Identifikasi kandungan hemolimf ulat sutera (Bombyx mori) sebagai suplemen fetal bovine serum dalam kultur sel serangga

i

ii

CHANDRA NUR KHALAM. Identifikasi Kandungan Hemolimf Ulat
Sutera (
) sebagai Suplemen
dalam Kultur
Sel Serangga. Dibimbing oleh IRMA H. SUPARTO dan DONDIN
SAJUTHI.
Penggunaan
(FBS) sebagai suplemen nutrisi dalam
kultur sel sangat penting untuk mendapatkan pertumbuhan sel yang baik.
Ketergantungan yang sangat tinggi dan masalah bioetika dalam penggunaan FBS
perlu mendapat perhatian khusus. Oleh karena itu, berbagai upaya untuk mencari
pengganti atau suplemen FBS terus dilakukan. Hemolimf ulat sutera dilaporkan
mengandung banyak nutrien yang dibutuhkan untuk proses metamorfosis. Hal ini
merupakan dapat digunakan sebagai alternatif suplemen nutrisi kultur sel,
sehingga diharapkan dapat mengurangi penggunaan FBS. Analisis
makrokomponen hemolimf, pemisahan fraksi protein, dan pengujian hemolimf
pada kultur sel

(Sf9) dilakukan untuk menggali informasi
kandungan dan kemampuan hemolimf sebagai suplemen nutrisi kultur sel. Hasil
analisis menunjukkan kandungan air pada hemolimf 89,76% air; 2,52 mg/mL
karbohidrat; 2,35% lemak; dan 55,61 mg/mL protein. Protein hemolimf terdiri
atas 15 fraksi yang mengandung bobot molekul dari 22 kDa sampai 152 kDa.
Penggunaan hemolimf pada kultur sel Sf9 secara langsung belum menghasilkan
pertumbuhan sel yang baik. Perlakuan tanpa adaptasi dan teroksidasinya
hemolimf pada saat kultur sel diduga merupakan penyebab buruknya
pertumbuhan sel Sf9.

CHANDRA NUR KHALAM. Identification of Silkworm (
)
Hemolymph Content as Fetal Bovine Serum Supplement in Insect Cell
Culture. Under direction of IRMA H. SUPARTO and DONDIN SAJUTHI.
The use of fetal bovine serum (FBS) as nutritional supplement in cell
culture is very important for cell growth. High dependence and bioethical issues
on the use of FBS needs special attention. Therefore, continuous effort to search
for its replacement or supplement is still needed. Hemolymph silkworm has been
reported that it contains many nutrients needed for the process of metamorphosis.
This can be used as an alternative nutritional supplement for cell culture, so it can

reduce the use of FBS. Hemolymph macrocomponent analysis, separation of
protein fractions, and tested as medium supplement for
(Sf9) cell culture were performed. Hemolymph has 89.76% moisture content; 2.52
mg/mL carbohydrate; 2,35% fat; and 55.61 mg/mL protein. Further protein
analysis revealed that, it consists of 15 fractions containing molecular weight from
22 to 152 kDa. The use of hemolymph on Sf9 cell culture in this study showed
that it did not support cell growth. Treatment without adaption and hemolymph
oxidation during cell culture could be the cause of poor growth of Sf9 cells.

iii

Skripsi
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Kimia

iv

Judul
Nama

NRP

: Identifikasi Kandungan Hemolimf Ulat Sutera (
Suplemen
dalam Kultur Sel Serangga
: Chandra Nur Khalam
: G44062689

) sebagai

Menyetujui,

Pembimbing I

Pembimbing II

Dr. dr. Irma H. Suparto, MS

Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST, PhD


NIP 19581123 198603

NIP 19541027 1976031001

Mengetahui,
Ketua Departemen Kimia

Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, MS
NIP 19501227 197603 2 002

Tanggal lulus:

v

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
karuniaNya sehingga karya tulis ini berhasil diselesaikan. Karya tulis ini
merupakan hasil penelitian yang penulis lakukan sejak bulan Agustus 2010 hingga
Desember 2010 dengan tema hemolimf sebagai suplemen kultur sel sebagai syarat
kelulusan program sarjana kimia.
Penulis mengucapkan terima kasih sebanyak@banyaknya kepada Dr. Irma

H. Suparto, MS dan Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST, PhD yang telah
membimbing penulis dalam kegiatan penelitian hingga pelaporan. Ucapan terima
kasih kepada Willy Praira, SSi yang telah membantu dalam teknis penelitian.
Ungkapan terima kasih penulis ucapkan kepada alm. Bapak, Ibu, seluruh
keluarga, serta teman@teman kimia atas doa dan dukungannya. Akhir kata, semoga
karya tulis ini bermanfaat.
Bogor, Desember 2011

vi

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 1 Juni 1988 sebagai anak ke@4
dari pasangan alm. Saman Syarif dan Sunarti. Pada tahun 2006, penulis lulus dari
SMAN 27 Jakarta dan pada tahun yang sama diterima masuk IPB melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih jurusan Kimia, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum Kimia
Lingkungan pada tahun ajaran 2009/2010 dan asisten praktikum Kimia Dasar
pada tahun ajaran 2010/2011. Pada tahun 2008 penulis menerima dana hibah
Program Kreativitas Mahasiswa bidang kewirausahaan. Pada tahun 2009 penulis
menerima dana hibah Program Kreativitas Mahasiswa bidang penelitian dan juga

di bidang gagasan tertulis dengan judul Sulfonasi Limbah Gabus Polistirena:
Fungsionalisasi Limbah menjadi Bahan Baku Pengolahan Air yang Tercemari
Besi.

vii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................... viii
PENDAHULUAN ...................................................................................

1

TINJAUAN PUSTAKA
Ulat Sutera ...................................................................................
Hemolimf .....................................................................................
Fetal Bovine Serum ......................................................................
Kultur Sel .....................................................................................
SDS@PAGE ...................................................................................

1
2

2
2
3

BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat .............................................................................
Lingkup Kerja...............................................................................
Metode .........................................................................................

3
4
4

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hemolimf ....................................................................................
Kadar Air Hemolimf .....................................................................
Kadar Karbohidrat Hemolimf .......................................................
Kadar Protein Hemolimf ...............................................................
Kadar Lemak Hemolimf ...............................................................
Fraksinasi Protein dengan SDS@PAGE ..........................................

Pengaruh Hemolimf terhadap Pertumbuhan Sel Sf9 ......................

5
6
6
6
6
7
7

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan .........................................................................................
Saran ...............................................................................................

8
9

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................

9


viii

1 Ulat sutera……………………................................................................ 1
2 Siklus hidup ulat sutera …......................................................................

1

3 Hemolimf hasil sentrifugasi..................................................................... 6
4 Hasil SDS@PAGE……...…...................................................................... 7
5 Perkembangan jumlah sel pada berbagai perlakuan................................. 8
6 Kultur sel Sf9 pada hari ke@3.................................................................... 8

1

Kultur sel atau kultur jaringan adalah
perbanyakan sel atau jaringan secara
.
Kondisi lingkungan pada kultur sel harus
disesuaikan dengan kondisi pada tempat

asalnya. Kondisi dan pengaturan lingkungan
kultur terdiri atas media, komposisi udara, dan
suhu. Media tempat pertumbuhan sel memiliki
peran penting sebagai salah satu syarat kultur
sel dan mengandung komponen@komponen
yang dibutuhkan dalam kultur. Media
ditambahkan dengan serum yang berperan
sebagai suplemen nutrisi dalam kultur sel.
Serum berfungsi sebagai perangsang
terjadinya proliferasi sel. Serum yang sering
digunakan sebagai suplemen kultur sel adalah
serum janin sapi atau
(FBS). Harga FBS cukup mahal sehingga
biaya untuk mengultur suatu sel menjadi
tinggi. Pembuatan FBS sintetik dengan
menggabungkan berbagai komponen yang
dibutuhkan juga sangat mahal dan tidak
mudah dalam proses pembuatannya (Muniaraj
2007).
Beberapa produksi FBS kurang baik dalam

prosesnya dan mendapat pertentangan dari
berbagai pihak terutama pencinta binatang.
Akan tetapi, kebutuhan terhadap FBS akan
semakin tinggi dengan semakin banyaknya
penggunaan atau kegiatan kultur sel. Serum
yang diproduksi untuk setiap tahunnya
diperkirakan sekitar 500.000 liter dan lebih
dari 1.000.000 janin sapi harus digunakan
setiap tahunnya (Gstraunthaler 2003, Jochems
2003).
Hemolimf ulat sutera mengandung protein
yang cukup tinggi sehingga dapat menjadi
alternatif dalam mengurangi jumlah pe@
makaian FBS. Park dan Kim (1999) telah
membuktikan bahwa hemolimf ulat sutera
dapat menjadi campuran FBS dalam kultur sel
serangga. Hal ini merupakan suatu peluang
dalam mengurangi pemakaian FBS.
Kajian lebih lanjut pada protein perlu
dilakukan untuk mengetahui keberhasilan
hemolimf sebagai campuran FBS pada kultur
sel serangga. Hal ini dikarenakan zat per@
tumbuhan umumnya terdapat dalam bentuk
protein. Melalui pemahaman kandungan atau
komposisi hemolimf diharapkan dapat di@
peroleh informasi dalam pendugaan mengenai
sebab hemolimf dapat berfungsi sebagai
suplemen FBS dalam kultur sel serangga.
Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan
identifikasi komponen atau kan@dungan pada
hemolimf dan menguji hemolimf sebagai
suplemen nutrisi dalam kultur sel serangga.

! "#!$%
Ulat sutera (
) adalah larva
yang memiliki nilai ekonomi tinggi karena
dapat menghasilkan sutera untuk bahan dasar
kain. Selain sebagai penghasil sutera, ulat ini
juga digunakan dalam pengobatan. Sebagai
contoh, kotoran ulat sutera banyak diman@
faatkan sebagai obat jerawat (Fahas 2010).
Ulat sutera banyak ditemukan di daerah
Asia. Dalam klasifikasi taksonomi, ulat sutera
termasuk ke dalam ordo Lepidoptera, subordo
Bombycoidea, dan famili Bombycidae (Stehr
1987). Umumnya, makanan ulat sutera adalah
daun
(Gambar 1) (Sonthisombat &
Speakman 2004).

Gambar 1 Ulat sutera dan daun

.

Secara keseluruhan, hidup ulat sutera ter@
bagi atas 4 tahap (Sonthisombat & Speakman
2004) (Gambar 2). Tahap pertama, telur akan
menjadi ulat muda setelah 9–12 hari. Tahap
kedua, ulat berkembang dengan instar I (3–4
hari), instar II (2–3 hari), instar III (3–4 hari),
instar IV (5–6 hari), dan instar V (7–6 hari).
Tahap ketiga, ulat menjadi kepompong dan
membentuk kupu@kupu pada tahap keempat.

Gambar 2 Siklus hidup ulat sutera.(Son@
thisombat & Speakman 2004)

2

Telur ulat sutera berbentuk lonjong dengan
bobot sekitar 1 g, panjang 1–1,3 mm, lebar
0,9–1,2 mm, dan tebal 0,5 mm dengan warna
putih kekuningan (Suyono 2006). Pada tahap
instar I, larva berwarna kehitaman, berkepala
besar, berbulu, dan berukuran 3 cm. Selan@
jutnya larva akan bertambah gemuk, berwarna
kehijauan, merontokkan bulu, lalu berganti
kulit untuk memasuki fase instar II. Ulat
sutera akan mengerut saat tahap akhir instar V
dan mengeluarkan benang dari air liurnya
(Adam
2007).
Saat menjadi larva, ulat sutera sangat
rakus. Larva akan berhenti makan dan
tubuhnya memendek, gemuk, dan transparan
pada tahap instar yang terakhir (Miao
2006). Ulat sutera instar V ditandai dengan
penambahan bobot ulat yang bisa mencapai
10 ribu kali ulat baru lahir (Fahas 2010).
Setelah menjadi kepompong ulat sutera akan
berhenti makan.
$ &' (
Hemolimf merupakan darah serangga yang
memiliki beberapa fungsi berbeda dengan
darah pada umumnya. Hemolimf tidak
mengandung hemoglobin sehingga tidak
berwarna merah. Umumnya hemolimf
berwarna kehijauan atau kekuningan yang
ditimbulkan oleh pigmen tanaman yang
dikonsumsi serangga.
Ketiadaan hemoglobin mengakibatkan
hemolimf tidak berfungsi mengedarkan
oksigen. Serangga memiliki sistem tersendiri
dalam mengedarkan oksigen. Hemolimf pada
serangga berfungsi mentransportasikan ma@
kanan dan hormon (Mellanby 2008). Hormon
pada hemolimf banyak yang berfungsi dalam
pertumbuhan di antaranya adalah
(Ferkovich & Oberlander
1991) dan
(Miao
2006).
Proses produksi hemolimf lebih mudah
dibandingkan dengan produksi FBS. Selain
sebagai suplemen kultur sel, hemolimf juga
dapat digunakan sebagai antibakteri (Inoue &
Kinoshita 1976), dan juga inhibitor apoptosis
sel Sf9 (Park
2002).

(FBS) adalah serum
yang diperoleh dari janin sapi. Janin
umumnya masih berumur 3 bulan pada saat
penyembelihan (Jochems
2003). Sapi
bunting yang sedang dipotong diambil
janinnya dan FBS dipanen melalui

pembocoran jantungnya (Even
2006).
Pengambilan FBS melalui pembocoran
jantung dimaksudkan untuk mencegah
kontaminasi dari mikroorganisme yang
berasal dari janin itu sendiri dan lingkungan
sekitar (Jochems
. 2003).
Penggunaan FBS sebagai suplemen kultur
sel memiliki berbagai fungsi tertentu. Menurut
Valk
(2004), terdapat 4 fungsi FBS
dalam kultur sel. Pertama, sebagai hormon
yang menstimulasi pertumbuhan sel dan
proliferasi. Kedua, berperan dalam transpor
protein, mineral, dan lemak. Ketiga, mengikat
dan menyebarkan matriks ekstraselular.
Keempat, sebagai penstabil pH dan peng@
hambat protease secara langsung.
Umumnya, FBS yang digunakan dalam
kultur sel adalah 10% (Park & Kim 1999).
Dalam FBS terkandung protein (terbesar),
hemoglobin, glukosa, insulin, kortison,
hormon paratiroid (PTH), prostaglandin E
(PGE), dan
(PGP) (Price
& Gregory 1982). Selain FBS, alternatif
serum yang lain adalah serum manusia,
albumin serum sapi, albumin manusia
rekombinan, dan albumin manusia murni
(Valk
2004).
# !#% $
Kultur sel adalah teknik menumbuhkan sel
pada suatu media. Sel dapat dikulturkan
langsung dari organismenya yang dinamakan
kultur primer atau dikulturkan dari hasil kultur
primer yang dinamakan subkultur (Ryan
2008). Kultur sel banyak digunakan dalam
bidang farmakologi dan biologi molekular.
Kultur sel juga bermanfaat dalam mengurangi
penggunaan hewan yang tidak perlu dalam
suatu uji (Hutahean 2002).
Sel@sel yang dikulturkan dibedakan ber@
dasarkan morfologinya. Ryan (2008) mem@
bagi tipe sel kultur ke dalam 3 bentuk.
Pertama adalah epitelial, yaitu sel@sel yang
terikat pada substrat dengan penampakan
datar dan bentuk poligonal. Kedua adalah
limfoblas, yaitu sel@sel yang tidak terikat
secara normal pada substrat, tetapi tertinggal
di dalam suspensi dengan bentuk bulat. Ketiga
adalah fibroblas, yaitu sel@sel yang terikat
pada substrat dengan bentuk memanjang dan
bipolar, kadangkala berbentuk pusaran dalam
berbagai kultur.
Sel dikulturkan dalam suatu media.
Nutrisi@nutrisi yang dibutuhkan untuk per@
tumbuhan sel harus tersedia dalam media.
Umumnya, media juga ditambahkan dengan
antibiotik atau fungisida. Salah satu contoh

3

antibiotik yang dapat digunakan adalah
gentamisin. Fungsi antibiotik dan fungisida ini
adalah mencegah kontaminasi pada media
(Phelan 1998).
Media kultur sel dapat dibeli dalam bentuk
cairan dan bentuk bubuk atau disiapkan
sendiri dengan menggabungkan berbagai
komponen yang dibutuhkan. Media yang siap
digunakan terdiri atas berbagai jenis, di
antaranya media !
" #
$
"
(DME), F12, F10, Med 199, dan %
.
Pemilihan suatu media harus memperhatikan
spesifikasi dan kegunaannya. Sebagai contoh,
DME memerlukan suplemen serum yang
cukup banyak dan digunakan untuk
pertumbuhan sel dengan kerapatan yang tinggi
(Mather & Roberts 1998).
Media Grace merupakan hasil pengem@
bangan media yang dilakukan oleh Grace
dalam bidang kultur sel serangga dan masih
digunakan hingga saat ini. Media Grace
merupakan pengembangan dari media Wyatt
yang dimodifikasi dalam beberapa hal, yaitu
vitamin B, nisbah ion Na/K dengan Ca/Mg,
tekanan osmosis, dan lainnya (Grace 1967).
(Sf9) merupakan
salah satu jenis sel serangga yang diperoleh
dari hasil kloning sel Sf21 (Granados
.
2007). Sel Sf9 sering digunakan dalam
berbagai penelitian. Umumnya, sel Sf9
digunakan dalam penelitian mengenai
ekspresi gen atau protein rekombinan,
fisiologi, patologi, dan biologi molekular
serangga (Lynn 2002).
)
Elektroforesis gel poliakrilamida@natrium
dodesil sulfat (SDS@PAGE) merupakan salah
satu jenis metode elektroforesis. Elektro@
foresis adalah salah satu teknik pemisahan
berdasarkan kemampuan analit melalui
medium dalam pengaruh medan listrik
(Harvey 2000). SDS@PAGE termasuk ke
dalam elektroforesis zona karena meng@
gunakan poliakrilamida sebagai media
penyangga (Nur & Adijuwana 1989a). Protein
hemolimf
yang
akan
diidentifikasi
penyusunnya akan mengalami pemisahan
dengan SDS@PAGE berdasarkan muatan dan
bobot molekulnya. Hasil analisisnya berupa
pola pemisahan protein dengan deteksi
pewarnaan dan bobot molekul dari tiap fraksi
yang terpisah dengan membandingkannya
terhadap standar.
Gel
poliakrilamida
sebagai
media
diperoleh dengan cara polimerisasi akrilamida
dengan adanya , @metilena@ (akrilamida)

sebagai agen pembentuk ikatan silang. Poli@
merisasi akrilamida membutuhkan tetra@
metiletilenadiamina (TEMED) dan amonium
persulfat sebagai katalis. Poliakrilamida yang
dihasilkan bersifat inert dan tidak terjadi
adsorpsi terhadap protein yang akan dianalisis
(Mikkelsen & Corton 2004). Hal ini akan
menyebabkan pemisahan yang lebih baik
karena ketiadaan hambatan gerak protein (Nur
& Adijuwana 1989a).
Pada metode ini, SDS dengan 2@
merkaptoetanol dan pemanasan menyebabkan
rusaknya struktur tiga dimensi protein dan
mendenaturasinya (Nur & Adijuwana 1989a).
Selain itu, SDS sebagai detergen anionik akan
bergabung dengan bagian hidrofobik protein
sehingga membentuk kompleks bermuatan
negatif (Mikkelsen & Corton 2004).
Kompleks protein yang besar akan ber@
migrasi lebih lambat dibandingkan dengan
kompleks yang kecil.
Bufer yang digunakan berfungsi mem@
pertahankan pH dalam gel poliakrilamida.
Selain itu, bufer juga berperan sebagai elek@
trolit pembawa aliran listrik. Kisaran pH yang
digunakan dalam elektroforesis protein adalah
4,5–9,0 (Nur & Adijuwana 1989a).

*

+

!

Bahan@bahan yang digunakan adalah ulat
sutera (
) dari peternakan Rumah
Sutera di Ciapus, feniltiourea (PTU), @
heksana, kertas saring, HCl 1 M, H2SO4 96%,
antron, etanol 95%, amonium sulfat,
akrilamida,
@akrilamida, Tris, glisin, bufer
Tris@HCl 1,5 M pH 8,8; bufer Tris@HCl 1,5 M
pH 6,8; gliserol 50% (v/v), bromfenol biru 1%
(b/v), SDS 10% (b/v), 2@merkaptoetanol,
tetrametiletilenadiamina (TEMED), amonium
persulfat, metanol, asam asetat glasial,
pereaksi bradford, albumin serum sapi (BSA),
& jenis
,
media Grace, kertas saring mikropori 0,22
Gm, sel serangga Sf9, dan FBS.
Peralatan yang digunakan adalah peralatan
kaca, labu bulat, neraca analitik, termometer,
oven, eksikator, radas Soxhlet, lempeng
penangas, sentrifuga MSE, spektrofotometer
ultraviolet@tampak
(UV@Vis)
Shimadzu,
spektro@fotometer
UV@Vis
Heλios
α,
perangkat elektroforesis, mikroskop, dan
hemositometer.

4

' ,-#.

$%/

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa
bagian, yaitu pengambilan hemolimf dari ulat
sutera, penentuan kadar makrokomponen
penyusun hemolimf (air, karbohidrat, protein,
dan lemak), pemisahan protein dan penentuan
bobot molekul penyusun protein, serta
pengujian hemolimf ke dalam kultur sel
serangga dengan berbagai variasi campuran
dengan FBS.

deret standar BSA dengan konsentrasi 0,1;
0,3; 0,5; 0,7; dan 1,0 mg/mL. Sebanyak 100
GL larutan standar ditambahkan dengan 5 mL
pereaksi Bradford lalu dihomogenasikan dan
diinkubasi pada suhu 37 °C selama 5 menit.
Setelah itu, diukur absorbansnya dengan
spektrofotometer UV@Vis pada panjang
gelombang maksimum. Hal serupa dilakukan
juga untuk sampel. Konsentrasi sampel
diperoleh dengan memasukkan absorbans
sampel pada kurva standar hubungan
konsentrasi dan absorbans.

$!&+$
$ , 0'
$ &' (
Ulat sutera yang telah didinginkan sekitar
1 menit, dipotong kakinya yang berada pada
daerah abdomen (perut). Ulat sutera
diposisikan di atas tabung mikrofuga yang
telah berisi 50 Gg kristal PTU. Ulat sutera
diurut secara perlahan sehingga hemolimf
keluar dan masuk ke dalam tabung. Tabung
mikrofuga ditutup dan disimpan dalam lemari
pembeku.
Hemolimf dipisahkan kepingan selnya
dengan cara menyentrifugasi hemolimf yang
telah dicairkan setelah pembekuan dengan
kecepatan 2417,04 x
selama 5 menit.
Kepingan sel dan PTU akan mengendap dan
supernatan yang dihasilkan dipindahkan pada
tabung mikrofuga yang baru untuk dilakukan
analisis lanjut.
$ $ !#
+ % '%
123
Cawan porselen dikeringkan pada suhu
105 oC selama 30 menit hingga bobot konstan.
Setelah didinginkan dalam eksikator, cawan
tersebut ditimbang. Sebanyak 5 g hemolimf
dimasukkan kemudian dipanaskan dalam oven
pada suhu 105 oC selama 24 jam. Setelah
didinginkan dalam eksikator, ditimbang
kembali (pekerjaan dilakukan triplo). Hal
tersebut dilakukan hingga bobot konstan.
Kadar air dihitung dengan menggunakan
rumus di bawah ini.

Keterangan:
a = bobot cawan kosong
b = bobot sampel + cawan sebelum
dikeringkan
c = bobot sampel + cawan setelah dikeringkan
$ $ !#
+ % %&!$'
Kadar
protein
diukur
dengan
menggunakan metode Bradford (1976). Kurva
standar dibuat dengan mengukur absorbans

$ $ !#
+ %
%0&*'+% !
.%'4 !& &
121
Penentuan kadar karbohidrat dilakukan
berdasarkan metode antron menggunakan
spektrofotometer UV@Vis. Deret standar
dibuat dengan memasukkan larutan standar
glukosa 0,2 mg/mL sebanyak 0,2; 0,4; 0,6;
0,8; dan 1,0 mL ke dalam tabung reaksi yang
berbeda@beda. Setiap tabung reaksi ditam@
bahkan akuades hingga volumenya 1 mL.
Sebanyak 5 mL pereaksi antron ditambahkan
lalu dicampurkan merata dan dipanaskan
selama 12 menit dalam penangas air pada
suhu 100 ºC. Tabung reaksi didinginkan
dengan air mengalir lalu diukur absorbansnya
pada panjang gelombang maksimum. Untuk
sampel dilakukan hal yang sama seperti
larutan standar dengan volume sampel 1 mL.
Konsentrasi
sampel diperoleh dengan
memasukkan absorbans sampel pada kurva
standar.
$ $ !#
+ % $ 11
Analisis
kadar
lemak
hemolimf
menggunakan metode hidrolisis Weibull.
Sebanyak 1–2 g dimasukkan ke dalam gelas
piala, lalu ditambahkan 30 mL HCl 25% dan
20 mL akuades serta beberapa butir batu
didih. Gelas piala ditutup dengan kaca arloji
dan dididihkan selama 15 menit. Setelah
mendidih, campuran disaring dengan kertas
saring dalam keadaan panas lalu dicuci
dengan air panas hingga bebas asam. Kertas
saring tersebut dikeringkan pada suhu 100–
105 ºC lalu dimasukkan ke dalam selongsong
dan diekstraksi dengan heksana menggunakan
metode Soxhlet selama 3 jam. Labu yang
berisi hasil ekstrak dipanaskan untuk
menguapkan heksana lalu dikeringkan pada
suhu 100–105 ºC. Setelah kering, labu
didinginkan
dan
ditimbang.
Proses
pengeringan diulangi hingga bobot tetap
sehingga diperoleh bobot labu yang berisi
lemak kasar.

5

Keterangan:
b = bobot labu setelah ekstraksi
c = bobot labu kosong
a = bobot sampel
% -"' "'
%&!$'
+$ ,
)
$
' 15
Penggumpalan protein pada hemolimf
dilakukan dengan cara supernatan hasil
sentrifugasi ditambahkan etanol sedikit demi
sedikit sambil diaduk dengan pengaduk
magnet lalu disentrifugasi pada 2417,04 x
selama 10 menit. Endapan fraksi etanol
diarutkan dalam 10 mL air dan ditambahkan
amonium sulfat
hingga konsentrasinya
menjadi 60% lalu disentrifugasi dengan
kecepatan 2417,04 x
selama 10 menit
sehingga diperoleh fraksi amonium sulfat.
Sampel@sampel ini siap digunakan pada proses
elektroforesis.
Pemisahan protein dilakukan dengan SDS@
PAGE. Larutan gel pemisah 12% (akrilamida
40%,
@akrilamida 2%, bufer Tris@HCl pH
8,8, akuades, APS, dan TEMED) dimasukkan
ke dalam cetakan gel dengan pipet mikro
kemudian ditambahkan dengan akuades
sampai penuh agar permukaan gel rata.
Setelah gel membeku, akuades dibuang dan
sisa airnya diserap dengan kertas saring.
Larutan gel penahan 4% (akrilamida 40%, @
akrilamida 2%, bufer Tris@HCl pH 6,8,
akuades, APS, dan TEMED) dimasukkan ke
dalam cetakan gel dan dipasang sisir
berlubang lalu didiamkan sampai mengeras.
Setelah gel sudah siap, dibuat sumur dalam
gel yang akan diisi dengan sampel.
Preparasi sampel protein dilakukan dengan
memanaskan 20 GL sampel yang telah ditam@
bahkan dengan 10 GL bufer sampel (campuran
buffer Tris@HCl pH 6,8, gliserol, SDS, HCl, 2@
merkaptoetanol,
bromfenol
biru,
dan
akuadaes) pada suhu 100 °C selama 2–5
menit. Sampel dan standar yang telah
disiapkan dimasukkan ke dalam sumur dengan
volume 10 GL.
Elektroforesis dioperasikan pada tegangan
150 volt selama 2 jam dalam bufer
elektroforesis pH 8,3 (campuran tris, glisin,
SDS, HCl, dan akuades). Setelah selesai, gel
diwarnai dengan larutan
R@250 selama 15 menit. Setelah pita
terlihat, gel dicuci dengan larutan dekolorisasi
(campuran metanol, asam asetat glasial, dan
akuades) berulang kali hingga didapatkan pita

protein biru dengan latar belakang gel tidak
berwarna.
Identifikasi komponen penyusun protein
sampel dilakukan dengan membandingkan
pita yang diperoleh dengan pita protein
standar (marker jenis
). Bobot molekul dari pita protein
ditentukan
berdasarkan
kurva
standar
hubungan log BM dengan nilai Rm protein
standar.
Rm =

jarak tempuh pita
jarak tempuh pewarna protein

$!&+$ # !#%
# ' % /
6
5
Media Grace (Gibco) disaring untuk
sterilisasi dengan kertas saring mikropori 0,22
Gm. Media Grace ditambahkan dengan
campuran FBS dengan hemolimf pada suatu
tabung. Perbandingan FBS dengan hemolimf
yang digunakan bervariasi, yaitu 10:0;
7,5:,2,5; 5:5; 2,5:7,5; dan 0:10. Sebanyak 100
GL inokulum yang mengandung 106 sel
serangga/mL (Sf9) diinokulasikan pada 3 mL
media Grace. Sebagai perbandingan, hal
tersebut dilakukan juga pada media Grace
yang mengandung 10% FBS dan tanpa serum.
Tabung diinkubasi pada suhu 28°C hingga 9
hari. Pertumbuhan sel dimonitor pada hari ke@
3, 6, dan 9 pada mikroskop menggunakan
hemositometer.

$ &' (
Hemolimf yang diperoleh dari ulat sutera
berupa cairan berwarna kuning (Gambar 3).
Warna hemolimf akan berubah menjadi
kecokleatan setelah selang waktu tertentu
yang diakibatkan proses enzimatis. Polifenol
oksidase akan mengoksidasi senyawaan fenol
menjadi bentuk keton sehingga berwarna
cokelat. Peristiwa ini tidak diharapkan karena
dikhawatirkan akan merusak kandungan
hemolimf yang berfungsi sebagai suplemen
dalam kultur sel. Pencegahan pencokelatan
enzimatis pada hemolimf dilakukan dengan
menambahkan feniltiourea (PTU). Zat ini
merupakan inhibitor yang efektif dalam
pencegahan melanisasi hemolimf serangga
(Arakawa 1995). Ion tembaga yang
merupakan kofaktor pada fenol oksidase akan
diikat oleh PTU sehingga fenol oksidase
menjadi tidak aktif. Zat PTU akan dipisahkan
dengan sentrifugasi ketika hemolimf akan
digunakan, untuk menghindari pengaruh PTU

6

pada saat kultur sel. Zat PTU bersifat toksik
bagi sel (Wyatt 1956).

dengan nilai r2 0,9928. Kadar karbohidrat
hemolimf ini berada di antara kisaran kadar
karbohidrat yang telah dianalisis oleh Wyatt
(1956) sebesar 1,66–6,35 mg/mL.
Karbohidrat pada hemolimf memiliki jumlah
yang sama dan dapat lebih besar dengan
karbohidrat pada FBS yang telah diukur oleh
Price & Gregory (1982) dengan kisaran 0,65–
2,47 mg/mL.
+ % %&!$'

Gambar 3 Hemolimf hasil sentrifugasi.
+ % '%
Penentuan kadar air hemolimf dilakukan
menggunakan metode gravimetri (AOAC
1984) pada suhu 105 ºC. Air yang terkandung
di dalam hemolimf akan menguap pada suhu
di atas 100 °C. Banyaknya air yang
terkandung diketahui dari selisih bobot
sebelum dan setelah pemanasan. Hasil
menunjukkan bahwa air merupakan penyusun
hemolimf yang terbesar. Kadar air rata@rata
pada hemolimf adalah 89,76%. Nilai kadar air
ini tidak jauh berbeda dengan pengukuran
kadar air hemolimf oleh Nakayama et .
(1990) yang bernilai 89% pada hari ke@7 instar
V. Kadar air yang sangat tinggi ini sudah
dapat diduga dari wujud hemolimf yang
berupa cairan encer.
+ %

%0&*'+% !

Karbohidrat pada hemolimf diukur
menggunakan pereaksi antron 0,1%. Antron
dalam asam sulfat akan membentuk senyawa
hidroksi furfural@antron jika bereaksi dengan
glukosa (Sukesi & Paramitha 2009). Warna
yang terbentuk dari reaksi antron dengan
standar gula adalah biru kehijauan yang khas
(Apriyantono
. 1989). Warna hijau biru
akan menyerap radiasi pada panjang ge@
lombang sekitar 680 nm (Nur & Adijuwana
1989b). Pengukuran absorbans dilakukan pada
panjang gelombang maksimum. Panjang
gelombang maksimum yang diperoleh adalah
681,6 nm. Panjang gelombang ini diperoleh
dengan memayarkan radiasi dari panjang
gelombang dari 500–700 nm.
Kadar karbohidrat hemolimf diperoleh
dengan memasukkan absorbans hemolimf
pada kurva standar. Kadar karbohidrat rata@
rata hemolimf 2,52 mg/mL. Persamaan kurva
standar glukosa adalah y = @0,0129 + 3,6164x

Pengukuran kadar protein hemolimf
dilakukan
dengan
metode
Bradford
menggunakan standar BSA. Pereaksi Bradford
yang berisikan
G@250 akan
membentuk warna biru jika ditambahkan pada
protein. Ikatan nonkovalen akan terbentuk
antara bentuk anion Coomassie Blue G@250
dan protein (Mikkelsen & Corton 2004).
Penentuan panjang gelombang maksimum
dilakukan dengan memayarkan radiasi dari
panjang gelombang 500–700 nm. Pemayaran
menghasilkan panjang gelombang maksimum
pada 597 nm.
Persamaan garis kurva standar BSA yang
diperoleh y = 0,0752 + 0,9132x dan nilai r2
0,9602. Hasil pengukuran menunjukkan
bahwa kadar protein rata@rata pada hemolimf
adalah 55,61 mg/mL. Kadar protein yang
diperoleh jauh lebih besar dibandingkan
karbohidrat walaupun hemolimf merupakan
darah pada ulat yang berfungsi mengedarkan
makanan sehingga banyak mengandung
karbohidrat. Protein menyusun sekitar 1,2–5,3
% dari hemolimf pada instar V (Wyatt
.
1956). Total protein pada hemolimf ini tidak
jauh berbeda dengan protein pada FBS. Total
protein pada FBS berkisar 32–70 mg/mL
(Price & Gregory 1982). Berdasarkan data
tersebut, protein pada hemolimf diduga
mampu menggantikan protein FBS dari segi
kuantitasnya.
+ % $

-

Kadar lemak hemolimf diukur dengan
menggunakan metode hidrolisis Weibull.
Lemak akan dihidrolisis dengan asam untuk
melepaskan lemak yang terikat lalu dilakukan
penghilangan sisa asam setelah disaring. Hasil
hidrolisis ini diekstraksi secara soxhlet
menggunakan pelarut n@heksana. Lemak yang
bersifat nonpolar akan terbawa oleh n@
heksana. Kadar lemak rata@rata hemolimf
adalah 2,57% atau 26,59 mg/mL dengan
massa jenis hemolimf menurut Ducceschi
(1902) sebesar 1,035 g/mL. Jika dibandingkan

7

dengan total lemak pada FBS yang telah
dianalisis oleh Caruso
. (1972) berkisar
1,4–4,4 mg/mL maka kadar lemak hemolimf
melebihi jumlah kadar lemak FBS.
% -"'

"' %&!$' +$ ,

)

Protein pada hemolimf dicirikan kom@
ponen penyusunnya serta ditentukan bobot
molekulnya. Pemisahan dan penentuan bobot
molekul penyusun protein dilakukan dengan
SDS@PAGE. Pencirian pada protein hemolimf
dilakukan karena diduga bahwa zat faktor
pertumbuhan umumnya berupa protein. Selain
itu, jumlah protein yang cukup banyak bahkan
melebihi karbohidrat di dalam hemolimf
merupakan salah satu pertimbangan bahwa
yang akan berperan sebagai suplemen nutrisi
kultur sel adalah protein.
Pemisahan penyusun protein hemolimf
dengan SDS@PAGE menghasilkan 15 pita
(Gambar 4). Pola yang terbentuk dari berbagai
perlakuan (a,b,c,d, dan e) pada hemolimf tetap
menunjukkan pola yang sama. Perbedaannya
hanya terletak pada jelas atau tidaknya pe@
misahan. Penggunaan etanol dilakukan untuk
memisahkan protein dari lemak dan dilanjut@
kan dengan menambahkan amonium sulfat
untuk memisahkan protein dari karbohidrat.

a

b

c

d

e

f

Gambar 4 Hasil SDS@PAGE.
Keterangan:

(a) hemolimf pengenceran 20x (b)
pengenceran 20x endapan fraksi
etanol (c) pengenceran 10x endapan
fraksi etanol (d) pengenceran 20x
fraksi
amonium
sulfat
(e)
pengenceran 10x fraksi amonium
sulfat (f)
&

Pita yang terbentuk ditentukan bobot mo@
lekulnya dengan memasukkan nilai mobilitas
relatif (Rm) ke dalam persamaan kurva
standar protein yang telah diketahui boboot
molekul penyusunnya (marker). Bobot

molekul dari ke@15 pita tersebut berturut@turut
dari mobilitas relatif yang kecil menuju besar
adalah 151,4865; 144,8281; 100,9562;
80,5675; 73,6095; 64,2964; 56,1570; 51,3123;
46;8855; 42,8406; 34,1899; 31,2403; 27,2860;
24,9329; dan 22,7796 kDa. Bobot molekul
yang kecil akan bermigrasi lebih jauh (Rm
yang besar) dibandingkan dengan bobot
molekul yang lebih besar (Rm yang kecil)
(Mikkelsen & Corton 2004). Pita dengan
bobot molekul 100,9562 kDa dan 31,2403
kDa merupakan pita yang lebih besar dan
lebih tebal dibandingkan pita yang lain.
Diduga pita yang tebal ini diakibatkan sangat
banyaknya jumlah komponen tersebut dalam
hemolimf.
Pita dengan bobot 51,3123; 46,8855;
42,8406; 34,1899; 27,2860; 24,9329; 22,7796
kDa tidak dapat dilihat secara jelas pada fraksi
amonium sulfat dengan pengenceran 10x. Hal
ini dikarenakan konsentrasinya sangat kecil
dan diperkirakan jumlahnya mendekati limit
deteksi
. Umumnya
mendeteksi protein dengan jumlah
terendah 50 ng tiap pita protein (Kappel
.
2002).
Polipeptida yang terbentuk perlu di@
identifikasi lebih lanjut mengenai penyusun@
nya. Terdapat 19 asam amino pada hemolimf,
yaitu glisin, alanin, β@alanin, valin, leusin,
isoleusin, prolin, fenilalanin, tirosin, serin,
treonin, asam aspartat, asparagin, asam
glutamat, glutamin, arginin, lisin, histidin, dan
metionin (Wyatt
1955). Asam amino ini
akan bergabung menjadi polipeptida dengan
bobot molekul seperti yang diperoleh dari
pemisahan dengan SDS@PAGE.
Analisis lanjut terhadap fraksi protein
dilakukan untuk mengetahui jenis zat faktor
pertumbuhan di dalam hemolimf. Salah satu
contoh faktor pertumbuhan pada hemolimf
yang telah diidentifikasi adalah protein
pemacu dalam replikasi
nucleopolyhedrovirus (BmNPV) (Kanaya &
Kobayashi 2000). Sebagai perbandingan, FBS
memiliki banyak hormon di antaranya adalah
insulin, kortison, hormon paratiroid (PTH),
prostaglandin E (PGE), dan
(PGP),
(FSH),
, hormon per@
tumbuhan, dan lainnya (Price & Gregory
1982).
$ , %#* $ & ' ( !$%* + .
$%!# 0#*
$ (1
Hemolimf diujikan pada kultur sel dengan
dicampurkan atau tanpa FBS untuk melihat

8

kemampuan hemolimf sebagai suplemen
nutrisi. Jumlah sel dihitung setiap 3 hari
hingga hari ke@9 untuk melihat kemampuan
hemolimf sebagai suplemen nutrisi kultur sel.
Perkembangan jumlah sel selama 9 hari dari
berbagai perlakuan suplemen nutrisi dapat
dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Perkembangan jumlah sel Sf9
dengan media pada berbagai
campuran
(FBS) dan hemolimf (H)
Berdasarkan grafik uji perkembangan
jumlah sel (Gambar 5), pertumbuhan sel yang
paling baik adalah pada penggunaan FBS
10%.
Penggunaan
hemolimf
tidak
menunjukkan pengaruh yang baik dalam
pertumbuhan jumlah sel. Semakin banyak
hemolimf yang digunakan, pertumbuhan sel
menjadi lebih besar penurunannya. Bahkan
kultur sel tanpa penambahan serum
menunjukkan jumlah sel yang selalu
meningkat dan ini lebih baik dibandingkan
dengan adanya keberadaan hemolimf yang
menunjukkan
penurunan
jumlah
sel.
Campuran hemolimf yang paling baik adalah
FBS 7,5% : hemolimf 2,5%. Namun, cam@
puran suplemen ini hanya memberikan
pertumbuhan sel sampai hari ke@6 dan setelah
hari ke@6 jumlah sel menurun.
Penggunaan hemolimf sebagai suplemen
nutrisi tidak menunjukkan hasil yang
diharapkan. Diduga ada beberapa penyebab
penggunaan hemolimf tidak menunjukkan
hasil yang diharapkan. Pertama adalah
ketidakmampuan sel Sf9 menyesuaikan
kondisi dengan keberadaan hemolimf sebagai
suplemen nutrisi. Hal ini disebabkan sel Sf9
yang digunakan merupakan hasil subkultur

dari kondisi media yang disuplementasi
nutrisinya oleh FBS sebesar 10%. Walaupun
kandungan karbohidrat, protein, dan lemak
hemolimf tidak jauh berbeda dengan FBS,
tetapi belum tentu jenis penyusunnya sama.
Oleh karena itu dibutuhkan adaptasi terlebih
dahulu pada kondisi sedikit nutrisi sehingga
sel Sf9 dapat menggunakan hemolimf sebagai
suplemen nutrisi.
Kedua adalah berubahnya warna hemolimf
pada saat inkubasi kultur sel Sf9 dari warna
kuning menjadi coklat kehitaman (Gambar 6).
Warna coklat kehitaman ini mengindikasikan
terjadinya oksidasi pada hemolimf sehingga
terbentuk senyawaan kuinon yang toksik bagi
sel sehingga menghambat pertumbuhan (Park
1998). Dibutuhkan suatu cara agar
hemolimf tidak teroksidasi, yaitu dengan
menggunakan penghambat kerja enzim
polifenol oksidase. Zat PTU yang berfungsi
sebagai penghambat proses oksidasi ini hanya
digunakan saat pengambilan hemolimf dari
ulat sutera. Dalam penggunaannya, hemolimf
dipisahkan dari PTU dengan sentrifugasi. Hal
ini dikarenakan PTU bersifat toksik bagi sel
(Wyatt 1955). Glutation merupakan salah satu
zat yang juga mampu menghambat reaksi
oksidasi ini. Akan tetapi, glutation hanya
mampu mencegah oksidasi selama 4 hari
sehingga diperlukan pemanasan hemolimf
pada suhu 60 °C selama 5 menit untuk
menggumpalkan enzim polifenol oksidase
(Wyatt 1955).

Gambar 6 Oksidasi hemolimf pada kultur sel
hari ke@3.

' .#
Jumlah
makrokomponen
penyusun
hemolimf adalah air 89,76%; karbohidrat 2,52
mg/mL; protein 55,61 mg/mL; dan lemak
2,57%. Kandungan karbohidrat, protein, dan
lemak hemolimf tidak jauh berbeda dengan
FBS. Protein hemolimf terdiri atas 15
komponen berdasarkan bobot molekulnya.
Bobot molekul komponen protein hemolimf

9

berkisar dari 22 kDa sampai 152 kDa.
Penggunaan hemolimf secara langsung dalam
kultur sel tidak dapat menumbuhkan sel Sf9
dengan baik. Hal ini diduga penggunaan sel
Sf9 tanpa adaptasi serta teroksidasinya
hemolimf merupakan penyebab buruknya
pertumbuhan sel Sf9.

[DSN] Dewan Standardisasi Nasional. 1992.
./ # &
#
0
+
12 3452 0 2553. Jakarta: Standar
Nasional Indonesia.
Ducceschi V. 1902. 11 sangue del Bombyx
mori allo stato larvale. *
*
80:365.

%
Diperlukan analisis lanjut mengenai fraksi
protein hemolimf sehingga dapat diketahui isi
dari fraksi tersebut. Dilakukan adaptasi dalam
kondisi sedikit nutrisi dan pencegahan oksi@
dasi hemolimf pada pengujian hemolimf
sebagai suplemen nutrisi kultur sel Sf9.

Even MS, Sandusky CB, Barnard ND. 2006.
Serum@free hybridoma culture: Ethical,
scientific and safety considerations.
6
24:105@108.
Fahas E. 2 Februari 2010. Si rakus pelahap
daun murbei. ' &
7 & .
Ferkovich SM, Oberlander H. 1991. Growth
factors in invertebrate in vitro culture. +
!
27:483@486.

Adam T, Pujiastuti Y, Irsan C. 2007.
Perbaikan pola pemberian pakan daun
murbei dan sanitasi ruangan untuk
meningkatkan kualitas dan produksi kokon
ulat sutera di Desa Payakabung Ogan Ilir
Sumatera Selatan. Di dalam: Program
Penerapan IPTEKS dan Vucer. '
'
(
'
&
#
& ; Indra@
laya, 6@7 Des 2007. Sumsel: LPM Unsri.
hlm 56@62.
AOAC. 1984. )
*)* +
AOAC Int.

#
*
. Ed ke@14. Virginia:

Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL,
Sedarnawati, Budiyanto S. 1989. *
'
. Bogor: PAU@IPB.
Arakawa T. 1995. Phenylthiourea, an
effective
inhibitor
of
the insect
haemolymph
melanization
reaction,
interferes with detection of lipoprotein
hidroperoxide. *
$
,
30:443@
449.
Bradford MM. 1976. A rapid and sensitive
method for quantitation of protein
utilization. The principle of protein@dye
binding. *
72:248@254.
Caruso TD, Boone CW, Mantel N, Kazam E,
Stevenson RE. 1972. Quality control
studies on fetal bovine serum used in
tissue culture. + 7:174@189.

Fournier E. 2001.
*

'
. Kanada: Wiley.

Freshney RI. 2006.
'
. Glasgow: Wiley.
Grace TDC. 1967. Insect cell culture and virus
research. + 3:104@117.
Granados RR, Li G, Blissard GW. 2007.
Insect cell culture and biotechnology.
22:83@93.
Gstraunthaler G. 2003. Alternatives to the use
of fetal bovine serum: Serum@free cell
culture. *
20:275@281.
Harvey

D.

2000. #
*
. New York: McGraw@Hill.

Hutahean S. 2002.
6 & &
' &

'

'
./
. Medan: USU.

Inoue K, Kinoshita T. 1976. Bactericidial
activity of the normal, cell@free
hemolymph of silkworms (
).
+
+
16:32@36.
Jochems CEA, Jan BF Van Der Valk, Stafleu
FR, Baumans V. 2003. The use of fetal
bovine serum: Ethical or scientific
problem? * 30:1@22.
Kanaya T, Kobayasi J. 2000. Purification and
characterization of an insect hemolymph
protein promoting in vitro replication of
the
nucleopolyhedrovirus.

10

8
1141.

%

-

81:1135@

Kappel W, Schuchard M, Mehigh R. 2002.
Proteosilver: high sensitivity silver stain
for SDS@PAGE. St.Louis: Sigma@Aldrich
Co.
Laemmli UK. 1970. Cleavage of structural
proteins during the assembly of the head
of bacteriophage T4.
227:680@685.
Lehninger AL. 1982. !
!
&
.
Jilid ke@2. Thenawidjaja M; penerjemah.
Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari:
'
)
Lynn DE. 2002. Methods for maintaining in@
sect cell cultures. 8
+
2.9:
1@6.
Mather JP, Roberts PE. 1998. +
6
: 6
6
9 . New York: Plenum.
Mellanby K. 2008. The functions of insect
blood.
'
14:243 [terhubungberkala]. http://ww@
w3.interscience.wiley.com/journal/119895
886/abstract?CRETRY=1&SRETRY=0
[14 Feb 2010].
Miao
. 2006. Proteomic analysis of the
silkworm (
L.) hemolymph
during developmental stage. '
7
5:2809@2814.
Mikkelsen SR, Corton E. 2004.
. New Jersey: Wiley.
Muniaraj M, Lal CS, Kumar S, Sinha PK, Das
P. 2007. Mik of cow (
), buffalo
(
) and goat (
): A better alternative for fetal
bovine serum in media for the primary
isolation, in vitro cultivation and
maintenance of :
prosmatigotes. 8
#
10:1@14.

Nur MA, Adijuwana H. 1989b. T & &
&
&
*
. Bogor:
PAU@IPB.
Park TH, Kim EJ. 1999. Reduction of FBS
concentration through adaption process in
mammalian cell culture and addition of
silkworm hemolymph in insect cell
culture. 8 #
9:227@229.
Park TH, Kim EJ, Rhee WJ. 2002. Silkworm
hemolymph as a potent inhibitor of
apoptosis in SF9 cells.
7
295:779@783.
Phelan MC. 1998.
#
6
Carolina: Wiley.

6

9
. South

Price PJ, Gregory EA. 1982. Relationship
between in vitro growth promotion and
biophysical and biochemical properties of
the serum supplement. + 18:576@
584.
Ryan JA. 2008. +
. St. Lowell: Corning.

*

Sonthisombat A, Speakman PT. 2004.
<
6
Patumthani: RIT.
Stehr FW. 1987. +
Kendall/Hunt.

+

&;
.

. Dubuque:

Sukesi, Paramitha GA. 2009. Produksi abon
ikan daging pari (Rayfish): karakterisasi
kimia ikan daging pari. [skripsi].
Surabaya: Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Teknologi
Sepuluh Nopember.
Suyono E. 2006. Pengaruh program kemitraan
bagi pengembangan ekonomi lokal
(KPEL) terhadap pendapatan petani budi@
daya ulat sutera di Kabupaten Wonosobo
[tesis]. Semarang: Program Pascasarjana,
Universitas Diponegoro.

Nakayama S, Fujii S, Yamamoto R. 1990.
Changes in activities of glycosidases in the
hemolymph of the silkworm,
, during larval development. 8
8 59:443@451.

Valk JVD
. 2004. The human collection
of fetal bovine serum and possibilities for
serum@free cell and tissue culture. 6
18:1@12.

Nur MA, Adijuwana H. 1989a. 6 & & '
*
. Bogor:
PAU@IPB.

Wyatt SS, Wyatt GR, Loughheed TC. 1956.
The chemistry of insect hemolymph:
Organic components of the hemolymph of

11

the silkworm,
species. 8 % '

, and two other
39:853@868.

Wyatt SS. 1956. Culture in vitro of tissue
from the silkworm,
:. 8 %
'
39:841@852.

ii

CHANDRA NUR KHALAM. Identifikasi Kandungan Hemolimf Ulat
Sutera (
) sebagai Suplemen
dalam Kultur
Sel Serangga. Dibimbing oleh IRMA H. SUPARTO dan DONDIN
SAJUTHI.
Penggunaan
(FBS) sebagai suplemen nutrisi dalam
kultur sel sangat penting untuk mendapatkan pertumbuhan sel yang baik.
Ketergantungan yang sangat tinggi dan masalah bioetika dalam penggunaan FBS
perlu mendapat perhatian khusus. Oleh karena itu, berbagai upaya untuk mencari
pengganti atau suplemen FBS terus dilakukan. Hemolimf ulat sutera dilaporkan
mengandung banyak nutrien yang dibutuhkan untuk proses metamorfosis. Hal ini
merupakan dapat digunakan sebagai alternatif suplemen nutrisi kultur sel,
sehingga diharapkan dapat mengurangi penggunaan FBS. Analisis
makrokomponen hemolimf, pemisahan fraksi protein, dan pengujian hemolimf
pada kultur sel
(Sf9) dilakukan untuk menggali informasi
kandungan dan kemampuan hemolimf sebagai suplemen nutrisi kultur sel. Hasil
analisis menunjukkan kandungan air pada hemolimf 89,76% air; 2,52 mg/mL
karbohidrat; 2,35% lemak; dan 55,61 mg/mL protein. Protein hemolimf terdiri
atas 15 fraksi yang mengandung bobot molekul dari 22 kDa sampai 152 kDa.
Penggunaan hemolimf pada kultur sel Sf9 secara langsung belum menghasilkan
pertumbuhan sel yang baik. Perlakuan tanpa adaptasi dan teroksidasinya
hemolimf pada saat kultur sel diduga merupakan penyebab buruknya
pertumbuhan sel Sf9.

CHANDRA NUR KHALAM. Identification of Silkworm (
)
Hemolymph Content as Fetal Bovine Serum Supplement in Insect Cell
Culture. Under direction of IRMA H. SUPARTO and DONDIN SAJUTHI.
The use of fetal bovine serum (FBS) as nutritional supplement in cell
culture is very important for cell growth. High dependence and bioethical issues
on the use of FBS needs special attention. Therefore, continuous effort to search
for its replacement or supplement is still needed. Hemolymph silkworm has been
reported that it contains many nutrients needed for the process of metamorphosis.
This can be used as an alternative nutritional supplement for cell culture, so it can
reduce the use of FBS. Hemolymph macrocomponent analysis, separation of
protein fractions, and tested as medium supplement for
(Sf9) cell culture were performed. Hemolymph has 89.76% moisture content; 2.52
mg/mL carbohydrate; 2,35% fat; and 55.61 mg/mL protein. Further protein
analysis revealed that, it consists of 15 fractions containing molecular weight from
22 to 152 kDa. The use of hemolymph on Sf9 cell culture in this study showed
that it did not support cell growth. Treatment without adaption and hemolymph
oxidation during cell culture could be the cause of poor growth of Sf9 cells.

1

Kultur sel atau kultur jaringan adalah
perbanyakan sel atau jaringan secara
.
Kondisi lingkungan pada kultur sel harus
disesuaikan dengan kondisi pada tempat
asalnya. Kondisi dan pengaturan lingkungan
kultur terdiri atas media, komposisi udara, dan
suhu. Media tempat pertumbuhan sel memiliki
peran penting sebagai salah satu syarat kultur
sel dan mengandung komponen@komponen
yang dibutuhkan dalam kultur. Media
ditambahkan dengan serum yang berperan
sebagai suplemen nutrisi dalam kultur sel.
Serum berfungsi sebagai perangsang
terjadinya proliferasi sel. Serum yang sering
digunakan sebagai suplemen kultur sel adalah
serum janin sapi atau
(FBS). Harga FBS cukup mahal sehingga
biaya untuk mengultur suatu sel menjadi
tinggi. Pembuatan FBS sintetik dengan
menggabungkan berbagai komponen yang
dibutuhkan juga sangat mahal dan tidak
mudah dalam proses pembuatannya (Muniaraj
2007).
Beberapa produksi FBS kurang baik dalam
prosesnya dan mendapat pertentangan dari
berbagai pihak terutama pencinta binatang.
Akan tetapi, kebutuhan terhadap FBS akan
semakin tinggi dengan semakin banyaknya
penggunaan atau kegiatan kultur sel. Serum
yang diproduksi untuk setiap tahunnya
diperkirakan sekitar 500.000 liter dan lebih
dari 1.000.000 janin sapi harus digunakan
setiap tahunnya (Gstraunthaler 2003, Jochems
2003).
Hemolimf ulat sutera mengandung protein
yang cukup tinggi sehingga dapat menjadi
alternatif dalam mengurangi jumlah pe@
makaian FBS. Park dan Kim (1999) telah
membuktikan bahwa hemolimf ulat sutera
dapat menjadi campuran FBS dalam kultur sel
serangga. Hal ini merupakan suatu peluang
dalam mengurangi pemakaian FBS.
Kajian lebih lanjut pada protein perlu
dilakukan untuk mengetahui keberhasilan
hemolimf sebagai campuran FBS pada kultur
sel serangga. Hal ini dikarenakan zat per@
tumbuhan umumnya terdapat dalam bentuk
protein. Melalui pemahaman kandungan atau
komposisi hemolimf diharapkan dapat di@
peroleh informasi dalam pendugaan mengenai
sebab hemolimf dapat berfungsi sebagai
suplemen FBS dalam kultur sel serangga.
Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan
identifikasi komponen atau kan@dungan pada
hemolimf dan menguji hemolimf sebagai
suplemen nutrisi dalam kultur sel serangga.

! "#!$%
Ulat sutera (
) adalah larva
yang memiliki nilai ekonomi tinggi karena
dapat menghasilkan sutera untuk bahan dasar
kain. Selain sebagai penghasil sutera, ulat ini
juga digunakan dalam pengobatan. Sebagai
contoh, kotoran ulat sutera banyak diman@
faatkan sebagai obat jerawat (Fahas 2010).
Ulat sutera banyak ditemukan di daerah
Asia. Dalam klasifikasi taksonomi, ulat sutera
termasuk ke dalam ordo Lepidoptera, subordo
Bombycoidea, dan famili Bombycidae (Stehr
1987). Umumnya, makanan ulat sutera adalah
daun
(Gambar 1) (Sonthisombat &
Speakman 2004).

Gambar 1 Ulat sutera dan daun

.

Secara keseluruhan, hidup ulat sutera ter@
bagi atas 4 tahap (Sonthisombat & Speakman
2004) (Gambar 2). Tahap pertama, telur akan
menjadi ulat muda setelah 9–12 hari. Tahap
kedua, ulat berkembang dengan instar I (3–4
hari), instar II (2–3 hari), instar III (3–4 hari),
instar IV (5–6 hari), dan instar V (7–6 hari).
Tahap ketiga, ulat menjadi kepompong dan
membentuk kupu@kupu pada tahap keempat.

Gambar 2 Siklus hidup ulat sutera.(Son@
thisombat & Speakman 2004)

1

Kultur sel atau kultur jaringan adalah
perbanyakan sel atau jaringan secara
.
Kondisi lingkungan pada kultur sel harus
disesuaikan dengan kondisi pada tempat
asalnya. Kondisi dan pengaturan lingkungan
kultur terdiri atas media, komposisi udara, dan
suhu. Media tempat pertumbuhan sel memiliki
peran penting sebagai salah satu syarat kultur
sel dan mengandung komponen@komponen
yang dibutuhkan dalam kultur. Media
ditambahkan dengan serum yang berperan
sebagai suplemen nutrisi dalam kultur sel.
Serum berfungsi sebagai perangsang
terjadinya proliferasi sel. Serum yang sering
digunakan sebagai suplemen kultur sel adalah
serum janin sapi atau
(FBS). Harga FBS cukup mahal sehingga
biaya untuk mengultur suatu sel menjadi
tinggi. Pembuatan FBS sintetik dengan
menggabungkan berbagai komponen yang
dibutuhkan juga sangat mahal dan tidak
mudah dalam proses pembuatannya (Muniaraj
2007).
Beberapa produksi FBS kurang baik dalam
prosesnya dan mendapat pertentangan dari
berbagai pihak terutama pencinta binatang.
Akan tetapi, kebutuhan terhadap FBS akan
semakin tinggi dengan semakin banyaknya
penggunaan atau kegiatan kultur sel. Serum
yang diproduksi untuk setiap tahunnya
diperkirakan sekitar 500.000 liter dan lebih
dari 1.000.000 janin sapi harus digunakan
setiap tahunnya (Gstraunthaler 2003, Jochems
2003).
Hemolimf ulat sutera mengandung protein
yang cukup tinggi sehingga dapat menjadi
alternatif dalam mengurangi jumlah pe@
makaian FBS. Park dan Kim (1999) telah
membuktikan bahwa hemolimf ulat sut