Pengujian Resistensi Tribolium castaneum Herbst. (Coleoptera: Tenebronidae), Rhyzopertha dominica (F.) (Coleoptera: Bostrichidae), Cryptolestes sp. (Coleoptera: Laemopholidae) terhadap Fosfin dan Keragaan Relatif Strain Resisten.

PENGUJIAN RESISTENSI Tribolium castaneum Herbst.
(Coleoptera: Tenebronidae), Rhyzopertha dominica (F.)
(Coleoptera: Bostrichidae), Cryptolestes sp.
(Coleoptera: Laemopholidae) TERHADAP FOSFIN
DAN KERAGAAN RELATIF STRAIN RESISTEN

LISTIKA MINARTI

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

ii

ABSTRAK

LISTIKA MINARTI. Pengujian Resistensi Tribolium castaneum Herbst.
(Coleoptera: Tenebronidae), Rhyzopertha dominica (F.) (Coleoptera:
Bostrichidae), Cryptolestes sp. (Coleoptera: Laemopholidae) terhadap Fosfin dan

Keragaan Relatif Strain Resisten. Dibimbing oleh IDHAM SAKTI HARAHAP.
Fosfin merupakan salah satu jenis fumigan yang dibuat secara khusus untuk
mengendalikan serangga hama gudang. Penggunaan fosfin yang terus-menerus
dan cara aplikasi yang tidak tepat dapat menyebabkan terjadinya resistensi
terhadap fumigan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat resistensi T.
castaneum, R. dominica dan Cryptoletes sp. terhadap fosfin, serta keragaan relatif
strain resisten dari beberapa lokasi di Pulau Jawa. Penelitian dilaksanakan di
Laboratorium Entomologi SEAMEO BIOTROP dari bulan April sampai
November 2011. Serangga yang digunakan untuk pengujian resistensi adalah
serangga yang dikumpulkan dari beberapa lokasi seperti: Probolinggo, Indramayu,
Semarang, Ciamis, Surakarta, dan Klaten. Sedangkan untuk pengujian keragaan
relatif, serangga yang resisten disilangkan dengan serangga yang rentan dari
SEAMEO BIOTROP. Pengujian resistensi dilaksanakan sesuai metode FAO
(1980) menggunakan 7 tingkat konsentrasi fosfin yaitu 0.000, 0.010, 0.015, 0.020,
0.030, dan 0.040 mg/l dengan ulangan sebanyak 2 kali. Jumlah serangga uji setiap
ulangan adalah 50 ekor. Perlakuan fumigasi dilakukan pada stoples kaca
bervolume 2 l dengan pemaparan gas fosfin selama 20 jam, setelah itu serangga
dipindahkan kedalam stoples kaca lainnya dengan diberi pakan dan diamati
mortalitasnya setelah 14 hari fumigasi. Pengamatan dilakukan terhadap mortalitas
dan fekunditas serangga uji. Data pengujian mortalitas serangga uji dianalisis

dengan Analisis Probit dengan menggunakan program POLO-PC untuk
mendapatkan nilai LD50 dan LD99.9 dari masing-masing lokasi. Nilai LD99.9
serangga uji tersebut selanjutnya dibandingkan dengan nilai LD99.9 serangga yang
rentan dari BIOTROP, hal ini sesuai dengan metode FAO (1980) untuk
mengetahui tingkat resistensi serangga uji dari masing-masing lokasi. Jika hasil
pengujian dengan pemaparan gas fosfin selama 20 jam terdeteksi resisten, maka
dilakukan pengujian lanjut dengan pemaparan gas fosfin selama 48 jam. Dari tiga
sampel serangga yang diuji, R. dominica merupakan serangga uji yang tingkat
resistensinya lebih tinggi terhadap fosfin dibandingkan dengan T. castaneum.
Sedangkan Cryptolestes sp. tidak menunjukkan terjadinya resistensi. Faktor
resistensi (RF) berkisar antara 1 – 15.5 kali. Selain itu juga, pengujian keragaan
relatif strain resisten menunjukkan bahwa resistensi dapat menurunkan keperidian
atau fekunditas serangga itu sendiri. Persilangan antara strain resisten dengan
strain rentan dapat menurunkan tingkat resistensi di generasi berikutnya.
Kata kunci : T. castaneum, R. dominica, Cryptolestes sp., Resistensi, LD50,
LD99.9.

iii

PENGUJIAN RESISTENSI Tribolium castaneum Herbst.

(Coleoptera: Tenebronidae), Rhyzopertha dominica (F.)
(Coleoptera: Bostrichidae), Cryptolestes sp.
(Coleoptera: Laemopholidae) TERHADAP FOSFIN
DAN KERAGAAN RELATIF STRAIN RESISTEN

LISTIKA MINARTI

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Pertanian
Pada
Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

iv


Judul

: Pengujian Resistensi Tribolium castaneum Herbst.
(Coleoptera: Tenebronidae), Rhyzopertha dominica (F.)
(Coleoptera: Bostrichidae), Cryptolestes sp. (Coleoptera:
Laemopholidae) terhadap Fosfin dan Keragaan Relatif
Strain Resisten.

Nama Mahasiswa

: Listika Minarti

NRP

: A34070071

Disetujui
Dosen Pembimbing


Dr. Ir. Idham Sakti Harahap, M.Si
NIP. 19591022 198503 1 002

Diketahui
Ketua Departemen Proteksi Tanaman

Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si
NIP. 19650621 198910 2 001

Tanggal lulus:

v

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Sawah, Kecamatan Kampar Utara, Kabupaten
Kampar, Provinsi Riau pada tanggal 22 Agustus 1989. Penulis adalah anak ketiga
dari lima bersaudara dari keluarga Bapak Anwar dan Ibu Murni. Penulis memiliki
dua orang abang yang bernama Yudi Istira Hendra Yana, dan Iwan Hermawan,
dan memiliki dua orang adik bernama Eni Deswita dan Fahmi Husnan.

Penulis lulus dari SDN 021 Sawah pada tahun 2001, kemudian melanjutkan
ke Sekolah MTs Desa Sawah dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun yang sama
melanjutkan ke SPP-SPMA N Riau dan lulus pada tahun 2007.
Pada tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswi Institut Pertanian
Bogor melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) dari Pemerintahan Provinsi
Riau dan diterima sebagai mahasiswi Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti pendidikan, penulis pernah
menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman (HIMASITA) Divisi
Public Relation periode 2010/2011, Bendahara umum Himpunan Keluarga Pelajar
Mahasiswa Kampar (HIKAPEMAKA) Bogor periode 2008/2009 dan 2009/2010.
Penulis juga aktif mengikuti pelatihan dan seminar diantaranya, Seminar
Pertanian Nasional “Pemuda, Mahasiswa, dan Teknoligi Pertanian dalam
Mengatasi Krisis Pangan” pada tahun 2008, Seminar Nasional dan penanaman
“Save Mangrove for Our Earth” pada tahun 2011, Seminar “Reklamasi Lahan
Bekas Tambang untuk Mendukung Pembangunan yang Berkelanjutan” pada
tahun 2011, dan mengikuti Pelatihan “Pengelolaan Hama Gudang Terpadu” pada
tahun 2011. Penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Dasar-Dasar Proteksi
Tanaman pada semester genap tahun ajaran 2009/2010.

vi


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan hanya untuk Allah SWT atas seluruh
berkah rahmat dan karunia Nya yang telah diberikan kepada seluruh manusia dan
shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah SAW sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengujian Resistensi
Tribolium castaneum Herbst. (Coleoptera: Tenebronidae), Rhyzopertha dominica
(F.) (Coleoptera: Bostrichidae), Cryptolestes sp. (Coleoptera: Laemopholidae)
terhadap Fosfin dan Keragaan Relatif Strain Resisten”.
Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir.
Idham Sakti Harahap, M.Si. sebagai dosen pembimbing dan Drs. Sunjaya serta Ir.
Sri Widayanti sebagai pembimbing di Laboratorium Entomologi SEAMEO
BIOTROP yang telah memberikan pengetahuan, pengarahan, dukungan, dan
bimbingan sejak awal hingga akhir penelitian. Ucapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada Dr. Ir. Swastiko Priyambodo, M.Si. selaku dosen pembimbing
akademik yang banyak memberikan dukungan dan motivasi dalam menyelesaikan
pendidikan selama di IPB. Terima kasih kepada Dr. Ir. Giyanto, M.Si selaku
dosen penguji tamu yang telah memberikan banyak masukan dan koreksi
penulisan skripsi ini. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh

staf pengajar Fakultas Pertanian dan laboran Departemen Proteksi Tanaman yang
telah memberikan ilmu dan pengalaman selama menyelesaikan pendidikan di
Fakultas Pertanian IPB.
Tidak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih untuk Ibunda Murni dan
Ayahanda Anwar tercinta, Atuk, Abang, dan Adik untuk dukungan, do’a, kasih
dan sayang yang selalu diberikan hingga menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih
kepada Mas Heri Yanto dan Bapak Mukhtar atas bantuan kerjasama dan
dukungan moril di Laboratorium Entomologi SEAMEO BIOTROP hingga
menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih kepada teman-teman DPT 44: Jessica
Valindria, Lutfi Afifah, Irma Utami Siagian, Kurniatus Ziyadah dan teman-teman
lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas kebersamaan, semangat,
persahabatan dan dukungannya selama kuliah. Terima kasih kepada teman dan
sahabat yang sekaligus telah menjadi keluarga di Bogor: Winda Puspita Sari,
Indah Permatasari, Tika Sri Aminah, Gabby Elfanda Mumpunie, Nurul Inayah,
Tifanny Sukmawati, Fatma Silviani, Christine Mahardika, Ita Utami Aidid, Alfia
Ainur Azizih, Eva Arifah, Asia atas kebersamaan dan kenangan indah selama ini.
Terima kasih kepada Keluarga Pelajar Mahasiswa Kampar Bogor: Mardiyanto,
Elmilia Alda, Yeni Elvia, Frensi Firma, Adly Firma atas kebersamaan selama ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini.
Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan demi

penulisan yang lebih baik. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan
memberikan pengetahuan bagi siapa saja yang membacanya.
Bogor, Januari 2012
Listika Minarti

vii

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL .....................................................................................

ix

DAFTAR GAMBAR .................................................................................

x

DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................


xi

PENDAHULUAN ......................................................................................

1

Latar Belakang ........................................................................................

1

Tujuan ......................................................................................................

2

Manfaat Penelitian ...................................................................................

3

TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................


4

Tribolium castaneum (Herbst) .................................................................

4

Rhyzopertha dominica (Fabricius) ..........................................................

5

Cryptolestes spp. .....................................................................................

7

Pemilihan Fosfin sebagai Fumigan .........................................................

8

Fumigasi dengan fosfin ...........................................................................

10

Karakteristik Fosfin .................................................................................

10

Formulasi dan Bentuk Fosfin ..................................................................

11

BAHAN DAN METODE ..........................................................................

13

Tempat dan Waktu Penelitian .................................................................

13

Bahan dan Alat ........................................................................................

13

Metode Penelitian ....................................................................................

13

Pemeliharaan Serangga Uji .................................................................

13

Persiapan Pengujian .............................................................................

14

Pelaksanaan Fumigasi ..........................................................................

16

Pengujian Resistensi ............................................................................

18

Pengujian Keragaan Relatif .................................................................

18

Analisis Data ...........................................................................................

19

HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................

20

Pengujian Resistensi ................................................................................

20

Pengujian Keragaan Relatif Strain Resisten ............................................

22

viii

Faktor Resistensi ..................................................................................

22

Fekunditas Serangga Uji ......................................................................

26

KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................

29

Kesimpulan ..............................................................................................

29

Saran ........................................................................................................

29

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................

30

LAMPIRAN ...............................................................................................

33

ix

DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1 Deskripsi fumigan fosfin ...............................................................

11

Tabel 2 Bentuk formulasi dan kandungan bahan aktif Fosfin ...................

12

Tabel 3 Nilai LD50, LD99.9 dan Faktor Resistensi (RF) T. castaneum dari
beberapa lokasi dengan periode fumigasi selama 20 dan 48 jam .

20

Tabel 4 Nilai LD50, LD99.9 dan Faktor Resistensi (RF) R. dominica dari
beberapa lokasi dengan periode fumigasi selama 20 dan 48 jam .

21

Tabel 5 Nilai LD50 , LD99.9 dan Faktor Resistensi (RF) T. castaneum
(F1 dan F2) dari beberapa lokasi dengan periode fumigasi selama
20 dan 48 jam ................................................................................

23

Tabel 6 Nilai LD50, LD99.9 dan Faktor Resistensi R. dominica (F1 dan F2)
dari beberapa lokasi dengan periode fumigasi selama 20 dan
48 jam............................................................................................

24

Tabel 7 Nilai LD50, LD99.9 dan Faktor Resistensi Cryptolestes sp.
(F1 dan F2) dari beberapa lokasi dengan periode fumigasi selama
20 dan 48 jam ................................................................................

25

Tabel 8 Faktor resistensi dan fekunditas/keperidian serangga T.castaneum,
R. dominica, dan Cryptolestes sp.pada keturunan F1 dan F2 selama
14 hari ...........................................................................................

27

x

DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1 Imago T. castaneum .................................................................

5

Gambar 2 Imago R. dominica ....................................................................

6

Gambar 3 Imago Cryptolestes spp. ............................................................

8

Gambar 4 Alat penghasil gas fosfin ...........................................................

14

Gambar 5 Cincin paralon tempat menyimpan serangga dan magnet
pengaduk; (a) tampak atas, (b) tampak samping ......................

15

Gambar 6 Stoples berisi serangga uji yang telah ditutup rapat dengan
plastisin; (a) stoples berisi serangga uji, (b) stoples yang telah
ditutup dengan plastisin ............................................................

16

Gambar 7 Karet penutup lubang stoples tempat menginjeksikan gas
fosfin; (a) karet penutup stoples, (b) tutup stoples yang ditutup
dengan plastisin ........................................................................

16

Gambar 8 Aplikasi gas fosfin ke dalam stoples dengan menggunakan
alat suntik; (a) pengambilan gas fosfin. (b) penyuntikan gas
fosfin kedalam stoples ..............................................................

17

Gambar 9 Alat pengaduk magnetik............................................................

17

Gambar 10 Inkubasi serangga uji setelah aplikasi .....................................

18

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi T. castaneum
terhadap Fosfin (Probolinggo) dengan Pengamatan 20 jam. .

34

Lampiran 2 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi T. castaneum
terhadap Fosfin (Indramayu) dengan Pengamatan 20 jam ....

35

Lampiran 3 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi T.castaneum
terhadap Fosfin (Biotrop) dengan Pengamatan 20 jam .........

36

Lampiran 4 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi T. castaneum
terhadap Fosfin (Biotrop Vs Probolinggo) dengan
Pengamatan 20 jam ................................................................

37

Lampiran 5 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi T. castaneum
terhadap Fosfin (Biotrop Vs Indramayu) dengan
Pengamatan 20 jam ................................................................

38

Lampiran 6 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi T. castaneum
terhadap Fosfin (Biotrop Vs Semarang) dengan
Pengamatan 20 jam ................................................................

39

Lampiran 7 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi T.castaneum
(F2) terhadap Fosfin (Biotrop Vs Probolinggo) dengan
Pengamatan 20 jam ................................................................

40

Lampiran 8 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi T. castaneum
(F2) terhadap Fosfin (Biotrop Vs Indramayu) dengan
Pengamatan 20 jam ................................................................

41

Lampiran 9 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi T. castaneum (F2)
terhadap Fosfin (Biotrop Vs Semarang) dengan Pengamatan
20 jam ....................................................................................

42

Lampiran 10 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi R. dominica
terhadap Fosfin (Probolinggo) dengan Pengamatan 20 jam ..

43

Lampiran 11 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi R. dominica
terhadap Fosfin (Ciamis) dengan Pengamatan 20 jam ..........

44

xii

Lampiran 12 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi R. dominica
terhadap Fosfin (Biotrop) dengan Pengamatan 20 jam .........

45

Lampiran 13 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi R. dominica
terhadap Fosfin (Biotrop Vs Probolinggo) dengan
Pengamatan 20 jam ................................................................

46

Lampiran 14 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi R. dominica
terhadap Fosfin (Biotrop Vs Ciamis) dengan Pengamatan
20 jam ....................................................................................

47

Lampiran 15 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi R. dominica (F2)
terhadap Fosfin (Biotrop Vs Probolinggo) dengan
Pengamatan 20 jam ................................................................

48

Lampiran 16 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi R. dominica (F2)
terhadap Fosfin (Biotrop Vs Ciamis) dengan Pengamatan
20 jam ....................................................................................

49

Lampiran 17 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi Cryptolestes sp.
terhadap Fosfin (Biotrop) dengan Pengamatan 20 jam .........

50

Lampiran 18 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi Cryptolestes sp.
terhadap Fosfin (Biotrop Vs Klaten) dengan Pengamatan
20 jam ....................................................................................

51

Lampiran 19 Hasil Analisis Probit Pengujian Resistensi Cryptolestes sp.
terhadap Fosfin (Biotrop Vs Surakarta) dengan Pengamatan
20 jam. ...................................................................................

52

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Penyimpanan merupakan suatu kegiatan pascapanen yang sangat penting.
Selama dalam masa penyimpanan, komoditas pangan dapat mengalami kerusakan
yang disebabkan oleh serangan serangga hama. Besarnya kerusakan dan
kehilangan pada komoditas pangan yang disimpan di negara berkembang dapat
mencapai lebih dari 20% (Phillips & Thorne 2010). Jenis hama gudang yang
dapat merusak bahan pangan yang disimpan di antaranya adalah Tribolium
castaneum Herbst. (Coleoptera: Tenebrionidae), Rhyzopertha dominica (F.)
(Coleoptera: Bostrichidae), dan Cryptolestes sp. (Coleoptera: Laemophloeidae).
Ketiga jenis hama gudang ini memberikan kontribusi terhadap kerusakan yang
terbesar pada komoditas pangan yang disimpan, baik secara kuantitatif maupun
kualitatif.
Saat ini upaya pengendalian populasi hama gudang masih bertumpu pada
fumigasi dan penyemprotan insektisida kontak, karena cukup mudah dan hasilnya
cepat diketahui. Fumigan yang efektif untuk mengendalikan hama gudang adalah
metil bromida (CH3Br) dan fosfin (PH3). Kedua jenis fumigan ini dapat digunakan
secara bergiliran untuk memperlambat munculnya resistensi pada hama gudang.
Namun sejak Montreal Protocol diberlakukan pada tahun 1995 penggunaan metil
bromida dibatasi karena mengandung bahan kimia yang reaktif, merubah sifat dari
unsur-unsur beberapa bahan yang biasanya difumigasi, selain itu juga berbahaya
karena beracun dan dapat merusak lapisan ozon. Saat ini satu-satunya fumigan
yang dapat digunakan untuk mengendalikan serangan hama gudang adalah gas
fosfin (ACIAR 1998).
Fumigasi adalah suatu tindakan atau perlakuan terhadap hama pada
komoditas dengan menggunakan senyawa kimia tertentu, di ruang kedap udara,
pada suhu, dan tekanan tertentu. Selain mempunyai dampak positif, fumigasi juga
menyebabkan permasalahan yang cukup serius, yaitu terjadinya resistensi hama
terhadap fumigasi (ACIAR 1998).
Keberhasilan pelaksanaan fumigasi ditentukan oleh berbagai faktor antara
lain oleh dosis dan lama fumigasi (exposure period) (TDRI 1985, Daglish 2004).

2

Menurut Hole et.al. (1976), fumigasi dengan menggunakan fosfin dosis rendah
dan waktu perlakuan lebih lama akan lebih efektif dibandingkan dengan dosis
fosfin yang tinggi dengan lama perlakuan yang singkat. Penentuan dosis fosfin
bergantung pada berbagai faktor antara lain kondisi lingkungan, penyimpanan,
lama perlakuan serta jenis serangga utama yang dikendalikan (TDRI 1983).
Menurut Heseltine (1973), terdapat perbedaan kerentanan terhadap fosfin yang
besar di antara berbagai jenis serangga, sehingga sulit untuk menentukan tingkat
dosis yang mampu mengendalikan berbagai jenis serangga sekaligus.
Menurut Lorini & Collins (2003) penggunaan fosfin yang terus-menerus
dalam waktu yang lama dapat memicu timbulnya resistensi hama. Hasil penelitian
antara BULOG dan TDRI (Tropical Development Research Institute) telah
menunjukkan indikasi adanya resistensi hama gudang seperti T. castaneum, R.
dominica, Cryptolestes sp, dan serangga lainnya terhadap fosfin (Sidik & Pranata
1988). Resistensi serangga terhadap fosfin telah menjadi masalah di Australia,
Cina, India, dan Brasil (Pimentel et.al. 2006). Pada awalnya resistensi dilaporkan
pada tingkat rendah, tetapi pada pertengahan tahun 1990 beberapa strain serangga
di beberapa negara berkembang menjadi resistensi tingkat tinggi (Su et.al. 2008).
Permasalahan yang tejadi di negara lain dimana resistensi yang tinggi terhadap
fosfin timbul pada sejumlah spesies hama sebagai akibat dari cara fumigasi yang
tidak tepat. Oleh sebab itu perlu dilakukan pengujian resistensi terhadap populasi
hama gudang.

Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat resistensi T.
castaneum, R. dominica dan Cryptolestes sp. terhadap fosfin, serta keragaan
relatif strain resisten dari beberapa lokasi di Pulau Jawa.

3

Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat memberikan
informasi tentang terjadinya resistensi T. castaneum, R. dominica, dan
Cryptolestes sp. terhadap fosfin di Pulau Jawa, yang mencakup tingkat resistensi
dan keragaan relatif dari strain yang resisten.

4

TINJAUAN PUSTAKA

Tribolium castaneum (Herbst)
Serangga T. castaneum termasuk ordo Coleoptera dan famili Tenebronidae.
Serangga

ini

mengalami

metamorfosis

sempurna

(holometabola)

yaitu

perkembangannya melalui fase telur, larva, pupa, dan imago. Serangga ini
merupakan hama sekunder yang bersifat kosmopolitan dan termasuk external
feeder pada tepung dan serealia lain (Haines 1991). Menurut Munro (1966) dan
Ress (2004), Tribolium spp. merupakan serangga yang paling banyak terdapat
pada penyimpanan serealia.
Tribolium castaneum merupakan salah satu spesies serangga hama penting
di daerah tropika. Serangga ini merupakan hama yang paling banyak ditemukan di
gudang penyimpanan biji-bijian serealia, khususnya pada produk olahan seperti
tepung dan beras giling. Bahan pangan yang terserang berat biasanya tercemar
oleh benzokuinon (ekskresi T. castaneum) sehingga tidak layak untuk dikonsumsi
(Sunjaya & Widayanti 2006).
Tribolium castaneum dikenal sebagai kumbang tepung (rust red flour
beetle). Kumbang ini bertubuh pipih dan berwarna merah karat dengan panjang
tubuh 2,3 - 4,4 mm. Lama perkembangan serangga ini sangat bervariasi, antara
lain bergantung pada suhu, kelembaban, dan jenis makanan. Pada kondisi
optimum yakni suhu 35 0C dan kelembaban 75%, lama perkembangan dari telur
hingga dewasa mencapai 20 hari (Haines 1991). Kumbang betina meletakkan
telur di antara butiran tepung, secara acak. Telur menempel pada tepung dan
dilindungi oleh partikel – pertikel tepung. Kumbang betina dapat meletakkan telur
sampai dengan 1000 telur selama masa hidupnya (Ress 2004).
Larva dan imago memakan bahan makanan yang sama. Larva serangga ini
bertipe elateriform dan aktif bergerak mencari makan. Panjang larva T. castaneum
sekitar 10 mm (Ress 2004). Selama masa pertumbuhannya larva mengalami
pergantian kulit sebanyak 6 - 11 kali. Menjelang masa berkepompong larva akan
naik ke permukaan bahan pangan yang diserang (Mangoendihardjo 1984). Pupa
dapat ditemukan di antara komoditas yang diserang tanpa dilindungi kokon. Fase

5

telur dan pupa relatif singkat, lebih dari 60% dari siklus hidupnya dihabiskan
sebagai larva (Ress 2004).
Kumbang ini mampu bertahan hidup pada bahan pangan dengan kadar air
rendah dan terutama menimbulkan kerusakan pada serealia yang telah digiling,
namun perkembanganbiakannya tidak cepat pada serealia yang berkadar air
rendah, masih utuh dan bebas dari serpihan (Haines 1991).

Gambar 1 Imago T. castaneum
Pengendalian serangga T. castaneum yang sering dilakukan di gudang
penyimpanan beras yaitu dengan sanitasi gudang, mengatur sirkulasi udara, dan
kelembaban gudang. Selain itu, pengendalian dilakukan dengan cara fumigasi.

Rhyzopertha dominica (Fabricius)
Serangga R. dominica termasuk ordo Coleoptera dan famili Bostrychidae.
Serangga

ini

mengalami

metamorfosis

sempurna

(holometabola)

yaitu

perkembangannya melalui fase telur, larva, pupa, dan imago (Haines 1991).
Serangga ini termasuk hama primer dan banyak ditemukan di daerah tropika dan
subtropika, namun daerah hangat lebih disukai. Rhyzopertha dominica dapat
menyerang serealia yang masih utuh. Selain menyerang serealia, serangga ini juga
dapat menyerang gaplek (Sunjaya & Widayanti 2006).
Tanda serangan R. dominica pada gabah adalah adanya serbuk gerek yang
ditemukan di sekitar gabah tersebut dan kumbang yang terbang dari tumpukan
gabah tersebut menuju ke arah cahaya. Selain itu, material yang diserang menjadi
berlubang-lubang dan menghasilkan banyak serbuk atau tepung hasil gerekan.

6

Serangan kumbang ini dapat meningkatkan temperatur sehingga memicu
pertumbuhan cendawan (Harahap 2009).
Rhyzopertha dominica dikenal sebagai kumbang bubuk gabah (lesser grain
borer). Kumbang ini banyak ditemukan pada penyimpanan gabah. Fase larva dan
imago memakan bahan yang sama. Serangga dewasa melubangi biji-bijian dan
membuat lubang yang bentuk nya tidak beraturan sehingga menghasilkan bubuk
dalam jumlah yang banyak. Imago berbentuk silindris, panjang 2 - 3 mm, dan
berwarna coklat gelap sampai hitam, tepi elitra paralel, kepala menekuk ke bawah;
tidak terlihat dari arah dorsal, antena capitate dengan tiga ruas terakhir
membentuk bendolan, pada sisi depan pronotum terdapat barisan duri-duri halus
(Harahap 2009).
Telur diletakkan pada celah-celah di permukaan biji. Larva

dan pupa

terdapat di dalam biji. Fase larva lebih cepat berkembang pada biji-bijian yang
masih utuh daripada tepung. Larva kumbang ini berwarna putih sampai kuning
pucat. Larva kumbang ini berbentuk seperti huruf C (seperti larva kumbang
penggerek batang). Pupa R. dominica berukuran hampir 2 mm, berwarna putih
sampai hijau pucat (Munro 1966). Kondisi optimum untuk perkembangannya
adalah pada suhu 34 0C dan kelembaban 70%. Pada suhu 25 0C imago betina
dapat bertelur rata-rata 244 butir dan 418 butir pada suhu 34 0C (Sunjaya &
Widayanti 2006). Pada kondisi lingkungan yang mendukung perkembangannya
adalah tempat penyimpanan yang tertutup dengan bebijian yang ditimbun dalam
jumlah banyak untuk waktu yang lama. Kumbang ini menyukai tempat yang
berada di bagian bawah tumpukan bahan simpanan (Vardeman et.al 2007).

Gambar 2 Imago R. dominica

7

Pengendalian serangga R. dominica yang sering dilakukan di gudang
penyimpanan yaitu dengan sanitasi gudang, mengatur sirkulasi udara, dan
kelembaban gudang. Selain itu, pengendalian dilakukan dengan cara fumigasi.

Cryptolestes spp.
Serangga ini bersifat kosmopolitan, banyak ditemukan di daerah tropika.
Kumbang Cryptolestes spp. termasuk hama sekunder, banyak ditemukan dan
dapat menyerang produk biji-bijian yang berminyak (oilseed cake), serealia,
kacang tanah, tepung serealia, dan gaplek. Komoditi yang diserang Cryptolestes
ferrugineus menjadi berlubang-lubang (Sunjaya & Widayanti 2006).
Serangga ini berukuran kecil (1,5 - 2 mm), berbentuk pipih, berwarna coklat
terang, panjang toraks dan kepala hampir separuh daripada panjang tubuh, tipe
antena filiform dan panjang. Antena serangga betina lebih pendek daripada jantan.
Spesies kumbang ini hanya dapat dibedakan dari alat kelaminnya melalui
pembedahan. Fase larva dapat memakan bagian lembaga (germ) dari biji-bijian
sehingga dapat mengurangi persentase perkecambahan, menyebabkan susut berat,
nutrisi dan susut kualitas. Pada kondisi optimum, yakni suhu 33

0

C dan

kelembaban 70%, lama perkembangan C. ferrugineus dari telur hingga dewasa
adalah 23 hari. C. pussilus (Schonherr) lebih menyukai kelembaban lebih tinggi
daripada C. ferrugineus, yaitu pada suhu 33 0C dan kelembapan 80%, lama
perkembangan dari telur hingga dewasa 27 - 30 hari. Imago betina dapat bertelur
rata-rata 200 butir dan diletakkan di antara komoditas (Sunjaya & Widayanti
2006).

8

Gambar 3 Imago Cryptolestes spp.
Pengendalian serangga Cryptolestes spp. yang sering dilakukan di gudang
penyimpanan yaitu dengan sanitasi gudang, mengatur sirkulasi udara, dan
kelembaban gudang. Selain itu, pengendalian dilakukan dengan cara fumigasi.

Pemilihan Fosfin sebagai Fumigan
Fumigasi adalah suatu tindakan perlakuan terhadap suatu komoditi dengan
menggunakan fumigan tertentu, didalam ruang kedap udara, pada suhu dan
tekanan tertentu. Fumigan yang efektif untuk mengendalikan hama gudang adalah
metil

bromida

(CH3Br)

dan

fosfin

(PH3).

Sejarah

manajemen

hama

mengungkapkan bahwa awal penggunaan metil bromida (CH3Br) sebagai fumigan
dilaporkan oleh Le Goupil (1932), Jones (1938), Brown (1954), Lindgren et.al
(1954)., Monro dkk., (1961) dan Howe & Lubang (1966). Fosfin sebagai fumigan
pertama kali digunakan pada tahun 1934 (Freyberg 1935) dan dilakukan
pengembangan formulasi baru, yaitu tablet aluminium fosfida di Jerman pada
tahun 1953 (Mordkovich 2004).
Metil bromida merupakan salah satu fumigan yang dipakai secara luas di
seluruh dunia untuk mengendalikan organisme pengganggu (hama), khususnya di
bidang pertanian. Penggunaan metil bromida di bidang pertanian, di gudang
penyimpanan (pascapanen) serta untuk keperluan karantina dan prapengapalan
(Quarantine and Pre-shipment, QPS) diperkirakan mencapai 97% dari total metil

9

bromida yang diproduksi. Metil bromida termasuk salah satu bahan perusak
lapisan ozon (Hidayat 2009).
Sejak Montreal Protocol diberlakukan, fumigan dengan metil bromida tidak
boleh digunakan lagi, kecuali untuk keperluan karantina dan prapengapalan
karena belum ada alternatif penggantinya yang layak secara teknis dan ekonomis.
Fumigasi dengan metil bromida dapat mengakibatkan kerusakan atau penurunan
kualitas komoditas yang difumigasi. Selain itu, banyak negara mempersyaratkan
fumigasi dengan fosfin karena fosfin tidak banyak menimbulkan dampak negatif
terhadap lingkungan, khususnya kerusakan pada lapisan ozon. Perlakuan fumigasi
dengan fosfin merupakan salah satu alternatif pengganti metil bromida yang
umum digunakan dalam tindakan perlakuan fumigasi (DEPTAN 2007).
Umumnya fosfin digunakan dalam bentuk formulasi padat seperti
aluminium fosfida dan magnesium fosfida. Suhu dan kelembaban tertentu
diperlukan agar fosfin dapat menguap. Fosfin dalam bentuk formulasi magnesium
fosfida dapat melepaskan fosfin lebih cepat dan dapat digunakan pada temperatur
lebih rendah, misal 5 0C. Dalam perkembangannya fosfin juga diformulasikan
dalam bentuk gas cair. Di Indonesia pernah dicoba penggunaan fosfin dalam
formulasi gas cair, yaitu EcoFume. Hasil percobaan ini cukup baik, namun dirasa
teknik ini agak sulit untuk dilakukan karena membutuhkan alat-alat tertentu,
relatif mahal, dan ketersediaaannya terbatas. Oleh karena itu penggunaan fosfin
dalam formulasi padat merupakan pilihan yang paling baik untuk saat ini. Selain
mudah didapatkan juga mudah diaplikasikan digudang penyimpanan (Hidayat &
Halid 2009).
Perlakuan dengan fosfin secara berulang-ulang relatif tidak meninggalkan
residu pada komoditas. Sesuai dengan ketentuan Codex Alimentarius, batas residu
untuk inorganic fosfin yang diperbolehkan pada biji-bijian belum diolah 0,1
mg/kg, dan 0,01 mg/kg pada biji-bijian yang telah diolah. Fumigasi dengan
menggunakan fosfin harus memperhatikan sifat-sifat fisik dan kimianya, serta
dalam aplikasinya membutuhkan waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan
metil bromida. Untuk itu, yang perlu diperhatikan sebelum pelaksanaan fumigasi
dengan fosfin adalah ketersedian waktu yang cukup untuk pelaksanaan fumigasi,
kandungan air komoditas yang akan difumigasi, jenis komoditas, dan jenis

10

organisme pengganggu tumbuhan yang menjadi sasaran fumigasi (DEPTAN
2007).
Fumigasi dengan fosfin
Fumigasi dengan fosfin dapat dilaksanakan pada biji-bijian yang ditumpuk
dalam bentuk curah (bulk storage) maupun pada tumpukan kemasan yang berisi
biji-bijian (bagged stack stapel). Fosfin akan sangat efektif sebagai fumigan bila
diaplikasikan dengan menggunakan fosfin dosis rendah dalam waktu fumigasi
panjang. Periode pemaparan (exposure periode) sangat dipengaruhi oleh suhu.
Suhu minimum untuk fumigasi fosfin adalah 15 0C dan pada suhu dibawah 20 0C
waktu fumigasi yang direkomendasikan adalah 16 hari. Bahkan di daerah tropik
yang bersuhu tinggi waktu fumigasi tidak boleh kurang dari 5 hari. Bila fumigasi
dapat dilakukan selama tidak kurang dari 7 hari maka kemungkinan terjadinya
kegagalan fumigasi dapat dikurangi.
Peralatan untuk mengukur konsentrasi fosfin baik dalam tumpukan maupun
pada ruangan di sekitarnya untuk mengetahui apakah terjadi kebocoran pada
sungkup fumigasi, yang banyak digunakan adalah detektor gas (misalnya “drager
tubes”) dan alat pengukur fosfin elektronik (“electronic meter”). Dengan “drager
tubes” konsentrasi gas fosfin dapat diukur dengan cepat dan mudah. Sedangkan
“electronic meter” yang dilengkapi

dengan sensor elektrochemical dapat

menunda konsentrasi gas secara langsung dengan kisaran 0 – 2000 ppm dan
ditampilkan secara digital. Fumigasi dapat dikatakan berhasil apabila konsentrasi
fosfin tidak dibawah 150 ppm pada akhir hari ke lima fumigasi atau tidak
dibawah 100 ppm pada akhir hari ke tujuh (WFP, 2003).

Karakteristik Fosfin
Fosfin memiliki nama kimia hidrogen fosfida dengan rumus kimia PH3
deskripsinya dapat dilihat pada Tabel 1. Pemilihan fosfin sebagai fumigan untuk
produk makanan, olahan, biji-bijian dan sereal yang sensitif terhadap metil
bromida, karena : (a) merupakan senyawa yang sangat toksik dan memiliki
penetrasi yang baik serta seragam, (b) tidak memiliki efek aroma, warna, dan cita
rasa terhadap komoditas yang difumigasi, (c) penyerapan oleh produk rendah.

11

Tabel 1 Deskripsi fumigan fosfin
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.

12.
13.

Deskripsi
Rumus Kimia
Bau
Titik Didih
Titik Lebur
Berat Molekul
Gravity khusus
a. Gas (Udara = 1)
b. Liquid (Air 40C = 1)
Panas Penguapan
Titik Ledakan
Kelarutan dalam Air
Rekomendasi WHO/FAO
a. Biji-bijian yang belum diolah
b. Biji-bijian yang telah diolah
Efek pada serangga
a. Telur
b. Larva
c. Pupa
d. Dewasa
Efek pada Lingkungan
Waktu pemaparan (Exposure time)

14.

Faktor konversi (g/m3 ke ppm)

7.
8.
9.
10.

11.

Fosfin
PH3
Karbit/Bawang Putih
87.40C
133.50C
34.04 g/mol
1.2140
0.746-90
102.6 cal/g
1.79% diudara
Sangat larut
0.1 ppm
0.01 ppm
Syaraf dan Pernafasan
Lambat
Cepat
Lambat
Cepat
Tidak ada
Minimal 5× 24 jam atau
sesuai spesifikasi produk
730

Sumber: Departemen Pertanian, 2007

Di dalam aplikasinya, pelaksanaan fumigasi dengan fosfin selain harus
memperhatikan sifat-sifat fisik dan kimia fosfin di atas, harus diperhatikan juga
sifat fosfin sebagai berikut : (a) pada konsentrasi di atas 1.8% volume di udara
atau 25 g/m3 pada tekanan udara normal mudah meledak, (b) pada temperatur di
atas 1000C (2120F) mudah terbakar dengan sendirinya, (c) mudah meledak bila
terkena air, (d) bereaksi dengan tembaga/logam mulia atau bahan-bahan yang
terbuat dari tembaga/logam mulia dan menyebabkan korosi pada temperatur dan
kelembaban yang relatif tinggi.

Formulasi dan Bentuk Fosfin
Gas fosfin umumnya di formulasikan dalam bentuk alumunium fosfida
(AlP) dan magnesium fosfida (Mg3P2). Pengeluaran gas fosfin dari formulasi
tablet dan pelet berlangsung melalui reaksi kimia sebagai berikut :

12

1. AlP + 3H2O
Alumunium + Uap air
Fosfida

Al (OH)3 + PH3
Alumunium + Fosfin
hidroksida

2. Mg3P2
+ 6H2O
Magnesium Uap air
Fosfida

3Mg (OH) 2 + 2PH3
Magnesium + Fosfin
hidroksida

Proses perubahan gas fosfin terjadi apabila alumunium fosfida atau
magnesium fosfida bereraksi dengan uap air di udara. Pada proses tersebut selain
gas fosfin dihasilkan juga senyawa alumunium hidroksida atau magnesium
hidroksida. Senyawa-senyawa ini bersifat limbah dalam fumigan fosfin.
Pada senyawa alumunium fosfida atau magnesium fosfida ditambahkan
bahan pelapis untuk memperlambat terjadinya pelepasan gas dan untuk mencegah
terjadinya akumulasi konsentrasi yang tinggi di udara yang dapat mengakibatkan
terjadinya kebakaran. Bahan pelapis yang digunakan adalah lilin parafin dan
lapisan matric plastic. Pada umumnya senyawa alumunium fosfida atau
magnesium fosfida mulai bereaksi setelah 2 – 4 jam dan dekomposisi sempurna
akan terjadi setelah 72 jam pada temperatur dan kelembaban yang sesuai. Pada
temperatur dan kelembaban yang lebih rendah dekomposisi akan lebih lama
sekitar 120 jam. Bentuk formulasi Fosfin antara lain dapat berupa pelet, tablet,
plate, dan bags dengan jumlah kandungan fosfin yang berbeda-beda, sebagaimana
dapat dilihat dalam Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2 Bentuk formulasi dan kandungan bahan aktif Fosfin
Bentuk
formulasi
Pelet
Tablet
Plate
Bags
Strips

Berat per satuan
formulasi
0.6 gram
3.0 gram
117.0 gram
34.0 gram
2340.0 gram

Sumber : Departemen Pertanian, 2007

Berat bahan aktif (fosfin) per
satuan formulasi
0.2 gram
1.0 gram
33.0 gram
11.3 gram
660.0 gram

13

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Entomologi SEAMEO BIOTROP
(Southesast Asian Regional Center for Tropical Biology), Jl. Raya Tajur Km 6,
Bogor. Penelitian dilaksanakan dari bulan April sampai November 2011.

Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah aluminium fosfida (AlP)
dalam bentuk pelet, asam sulfat (H2SO4) 10%, akuades, dedak, sorgum, jagung
pecah, dan kain kasa. Serangga uji yang digunakan adalah serangga yang
dikumpulkan dari berbagai lokasi seperti: Probolinggo, Indramayu, Semarang,
Ciamis, Surakarta dan Klaten.
Alat yang digunakan adalah seperangkat alat pengujian fumigasi di
laboratorium, stoples bervolume dua liter dengan kasa kawat sebagai alat
penyangga didalamnya. Stoples ini merupakan modifikasi dari desikator yang
digunakan dalam metode FAO (1980). Cincin paralon yang beralas dan bertutup
kain kasa sebagai wadah serangga uji, plastisin untuk mencegah kebocoran gas
fosfin, alat suntik (syringe), alat monitor fosfin, alat magnetic stirrer, dan alat
penunjang lainnya.

Metode Penelitian
Pemeliharaan Serangga Uji
Serangga uji yang dikumpulkan dari berbagai lokasi, yaitu dari Semarang,
Probolinggo, Indramayu, Ciamis, Klaten, dan Surakarta dikembangbiakan di
laboratorium

Entomologi

SEAMEO

BIOTROP.

Tribolium

castaneum

dikembangbiakan pada dedak, R. dominica pada sorgum, dan Cryptolestes sp.
pada jagung pecah. Keturunan F1 serangga tersebut digunakan sebagai serangga
uji untuk menilai resistensinya terhadap fosfin. Dalam pengujian resistensi, semua
serangga hasil koleksi tersebut dibandingkan dengan strain rentan dari koleksi

14

Biotrop. Sedangkan pengujian untuk keragaan relatif strain resisten terhadap
fosfin, masing-masing spesies serangga uji dilakukan persilangan antara strain
yang telah dipastikan resisten terhadap fosfin dan strain yang rentan dari
laboratorium Entomologi SEAMEO BIOTROP. Strain resisten diperoleh dari
hasil pengujian resistensi tahun 2010. Tribolium castaneum yang resisten berasal
dari lokasi Probolinggo, Indramayu, dan Semarang, R. dominica berasal dari
lokasi Probolinggo dan Ciamis, dan Cryptolestes sp. berasal dari lokasi Klaten
dan Surakarta. Sebanyak 100 ekor imago dari masing-masing spesies serangga
yang disilangkan dimasukkan ke dalam stoples kaca berisi makanan serangga
tersebut. Empat belas hari kemudian, semua imago dikeluarkan dari stoples kaca
dan dipindahkan ke stoples kaca yang baru untuk disilangkan kembali di wadah
stoples baru. Hal ini dilakukan sampai ke stoples yang ketiga. Setelah imago dari
stoples ketiga dikeluarkan, serangga dibiarkan berkembangbiak hingga muncul
imago. Metode yang sama dilakukan untuk mendapatkan keturunan F2. Masingmasing persilangan yang dibiakkan tanpa melalui seleksi. Pemeliharaan serangga
tersebut di Laboratorium Entomologi SEAMEO BIOTROP pada suhu kamar dan
RH 75%.
Persiapan Pengujian
Fosfin yang digunakan pada pengujian berasal dari aluminium fosfida yang
berbentuk pelet. Pelet tersebut di ubah menjadi gas fosfin dengan menggunakan
alat penghasil fosfin (apparatus for generating phosphine) sesuai dengan metode
FAO (1975) (Gambar 4).

Gambar 4 Alat penghasil gas fosfin

15

Stoples kaca yang digunakan untuk fumigasi dilengkapi dengan kawat kasa
yang digantung ditengah-tengah stoples, sebagai tempat untuk meletakkan
serangga uji. Pada bagian dasar stoples diletakkan magnetic bar (batangan
magnetik) yang berfungsi sebagai pengaduk agar gas fosfin dapat tersebar merata
di dalam stoples. Serangga uji sebanyak 50 ekor dimasukkan ke dalam cincin
paralon (diameter 2,5 cm dan tinggi 2,5 cm) yang telah diberi alas dan tutup
dengan kain kasa halus. Cincin paralon berisi serangga uji tersebut diletakkan di
atas kawat kasa yang sudah dipasang pada bagian tengah stoples. Setiap perlakuan
(stoples) terdiri dari 2 buah cincin paralon yang berisi masing-masing 50 ekor
serangga uji.

a

b

Gambar 5 Cincin paralon tempat menyimpan serangga dan magnet pengaduk; (a)
tampak atas, (b) tampak samping
Stoples berisi serangga uji ditutup rapat dan di antara tutup stoples dengan
dinding luar stoples direkatkan dengan menggunakan plastisin untuk mencegah
kebocoran gas fosfin. Tutup stoples diberi lubang kecil, kemudian lubang tersebut
diberi sumbat karet (rubber stopper) dan pada pinggir karet tersebut juga diberi
plastisin untuk mencegah kebocoran gas fosfin. Sumbat karet tersebut berfungsi
sebagai tempat untuk menyuntikkan gas fosfin ke dalam stoples.

16

a

b

Gambar 6 Stoples berisi serangga uji yang telah ditutup rapat dengan plastisin;
(a) stoples berisi serangga uji, (b) stoples yang telah ditutup dengan
plastisin

a

b

Gambar 7 Karet penutup lubang stoples tempat menginjeksikan gas fosfin; (a)
karet penutup stoples, (b) tutup stoples yang ditutup dengan plastisin

Pelaksanaan Fumigasi
Perlakuan fumigasi dilakukan pada stoples berisi serangga uji yang telah
ditutup rapat dan direkat dengan plastisin. Gas fosfin yang diperoleh
menggunakan metode FAO (1980) dengan konsentrasi 0.000; 0.010; 0.015; 0.020;
0.025; 0.030; dan 0.040 mg/l, kemudian disuntikkan ke dalam stoples kaca
dengan menggunakan syringe.

17

a

b

Gambar 8 Aplikasi gas fosfin ke dalam stoples dengan menggunakan alat suntik;
(a) pengambilan gas fosfin. (b) penyuntikan gas fosfin kedalam stoples

Setelah penyuntikan gas fosfin, karet tersebut ditutup kembali dengan
menggunakan plastisin. Stoples yang telah difumigasi fosfin kemudian diaduk
selama 2 menit dengan menggunakan alat pengaduk magnetik (magnetic stirrer)
agar gas tersebut tersebar merata keseluruh bagian dalam stoples.

Gambar 9 Alat pengaduk magnetik

18

Pengujian Resistensi
Proses fumigasi dilakukan selama 20 jam. Kemudian serangga uji yang
berada dalam stoples kaca tersebut di keluarkan dari stoples dan dipindahkan ke
dalam stoples baru dengan diberi sedikit beras sebagai pakan serangga sampai
saat pengamatan tiba. Pengamatan mortalitas serangga uji dilakukan 14 hari
setelah pengujian. Jika ada indikasi resisten maka dilakukan pengujian lanjutan
yaitu dengan perlakuan fumigasi selama 48 jam. Pengujian lanjutan ini bertujuan
untuk mengkonfirmasi terjadinya resistensi pada serangga uji.

Gambar 10 Inkubasi serangga uji setelah aplikasi

Pengujian Keragaan Relatif
Pengujian keragaan relatif dilakukan dengan membandingkan dua karakter
biologi, yaitu tingkat resistensi dan keperidian dari strain resisten terhadap strain
rentan. Keperidian imago betina dihitung selama 14 hari dimulai sejak saat imago
F1 dan F2 muncul pada masing-masing stoples. Strain rentan berasal dari
laboratarium Entomologi SEAMEO BIOTROP, sedangkan strain resisten berasal
dari Probolinggo, Indramayu, Semarang, Ciamis, Klaten, dan Surakarta.

19

Analisis Data
Data mortalitas serangga uji dianalisis dengan Analisis Probit dengan
menggunakan program POLO-PC untuk mendapatkan nilai LD50 dan LD99.9 dari
masing-masing contoh serangga uji. Nilai LD50 dan LD99.9 tersebut kemudian
dibandingkan dengan nilai LD99.9 strain rentan dari Biotrop untuk mengetahui
tingkat resistensi masing-masing contoh serangga uji. Faktor resisten (RF =
Resistence Factor) dihitung dengan menggunakan rumus :
RF = Nilai LD99.9 serangga uji / nilai LD99.9 serangga yang rentan
(FAO 1980).
Jika nilai LD99.9 contoh serangga uji yang diperoleh lebih besar dari nilai
LD99.9 serangga yang rentan (FAO 1980) maka dikatakan bahwa serangga uji
tersebut resisten (nilai RF-nya > 1). Untuk itu perlu dilakukan konfirmasi tentang
sifat resistensi tersebut dengan melakukan pengujian lanjutan. Pengujian
dilakukan dengan memperpanjang waktu fumigasi menjadi 48 jam. Hal ini sesuai
dengan standar metode pengujian resistensi yang tercantum dalam FAO Method
No. 16 (1980).

20

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengujian Resistensi
Hasil pengujian resistensi menunjukkan bahwa dari tiga spesies serangga
yang diuji, dua spesies menunjukkan resistensinya terhadap fosfin dengan faktor
resistensi (RF) yang bervariasi, berkisar antara 1 kali sampai 15.5 kali yaitu T.
castaneum, dan R. dominica, sedangkan spesies yang ketiga, yaitu Cryptolestes
sp. tidak menunjukkan resistensinya terhadap fosfin (Tabel 3 – 7).
Tabel 3 Nilai LD50, LD99.9 dan Faktor Resistensi (RF) T. castaneum dari beberapa
lokasi dengan periode fumigasi selama 20 dan 48 jam.

Lokasi
Probolinggo
Indramayu
Semarang
Biotrop,
Bogor

20 jam
fumigasi
LD50
LD99.9
......mg/l......
0.006
0.099
0.020
0.115
0.021
0.259
0.009
0.029

Faktor
Resistensi
(RF)**
3.4 kali
3.9 kali
8.9 kali
-

48 jam
fumigasi
LD50 LD99.9
......mg/l......
0.004 0.219
0.024 0.340
0.004 0.131
-

Faktor
Resistensi
(RF)**
Konfirmasi
7.5 kali
11.7 kali
4.5 kali
-

Resisten
Resisten
Resisten
Tidak
resisten

Keteranga : RF** = Resistance factor (Faktor Resistensi)
= Tidak dilakukan pengujian

Berdasarkan data pada Tabel 3 tersebut, terlihat bahwa nilai faktor resistensi
(RF) sampel hasil pengujian T. castaneum dengan pemaparan gas fosfin selama
20 jam lebih besar dari satu, yang mempunyai arti bahwa serangga yang berasal
dari tiga lokasi (Probolinggo, Indramayu, dan Semarang) menunjukkan sifat
resistensinya terhadap fosfin, dengan faktor resistensi berkisar antara 3.4 sampai
dengan 8.9 kali. Resistensi terendah terhadap fosfin terdapat pada sampel yang
berasal dari Probolinggo dengan faktor resistensi 3.4 kali, sedangkan resistensi
tertinggi berasal dari Semarang dengan faktor resistensi 8.9 kali. Sampel serangga
uji yang telah diduga resisten terhadap fosfin tersebut kemudian dilakukan
pengujian dengan pemaparan gas fosfin selama 48 jam untuk memastikan
resistensinya.
Pada pemaparan gas fosfin selama 48 jam terlihat bahwa serangga yang
berasal dari Probolinggo, Indramayu, dan Semarang telah terjadi resistensi
terhadap fosfin, karena nilai faktor resistensinya (RF) lebih besar dari satu. Hal ini

21

diduga bahwa serangga T. castaneum yang terdeteksi resisten terhadap fosfin
tersebut karena lebih sering terpapar oleh gas fosfin.
Hasil penelitian ini hampir sama dengan hasil penelitian BULOG dan
SEAMEO BIOTROP (2010) yang dilakukan di laboratorium Entomologi
SEAMEO BIOTROP, pada penelitian tersebut dilaporkan bahwa T. castaneum
yang berasal dari Indramayu dengan faktor resistensi 1.1 kali, dan serangga yang
berasal dari Probolinggo dengan faktor resistensi sebanyak 1.3 kali. Demikian
juga hasil penelitian Pimentel et.al (2006) menunjukkan terjadinya resistensi
fosfin di sepuluh populasi T. castaneum dari negara bagian Goias, Mato Grasso,
Minas Gerais, dan Sao Paulo. Di Brazil menurut Pimentel et.al (2010) dari 19
sampel serangga T. castaneum yang diuji, 14 sampel yang menunjukkan resistensi
yang tinggi dan 5 sampel serangga yang tidak terjadi resistensi. Athie and Mills
(2005) juga melaporkan terjadinya resistensi T. castaneum terhadap fosfin
sebanyak sepuluh dari dua belas sampel yang diuji.
Tabel 4 Nilai LD50, LD99.9 dan Faktor Resistensi (RF) R. dominica dari beberapa
lokasi dengan periode fumigasi selama 20 dan 48 jam.
20 jam
Fakor
48 jam
Fakor
fumigasi
Resistensi
Fumigasi
Resistensi
Lokasi
(RF)**
(RF)**
Konfirmasi
LD50 LD99.9
LD50 LD99.9
......mg/l......
......mg/l......
Probolinggo 0.023 0.155 15.5 kali 0.003 0.177 17.7 kali Resistensi
Ciamis
0.023 0.139 13.9 kali 0.022 0.195 19.5 kali Resisten
Biotrop,
0.059 0.001
Tidak
Bogor
resisten
Keterangan : RF** = Resistance factor (Faktor Resistensi)
= Tidak dilakukan pengujian

Nilai LD50 dan LD99.9 R. dominica yang berasal dari Probolinggo, dan
Ciamis pada pemaparan gas fosfin selama 20 jam dapat dilihat pada Tabel 4. Nilai
LD99.9 dari beberapa lokasi tersebut berturut-turut dari nilai yang terendah ke nilai
tertinggi adal