123dok makna ragam hias ulos batak toba bagi mayarakat batak toba

(1)

MAKNA RAGAM HIAS ULOS BATAK TOBA BAGI

MASYARAKAT BATAK TOBA

KERTAS KARYA DISUSUN

O L E H

JULY DRUSILLA MANIK NIM : 072204006

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

PROGRAM PENDIDIKAN NONGELAR DALAM PROGRAM STUDI PARIWISATA BIDANG KEAHLIAN USAHA WISATA MEDAN


(2)

MAKNA RAGAM HIAS ULOS BATAK TOBA BAGI MAYARAKAT BATAK TOBA

KERTAS KARYA O

L E H

JULY DRUSILLA MANIK NIM : 072204006

Pembimbing

(Dr.Asmita Surbakti, M.si.)

Kertas karya ini diajukan kepada Panitia Ujian Program Pendidikan Nongelar Fakultas Sastra Usu Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian Diploma III Medan Program Studi Pariwisata

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

PROGRAM PENDIDIKAN NONGELAR DALAM PROGRAM STUDI PARIWISATA BIDANG KEAHLIAN USAHA WISATA MEDAN


(3)

Disetujui oleh :

PROGRAM DIPLOMA SASTRA DAN BUDAYA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

Medan, Maret 2010

PROGRAM STUDI PARIIWSATA KETUA,

Nip : 19550923198203100 Ridwan Azhar, M.hum


(4)

PENGESAHAN Diterima

PANITIA PROGRAM PENDIDIKAN NONGELAR SASTRA DAN BUDAYA FAKULTAS SASTRA USU MEDAN UNTUK MELENGKAPI SALAH SATU SYARAT UJIAN DIPLOMA III DALAM BIDANG STUDI PARIWISATA

Pada : Tanggal : Hari :

PROGRAM DIPLOMA SASTRA DAN BUDAYA FAKULTA SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DEKAN

( Prof. Syaifuddin, M.A.Ph.D ) NIP: 196509091994031004

Panitia Ujian

No Nama Tanda Tangan

1 Drs. Ridwan Azhar M.hum ( ) 2. Muchtar Madjin, S.Sos., Amp ( ) 3. Dr.Asmita Surbakti, Msi ( ) 4. Drs. Marzaini Manday, MSPD ( )


(5)

KATA PENGANTAR

Segala Puji dan Syukur kehadirat Tuhan yang Maha Kuasa, atas segala berkat dan kasih Karunia-Nya yang telah dilimpahkan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan kertas karya ini.

Kertas karya ini disusun sebagai salah satu syarat akademis dalam menempuh ujian Diploma III pada program studi Pariwisata Fakultas Satra, Universitas Sumatera Utara Medan. Adapun judul yang penulis angkat dari kertas karya ini adalah “ MAKNA RAGAM HIAS ULOS BATAK TOBA BAGI MASYARAKAT BATAK TOBA “. Yang membahas tentang bagaimana makana ulos dan tata cara pemberian ulos pada upacara adat massyarakat Batak Toba.

Dalam penyelesaian kertas karya ini, penulis banyak mendapatkan bantuan yang bersifat moril maupun material. Maka dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Syaifuddin, MA.Phd, Dekan Fakultas Sastra Universitass Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Ridwan Azhar, M. Hum, selaku ketua Program study DIII Pariwisata Fakultas Sastra USU Medan.

3. Ibu Drs. Asmita Surbakti, Msi. selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan Kertas Karya ini.. 4. Bapak Drs. Marzaini Manday, MSPD selaku dosen pembaca.

5. Seluruh staff pengajar Program Studi DIII Pariwisata Fakultas Sastra USU Medan yang telah mendidik dan membimbing penulis selama perkuliahan.


(6)

6. Buat keluarga terkasih teristimewa kedua orangtuaku A.Manik/N.manullang, yang telah membesarkan, membimbing dan slalu memberikan yang terbaik buat penulis sehingga dapat menyelesaikan perkuliahan ini dengan baik. Semoga Tuhan salalu memberkati.

7. Buat saudara-saudaraku, kedua abang dan ketiga kakak, yang telah banyak memberi dukungan buat penulis semoga kita sukses.

8. Buat teman-teman usaha wisata 2007 trimakasih penulis ucapkan atas dukungan dan dorongan selama penulis menyelesaikan kertas karya ini.

9. Buat teman-teman yang tidak dapat penulis ucapkan satu persatu, penulis ucapkan banyak trimakasih atas dukungan dan doronganya.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam kertas karya ini dan tidak luput dari banyak kesalahan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif demi penyempurnaan kertas karya ini.

Akhir kata, penulis berharap agar kertas karya ini dapat bermanfaat bagi yang pembaca .

Medan , Maret 2010 Penulis,


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI ... III ABSTRAK... iv

BAB I : PENDAHULUAN... 1

1.1 Alasan pemilihan judul... .1

1.2 Pembatasan masalah... 2

1.3 Tujuan penulisan... 2

1.4 Metode penelitian... 3

1.5 Sistematika penulisa... 3

BAB II : URAIAN TEORITIS KEPARIEISATAAN...5

2.1 Pengertian Wisata...5

2.2 Pengertian Pariwisata...5

2.3 Pengertian wisatawan...6

2.4 Pengertian Kepariwisataan...7

2.5 Pengertian objek wisata...12

2.6 Pengertian Atraksi Wisata dan Daya Tarik Wisata...12

2.7 Sejarah Kepariwisataan...13

BAB III : BUDAYA DAERAH BATAK DAN SEJARAH BATA....14

3.1 Letak Geografis...14

3.2 Wilayah Bermukim...15


(8)

3.4 Sejarah Kebudayaan Batak...16

BAB IV : MAKNA ORNAMEN ULOS BATAK BAGI MASYARAKAT BATAK TOBA...17

4.1 Makna Ornamen Ulos Batak...17

4.2 Beraneka Ragam Ulos Batak...23

4.3 Tata cara Pemberian Ulos Pada Upacara Adat...34

4.3.1 Pada Waktu Anak Lahir...37

4.3.2 Pada Waktu Perkawinan...38

4.3.3 Ulos Pada Upacara Kematian...40

4.3.4 Memberi Ulos Panggabei...42

BAB V :PENUTUP...44


(9)

ABSTRAK

Seni-seni tradisi yang memiliki nilai-nilai tinggi dengan berbagai tersebut sangat perlu diperhatikan dan dilestarikan masyarakat di lingkunganya sendiri. Atas dasar itu amat disayangkan apabila kesenian yang demikian itu sampai mengalami kepunahan karena adanya arus globalisasi dengan masuknya budaya barat ke Indonesia untuk itu sebagai Bangasa Indonesia dan para generasi muda ikut adil dalam melestarikan sekaligus mengembangkan seni budaya kita sendiri.

Berbagai detail ragam hias menawan menyemarakkan penampilan ruangan. Bahkan telah menyuguhkan keserasian antara hiasan dan motif-motif yang berasal dari elemen lain. Penyusunan elemen ragam hias yang khas sesuai dengan kaidah-kaidah fungsi akan menambah keharmonisan. Sebagaimana diketahui, masing-masing etnis Batak mempunyai ornamen yang berbeda antara yang satu dengan lainnya


(10)

ABSTRAK

Seni-seni tradisi yang memiliki nilai-nilai tinggi dengan berbagai tersebut sangat perlu diperhatikan dan dilestarikan masyarakat di lingkunganya sendiri. Atas dasar itu amat disayangkan apabila kesenian yang demikian itu sampai mengalami kepunahan karena adanya arus globalisasi dengan masuknya budaya barat ke Indonesia untuk itu sebagai Bangasa Indonesia dan para generasi muda ikut adil dalam melestarikan sekaligus mengembangkan seni budaya kita sendiri.

Berbagai detail ragam hias menawan menyemarakkan penampilan ruangan. Bahkan telah menyuguhkan keserasian antara hiasan dan motif-motif yang berasal dari elemen lain. Penyusunan elemen ragam hias yang khas sesuai dengan kaidah-kaidah fungsi akan menambah keharmonisan. Sebagaimana diketahui, masing-masing etnis Batak mempunyai ornamen yang berbeda antara yang satu dengan lainnya


(11)

BAB I PENDAHULUAN 1.1Alasan Pemilihan Judul

Negara Indonesia terdiri atas banyak suku yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, dan terdiri atas berbagai daerah dimana hampir pada setiap daerah tersebut mewariskan hasil karyanya yang adihulung. Hasil kesenian tersebut ternyata hingga saat ini masih hidup dan terpelihara walaupun ada beberapa yang sudah dilupakan.

Seni-seni tradisi yang memiliki nilai tinggi dengan berbagai variasi tersebut sangat perlu diperhatikan dan dilestarikan masyarakat di lingkunganya sendiri. Atas dasar itu amat disayangkan apabila kesenian yang demikian itu sampai mengalami kepunahan karena adanya arus globalisasi dengan masuknya budaya barat ke Indonesia untuk itu sebagai bangsa Indonesia, para generasi muda ikut memiliki adil dalam melestarikan sekaligus mengembangkan seni budaya kita sendiri.

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa cabang kesenian tradisi yang ada di Indonesia meliputi seni tari, seni musik, seni rupa, dan sebagainya. Dalam bidang seni rupa pun masih terbagi-bagi lagi menjadi bermacam-macam jenisnya, dan salah satunya adalah seni ragam hias, ragam hias merupakan salah satu unsur dari cabang seni rupa yang tidak kalah pentingnya dalam memenuhi tuntunan jiwani.

Sudah menjadi pemahaman umum bahwa ragam hias memiliki peran yang sangat besar, hal ini dapat dilihat melalui penerapanya di berbagai hal, meliputi segala aspek kehidupan manusia baik bersifat jasmani maupun rohani. Seperti


(12)

misalnya penerapanya pada alat-alat upacara, alat berburu, angkutan, rumah adat ,alat pertanian, souvenir dan sebagainya. Ragam hias merupakan salah satu unsur seni rupa yang sudah selayaknya mendapat perhatian besar dari masyaraakat luas demi terjaga kelestarianya.

Dengan demikian jelas bahwa tugas dan fungsi ragam hias adalah sebagai penghias suatu objek, dan apabila ragam hias tersebut diterapkan pada benda lain akan memiliki nilai tambah pada benda tersebut bisa menambah indah, antik, angker, cantik dan atau predikat lain lagi. Tentunya dengan cakupan yang sesuai dengan bagaimana dan dimana ragam hias tersebut digunakan. Oleh karena itu ragam hias merupakan menambah nilai dari suatu benda yang di tempatinya, sehingga pada kertas karya ini penulis tertarik mengangkat topik mengenai ragam hias dengan judul:” MAKNA RAGAM HIAS ULOS BATAK TOBA BAGI MASYARAKAT BATAK TOBA.”

1.2Batasan Masalah

Adapun masalah dalam kertas karya ini adalah menerangkan makna dari ulos batak dalam kehidupan dari batak toba dan dibatasi hanya dengan menerangkan 11 ulos batak toba.

1.3Tujuan Penulisan

Dalam penyusunan kertas karya ini penulis mempunyai tujuan sebagai berikut:

1. Untuk melengkapi salah satu syarat akademis dalam menyelesaikan Diploma III Program Studi Pariwisata Fakultas SaStra USU.


(13)

3. Menerangkan makna ulos pada upacara adat

1.4Metode Penelitian.

Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penulisan kertas karya ini, digunakan dua metode penelitian,yaitu:

1. Studi Kepustakaan ( Library Research )

Penelitian yang dilakukan melalui kepustakaan dengan cara membaca dan mempelajari buku-buku ilmiah yang ada hubunganya dengan pembahasan yang dilakukan, serta mengumpulkan data-data yang relevan.

1.5Sistematika Penulisan

Dalam sistematika penulisan ini digambarkan secara garis besar hal-hal yang akan dijabarkan pada bab-bab berikutnya terdiri dari lima bab yang setiap bab mencakup hal-hal sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan

Bab pendahuluan ini berisikan uraian tentang alasan pemilihan judul, batas masalah, tujuan penulisan, metode penelitian, sistematika penulisan.

Bab II : Uraian Teoritis

Pengertian pariwisata, pengertian objek dan daya tarik wisata, pengertian industri pariwisata.

Bab III : Budaya daerah Batak dan Letak Geografis Masyarakat Batak Toba Dalam bab ini akan diuraikan mengenai pengertian sejarah kebudayaan Batak dan Letak Geografis masyarakat Batak Toba.


(14)

Bab IV : Makna suatu ragam hias ulos Batak bagi masyarakat Batak Toba.

Dalam bab ini diuraikan mengenai nilai suatu ornamen dalam ulos batak toba, makna dan penggunaan ulos dalam upacara adat.

Bab V : Penutup

Merupakan kesimpulan dari bab-bab yang terdahulu dan saran-saran dari penulis yang diambil dari perbandingan antara penulisan secara teoritis dan kenyataan yang dijumpai di lapangan.


(15)

BAB II

URAIAN TENTANG TEORI KEPARIWISATAAN

2.1Pengertian Wisata

Wisata berarti perjalanan yang dalam bahasa Inggris dapat disamakan dengan “travel”. Sedangkan yang dimaksud dengan travel agent itu adalah perusahaan yang telah memberi informasi dan advis, melakukan reservasi, mengurus tiket dan” voucher”, serta mengurus dokumen perjalanan sehubungan dengan perjalananya (Yoeti, 1983: 104)

Menurut Soetomo (1994: 25) yang didasarkan pada ketentuan WATA (World Association of Travel Agent = Perhimpunan Agen Perjalanan Sedunia), wisata adalah perjalanan keliling selama lebih dari tiga hari yang diselenggarakan oleh suatu kantor perjalanan di dalam kota dan acaranya antara lain melihat-lihat di berbagai tempat atau kota baik di dalam maupun di luar negeri.

2.2Pengertian Pariwisata

Pariwisata adalah kepergian orang-orang sementara dalam jangka waktu pendek ketempat-tempat tujuan diluar tempat tinggal dan bekerja sehari-harinya serta kegiatan-kegiatan mereka selama berada di tempat-tempat tujuan tersebut.(Pendit, 1929: 30).

Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang kepariwisataan, menyebutkan bahwa pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan


(16)

kegiatan perjalanan yang dilakukan secara sukarela, serta bersifat sementara untuk menikmati objek dan daya tarik wisata termasuk pengusahaan objek dan daya tarik wisata tersebut.

Berdasarkan definisi pariwisata tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan pariwisata memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

1. Terdapat dua lokasi yang saling terkait yaitu daerah asal (palce of origin)

dan daerah tujuan (destination).

2. Sebagai destinasi pasti memiliki objek dan daya tarik wisata. 3. Sebagai destinasi pasti memiliki sarana dan prasarana pariwisata.

4. Terdapat dampak yang ditimbulkan, khususnya pada daerah destinasi dari segi sosial budaya, ekonomi dan lingkungan.

2.3 Pengertian Wisatawan

Wisatawan merupakan pengunjung yang paling sedikit tinggal selama 24 jam di daerah tujuan wisata yang dikunjunginya dan tujuan perjalananya dapat digolongkan kedalam klasifikasi sebagai berikut:

• Pesiar (leisure), yaitu seperti untuk keperluan rekreasi, liburan, kesehatan.

• Hubungan dagang (business), konperensi dan misi ( Yoeti, 1983: 123).

Menurut Convention Concerning Customs Facilites For Touring wisatawan adalah setiap orang yang datang di sebuah negara karena alasan yang sah kecuali untuk berimigrasi dan yang tinggal setidak-tidaknya 24 Jam dan


(17)

selama-lamanya enam bulan dalam tahun yang sama. (www.unece.org/trans/conventn/Touring-1954e.pdf).

Dalam pengertian ini wisatawan dibedakan berdasarkan waktu dan tujuan yang disebut wisatawan adalah orang-orang yang berkunjung setidaknya 24 dan yang datang berdasarakan motivasi mengisi waktu senggang seperti bersenang-senang, berlibur, untuk kesehatan, studi, keperluan agama, dan olahraga, serta bisnis, keluarga. Sedangkan ekskursionis adalah pengunjung yang hanya tinggal sehari di negara yang dikunjungi tanpa bermalam. Pengertian ini paling banyak digunakan karena pembedanya tegas sehingga mudah dipahami antara pengunjung yang bisa disebut wisatawan, dan pengunjung yang hanya ekskurisionis saja.

2.4 Pengertian Kepariwisataan.

Kepariwisataan adalah hal-hal yang berhubungan dengan pariwisata. Secara umum, sisitem pendidikan kepariwisataan mempunyai tujuan seperti berikut:

1. Pengembangan seluruh kemampuan serta kepribadian manusia.

2. Mobilitas manusia dari satu pengalaman pendidikan dan prosese belajar.

3. Deversifikasi dalam pendidikan dan proses belajar. 4. Demokrasi dalam pendidikan dan prosese belajar.

5. Mobilitas sumber-sumber masyarakat yang bisa dimanfaatkan. 6. Pertumbuhan kegairahan penelitian.(Spillane, 1994: 105)


(18)

Tujuan program konkret dan komptensi yang hendak diwujudkan dan dilihat dalam buku pedoman dari beberapa akademi pariwisata yang sudah ada di Indonesia dan juga dalam beberapa katalog dari perguruan tinggi luar negri yang mempunyai program studi kepariwisataan ( Spillane, 1994: 105)

Hal-hal yang berhubungan dengan pariwisata hendaknya memenuhi syarat sapta pesona pariwisata, yaitu : ( ariesaksono.wordpress.com/.../sapta-pesona-pariwisata-indonesia/)

1. Aman

Wisatawan akan senang berkunjung ke suatu tempat apabila merasa aman, tenteram, tidak takut, terlindungi dan bebas dari :

• Tindak kejahatan, kekerasan, ancaman, seperti kecopetan, pemerasan, penodongan, penipuan dan lain sebagainya.

• Terserang penyakit menular dan penyakit berbahaya la innya

• Kecelakaan yang disebabkan oleh alat perlengkapan dan fasilitas yang kurang baik, seperti kendaraan, peralatan, untuk makan dan minum, lift, alat perlengkapan rekreasi atau olah raga.

• Gangguan oleh masyarakat, antara lain berupa pemaksaan oleh pedagang asongan tangan jail, ucapan dan tindakan serta perilaku yang tidak bersahabat dan lain sebagainya.

Aman berarti terjamin keselamatan jiwa dan fisik, termasuk milik (barang) wisatawan.


(19)

2. Tertib

Kondisi yang tertib merupakan sesuatu yang sangat didambakan oleh setiap orang termasuk wisatawan. Kondisi tersebut tercermin dari suasana yang teratur, rapi dan lancar serta menunjukkan disiplin yang tinggi dalam semua segi kehidupan masyarakat, misalnya :

• Lalu lintas tertib, teratur dan lancar, alat angkutan datang dan berangkat tepat pada waktunya.

• Tidak nampak orang yang berdesakan atau berebutan untuk mendapatkan atau membeli sesuatu yang diperlukan

• Bangunan dan lingkungan ditata teratur dan rapi

• Pelayanan dilakukan secara baik dan tepat

• Informasi yang benar dan tidak membingungkan.

3. Bersih

Bersih merupakan suatu keadaan/kondisi lingkungan yang menampilkan suasana bebas dari kotoran, sampah, limbah, penyakit dan pencemaran. Wisatawan akan merasa betah dan nyaman bila berada di tempat-tempat yang bersih dan sehat seperti :

• Lingkungan yang bersih baik di rumah sendiri maupun di tempat-tempat umum, seperti di hotel, restoran, angkutan umum, tempat rekreasi, tempat buangair kecil/besar dan lain sebagainya. Bersih dari sampah, kotoran, corat-coret dan lain sebagainya.


(20)

• Penggunaan dan penyajian alat perlengkapan yang bersih seperti sendok, piring, tempat tidur, alat olah raga dan lain sebagainya

• Pakaian dan penampilan petugas bersih, rapi dan tidak mengeluarkan bau tidak sedap dan lain sebagainya

4. Sejuk

Lingkungan yang serba hijau, segar, rapi memberi suasana atau keadaan sejuk, nyaman dan tenteram. Kesejukan yang dikehendaki tidak saja harus berada di luar ruangan atau bangunan, akan tetapi juga di dalam ruangan, misalnya ruangan kerja/belajar, ruangan makan, ruangan tidur dan lain sebagainya. Untuk itu hendaklah kita semua :

• Turut serta aktif memelihara kelestarian lingkungan dan hasil penghijaun yang telah dilakukan masyarakat maupun pemerintah

• Berperan secara aktif untuk menganjurkan dan memelopori agar masyarakat setempat melaksanakan kegiatan penghijauan dan memelihara kebersihan, menanam berbagai tanaman di halaman rumah masing-masing baik untuk hiasan maupun tanaman yang bermanfaat bagi rumah tangga, melakukan penanaman pohon atau tanaman rindang di sepanjang jalan di lingkungan masing-masing di halaman sekolah dan lain sebagainya.

• Membentuk perkumpulan yang tujuannya memelihara kelestarian lingkungan.

• Menghiasi ruang belajar atau ruang kerja, ruang tamu, ruang tidur dan tempat lainnya dengan aneka tanaman penghias atau penyejuk.

• Memprakarsai berbagai kegiatna dan upaya lain yang dapat membuat lingkungan hidup kita menjadi sejuk, bersih, segar dan nyaman.


(21)

5. Indah

Keadaan atau suasana yang menampilkan lingkungan yang menarik dan sedap dipandang disebut indah. Indah dapat dilihat dari berbagai segi, seperti dari segi tata warna, tata letak, tata ruang bentuk ataupun gaya dan gerak yang serasi dan selaras, sehingga memberi kesan yang enak dan cantik untuk dilihat. Indah yang selalu sejalan dengan bersih dan tertib serta tidak terpisahkan dari lingkungan hidup baik berupa ciptaan Tuhan Yang Maha Esa maupun hasil karya manusia. Karena itu kita wajib memelihara lingkungan hidup agar lestari dan dapat dinikmati oleh umat manusia.

6.Ramah tamah

Ramah tamah merupakan suatu sikap dan perilaku seseorang yang menunjukkan keakraban, sopan, suka membantu, suka tersenyum dan menarik hati. Keramahtamahan merupakan suatu sarata yang dapat dikatakan penting dalam dunia kepariwisataan.

Ramah tamah tidaklah berarti bahwa kita harus kehilangan kepribadian kita ataupun tidak tegas dalam menentukan sesuatu keputusan atau sikat. Ramah, merupakan watak dan budaya bangsa Indonesia pada umumnya, yang selalu menghormati tamunya dan dapat menjadi tuan rumah yang baik. Sikap ramah tamah ini merupakan satu daya tarik bagi wisatawan, oleh karena itu harus kita pelihara terus.

7. Kenangan

Kenangan adalah kesan yang melekat dengan kuat pada ingatan dan perasaan seseorang yang disebabkan oleh pengalaman yang diperolehnya.


(22)

Kenangan dapat berupa yang indah dan menyenangkan, akan tetapi dapat pula yang tidak menyenangkan. Kenangan yang ingin diwujudkan dalam ingatan dan perasaan wisatawan dari pengalaman berpariwisata di Indonesia, dengan sendirinya adalah yang indah dan menyenangkan. Kenangan yang indah ini dapat pula diciptakan dengan antara lain :

• Akomodasi yang nyaman, bersih dan sehat, pelayanan yang cepat, tepat dan ramah, suasana yang mencerminkan ciri khas daerah dalam bentuk dan gaya bangunan serta dekorasinya.

• Atraksi seni budaya daerah yang khas dan mempesona baik itu berupa seni tari, seni suara dan berbagai macam upacara

• Makanan dan minuman khas daerah yang lezat, dengan penampilan dan penyajian yang menarik. Makanan dan minuman ini merupakan salah satu daya tarik yang kuat dan dapat dijadikan jati diri (identitas daerah).

• Cenderamata yang mungil yang mencerminkan ciri-ciri khas daerah bermutu tinggi, mudah dibawa dan dengan harga yang terjangkau mempunyai arti tersendiri dan dijadikan bukti atau kenangan dari kunjungan seseorang ke suatu tempat, daerah, negara.


(23)

Objek wisata merupakan suatu kawasan yang memiliki nilai-nilai sejarah dan bukti-bikti sejarah yang difungsikan sebagai objek wisata. Objek wisata adalah kawasan terencana yang dilengkapi dengan pelayanan produk wisata, fasilitas rekreasi, restoran, hotel, atraksi hiburan serta jalur transportasi yang memadai, dan berbagai fasilitas lainnya yang di butuhkan oleh pengunjung.

2.5 Pengertian Objek Wisata

Adapun objek wisata dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu:

1. Objek Wisata Alam yakni objek wisata yang 98% merupakan natural/bersifat alamiah.

2. Objek Wisata hasil ciptaan manusia, yaitu objek wisata yang seluruhnya merupakan hasil dari kreatifitas yang diciptakan manusia.

2.6 Pengertian Atraksi Wisata dan Daya Tarik Wisata

Atraksi wisata adalah segala sesuatu yang terdapat di suatu dareah tujuan wisata yang merupakan daya tarik agar orang-orang semakin memiliki minat yang lebih besar untuk berkunjung ke suatu DTW. Agar suatu daerah tujuan wisata mempunyai daya tarik maka suatu DTW juga harus mempunyai beberapa syarat yang harus dimiliki yaitu:

1. Adanya sesuatu yang dapat di lihat.

2. Adanya suatu aktifitas yang akan dilakukan. 3. Adanya sesuatu yang dapat dibeli.


(24)

Pengertian tentang Pariwisata dan wisatawan timbul di Perancis pada akhir abad ke 17. Tahun 1972 buku petunjuk “The True Quide For Foreigners Travelling in France to Appriciate its Beealities, Learn the language and take exercise”. Dalam buku ini disebutkan ada dua perjalanan yaitu perjalanan besar dan kecil (Grand Tour dan Perit Tour).

2.7 Sejarah Pariwisata

Grand Tour di Inggris Mendapat arti yang berbeda yaitu dijadikan unsure pendidikan diplomasi dan politik. Pertengah abad ke-19 Jumlah orang yang berwisata masih terbatas karena butuh waktu lama dan biaya besar, keamanan kurang terjamin, dan sarananya masih sederhana, tetapi sesudah Revolusi Industri Keadaan itu berbuah, tidak hanya golongan elit saja yang bisa berpariwisata tapi kelas menengah juga. Hal ini ditunjang juga oleh adanya kereta api. Pada abad Ke-20 terutama setelah perang dunia II kemajuan teknik produksi dan teknik penerbangan menimbulkan peledakan pariwisata. Perkembangan terkahir dalam pariwisata adalah munculnya perjalanan paket (Package tour). (www.worldcat.org/oclc/35990955)


(25)

BAB III

GAMBARAN UMUM BATAK TOBA 3.1 Letak Geografis Batak Toba

Batak adalah nama sebuah suku bangsa di Indonesia. Suku ini kebanyakan bermukim di Sumatra Utara. Sebagian orang Batak beragama Kristen dan sebagian lagi beragama Islam. Tetapi dan ada pula yang menganut agama Malim (pengikutnya bisasa disebut dengan Parmalim ) dan juga penganut kepercayaan animisme (disebut Pelebegu atau paebegu).

Menurut kepercayaan bangsa Batak, induk marga Batak dimulai dari Si Raja Batak yang diyakini sebagai asal mula orang Batak. Si Raja Batak mempunyai 2 (dua) orang putra yakni Guru Tatea Bulan dan Si Raja Isumbaon. Guru Tatea Bulan sendiri mempunyai 5 (lima) orang putra yakni Raja Uti (Raja Biakbiak), Saribu Raja, Limbong Mulana, Sagala Raja dan Malau Raja. Sementara Si Raja Isumbaon mempunyai tiga orang putra yakni Tuan Sorimangaraja, Si Raja Asiasi dan Sangkar Somalidang. Dari keturunan (pinompar) mereka inilah kemudian menyebar ke segala penjuru daerah di Tapanuli baik ke utara maupun ke selatan sehingga munculah berbagai macam marga Batak. Legenda mengenai bagaimana Si Raja Batak dapat disebut sebagai asal mula orang Batak masih perlu dikaji lebih dalam.

Sebenarnya Kabupaten Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Tobasa, dan Samosir sekarang tidaklah semuanya Toba. Sejak masa Kerajaan Batak hingga pembagian wilayah yang didiami suku Batak ke dalam beberapa distrik oleh Huria Kristen Batak Protestan (HKBP),


(26)

Tanah Batak dibagi menjadi empat bagian besar, yaitu: 1. Samosir (Pulau Samosir dan sekitarnya)

Contoh: marga Simbolon,Sagala, dsb

2. Toba (Balige, Laguboti,Porsea, Parsoburan, Sigumpar, dan sekitarnya) Contoh: marga Sitorus, Marpaung, dsb

3. Humbang (Dolok Sanggul, Lintongnihuta, Siborongborong, dan sekitarnya)

Contoh: marga Simatupang Siburian, Sihombing Lumban Toruan, dsb 4. Silindung (Sipoholon, Tarutung, Pahae, dan sekitarnya)

Contoh: marga Naipospos (Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang, Marbun), Huta Barat,dsb.

(http://gultomunited.blogdetik.com/2010/01/15/page/3/)

3.2 Batasan Wilayah

Dalam tata pemerintahan Republik Indonesia yang mengikuti tata pemerintahan Kolonial Belanda, setiap sub suku berdiam dalam satu kedemangan yang kemudian dirubah menjadi kabupaten setelah Indonesia merdeka.

1. Sub suku Batak Toba berdiam di Kabupaten Tobasa yang wilayahnya meliputi Balige, Laguboti, Porsea, serta Ajibata (berbatasan dengan Parapat).

2. Sub suku Batak Samosir berdiam di Kabupaten Samosir yang wilayahnya meliputi Tele, Baneara, Pulau Samosir, dan sekitarnya.

3. Sub suku Batak Humbang berdiam di Kabupaten Humbang Hasundutan dan Tapanuli Utara bagian utara yang wilayahnya meliputi Dolok Sanggul,


(27)

Siborongborong, Lintongnihuta, serta Parlilitan.

4. Sub suku Batak Silindung berdiam di Kabupaten Tapanuli Utara yang wilayahnya meliputi Tarutung, Sipoholon, Pahae, dan sekitarnya.

Suku bangsa Batak pun saat ini telah banyak tersebar ke seluruh daerah Indonesia bahkan luar negeri. (http://gultomunited.blogdetik.com/2010/01/15/page/3/)

3.3 Sistem Kepercayaan

Batak telah menganut agama Kristen Protestan yang disiarkan oleh para Missionaris dari Jerman yang bernama Nomensen pada tahun 1863. Gereja yang pertama berdiri adalah HKBP (Huria Kristen Batak Protestan)di huta Dame, Tarutung. Sekarang ini gereja HKBP ada dimana-mana di seluruh Indonesia yang jemaatnya mayoritas suku Batak (Silindung-Samosir-Humbang-Toba).Sebelum suku Batak menganut agama Kristen Protestan, mereka mempunyai sistem kepercayaan dan religi tentang Mulajadi Nabolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaanNya terwujud dalam Debata Natolu.

(http://gultomunited.blogdetik.com/2010/01/15/page/3/)

3.4 Sejarah Kebudayaan Batak Toba

Suku Batak umumnya berdiam di Provinsi Sumatera Utara, khususnya di Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah,Simalungun, Karo, Dairi dan belakangan ini karena adanya pemekaran daerah tingkat dua secara administratif, maka ditambah lagi tempat berdomisilinya orang Batak yaitu Kabupaten Toba Samosir dan Mandailing Natal .


(28)

Suku Bangsa Batak terdiri dari sub suku bangsa yaitu:

1. Suku bangsa Karo, yang mendiami suatu daerah induk yang meliputi dataran tinggi Karo, Langkat Hulu dan sebagian Dairi.

2. Suku bangsa Simalungun, yaitu mendiami daerah induk Simalungun. 3. Suku bangsa Pakpak, yang mendiami daerah induk Dairi.

4. Suku bangsa Toba, yang mendiami daerah induk tepi Danau Toba, Pulau Samosir, Dataran tinggi Toba, daerah Asahan, Silindung, daerah antara Barus dan Sibolga serta daerah pegunungan Pahae dan Habinsaran.

5. Suku bansa Angkola, yang mendiami daerah induk Angkola dan Sipirok, sebagian dari Sibolga dan Batang Toru dan bagian Utara Padang Lawas. 6. Suku bangsa Mandailing, yang mendiami daerah induk Mandailing, Ulu,

Pakatan dan bagian Selatan dari Padang Lawas.

Menurut cerita-cerita orang Batak Toba, semua suku bangsa batak mempunyai satu nenek moyang yaitu si Raja Batak.

Berbicara mengenai kebudayaan Batak, Khususnya Batak Toba, maka ada beberapa unsur yang sangat terkait dengan kebudayaan tersebut, misalnya bahasa, pola perkampungan, bentuk rumah, kepercayaan atau religi, konsepsi tentang pencipta, konsepsi tentang jiwa, roh dan dunia akhirat, sistem kekerabatan, mata pencaharian dan sistem kesenian.


(29)

BAB IV

MAKNA RAGAM HIAS ULOS BATAK TOBA BAGI MASYARAKAT BATAK TOBA

4.1Makna Ornamen Ulos Batak Toba

Ulos adalah kain tenun khas Batak berbentuk selendang. Benda sakral ini merupakan simbol restu, kasih sayang dan persatuan, sesuai dengan pepatah Batak yang berbunyi: “Ijuk pangihot ni hodong, Ulos pangihot ni holong", yang artinya kira-kira "Jika ijuk adalah pengikat pelepah pada batangnya, maka ulos adalah pengikat kasih sayang antara sesama.".

Berbagai detail ragam hias menawan menyemarakkan penampilan ruangan. Bahkan telah menyuguhkan keserasian antara hiasan dan motif-motif yang berasal dari elemen lain. Penyusunan elemen ragam hiasa yang khas sesuai dengan kaidah-kaidah fungsi akan menambah keharmonisan. Sebagaimana diketahui, masing-masing etnis Batak mempunyai ornamen yang berbeda antara yang satu dengan lainnya.

Seperti jenis ornamen etnis Batak Toba terdiri dari “gorga sitompi, dalihan natolu, simeol-meol, simeol-meol masialoan, sitagan, sijonggi, silintong, simarogung-ogung, ipon-ipon, iran-iran, hariara sundung di langit, hoda-hoda, simata ni ari, desa na ualu, jenggar/jongrom, gaja dompak, ulu paung, singa-singa, boraspati, dan hiasan susu”.

Ada dua macam jenis pembuatan gorga yaitu:


(30)

setelah siap dipahat baru diwarnai

2. Gorga Dais yaitu Gorga yang dilukiskan dengan cat warna tiga bolit.

Gorga dais ini merupakan pelengkap pada rumah adat Batak Toba. Yang terdapat pada bahagian samping rumah, dan dibahagian dalam.

Dilihat dari ragam hias dan gambar-gambarnya dapat pula Gorga itu mempunyai nama-namanya tersendiri, antara lain ;

1. Gorga Ipon-Ipon

Terdapat dibahagian tepi dari Gorga; ipon-ipon dalam Bahasa Indonesia adalah Gigi. Manusia tanpa gigi sangat kurang menarik, begitulah ukiran Batak, tanpa adanya ipon-ipon sangat kurang keindahan dan keharmonisannya. Ipon-ipon ada beraneka ragam, tergantung dari kemampuan para pengukir untuk menciptakannya. Biasanya Gorga ipon-ipon ini lebarnya antara dua sampai tiga sentimeter dipinggir papan dengan kata lain sebagai hiasan tepi yang cukup menarik.

2. Gorga Sitompi

Sitompi berasal dari kata tompi, salah satu perkakas petani yang disangkutkan dileher kerbau pada waktu membajak sawah. Gorga Sitompi

termasuk jenis yang indah di dalam kumpulan Gorga Batak. Disamping keindahannya, kemungkinan sipemilik rumah sengaja memesankannya kepada tukang ukir (Pande) mengingat akan jasa alat tersebut (Tompi) itu kepada kerbau dan kepada manusia.

3. Gorga Simataniari (Matahari)


(31)

rumah. Gorga ini diperbuat tukang ukir (Pande) mengingat jasa matahari yang menerangi dunia ini, karena matahari juga termasuk sumber segala kehidupan, tanpa matahari takkan ada yang dapat hidup.

4. Gorga Desa Naualu (Delapan Penjuru Mata Angin)

Gorga ini menggambarkan gambar mata angin yang ditambah hiasan-hiasannya. Orang Batak dahulu sudah mengetahui/kenal dengan mata angin. Mata angin ini pun sudah mempunyai kaitan-kaitan erat dengan aktivitas-aktivitas ritual ataupun digunakan di dalam pembuatan horoscope

seseorang/sekeluarga. Sebagai pencerminan perasaan akan pentingnya mata angina pada suku Batak maka diperbuatlah dan diwujudkan dalam bentuk Gorga.

5. Gorga Si Marogung-ogung (Gong)

Pada zaman dahulu Ogung (gong) merupakan sesuatu benda yang sangat berharga. Ogung tidak ada dibuat di dalam negeri, kabarnya Ogung

didatangkan dari India. Sedangkan pemakaiannya sangat diperlukan pada pesta-pesta adat dan bahkan kepada pemakaian pada upacara-upacara ritual, seperti untuk mengadakan Gondang Malim (Upacara kesucian). Dengan memiliki seperangkat Ogung pertanda bahwa keluarga tersebut merupakan keluarga terpandang. Sebagai kenangan akan kebesaran dan nilai Ogung itu sebagai gambaran/ keadaan pemilik rumah maka dibuatlah

Gorga Marogung-ogung. 6. Gorga Singa Singa,

Dengan mendengar ataupun membaca perkataan Singa maka akan terlintas dalam hati dan pikiran kita akan perkataan: Raja Hutan, kuat, jago, kokoh,


(32)

mampu, berwibawa. Tidak semua orang dapat mendirikan rumah Gorga

disebabkan oleh berbagai faktor termasuk faktor sosial ekonomi dan lain-lain. Orang yang mampu mendirikan rumah Gorga Batak jelaslah orang yang mampu dan berwibawa di kampungnya. Itulah sebabnya Gorga

Singa dicantumkan di dalam kumpulan Gorga Batak

7. Gorga Jorgom

Ada juga orang menyebutnya Gorga Jorgom atau ada pula menyebutnya

Gorga Ulu Singa. Biasa ditempatkan di atas pintu masuk ke rumah, bentuknya mirip binatang dan manusia.

8. Gorga Boras Pati dan Adop Adop (Tetek)

Boras Pati sejenis mahluk yang menyerupai kadal atau cicak. Boras Pati

jarang kelihatan atau menampakkan diri, biasanya kalau Boras Pati sering nampak, itu menandakan tanam-tanaman menjadi subur dan panen berhasil baik yang menuju kekayaan (hamoraon). Gorga Boras Pati

dikombinasikan dengan tetek (susu, tarus). Bagi orang Batak pandangan terhadap susu (tetek) mempunyai arti khusus dimana tetek yang besar dan deras airnya pertanda anaknya sehat dan banyak atau punya keturunan banyak (gabe). Jadi kombinasi Boras Pati susu (tetek) adalah perlambang

Hagabeon, Hamoraon sebagai idaman orang Batak.

9. Gorga Ulu Paung, Ulu Paung terdapat di puncak rumah Gorga Batak. Keunggulan dan kekhasan ornamen Batak tercermin pada setiap detail dan karakter warna. Karakter muncul pada warna yang khas. Warna merah, hitam, dan putih merupakan simbol penting. Keberadaannya memancarkan nuansa kekhasan yang menunjukkan adanya perbedaan. Perbedaan yang


(33)

memang merupakan keunggulan dari daerah setempat, sehingga memperlihatkan khasanah seni ornamen tradisional yang harus selalu dieksplor dan dikembangkan. Dieksplor dan dikembangkan sesuai dengan imajinasi serta menyesuaikan jiwa zaman supaya tidak ketinggalan dengan gejolak yang berkembang di luar.

Ornamen sebuah ulos disebut Gorga dan Motifnya disebut Ragi.

Walaupun secara terpisah ada maca-macam motif dalam selembar ulos, tetapi ada bagian yang merupakan cirri lain utamanya yang menjadi pembeda dari ulos dan itulah yang menjadi tema ulos sekaligus namanya. Beberapa jenis ulos menurut tema atau motif ornament antara lain:

1. Ulos Jugia

2. Ulos Ragi Hotang 3. Ulos Sibolang 4. Ulos Mangiring 5. Ulos Bintang Maratur 6. Ulos Jungkit

7. Ulos Sadum 8.Ulos Ragidup

4.2. Berbagai Ragam Ulos Batak Batak Toba

Ada berbagai macam ulos batak yang masing-masing mempunyai nilai tertentu dan dipergunakan untuk maksud dan kesempatan tertentu pula. Nenek moyang suku bangsa batak mempergunakan ulos yang ditenun sendiri sebagai


(34)

pakaian sehari-hari, sebelum datang peradaban Barat yang memperkenalkan kain tekstil. Iklim daerah Tapanuli pada umumnya adalah berhawa sejuk, oleh karena itu ulos juga merupakan penjaga dan penghangat tubuh untuk kepentingan kesehatan, melindungi terhadap kencangnya angin, dinginya udara, hujan dan lain sebagainya.

Jadi makna dan falsafah pemberian ulos oleh pihak Hula-hula kepada pihak Borunya adalah, bahwa Hula-hula selalu mengayomi Borunya, memberikan perlindungan demi menjaga kesehatan dan keselamatan badaniah (sebelum menganut agama juga disebut rohaniah ). Dengan memberikan sebagai suatu satu pertanda yang dapat dilihat, disertai ungkapan pepatah-pepatah maka pihak hula-hula memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa, semoga memberikan Rahmat dan Ridho Nya kepada boru yang menerima ulos, memberikan kebahagiaan dan keselamatan, kesehatan dan umur yang panjang serta rejeki yang murah, dilindungi terhadap mara-bahaya, disamping itu yang paling penting dan pokok adalah agar diberi hagabeon, yaitu lahirnya anak lelaki sebagai penyambung keturunan dan anak perempuan yang diharapkan agar mampu memberikan kebahagian kepada orang tuanya. Demikianlah falsafah pemberian ulos itu, dan untuk setiap macam acara adat atau keperluan ada pedoman-pedoman tertentu tentang macam dan tingkat ulos yang akan diberikan.


(35)

Berikut berbagai macam ragam dan nilai Ulos Batak:

1. ULOS JUGIA

Ulos ini disebut juga “ ulos na so ra pipot “ atau pinunsaan. Biasanya adalah ulos “ homitan “ yang disimpan di “ parmonag-monangan “ ( hombung ). Jenis ini menurut kepercayaan orang Batak tidak dapt dipakai kecuali oleh orang yang sudah saur matua, yaitu semua anak laki-laki dan perempuan sudah kawin dan dari semua anaknya sudah mempunyai cucu. Hanya orang yang demikianlah yang disebut “ na gabe “ , yang berhak memakaia ulos tersebut.

Selama masih ada anaknya yang belum kawin atau masih ada yang belum mendapat keturunan, walaupun telah mempunyai cucu-cucu dari anak laki-lakiatau perempuan lainya yang telah kawin,belum bisa digolongkan sama dengan tingkat saurmatua.

Beratnya aturan pemakaian jenis ulos ini menyebabkan ulos ini merupakan benda langkah hingga banyak orang batak yang tidak mengenalnya. Ulos ini sering merupakan barang warisan orangtua kepada anaknya dan nilainya sama dengan sitoppi ( emas yang dipakai oleh isteri raja-raja pada waktu pesta ).


(36)

2. ULOS RAGIDUP

Ulos ini setingkat dibawah Ulos Jugia.

Banyak orang beranggapan ulos ragiduplah yang paling tinngi nilainya, oleh sebab memang dilihat dari bentuk/motifnya, lebarnya, cara penenunannya yang sangat rapi dan teratur, sangat nyata perbedaanya dari ulos-ulos yang lain. Dan memang cara penenunan ulos Ragidup ini sangat sulit, harus teliti sekali dan hanya akan dipercayakan pada penenun yang telah cukup banyak mempunyai pengalaman dalam tenun-menenun.

Ulos Ragidup dapat dipakai untuk berbagai keperluan, baik untuk acara dukacita maupun acara sukacita. Juga dapat dipakai oleh Raja-raja Adat, orang berada, maupun oleh rakyat biasa, selama memenuhi beberapa pedoman, misalnya diberikan sebagai Ulos Pargomgom pada acara adat perkawinan, atau diberikan sebagaai ulos Panggabei pada waktu orang tua meninggal yang telah mencapai satu tingkat hagabeon tertentu.


(37)

Gambar 4. 2. Ulos Ragidup

3. ULOS RAGI HOTANG

Ulos ini biasanay diberikan sepsang penganten yang disebut sebagai Ulos Hela. Dengan pemberian ulos ini dimaksudkan agar ikatan batin kedua penganten dapat teguh seperti rotan ( hotang ). Cara pemberianya kepada kedua penganten ialah disampirkan dari sebelah kana pengantin lelaki setinggi bahu terus sampai kesebelah kiri pengantin perempuan. Ujung sebelah kanan dipegang dengan tangan kiri oleh pengantin perempuan, lalu disatukan ditengah dada seperti terikat.

Pada jaman dahulu rotan adalah tali pengikat sebuah benda yang dianggap paling kuat dan ampuh. Inilah yang dilambangkan oleh ulos Ragi Hotang

tersebut.

Gambar 4.3. Ulos Ragihotang


(38)

Ulos ini penuh dengan warna-warni yang ceria hingga sangat cocok dipakai untuk suasana sukacita. Di Tapanuli Selatan ulos ini biasanya dipakai sebagai ulos panjangki ( parompa ) bagi keturunan “ Daulat, Baginda atau Mangaraja “ .

Untuk mengundang ( marontang ) Raja-raja, ulos ini dipakai sebagai alas sirih di atas pinggan godang (burangir/haronduk panyurduan). Aturan pemakaian ulos ini demikian ketat hingga ada golongan tertentu di Tapanuli Selatan yang dilarang memakai ulos ini. Begitu indahnya ulos ini sehingga didaerah lain sering dipakai sebagai ulos kenang-kenangan dan bahkan dibuat pula sebagai hiasan dinding. Ulos ini sering pula diberi sebagai kenang-kenangan untuk pejabat-pejabat yang berkunjung ke daerah.


(39)

5. ULOS RUNJAT

Ulos ini biasanya dipakai oleh orang kaya atau orang terpandang sebagai ulos edang-edang ( pada waktu pergi ke undangan ). Ulos ini dapat juga diberikan kepada penganten pada keluarga dekat menurut versi (tohonan ) Dalihan Natolu di luar Hasuhuton Bolon, misalnya oleh Tulang, Pariban dan Pamarai.

Juga ulos ini dapat deberikan pada waktu Mangupa-upa atau waktu ulaon si las ni roha (acara bergembira ).

Kelima jenis ulos yang diatas adalah merupakan ulos Homitan (simpanan), yang hanya kelihatan pada waktu tertentu saja. Karena ulos ini jarang-jarang dipakai, hingga tidak perlu dicuci , biasanya cukup dijemur diwaktu siang hari.

Gambar 4.5. Ulos Runjat

6. ULOS SIBOLANG

Ulos ini dapat dipakai untuk keperluan duka atau sukacita. Untuk keperluan dukacita biasanya dipilih dari jenis yang warna hitamnya menonjol ,


(40)

sedangkan bila dalam peristiwa sukacita dipilih dari jenis yang warna putihnya menonjol. Dalam peristiwa dukacita ulos ini paling banyak dipergunakan orang. Misalnya untuk ulos saput atau ulos tujung harus dari jenis ulos ini, tidak boleh dari jenis yang lain. Dalam upacara perkawinan, ulos ini biasanya dipakai sebagai tutup ni ampang dan juga bisa disandang, akan tetapi ulos ini akan dipilih dari jenis yang putihnya menonjol. Inilah yang disebut Sibolang Pamontari.

Karena ulos ini dapat dipakai untuk segala keperluan adat, maka ulos i ni terlihat paling banyak dipakai dalam upacara adat, hingga dapat dikatakn “memasyarakat” . Harganya juga relatif murah, sehingga dapat dijangkau oleh mayarakat banyak. Hanya saja ulos ini tidak lazim dipakai sebagai ulos pangupa atau parompa.


(41)

7. ULOS SURI-SURI GANJANG

Ulos ini dinamai ulos suri-suri ganjang karena raginya berbentuk sisir memanjang. Ulos ini dapat diberikan sebagai ulos Hela kepada penganten boru. Dahulu ulos ini dipergunakan sebagai ampe-ampe/hande-hande. Pada waktu

margondang ( memukul gendang ) ulos ini dipergunakan oleh pihak hula-hula

untuk manggabei pihak borunya. Karena itu ulos ini juga sering disebut ulos sabe-sabe.

Ada keistimewaan ulos ini, yaitu karena panjangnya melebihi ulos biasa, sehingga bisa dipakai sebagai ampe-ampe bila dipaaki dua lilit pada bahu kiri dan kanan, sehingga kelihatan sipemakai layaknya memakai dua buah ulos.


(42)

Gambar 4.7. Ulos Suri-Suri Ganjang

8. ULOS MANGIRING

Ulos ini mempunya ragi yang saling iring-beriring, melambangkan kesuburan dan kesepakatan. Sering diberikan oleh orang tua sebagai ulos parompa

kepada cucunya, agar seiring dengan pemberian ulos itu kelak akan lahir pula adik-adiknya sebagai temanya seiring dan sejalan Sebagai pakaian sehari-hari ulos ini dapat dipakai sebagai tali-tali (detar ) untuk laki-laki dan untuk wanita disebut

saong atau tudung. Pada waktu upacar mampe goar ulos ini dapat pula dipakai sebagai bulang-bulang, diberikan oleh pihak hula-hula kepada menantunya.

Gambar 4..8. Ulos Mangiring


(43)

Raginya menggambarkan jejran bintang yang teratur jejeran bintang ini menggambarkan orang yang patuh rukun seia dan sekata dalam ikatan kekeluargaan. Juga dalam hal sinadongan ( kekayaan ) atau hasangapon ( kemuliaan ) tidak ada yang timpang. Semuanya berada dalam tingkatan yang rata-rata sama. Dalam hidup sehari-hari dapat dipaki sebagai hande-hande ( ampe-ampe ) juga dapt dipaki sebagai tali-tali atau saong. Nilai dan fungsinya sama dengan ulos pangiring dan harganyapun relatif sama.

Ga mbar 4.9. Ulos Bintang Maratur

10. ULOS SITOLUNTUHO

Ulos ini biasanya hanya dipakai sebagai ikatan kepala atau selendang wanita. Tidak mempunya makna Adat, kecuali kalau doberikan kepada seorang anak yang baru lahir sebagai ulos parompa.

Jenis ulos ini dapt dipakai sebagai tambahan yang dalam istilah adat dikatakan ulos panoropi yang diberikan oleh pihak hula-hula kepada pihak boru yang sudah terhitung keluarga jauh.


(44)

Disebut “ sitoluntuho “ karena raginya berjejer tiga merupakan tuho atau tugal, yang biasanya dipakai untuk melobang tanah unutk bertanam benih.

Gambar 4.10. Ulos Sitoluntuho

11. ULOS JUNGKIT

Ulos jenis ini juga disebut ulos nadidondang atau ulos purada. Purada atu permata merupakan penghias dari ulos tersebut. Dahulu ulos ini dipergunakan oleh anak gadis dari keluarga Raja-raja, merupakan hoba-hoba yang dipaki hingga batas dada. Juga pada waktu menerima tamu pembesar atau waktu upacara perkawinan. Dahulu purada atau permata ini dibawa oleh saudagar-saudagar dari India lewat pelabuhan Barus. Akan tetapi pada pertahanan abad XX ini permata tersebut tidak ada lagi diperdagangkan, maka bentuk permata dari ragi ulos tersebut diganti dengan cara “ menjungkit “ benang ulos tersebut.


(45)

Gambar 4.11. Ulos Jungkit

12. ULOS LAIN-LAIN

Masih ada lagi jenis ulos yang lain, tetapi yang sudah jarang sekali kelihatan dan jarang dipakai dalam acara-acara adat biasanya. Misalnya Ulos Lobu-lobu yang mempunyai keperluan khusus untuk orang yang sering dirundung kemalangan (kematian anak). Oleh sebab itulah ulos ini kini jarang sekali, sehingga banyak orang tidak mengenalnya lagi.

Dibawah ini disebut beberapa jenis ulos Batak lainya :

• Ragi Panei

• Ragi Hatirongga

• Ragi Ambasang

• Ragi sidosdos

• Ragi sampuborna

• Ragi siattar

• Ragi sapot

• Ragi Siimput ni hirik

• Ulos Boleon

• Ulos simata

• Ulos Happu

• Ulos Tukku

• Ulos Lobu-lobu


(46)

4.3 Tata Cara Pemberian Ulos Pada Upacara Adat

Ulos mempunyai nilai yang sangat tinggi dalam upacara Adat Batak. Tidak mungkin berbicara mengenai Adat Batak tanpa membicarakan ulos. Ulos, hiou, olis, abit godang atu uis kesemuanya adalah merupakan identitas orang Batak.

Di wilayah Toba, Simalungun dan Tanah Karo pada prinsipnya pihak

Hula-hula lah yang memberikan kepada parboru (dalam perkawinan). Sedangkan di wilayah Pakpak/Dairi dan Tapanuli Selatan pihak borulah yang memberikan

ulos ke pada mora atau kula kula. Perbedaan spesifik ini bukanlah berarti mengurangi nilai dan makna suatu ulos dalam upacara adat. Di wilayah Toba misalnya yang berhak memberikan ulos ialah:

1. Pihak Hula-hula (Mertua, Tulang, Bona Tulang, Bona ni ari dan Tulang rorobot).

2. Pihak Dongan Tubu (Ayah, Saudara ayah, Kakek dan saudara pengantin dalam kedudukan yang lebih tinggi dalam urutan kekeluargaan).

3. Pihak pariban (dalam urutan lebih tinggi dalam urutan kekeluargaan).

Adapun mengenai ale-ale (teman sejawat) yang sering kita lihat turut memberikan ulos, sebenarnya adalah di luar tohonan Dalihan Natolu. Pemberian

ale-ale sebaiknya benda apapun itu, diberikan dalam bentuk kado (dibungkus). Dari uraian di atas jelas kelihatan bahwa yang berhak memberikan ulos adalah mereka yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi (dalam urutan kekeluargaan) dari si penerima ulos. Dalam pesta kawin misalnya tata urutan pemberian uadalah sebagai berikut:


(47)

1Mula mula yang memberikan ulos adalah orangtua pengantin perempuan. 2Baru disusul oleh pihak tulang pengantin perempuan, termasuk tulang

rorobot

3.Kemudian menyusul pihak dongan sabutuha dari orangtua pengantin perempuan yang dalam hal ini disebut paidua (pamarai).

4Kemudian disusul oleh pariban yaitu boru hula-hula (orang tua pengantin perempuan).

5Baru yang terakhir adalah tulang pengantin laki-laki, setelah kepadanya diberikan bahagian dari sinamot yang diterima parboru dari paranak, dari jumlah yang disepakati sebanyak 2/3 dari pihak parboru dan 1/3 dari

paranak.

Bagian ini disampaikan oleh orangtua pengantin perempuan kepada Tulang si anak (pengantin laki-laki) Inilah yang disebut “tintin marangkup”

Menurut tata cara Adat Batak setiap orang akan menerima minimum 3 macam ulos dari mulai lahir sampai akhir hayatnya. Ulos inilah yang disebut ulos na marsintuhu yang dapat digolongkan sebagai ulos ni tondi, menurut falsafah

Dalihan Natolu.

Ketiganya ialah:

•Yang pertama diterima sewaktu dia baru lahir. Sekarang ini dikenal dengan ulos parompa. Dahulu dikenal dengan ulos mangalo alo tondi. •Yang kedua diterima pada waktu dia memasuki ambang kehidupan baru

(perkawinan) yang diterima dalam bentuk ulos hela. Dahulu disebut ulos

marjabu bagi kedua pengantin (laki dan perempuan)


(48)

dunia yang fana (ulos saput). Kedudukan seorang yang meninggal menentukan jenis ulos yang diterimanya sebagai saput, tergantung pada saat mana dia neninggal.

Bila seorang meninggal dalam usia yang masih muda atau meninggal tanpa meninggalkan keturunan (mate hadiaranna) maka kepadanya diberikan ulos yang disebut “ulos par olang-olangan”.

Bila dia meninggal dan meninggalkan anak-anak yang masih kecil-kecil (sapsap mardum), bila laki-laki di sebut “matipul ulu”, bila perempuan disebut “marompas tataring” maka kepadanya diberi ulos saput.

Bila dia meninggal sari/saur matua maka dia mendapat “ulos panggabei” yang diterima dari semua hula-hula baik hula-hulanya sendiri, hula-hula ni anak, maupun hula-hula cucunya. Biasanya ulos panggabei ini diterima oleh seluruh turunannya. Pada saat seperti inilah berjalan ulos “JUGIA”. Sebagai catatan : maka sesuai dengan namanya “Ulos na so ra pipot” Jugia hanya dapat diberikan kepada orang tua yang turunannya belum ada yang meninggal (martilahu matua).

4.3.1 Pada Waktu Anak Lahir

Bila anak lahir, ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, apakah anak yang lahir tersebut anak sulung atau tidak. Dan yang kedua, apakah anak tersebut anak sulung dari seorang anak sulung dari satu keluarga.

Pada punt pertama, bila yang lahir tersebut adalah anak sulung dari seorang ayah yang bukan anak sulung maka yang mampe goar disamping si anak, hanyalah orang tuanya saja (mar amani…). Sedangkan bila anak tersebut adalah anak sulung dari seorang anak sulung pada satu keluarga maka yang mampe goar di


(49)

samping si anak, juga ayah dan kakeknya (mar ama ni dan Ompuni…). Pada gelar

Ompu…Bila gelar tersebut mempunyai kata sisipan si… maka gelar diperoleh itu diperoleh dari anak sulung perempuan (Ompung Bao). Sedangkan bilamana tidak mendapat kata sisipan si… maka gelar Ompu yang diterimanya berasal dari anak sulung laki-laki (Ompung suhut)

Untuk yang pertama, maka pihak hula-hula hanya menyediakan 2 buah ulos yaitu ulos parompa untuk si anak dan ulos pargomgom mampe goar untuk ayahnya. Untuk si anak sebagai parompa dapat diberikan ulos mangiring dan untuk ayahnya dapat diberikan ulos suri suri ganjang atau sito luntuho. Untuk yang kedua, hula-hula harus menyediakan ulos sebanyak 3 buah, yaitu ulos

parompa untuk anak, ulos par gomgom untuk ayah dan ulos bulang bulang untuk ompungnya.

4.3.2 Pada Waktu Perkawinan

Dalam upacara perkawinan maka pihak hula-hula harus menyediakan ulos si tot ni pansa yaitu:

1Ulos marjabu (hela dohot boru).

2Ulos pansamot/pargomgom untuk orang tua pengantin laki-laki.

3Ulos pamarai diberikan kepada Saudara yang lebih tua dari Pengantin laki-laki atau saudara kandung ayah.

4Ulos Simolohon diberikan kepada iboto pengantin laki-laki atau bila belum ada yang menikah kepada iboto ayahnya.


(50)

perkawinan tersebut dilakukan ditempat pihak keluarga perempuan (dialap jual). Bila perkawinan tersebut dilakukan ditempat keluarga laki-laki (ditaruhon jual) ulos tutup ni ampang tidak diberikan.

Sering kita lihat banyak ulos yang diberikan kepada pengantin oleh keluarga keluarga dekat. Dahulu ulos inilah yang disebut ragi ragi ni sinamot.

Biasanya yang mendapat ragi ni sinamot (menerima sebagian dari sinamot) memberi ulos sebagai imbalannya. Dalam umpama Batak disebut

“malo manapol - ingkon mananggal”

Umpasa ini mengandung pengertian orang Batak itu tidak mati terutang Adat. Tetapi dengan adanya istilah rambu pinudun yang dimaksudkan semula untuk mempersingkat waktu, berakibat kaburnya siapa penerima goli-goli dari

ragi- ragi ni sinamot. Ini berakibat timbulnya kedudukan yang tidak sepatutnya (mar goli-goli) sehingga yang pantas dapat digantikan oleh undangan umum (ale-ale). Dengan dalih istilah ulos holong memberikan pula ulos kepada Pengantin. Padahal istilah ulos holong adalah di luar versi Dalihan Natolu

“Binanga ni Sihombing ma, binongkak di Tarabunga, Tu sanggar ma amporik, tu lubang ma satua, sai sinur ma na pinahan, gabe na ni u1a.”

Setelah diulosi kemudian dijemput sedikit beras (boras si pir ni tondi) ditaburkan baik kepada umum dengan mengucapkan “HORAS” tiga ka1i.

Kemudian menyusul pemberian ulos kepada orang tua pengantin laki-laki (wakilnya). Umpasa berikut sering disampaikan seiring dengan pemberian ulos : “Jongjong do hami dison lae, ito, pasahathon sada u1os na margoar ulos pansamot tu hamu siala naung hujalo hami sinamotmu, marbonsir diulaonta sada rion. Jala laos on ma ito, lae ulos pargomgom asa mu1ai sadarion, gomgomonmu ma


(51)

anakmu dohot parumaen mu”.

Songon nidok ni umpasa ma :

“manginsir ma sidohar, di uma ni Palipi, tu deak nama hamu marpinompar, jala bagasmu sitorop pangisi. Andor hudumpang ma togu togu ni lombu, sai saur matua ma hamu, Lae-ito, huhut mangiring iring pahompu.

Songon panutup ito :

“Sahat sahat ni solu ma sahat tu bontean, nunga saut maksud dohot tahinta, sai sahat ma tu parhorasan, sahat panggabean”.

Sesudah itu berjalanlah pemberian ulos (si tot ni pansa) kepada pamarai

dan simolohon. pemberian ulos ini biasanya diwakilkan kepada suhut paidua.

Setelah ulos-ulos lainnya berjalan maka sebagai penutup adalah pemberian ulos dari tulang laki-laki disebut ulos panggabei. Ini dilaksanakan setelah acara pemberian “tintin marangkup”.

4.3.3 Pada Upacara Kematian

Ulos yang ketiga dan yang terakhir yang diberikan pada seseorang ialah ulos yang diterimanya pada waktu dia meninggal dunia. Tingkat kematian seseorang menentukan jenis ulos yang dapat diterimanya. Jika seorang mati muda (mate hadiaranna) maka ulos yang diterimanya, ialah ulos yang disebut ulos “parolang olangan” dan biasanya dari jenis “parompa”. Bila seorang meninggal sesudah berkeluarga (matipul ulu, marompas tataring) maka kepadanya diberikan


(52)

mati sari/saur matua maka kepadanya diberikan ulos “panggabei”.

Khusus tentang ulos Saput dan tujung perlu ditegaskan tentang pemberiannya. Menurut para orang tua, yang memberikan saput ialah pihak

Tulang sebagai bukti bahwa tulang masih tetap ada hubungannya dengan berenya.

Sedang ulos tujung diberikan oleh pihak Hula-hula. Ini penting untuk jangan lagi terulang pemberian yang salah. Tata Cara Pemberiannya :

Bila yang meninggal seorang anak (belum berkeluarga), maka tidak ada acara pemberian saput. Bila yang meninggal adalah orang yang sudah berkeluarga maka setelah hula-hula mendapat/mendengar kabar tentang ini, maka di-sediakanlah sebuah ulos untuk tujung dan pihak Tulang menyediakan ulos saput.

Pada waktu pemberian saput dari Tulang:

“Dison bere hupasahat hami dope sada ulos tu songon saput ni dagingmu, ulos parpudi laho mnopot sambulom. Songon tanda do on na dohot hami mar habot ni roha di halalaom. Pabulus roham, topot ma ingananmu rap dohot Tuhanta patulus pardalanmu”.

Kemudian pihak Hula-hula memberikan tujung:

“Sadarion (ito, hela) pasahaton nami do tuho ulos tujung. Beha bahenon (ito, hela), nunga songoni huroha bagianmu, marbahir siubeonmu, sambor nipim mabalu ho. Alani i unduk ma panailim marnida halak, patoru ma dirim marningot Tuhan. Songon nidok ni umpasama dohonon nami” :

Hotang binebe bebe, hotang pinulos-pulos, Unang iba mandele, ai godang do tudos-tudos.


(53)

tujung yang dilakukan oleh pihak Hula-hula. Mengenai waktunya tergantung kesepakatan kedua belah pihak.

Hula-hula menyediakan beras dipiring, air bersih mencuci muka dari air putih satu gelas. Acara dibuat pada waktu pagi (parnangkok ni mata ni ari). Kata-kata ini mengiringi acara tersebut :

“Sadarion ungkapon nami ma tujung on sian simanjujungmu. Asa ungkap na ari matiur, ungkap silas ni roha tu hamu di joloanon, Husuapi ma (dainang/helangku) asa bolong sude ilu ilum, na mambahen golap panailim”.

“Sai bagot na ma dungdung ma tu pilo-pilo na marajar, sai mago ma na lungun tu joloanon, ro ma na jagar”.

“Dison muse nek sitio-tio inum (dainang, laengku) ma on, sai tio ma panggabean, tio parhorasan di hamu tu joloan on. Huhut dison boras si pir ni tondi, sai pir ma nang tondim”.

Martantan ma baringin, marurat jabi jabi, horas ma tondi madingin, tumpakon ni Mulajadi.

Beras kemudian dijemput lalu ditaburkan di atas kepala sebanyak tiga kali. Biasanya seluruh anak yang ditinggal si mati dicuci mukanya dan ditaburkan beras di atas kepalanya.

Dahulu kepada si pemberi ulos biasanya diberikan piso piso sebagai panggarar


(54)

4.3.4 Pada waktu Memberi Ulos Panggabei

Bila seorang orang tua yang sari/saur matua meninggal dunia, maka seluruh hula-hula akan memberi ulos yang disebut ulos panggabei. Dan biasanya ulos ini tidak lagi diberikan kepada yang meninggal akan tetapi kepada seluruh turunannya (anak, pahompu dan cicit)

Kata kata berikut mengiringi pemberian ulos tersebut :

“Di hamu pomparan ni Lae nami (Amang boru) on. Di son hupasahat hami tu hamu, sada ulos panggabei. Ulos on ulos panggabei, Sai mangulosi panggabean ma on, mangulosi parhorason, mangulosi daging do hot tondimu hamu sude pomparan ni Lae (amang boru) on. Horas ma dihita sude …”

Biasanya ulos ini jumlahnya sesuai dengan urutan hula hula mulai dari hula-hula, bona tulang, bona niari dan seluruh hula-hula anaknya maupun hula-hula

cucunya.

Acara kematian untuk orang tua seperti ini memakan waktu yang sangat lama dan biaya yang cukup besar


(55)

BAB V PENUTUP

Setelah memaparkan isi dalam karya ilmiah ini, maka untuk selanjutnya sebagai pemutup perlu penulis sampaikan beberapa kesimpulan dari apa yang telah diuraikan pada bagian-bagian terdahulu. Kesimpulan ini kan penulis uraikan secara per poin saja, sehingga memudahkan bagi pembaca untuk mengetahui isi dari karya Ilmiah ini sebenarnya.

Untuk lebih jelas demikian penulis simpulkan beberapa poin dari karya ilmiah ini, yaitu antara lain:

1. Pariwisata adalah perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu, yang diselenggarakan dari suatu tempat ketempat lain, dengan maksud bukan untuk bisnis dirempat yang dikunjungi, tetapi hanya utuk menikmati perjalan.

2. Objek dan daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang menjadi sasaran wisata.

3. Atraksi wisata adalah segala sesuatu yang terdapat di suatu dareah tujuan wisata yang merupakan daya tarik agar orang-orang semakin memiliki minat yang lebih besar untuk berkunjung ke suatu DTW.

4. Suku Batak terdiri dari beberapa sub suku, yaitu: Batak Karo, Batak Toba, Batak Simalungun, Batak Pakpak, Angkola dan Mandailing.

5. Ornamen merupakan salah satu unsur dari cabang seni rupa yang tidak kalah pentingnya dalam memenuhi tuntunan jiwani.


(56)

6. Ulos adalah kain tenun khas Batak berbentuk selendang. Benda sakral ini merupakan simbol restu, kasih sayang dan persatuan, sesuai dengan pepatah Batak yang berbunyi: “Ijuk pangihot ni hodong, Ulos pangihot ni holong", yang artinya kira-kira "Jika ijuk adalah pengikat pelepah pada batangnya, maka ulos adalah pengikat kasih sayang antara sesama.". 7. Makna dan cara pemberian ulos dalam upacara adat Batak

Setelah penulis membuat suatu kesimpulan, maka berikut ini ada baiknya penulis juga ingin memyampaikan beberapa saran demi kelestarian Ulos Batak ini.

Saran yang ingin penulis sampaikan antara lain:

1. Ulos Tidak dapat dilepas dalam kebudayaan batak Toba tetapi sekarang ini hampir banyak masyarakat yang menyalah gunakan makna dari ulos tersebut.

2. Kelestarian Ulos ini perlu dijaga karena hampir Banyak masyarakat menyalah gunakanya.

3. Rasa banga debgan budaya batak, adat istiadat yang sudah diatur oleh nenek moyang.

4. Kiranya generasi penerus masyarakat batak Toba lebih mengetahui lagi makna dan pada saat bagaimana ulos itu digunakan.

Demikian kesimpulan dan saran yang dapat penulis sampaikan dalam karya ilmiah ini, semoga apa yang telah penulis lakukan dapat menjadi masukan bagi kita semua.


(57)

DAFTAR PUSTAKA

Spillane,S.J, James. 1994. Pariwisata Indonesia Siasat Ekonomi Dan Rekayasa Kebudayaan.Yogjakarta: Kanisius

Tampubolon ,C.B.1986. Ulos Batak Hakekat dan Makna Dan Penggunaanya Dalam Upacara Adat.Jakarta

Yoeti Oka.A, 1983. Pengantar Ilmu Kepariwisataan, Bandung: CV .Angkasa ariesaksono.wordpress.com/.../sapta-pesona-pariwisata-indonesia/


(1)

mati sari/saur matua maka kepadanya diberikan ulos “panggabei”.

Khusus tentang ulos Saput dan tujung perlu ditegaskan tentang pemberiannya. Menurut para orang tua, yang memberikan saput ialah pihak Tulang sebagai bukti bahwa tulang masih tetap ada hubungannya dengan berenya. Sedang ulos tujung diberikan oleh pihak Hula-hula. Ini penting untuk jangan lagi terulang pemberian yang salah. Tata Cara Pemberiannya :

Bila yang meninggal seorang anak (belum berkeluarga), maka tidak ada acara pemberian saput. Bila yang meninggal adalah orang yang sudah berkeluarga maka setelah hula-hula mendapat/mendengar kabar tentang ini, maka di-sediakanlah sebuah ulos untuk tujung dan pihak Tulang menyediakan ulos saput.

Pada waktu pemberian saput dari Tulang:

“Dison bere hupasahat hami dope sada ulos tu songon saput ni dagingmu, ulos parpudi laho mnopot sambulom. Songon tanda do on na dohot hami mar habot ni roha di halalaom. Pabulus roham, topot ma ingananmu rap dohot Tuhanta patulus pardalanmu”.

Kemudian pihak Hula-hula memberikan tujung:

“Sadarion (ito, hela) pasahaton nami do tuho ulos tujung. Beha bahenon (ito, hela), nunga songoni huroha bagianmu, marbahir siubeonmu, sambor nipim mabalu ho. Alani i unduk ma panailim marnida halak, patoru ma dirim marningot Tuhan. Songon nidok ni umpasama dohonon nami” :

Hotang binebe bebe, hotang pinulos-pulos, Unang iba mandele, ai godang do tudos-tudos.


(2)

tujung yang dilakukan oleh pihak Hula-hula. Mengenai waktunya tergantung kesepakatan kedua belah pihak.

Hula-hula menyediakan beras dipiring, air bersih mencuci muka dari air putih satu gelas. Acara dibuat pada waktu pagi (parnangkok ni mata ni ari). Kata-kata ini mengiringi acara tersebut :

“Sadarion ungkapon nami ma tujung on sian simanjujungmu. Asa ungkap na ari matiur, ungkap silas ni roha tu hamu di joloanon, Husuapi ma (dainang/helangku) asa bolong sude ilu ilum, na mambahen golap panailim”.

“Sai bagot na ma dungdung ma tu pilo-pilo na marajar, sai mago ma na lungun tu joloanon, ro ma na jagar”.

“Dison muse nek sitio-tio inum (dainang, laengku) ma on, sai tio ma panggabean, tio parhorasan di hamu tu joloan on. Huhut dison boras si pir ni tondi, sai pir ma nang tondim”.

Martantan ma baringin, marurat jabi jabi, horas ma tondi madingin, tumpakon ni Mulajadi.

Beras kemudian dijemput lalu ditaburkan di atas kepala sebanyak tiga kali. Biasanya seluruh anak yang ditinggal si mati dicuci mukanya dan ditaburkan beras di atas kepalanya.

Dahulu kepada si pemberi ulos biasanya diberikan piso piso sebagai panggarar adat. Sekarang ini seringdiganti dengan uang.


(3)

4.3.4 Pada waktu Memberi Ulos Panggabei

Bila seorang orang tua yang sari/saur matua meninggal dunia, maka seluruh hula-hula akan memberi ulos yang disebut ulos panggabei. Dan biasanya ulos ini tidak lagi diberikan kepada yang meninggal akan tetapi kepada seluruh turunannya (anak, pahompu dan cicit)

Kata kata berikut mengiringi pemberian ulos tersebut :

“Di hamu pomparan ni Lae nami (Amang boru) on. Di son hupasahat hami tu hamu, sada ulos panggabei. Ulos on ulos panggabei, Sai mangulosi panggabean ma on, mangulosi parhorason, mangulosi daging do hot tondimu hamu sude pomparan ni Lae (amang boru) on. Horas ma dihita sude …”

Biasanya ulos ini jumlahnya sesuai dengan urutan hula hula mulai dari hula-hula, bona tulang, bona niari dan seluruh hula-hula anaknya maupun hula-hula cucunya.

Acara kematian untuk orang tua seperti ini memakan waktu yang sangat lama dan biaya yang cukup besar


(4)

BAB V PENUTUP

Setelah memaparkan isi dalam karya ilmiah ini, maka untuk selanjutnya sebagai pemutup perlu penulis sampaikan beberapa kesimpulan dari apa yang telah diuraikan pada bagian-bagian terdahulu. Kesimpulan ini kan penulis uraikan secara per poin saja, sehingga memudahkan bagi pembaca untuk mengetahui isi dari karya Ilmiah ini sebenarnya.

Untuk lebih jelas demikian penulis simpulkan beberapa poin dari karya ilmiah ini, yaitu antara lain:

1. Pariwisata adalah perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu, yang diselenggarakan dari suatu tempat ketempat lain, dengan maksud bukan untuk bisnis dirempat yang dikunjungi, tetapi hanya utuk menikmati perjalan.

2. Objek dan daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang menjadi sasaran wisata.

3. Atraksi wisata adalah segala sesuatu yang terdapat di suatu dareah tujuan wisata yang merupakan daya tarik agar orang-orang semakin memiliki minat yang lebih besar untuk berkunjung ke suatu DTW.

4. Suku Batak terdiri dari beberapa sub suku, yaitu: Batak Karo, Batak Toba, Batak Simalungun, Batak Pakpak, Angkola dan Mandailing.

5. Ornamen merupakan salah satu unsur dari cabang seni rupa yang tidak kalah pentingnya dalam memenuhi tuntunan jiwani.


(5)

6. Ulos adalah kain tenun khas Batak berbentuk selendang. Benda sakral ini merupakan simbol restu, kasih sayang dan persatuan, sesuai dengan pepatah Batak yang berbunyi: “Ijuk pangihot ni hodong, Ulos pangihot ni holong", yang artinya kira-kira "Jika ijuk adalah pengikat pelepah pada batangnya, maka ulos adalah pengikat kasih sayang antara sesama.". 7. Makna dan cara pemberian ulos dalam upacara adat Batak

Setelah penulis membuat suatu kesimpulan, maka berikut ini ada baiknya penulis juga ingin memyampaikan beberapa saran demi kelestarian Ulos Batak ini.

Saran yang ingin penulis sampaikan antara lain:

1. Ulos Tidak dapat dilepas dalam kebudayaan batak Toba tetapi sekarang ini hampir banyak masyarakat yang menyalah gunakan makna dari ulos tersebut.

2. Kelestarian Ulos ini perlu dijaga karena hampir Banyak masyarakat menyalah gunakanya.

3. Rasa banga debgan budaya batak, adat istiadat yang sudah diatur oleh nenek moyang.

4. Kiranya generasi penerus masyarakat batak Toba lebih mengetahui lagi makna dan pada saat bagaimana ulos itu digunakan.

Demikian kesimpulan dan saran yang dapat penulis sampaikan dalam karya ilmiah ini, semoga apa yang telah penulis lakukan dapat menjadi masukan bagi kita semua.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Spillane,S.J, James. 1994. Pariwisata Indonesia Siasat Ekonomi Dan Rekayasa Kebudayaan.Yogjakarta: Kanisius

Tampubolon ,C.B.1986. Ulos Batak Hakekat dan Makna Dan Penggunaanya Dalam Upacara Adat.Jakarta

Yoeti Oka.A, 1983. Pengantar Ilmu Kepariwisataan, Bandung: CV .Angkasa ariesaksono.wordpress.com/.../sapta-pesona-pariwisata-indonesia/