49
BAB IV KEANEKARAGAMAN SPESIES KUTUKEBUL PADA
TANAMAN PERTANIAN DENGAN KETINGGIAN TEMPAT BERBEDA DI JAWA BARAT
Abstrak
Kutukebul  sering  terbawa  melalui  material  tanaman  pada  kegiatan perdagangan  antar  wilayah  maupun  antar  negara  sehingga  menyebabkan
penyebarannya  semakin  luas.  Sejak  tahun  1980-an,  beberapa  spesies  kutukebul baru  masuk  ke  indonesia  dan  menyebabkan  gangguan  pada  tanaman  pertanian.
Penelitian  ini  bertujuan  mempelajari  keanekaragaman  spesies  kutukebul  pada tanaman  pertanian  dengan  kisaran  ketinggian  tempat  yang  berbeda.  Kutukebul
dikoleksi  dari  tanaman  hortikultura,  pangan,  serta  beberapa  jenis  tanaman  obat dan  rempah  di  lima  wilayah  di  Jawa  Barat,  yaitu  Bogor,  Sukabumi,  Cianjur,
Bandung,  dan  Garut.  Tempat  pengambilan  sampel  dikelompokkan  menjadi  tiga kisaran  ketinggian,  yaitu  dataran  rendah  0-500  m  di  atas  permukaan  laut  dpl,
sedang 501-1000 m dpl, dan tinggi 1001-1500 m dpl. Data jumlah spesies dan individu  kutukebul  dianalisis  menggunakan  indeks  keanekaragaman  Shannon
H’,  Simpson  1D,  dan  Sorenson  C.  Jumlah  spesies  kutukebul  terbanyak ditemukan di dataran rendah, yaitu sebanyak 32 spesies. Keanekaragaman spesies
kutukebul  tertinggi  juga  terdapat  di  dataran  rendah  H’  =  2.14  dan  1D  =  5.53. Sebaliknya,  dominasi  spesies  kutukebul  terjadi  di  dataran  tinggi  D  =  0.54
meskipun nilainya relatif tidak berbeda jauh dengan di dataran sedang D = 0.48. Spesies  kutukebul  yang  mendominasi  di  semua  kelompok  ketinggian  tempat
adalah  Aleurodicus  dispersus  dan  Aleurodicus  dugesii.  Analisis  dengan  indeks Sorenson  menunjukkan  bahwa  terdapat  kemiripan  wilayah  antara  dataran  rendah
dengan  sedang  sebesar  64  berdasarkan  jumlah  spesies  kutukebul  yang ditemukan.  Dua  spesies  kutukebul  yang  menjadi  vektor  virus  penyebab  penyakit
tanaman  adalah  Bemisia  tabaci  dan  Trialeurodes  vaporariorum.  Musuh  alami kutukebul  yang  ditemukan  adalah  Coccinellidae,  Mantidae,  Drosophilidae,
Aphelinidae,  dan  Encyrtidae.  A.  dispersus,  A.  dugesii,  dan  B.  tabaci  merupakan spesies kutukebul yang bersifat invasif di Indonesia.
Kata  kunci:  ketinggian  tempat,  indeks  keanekaragaman,  serangga  vektor,  musuh
alami, spesies invasif
Pendahuluan
Status  serangga  sebagai  hama  dipengaruhi  oleh  kelimpahan  populasi  dan gangguan  pada  tanaman  akibat  aktivitas  makan  serangga.  Gangguan  tersebut
dapat  mempengaruhi  fisiologi  tanaman  sehingga  menyebabkan  terjadinya
50 kehilangan  hasil  tanaman,  baik  secara  kualitas  maupun  kuantitas  Gullan  dan
Cranston  2000.  Kondisi  cuaca  saat  ini  yang  semakin  sulit  diprediksi menyebabkan terjadinya perubahan pola tanam dan pergeseran musim tanam. Hal
ini  mempengaruhi  permasalahan  hama  di  pertanaman.  Suhu  lingkungan  yang relatif mengalami peningkatan saat ini dapat mempengaruhi populasi kutukebul di
pertanaman.  Siklus  hidup  kutukebul  cenderung  menjadi  semakin  pendek  seiring dengan  meningkatnya  suhu  lingkungan,  sehingga  dapat  menghasilkan  banyak
generasi  dalam  satu  tahun.  Hasil  penelitian  di  laboratorium  menunjukkan  bahwa siklus  hidup  kutukebul  Bemisia  tabaci  berlangsung  lebih  cepat  pada  suhu  29°C
dibandingkan  pada  suhu  23  dan  26°C  Purbosari  2008.  Dalam  hal  ini,  kenaikan suhu memiliki pengaruh yang nyata terhadap siklus hidup B. tabaci.
Berdasarkan  kisaran  tanaman  inangnya,  serangga  herbivora  sering dikelompokkan  ke  dalam  tiga  kelompok  yaitu  monofag,  oligofag,  dan  polifag.
Pengelompokkan  serangga  berdasarkan  kisaran  tanaman  inang  sering  pula dibedakan  menjadi  kelompok  serangga  spesialis  mencakup  serangga  monofag
dan  oligofag  dan  generalis  polifag.  Secara  umum,  serangga  dari  subordo Sternorrhyncha  dan  Auchenorrhyncha  memiliki  kisaran  inang  yang  cenderung
bersifat spesialis, meskipun ada beberapa spesies yang  generalis. Sebagai contoh, sebagian besar kutu daun bersifat spesialis dan hanya 6  yang bersifat  generalis.
Begitu  juga  halnya  dengan  wereng-werengan  yang  sebagian  besar  bersifat spesialis Schoonhoven et al. 1998.
Serangga  pradewasa  kutukebul  sering  dimangsa  oleh  serangga  predator yang secara spesifik memakan mangsa yang memiliki tubuh lunak yang umumnya
melekat  pada  daun.  Serangga  predator  tersebut  di  antaranya  larva  dan  imago kumbang
Coccinellidae Coleoptera,
larva Chrysopidae
Neuroptera, Dermaptera,  beberapa  jenis  larva  lalat  Syrphidae,  Cecidomyiidae,  dan
Chamaemyiidae.  Imago  kutukebul  sering  dimangsa  oleh  serangga  predator  yang bersayap, seperti lalat Dolichopodidae dan Asilidae Watson 2007. Musuh alami
yang  penting  bagi  kutukebul  adalah  serangga  parasitoid,  terutama  dari  famili Aphelinidae, di antaranya dari genus Eretmocerus, Encarsia, dan Ablerus Begum
et al. 2011. Selain itu, kutukebul juga sering terserang oleh cendawan patogen, di
51 antaranya  Aschersonia  aleyrodis,  Paecilomyces  fumosoroseus,  dan  Verticillium
lecanii Watson 2007. Salah  satu  aspek  untuk  melihat  adanya  perbedaan  suhu  lingkungan  adalah
dari  ketinggian  tempat.  Pada dataran  rendah,  suhu  lingkungan  relatif  lebih  tinggi daripada dataran tinggi. Salah satu representasi dari kondisi tersebut dapat dilihat
dari  keanekaragaman  spesies  organisme  yang  menghuni  ketinggian  tempat tertentu. Salah satu organisme yang menjadi objek penelitian ini adalah kutukebul.
Oleh  karena  itu,  penelitian  ini  bertujuan  mengetahui  keanekaragaman  spesies kutukebul pada  tanaman  pertanian  di beberapa daerah  di  Jawa  Barat berdasarkan
ketinggian  tempat  yang  berbeda.  Hasil  penelitian  diharapkan  dapat  memberikan informasi  mengenai  keanekaragaman  kutukebul  berdasarkan  ketinggian  tempat,
sehingga  dapat  menjadi  pengetahuan  dasar  dalam  upaya  pengendalian  hama  di pertanaman.
Metode Penelitian Pengambilan Sampel Kutukebul di Lapangan
Pengumpulan sampel kutukebul dilakukan di lima wilayah di Jawa Barat, di antaranya  Bogor,  Cianjur,  Sukabumi,  Bandung,  Cirebon,  dan  Garut  sejak  Juni
2011  sampai  dengan  April  2012.  Tempat  pengambilan  sampel  disajikan  dalam bentuk  peta  dengan  menggunakan  program  Quantum  GIS  1.7.3-Wroclaw  QGIS
2012  Gambar  4.1.  Posisi  geografi  dan  ketinggian  tempat  pengambilan  sampel diukur dengan menggunakan aplikasi GPS global positioning system dari Pocket
PC  Mio P550. Tempat pengambilan sampel dikelompokkan menjadi tiga kisaran ketinggian, yaitu dataran rendah 0-500 m dpl, dataran sedang 501-1000 m dpl,
dan dataran tinggi 1001-1500 m dpl. Sampel  diambil  dari  berbagai  jenis  tanaman,  di  antaranya  dari  tanaman
hortikultura  sayuran,  buah-buahan,  dan  tanaman  hias,  pangan,  serta  beberapa jenis  tanaman  obat  dan  rempah.  Pengambilan  sampel  dilakukan  dengan  metode
pengambilan  secara  langsung purposive  sampling. Pupa atau  eksuvia  kutukebul yang  terdapat pada  daun  tanaman  diambil,  kemudian  ditutupi dengan  kertas  tisu,
lalu  dimasukkan  ke  dalam  kantung  plastik  bening,  dan  diberi  label.  Selanjutnya
52 sampel  dibawa  ke  laboratorium  untuk  diidentifikasi.  Sebelum  diidentifikasi,
eksuvia  kutukebul  dibuat  menjadi  preparat  mikroskop  dengan  menggunakan metode pada Watson 2007 yang dimodifikasi.
Gambar 4.1  Titik-titik tempat pengambilan sampel kutukebul Pengukuran Keanekaragaman Kutukebul
Data  jumlah  spesies  dan  individu  kutukebul  yang  diperoleh  pada  ketiga kelompok  ketinggian  dianalisis  dengan  menggunakan  indeks  keanekaragaman
Shannon,  Simpson  dan  Sorenson.  Indeks  Shannon  digunakan  untuk  melihat kekayaan  spesies  species  richness  pada  suatu  wilayah;  indeks  Simpson
digunakan untuk mengetahui dan membandingkan keanekaragaman dan dominasi spesies  antar  wilayah;  sedangkan  indeks  Sorenson  digunakan  untuk  mengetahui
kemiripan  wilayah  berdasarkan  jumlah  spesies  dan  individu  kutukebul  yang diperoleh Magurran 1988. Rumus dari indeks Shannon, Simpson, dan Sorenson
adalah sebagai berikut: 1.  Indeks Shannon H’ = -
Σ p
i
ln p
i
, dimana p
i
= n
i
N 2.
Indeks Simpson D = Σ Indeks keanekaragaman Simpson = 1
−D Simpson’s reciprocal index = 1D
3.  Indeks Sorenson: C = 2ja+b
n
i
n
i
-1 N N-1
53 Keterangan:
p
i
= proporsi individu spesies ke-i n
i
= jumlah individu spesies ke-i N = total jumlah individu
a = jumlah individu pada wilayah A b = jumlah individu pada wilayah B
j = jumlah individu yang terendah yang terdapat pada perbandingan antara
wilayah A dan B
Identifikasi Musuh Alami kutukebul
Musuh  alami  kutukebul  yang  ditemukan  di  lapangan  di  identifikasi  dengan menggunakan kunci identifikasi, di antaranya Grissell dan Schauff 1990, Goulet
dan Huber 1993, dan informasi dari media elektronik internet.
Hasil Penelitian Analisis Keanekaragaman Kutukebul
Berdasarkan  hasil  pengambilan  sampel  kutukebul  pada  kisaran  ketinggian tempat yang berbeda, diperoleh sebanyak 38 spesies kutukebul dari berbagai jenis
tanaman  pertanian  dan  sebanyak  10  spesies  di  antaranya  belum  teridentifikasi Lampiran  3.  Jumlah  spesies  kutukebul  yang  terbanyak  ditemukan  pada  dataran
rendah,  yaitu  sebanyak  32  spesies,  sedangkan  pada  dataran  tinggi  hanya ditemukan  9  spesies  kutukebul  Tabel  4.1.  Sebanyak  14  spesies  di  antaranya
relatif  sering  ditemukan,  sedangkan  24  spesies  lain  umumnya  hanya  ditemukan sebanyak  1-2  kali  pada  saat  pengambilan  sampel.  Dari  14  spesies  kutukebul
tersebut  di  atas,  sebanyak  6  spesies  ditemukan  pada  tanaman  sayuran  Lampiran 4.  Sebanyak  4  spesies  di  antaranya  merupakan  spesies  kutukebul  yang  telah
diketahui sering menimbulkan permasalahan di pertanaman, yaitu A. dispersus, A. dugesii,  B.  tabaci,  dan  T.  vaporariorum.  Jumlah  individu  A.  dispersus  dan  A.
dugesii  ditemukan  cukup  banyak  dan  mendominasi  di  semua  kisaran  ketinggian tempat. Kedua spesies tersebut merupakan spesies yang bersifat kosmopolitan dan
memiliki  kisaran  tanaman  inang  yang  luas.  A.  dispersus  dapat  ditemukan  pada tanaman sayuran, buah-buahan, tanaman hias, dan tanaman pangan; sedangkan A.
dugesii ditemukan pada tanaman sayuran, buah-buahan, dan tanaman hias.
54 Tabel 4.1 Jumlah individu kutukebul yang ditemukan pada tiga kisaran ketinggian
tempat  di  Jawa  Barat  dan  hasil  analisis  dengan  indeks  Shannon  dan Simpson
No. Spesies kutukebul
Kisaran ketinggian m dpl Dataran rendah
−500 Dataran sedang
501 −1000
Dataran tinggi 1001-1500
Subfamili Aleurodicinae:
1. Aleuroctarthrus destructor
24 2.
Aleurodicus dispersus 1803
1983 3994
3. Aleurodicus dugesii
2856 4490
11739 4.
Paraleyrodes minei 109
18
Subfamili Aleyrodinae:
5. Aleurocanthus citriperdus
547 71
118 6.
Aleurocanthus spiniferus 85
31 7.
Aleurocanthus woglumi 24
8. Aleuroclava aucubae
4 9.
Aleuroclava canangae 18
10. Aleuroclava jasmini
178 11.
Aleuroclava psidii 14
12. Aleurolobus marlatti
25 13.
Aleurotrachelus sp.1 52
14. Aleurotrachelus sp.2
2 15.
Aleurotrachelus sp.3 10
16. Asiothrixus antidesmae
625 17.
Bemisia tabaci 78
45 18.
Cockerelliella psidii 62
31 7
19. Cockerelliella sp. 1
60 20.
Cockerelliella sp. 2 31
11 21.
Dialeurodes kirkaldyi 1
22. Dialeurodes sp.
8 47
23. Dialeuropora decempuncta
354 187
32 24.
Lipaleyrodes sp. 325
25. Minutaleyrodes minuta
19 26.
Orchamoplatus mammaeferus 171
67 27.
Rusostigma sp. 1234
79 194
28. Trialeurodes vaporariorum
104 736
29. Spesies 1
1 30.
Spesies 2 5
31. Spesies 3
2 32.
Spesies 4 5
33. Spesies 5
2 34.
Spesies 6 54
35. Spesies 7
3 36.
Spesies 8 17
37. Spesies 9
4 38.
Spesies 10 10
7 Jumlah individu N
8786 7109
16918 Jumlah spesies S
32 17
9 Indeks Shannon H’
2.14 1.05
0.87 Indeks Simpson D
0.18 0.48
0.54 Indeks keanekaragaman Simpson 1-D
0.82 0.52
0.46 Simpson’s reciprocal index 1D
5.53 2.09
1.85
55 Hasil  analisis  keanekaragaman  dengan  menggunakan  indeks  Shannon  H’
menunjukkan bahwa  keanekaragaman spesies tertinggi terdapat di daerah dataran rendah dengan  nilai  indeks  keanekaragaman sebesar 2.14 Tabel 4.1. Hasil  yang
diperoleh pada indeks Shannon sejalan dengan hasil analisis dengan menggunakan indeks Simpson Tabel 4.1. Keanekaragaman spesies tertinggi terdapat di dataran
rendah  dengan  nilai  indeks  sebesar  0.82  dan  nilai  1D  =  5.53.  Nilai  indeks keanekaragaman  Simpson  berbanding  terbalik  dengan  nilai  indeks  dominasinya,
sehingga  dapat  dikatakan  bahwa  semakin  tinggi  tingkat  keanekaragaman  spesies di  suatu  wilayah,  maka  dominasi  spesies  akan  semakin  rendah  Magurran  1988.
Dalam  hal  ini,  dominasi  spesies  terjadi  di  dataran  tinggi  dengan  nilai  indeks sebesar  0.54.  Nilai  indeks  dominasi  pada  dataran  tinggi  sebenarnya  relatif  tidak
berbeda jauh dengan nilai indeks pada dataran sedang D = 0.48. Pada Tabel 4.1 dapat  dilihat  bahwa  pada  kedua  kisaran  ketinggian  tersebut,  jumlah  individu
kutukebul yang ditemukan didominasi oleh spesies A. dispersus dan A. dugesii. Berdasarkan  hasil  analisis  kemiripan  wilayah  dengan  menggunakan  indeks
Sorenson, nilai indeks tertinggi terdapat pada perbandingan antara dataran rendah dengan dataran sedang yaitu sebesar 0.64 Tabel 4.2. Hal ini menunjukkan bahwa
terdapat  kemiripan  wilayah  sebesar  64  antara  dataran  rendah  dengan  dataran sedang  berdasarkan  jumlah  spesies  dan  individu kutukebul  yang  ditemukan  pada
masing-masing  kisaran  ketinggian.  Hal  ini  dapat  disebabkan  oleh  jenis  tanaman yang  dominan  yang  terdapat  pada  masing-masing  ketinggian  tempat  Idris  et  al.
2002.  Pada  dataran  tinggi,  komoditas  tanaman  umumnya  didominasi  oleh tanaman  sayuran,  khususnya  jenis  sayuran  dataran  tinggi,  seperti  kubis-kubisan
brokoli  dan  kembang  kol,  wortel,  bawang  daun,  dan  sebagainya  yang  sebagian besar  bukan  merupakan  tanaman  inang  dari  kutukebul.  Pada  dataran  tinggi,
kutukebul  khususnya  dapat  ditemukan  pada  tanaman  sayuran  dari  famili Solanaceae,  seperti  tomat,  cabai,  dan  terung.  Tanaman-tanaman  tersebut  dapat
pula  ditemukan  pada  dataran  rendah  maupun  dataran  sedang.  Spesies-spesies kutukebul yang ditemukan pada tanaman sayuran dapat dilihat pada Lampiran 4.
Pada  dataran  rendah  banyak  ditemukan  tanaman  buah-buahan,  baik  berupa tanaman  pekarangan  rumah,  tanaman  pinggir,  maupun  dalam  suatu  areal
pertanaman,  sebagai  contoh  jambu  biji,  jambu  bol,  lengkeng,  jeruk,  dan
56 sebagainya.  Hal  serupa  juga  dapat  dijumpai  di  dataran  sedang.  Pada  dataran
rendah dan sedang dapat dijumpai pula beberapa jenis komoditas sayuran, seperti tomat, cabai, terung, kacang panjang, dan sebagainya. Hal inilah yang mendukung
ditemukannya  spesies  kutukebul  yang  lebih  banyak  pada  dataran  rendah  dan sedang daripada dataran tinggi.
Tabel 4.2  Perbandingan  kemiripan spesies  kutukebul antar wilayah pengambilan sampel pada tiga kisaran ketinggian dengan indeks Sorenson
Dataran rendah Dataran sedang
Dataran tinggi Dataran rendah
− 0.64
0.40 Dataran sedang
− 0.56
Dataran tinggi −
Keterangan:   Dataran rendah 0 −500 m dpl, dataran sedang 500−1000 m dpl, dan dataran tinggi
1001-1500 m dpl.
Tanaman Inang Kutukebul
Spesies kutukebul banyak ditemukan pada komoditas tanaman buah-buahan, yaitu sebanyak 31 spesies Gambar 4.2.
Gambar 4.2  Jumlah spesies kutukebul yang ditemukan pada lima jenis komoditas tanaman pertanian
10 20
30 40
sayuran buah-buahan
tanaman hias pangan dan
palawija obat dan
rempah
Ju m
la h
s p
es ie
s k
u tu
k eb
u l
Komoditas tanaman inang
57
Musuh Alami Kutukebul
Berdasarkan  hasil  pengamatan  secara  langsung  di  lapangan  maupun pengamatan  di  laboratorium,  terdapat  musuh  alami  yang  ditemukan  berasosiasi
dengan  beberapa  spesies  kutukebul,  di  antaranya  termasuk  ke  dalam  kelompok serangga  predator  dan  parasitoid.  Serangga  predator  yang  ditemukan  antara  lain
kumbang Menochilus sexmaculatus, Harmonia axyridis, Coccinella transversalis, Verania  lineata  Coleoptera:  Coccinellidae,  belalang  sembah  Hierodula  ovata
Mantodea:  Mantidae,  dan  lalat  Acletoxenus  indicus  Diptera:  Drosophilidae Gambar 4.3.
Gambar 4.3  Serangga predator  yang ditemukan di sekitar koloni  kutukebul di lapangan
Selain  serangga  predator,  ditemukan  pula  parasitoid  yang  memarasit kutukebul  yang  merupakan  famili  Aphelinidae  Eretmocerus  dan  Encyrtidae
Gambar 4.4.
Gambar 4.4  Serangga parasitoid yang ditemukan memarasit kutukebul
58
Pembahasan Keanekaragaman Kutukebul Berdasarkan Ketinggian Tempat
Keanekaragaman  spesies  kutukebul  pada  dataran  rendah  lebih  tinggi daripada dataran tinggi. Hal  ini sejalan dengan penelitian Idris et al. 2002  yang
menyatakan  bahwa  keanekaragaman  serangga  pada  ketinggian  1100  m  dpl  lebih rendah daripada keanekaragaman serangga pada dataran  kurang dari 1000 m dpl.
Indeks  Shannon  menilai  keanekaragaman  spesies  berdasarkan  kekayaan  spesies species  richness,  sehingga  hasilnya  secara  langsung  berkaitan  dengan  jumlah
spesies  kutukebul  yang  yang  ditemukan  pada  masing-masing  kisaran  ketinggian tempat.  Kekayaan  spesies  pada  tumbuhan  biasanya  akan  mengalami  peningkatan
dari  dataran  tinggi  ke  dataran  rendah  Magurran  1998.  Berdasarkan  analisis dengan  menggunakan  indeks  Sorenson,  diperoleh  nilai  terendah  pada
perbandingan  antara  dataran  rendah  dengan  dataran  tinggi.  Faktor  yang membedakan  antara  dataran  rendah  dengan  dataran  tinggi  di  antaranya  adalah
adanya  perbedaan  dalam  hal  suhu  lingkungan,  presipitasi,  tekanan  gas  atmosfer, kecepatan  angin,  radiasi  ultraviolet  UV,  dan  sebagainya  yang  secara  langsung
dapat  mempengaruhi  keberadaan  serangga  pada  masing-masing  tempat  tersebut Hodkinson 2005.
Serangga sangat dipengaruhi oleh  iklim  mikro dari tempat hidupnya, dalam hal  ini  vegetasi  tanaman.  Suhu  lingkungan  mengalami  penurunan seiring  dengan
peningkatan  ketinggian  tempat.  Secara  umum  hal  ini  dapat  menyebabkan pertumbuhan  dan  perkembangan  serangga  di  dataran  tinggi  berlangsung  lebih
lambat dibandingkan  dengan  dataran rendah.  Selain  suhu  lingkungan  yang  relatif rendah,  kadar  oksigen  pada  dataran  tinggi  juga  lebih  rendah  daripada  dataran
rendah.  Serangga-serangga  yang  ada  di  dataran  tinggi  harus  meningkatkan kapasitas  sistem  pernafasannya  melalui  trakea.  Dalam  hal  ini,  terjadi  kompensasi
terhadap kondisi kadar oksigen yang rendah sehingga akan mempengaruhi alokasi energi yang digunakan untuk pertumbuhan Hodkinson 2005.
59
Gangguan Kutukebul pada Tanaman
Gangguan  kutukebul  secara  langsung  pada  tanaman  umumnya  sering disebabkan oleh kutukebul dari subfamli Aleurodicinae, di antaranya Aleurodicus
dispersus  dan  Aleurodicus  dugesii.  Kedua  spesies  tersebut  umumnya  sering ditemukan  dalam  koloni  yang  dapat  menutupi  seluruh  permukaan  bawah  daun.
Akibat aktivitas makan dari serangga tersebut, biasanya tanaman dapat kehilangan cairan  nutrisi  yang  cukup berarti  sehingga  tanaman  menjadi  layu  dan  mengering.
Selain  itu,  embun  madu  yang  dihasilkan  kutukebul  dapat  merangsang pertumbuhan  cendawan  jelaga  yang  dapat  menutupi  permukaan  atas  daun.
Cendawan  jelaga  tersebut  dapat  mengganggu  proses  fotosintesis  dan  respirasi, serta menurunkan produksi tanaman Martin 2008.
Spesies  kutukebul  lainnya,  B.  tabaci  dan  T.  vaporariorum,  dapat menyebabkan  gangguan  secara  tidak  langsung  pada  tanaman.  Kedua  spesies
tersebut  secara  spesifik  dapat  ditemukan  pada  tanaman  sayuran,  di  antaranya tomat,  cabai,  terung,  kacang  panjang,  dan  sebagainya.  B.  tabaci  dan  T.
vaporariorum  bersifat  spesifik  dalam  hal  ketinggian  tempat  hidupnya.  B.  tabaci umumnya  dapat ditemukan  pada  tanaman  sayuran dataran  rendah  hingga  sedang,
sedangkan  T.  vaporariorum  dapat  ditemukan  pada  tanaman  sayuran  di  dataran sedang  hingga  tinggi.  B.  tabaci  dan  T.  vaporariorum  dapat  berperan  sebagai
serangga  vektor  virus  penyebab  penyakit  tanaman.  Lapidot  dan  Polston  2010 menyatakan  bahwa  B.  tabaci  dapat  menjadi  vektor  virus  di  antaranya  genus
Begomovirus  dan  Crinivirus,  sedangkan  T.  vaporariorum  di  antaranya  dapat menjadi  vektor  dari  Crinivirus.  Pada  dataran  sedang  dapat  ditemukan  individu
atau  populasi  B.  tabaci  dan  T.  vaporariorum  pada  satu  tanaman  maupun pertanaman  yang  sama.  Adanya  kekhususan  dalam  hal  ketinggian  tempat  hidup
ini kemungkinan dapat mempengaruhi penyebaran penyakit yang disebabkan oleh masing-masing virus yang dibawa oleh kedua spesies kutukebul tersebut.
Kutukebul dan Tanaman Inangnya
Berdasarkan  hasil  pengambilan  sampel,  kutukebul  lebih  banyak  ditemukan pada  tanaman  buah-buahan  daripada  kelompok  tanaman  lainnya.  Hal  ini
disebabkan  tanaman  buah-buahan  memiliki  ukuran  yang  besar  dan  kompleks
60 sehingga dapat menyediakan ruang hidup yang luas bagi berbagai jenis organisme,
termasuk  kutukebul.  Lawton  1983  menyatakan  bahwa  terdapat  peningkatan jumlah  spesies  herbivora  seiring  dengan  peningkatan  ukuran  dan  kompleksitas
tanaman.  Selain  itu,  struktur  tanaman  yang  kompleks  dapat melindungi  serangga dari  musuh  alaminya.  Sebagian  besar  tanaman  buah-buahan  termasuk  ke  dalam
tanaman dikotil. Dubey dan Ko 2006 melaporkan terdapat sebanyak 136 spesies kutukebul  yang  ditemukan  pada  tanaman dikotil,  sedangkan  sebanyak  17  spesies
ditemukan  pada  tanaman  monokotil.  Kelompok  tanaman  buah-buahan  juga umumnya  merupakan  jenis  tanaman  tahunan  yang  dapat  menyediakan  sumber
makanan  dan  tempat  hidup  yang  lebih  lama  bagi  kutukebul.  Oleh  karena  itu, kutukebul  lebih  banyak  ditemukan  pada  tanaman  berkayu  pepohonan  daripada
tanaman sayuran, tanaman hias, dan tanaman-tanaman lain yang memiliki struktur yang sederhana.
Tanaman  yang  memiliki  struktur  sederhana,  seperti  tanaman  hias  dan sayuran  biasanya  dihuni  oleh  1
−2  spesies  kutukebul.  Tanaman  dengan  struktur kompleks,  seperti  pohon  buah-buahan  atau  jenis  pohon  berkayu  lain  biasanya
merupakan  kelompok  tanaman  tahunan  yang  memiliki  struktur  kompleks sehingga sering ditemukan 3
−4 spesies kutukebul, baik dalam satu pohon maupun satu daun. Adanya beberapa spesies kutukebul yang memanfaatkan tanaman yang
sama  sebagai  tempat  hidupnya  menyebabkan  terjadinya  populasi  campuran  pada satu tanaman tersebut. Sebagai contoh, populasi kutukebul campuran yang terjadi
pada  tanaman  jeruk,  yaitu  antara  A.  citriperdus  dengan  P.  minei  atau  antara  P. minei dengan A. dispersus, dan sebagainya.
Kutukebul dan Musuh Alaminya
Telah  dijelaskan  sebelumnya  bahwa  kutukebul  merupakan  salah  satu kelompok  serangga  yang  dapat  menghasilkan  embun  madu.  Embun  madu  terdiri
dari  komponen-komponen  gula  seperti  fruktosa,  glukosa,  sukrosa,  trehalose  dan melezitose,  serta  beberapa  senyawa  asam  amino.  Pada  dasarnya  sekresi  embun
madu  ditujukan  bagi  semut  yang  berada  di  sekitar  tanaman  untuk  melindungi serangga  dari  musuh  alaminya.  Namun  kadang-kadang  embun  madu  tidak
mengandung  protein  yang  dibutuhkan  oleh  semut  untuk  makanannya  terutama
61 bagi  keturunannya  sehingga  pada  akhirnya  semut  akan  memangsa  kutu  tanaman
penghasil embun madu tersebut. Selain itu, embun madu juga dapat menjadi salah satu sumber makanan bagi serangga lain, di antaranya serangga-serangga predator
seperti  Chrysopidae,  Coccinellidae,  Cantharidae,  Tachinidae,  Syrphidae,  dan berbagai  jenis  Hymenoptera  parasitoid  Schoonhoven  et  al.  1998.  Pernyataan-
pernyataan di atas menjelaskan bahwa terdapat hubungan tritrofik antara tanaman inang,  serangga  herbivora,  dan  musuh  alaminya.  Hal  inilah  yang  dapat  menjadi
salah  satu  faktor  yang  mempengaruhi  keberadaan  dan  kelimpahan  populasi kutukebul di lapangan.
Coccinellidae  merupakan  serangga  predator  yang  bersifat  generalis  dalam memilih  mangsanya.  Sebagai  contoh,  kumbang  M.  sexmaculatus  yang  pada
kenyataannya  memiliki  preferensi  yang  lebih  tinggi  terhadap  kutu  daun  daripada kutukebul.  Preferensi  makan  M.  sexmaculatus  terhadap  kutu  daun  adalah
sebanyak  29.36  individudaun,  diikuti  oleh  kutukebul  20.16  individudaun,  dan trips  17.08  individudaun  Mari  dan  Lohar  2012. Meskipun demikian,  peranan
kumbang  Coccinellidae  dinilai  cukup  penting  sebagai  agens  pengendali  hayati. Hal  ini  dikarenakan  larva  dan  imago  Coccinellidae  berperan  sebagai  predator
serangga, khususnya kelompok kutu tanaman. Selain  Coccinellidae,  ditemukan  pula  belalang  sembah  H.  ovata  di  sekitar
koloni  kutukebul.  Belalang  sembah  terutama  memangsa  imago  kutukebul  yang berterbangan  disekitar  koloninya.  Ditemukan  pula  lalat A.  indicus  yang  termasuk
ke  dalam  famili  Drosophilidae  yang  merupakan  lalat  berukuran  kecil  yang berwarna kekuningan dan memiliki mata berwarna merah. Beberapa spesies larva
lalat Drosophilidae memakan bahan organik seperti buah-buahan yang membusuk dan  cendawan.  Ada  pula  yang  menjadi  pengorok  daun,  dan  beberapa  spesies
lainnya  menjadi  predator  serangga  famili  Coccidae  kutu  tempurung  dan Aleyrodidae  kutukebul.  A.  indicus  terutama  memangsa  kutukebul  Trialeurodes
ricini,  Siphoninus  phyllireae,  dan  Aleurocanthus  spiniferus  Ananthakrishnan 2004.  Hal  ini  juga  sesuai  dengan  hasil  penelitian  Yu  et  al.  2012  yang
menyatakan bahwa  larva A. indicus diketahui merupakan predator dari kutukebul A. dispersus dan Aleurocanthus sp.
62 Selain serangga predator, parasitoid kutukebul juga berperan penting dalam
mengendalikan populasi  kutukebul di lapangan. Parasitoid kutukebul  yang  sering ditemukan  adalah  Eretmocerus  Aphelinidae.  Kutukebul  ini  memang  sering
digunakan  untuk  mengendalikan  kutukebul  di  tanaman  pertanian  Begum  et  al. 2011. Namun keberadaan populasi parasitoid di lapangan dapat dipengaruhi oleh
adanya penggunaan insektisida yang intensif Gullan dan Cranston 2000.
Spesies Kutukebul Invasif
Kutukebul  dapat  berpindah  tempat,  baik  secara  aktif  maupun  pasif. Perpindahan  secara  aktif  dilakukan  dengan  cara  terbang  dari  satu  tanaman  ke
tanaman  lain  atau  dari  satu  pertanaman  ke  pertanaman  lainnya.  Saat  ini perpindahan  tempat  kutukebul  lebih  sering  terjadi  secara  pasif  melalui
perpindahan  material  tanaman  yang  terjadi  pada  kegiatan  perdagangan  produk- produk  pertanian  secara  internasional  sehingga  penyebarannya  semakin  meluas.
Pada  akhirnya  kutukebul  dapat  menyebabkan  permasalahan  pada  pertanaman  di tempat  yang  baru.  Hal  ini  biasanya  terjadi  pada  spesies-spesies  kutukebul  yang
mampu  beradaptasi  dengan  kondisi  lingkungan,  terutama  iklim,  di  tempat  yang baru yang kemungkinan mirip dengan kondisi di daerah asalnya.
A.  dipersus  dan  A.  dugesii  merupakan  contoh  spesies  kutukebul  yang bersifat invasif di Indonesia. Kedua spesies tersebut merupakan serangga asli dari
kawasan Amerika Selatan, Amerika bagian tengah, dan kepulauan Karibia Gullan dan  Martin  2003.  Keberadaan  A. dispersus di  Indonesia  dilaporkan  pertama  kali
pada tahun 1991 Kajita et al. 1991. A. dugesii juga merupakan spesies kutukebul yang  relatif  baru  diketahui  di  Indonesia.  Spesies  ini  pertama  kali  diketahui  di
Bogor  pada  tahun  2007  Hidayat  dan  Watson  2008.  Hingga  saat  ini,  A.  dugesii sudah menyebar luas di beberapa daerah di Jawa Barat. Selain A. dugesii, spesies
kutukebul  yang  berstatus  sebagai  spesies  invasif  di  beberapa  negara  adalah Paraleyrodes  minei  Iaccarino.  Spesies  ini  baru  diketahui  keberadaannya  di
Indonesia  pada  tahun  2011  adalah  P.  minei  Nurulalia  et  al.  2012.  Spesies  ini memiliki  kisaran  tanaman  inang  yang  relatif  spesifik.  Berdasarkan  hasil
pengambilan sampel, P. minei ditemukan pada tanaman jeruk, alpukat, dan jambu air.  P.  minei  merupakan  serangga  asli  di  kawasan  Amerika  bagian  tengah  yang
63 menyerang  tanaman  jeruk  dan  menyebabkan  kerugian  secara  ekonomi.
Selanjutnya kutukebul ini dilaporkan menjadi spesies invasif di  pertanaman jeruk di Syria CDFA 1991. Pada tahun 2009, IITA juga menetapkan status kutukebul
ini sebagai spesies invasif di Afrika. Menurut Martin 2011, komunikasi pribadi, saat ini P. minei menyebar dengan cepat di berbagai wilayah di Asia, di antaranya
Hongkong  dan  Malaysia.    Menyikapi  hal  tersebut,  diperlukan  kewaspadaan  dan upaya  identifikasi  yang  akurat  untuk  mencegah  masuknya  spesies-spesies
serangga baru ke Indonesia. Seringkali  data-data  yang  ada  di  pihak  karantina  tidak  diperbaharui  secara
terjadwal,  sehingga  spesies-spesies  baru  yang  masuk  ke suatu  negara  dapat  luput dari  pengawasan.  Sebagai  contoh,  kutukebul  Bemisia argentifolii  tidak  termasuk
ke  dalam  daftar  hama  karantina  sehingga  dapat  lolos  dalam  proses  karantina, sedangkan  spesies  ini  sebenarnya  adalah  Bemisia  tabaci  biotipe-B  yang  dapat
menularkan  penyakit  tanaman  Watson  2007.  Oleh  karena  itu,  pengetahuan mengenai  deskripsi  dan  identifikasi  yang  akurat  sangat  diperlukan  untuk
meningkatkan  kewaspadaan  terhadap  masuknya  spesies-spesies  hama  baru  ke suatu negara Martin 2008.
Kesimpulan
Jumlah  spesies  kutukebul  terbanyak  ditemukan  di  dataran  rendah  yang berbanding  lurus  dengan  indeks  keanekaragamannya.  Keanekaragaman  spesies
kutukebul  tertinggi  terdapat  pada  dataran  rendah,  sebaliknya  dominasi  spesies kutukebul  terjadi  pada  dataran  tinggi.  Spesies  kutukebul  yang  mendominasi
adalah  A.  dispersus  dan  A.  dugesii  yang  dapat  ditemukan  pada  semua  kisaran ketinggian  tempat.  Berdasarkan  jumlah  spesies  kutukebul  yang  ditemukan,
ternyata  wilayah  pengambilan  sampel  pada  dataran  rendah  mirip  dengan  dataran sedang sebesar 64. Pada tanaman buah-buahan  yang memiliki struktur tanaman
yang  kompleks  ditemukan  lebih  banyak  spesies  kutukebul  dibandingkan  dengan tanaman  yang  memiliki  struktur  sederhana.  Musuh  alami  kutukebul  yang
ditemukan diantaranya berasal dari famili Coccinellidae, Mantidae, Drosophilidae, Aphelinidae, dan Encyrtidae.
64
Daftar Pustaka
Ananthakrishnan  TN.  2004.  General  Applied  Entomology.  2
nd
ed.  New  Delhi IN: Tata McGraw Hill Publishing Company Ltd.
Begum S, Anis SB, Farooqi MK, rehmat T, Fatma J. 2011. Aphelinid parasitoids Hymenoptera:  Aphelinidae  od  whiteflies  Homoptera:  Aleyrodidae  from
India. Biology and Medicine 32:222-231. [CDFA]    California  Department  of  Food  and  Agriculture. 1991.  California  Pest
Plant and  Disease  Report [internet], [diunduh 2011 Des 12]; 101-2:1-29. Tersedia  pada:  http:www.cdfa.ca.govplantppdPDFCPPDR_1991_10_1-
2.pdf. Dubey AK, Ko CC. 2006. Toward an understanding of host plant associations of
whiteflies  Hemiptera:  Aleyrodidae:  an  evolutionary  approach.  Formosan Entomol.  [internet],  [diunduh  2012  Ags  29];  26:  197-201.  Tersedia  pada:
http:140.112.100.38chinesepublicationjournalpdft260226-2-09.pdf. Goulet H, Huber JT. 1993. Hymenoptera of The World: An Identification Guide to
Families. Canada: Canada Communication Group. Gullan  PJ,  Cranston  PS.  2000.  The  Insect:  An  Outline  of  Entomology.  2
nd
Ed. London UK: Blackwell Science Ltd.
Gullan  PJ,  Martin  JH.  2003.  Sternorrhyncha  Jumping  Plant  Lice,  Whiteflies, Aphids,  and  Scale  Insects.  Resh  VH,  Carde  RT.  2003.  Encyclopedia  of
Insect. US: Elsevier Inc. Grissell  EE,  Schauff  ME.  1990.  A  Handbook  of  The  Families  of  Nearctic
Chalcidoidea  Hymenoptera.  Washington  US:  The  Entomological Society of Washington.
Hidayat  P,  Watson  GW.  2008.  Recognition  of  Giant  Whitefly,  Aleurodicus dugesii  Cockerell  Hemiptera:  Aleyrodidae,  a  Potential  Pest  Newly
Introduced  to  Indonesia. Poster  Seminar  Nasional  V  Perhimpunan Entomologi
Indonesia PEI,
Cabang Bogor:
Pemberdayaan Keanekaragaman
Serangga untuk
Peningkatan Kesejahteraan
Masyarakat. LIPI Cibinong, Bogor, 2008 Mar 2008. Hodkinson  ID.  2005.  Terrestrial  insects  along  elevation  gradients:  species  and
community responses to altitude. Biol. Rev. 80:489-513. Doi: .... Idris AB, Nor SM, Rohaida R. 2002. Study on diversity of insect communities at
different  altitudes of  Gunung  Nuang  in  Selangor, Malaysia.  J  of  Biological Sciences  [internet],  [diunduh  2012  Jul  10];  27:505-507.  Tersedia  pada:
http:docsdrive.compdfsansinetjbs2002505-507.pdf. Kajita  H,  Samudra  IM,  Naito  A.  1991.  Discovery  of  the  spiraling  whitefly
Aleurodicus  dispersus  Russell  Homoptera:  Aleyrodidae  from  Indonesia, with  notes  on  its  host  plants  and  natural  enemies.  Japanese  Society  of
Applied Entomology and Zoology [internet], [diunduh 2011 Jun 23]; 26:397- 400.    Tersedia  pada:  http:ci.nii.ac.jpels110001105211.pdf?id=ART0001
268496type=pdflang=enhost=ciniiorder_no=ppv_type=0lang_s w=no=1308798020cp=
Lapidot  M,  Polston  JE.  2010.  Biology  and  Epidemiology  of  Bemisia-Vectored Viruses. Di dalam: Stansly PA, Naranjo SE, editor. Bemisia: Bionomics and
Management of a Global Pest. New York US: Springer. hlm 227-231.
65 Lawton  JH.  1983.  Plant  architecture  and  the  diversity  of  phytophagous  insects.
Annual  Review  of  Entomology  28:23-39.  DOI:  10.1146annurev.en. 28.010183.000323.
Magurran  AE.  1988.  Ecological  Diversity  and  Its  Measurement.  New  Jersey US: Princeton University Press.
Mari  JM,  Lohar  MK.  2012.  Interrelationship  between  zigzag  beetle  Menochilus sexmaculatus  with  sucking  insect  pests  in  chili  ecosystem.  Minia
International  Conference  for  Agriculture  and  Irrigation  in  the  Nile  Basin Countries, 26th -29th March 2012, El-Minia, Egypt.
Martin  JH.  2008.  A  revision  of  Aleurodicus  Douglas  Sternorrhyncha, Aleyrodidae, with two new genera proposed for palaeotropical  natives and
an  identification  guide  to  world  genera  of  Aleurodicinae.  Zootaxa  1835:1- 100.
Martin JH. 2011. Komunikasi Pribadi [15 Desember 2011]. Nurulalia  L,  Hidayat  P,  Buchori  D.  2012.  Hama  baru  kutukebul  Paraleyrodes
minei  Iaccarino  Hemiptera:  Aleyrodidae  di  Jawa.  Prosiding  Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia PEI; 2012 Jan 24-25; Bogor.
Bogor ID: PEI.  hlm 110.
Purbosari  S.  2008.  Neraca  Kehidupan  Kutukebul  Bemisia  tabaci  Genn. Hemiptera:  Aleyrodidae pada  Suhu 23,  Ruang, dan  29°C  [skripsi].  Bogor
ID:  Departemen  Proteksi  Tanaman,  Fakultas  Pertanian,  Institut  Pertanian Bogor.
[QGIS]  Quantum  Geographic  Information  Systems.  2012.  Versi:  1.7.3-Wroclaw. Tersedia pada: http:qgis.org.
Schoonhoven  LM,  Jermy  T,  van  Loon  JJA.  1998.  Insect-Plant  Biology:  From Physiology to Evolution. London UK: Chapman and Hall.
Watson  GW.  2007.  Identification  of  whiteflies  Hemiptera:  Aleyrodidae.  APEC Re-entry Workshop on Whiteflies and Mealybugs, Kuala Lumpur, Malaysia,
2007 Apr 16-26. Institute of Biological Sciences, University Malaya. Yu  G,  Wu  L,  Lu  J,  Chen  H.  2012.  Discovery  of  a  predaceous  drosophilid
Acletoxenus  indicus  Malloch  in  South  China,  with  descriptions  of  the taxonomic,  ecological  and  molecular  characters  Diptera:  Drosophilidae
[abstrak].  Journal  of  Natural  History  [internet];  465-6.  Tersedia  pada: http:www.tandfonline.comdoiabs10.108000222933.2011.639466.
66
67
BAB V PEMBAHASAN UMUM