Produksi Perikanan Tangkap Kebijakan Ekonomi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Cakalang Di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah

R 2 = 0.1852 dimana dalam setiap tahunnya diperkirakan akan mengalami peningkatan sebesar 5.8352 ton per trip Gambar 20a. Produktivitas per unit alat tangkap pancing tonda selama priode 2007-2013 mengalami fluktuatif dimana produktivitas tertinggi dicapai pada tahun 2011 sebesar 2.99 ton dan produktivitas terendah pada tahun 2013 sebanyak 1.59 ton. Penurunan produktivitas tangkapan pada tahun 2013 dipengaruhi oleh penurunan jumlah trip yang hanya mencapai 191 trip per unit. Perkembangan produktivitas pancing tonda selama tahun 2007 sampai dengan 2013 cenderung menurun mengikuti persamaan trend y = 274.15-0.1351x dengan nilai koefisien determinan R 2 = 0.3893 yang berarti dalam setiap tahunnya diperkirakan akan mengalami penurunan produksi sebesar 0.1351 ton per unit Gambar 20b. Gambar 20 Produktivitas per unit alat tangkap purse seine dan pancing tonda tahun 2007-2013 285,99 293,72 279,68 275,81 292,52 362,82 290,10 y = 5,8352x - 11431 R² = 0,1805 - 50,00 100,00 150,00 200,00 250,00 300,00 350,00 400,00 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 P ro d u k ti v it a s P S T o n U n it Tahun a Purse Seine Linear Purse Seine 2,60 2,69 2,81 2,67 2,99 2,22 1,59 y = -0,1351x + 274,15 R² = 0,3893 - 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 3,00 3,50 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 P ro d u k ti v it a s P T T o n U n it Tahun b Pancing Tonda Linear Pancing Tonda ANALISIS NILAI TUKAR PETANI DAN NELAYAN Saat ini Nilai Tukar Petani NTP dan Nilai Tukar Nelayan NTN merupakan salah satu idikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan yang menjadi sasaran RPJMN 2010-2014. Menurut Basuki et al 2001 selama ini upaya untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani dan nelayan masih menggunakan indikator perubahan pendapatan. Selanjutnya dikatakan indikator demikian kurang tepat dan menyesatkan untuk menggambarkan secara tepat perbaikan kesejahteraan karena belum membandingkan dengan pengeluaran untuk kebutuhan konsumsi keluarganya. Nilai tukar petani dan nelyan adalah rasio antara indeks total pendapatan terhadap indeks total pengeluaran rumah tangga petani dan nelayan selama waktu tertentu. Menurut Basuki et al. 2001 secara konsep nilai tukar menyatakan tingkat kemampuan tukar atas barang-barang produk yang dihasilkan petani dan nelayan di pedesaan terhadap barangjasa yang dibutuhkan untuk konsumsi rumah tangga dan keperluan dalam proses produksi. Secara umum, Kabupaten Parigi Moutong terdiri dari 23 kecamatan dan 22 kecamatan memiliki wilayah pesisir dan laut. Pemilihan kecamatan yang dijadikan sampel dalam penelitian adalah kecamatan yang merupakan basis tempat pendaratan ikan yaitu kecamatan Parigi Selatan Desa Boyantongo, Parigi Tengah Desa Petapa, Parigi Kelurahan Kamonji, Ampibabo Desa Paranggi, dan Moutong Desa Moutong. Pemilihan sampel petani dan nelayan diambil dari masing-masing kecamatan berdasarkan kriteria petani dan nelayan yang ada di kecamatan tersebut Tabel 18. Tabel 18 Kriteria pemilihan sampel petani dan nelayan di Kab. Parigi Moutong No. Kriteria Petani Nelayan 1. Petani padi sawah yang dijadikan sampel adalah petani yang memiliki luas lahan lebih dari 1 Ha Lampiran 1. Nelayan yang dijadikan sampel bermukim di lokasi TPI. 2. Petani cacao yang dijadikan sampel adalah petani yang memiliki luas lahan lebih dari 1 Ha Lampiran 1. Juraganpemilik kapal purse seine yang dijadikan sampel hanya memiliki satu buah kapal. 3. Buruh tani yang dijadikan sampel tidak memiliki lahan pertanianperkebunan. ABK yang dijadikan sampel diambil dari kapal purse seine 5 GT dan 10 GT. 4. Petani dan buruh tani yang dijadikan sampel telah berumah tangga. Setiap nelayan baik pemilik kapal purse seine, ABK dan nelayan pancing tonda yang dijadikan sampel telah berumah tangga. 5. Petani dan buruh tani yang dijadikan sampel adalah bermukim di wilayah pesisir. Nelayan pancing tonda yang dijadikan sampel adalah nelayan perahu motor tempel. Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga Petani dan Nelayan Berdasarkan kriteria petani dan nelayan maka jumlah responden yang dijadikan sampel dalam penelitian ini sebanyak 110 orang Lampiran 2. Tingkat kesejahteraan rumah tangga petani dan nelayan di Kabupaten Parigi Moutong secara ekonomi dapat dilihat melalui besar kecilnya pendapatan yang diterima oleh rumah tangga tersebut. Berdasarkan hasil penelitian antara musim panen dan musim panceklik, semakin besar pendapatan petani dan nelayan maka semakin banyak kebutuhan yang dapat dipenuhi Tabel 19. Rata-rata pendapatan petani dan nelayan pada musim panen mengalami peningkatan sebesar 64,72 sedangkan pengeluaran mencapai 73,40 dan keuntungan sebesar 32,31. Jika harga kebutuhan pokok naik, maka daya beli masyarakat pun menurun pada hampir semua rumah tangga yang dijadiakan sampel penelitian. Kondisi seperti ini lebih dirasakan pada kalangan rumah tangga miskin khususnya nelayan pancing tonda, nelayan ABK dan buruh tani. Hal demikian memaksa mereka lebih banyak menekan pengeluaran dan menggunakan skala prioritas dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Karena keterbatasan tersebut, maka sangat wajar apabila rumah tangga khususnya yang mengalami penurunan standar hidup secara drastis akan mengambil tindakan dengan memberikan prioritas utama pada pengeluaran untuk makanan. Dengan demikian, rumah tangga yang berpendapatan rendah akan menggunakan sebagian besar pendapatan mereka untuk konsumsi makanan. Tabel 19 Rataan pendapatan, pengeluaran dan keuntungan responden penelitian berdasarkan musim dan jenis usaha di Kabupaten Parigi Moutong No. Responden Pendapatan Pengeluaran Keuntungan Musim Panen Musim Panceklik Musim Panen Musim Panceklik Musim Panen Musim Panceklik 1. Pemilik Kapal PS 12.366.667 7.186.667 9.673.333 6.346.667 5.166.667 2.636.667 2. Nelayan PT 792.000 592.000 696.000 542.800 96.000 49.200 3. ABK-PS 1.300.000 792.000 1.083.000 723.900 217.000 68.100 4. Petani Padi Sawah 30.600.000 25.100.000 22.540.000 23.275.000 8.060.000 1.825.000 5. Petani Cacao 5.957.500 3.007.500 4.595.500 2.678.000 1.362.000 329.500 6. Buruh Tani 1.297.000 804.867 1.147.300 784.867 149.700 20.000 Keterangan : PT = Pancing Tonda; ABK = Anak Buah Kapal; PS = Purse Seine Sumber: Hasil analisis data 2015. Kemampuan Nilai Tukar Petani dan Nelayan Berdasarkan Tabel 16 di atas, selanjutnya dilakukan analisis nilai tukar petani dan nelayan berdasarkan jenis usaha pada musim panen dan musim panceklik untuk mengetahui tingkat kesejaheraan. NTP dan NTN merupakan salah satu indikator untuk mengukur tingkat kesejateraan dalam memenuhi kehidupan subsistennya. Menurut Basuki et al. 2001 kriteria besaran NTP dan NTN yang diperoleh dapat lebih rendah, sama atau lebih tinggi dari satu. Jika NTN lebih kecil dari satu berarti keluarga petani dan nelayan mempunyai daya beli lebih rendah untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan berpotensi untuk mengalami defisit anggaran rumah tangganya. Jika NTP dan NTN berada disekitar angka satu, berarti keluarga nelayan hanya mampu mencukupi kebutuhan subsistennya. Sebaliknya jika NTN berada di atas satu, berarti keluarga petani dan nelayan mempunyai tingkat kesejahteraan cukup baik untuk memenuhi kebutuhan subsistennya dan mempunyai potensi untuk mengkonsumsi kebutuhan sekunder atau tersiernya, atau menabung dalam bentuk investasi barang. Pengeluaran subsisten rumah tangga petani dan nelayan dapat diklasifikasikan sebagai : a konsumsi harian makanan dan minuman; b konsumsi harian non makanan dan minuman; c pendidikan; d kesehatan; e perumahan; f pakaian; dan g rekreasi. Hasil analisis NTP dan NTN di Kabupaten Parigi Moutong berdasarkan jenis usaha selama periode musim panen dan musim panceklik tahun 2014 berada di atas satu Gambar 27. Hal ini berarti bahwa penerimaan keluarga petani dan nelayan saat ini sudah mampu memenuhi seluruh kebutuhan hidup subsistennya, walaupun pada situasi musim panceklik kebutuhan proses produksi dilakukan penekanan pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan konsumsi. Rata-rata NTP dan NTN di Kabupaten Parigi Moutong bedasarkan musim pada tahun 2014 bahwa pemilik kapal purse seine memiliki nilai tukar sebesar 1.21060, nelayan pancing tonda sebesar 1.11391 dan ABK purse seine sebesar 1.15005 sedangkan untuk nilai tukar petani berdasarkan jenis usaha nilai tukar petani padi sawah sebesar 1.24622, petani cacao sebesar 1.21104 dan nilai tukar buruh tani sebesar 1.07850 Gambar 21. Keterangan : PK = Pemilik Kapal; NPT = Nelayan Pancing Tonda; ABK = Anak Buah Kapal; PS = Purse Seine; PPS = Petani Padi Sawah; PCC = Petani Cacao; BTN = Buruh Tani. Gambar 21 Rataan NTN dan NTP berdasarkan musim dan jenis usaha di Kab. Parigi Moutong Indeks Nilai Tukar Petani dan Nelayan Perkembangan nilai tukar petani dan nelayan di Kabupaten Parigi Moutong dapat ditunjutkan dalam nilai indeks. Indeks nilai tukar adalah rasio antara indeks total pendapatan terhadap indeks total pengeluaran rumah tangga petani dan nelayan selama waktu tertentu. Jika indeks NTP dan NTN 100 artinya kemampuan atau daya beli petani dan nelayan lebih baik dibanding keadaan pada tahun dasar; jika indeks NTP dan NTN = 100 artinya kemampuan atau daya beli petani dan nelayan sama dengan keadaan pada tahun dasar; dan apabila indeks NTP dan NTN 100 artinya kemampuan atau daya beli petani dan nelayan menurun dibanding keadaan pada tahun dasar. Hasil penelitian menunjukan bahwa INTP dan INTN berdasarkan jenis usaha selama periode musim panen dan musim panceklik di atas 100 pada tahun 2014. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kemampuan daya beli masyarakat lebih baik daripada tahun dasar. Pada musim panen indeks nilai tukar tertinggi berdasarkan jenis usaha masyarakat di Kabupaten Parigi Moutong yaitu petani PK-PS NPT ABK-PS PPS PCC BTN Musim Panen 1,28215 1,13760 1,20116 1,33691 1,29730 1,13098 Musim Panceklik 1,13906 1,09021 1,09895 1,19154 1,12478 1,02602 Rataan 1,21060 1,11391 1,15005 1,26422 1,21104 1,07850 0,00000 0,20000 0,40000 0,60000 0,80000 1,00000 1,20000 1,40000 1,60000 N il a i T u k a r P e ta n i N e la y a n Nilai Tukar Petani Nelayan Berdasarkan Jenis Usaha di Kab. Parimo Tahun 2014 padi sawah dengan indeks nilai tukar sebesar 135.76 sedangkan pada musim panceklik sebesar 107.84 dengan indeks nilai tukar rata-rata sebesar 121.80. Penurunan nilai indeks yang sangat signifikan disebabkan oleh faktor cuaca atau iklim. Berdasarkan hasil penelitian pengeluaran pada musim panas lebih besar daripada musim hujan. Hal ini disebabkan keterbatasan suplai air dan serangan hama, sehingga membutuhkan perawatan yang lebih intensif terhadap tanaman. Pada sektor perikanan indeks nilai tukar tertinggi diperoleh nelayan pemilik kapal purse seine sebesar 127.84 pada musim panen dan 113.24 pada musim panceklik dengan indeks nilai tukar rata-rata sebesar 120.54. Perbedaan nilai indeks petani padi sawah dan nelayan pemilik kapal purse seine pada musim panen dan panceklik disebabkan faktor pengeluaran biaya operasional melaut yang tidak tetap. Faktor pengeluaran tersebut dipengaruhi oleh daerah fishing ground yang semakin jauh dan membutuhkan biaya yang lebih tinggi. Sementara disektor pertanian biaya produksinya dapat dikontrol berdasarkan tingkat kebutuhan tanaman dan luas lahan. Indeks nilai tukar petani dan nelayan pada musim panen dan panceklik berdasarkan jenis usaha secara rinci dapat dilihat pada Gambar 22. Keterangan : PK = Pemilik Kapal; NPT = Nelayan Pancing Tonda; ABK = Anak Buah Kapal; PS = Purse Seine; PPS = Petani Padi Sawah; PCC = Petani Cacao; BTN = Buruh Tani. Gambar 22 Rataan nilai indeks NTP dan NTN berdasarkan jenis usaha di Kabupaten Parigi Moutong PK-PS NPT ABK-PS PPS PCC BTN Musim Panen 127,84 113,79 120,04 135,76 129,64 113,05 Musim Panceklik 113,24 109,06 109,41 107,84 112,30 102,55 Rataan 120,54 111,43 114,72 121,80 120,97 107,80 0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00 140,00 160,00 In d ek s N T P N T N Indeks NTP NTN Berdasarkan Jenis Usaha di Kab. Parimo Tahun 2014 BIOEKONOMI PERIKANAN CAKALANG Standardisasi Alat Tangkap Dalam menganalisis perikanan tangkap terlebih dahulu perlu dilakukan standardisasi alat tangkap sehingga dapat dijumlahkan total effort dari perikanan tangkap yang dianalisis. Standarisasi upaya penangkapan bertujuan menyeragamkan upaya penangkapan effort dari beberapa jenis alat tangkap yang dijadikan satu jenis alat tangkap yang menjadi standar. Nilai effort standar didapat dari hasil perkalian effort dengan nilai FPI fishing power indeks dari setiap alat tangkap yang diteliti. Menurut Gulland 1969 diacu oleh Sobari et al. 2009 standarisasi alat tangkap dilakukan dengan tujuan dapat dijadikan alat ukur terhadap tingkat kemampuan pemanfaatan suatu alat tangkap dan juga sebagai salah satu indikator terhadap pemanfaatan sumberdaya ikan secara maksimal yang diharapkan tidak mengganggu potensi lestari sumberdaya ikan yang ada. Penentuan standardisasi dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan jumlah effort per tahun dari alat tangkap purse seine dan pancing tonda. Alat tangkap yang digunakan sebagai baseline adalah purse seine dengan pertimbangan alat tangkap tersebut memiliki catch per unit effort CPUE yang tinggi dalam setiap kali penangkapan dan memberikan kontribusi yang paling besar terhadap hasil tangkapan ikan cakalang di Kabupaten Parigi Moutong. Hasil standarisasi alat tangkap dan produksi ikan cakalang dari alat tangkap pancing tonda dan purse seine dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Keragaan produktivitas ikan cakalang berdasarkan alat tangkap puse seine dan pancing tonda di Kab. Parimo periode 2007-2013 Tahun Produksi Ton Effort Trip CPUE FPI PT Effort PT SDT Effort SDT Total PS PT Total PS PT PS PT 2007 2.368,66 1.639,20 4.007,86 9.732 636.320 0,243389 0,00258 0,010584 6.735 16.467 2008 2.495,93 1.219,20 3.715,13 9.658 681.231 0,258431 0,00179 0,006925 4.718 14.376 2009 2.012,32 1.534,24 3.546,56 8.872 660.432 0,226817 0,00232 0,010242 6.764 15.636 2010 2.803,36 1.652,94 4.456,31 8.664 670.432 0,323565 0,00247 0,007620 5.109 13.773 2011 2.663,58 1.089,71 3.753,29 9.234 683.274 0,288453 0,00159 0,005529 3.778 13.012 2012 2.956,57 1.786,53 4.743,10 10.017 690.960 0,295155 0,00259 0,008760 6.053 16.070 2013 3.072,81 1.681,09 4.753,90 6.957 374.724 0,441687 0,00449 0,010157 3.806 10.763 Keterangan : PT = Pancing Tonda, PS = Pusre Seine, STD = Standar Sumber: Hasil analisis data 2015 Produksi pada prinsipnya merupakan output dari kegiatan penangkapan, sedangkan upaya effort merupakan input dari kegiatan penangkapan itu sendiri. Perbandingan antara output dengan input dalam istilah ekonomi merupakan tingkat efisiensi dari setiap penggunaan input, atau dengan kata lain hasil tangkapan per unit upaya penangkapan catch per unit effort atau CPUE dapat dijadikan indikator tingkat produktifitas dan efesiensi teknis dari suatu penggunaan effort, dimana semakin tinggi nilai CPUE, maka tingkat efesiensi penggunaan effort semakin baik, dan juga berarti produktivitas semakin tinggi. Gambar 23 Hubungan antara jumlah produksi, effort dan CPUE ikan cakalang di Kab. Parigi Moutong periode 2007-2013 Pada Gambar 23 di atas menunjukkan jumlah produksi ikan cakalang mengalami fluktuatif, pada tahun 2009 produksi ikan cakalang mengalami penurunan pada tahun 2008, 2009, dan tahun 2011 dengan jumlah produksi masing-masing sebesar 3,715,15 ton, 3.546,56 ton dan 3.753,29 ton. Sedangkan peningkatan jumlah produksi ikan cakalang pada tahun 2010, 2012, dan 2013 dengan jumlah produksi masing-masing sebesar 4.456,31 ton, 4.743,10 ton, dan 4.753,90 ton. Penurunan jumlah produksi ikan cakalang di Kabupaten Parigi Moutong diduga disebabkan penurunan jumlah effort dan CPUE Catch Per Unit Effort pada alat tangkap. Peningkatan CPUE disebabkan oleh meningkatnya jumlah produksi ikan cakalang. Pada Gambar 24 dibawah terlihat hubungan antara CPUE dan dan effort sumberdaya ikan cakalang Katsuwonus pelamis, digambarkan dalam persamaan y = -0.00003x + 0,731, dari persamaan ini diperoleh nilai intersep α sebesar 0,731 dan nilai slope β sebesar -0.00003. Hal ini dapat diartikan bahwa peningkatan aktivitas penangkapan effort akan dapat menurunkan hasil tangkapan CPUE. Gambar 24 Hubungan antara effort dan CPUE ikan cakalang di Kab. Parigi Moutong periode 2007-2013 4.007 ,86 3.715,13 3.546,56 4.4 56,31 3.753,29 4.743,10 4.753,90 16.467 14.376 15.636 13.7 73 1 3.012 16.070 10.763 0,2 4339 0,2584 3 0,22682 0,32356 0,28 845 0,29516 0,44169 - 0,05000 0,10000 0,15000 0,20000 0,25000 0,30000 0,35000 0,40000 0,45000 0,50000 - 2.000,00 4.000,00 6.000,00 8.000,00 10.000,00 12.000,00 14.000,00 16.000,00 18.000,00 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 C P U E T o n P ro d u k si T o n E ff o rt T ri p Tahun Produksi ton Effort SDT CPUE y = -3E-05x + 0,731 R² = 0,7159 - 0,05000 0,10000 0,15000 0,20000 0,25000 0,30000 0,35000 0,40000 0,45000 0,50000 - 2.000 4.000 6.000 8.000 10.000 12.000 14.000 16.000 18.000 C P U E T o n Effort Trip CPUE Linea r CPUE Pendugaan Parameter Biologi Penggunaan suatu metode untuk menentukan parameter biologi tergantung dari ketersediaan data yang baik dan lengkap. Penggunaan metode OLS di dalam model Walter-Hirborn, Schnute, dan Clark-Yoshimoto-Pooley mensyaratkan data harus stasioner. Apabila data yang digunakan tidak baik, maka akan menghasilkan model yang tidak best fit. Model Schaefer merupakan cara sederhana dan paling bisa diterima untuk perikanan di negara berkembang seperti Indonesia Fauzi, 2004. Adapun parameter-parameter biologi yaitu K daya dukung, q koefisien daya tangkap, dan r pertumbuhan intrinsik dapat diketahui dengan menggunakan model Schaefer 1957 dan metode Algoritma Fox 1970. Sebelum melakukan pendugaan parameter biologi ikan cakalang, terlebih dulu diketahui beberapa koefisien regresi yang membentuk fungsimodel untuk menghitung parameter biologi berdasarkan data produksi, effort dan CPUE. Perhitungan parameter-parameter tersebut menggunakan pendekatan yang telah dijelaskan sebelumnya. Hasil pendugaan parameter biologi kemudian digunakan untuk menghitung tingkat pemanfaatan otimum secara biologi dan ekonomi dengan model-model bioekonomi. Penelitian ini menggunakan dua model bioekonomi yaitu model Schaefer 1957, model Algoritma Fox 1975, Koefisien regresi dari masing-masing model disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 Koefisien regresi model bioekonomi yang digunakan untuk menghitung parameter biologi ikan cakalang No. Model Bioekonomi Koefisien Regresi R 2 Adjusted R 2 Significance F 1. Schaefer 0,985714085 0,782856901 0,000131366 2. Algorima Fox 0,715929458 0,65911535 0,01639055 Hasil analisis menujukkan bahwa koefisien regresi dari lima model yang digunakan sangat berbeda satu dengan yang lain. Secara statstik terlihat bahwa model Schaefer memiliki nilai R 2 terbesar dengan nilai significance F terkecil dibandingkan model Algoritma Fox. Nilai singnificance F dari model Schaefer sebesar 0,000131366 secara statistik menjelaskan bahwa hampir 100 model ini dapat digunakan dalam menyatakan hubungan variabel yang diteliti. Untuk lebih jelasnya hasil koefisien regresi dari kedua model tersebut dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 4. Menurut Waileruny 2014 pemilihan model terbaik sesuai kondisi sumberdaya perikanan dalam melaukan analisis selajutnya. Pemilihan model terbaik bukan berarti ada model yang jelek dari model yang ada, namun yang dimaksud terbaik di sini adalah model yang dapat menggambarkan keadaan sebenarnya dari objek yang diteliti. Model terbaik didapatkan melalui goodness of fit suatu model penduga. Penentuan model diantaranya dilakukan dengan membandingkan nilai R 2 -nya dan penyimpangan yang terkecil. Hasil analisis pada Tabel 21 digunakan untuk menghitung parameter- parameter biologi yaitu instrinsic growth r, cathcability coefficient q dan carrying capacity K. Walters dan Hilborn 1976 diacu oleh Waileruny 2014 mengatakan bahwa hal yang biasa terjadi salah tanda dalam mengestimasi parameter fungsi surplus produksi. Akan tetapi, tidak perlu menyarankan itu adalah kegagalan model. Perbedaan koefisien regresi yang ada memberikan nilai yang berbeda juga terhadap parameter biologi yang dihasilkan. Parameter biologi ikan cakalang dari kedua model di atas disajikan pada Tabel 22. Tabel 22 Estimasi parameter biologi ikan cakalang di Kab. Parigi Moutong berdasarkan model Schaefer dan Algoritma Fox Parameter Biologi Satuan Model Schaefer Algoritma Fox Pertumbuhan alami r TonTahun 0.6776 0.5858 Koefisien tangkap q TonTrip 0.0000267 0.0000243 Daya dukung lingkungan K TonTahun 27.360 30.039 Sumber: Hasil analisis data 2015 Estimasi Parameter Ekonomi Dalam kajian bioekonomi parameter ekonomi yang perlu diestimasi adalah faktor biaya dan harga. Pada penelitian ini data biaya penangkapan masing- masing alat tangkap diperoleh dari wawancara dengan responden yang menggunakan alat tangkap purse seine dan pancing tonda yang kemudian dikonversi ke pengukuran riil dengan cara menyesuaikannya dengan Indeks Harga Konsumen IHK guna mengeliminir pengaruh inflasi Tabel 23. Biaya merupakan faktor penting dalam usaha perikanan tangkap, karena besarnya biaya akan mempengaruhi efisiensi dari usaha tersebut. Tabel 23 Data series biaya riil input dan harga riil output sumberdaya ikan cakalang di Kab. Parigi Moutong periode 2007-2013 Tahun IHK Standar 2013 BiayaTrip Rp Real Cost Juta RpTrip Riil Price Juta RpTon Pancing Tonda Purse Seine 2007 95,37 93.910,92 706.863,84 1,28840 11,05 2008 95,37 93.910,92 706.863,84 1,28840 11,05 2009 96,64 95.162,53 716.284,62 1,30557 11,20 2010 96,42 94.942,34 714.627,27 1,30255 11,17 2011 96,64 95.162,53 716.284,62 1,30557 11,20 2012 96,42 94.942,34 714.627,27 1,30255 11,17 2013 100,00 98.471,17 741.188,63 1,35096 11,58 Rataan 96,69 95.214,68 716.677,16 1,30628 11,20 Sumber: Hasil analisis data 2015 Tabel 23 di atas menggambarkan biaya per trip untuk alat tangkap purse seine dan pancing tonda pada periode 2007-2013 mengalami fluktuatif, dimana pada tahun 2010 dan 2012 biaya per trip purse seine dan pancing tonda mengalami penurunan. Penurunan biaya per trip dari kedua alat tangkap tersebut dipengaruhi oleh Indeks Harga Konsumen IHK yang cenderung fluktuatif. Fluktuatifnya nilai IHK per tahunnya juga mempengaruhi nilai harga ikan cakalang setiap tahunnya. Harga ikan cakalan diperoleh dari nilai IHK yang telah distandarisasikan ke tahun 2013 dibagi dengan IHK 2014 kemudian dikalikan dengan rata-rata harga ikan cakalang yang didapatkan dari hasil wawancara. Hasil estimasi parameter ekonomi yaitu harga ikan cakalang p, biaya penangkapan c. Harga ikan cakalang ditentukan berdasarkan rata-rata harga ikan cakalang selama tahun 2007-2013 yaitu sebesar Rp 11.20 juta per ton. Biaya penangkapan c merupakan rata-rata real cost penangkapan purse seine dan pancing tonda selama pada tahun 2007-2013 yaitu hasil yang distandarisasi ke alat tangkap purse seine sebesar Rp 1,30628 juta per ton. Pendugaan Produksi Lestari Ikan Cakalang Produksi lestari adalah tingkat produksi yang tidak mengancam kelestarian sumberdaya ikan atau dapat dikatakan, bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan tersebut dapat berkelanjutan. Parameter biologi dari model Schaefer digunakan untuk menduga produksi lestari berdasarkan persaman yang ada dan dari hasil perhitungan dibuat kurva produksi lestari sutainable yield-effort curve. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada tahun-tahun tertentu produksi aktual lebih tinggi dari produksi lestari, sebaliknya ada juga produk lestari lebih tinggi dari produk aktual Gambar 25. Puncak kurva produksi lestari terjadi pada jumlah upaya sekitar 12.000 trip dengan produksi maksimal kurang lebih 4.0000 ton. Produksi lestari mencapai nol saat jumlah upaya sebanyak 24.000 trip. Hal ini menunjukkan bahwa upaya yang dibutuhkan untuk mendapatkan produksi optimum dan tidak mengganggu kelestarian sumber daya perikanan adalah sekitar 12.000 trip. Berapa besar upaya yang tepat untuk mencapai puncak MSY ditentukan pada analisis-analisis berikutnya. Hal yang sama berlaku juga untuk pendugaan jumlah upaya yang memberikan keuntungan sama dengan nol atau tidak ada untung sama sekali. Gambar 25 Sebaran produksi aktual terhadap produksi lestari sumberdaya perikanan cakalang di Kab. Parigi Moutong periode 2007-2013 Gambar 25 di atas menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang di Kab. Parigi Moutong terindikasi sudah mengalami tekanan penangkapan. Walaupun demikian pada analisis ini belum dapat ditentukan apakan sudah mengalami over fishing, berada pada kondisi keseimbangan atau masih under fishing. Kondisi ini akan diketahui pada analisis-analisis berikutnya. Adapun hasil estimasi produksi lestari dengen menggunakan model Schaefer, diketahui tahun 2007, 2010, 2012 dan 2013 produksi aktual melebihi produksi lestari dibandingkan dengan beberapa tahun lainnya Tabel 24. Tabel 24 Produksi aktual dan lestari sumberdaya perikanan Cakalang di Kabupaten Parigi Moutong periode 2007-2013 Tahun Jumlah Effort Trip Produksi Aktual Ton Produksi Lestari Ton 2007 16.466,89 4.007,86 3.803,22 2008 14.375,70 3.715,13 4.233,20 2009 15.636,22 3.546,56 4.005,82 2010 13.772,54 4.456,31 4.307,86 2011 13.011,76 3.753,29 4.370,53 2012 16.069,86 4.743,10 3.905,28 2013 10.763,06 4.753,90 4.350,23 Rataan 14.299,44 4.139,45 4.139,45 Sumber: Hasil analisis data 2015 Keseimbangan Bioekonomi Pemanfaatan Perikanan Cakalang Analisis bioekonomi dilakukan untuk menentukan tingkat pemanfaatan maksimum bagi pelaku pemanfaatan sumberdaya perikanan. Perkembangan usaha perikanan tidak hanya ditentukan dari kemampuan untuk mengekploitasi sumberdaya ikan secara biologis saja, akan tetapi faktor ekonomi sangat berperan penting diantaranya adalah faktor biaya dan harga ikan. Pendekatan analisis secara biologi dan ekonomi merupakan salah satu alternatif yang dapat diterapkan dalam upaya optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap secara berkelanjutan, dengan memasukan faktor ekonomi, maka akan dapat diketahui tingkat optimal dari nilai manfaat atau rente dari pemanfaatan sumberdaya perikanan yang diterima oleh masyarakat nelayan. Oleh karena pemanfaatan sumberdaya perikanan tujuan akhirnya adalah peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat nelayan. Analisis bioekonomi sumberdaya perikanan cakalang dalam penelitian ini dilakukan dalam beberapa kondisi pengelolaan, yang meliputi Maximum Sustainable Yield MSY, Open Access OA, dan Maximum Economic Yield MEY. Untuk mengetahui kondisi pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang di Kabupaten Parigi Moutong dapat diketahui dengan menggunakan pendekatan model Schaefer dan Fox. Dalam menganalisis kedua model tersebut, maka dalam penelitian ini menggunakan program Excel 2007 dan Maple 12. Bioekonomi model Gordon-Schaefer dikembangkan oleh Schaefer menggunakan fungsi pertumbuhan logistik Lampiran 5. Model fungsi pertumbuhan logistik tersebut dikombinasikan dengan prinsip ekonomi, yaitu dengan cara memasukkan faktor harga per satuan hasil tangkap dan biaya per satuan upaya pada persamaan fungsinya. Hasil analisis bioekonomi model Schaefer diketahui produksi maksimum secara biologi h MSY sebesar 4.634 ton per tahun. Keuntungan masksmium diperoleh pada produksi h MEY 4.513 ton per tahun dan keseimbangan perikanan open access h OAY terjadi pada tingkat produksi 2.516 ton per tahun. Jumlah upaya optimum secara bilologi E MSY adalah 12.679 trip per tahun, secara ekonomi E MEY 10.625 trip per tahun dan pada perikanan open access E OAY sebesar 21.251 trip per tahun. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa keseimbangan bilogi h MSY terjadi saat jumlah produksi maksimum mencapai 4.634 ton per tahun dengan jumlah upaya sebanyak 12.679 trip per tahun. Keseimbangan pada kondisi MSY bukan merupakan titik keuntungan maksimum, secara ekonomi keuntungan maksimum terjadi pada jumlah produksi h MEY sebesar 4.513 ton per tahun dengan jumlah upaya sebanyak 10.625 trip per tahun. Status pemanfaatan sumberdaya ikan cakalang di Kabupaten Parigi Moutong berdasarkan hasil analisis bioekonomi model Gordon- Schaefer dapat dilihat pada Tabel 25. Bila dibandingkan dengan kondisi aktual, jumlah upaya aktual telah melebihi tingkat upaya optimal pada kondisi MSY dan MEY. Dengan demikian sangat jelas terlihat bahwa telah terjadi upaya penangkapan yang berlebihan biological overfishing, sedangkan perbandingkan hasil tangkapan aktual dan hasil tangkapan pada rezim pengelolaan MSY belum terjadi kelebihan tangkap. Jumlah upaya optimal pada kondisi OA lebih besar dibandingkan dengan effort pada kondisi MSY dan MEY, hal tersebut mencerminkan pada kondisi OA biaya yang dibutuhkan untuk mencapai keuntungan optimal lestari jauh lebih besar sehingga menimbulkan economic overfishing. Tabel 25 Hasil analisis bioekonomi dalam berbagai rezim pengelolaan sumberdaya ikan cakalang di Kab. Parigi Moutong dengan model Gordon-Schaefer Parameter Satuan Rezim Pengelolaan SDI Cakalang Aktual MEY MSY OAY x Biomassa Ton 15.896 13.680 4.432 - h Produksi Ton 4.513 4.634 2.516 4.139 E Upaya TripThn 10.625 12.679 21.251 14.299 π Rente Ekonomi Miliar Rp 36.459 35.097 27.690 Sumber: Hasil analisis data 2015 MEY adalah konsep ekuilibrium jangka panjang yang mengacu pada tingkat output dan tingkat upaya yang sesuai yang memaksimalkan keuntungan ekonomi dari kegiatan perikanan Dichmont et al 2011; Waileruny 2014. Penangkapan pada titik MEY memberikan keuntungan maksimum secara ekonomi baik kepada pemilik kapal maupun upah buruh, bergantung pada sistem bagi hasil yang digunakan Lopez dan Pascoe 2011; Waileruny 2014. Gambar 26 menjelaskan bahwa kesimbangan pada kondisi open access membutuhkan tingkat effort yang jauh lebih besar dari tingkat effort pada kondisi MSY dan MEY, sehingga kondisi ini akan menimbulkan terjadinya alokasi sumberdaya yang tidak tepat. Tingkat effort yang dibutuhkan untuk kondisi optimal MEY tampak lebih kecil dibandingkan dengan kondisi MSY. Dengan demikian tingkat upaya pada titik keseimbangan MEY terlihat lebih conservative minded lebih bersahabat dengan lingkungan dibandingkan dengan tingkat upaya pada titik keseimbangan MSY. Gambar 26 Hubungan total penerimaan dan biaya operasi penangkapan ikan cakalang di Kabupaten Parigi Moutong dengan Model Gordon- Schaefer Menurut Fauzi 2010 keseimbangan pemanfaatan sumberdaya perikanan pada kondisi open access menjelaskan bahwa surplus manfat ekonomi rente ekonomi yang positif akan menimbulkan daya tarik armada lain untuk berpatisipasi dalam perikanan atau terjadi penambahan input produksi sehingga secara agregat input effort akan bertambah. Proses ini disebut sebagai proses entry dalam kondisi akses terbuka. Hal ini akan terus berlangsung sampai rente ekonomi terkuras dissipated, sebaliknya apabila teradi defisit rente ekonomi dimana biaya lebih besar daripada penerimaan TCTR maka akan terjadi pengurangan input produksi. Selain titik keseimbangan pada kondisi open access kita bisa melihat jika ditarik garis sejajar antara total biaya dan slope kemiringan kurva penerimaan maka akan diperoleh jarak tertinggi antara penerimaan dan biaya. Jarak tersebut menghasilkan manfat ekonomi rente yang paling maksimum. Tingkat input pada keseimbangan ini terjadi pada kondisi E MEY dan input yang dibutuhkan pada kondisi open access dengan rente ekonomi yang nol jauh lebih besar daripada yang dibutuhkan pada keuntungan yang maksimum. Gordon dalam Fauzi 2010b menyebutkan bahwa keseimbangan open access tidak optimal secara sosial not socially optimal karena biaya korbanan yang terlalu besar. Selanjutnya Fauzi 2010a mengatakan dalam prespektif Gordon-Schaefer pengelolaan yang efisien dan optimal secara sosial adalah pada titik E MEY . Titik ini kemudian dalam literatur ekonomi perikanan dikenal sebagai keseimbangan maximum economic yield MEY. Titik keseimbangan MEY bisa diperoleh jika perikanan dikendalikan dengan rezim kepemilikan yang jelas atau sering juga diistilahkan denga rezim sole owner. Optimasi Dinamik Sumberdaya Perikanan Cakalang Menurut Clark 1976 pendekatan statik pada penilaian sumberdaya ikan memiliki kelemahan yang sangat mendasar, yaitu faktor waktu tidak dimasukkan TC π max TR E MEY E MSY E Aktual E OAY MEY MSY Aktual OAY dalam analisis sumberdaya terbarukan, seperti ikan, memerlukan waktu untuk bereaksi terhadap perubahan-perubahan eksternal yang terjadi. Oleh karena itu diperlukan pendekatan dinamik untuk memahami pengelolaan sumberdaya ikan. Model dinamik menyangkut aspek pengelolaan yang bersifat inter temporal, yaitu aspek tersebut dijembatani dengan penggunaan discount rate. Pengelolaan sumberdaya ikan yang optimal dalam konteks model dinamik diartikan sebagai perhitungan tingkat upaya effort dan panen hasil tangkapan yang menghasilkan surplus sosial yang maksimum. Surplus sosial pada kondisi ini diwakili oleh rente ekonomi overtime dari sumberdaya Fauzi 2010a. Perhitungan hasil estimasi parameter biologi dengan model Algoritma Fox dipakai untuk mengkaji status sumberdaya ikan cakalang untuk hasil standarisasi ke alat tangkap purse seine. Hasil estimasi parameter biologi dan ekonomi tersebut digunakan untuk menganalisis dinamika sumberdaya ikan cakalang di Kabupaten Parigi Moutong. Nilai optimal dari suatu sumberdaya perikanan menggunakan lima nilai discount rate yaitu nilai discount rate yang dipakai untuk menilai sumberdaya pada negara-negara berkembang berdasarkan acuan dari bank dunia yang besarnya berkisar antara 10-18 Gittenger 1986, maka dalam analisis ini menggunakan discount rate 10, 12, 15 dan 18 berdasarkan perhitungan dengan menggunakan pendekatan Kula 1984. Hasil analisis bioekonomi untuk nilai optimal dinamik sumberdaya ikan cakalang disajikan pada Tabel 26. Tabel 26 Hasil analisis bioekonomi dinamik sumberdaya ikan cakalang di Kab. Parigi Moutong Parameter Optimal Dinamik i=6 i=10 i=12 i=15 i=18 x BiomasTon 16.373 15.716,95 15.413,28 14.978,59 14.567,83 h ProduksiTon 4.363 4.389,96 4.396,42 4.399,41 4.395,46 E Effort 10.951 11.477 11.721 12.069 12.398 π Miliar Rp 573.534 358.645,84 299.457,20 239.804,49 199.628,13 Sumber: Hasil analisis data 2015 Jumlah input produksi yang digunakan relatif lebih sedikit untuk menghasilkan optimal yield pada discount rate lebih rendah, dibandingkan dengan input produksi pada discount rate yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa semakin rendah discount rate akan mengurangi jumlah input produksi dan ini secara alami akan dapat meningkatkan tingkat optimal yield dari sumberdaya perikanan. Secara umum discount rate yang lebih rendah dapat menghasilkan optimal yield dan optimal biomass yang lebih tinggi, bila dibandingkan menggunakan discount rate yang lebih tinggi. Artinya discount rate yang lebih tinggi akan memacu perburuan sumberdaya lebih ekstraktif dan dampaknya tentu akan mempertinggi tekanan terhadap sumberdaya tersebut. Keadaan ini akan menyebabkan terjadinya degradasi, yang akhirnya menimbulkan kepunahan sumberdaya itu. Sesuai pernyataan Clark C 1990 dalam Anna S 2003 bahwa nilai discount rate yang lebih tinggi akan meningkatkan laju optimal dan eksploitasi sumberdaya terbarukan dan memungkinkan akan terjadinya kepunahan. Tabel 26 memperlihatkan nilai rente masing-masing dari pemanfaatan sumberdaya ikan cakalang, dengan tingkat diskon berbeda. Tingkat discount rate yang tinggi akan menyebabkan terjadinya peningkatan upaya untuk mengekstraksi sumberdaya alam secara berlebihan. Upaya atau input yang berlebihan dalam mengekstraksi sumberdaya tersebut akan menyebabkan biaya untuk memperoleh manfaat dari sumberdaya, juga manjadi lebih tinggi. Berdasarkan Fauzi 2010a bahwa semakin tinggi nilai discount rate yang digunakan, maka akan menyebabkan semakin tinggi pula tingkat eksploitasi dan semakin banyak upaya penangkapan effort dikerahkan, maka akan menyebabkan rente ekonomi yang didiperoleh semakin rendah. Pada nilai discount rate yang tak terhingga ~ menyebabkan pemanfaatan sumberdaya perikanan di suatu negara mengarah ke kondisi open access, sedangkan semakin rendah nilai discount rate yang digunakan, maka akan menyebabkan semakin rendah tingkat eksploitasi. Semakin rendah effort maka rente ekonomi yang didiperolah semakin tinggi dan pada nilai discount rate sama dengan nol 0, maka menyebabkan pengelolaan pemanfaatan sumberdaya perikanan di suatu negara identik dengan pengelolaan dalam kondisi Maximum Economic Yield MEY. Hubungan tingkat discount rate dan rente ekonomi optimal dinamik pada sumberdaya ikan cakalang di Kabupaten Parigi Moutong menunjukkan tingkat discount rate yang tinggi akan mendorong semakin lajunya tingkat effort dan sebaliknya tingkat discount rate yang rendah akan memperlambat laju tingkat effort. Peningkatan upaya yang berlebihan akan mengakibatkan peningkatan terhadap biaya yang dikeluarkan. Hal ini berimplikasi terhadap laju degradasi sumberdaya ikan cakalang yang semakin cepat Gambar 27. Gambar 27 Hubungan tingkat discount rate dan rente ekonomi optimal dinamik sumberdaya ikan cakalang Dengan memperhatikan kondisi di atas, berdasarkan hasil analisis bioekonomi, maka konsep pengelolaan menurut Smith 1987 dapat gunakan sebagai alternatif kebijakan dalam menyelesaikan permasahan perikanan di Kab. Parimo. Menurut Smith 1987 diacu oleh Muhammad 2011 menyatakan pilihan kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan secara maksimum berkelanjutan pada kondisi MSY Maximum Sustainable Yield untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu: 1. Kebijakan jangka pendek, yaitu: perbaikan teknologi, subsidi faktor produksi atau peningkatan harga ikan. 2. Kebijakan jangka panjang, yaitu: meningkatkan sumber pendapatan alternatif bagi rumah tangga nelayan, sehingga tekanan penangkapan ikan dapat - 100.000 200.000 300.000 400.000 500.000 600.000 700.000 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 R e n te E k o n o m i S D I C a k a la n g J u ta R p Tingkat Discount Rate SDI Cakalang berkurang dengan cara mengurangi jumlah nelayan atau armada penangkapan ikan. Analisis degradasi dan depresiasi sumberdaya perikanan cakalang Menurut Fauzi dan Anna 2005 bahwa degradasi diartikan sebagai penurunan kualitas dan kuantitas sumberdaya alam yang dapat diperbaharukan renewable resources sedangkan depresiasi diartikan untuk mengukur perubahan nilai monter dari pemanfaatan sumberdaya alam. Jika nilai koefisien degradasi suatu sumberdaya tersebut berada pada kisaran toleransi 0–0.5, maka sumberdaya tersebut belum mengalami degradasi. Laju degradasi sumberdaya ikan cakalang di Kabupaen Parigi Moutong diperoleh rata-rata pertahun sebesar 0.267 ton. Nilai terbesar laju degradasi terjadi pada tahun 2012 yakni sebesar 0.305 ton. Hasil analisis laju degradasi sumberdaya ikan cakalang dapat dilihat pada Tabel 27 berikut. Tabel 27. Laju degradasi dan depresiasi sumberdaya ikan cakalang Tahun Laju Degradasi Ton Bench Marking Laju Depresiasi Juta Rp 2007 0,279 0,5 0,289 2008 0,242 0,5 0,222 2009 0,244 0,5 0,220 2010 0,276 0,5 0,279 2011 0,238 0,5 0,218 2012 0,305 0,5 0,330 2013 0,286 0,5 0,292 Rataan 0,267 0,5 0,264 Sumber : Hasil analisis 2015 Nilai tersebut menunjukkan bahwa sumberdaya ikan cakalang di Kabupaten Parigi Moutong belum mengalami tekanan yang cukup besar. Hal tersebut terlihat pada Gambar 28 dimana laju degradasi masih dibawah garis Bench Markingnya. Demikian juga laju depresiasi sumberdaya ikan cakalang juga masih dibawah batas toleran atau garis Bench Markinrg. Rata-rata laju depresiasi sumberdaya ikan cakalang sebesar Rp. 0.264 juta dan nilai laju depresiasi mengalami peningkatan pada tahun 2012 sebesar Rp. 0.330 juta. Peningkatan laju degradasi dan depresiasi pada tahun 2012 tersebut dikarenakan semakin meningkatnya aktivitas penangkapan ikan cakalang di perairan Kabupaten Parigi Moutong yang ditandai dengan tingginya jumlah effort dari alat tangkap purse seine dan pancing tonda masing-masing sebesar 10.017 dan 690.960 trip. Gambar 28 Laju degradasi dan depresiasi sumberdaya ikan di Kabupaten Parigi Moutong 0,00000 0,10000 0,20000 0,30000 0,40000 0,50000 0,60000 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 L a ju D e g ra d a si T o n D e p re si a si J u ta R p Ta hun La ju Degradasi Bench Ma rking La ju Depresia si KELAYAKAN FINANSIAL USAHA PERIKANAN CAKALANG Sistem Bagi Hasil Usaha Perikanan Cakalang Berdasarkan hasil penelitian bahwa sistem bagi hasil usaha perikanan cakalang dengan alat tangkap purse seine di Kabupaten Parigi Moutong diketahui nelayan lebih banyak memilih sistem bagi hasil 50:50 setelah pemotongan seuruh biaya operasional. Menurut Waileruny 2014 sistem tersebut mirip dengan yang berlaku di Desa Purworejo Kecamatan Bonang Kabupaten Demak yaitu perbandingan 50:50 dari pendapatan bersih, Harini, 2003, dan di Kabupaten Cilacap Hendratmoko dan Marsudi 2010. Menurut Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang No. 16 Tahun 1964 tentang bagi hasil perikanan, pembagian hasil perikanan diatur sebagai berikut: a. Jika dipergunakan perahu layar, minimum 75 dari hasil bersih untuk para nelayan: b. Jika dipergunakan kapal motor minimum 40 untuk para nelayan; c. Mengenai hasil ikan liar minimum 60 dari hasil bersih untuk nelayan penggarap. Pasal 4:1 menyatakan bahwa beban-beban yang menjadi tanggungan nelayan pemilik adalah: ongkos pemeliharaan dan perbaikan perahukapal serta alat-alat lain yang dipergunakan, penyusutan dan biaya eksploitasi usaha penangkapan, seperti untuk pembelian solar, minyak, es dan lain sebagainya. Sistem bagi hasil memposisikan nelayan sebagai orang yang mengharapkan bantuan atau dikasihani, bukan sebagai buruh yang berhak mendapatan upah atas pekerjaan yang sudah dikerjakannya. Nelayan telah melakukan kewajibannya mencari ikan, selayaknya mereka mendapatkan upah atas kerja yang dilakukan, bukan berdasarkan ada tidaknya keuntungan yang diterima pemilik kapalpengusaha sesuai sistem yang berlaku. Menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang tenaga kerja dikatakan bahwa pekerjaburuh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Menurut Waileruny 2014 pada usaha perikanan dengan pengupahan melalui sistem bagi hasil nelayan buruh tidak diposisikan sebagai tenga kerja yang berhak mendapatkan upahimbalan dalam bentuk lain. Karena upah itu tergantung dari hasil pekerjaannya, bukan berdasarkan beban kerja yang ditanggungnya, sehingga jika tidak mendapatkan hasil maka nelayan tidak mendapatkan upah walaupun untuk itu mereka sudah bekerja selama periode waktu tertentu. Pada perikanan purse seine di Kabupaten Parigi Moutong didapatkan bahwa kegiatan penangkapan yang berlaku one day fishing yaitu satu trip penangkapan dilakukan selama satu hari. Sistem bagi hasil melalui pendapatan bersih 50:50 dilakukan setelah pemotongan seluruh biaya operasi untuk membeli bahan bakar minyak Oli, Bensin, dan Solar, es, dan lain-lain. Sedangkan biaya konsumsi pada usaha perikanan cakalang pada alat tangkap purse seine di Kabupaten Parigi Moutong ditanggung oleh masing-masing ABK. Pada sistem ini, saat hasil tangkapan sedikit atau total pendapatan lebih kecil dari total biaya operasi maka nelayan tidak mendapatkan upah karena tidak ada keuntungan yang dapat dibagi. Pada kondisi ini, ABK hanya mendapatkan pembagian ikan hasil tangkapan untuk dikonsumsi pakandea. Saat nelayan tidak mendapatkan upah maka menjadi masalah bagi ekonomi keluarganya, apalagi jika pada operasi penangkapan berikutnya upah yang didapat juga kecil. Kenyataan seperti ini memungkinkan mereka tetap berada dalam kemiskinan. Kusnadi 2004 menyatakan bahwa salah satu akar kemiskinan nelayan adalah faktor non alamiah diantaranya ketimpangan dalam pembagian hasil usaha perikanan. Hal ini mengakibatkan nelayan buruh menjadi lapisan sosial yang paling miskin di pedesaan pesisir. Sebagaimana dijelaskan oleh Kusumastanto et al. 2005 bahwa pada usaha perikanan tangkap, nelayan kecil dan buruh nelayan nelayan buruh memiliki posisi tawar bargaining posisitiondabf yang lemah. Lemahnya posisi tawar nelayan tersebut mengakibatkannelayan selalu berada dalam lingkaran kemiskinan. Menurut Mukaffi 2008 diacu oleh Waleruny 2014 salah satu akibat kemiskinan nelayan buruh adalah sistem pembagian hasil antara pemilikjuragan dengan nelayan buruh. Baginya sistem pembagian hasil dengan terlebih dahulu memotong biaya operasi adalah sistem pembagian yang tidak adil. Hal ini diakibatkan karena nelayan mendapat beban ganda, yaitu pendapatan yang lebih kecil dari yang semestinya nelayan dapatkan dan hakekatnya nelayan mengeluarkan biaya non teknis yaitu waktu dan fisik. Yang menjadi masalah adalah bagaimana jika nilai hasil tangkapan lebih kecil dari besarnya biaya operasi. Menurutnya adalah aneh karena kerugian produksi juga menjadi tanggungjawab nelayan. Komponen Biaya Usaha Perikanan Cakalang Analisis ini dimaksudkan untuk mengetahui besarnya perubahan pendapatan jika biaya operasi, hasil tangkapan dan harga penjualan berubah. Dengan demikian sebelum menghitung pendapatan maka analisis terhadap biaya-biaya perlu dilakukan terlebih dahulu. Jenis biaya yang umum diketahui yaitu biaya investasi sering disebut sebagai biaya modal, biaya tetap dan biaya operasi atau biaya produksi atau biaya variabel. Jenis alat tangkap yang digunakan nelayan menangkap ikan cakalang di Kabupaten Parigi Moutong adalah alat tangkap purse seine dan pancing tonda. Pada bagian ini yang dianalisis adalah alat tangkap purse seine, karena alat tangkap ini merupakan alat tangkap yang memiliki produktivitas yang tinggi dan dijadikan alat tangkap yang distandarisasi dalam analisis bioekonomi. Alat tangkap purse seine yang dioperasikan unuk menangkap ikan cakalang di Kabupaten Parigi Moutong berukuran 5 dan 10 GT. Investasi Investasi merupakan modal usaha parmanen atau komponen biaya-biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan barang investasi. Dalam usaha perikanan, barang investasi adalah kapal, alat tangkap, mesin dan barang lainnya yang diperlukan untuk menghasilkan produksi ikan hasil tangkapan. Komponen biaya investasi terbesar untuk usaha perikanan cakalang dengan alat tangkap purse seine adalah kapal sebesar 42,62, selanjutnya diikuti alat tangkap 32,83, mesin utama 24,04 dan 0,24 untuk mesin bantu, dan rumpon 0,27 Tabel 28. Hasil ini menunjukkan bahwa besarnya biaya investasi pada usaha perikanan cakalang dengan menggunakan alat tangkap purse seine ditentukan oleh besarnya kapal yang digunakan. Alat tangkap pada usaha perikanan cakalang merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan operasi penangkapan. Oleh sebab itu sangatlah wajar dari sisi investasi komponem alat tangkap membutuhkan biaya cukup besar, karena harus sesuai dengan ukuran kapal yang digunakan. Untuk komponen biaya investasi mesin utama dan bantu bedasarkan hasil wawancara disesuaikan dengan ukuran kapal dan alat tangkap. Sedangkan investasi untuk rumpon tergantug banyaknya rumpon yang digunakan. Tabel 28 Besarnya biaya investasi usaha perikanan cakalang dengan alat tangkap purse seine di Kab. Parigi Moutong No. Komponen Biaya Investasi RpTahun Jenis Kapal Rataan 5 GT 10 GT 1. Kapal 425.000.000 542.000.000 483.500.000 42,62 2. Alat Tangkap 315.000.000 430.000.000 372.500.000 32,83 3. Mesin Utama 237.500.000 308.000.000 272.750.000 24,04 4. Mesin Bantu 2.200.000 3.200.000 2.700.000 0,24 5. Rumpon 2.550.000 3.650.000 3.100.000 0,27 Total Investasi 982.250.000 1.286.850.000 1.134.550.000 100,00 Sumber: Data primer diolah 2015 Biaya tetap Biaya tetap fixed cost adalah biaya yang tidak berubah walaupun jumlah produksi bertambah atau berkurang Santoso 1985; Waileruny 2014. Yang termasuk dalam biaya tetap pada usaha perikanan cakalang adalah biaya penyusutan dan biaya perawatan barang investasi, biaya retribusi, dan pajak. Perhitungan biaya penyusutan berdasarkan metode garis lurus yaitu besarnya biaya investasi setiap unit produksi dibagi dengan umur ekonomi barang tersebut. Pada penelitian ini didapatkan bahwa umur ekonomi untuk kapal purse seine 10 tahun, alat tangkap 8 tahun, mesin utama 8 tahun, mesin bantu 5 tahun, dan rumpon 2 tahun. Berdasarkan Undang-Undang No. 16 Tahun 1964 tentang bagi hasil perikanan ternyata beberapa biaya seperti biaya pajak, retribusi, penyusutan dan perawatan adalah menjadi tanggung jawab pemilik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa untuk, biaya pajak, penyusutan, perawatan, dan biaya retribusi semuanya menjadi tanggung jawab pemilik. Hal ini menunjukkan bahwa semua biaya yang menjadi tanggung jawab pemilik pada usaha perikanan cakalang di Kabupaten Parigi Moutong sebagaimana diamanatkan undang- undang. Besarnya biaya tetap, setiap unit usaha disajikan pada Tabel 29. Tabel 29 Rata-rata biaya tetap usaha perikanan cakalang dengan alat tangkap purse seine di Kab. Parigi Moutong No. Komponen Biaya Tetap RpTahun Jenis Kapal Rataan 5 GT 10 GT 1. Perawatan Kapal 895.000 1.290.000 1.092.500 2. Perawatan Mesin 810.000 1.050.000 930.000 3. Perawatan Alat Tangkap 910.000 1.250.000 1.080.000 4. Perawatan Rumpon 465.000 500.000 482.500 5. Pajak Alat Tangkap 1 Tahun 3.000.000 3.000.000 3.000.000 6. Retribusi 11.450.000 11.450.000 11.450.000 7. Penyusutan Kapal 21.250.000 27.100.000 24.175.000 8. Penyusutan Alat Tangkap 19.687.500 26.875.000 23.281.250 9. Penyusutan Mesin Utama 14.843.750 19.250.000 17.046.875 10. Penyusatan Mesin Bantu 220.000 320.000 270.000 11. Penyusutan Rumpon 637.500 912.500 775.000 Total Biaya 74.168.750 92.997.500 83.583.125 Sumber: Data primer diolah 2015 Biaya variabel Biaya variabel atau biaya tidak tetap atau biaya operasi adalah biaya-biaya yang langsung berhubungan dengan produksi Stanton 1985; Waileruny 2014. Pada usaha perikanan tangkap biaya variabel merupakan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melakukan operasi penangkapan ikan. Biaya variabel dalam usaha perikanan cakalang dengan menggunakan alat tangkap purse seine di Kabupaten Parigi Moutong meliputi upah nelayan ABK, biaya bahan bakar oli, bensin, dan solar, es, dan biaya lain-lain. Besarnya setiap komponen biaya variabel usaha perikanan cakalang disajikan pada Tabel 30. Hasil analis menunjukkan bahwa komponen biaya operasional terbesar usaha perikanan cakalang dengan alat tangkap purse seiene di Kabupaten Parigi Moutong adalah upah nelayan ABK sebesar 59,63, selanjutnya biaya bahan bakar yaitu solar sebesar 22,23, diikuti oleh biaya es sebesar 8,06, dan biaya pelumas mesin yaitu oli sebesar 6,11. Komponen paling rendah adalah biaya bahan bakar yaitu bensin sebesar 1,73. Sedangkan biaya lain-lain yaitu yang berhubungan dengan peralatan listrik di kapal berupa kabel, lampu, dan stop kontak lampu sebesar 2,24. Tabel 30 Rata-rata biaya variabel usaha perikanan cakalang dengan alat tangkap purse seine di Kab. Parigi Moutong No. Komponel Biaya Variabel RpTahun Jenis Kapal Rataan 5 GT 10 GT 1. Solar 109.004.000 118.507.500 113.755.750 22,23 2. Oli 28.167.000 34.350.000 31.258.500 6,11 3. Bensin 9.160.000 8.587.500 8.873.750 1,73 4. Es Batu 36.640.000 45.800.000 41.220.000 8,06 5. Upah Nelayan ABK 272.208.414 337.931.949 305.070.181 59,63 5. Lain-lain 11.450.000 11.450.000 11.450.000 2,24 Total Biaya 194.421.000 218.695.000 206.558.000 100 Sumber: Data primer diolah 2015 Hasil analisis selanjutnya menunjukkan bahwa kompoen biaya tertinggi adalah upah nelayan ABK sebesar 51,25, selanjutnya diikuti oleh komponen biaya variabel 34,70. Sedangkan komponen biaya yang paling rendah persentasinya terhadap biaya total adalah biaya tetap 14,04 Gambar 29. Gambar 29 Perbandingan antara upah nelayan ABK, biaya tetap dan biaya variabel terhadap total biaya usaha perikanan cakalang 51,25 14,04 34,70 Upah Nelayan ABK Biaya Tetap Biaya Variabel Upah nelayan ABK pada perikanan cakalang pada alat tangkap purse seine dihitung berdasarkan sistem bagi hasil sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Besarnya komponen upah nelayan ABK pada penelitian ini melebihi dari total biaya variabel maupun biaya tetap. Walaupun demikian, karena didapatkan dari sistem bagi hasil, maka terdapat kemungkinan lebih tinggi atau rendah bisa terjadi sesuai tinggi rendahnya jumlah produksi dan harga ikan. Jika membandingkan besarnya biaya operasi dengan biaya total, maka persentasinya tetap lebih besar dari gabungan komponen biaya operasi yang lain. Analisis Usaha Perikanan Cakalang Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pendapatan yang diperoleh pada usaha perikanan cakalang dengan menggunakan alat tangkap purse seine di lokasi penelitian adalah berdasarkan sistem bagi hasil. Walaupun demikian dari sistem bagi hasil yang berlaku, persentasi terbesar diterima pengusahapemilik kapal. Bagian yang merupakan hak pemilik kapal kemudian dikurangi biaya tetap, sisanya merupakan keuntungan usaha. Untuk mengetahui besarnya pendapatan dan keuntungan yang diperoleh, maka pada penelitian ini dilakukan perhitungan terhadap 15 unit kapal purse seine dengan pendapatan rata-rata selama setahun. Dari 15 unit kapal tesebut terdiri dari 10 unit berukuran 5 GT dan 5 unit berukuran 10 GT. Hasil analisis menunjukkan secara keseluruhan pendapatan usaha perikanan cakalang dengan alat tangkap purse seine di Kabupaten Parigi Moutong cukup tinggi, dengan rata-rata penerimaan sebesar Rp. 790.744.851kapaltahun. Walaupun demikian total biaya per tahun juga cukup tinggi rata-rata sebesar Rp. 577.073.592kapaltahun serta memberikan keuntungan rata-rata sebesar Rp. 213.671.259kapaltahun Tabel 31. Tabel 31 Rata-rata total penerimaan, biaya dan keuntungan per tahun usaha perikanan cakalang dengan alat tangkap purse seine di Kab. Parigi Moutong No. Nama-Nama Kapal Purse Seine Jenis Kapal Total Penerimaan Biaya Tetap Biaya Variabel Total Biaya Keuntungan 1. KM. Mutiara 5 GT 716.419.498 71.287.500 468.702.249 539.989.749 176.429.749 2. KM. Rahmat 5 GT 756.608.264 72.275.000 459.599.132 531.874.132 224.734.132 3. KM. Nirmala 5 GT 698.627.368 78.125.000 434.272.684 512.397.684 186.229.684 4. KM. Cahaya Baru 5 GT 790.536.000 71.212.500 502.325.500 573.538.000 216.998.000 5. KM. Fajar 5 GT 777.971.779 72.975.000 495.127.389 568.102.389 209.869.389 6. KM. Berjuang 5 GT 775.758.316 76.962.500 494.936.658 571.899.158 203.859.158 7. KM. Arjuna 02 5 GT 654.572.842 77.600.000 402.856.421 480.456.421 174.116.421 8. KM. Berkat 5 GT 758.949.474 73.025.000 475.082.237 548.107.237 210.842.237 9. KM. Rizqi Jaya 5 GT 746.377.895 74.437.500 474.864.947 549.302.447 197.075.447 10. KM. Ayun Billah 5 GT 712.556.842 73.787.500 458.526.921 532.314.421 180.242.421 11. KM. Arida 10 GT 905.893.182 103.612.500 562.294.091 665.906.591 239.986.591 12. KM. Armada 10 GT 882.924.054 104.525.000 550.809.527 655.334.527 227.589.527 13. KM. Arjuna 09 10 GT 919.680.000 69.050.000 569.187.500 638.237.500 281.442.500 14. KM. Haikal 10 GT 885.272.842 82.862.500 551.983.921 634.846.421 250.426.421 15. GM. 06 10 GT 879.024.411 104.937.500 548.859.705 653.797.205 225.227.205 Rataan - 790.744.851 80.445.000 496.628.592 577.073.592 213.671.259 Sumber: Data primer diolah 2015 Keuntungan usaha yang diperoleh dari usaha perikanan cakalang dengan alat tangkap purse seine di Kabupaten Parigi Moutong merupakan hasil selisih antara total penerimaan dan total biaya. Total penerimaan ditentukan oleh nilai penjualan hasil tangkapan ikan, sedangkan total biaya ditentukan oleh biaya produksi, baik biaya tetap dan biaya variabel yang dikeluarkan untuk operasi usaha penangkapan ikan. Pendapatan yang diperoleh dari hasil tangkapan melalui sistem bagi hasil, pemilik kapal dan nelayan ABK masing-masing mendapat bagian 50 dari setiap kali penjualan hasil tangkapan setelah dikurangi dengan biaya operasional. Berdasarkan hasil wawancara bahwa sistem bagi hasil masing- masing 50 dari hasil penjualan disebabkan biaya logistik atau konsumsi tidak ditanggung oleh pemilik kapal dan dibebankan pada setiap nelayan ABK. Keuntungan usaha perikanan cakalang pada alat tangkap purse seine ini sangat tergantung dari hasil tangkapan pada setiap tripnya. Berdasarkan wawancara dengan nelayan, banyak sedikit hasil tangkapan tergantung daerah penangkapan fishing ground, kondisi cuaca pada saat operasi penangkapan seperti kondisi angin kencang, sehingga tidak mendukung operasi penangkapan serta adanya kerusakan mesin apabila terjadi. Komponen yang dipakai dalam analisis usaha perikanan cakalang pada alat tangkap purse seine di Kabupaten Parigi Moutong meliputi biaya tetap, biaya varibel, dan penerimaan usaha yang diperoleh dari usaha penangkapan. Analisis usaha digunakan dalam penelitian ini mengacu pada Hernanto 1989 diacuh oleh Isnaini 2008 yaitu analisis pendapatan usaha, keuntungan usaha, analisis imbang penerimaan dan biaya, analisis pay back period serta analisis return of investement ROI. Setiap pelaku usaha selalu mengharapkan keuntungan dari kegiatan usaha yang dilakukan, begitupun dengan nelayan. Rasio imbang penerimaan dan biaya digunakan untuk mengetahui seberapa besar biaya yang digunakan dalam kegiatan usaha sehingga dapat memberikan sejumlah keuntungan dari penerimaan yang diperoleh. Analisis RC merupakan perbandingan antara nilai penerimaan per tahun dengan biaya yang telah dikeluarkan setiap tahun. Analisis RC juga dapat digunakan untuk menilai efisiensi biaya yang telah dikeluarkan Djamin 1984. Total penerimaan yang diperoleh dari usaha perikanan cakalang dengan menggunakan alat tangkap purse seine pada tahun 2014 adalah Rp. 816.698.363 per tahun dan total biaya yang dikeluarkan sebesar Rp. 595.211.306 per tahun. Dengan demikian keuntungan usaha perikanan cakalang pada alat tangkap purse seine diperoleh sebesar Rp. 221.487.056 juta. Berdasarkan perhitungan dari uraian tersebut, diperoleh nilai RC sebesar 1,37. Hal ini menunjukkan bahwa dari setiap satu rupiah yang dikeluarkan dalam usaha perikanan cakalang pada alat tangkap purse seine akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp 1,37 atau keuntungan yang akan diterima adalah sebesar Rp 1,37 Lampiran 6. Untuk mengetahui berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menutupi modal investasi, maka dalam penelitian ini digunakan analisis Pay Back Period. Menurut Umar 2003 analisis ini digunakan untuk mengetahui berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menutupi modal investasi dalam hitungan tahun atau bulan, jika seluruh pendapatan usaha yang dihasilkan digunakan untuk menutupi modal investasi. Hasil analisis Pay Back Period dari usaha perikanan cakalang dengan menggunakan alat tangkap purse seine di Kabupaten Parigi Moutong adalah 5,11 tahun, artinya waktu yang dibutuhkan untuk pengembalian modal investasi yang telah dikeluarkan pada usaha perikanan cakalang dengan menggunakan alat tangkap purse seine adalah lima tahun satu bulan satu hari Lampiran 6. Return on investmen ROI digunakan untuk menunjukkan besarnya perbandingan keuntungan yang diperoleh dengan investasi yang ditanamamkan Rangkuti 2001. Berdasarkan hasil perhitungan analisis ROI pada usaha perikanan cakalang menggunakan alat tangkap purse seine di Kabupaten Parigi Moutong adalah 19,60 Lampiran 6. Nilai ini menunjukkan bahwa setiap rupiah yang ditanamkan sebagai modal investasi usaha perikanan cakalang pada alat tangkap purse seine dapat memberikan keuntungan sebesar Rp. 0,1960. Analisis Kelayakan Usaha Perikanan Cakalang Tujuan dari setiap usaha penangkapan ikan komersil adalah menciptakan keuntungan, oleh karena itu setiap pengusaha menghendaki pendapatan dari penjualan hasil tangkapan akan melebihi biaya operasi. Cara terbaik mempersiapkan pengusaha dalam menangani usaha penangkapan adalah mengajarkan bagaimana meramalkan biaya dan pendapatan. Dari perkiraan biaya dan pendapatan tersebut, pengusaha dapat meramalkan berapa banyaknya keuntungan yang akan diperoleh dari setiap penangkapan. Data tersebut kemudian perlu dianalisis untuk menentukan kelayakan fiansialnya, apalagi jika usaha itu ingin menggunakan jasa kredit bank Mantjoro 1996; Waileruny 2014. Studi kelayakan usaha ialah suatu studi untuk melakukan penilaian terhadap proyek tertentu yang sedang atau akan dilaksanakan Primyastanto 2011; Waileruny 2014. Analisis kelayakan investasi usaha perikanan purse seine di Kabupaten Parigi Moutong terdiri dari Net Present Value NPV, Benefit Cost Ratio BCR, dan Internal Rate of Return IRR dapat dilihat pada Tabel 32. Adapun perhitungan cash flow usaha perikanan purse seine dapat dilihat pada Lampiran 7. Berdasarkan perhitungan dengan analisis finansial, maka usaha perikanan cakalang dengan menggunakan alat tangkap purse seine diperoleh nilai NPV sebesar Rp. 289.406.471 juta dengan discount factor pada tingkat suku bunga 12 per tahun. Nilai tersebut menunjukkan bahwa selama 10 tahun kegiatan usaha perikanan cakalang dengan menggunakan alat tangkap purse seine akan memperoleh keuntungan sebesar Rp. 289.406.471 juta, sehingga usaha tersebut layak untuk dilanjutkan. Hasil analisis BCR pada usaha peikanan cakalang diperoleh nilai BCR sebesar 1,26. Nilai tersebut merupakan perbandingan net benefit positif dengan net benefit negative selama tahun proyek. Nilai tersebut menunjukkan bahwa setiap satu rupiah cost yang dikeluarkan selama umur proyek akan memberikan nilai manfaat benefit sebesar Rp. 1,26 pada tingkat suku bunga 12 per tahun Tabel 32. Tabel 32 Hasil analisis kelayakan investasi usaha perikanan purse seine selama tahun proyek di Kabupaten Parigi Moutong, tahun 2014 No. Keterangan Satuan Jumlah Nilai 1. Net Present Value NPV Rp. 289.406.471 2. Benefit Cost Ratio BCR - 1,26 3. Internal Rate of Return IRR 17,19 Sumber: Hasil analisis data 2015 Hasil analisis Internal rate of return IIR terhadap usaha perikanan cakalang dengan menggunakan alat tangkap purse seine di Kabupaten Parigi Moutong, maka diperoleh nilai IRR sebesar 17,19 per tahun. Nilai tersebut menunjukkan bahwa adanya penambahan internal nilai investasi yang ditanamkan untuk usaha perikanan cakalang pada alat tangkap purse seine akan bertambah sebesar 17,19 setiap tahunnya selama umur proyek. Nilai IRR tersebut lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku yaitu 12. Dengan demikian dapat dikatakan saat ini secara finansial usaha perikanan cakalang dengan menggunakan alat tangkap purse seine di Kabupaten Parigi Moutong layak dilaksanakan. MODEL SISTEM DINAMIK PERIKANAN CAKALANG Pendekatan Sistem Pendekatan sistem melalui pemodelan sistem dinamik dapat sangat membantu pemahaman terhahap sistem kompleks dalam rentang waktu tertentu. Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya yang memiliki tingkat kompleksitas relatif tinggi. Pendekatan sistem merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan yang komplek, bersifat dinamis dan penuh ketidakpastian. Dalam upaya mendapatkan model pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang di Kabupaten Parigi Moutong yang bersifat komprehensif, maka dapat digunakan metodologi sistem dinamik berdasarkan pertimbangan kemampuannya menyajikan keterkaitan antar variabel yang dikaji dan mensimulasikan prilaku sistem bila dilakukan intervensi terhadap sistem tersebut. Pengkajian dengan menggunakan metode pendekatan sistem meliputi tahapan-tahapan sebagai berikut: 1 analisis sistem; 2 permodelan sistem; 3 implementasi sistem; dan 4 operasi sistem Wilson 1990; Eriyatno 2003. Analisis Sistem Analisis sistem digunakan untuk memahami perilaku sistem, mengidentifikasi faktor-faktor penting yang terkait dengan keberhasilan sistem, permasalahan yang dihadapi dan alternatif solusi yang dapat diajukan untuk mengatasi permasalahan. Tahap-tahap yang perlu dilakukan yaitu: 1 analisis kebutuhan; 2 formulasi masalah; dan 3 identifikasi sistem. Berdasarkan hasil observasi awal terhadap perilaku sistem pengembangan usaha perikanan cakalang di Kabupaten Parigi Moutong diperoleh analisis kebutuhan dari pelaku sistem, formulasi permasalahan yang dihadapi sistem dan identifikasi sistem, serta alternatif permodelan sistem. Adapun tahapan analisis sistem dinamik sebagai berikut:

1. Analisis kebutuhan

Komponen pelaku yang terlibat dalam sistem pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang di Kabupaten Parigi Moutong, diidentifikasi melalui pemahaman dan pendalaman terhadap kondisi di lapangan. Pelaku dan kebutuhan masing-masing pelaku sistem, seperti terlihat pada Tabel 33.

2. Formulasi permasalahan

Permasalahan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang di Kabupaten Parigi Moutong adalah adanya konflik kepentingan diantara para pelaku untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Sistem dirancang untuk dapat mengakomodasikan berbagai kepentingan para pelaku, baik yang bersifat memberikan sinergi positif maupun yang merugikan kepentingan pelaku lain. Keberhasilan sistem sangat dipengaruhi oleh kemampuan para pelaku untuk mengeliminir kepentingan yang dapat merugikan kepentingan pelaku lain, dan bersinergi untuk mencapai tujuan pengembangan perikanan secara optimal Nurani 2008. Tabel 33 Kebutuhan pelaku perikanan cakalang di Kabupaen Parigi Moutong No. Pelaku Sistem Kebutuhan Pelaku Sistem 1. Nelayan  Peningkatan produksi  Adanya bantuan input produksi dari PEMDA  Peningkatan pendapatan  Peningkatan kesejahteraan  Tidak adanya kegiatan penangkapan yang merusak lingkungan  Pemasaran ikan yang baik dan lancar  Harga jual ikan yang tinggi  Perlindungan hukum  Pelatihan dan penyuluhan 2. Pemilik kapal  Keberlanjutan usaha  Kemudahan memperoleh izin usaha  Peningkatan produksi  Peningkatan keuntungan  Tersedianya prasana kegiatan penangkapan  Tidak adanya kegiatan illegal fishing  Pemasaran ikan yang baik dan lancar  Harga jual ikan yang tinggi  Peningkatan skala usaha  Perlindungan hukum 3. Konsumen  Harga produk perikanan terjangkau  Kualitas produk ikan yang baik dan aman dikonsumsi  Kemudahan mendapatkan produk perikanan yang berkualitas 4. BAPPEDA dan DKP  Peningkatan pendapatan daerah PAD  Perluasan lapangan kerja  Pengentasan kemiskinan nelayan  Terjaganya kelestarian sumbedaya perikanan  Peningkatan ekspor perikanan  Terpenuhinya bahan baku industri perikanan  Informasi jumlah nelayan  Informasi jumlah armada  Informasi hasil tangkapan 5. Akademisi dan LSM  Keterpaduan seluruh sektor  Terintegrasinya aspek ekologi, ekonomi, dan sosial dalam pengelolaan SDI  Terselenggaranya kegiatan penyuluhan, pelatiahan dan pendampingan kepada masyakat nelayan dengan tepat Sumber: Hasil penelitian 2015 Pemanfaatan sumberdaya perikanan pada intinya adalah pengembangan kegiatan usaha atau bisnis perikanan dan kebutuhan konsumsi. Keberlanjutan kegiatan tersebut akan sangat dipengaruhi oleh keberadaan stok sumberdaya ikan. Produksi dari kegiatan perikanan, baru akan dapat memberikan manfaat bagi para pelaku usaha setelah produksi sampai ke tangan konsumen. Distribusi dan pemasaran menjadi faktor penting, untuk dapat memberikan nilai tambah pada produksi. Sebagaimana kia ketahui sifat produksi ikan sangat mudah busuk highly perisable, memerlukan penanganan produksi yang tepat untuk dapat mengendalikan mutu produk. Pengendalian mutu produk menjadi sesuatu yang sangat penting, agar produk dapat sampai ke tangan konsumen dengan mutu yang baik. Memahami kondisi seperti tersebut di atas, maka kebutuhan para pelaku sistem dapat tidak terpenuhi disebabkan berbagai permasalahan yang melingkupi sistem. Permasalahan-permasalahan tersebut perlu segera dilakukan solusi pemecahannya melalui perancangan sistem. Secara spesifik, permasalahan yang dihadapi sistem dapat diformulasikan sebagai berikut: 1. Keberadaan stok sumberdaya ikan tidak dapat diprediksikan dengan tepat. Prediksi jumlah stok ikan sangat penting untuk dapat menentukan jumlah ikan yang dapat ditangkap dengan tetap memperhatikan keberlanjutan sumberdaya. Prediksi jumlah stok dilakukan dengan suatu pendekatan analisis, prediksi diperlukan sebagai basis pemanfaatan sumberdaya ikan. 2. Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya yang migratif dan dalam pengelolaannya bersifat open access sehingga konflik antar pemanfaat sumberdaya rentan terjadi. 3. Penguasaan teknologi oleh nelayan masih terbatas. Sebagian besar nelayan di Kabupaten Parigi Moutong bermata pencaharian sebagai nelayan secara turun temurun. Pengetahuan penggunaan teknologi didasarkan pada pengalaman langsung dalam pekerjaan, tanpa dilandasi pengetahuan secara ilmiah. 4. Kelimpahan sumberdaya perikanan cakalang di Kabupaten Parigi Moutong sangat tergantung pada musim. Hal tersebut dinilai akan mempengaruhi keberlanjutan usaha penangkapan dan pendapatan nelayan. 5. Biaya operasional penangkapan ikan cakalang setiap tripnya selalu berubah, karena daerah penangkapan tidak dapat diprediksikan dengan tepat. 6. Prasarana dan sarana kegiatan penangkapan ikan saat ini belum berjalan sesuai dengan fungsinya.

3. Identifikasi Sistem

Identifikasi sistem merupakan rantai hubungan antara pernyataan-penyataan kebutuhan pelaku sistem dengan permasalahan yang telah diformulasikan dalam sistem. Identifikasi sistem digambarkan dalam diagram sebab-akibat causal loop dan diagram input-output. Diagram lingkar sebab akibat menggambarkan keterkaitan antar komponen di dalam sistem, sehingga dapat terlihat mekanisme kinerja sistem dalam memenuhi kebutuhan para pelaku sistem Gambar 30. Pada diagram causal loop terlihat keterkaitan di dalam sistem yaitu keberlanjutan ekologi, ekonomi, dan sosial. Keberlanjutan ekologi akan tercapai apabila stok sumberdaya ikan cakalang dalam pemanfaatannya tidak melebihi tangkapan lestari. Keberlajutan sumberdaya ikan cakalang sangat dipengaruhi kondisi perairan yang baik sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan alami ikan dan dapat meningkatkan produksivitas hasil tangkapan nelayan. Jumlah produksi hasil tangkapan akan mempengaruhi tingkat pendapatan nelayan dan keberlanjutan usaha penangkapan dengan demikian keberlanjutan ekonomi akan tercapai. Keberlanjutan sosial akan terwujud apabila pendapatan nelayan dapat memenuhi kebutuhan dasar keluarganya. Pendapatan nelayan akan meningkat jika keuntungan yang diperoleh juga meningkat sehinga kesejahteraan nelayan dapat terwujud. Gambar 30 Diagram sebab akibat causal loop keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang di Kabupaten Parigi Moutong Identifikasi sistem diagram lingkar sebab-akibat kemudian diinterpretasikan untuk membangun konsep kotak gelap black box diagram input-output. Menurut Sadelie 2002 ada tiga macam informasi yang diperlukan untuk menyusun kotak gelap black box, yaitu: 1 peubah input, 2 peubah output, dan 3 parameter- parameter yang membatasi struktur sistem. Peubah input terdiri dari dua macam, yaitu yang berasal dari luar sistem input eksogen atau input lingkungan, dan overt input yang berasal dari dalam sistem input endogen. Overt input terdiri dari dua macam yaitu input yang terkendali dan input tidak terkendali. Peubah output terdiri dari dua macam yaitu output yang dikehendaki dan output yang tidak dikehendaki. Output dikehendaki merupakan hasil dari adanya pemenuhan kebutuhan yang telah ditentukan secara spesifik pada tahap analisis kebutuhan, sedangkan output tidak dikehendaki merupakan hasil sampingan atau dampak yang ditimbulkan bersama-sama dengan output dikehendaki. Parameter rancangan sistem adalah parameter yang mempengaruhi input sampai proses transformasi menjadi output. Parameter rancangan sistem cenderung konstan, namun apabila terjadi perubahan kondisi lingkungan, dalam beberapa hal dapat diubah untuk memperbaiki kemampuan sistem agar tetap berjalan baik Osmaleli 2014. Sistem mendapat pengaruh dari lingkungan. Adanya input tak terkendali dan pengaruh faktor lingkungan dapat menyebabkan sistem menghasilkan output tidak sesuai dengan yang diharapkan. Keberhasilan sistem memerlukan suatu mekanisme pengendalian, agar kinerja sistem sesuai dengan yang direncanakan. Mekanisme pengendalian mendapatkan input balik feedback dari output yang tidak dikehendaki yang dikembalikan ke dalam sistem. Hubungan antar komponen sistem, input maupun output dalam model dinyatakan dalam diagram input output Gambar 31. Diagram input-output menggambarkan proses transformasi masukan model menjadi keluaran model. Model menggunakan dua jenis masukan, yaitu masukan dari luar sistem dan Keberlanjutan Ekologi Daya Dukung Lingkungan Pertumbuhan Alami Stok SDI Pengelolaan Pemanfaatan Hasil Tangkapan Upaya Tangkapan Efisiensi Usaha Penangkapan Biaya Operasional Penerimaan Usaha Harga Ikan Keuntungan Usaha Pengembangan Usaha + + + + - + + + + - - + + + + Keberlanjutan Ekonomi Keberlanjutan Sosial Pendapatan Nelayan Kesejahteraan Nelayan + + Pengeluaran Nelayan + - masukan dari dalam sistem. Masukan yang berasal dari dalam sistem endogenous terdiri dari masukan terkendali dan masukan tidak terkendali. Masukan terkendali merupakan peubah yang sangat diperlukan sistem yang berpengaruh dalam menentukan perilaku sistem yang dikehendaki dan dapat ditetapkan di dalam perancangan sistem. Masukan terkendali dapat digunakan sarana perekayasaan model dapat mencapai tujuan atau keluaran yang dikehendaki. Gambar 31 Diagram input-output sistem keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan cakalang di Kabupaten Parigi Moutong

4. Pemodelan Sistem

Pemodelan sistem merupakan tahapan untuk merancang model keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang di Kabupaten Parigi Moutong. Pemodelan sistem terdiri atas tiga aktivitas, yaitu konseptualisasi sistem, formulasi model dan pengujian model. Tahapan di awali dengan penentuan ruang lingkup dan asumsi-asumsi model sebagai bagian dari konseptualisasi model. Proses dilanjutkan dengan membangun model konseptual dalam bentuk diagram causal loop Eriyatno 2003. Formulasi model dilakukan dengan menuangkan model konseptual ke dalam model komputer dalam bentuk stock and flow diagram dan model matematik. Skenario yang digunakan dalam simulasi adalah dengan menguji perubahan effort terhadap hasil tangkapan dalam setiap upaya tangkap. Selanjutnya, dibangun struktur model keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang dalam sebuah diagram Causal-loop Gambar 38. Selanjutnya dibuat diagram alir flow diagram dari struktur model yang sudah disusun pada causal loop. Flow diagram menghubungkan semua variabel dalam bentuk persamaan matematis dengan bantuan komputer. Formulasi matematis ini menunjukkan keterkaitan antara setiap variabel yang saling berinteraksi. Parameter yang digunakan dalam model pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang di Kabupaten Parigi Moutong dapat dilihat pada Tabel 34. Tabel 34 Parameter model dinamik pengelolaan sumberdaya perikanan cakalang di Kabupaten Parigi Moutong No. Parameter Nilai Satuan 1. Carrying capacity K 27.360 TonTahun 2. Koefisien tangkap q 0.0000267 TonTrip 3. Pertumbuhan alami r 0.6776 TonTahun 4. Harga ikan 11.20 Juta Rp.Ton 5. Biaya penangkapan 1.30628 Juta Rp.Trip 6. Alpha 0.05 - Ruang Lingkup dan Asumsi Model Ruang lingkup model keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang dalam penelitian ini adalah: 1 Model dibangun mengikuti perilaku alamiah sumberdaya perikanan yang bersifat dinamis; 2 Fokus permasalahan adalah pada pengelolaan sumberdaya perikanan cakalang; 3 Model dibangun berdasarkan pendekatan produksi dan hasil analisis bioekonomi; 4 Nilai stok sumberdaya ikan cakalang berdasarkan hasil analisis bioekonomi model Schaefer pada kondisi MEY; 5 Jumlah effort yang digunakan dalam model berdasarkan kondisi aktual dari hasil analisis standarisasi alat tagkap. 6 Model hanya mempertimbangkan pelaku utama yang terkait dengan aktivitas perikanan tangkap; 7 Laju kematian diasumsikan sama dengan laju pertumbuhan; Model Dinamik Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Cakalang Model keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan cakalang di Kabupaten Parigi Moutong, menggunakan perangkat lunak software Ithink 6.0.1. Program Ithink dapat mengkaji berbagai skenario kebijakan pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang yang berpengaruh pada pendapatan dan kesejahteraan nelayan. Penentuan batasan model dilakukan berdasarkan tinjauan model dasar dan isu-isu yang diangkat yaitu berkaitan dengan daya dukung ekosistem perairan terhadap pertumbuhan populasi ikan, sumberdaya perikanan, upaya penangkapan, harga ikan, biaya-biaya yang dikeluarkan, serta perolehan keuntungan terhadap usaha. Konsep model keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang di Kabupaten Parigi Moutong, merupakan pengembangan dari model bioekonomi Schaefer 1954. Pengembangan model dilakukan dengan penambahan variabel yang dsesuaikan dengan karakteristik daerah penelitian dan tujuan model yang akan dibangun. Konsep pemikiran sebuah model, di dalamnya mencakup penggabungan sub-sub model ke dalam bentuk model yang utuh. Hal ini dilakukan untuk memudahkan pemahaman tentang penentuan batasan model.