5 Miller dan Connell 1995 mengatakan bahwa ekosistem alamiah yang
rumit pada makhluk hidup merupakan suatu bagian integral dapat bereaksi dalam berbagai cara untuk mempengaruhi komponen makhluk hidup mulai dari sumber
pencemar sampai dengan tanggapan dari populasi, komunitas dan ekosistem Kegiatan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air sungai adalah
untuk menjamin kualitas air yang diinginkan sesuai peruntukkannya agar tetap dalam kondisi alamiahnya serta menjamin kualitas air agar sesuai dengan baku
mutu air melalui upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran air serta pemulihan kualitas air. Radojevic dan Bashkin 2007 mengatakan bahwa
pencemar dapat berasal dari daerah khusus point souirce dan terdistribusi non- point source. Sumber pencemar point source, misalnya: saluran buangan pabrik,
dan sumur pengeboran minyak. Sumber pencemar non-point source, misalnya: limpasan pestisida yang berasal dari sawah dan domestik.
Limbah organik dengan kadar yang tinggi akan menyebabkan penurunan kadar oksigen terlarut karena dalam perombakan limbah organik membutuhkan
oksigen terlarut untuk proses perombakan dekomposisi. Sumber limbah organik adalah limbah rumah tangga, food processing, perkotaan, lumpur sisa produksi
industri Radojevic dan Bashkin, 2007. Parameter yang umumnya digunakan untuk mengetahui tingkat pencemaran limbah organik yaitu padatan total, BOD,
COD, nitrogen total, amonia-nitrogen, klorida, alkalinitas dan minyak dan lemak Rump dan Krist, 1992 in Effendi, 2003. Pencemaran diperairan dapat
menyebabkan penurunan oksigen terlarut secara tajam sehingga mengancam kehidupan biota perairan Davis dan Masten, 2004; Radojevic dan Bashkin,
2007.
2.3 Beberapa Karakteristik Kualitas Air
2.3.1 DO Dissolved Oxygen, BOD
3
Biochemical Oxygen Demand dan COD Chemical Oxygen Demand
DO Dissolved Oxygen merupakan oksigen yang terlarut di perairan dipengaruhi oleh pergerakan massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi dan limbah
yang masuk ke badan air Boyd, 1990 ; Nemerow, 1991; Effendi, 2003. Nemerow 1974 dan 1991 mengatakan bahwa kadar oksigen terlarut dalam
6 perairan yang mencapai 0.5 mgl termasuk perairan yang tercemar. Adanya
dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan anorganik di suatu perairan dapat mengurangi kadar oksigen terlarut sehingga dapat mengganggu metabolisme
organisme sungai. Populasi organisme di sungai yang meningkat berdampak pada peningkatan penggunaan oksigen terlarut sehingga mengurangi kadar oksigen
terlarut di perairan Williams, 1979. Kadar oksigen terlarut di perairan yang baik untuk kelangsungan hidup biota biasanya lebih dari 5 mgl Nemerow, 1974;
Nybakken, 1992; Effendi, 2003; Radojevic dan Bashkin, 2007. Kadar oksigen yang rendah pada perairan akan membahayakan organisme akuatik karena akan
meningkatkan toksisitas zinc, copper, lead, sianida, hydrogen sulfide, dan ammonia. Masuknya air tawar dan air laut secara teratur ke dalam estuari yang
dangkal mendukung terpenuhinya kadar oksigen di kolom perairan. Kelarutan oksigen dalam air berkurang dengan naiknya suhu dan salinitas, jumlah oksigen
dalam air Nybakken, 1992. Pentingnya pengukuran oksigen terlarut di perairan adalah untuk
mengetahui laju oksigen yang digunakan oleh organisme. Adanya laju yang sangat rendah akan mengindikasikan perairan yang bersih atau kemungkinan
minimnya mikroorganisme untuk mengkonsumsi bahan organik yang tersedia di perairandan kemungkinan lainnya adalah mikroorganisme mati. Laju penggunaan
oksigen umumnya disebut Biochemical Oxygen Demand BOD. Nilai BOD di sungai dapat dipengaruhi oleh tiga variabel penting yang tidak konstan, yaitu :
suhu, waktu, dan cahaya Vesilind et al., 1993. BOD merupakan metode untuk mengetahui
banyaknya kebutuhan
oksigen yang
diperlukan untuk
mendekomposisi bahan organik secara biologi Biodegradable di perairan dalam sebuah unit volume air dengan memanfaatkan mikroorganisme Reid, 1961;
Boyd, 1982; Davis dan Masten, 2004; Manahan, 2005; Radojevic dan Bashkin, 2007. Dekomposisi bahan organik dimulai saat limbah masuk ke sunga. BOD
5
menunjukkan jumlah oksigen yang dikonsumsi mikroba dalam proses respirasi aerob yang terdapat dalam botol BOD yang diinkubasi sekitar 20
C, pada umumnya selama 5 hari dalam keadaan tanpa cahaya Boyd, 1982. Bahan
organik ini, yaitu : lemak, protein, kanji, glukosa, aldehida, dan ester Effendi, 2003. Dekomposisi selulosa secara biologis berlangsung relatif lambat. Bahan
7 organik merupakan hasil pembusukan tumbuhan dan hewan yang telah mati atau
hasil buangan dari limbah domestik dan industri. Polii 1994 dan Ginting 2007 menyatakan bahwa pengukuran nilai BOD suatu perairan di daerah tropis dapat
dilakukan pada suhu 30 C selama 3 hari inkubasi setara dengan suhu 20
C selama 5 hari BOD
5
. Wilson dan Halcrow 1985 mengatakan bahwa BOD di perairan estuari dapat mencapai 1.5 mgl.
Pengukuran bahan organik yang dilakukan dengan cara oksidasi secara kimia dapat menjadi lebih singkat. Oksidasi ini sering disebut dengan uji
Chemical Oxygen Demand COD. Pengukuran COD pada suatu perairan menggambarkan seberapa besar jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk
mengoksidasi secara kimiawi bahan organik yang biodegradable terdegradasi secara biologi maupun yang non-biodegradable tidak terdegradasi secara
biologi menjadi CO
2
dan H
2
O Boyd, 1990; Boyd dan Tucker, 1992; Nemerow, 1991. Pada perairan yang tercemar biasanya memiliki nilai lebih dari 200 mgl
dan pada limbah industri mencapai 60000 mgl UNESCO WHO UNEP, 1992 in Effendi, 2003. Pengukuran COD didasarkan pada prinsip bahwa hampir semua
bahan organik dapat dioksidasi menjadi karbondioksida dan air dengan bantuan oksidator kuat K
2
Cr
2
O
7
kalium dikromat dalam suasana asam. Oksidator ini diperkirakan dapat mengoksidasi bahan organik sekitar 95-100 Effendi, 2003;
Ginting, 2007.
2.3.2 Amonia N-NH
3
, Nitrit N-NO
2
, dan Nitrat N-NO
3
Nitrogen di suatu perairan dapat berasal dari nitrogen dalam bentuk gas N
2
dan sebagian besar telah diubah oleh mikroorganisme melalui proses fiksasi biologi. Bentuk nitrogen di perairan antara lain amonia NH
3
, nitrit NO
2
, nitrat NO
3
, amonium NH
4 +
serta sebagian besar N yang berkaitan dalam organik komplek Alaerts dan Santika, 1987. Senyawa nitrogen dalam perairan berasal
dari luar allochthonous yaitu presipitasi tanah yang mengandung senyawa dan amonia, limpasan permukaan, limbah industri, rumah tangga dan pertanian.
Senyawa nitrogen yang berasal dari dalam air autochthonous berawal dari proses perombakan yang dilakukan oleh bakteri Pescod, 1973; Knox dan
Miyabara, 1984. Pada dasar perairan kemungkinan terdapat amonia dalam jumlah
8 yang lebih banyak dibandingkan perairan di bagian atasnya karena oksigen
terlarut pada bagian dasar relatif lebih kecil Welch, 1952. Amonia merupakan salah satu bentuk nitrogen di alam yang dapat menyebabkan kematian ikan pada
kisaran 0.4 mgl-3.1 mgl Tchobanoglous, 1976 in Boyd, 1982. Semakin meningkat salinitas di perairan maka semakin meningkat prosentase amonia bebas
di perairan. Toksisitas amonia terhadap organisme akuatik meningkat dengan penurunan kadar oksigen terlarut, penigkatan pH, dan suhu. Kadar amonia yang
tinggi merupakan indikasi adanya pencemaran bahan organik yang berasal dari limbah domestik, industri, dan limpasan run-off pupuk pertanian, hasil
pemecahan nitrogen organik protein dan urea dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan air, dekomposisi bahan organik biota akuatik yang
mati yang dilakukan oleh mikroba dan jamur dikenal dengan istilah amonifikasi, hasil ekskresi dari biota akuatik, dan reduksi gas N
2
yang berasal dari proses difusi udara atmosfir Pescod, 1973. Daya racun amonia ini
meningkat dengan konsentrasi CO
2
yang rendah di perairan Boyd, 1982. Nitrit merupakan bentuk peralihan antara amonia dan nitrat nitrifikasi
serta antara nitrat dan gas nitrogen denitrifikasi. Nitrit biasanya ditemukan dalam jumlah sedikit di perairan dan bersifat tidak stabil jika terdapat oksigen.
Pada kondisi oksigen yang cukup oksik nitrit akan berubah menjadi nitrat, sedangkan pada kondisi kekurangan oksigen anoksik nitrit akan berubah menjadi
amonia. Perubahan ini karena nitrit merupakan nitrogen yang tidak stabil Novotny dan Olem, 1994. Nitrit akan cepat berubah menjadi nitrat melalui
oksidasi. Nitrit merupakan gas beracun di perairan sehingga dapat membahayakan kehidupan ikan Darmono, 2001. Kandungan nitrit dapat dikurangi ataupun
dihilangkan dengan cara penggantian air, pemberian aerasi, penguapan, maupun reaksi kimia dengan oksigen. Nitrit merupakan senyawa tak stabil yang
merupakan bentuk peralihan antara amonia dengan nitrat dengan bantuan bakteri Basmi, 1994. Nitrit tidak diserap fitoplankton karena bersifat racun Welch,
1952. Ion nitrat NO
3 -
merupakan bentuk senyawa nitrogen yang dominan. Konsentrasi nitrat di suatu perairan diatur dalam proses nitrifikasi sedangkan
nitrifikasi merupakan proses oksidasi amonia yang berlangsung dalam kondisi
9 aerob. Oksidasi nitrit menjadi nitrat dilakukan oleh bakteri Nitrobacter sp. Proses
nitrifikasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu keberadaan senyawa beracun dalam air, suhu, derajat keasaman pH, kandungan oksigen terlarut dan salinitas.
Kadar nitrat di perairan yang tidak tercemar biasanya lebih tinggi dari amonium Novotny dan Olem, 1994. Kadar nitrat yang melebihi 0,5 mgl menggambarkan
terjadinya pencemaran yang berasal aktivitas manusia dan tinja hewan. Nitrat merupakan produk akhir dari proses oksidasi biokimia amonia. Konsentrasi nitrat
di perairan dikontrol dalam proses nitrifikasi yang merupakan proses oksidasi senyawa amonia dalam kondisi aerob oleh bakteri autotrof. Pada perairan yang
mengalami banjir kandungan nitratnya akan meningkat secara nyata Hasan, 1993.
2.3.3 pH Nilai pH menggambarkan keadaan ion hidrogen di suatu perairan
Boyd,1982. Nilai pH dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain aktivitas biologis fotosintesis dan respirasi organisme, suhu, dan keberadaan ion-ion
dalam perairan Pescod, 1973. Perubahan asam atau basa di perairan laut dapat mengganggu sistem keseimbangan ekologi. Sebagian material yang bersifat racun
akan meningkat toksisitasnya pada kondisi pH rendah Williams, 1979. Vesilind et al., 1993 mengatakan bahwa pH merupakan sebuah cara untuk mengukur
konsentrasi ion hidrogen pada suatu perairan. Fardiaz 1992 mengatakan bahwa nilai pH air yang terpolusi, misalnya air buangan berbeda-beda bergantung dari
jenis buangannya. Sebagai contoh air buangan pabrik pengalengan mempunyai pH 6.2
– 7.6 , air buangan pabrik susu dan produk-produk susu biasanya mempunyai pH 5.3
– 7.8 , air buangan pabrik bir mempunyai pH 5.3 – 7.8 sedangkan air buangan pabrik pulp dan kertas biasanya mempunyai pH 7.6
– 9.5 . Pada industri makanan, peningkatan keasaman air buangan produksi umumnya
disebabkan oleh kandungan asam-asam organik. Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH
rendah. Nilai pH yang kurang dari 4 dan lebih dari 11 akan menyebabkan kematian ikan Boyd, 1982. Pada perairan yang mendapatkan pengaruh dari laut
estuari, pH normal sekitar 8.0 .
10 2.3.4 TSS Total Suspended Solid
Residu di perairan dapat dianggap sebagai kandungan total bahan terlarut dan tersuspensi dalam air. Selama penentuan residu ini sebagian besar bikarbonat
yang merupakan anion utama di perairan telah mengalami transformasi menjadi karbondioksida, sehingga karbondioksida dan gas-gas lain menghilang pada saat
pemanasan tidak tercakup dalam nilai padatan total Boyd, 1990; Effendi, 2003. Padatan Tersuspensi Total TSS dapat meningkatkan nilai kekeruhan sehingga
akan mempengaruhi penetrasi cahaya matahari ke kolom air dan akhirnya berpengaruh terhadap proses fotosintesis oleh fitoplankton dan tumbuhan air dan
selanjutnya akan mengurangi pasokan oksigen terlarut dan meningkatkan pasokan karbondioksida di perairan. Padatan tersuspensi merupakan bahan-bahan
tersuspensi dan tidak larut dalam air serta tersaring pada kertas saring miliopore dengan ukuran pori-pori sebesar 0.45 µm APHA; 1998. Einstein 1971 in
Taufik 2003 berpendapat bahwa padatan tersuspensi yang hanyut di sungai memiliki banyak variasi ukuran, bentuk, kerapatan dan ketahanan terhadap
perubahan kondisi sungai secara fisika dan kimia. Ia juga berpendapat bahwa ukuran partikel dapat berpengaruh terhadap pergerakannya di dalam aliran sungai,
misalnya: jumlah dan ukuran partikel besar dapat mengendap lebih cepat di dalam sungai. Nybakken 1992 mengatakan bahwa besarnya jumlah partikel tersuspensi
yang terdapat di perairan estuari menyebabkan air sangat keruh pada waktu tertentu dalam setahun. Jumlah partikel tersuspensi minimum biasanya terdapat di
dekat mulut sungai karena penuhnya air laut dan jumlah partikel tersuspensi maksimum biasanya terdapat di daerah pedalaman estuari. Air tawar, sungai, dan
kali mengangkut partikel lumpur dalam bentuk suspensi sedangkan partikel di estuari pada umumnya dimanfaatkan oleh makhluk hidup khususnya partikel
organik Knox dan Miyabara, 1984.
2.3.5 Suhu Suhu perairan mempunyai kaitan yang cukup erat dengan besarnya
intensitas cahaya yang masuk ke dalam suatu perairan. Semakin besar intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam suatu perairan, maka semakin tinggi pula
suhu air Fardiaz, 1992. Semakin bertambahnya kedalaman akan menurunkan
11 suhu perairan. Terjadinya kenaikan suhu juga sangat berpengaruh terhadap
komposisi nitrogen yang ada dalam suatu perairan. Semakin tinggi suhu maka semakin tinggi pula kandungan amonia karena tingginya suhu suatu perairan
dapat menyebabkan menurunnya kandungan oksigen terlarut sehingga proses amonifikasi yang terjadi adalah pada kondisi kurang oksigen dan dengan kondisi
kurang oksigen tersebut maka kandungan nitrat mengalami penurunan konsentrasi Welch, 1952. Air sering digunakan sebagai medium pendingin dalam berbagai
proses industri. Air pendingin setelah digunakan akan mendapatkan panas dari bahan yang didinginkan, kemudian dikembalikan ke tempat asalnya yaitu sungai
atau sumber air lainnya. Peningkatan suhu diikuti dengan menurunnya kadar oksigen terlarut dalam perairan Fardiaz, 1992.
Suhu air di estuari lebih bervariasi daripada di perairan pantai di dekatnya. Hal ini sebagian karena biasanya di estuari volume air lebih kecil sedangkan luas
permukaan lebih besar, dengan demikian pada kondisi atmosfer yang ada air di estuari lebih cepat panas dan lebih cepat dingin. Air tawar di sungai lebih
dipengaruhi oleh perubahan suhu musiman daripada air laut sehingga titik tertentu di estuari akan memperlihatkan variasi suhu yang besar sebagai fungsi dari
perbedaan antara suhu air laut dan air sungai. Pada perairan estuari suhu perairannya dapat mencapai kisaran antara 24
C - 34 C Eyre, 1993. Suhu air
estuari yang bervariasi disebabkan juga karena adanya masukan air tawar. Kisaran suhu terbesar terdapat di daerah hulu estuari dan kisaran suhu terkecil terdapat di
daerah hilir estuari. Suhu bervariasi secara vertikal. Perairan permukaan mempunyai kisaran yang terbesar, dan perairan yang lebih dalam kisaran suhunya
lebih kecil Nybakken, 1992. Hugh 1964 menyatakan bahwa di estuari dapat terjadi variasi relatif suhu yang luas dan terjadi dalam waktu yang singkat dengan
interval waktu yang pendek.
2.3.6 Salinitas Salinitas adalah kadar seluruh ion-ion yang terlarut dalam air. Salinitas
menunjukkan jumlah garam yang terlarut dalam 1 kilogram air laut. Salinitas di estuari berfluktuatif, pola gradien akan tampak pada suatu saat tertentu tetapi pola
gradiennya bervariasi bergantung dengan musim, topografi estuari, pasang surut,
12 dan jumlah air tawar Nybakken, 1992. Salinitas di perairan estuari dapat
menyebabkan penurunan konsentrasi oksigen termasuk yang terdapat pada badan sungai yang mendapat pengaruh dari perairan estuari. Seluruh organisme memiliki
beberapa kisaran salinitas dan apabila kisaran tersebut terlampaui maka organisme tersebut akan mati atau pindah ke tempat lain Williams, 1979. Secara definitif,
suatu gradien salinitas pada perairan estuari akan tampak pada suatu saat tertentu, tetapi pola gradien bervariasi bergantung pada musim, topografi estuari, pasang
surut, dan jumlah air tawar. Faktor yang paling mempengaruhi perubahan pola salinitas adalah pasang surut air laut. Tempat yang memiliki perbedaan pasang
surut yang cukup besar, pasang naik mendorong air laut lebih jauh ke hulu estuari, menggeser isohalin ke hulu sehingga air bersalinitas maksimum Dahuri, 2003.
Hugh 1964 menyatakan bahwa di estuari dapat terjadi variasi relatif salinitas yang luas dan terjadi dalam waktu yang cepat dengan interval waktu yang pendek.
Pada saat pasang turun, menggeser isohalin ke hilir sehingga air bersalinitas
minimum. Akibatnya ada daerah di estuari yang salinitasnya berubah sesuai
dengan keadaan pasang surut Nybakken, 1992. Salinitas perairan tawar berkisar 0 PSU
– 0.4 PSU dan salinitas estuari di Asia Tenggara berkisar antara 0.5 PSU sampai dengan 30 PSU Boyd, 1990
13
III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian