dengan pengikatan jaminan, dalam hal ini berupa jaminan Hak Tanggungan, dihadapan PPAT dan pejabat bank;
f. Setelah dilakukan pengikatan jaminan Hak Tanggungan dan PPAT telah
memberikan keterangan bahwa calon debitur dinyatakan telah memenuhi persyaratan, baru kemudian bank merealisasikan kredit kepada calon
debitur.
23
Pengikatan jaminan Hak Tanggungan yang dilakukan dalam perjanjian kredit yang dimaksud di sini adalah melalui proses pembebanan Hak
Tanggungan sebagaimana telah ditentukan dalam UUHT yaitu melalui dua tahap berupa:
a. Tahap pemberian Hak Tanggungan yang dilakukan di hadapan PPAT;
b. Tahap pendaftaran Hak tanggungan yang dilakukan di Kantor Pertanahan
Kabupaten atau Kota setempat, yang merupakan saat lahirnya Hak Tanggungan.
Menurut Pasal 1 angka 4 UUHT disebutkan bahwa PPAT adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak
atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa pembebanan Hak Tanggungan. Dalam penjelasan umum angka 7 dijelaskan
pula bahwa dalam kedudukan sebagaimana tersebut dalam Pasal 1 angka 4, maka akta yang dibuat oleh PPAT merupakan akta otentik.
a. Tahap Pemberian Hak Tanggungan
23
Thomas Suyatno, 1993, Dasar-dasar Hukum Perkreditan Edisi Ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 32
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Sesuai dengan sifat Accecoir dari Hak Tanggungan, Maka pembebanan Hak Tanggungan didahului dengan perjanjian yang
menimbulkan hubungan hukum hutang piutang yang dijamin pelunasannya, yang merupakan perjanjian pokoknya. Hal ini adalah sebagaimana tersebut
dalam Pasal 10 ayat 1 UUHT yang menyatakan bahwa pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan
sebagaimana jaminan pelunasan hutang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian hutang piutang yang
bersangkutan. Menurut ketentuan Pasal 10 ayat 2 UUHT pemberian Hak
Tanggungan yang wajib dihadiri oleh pemberi Hak Tanggungan, pemegang Hak Tanggungan dan dua orang saksi, dilakukan dengan pembuatan APHT
yang dibuat oleh PPAT sesuai peraturan Perundang-undangan yang berlaku. APHT yang dibuat oleh PPAT tersebut merupakan akta otentik Penjelasan
Umum angka 7 UUHT. Terhadap objek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang
berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan, artinya hak atas tanah tersebut
belum bersertifikat, pemberian Hak Tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan. Hak
lama yang dimaksud disini adalah hak yang kepemilikan atas tanah menurut hukum adat yang telah ada akan tetapi proses administrasi dalam
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
konversinya belum selesai dilaksanakan menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku.
24
Terhadap objek Hak Tanggungan yang terdiri lebih dari satu bidang tanah dan diantaranya ada yang letaknya diluar daerah kerjanya,
untuk pembuatan pemberian APHT yang bersangkutan PPAT memerlukan ijin dari Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional BPN
Propinsi. Dengan ketentuan bahwa bidang-bidang tanah tersebut harus terletak dalam satu daerah kerja Kantor Pertanahan Kabupaten Kota Pasal
3 ayat 2 Peraturan Menteri Agraria No. 15 Tahun 1961 dan Pasal 3 Keputusan Direktur Jenderal Agraria No. SK. 67DDA1968.
25
1. Nama dan identitas pemberi dan pemegang Hak Tanggungan;
Selanjutnya Undang-undang menetapkan isi yang sifatnya wajib untuk sahnya APHT. Dengan tidak mencantumkannya secara lengkap hal-
hal yang wajib disebut dalam APHT. Maka mengakibatkan akta yang bersangkutan menjadi batal demi hukum. Dalam Pasal 11 ayat 1 UUHT
disebutkan hal-hal yang wajib dicantumkan dalam APHT, yaitu:
2. Domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada angka 1, dan apabila
di antara mereka ada yang berdomisili di luar Indonesia, baginya harus pula dicantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia. Apabila domisili
pilihan itu tidak dicantumkan dalam APHT maka kantor PPAT tempat pembuatan APHT dianggap sebagai domisili yang dipilih;
24
M. Bahsan, Op. Cit, hal. 31
25
Bambang Setijoprodjo dalam Lembaga Kajian Hukum dan Bisnis Fakultas Hukum USU Medan, 1996, Persiapan Pelaksanaan Hak Tanggungan di Lingkungan Perbankan Hasil
Seminar, Citra Aditya Bakti,Bandung, hal. 58-59
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3. Penunjukan secara jelas hutang atau hutang-hutang yang dijamin
pelunasannya dengan Hak Tanggungan dan meliputi juga nama dan identitas debitur yang bersangkutan;
4. Nilai tanggungan;
5. Uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan, yakni meliputi
rincian mengenai sertfikat hak atas tanah yang bersangkutan, atau bagi tanah yang belum terdaftar sekurang-kurangnya memuat uraian mengenai
pemilikan, letak, batas-batas, dan luas tanah. Selain hal tersebut di atas, dalam APHT dapat dicantumkan janji-
janji yang sifatnya fakultatif dan tidak mempunyai pengaruh terhadap sahnya APHT Pasal 11 ayat 2 UUHT. Dalam hal ini pihak-pihak bebas
menentukan untuk menyebutkan atau tidak menyebutkan janji-janji tersebut dalam APHT. Dalam dimuatnya janji-janji itu dalam APHT yang kemudian
di daftar pada Kantor Pertanahan, maka janji-janji terdebut juga mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga.
26
1. Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk
menyewakan objek Hak Tanggungan dan atau menentukan atau mengubah jangka waktu sewa di muka, kecuali dengan persetujuan
tertulis terlebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan; Adapun janji-janji yang disebutkan dalam APHT sebagaimana
tersebut dalam Pasal 11 ayat 2, antara lain:
26
Rachmadi Usman, Op. Cit, hal. 110
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2. Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan, kecuali
dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
3. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan
berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi objek Hak Tanggungan apabila debitur sungguh-sungguh cidera
janji; 4.
Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk menyelamatkan objek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan
untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi objek Hak Tanggungan karena tidak
dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan Undang-undang; 5.
Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri objek Hak Tanggungan apabila debitur
cidera janji; 6.
Janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa objek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan;
7. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya
atas objek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
8. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau
sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya apabila objek Hak Tanggungan dilepaskan dari
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
haknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum;
9. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau
sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika objek Hak Tanggungan diasuransikan;
10. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan mengosongkan objek Hak
Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan; 11.
Janji bahwa sertifikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan tetap berada di tangan kreditur sampai
seluruh kewajiban debitur dipenuhi sebagaimana mestinya. Ada janji yang dilarang untuk dilakukan, yaitu janji yang
disebutkan dalam Pasal 12 UUHT, yaitu dilarang diperjanjikan pemberian kewenangan kepada debitur untuk memiliki objek Hak Tanggungan apabila
debitur cidera janji. Ketentuan tersebut diadakan dalam rangka melindungi kepentingan debitur dan pemberi Hak Tanggungan lainnya, terutama jika
nilai objek Hak Tanggungan melebihi besarnya hutang yang dijamin. Oleh karena itu pemegang Hak Tanggungan dilarang untuk serta merta menjadi
pemilik objek Hak Tanggungan jika debitur cidera janji.
b. Tahap Pendaftaran Hak Tanggungan