Pemberian Perlakuan Pemberian Medan Listrik Analisis Data

interface komputer yang menggunakan software Datas tudio and Scienceworkshop, PASCO CI-7500 Scienceworkshop 750 Interface sebagai alat pembaca kuat medan magnet Lampiran 6 . Metode Penelitian a. Isolasi Organ Kelinci dipotong dan dibuka abdomennya dengan menggunakan gunting. Kemudian, usus kelinci tersebut dikeluarkan dan dimasukkan ke dalam cawan petri besar yang berisi larutan tyrode bersuhu 37 o C. Isi usus perlahan-lahan disemprot keluar dengan syringe 20 cc yang berisi larutan tyrode 37 o C, sampai bersih. Kemudian duodenum, jejenum, dan ileum diisolasi dan masing-masing dipotong sepanjang 2 cm sebanyak 3 potongan untuk tiap bagian usus halus. Masing-masing potongan usus tersebut diikat dengan benang dilakukan dalam gelas beker yang lebih kecil yang berisi larutan tyrode 37 o C, salah satu ujung potongan usus diikatkan pada ujung tabung aerator , sedangkan ujung lainnya dikaitkan ke bagian kymograf yang berada di atasnya sehingga potongan usus d alam keadaan diregang.

b. Pemberian Perlakuan Pemberian Medan Listrik

Usus dirangkai pada organ bath dan kymograph, kemudian diberi medan listrik yang dihasilkan oleh plat alumunium . Besar medan listrik diubah -ubah dengan mengubah arus dan tegangan power supply. Besarnya medan listrik diukur dengan BK Toolkit Multimeter Model 2706A dalam besaran Medan Listrik E Vm. Pemberian Medan Magnet Usus yang sudah dirangkai pada organ bath dan kymograf, dipapar medan magnet yang dihasilkan oleh solenoida. Medan magnet yang digunakan berupa medan magnet statik. Besar medan magnet diubah dengan cara mengubah arus dan tegangan power supply. Besarnya medan magnet yang dihasilkan dibaca pada komputer dengan menggunakan program Datas tudio and Scienceworkshop. c. Pengambilan D ata Data yang diambil berupa miogram yang dicetak oleh kymograf Lampiran 1. Miogram tersebut menggambarkan kontraksi usus selama jangka waktu 6 menit, yaitu 3 menit untuk kontr ol dan 3 menit untuk perlakuan . Percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap RAL.

d. Analisis Data

Miogram diukur dengan parameter amplitudo dan frekuensi kontraksi Lampiran 2, kemudian dianalisis dengan software SPSS versi 11,5 menggunakan analisis Paired T- Test dengan taraf kepercayaan 95 untuk mengetahui perbedaan tiap taraf perlakuan medan listrik dan magnet dengan kontrol. Persen perubahan amplitudo dan frekuensi diamati secara Fitted by Eye melalui grafik untuk mengetahui kecenderungan perubahan amplitudo dan frekuensi dari 6 taraf yang dicobakan. HASIL Medan Listrik Paparan medan listrik menyebabkan persentase perubahan amplitudo mengalami peningkatan dibanding kontrol Gambar 6. Namun persen kenaikan ini semakin mengecil dengan meningkatny a kuat medan listrik yang dipaparkan. Hasil uji Paired T-Test Lampiran 3 menunjukkan bahwa perubahan ini tidak berbeda nyata dengan kontrol. Gambar 6 Perubahan amplitudo duodenum pada paparan beberapa taraf kuat medan listrik. Pola persentase perub ahan amplitudo jejenum Gambar 7 berbeda dengan bagian duodenum Gambar 6 maupun ileum Gambar 8. Secara Fitted by Eye, perubahannya terlihat acak dan tidak berbeda nyata secara statistik. Gambar 7 Perubahan amplitudo jejenum pada paparan beberapa taraf kuat medan listrik. Gambar 8 Perubahan amplitudo ileum pada paparan beberapa taraf kuat medan listrik. Persentase perubahan amplitudo ileum Gambar 8 memiliki pola yang sama dengan duodenum Gambar 6, yaitu persen kenaikan amplitudo kontraksi yang berbanding terbalik dengan kuat medan listrik yang diberikan. Uji Paired T-Test Lampiran 3 menunjukkan bahwa persentase perubahan amplitudo duodenum, jejenum, dan ileum tidak berbeda nyata dengan kontrol. Secara umum dapat dikatakan bahwa paparan medan listrik tidak memberikan pengaruh kenaikan amplitudo yang signifikan. Frekuensi kontraksi pada duodenum memiliki pola yang cenderung turun Gambar 9 meski ada peningkatan dari kontrol 0 Vm pada taraf 7,5 Vm dan 22,5 Vm. Perubahan ini tidak signifikan secara statistik. Gambar 9 Perubahan frekuensi duodenum pada paparan beberapa taraf kuat medan listrik. Rata-rata perubahan frekuensi jejenum pada tiap taraf percobaan Gambar 10 menunjukkan adanya peningkatan maupun penurunan dengan pola acak. Hasil uji Paired T-Test Lampiran 3 menunjukkan bahwa perubahan ini tidak berbeda nyata secara statistik dengan kontrol. Gambar 10 Perubahan frekuensi jejenum pada paparan beberapa taraf kuat medan listrik. Secara Fitted by Eye, perubahan frekuensi ileum Gambar 11, terlihat cenderung mengalami peningkatan dibanding kontrol 0 Vm. Namun peningkatan ini tidak berbeda nyata secara statistik. Gambar 11 Perubahan frekuensi ileum pada paparan beberapa taraf kuat medan listrik. Medan Magnet Terjadi penurunan amplitudo duodenum dibanding dengan kontrol, kecuali pada taraf 30 Gauss. Persen penurunan amplitudo ini semakin besar dengan meningkatnya kuat medan yang diberikan Gambar 12. Perubahan ini tidak berbeda nyata dengan kontrol Lampiran 3. Gambar 12 Perubahan amplitudo duodenum pada paparan beberapa taraf kuat medan magnet . Amplitudo jejenum menunjukkan penurunan dibanding kontrol akibat paparan medan magnet pada semua taraf perlakuan Gambar 13. Pola perubahan ini sedikit berbeda dengan pola penurunan amplitudo duodenum yang mengalami peningkatan pada taraf 30 Gauss Gambar 12. Hasil uji statistik menunjukkan perubahan ini signifikan pada taraf 90 Gauss. Gambar 13 Perubahan amplitudo jejenum pada paparan beb erapa taraf kuat medan magnet. Ileum memiliki pola penurunan amplitudo kontraksi yang sama dengan duodenum Gambar 12, yaitu adanya persentase peningkatan amplitudo kontraksi pada taraf 30 Gauss Gambar 14. Uji Paired T-Test yang dilakukan menunjukkan perubahan ini signifikan pada taraf 90, 120, dan 180 Gauss dibandingkan dengan kontrol. Gambar 14 Perubahan amplitudo ileum pada paparan beberapa taraf kuat medan magnet. Frekuensi duodenum mengalami perubahan yang sifatnya acak Gambar 15. Pada taraf 30, 90, dan 180 Gauss terjadi peningkatan frekuensi, sedangkan pada taraf 60, 120, dan 150 terjadi penurunan frekuensi kontraksi. Perubahan frekuensi kontraksi ini tidak signifikan secara statistik. Pola perubahan frekuensi jejenum tidak memiliki pola khusus Gambar 16. Empat taraf diantara enam taraf yang dicobakan mengalami peningkatan frekuensi, yaitu pada taraf 60, 90, 150 dan 180 Gauss. Sedangkan pada taraf 30 dan 120 Gauss terjadi penurunan frekuensi kontraksi. Persentase perubahan frekuensi yang terjadi kecil dan tidak signifikan. Frekuensi ileum pada semua taraf percobaan mengalami peningkatan Gambar 17. Namun, perubahannya kecil, sehingga berdasarkan uji Paired T-Test, perubahan ini tidak berbeda nyata dengan kontrol. Gambar 15 Perubahan frekuensi duodenum pada paparan beberapa taraf kuat medan magnet. Gambar 16 Perubahan frekuensi jejenum pada paparan beberapa taraf kuat medan magnet. Gambar 17 Perubahan frekuensi ileum pada paparan beberapa taraf kuat medan magnet. PEMBAHASAN Pergerakan usus halus yang diamati pada penelitian ini merupakan pergerakan autonomik, baik itu berupa miogenik maupun neurogenik oleh pleksus intrinsik. Usus telah diisolasi sehingga tidak lagi berhubungan dan dipengaruhi oleh sistem saraf ekst ernal simpatik dan parasimpatik. Pergerakan autonomik ini dapat diketahui dan diukur perubahannya melalui pencatatan amplitudo dan frekuensi kontraksi usus pada miogram. Amplitudo duodenum, jejenum dan ileum yang mengalami paparan medan listrik tidak menunjukkan perubahan yang signifikan dengan kontrol. Meski demikian, secara Fitted by Eye, terlihat pola perubahan amplitudo duodenum Gambar 6 cenderung mengalami peningkatan dibanding kontrol. Persentase peningkatan ini mengecil dengan semakin kuatnya medan listrik yang dipaparkan. Pola ini hampir sama dengan pola perubahan amplitudo ileum Gambar 8. Pola yang mirip juga didapati pada amplitudo kontraksi duodenum yang dipapar medan magnet Gambar 12 dan ileum Gambar 14. Mula- mula terjadi peningkatan persentase perubahan amplitudo kontraksi, tapi dengan semakin besarnya medan yang dipaparkan, terjadi penurunan amplitudo kontraksi yang makin besar. Pola ini diduga berhubungan dengan fenomena hormesis yang seringkali dijumpai pada objek biologi yang terpapar radiasi pengion maupun bahan kimia. Calabrese dan Baldwin 1998 menyatakan bahwa hormesis adalah suatu fenomena yang menunjukkan adanya stimulasi pada objek biologi yang terpapar bahan kimia maupun radiasi dalam dosis rendah dan adanya penghambatan atau perusakan pada dosis yang tinggi. Hormesis biasanya ditunjukkan dengan kurva dosis - respon yang berbentuk kurva-â Gambar 18. Gambar 18 Kurva dosis -respon yang menunjukkan hormesis kurva -â. Pola kenaikan amplitudo kontraksi duodenum dan ileum yang dipapar oleh medan listrik tidak menunjukkan adanya perpotongan dengan garis kontrol, namun memperlihatkan persentase peningkatan amplitudo yang terus mengecil. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh dosisnya yang mendekati nol sehingga belum terlihat penurunan amplitudo yang signifikan. Berbeda dengan perubahan amplitudo pada duodenum dan ileum yang diberi perlak uan medan magnet, terjadi peningkatan perubahan amplitudo yang jelas pada dosis pertama 30 Gauss yang menunjukkan adanya zona hormesis. Pada dosis selanjutnya terlihat penurunan amplitudo kontraksi, sehingga memperlihatkan kurva-â yang jelas. Pola ini tidak terlihat pada jejenum yang dipapar medan listrik Gambar 7 karena adanya pola naik pada dua dosis terakhir. Jejenum yang dipapar medan magnet memiliki pola dengan penurunan amplitudo yang semakin besar seiring kuat medan magnet Gambar 13, namun tidak terlihat adanya daerah hormesis peningkatan amplitudo pada dosis rendah 30 Gauss yang dicobakan. Frekuensi kontraksi pada duodenum, jejenum, dan ileum yang dipapar medan listrik memperlihatkan adanya peningkatan pada beberapa dosis awal dan penurunan pada dosis yang lebih tinggi. Namun, persentase perubahannya tidak menunjukkan pola yang jelas dan kecil kemungkinan berhubungan dengan hormesis. Sedangkan frekuensi kontraksi duodenum, jejenum, dan ileum yang dipapar medan magnet cenderung mengalami peningkatan seiring meningkatnya kuat medan magnet yang dipaparkan, namun peningkatan ini tidak signifikan. Ikusima et al. 1996 menyatakan bahwa fenomena hormesis berkaitan dengan adanya induksi produksi dan kerja protein tert entu serta merangsang sistem kekebalan. Kemungkinan medan magnet juga memiliki efek yang hampir serupa dengan radiasi pengion dan bahan kimia yang menyebabkan hormesis karena pada duodenum dan ileum yang dipapar medan magnet memiliki pola persentase perubahan yang sama dengan kurva-â yang menunjukkan fenomena hormesis dan persentase penurunan amplitudo yang signifikan pada beberapa taraf kuat medan. Penurunan amplitudo kontraksi ini juga dilaporkan oleh Itegin dan Gunay 1993 yang melakukan percobaan pada tikus dengan kekuatan medan magnet 200 Gauss. Nair 1989 mengemukakan bahwa medan magnet berinteraksi dengan hormon, neurotransmitter, dan hormon pertumbuhan. Adanya stimulasi yang terjadi pada dosis rendah dalam fenomena hormesis menjelaskan peran medan elektromagnetik dalam membantu penyembuhan patah tulang, dengan meningkatkan proliferasi kondrosit Pezzetti et al. 1999. Perubahan amplitudo kontraksi pada bagian usus yang mengalami paparan medan magnet ini diduga akibat perubahan kanal dan konsentras i ion baik pada pleksus intrinsik, otot polos, maupun pada Intestitial Cells of Cajal ICC yang diketahui sebagai pacemaker dalam proses kontraksi gastrointestinal Torihashi et al. 2002. Itegin dan Gunay 1993 menyatakan bahwa medan magnet mempengaruhi konduktansi kanal ion, perubahan konformasi, dan pergerakannya, selain itu, medan magnet menyebabkan peningkatan konsentrasi ion K + intraselular dan penurunan konsentrasi ion Na + intraselular yang menyebabkan penurunan membran potensial sehingga terjadi penurunan amplitudo kontraksi. Efek ini berkaitan dengan adanya modulasi dan polarisasi aliran ion Nair 1989 khususnya ion Ca 2+ yang memiliki peranan penting dalam kontraksi spontan otot polos Gambar 19 penyusun duodenum, jejenum, dan ileum Grasa 2004 maupun peranannya dalam kontraksi spontan dan ritmis ICC Torihashi et al. 2002. Gambar 19 Peran Ca 2+ dalam kontraksi otot polos Fox 2002. Nair 1989 menyebutkan bahwa medan elektromagnetik menyebabkan perubahan aliran Ca 2+ melalui kanal ion sel. Penurunan amplitudo kontraksi pada bagian usus yang dipapar medan magnet kemungkinan diakibatkan oleh penurunan konsentrasi Ca 2+ intrasel, perubahan kanal ion dan penurunan kemampuannya mentransport ion akibat perubahan permukaan membran sel yang dilaporkan Chionna et al. 2003 pada paparan 6 mT atau 60 Gauss. Sejumlah mekanisme interaksi biofisika telah diajukan untuk dapat menjelaskan bagaimana medan listrik dan magnet berfrekuensi rendah dapat mempengaruhi jaringan hidup living tissue dan mengakibatkan efek biologis yang signifikan. Mekanisme-mekanisme tersebut adalah resonansi ion cyclotron alat pemercepat partikel, resonansi parametrik, serta efek langsung partikel magnetik pada sel-sel otak Fathony 2004. Namun, hasil yang pasti dari paparan medan listrik dan magnet secara umum belum dapat disimpulkan. Fathony 2004 menyebutkan bahwa secara garis besar, energi total yang diserap dan distribusinya di dalam tubuh manusia tergantung frekuensi dan panjang gelombang medan elektromagnetik, p ola risasi medan EMF, konfigurasi seperti jarak antar a badan dan sumber radiasi EMF, keadaan paparan radiasi, seperti adanya benda lain di sekitar sumber radiasi, dan sifat -sifat elektrik listrik tubuh konstan dielektrik dan konduktivitas. Hal ini sangat tergantung pada kadar air di dalam tubuh. Radiasi akan lebih banyak diserap pada media dengan konstan dielektrik yang tinggi, seperti otak, otot, dan jaringan lainnya dengan kadar air yang tinggi. SIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN Paparan medan listrik dengan kuat medan 7,5 hingga 45 Vm tidak menyebabkan perubahan amplitudo maupun frekuensi pada duodenum, jejenum, maupun ileum. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa medan magnet menyebabkan penurunan amplitudo kontraksi jejenum dan ileum. Penurunan ini semakin besar seiring peningkatan kuat medan magnet. Namun memiliki kecenderungan meningkatkan amplitudo kontraksi pada dosis rendah yang sesuai dengan fenomena hormesis. Frekuensi kontraksi pada paparan medan magnet tidak mengalami perubahan. SARAN Untuk mengetahui pengaruh paparan medan listrik lebih lanjut, perlu dirancang suatu percobaan dengan dosis paparan kuat medan yang lebih tinggi. DAFTAR PUSTAKA Calabrese EJ, Baldwin LA. 1998. Hormesis as biological hypothesis. J Environ Health Perspect 106 Supl 1:357-362. Chionna A et al. 2003. Cell shape and plasma membran alterations after static magnetic fields exposure. Eur J Histochem 474: 299 - 308. Fathony M. 2004. Radiasi Elektromagnetik dari Alat Elektronik dan Efeknya bagi Kesehatan. http:www.tempo.co.idmedikaarsip0920 01pus-3.htm [11 Maret 2005]. Fox SI. 2002. Human Physiology. Ed ke-7. Boston : Mc Graw Hill. Giancoli. 2001. Fisika. Ed ke-5. Jakarta : Erlangga . Grasa L, Rebollar E, Arruebo MP, Plaza MA, Murillo MD. 2004. The Role of Ca 2+ in the contractility of rabbit small intestine in vitro. J Physiol and Pharmacol 553: 639-650. Hansen MB. 2003. Neurohumoral control of gastrointestinal motility. Physiol Res 52: 1-30. Hill RW, Wyse GA. 1989. Animal Physiology. New York: Harper Collins Publisher Inc. Itegin M, Gunay I. 1993. Influence of strong static magnetic field on bioelectricical characteristics of rat hemidiaphragm muscle. J Islamic Acad Sci 5 4:12-14. Ikusima T, Aritomi H, Morisita J. 1996. Radioadaptive response; efficient repair of radiation induced DNA damage in adapted cells. J Mut Res 358:193-198. Jajte J et al. 2001. Influence of a 7 mT static magnetic field and iron ions on apoptosis and necrosis in rat blood lymphocytes. J Occup Health 43:379-381. Moechtar M. 1999. Magnetic field effect on human beings. J Sains dan Teknol Indones 1:1-7. Moulder J. 2004. Static electric and magnetic field and human health. http:www.mcw.edugcrccopststic - fields-cancer-faqtoc.html [11 Februari 2005]. Nair I. 1989. Biological effects of power frequency electric and magnetic fields. Background Paper, Assesment of Electric Power Wheeling and Dealing: Technological Consideration for Increasing Competition, OTA-BP-E-53, Washington DC : U. S. Government Printing Office. Pezzetti et al. 1999. Effects of pulsed electromagnetics on human chondrocytes : an in vitro study. J Calcif Tissue Int 65 : 396-401. Sang DK, Sanders KM, Ward SM. 1998. Spontaneous electrical rhythmicity in cultured Interstitial of Cajal from the murine small intestine. Reno : University of Nevada School of Medicine. Schmidt K, Nielsen. 1997. Animal Physiology : Adaptation and Environment . Ed ke-5. Cambridge : Cambridge University Press. Seeley RR, Stephens TD, Tate P. 2000. Anatomy and Physiology. Ed ke-4. Boston : Mc Graw Hill. Torihashi S, Fujimoto T, Trost C, Nakayama S. 2002. Calcium oscillation linked to pacemaking of Interstitial cells of Cajal. J Biol Chem 27721:19191 -19197. Turner B, Cowie R, Young J. 1999. The Functional Anatomy of Digestive and Urogenital reflexes. http:www.med.howard.eduanatomygas wk6lect19gi.htm-22k [11 Maret 2005]. LAMPIRAN Lampiran 1 Data miogram kontraksi usus halus kelinci 1. Medan Listrik 1.1 Taraf Perlakuan 7,5 Vm Duodenum Kontrol Perlakuan Jejunum Kontrol Perlakuan Ileum Kontrol Perlakuan

1.2 Taraf Perlakuan 15 Vm Duodenum