs Pediatrics. Vol 106. No. 4. 2000: 798-817.

Kosim, M.S., 2007. Bayi Baru Lahir Normal. Available a

Leblane A., 2000. A practical Guide for Otolaryngologits. Atlas of Hearing and Balance Organs. Springer.


(53)

Lee K. J. and and Peck J.E., 2003. Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery. 8th

Liston S. L. and Duvall A., 2003. Boeis Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Telinga. Jakarta: EGC. pp. 27-38.

ed. Audiology. USA: McGraw Hill. pp. 24-64.

Mattox D. E., Nager G. T. and Levin L. S., 1991. Embriology Patology Classification Genetics and Surgical Management in Paparellaa mm Otolaryngology. 3rd

Northen J., Downs M., 1991. Hearing In Children. 4

edition. Vol 3. Congenital Aural Atresia. USA: WB Saunders Company. pp. 1991-1993.

th

Norton and Stover, 1994. Katz J. Handbook of Clinical Audiology. 4 ed. Baltimore: Williams & Wilkins.

th

Sigit. Gambaran OAE pada Bayi Baru Lahir Berat Badan Rendah Periode Januari 2011 - Juni 2011. Medan. 2011.

ed. Otoacoustic Emissions An Emerging Clinical Tool. Baltimore-USA: Williams & Wilkins. pp. 448-461.

Sokol J. and Hyde M., 2002. Neonatology Hearing Screening Pediatric In Review. Vol 23. Hearing Screening Objectives. pp. 157.

Soepardi, E. A., 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi 6. Gangguan Pendengaran dan Kelainan Telinga Dalam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Bab II.

Suwento R. Skrining Pendengaran Bayi Baru Lahir PKTGK Sub. Dep. THT Komunitas Bagian THT-KL Fakultas Kedokteran UI Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo dalam Kumpulan Abstrak KONAS Perhimpunan Dokter Spesialis THT-KL Indonesia ke XIV. Surabaya. 2007.

Trihandani O. Gambaran Emisi Otoakustik Sebagai Skrining Awal Pendengaran Bayi Baru Lahir di RSUP H. Adam Malik Medan dan Balai Pelayanan Kesehatan DR. Pringadi Medan. Medan. 2008.


(54)

Wright A., 1997. Basic Science Scott-Brown’s Otolaryngology. 6th

Zizlavsky S., 2008. Peranan ASSR Dalam Prediksi Ambang Dengar Untuk Kepentingan Habilitasi Gangguan Pendengaran Pada Anak. Departemen THT Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta Indonesia. Dalam Kumpulan Abstrak PIT Perhimpunan Dokter Spesialis THT-KL ke VII. Instructional Course. Bandung.

edition. Vol 1. Anatomy and Ultrastructure of The Human Ear. Great Britain: Butterworth Heinemann. pp. 1-49.


(55)

Lampiran

CURRICULUM VITAE OAS[PPA

Nama : Lydia Yusuf

Tempat/ Tanggal Lahir : Tebingtinggi, 30 April 1991

Agama : Buddha

Alamat : Jl. Sutrisni No. 155D, Medan

Riwayat Pendidikan : 1. TK F. Tandean Tebingtinggi 1996-1997 2. SD F. Tandean Tebingtinggi 1997-2003 3. SMP F. Tandean Tebingtinggi 2003-2004 4. SMP F. Tandean Tebingtinggi 2004-2006 5. SMA Sutomo1 Medan 2006-2009 6. Fak. Kedokteran USU Medan 2009-sekarang

Pas Photo 3x4 cm


(56)

(57)

TABEL PENGAMATAN No Nomo

r Reka m Medis

Nama Bayi

Riwayat Keluarga

TORC H

Kelainan Anatomi

Sindroma Tuli Kongenita l

BBLR Meningitis Bakterialis

Hiper- bilirubinemi a

A a B


(58)

(1)

Lee K. J. and and Peck J.E., 2003. Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery. 8th

Liston S. L. and Duvall A., 2003. Boeis Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Telinga. Jakarta: EGC. pp. 27-38.

ed. Audiology. USA: McGraw Hill. pp. 24-64.

Mattox D. E., Nager G. T. and Levin L. S., 1991. Embriology Patology Classification Genetics and Surgical Management in Paparellaa mm Otolaryngology. 3rd

Northen J., Downs M., 1991. Hearing In Children. 4

edition. Vol 3. Congenital Aural Atresia. USA: WB Saunders Company. pp. 1991-1993.

th

Norton and Stover, 1994. Katz J. Handbook of Clinical Audiology. 4 ed. Baltimore: Williams & Wilkins.

th

Sigit. Gambaran OAE pada Bayi Baru Lahir Berat Badan Rendah Periode Januari 2011 - Juni 2011. Medan. 2011.

ed. Otoacoustic Emissions An Emerging Clinical Tool. Baltimore-USA: Williams & Wilkins. pp. 448-461.

Sokol J. and Hyde M., 2002. Neonatology Hearing Screening Pediatric In Review. Vol 23. Hearing Screening Objectives. pp. 157.

Soepardi, E. A., 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi 6. Gangguan Pendengaran dan Kelainan Telinga Dalam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Bab II.

Suwento R. Skrining Pendengaran Bayi Baru Lahir PKTGK Sub. Dep. THT Komunitas Bagian THT-KL Fakultas Kedokteran UI Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo dalam Kumpulan Abstrak KONAS Perhimpunan Dokter Spesialis THT-KL Indonesia ke XIV. Surabaya. 2007.

Trihandani O. Gambaran Emisi Otoakustik Sebagai Skrining Awal Pendengaran Bayi Baru Lahir di RSUP H. Adam Malik Medan dan Balai Pelayanan Kesehatan DR. Pringadi Medan. Medan. 2008.


(2)

Wright A., 1997. Basic Science Scott-Brown’s Otolaryngology. 6th

Zizlavsky S., 2008. Peranan ASSR Dalam Prediksi Ambang Dengar Untuk Kepentingan Habilitasi Gangguan Pendengaran Pada Anak. Departemen THT Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta Indonesia. Dalam Kumpulan Abstrak PIT Perhimpunan Dokter Spesialis THT-KL ke VII. Instructional Course. Bandung.

edition. Vol 1. Anatomy and Ultrastructure of The Human Ear. Great Britain: Butterworth Heinemann. pp. 1-49.


(3)

Lampiran

CURRICULUM VITAE

OAS[PPA

Nama : Lydia Yusuf

Tempat/ Tanggal Lahir : Tebingtinggi, 30 April 1991

Agama : Buddha

Alamat : Jl. Sutrisni No. 155D, Medan

Riwayat Pendidikan : 1. TK F. Tandean Tebingtinggi 1996-1997 2. SD F. Tandean Tebingtinggi 1997-2003 3. SMP F. Tandean Tebingtinggi 2003-2004 4. SMP F. Tandean Tebingtinggi 2004-2006 5. SMA Sutomo1 Medan 2006-2009 6. Fak. Kedokteran USU Medan 2009-sekarang

Pas Photo 3x4 cm


(4)

(5)

TABEL PENGAMATAN

No Nomo r Reka m Medis Nama Bayi Riwayat Keluarga TORC H Kelainan Anatomi Sindroma Tuli Kongenita l

BBLR Meningitis Bakterialis Hiper- bilirubinemi a A a B


(6)