Problematika Pengelolaan Harta Benda Wakaf di Indonesia

D. Problematika Pengelolaan Harta Benda Wakaf di Indonesia

Salah satu harta benda wakaf yang rawan akan terkena konflik adalah tanah, kalau dianalogikan tanah adalah gambaran keberadaan dan kualitas kehidupan yang timbul kepermukaannya, maka sudah sewajarnya bahwa harta tersebut dilindungi dan undang-undang di Indonesia sudah menjaminnya lewat peraturan-peraturan yang mewajibkan pengadministrasian harta tersebut. Permasalahan mengenai tanah dan statusnya merupakan hal yang sudah biasa dan sering terjadi di Indonesia, meskipun pada kenyataannya cukup rumit untuk mendapatkan penyelesaiannya karena tanah merupakan sesuatu yang

87 Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Dan penyelenggaraan Haji Direktorat Pengembangan Zakat Dan Wakaf, Nazhir Profesional dan Amanah, Jakarta: Departemen Agama

RI, 2005, h. 83-84.

sangat penting bagi bangsa kita dan ini mendorong pemerintah untuk membuat peraturan- peraturan guna untuk melindungi harta tersebut.

Menyadari arti pentingnya tanah wakaf tersebut, maka untuk lebih menjamin efektifnya pelaksanaan perwakafan tanah ini maka sudah barang tentu diperlukan adanya suatu pengawasan yang ketat dengan melakukan pendaftaran terhadap harta benda tersebut agar terpelihara sebagaimana mestinya.

Hambatan dalam pengelolaannya juga terkait dengan nadzir yang belum profesional, pengelolaaan yang dilakukan kebanyakan hanya menjadi pekerjaan sampingan yang akan dilakukan jika hanya mereka memiliki waktu

saja serta wakaf masih dikelola secara tradisional. 88 Salah satu hambatan yang selama ini terjadi dalam kepengelolaan harta

wakaf adalah keberadaan nadzir yang masih bersifat tradisional, ketradisionalan tersebut dipengaruhi, antara lain:

1. Masih kuatnya paham mayoritas umat islam yang masih stagnan (beku) terhadap persoalan wakaf. Selama ini, wakaf hanya diletakan sebagai ajaran agama yang kurang memiliki posisi penting. Selama ini mayoritas ulama indonesia lebih mementingkan aspek keabadian benda wakaf dengan mengesampingkan aspek kemanfaatannya.

2. Rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) nadzir wakaf, proses wakaf selama ini masih menggunakan asas kepercayaan. Banyak para wakif yang menyerahkan hartanya kepada tokoh agama seperti kyai, ustadz, ajengan, tuan guru dan lain sebagainya, sedangkan mereka yang sudah dipercayakan menangani harta tersebut kurang memiliki kemampuan atau kualitas manejerialnya sehingga harta benda wakaf banyak yang tidak terurus.

3. Lemahnya kemauan para nadzir, banyak nadzir wakaf yang tidak memiliki militansi yang kuat dalam membangun semangat

pemberdayaan wakaf untuk kesejahteraan umat. 89

88 Ibid., h. 65. 89 Achmad Djunaidi dan Thobieb Al Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif, c. IV, Depok:

Mumtaz Publishing, 2007, h. 52-54.

Persoalan di atas nampaknya menggambarkan bagaimana pengelolaan harta secara umum yang hingga kini belum terselesaikan secara tuntas. Kepengelolaan yang lebih profesional merupakan suatu kebutuhan di tengah perkembangan zaman saat ini.

Masyarakat Indonesia juga lemah dalam memahami wakaf, masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang heterogen, tidak hanya dalam hal suku namun juga dalam hal keagamaan. Keterbatasan memaknai agama hanya berdasarkan pada keyakinannya semata dan menutup diri dari penafsiran ajaran agama dari golongan yang lain, ini bisa memicu perbedaan dalam memahami konsep wakaf. Misal, ketika wakaf tidak harus tertulis atau wakaf hanya untuk mesjid, maka ketika ada pemahaman lain bahwa wakaf harus dicatat dan wakaf

bisa digunakan untuk kegiatan produktif pastilah akan memicu permasalahan. 90

Seperti yang telah diungkapkan di atas bahwa praktik perwakafan di Indonesia selama ini mengarah hanya kepada kepentingan peribadatan saja dan masih minim perwakafan dikelola secara produktif. Bahkan hal tersebut telah menjadi kebiasaan masyarakat dan menganggap bahwa wakaf hanya untuk beribadah saja. Mereka lebih banyak mempraktikan wakaf keagamaan seperti mesjid, mushalla, makam dan lain-lain, sementara untuk tujuan pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat kurang mendapat perhatian.

Nampaknya pola pemahaman terhadap wakaf yang terjadi selama ini harus dirubah oleh masyarakat Indonesia terkhusus terhadap nadzir sebagai pihak yang dianggap paling sentral dalam perwakafan, apalagi di tengah

90 Ibid., h.63-64.

permasalahan sosial masyarakat Indonesia dan tuntunan akan kesejahteraan ekonomi dewasa ini, eksistensi wakaf menjadi sangat urgen dan strategis. Di samping sebagai salah satu aspek ajaran Islam yang berdimensi spiritual, wakaf juga merupakan ajaran yang menekankan aspek kesejahteraan sosial. Oleh karena itu penting bagi masyarakat kita untuk memahami hal tersebut, agar kesejahteraan sosial dapat terwujudkan.