BAB III KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI NADZIR DALAM
PENDAFTARAN TANAH WAKAF A. Kendala Yang Dihadapi Nadzir Dalam Pendaftaran TanahWakaf
Masalah tanah wakaf di Indonesia bukanlah merupakan permasalahan baru, tetapi secara embrional telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka atau
dengan kata lain sejak masuknya Islam ke Indonesia. Hal ini dapat dimengerti karena memang sebenarnya masalah wakaf ini merupakan bagian dari ajaran
agama Islam.
40
Adapun hambatan-hambatan atau kendala yang dihadapi nadzir dalam pendaftaran tanah wakaf adalah :
41
b. Berkas Permohonan yang tidak lengkap.
c. Proses penyelesaiannya dirasa memakan waktu yang lama
dan adanya sengketa. d.
Tanah wakaf yang diwakafkan oleh wakif ada dalam proses sengketa antara sesama ahli waris.
e. Tanah wakaf ada yang berada di pinggir sungai jalur
hijau. Dalam hal seperti ini berkas sertifikasi tidak jadi dilanjutkan ke Kantor Pertanahan, karena kalaupun dilanjutkan akan ditolak. Untuk
mengamankannya, maka hanya dibuatkan akta ikrar wakaf AIW, sedangkan
40
Universitas Islam Riau, Kesimpulan Hasil Seminar Wakaf Tanah Dalam Sistem Hukum Nasional Indonesia, UIR Press, Pekan Baru, 1991, hal.99
41
Hasil Wawancara Dengan M. Sangin Nazir Mesjid Al Ikhlas dan Hertin, SPd Nazir Taman Pendidikan Al Hidayah Medan Tanggal 10 Mei 2011
Universitas Sumatera Utara
tanah tersebut hanya boleh dipakai dengan Hak Guna Bangunan. Tidak boleh diperjualbelikan atau dipindahtangankan.
f. Tanah berstatus HGB milik pemerintah, ini juga tidak bisa
disertifikasi, sebab tanah dimaksud meskipun di atasnya dibangun masjid atau langgar namun tidak bisa disertifikasi. Tanah hanya bisa digunakan dengan
status HGB masyarakat setempat, dan bila pemerintah memerlukan maka tanah akan diambil tanpa tukar guling. Selain itu juga ada tanah yang berstatus
hak pakai, dalam arti yang diwakafkan hanya pemanfaatannya, bukan tanahnya.
g. Hilangnya surat-menyurat tanah milik wakif, sehingga sulit
untuk ditindaklanjuti prosesnya. h.
Kurangnya kesadaran dari wakif dan nadzir untuk menyertifikasi tanah wakaf, sehingga proses sertifikasi tidak diperhatikan,
yang mana batas-batas tanah wakaf pun tidak begitu jelas, sementara masyarakat sekitar juga kurang mengetahui secara persis.
i. Adanya kendala dari Kantor Pertanahan sendiri berupa
kurangnya perhatian dan minimnya petugas dibandingkan banyaknya berkas yang harus diselesaikan. Kadang-kadang ada yang sampai kehilangan berkas.
Berkenaan dengan adanya kendala di atas maka upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut adalah sebagai berikut :
1. Seharusnya tanah yang akan diwakafkan dirundingkan dahulu antar sesama
ahli waris, sehingga tidak menimbulkan persengketaan. Nadzir yang ditawari harta wakaf haruslah melakukan penjajakan lebih dahulu kepada semua ahli
Universitas Sumatera Utara
waris. Jika semua setuju, baru diterima sebagai harta wakaf, dan bila ada yang belum setuju, maka harus dilakukan pendekatan lebih dahulu. Namun adanya
sengketa ini bisa juga karena tidak segera dibuatkan sertifikatnya ketika tanah wakaf itu diwakafkan dahulu.
2. Tanah yang diwakafkan tidak sepenuhnya milik wakif, karena ada yang
berada di jalur hijau, atau tercampur antara hak milik wakif dengan tanah jalur hijau. Tetapi masalah ini juga timbul karena terjadi erosi sungai dan perluasan
jalan. Mestinya wakif, nadzir, dan pemerintah melakukan koordinasi, berapa ukuran tanah yang masih milik wakif, dan berapa yang milik Negara jalur
hijau. Yang dibuatkan sertifikatnya hanya yang murni milik wakif, sedangkan yang terkena jalur hijau adalah milik pemerintah. Seharusnya pemerintah tidak
boleh mengklaim semuanya berada di jalur hijau. 3.
Tanah berstatus HGB. Hal itu terjadi, sebab pemerintah memiliki tanah yang belum difungsikan, maka oleh masyarakat dibangun tempat ibadah khususnya
langgar untuk masyarakat sekitar. Pemerintah akan mengambilnya jika diperlukan. Dalam keadaan demikian, sertifikasi memang terkendala, karena
pemerintah sebagai suatu lembaga tidak bisa mewakafkan tanah. Mestinya pemerintah mengambil kebijakan untuk mewakafkannya, karena harta milik
pemerintah hakikatnya milik rakyatmasyarakat juga. Adapun tanah yang berstatus hak pakai, di mana yang diwakafkan hanya pemanfaatannya, bukan
tanahnya, hal itu sebenarnya cukup baik. Tetapi alangkah baiknya jika tanahnya yang sekaligus diwakafkan. Supaya statusnya jelas dan masyarakat
dapat memanfaatkannya secara optimal. Untuk itu para ulama dan tokoh
Universitas Sumatera Utara
masyarakat kiranya perlu melakukan pendekatan kepada pemilik tanah agar bisa mewakafkannya, supaya bisa diberikan sertifikasi. Tetapi dalam hal ini,
sekiranya tanah itu memang tidak ingin diwakafkan, masyarakat tidak perlu memaksakan sebagai harta wakaf. Bagaimana pun wakaf menuntut
keikhlasan. 4.
Kurangnya kesadaran wakif dan nadzir akan pentingnya sertifikasi. Hal ini memerlukan penyuluhan secara kontinyu dari KUA dan instansi terkait.
Sertifikasi tanah wakaf ini tentu penting, sebab banyak kebaikannya bagi semua pihak. Bagi wakif atau keluarganya akan mendatangkan kepastian
hukum bahkan menimbulkan kebanggaan karena nama wakif disebutkan dalam sertifikat. Bagi masyarakat pengguna tanah wakaf itu, dalam hal ini
nadzir dan jamaah masjid dan langgar masyarakat juga diuntungkan, karena status tanah menjadi kuat secara hukum agama dan negara, sehingga tidak
dapat diganggu gugat lagi di kemudian hari. Hal sebaliknya tentu dapat terjadi jika tanah tersebut tidak disertifikasi, karena bisa saja terjadi gugatan di
kemudian hari. 5.
Kantor Pertanahan ternyata juga punya andil menambah kendala dalam sertifikasi tanah wakaf. Sebagai instansi yang memang diberi tugas dalam
urusan sertifikasi, mestinya Kantor Pertanahan penuh perhatian dan proaktif. Dari kenyataan rendahnya persentasi tanah wakaf yang berhasil
disertifikasi dengan berbagai kendalanya di satu sisi memang menunjukkan bahwa KUA belum bisa optimal dalam menjalankan tugasnya dalam hal sertifikasi tanah
wakaf, padahal tugas ini merupakan tugas penting yang menjadi bagian dari
Universitas Sumatera Utara
tugasnya di samping tugas-tugas lainnya seperti pencatatan perkawinan dan penyelesaian kewarisan.
Namun belum optimalnya pencapaian ini ternyata dipengaruhi oleh faktor- faktor lain yang kompleks. Jadi masalah ini tidak dapat dibebankan semata kepada
KUA, melainkan di situ juga terkait peranan pemerintah, Kantor Pertanahan, wakif, dan nadzir. Bisa saja wakif dan nadzir tidak memandang perlu sertifikasi
tersebut, sehingga diabaikan saja. Bisa saja KUA ingin cepat membereskannya, namun justru Kantor Pertanahan memperlambat dan lebih memprioritaskan
sertifikasi tanah bukan wakaf. Untuk mengoptimalkan sertifikasi tanah wakaf, maka kendala-kendala
yang disebut di atas harus lebih dahulu dihilangkan dengan membangun kesadaran dan komitmen semua pihak yang terkait.
Tanpa ada kesadaran dan komitmen, maka usaha-usaha sertifikasi tanah wakaf tidak akan berhasil optimal. Namun karena KUA yang diberi tugas
menangani hal ini, maka KUA harus pula lebih proaktif, baik dalam sosialisasi maupun penanganan, sehingga pencapaian sertifikasi tanah wakaf di masa-masa
yang akan datang bisa lebih maksimal daripada yang ada sekarang.
B. Peran Nadzir Sebagai Penerima Wakaf Dalam Proses Terjadinya