PENYELESAIAN PELANGGARAN HAM YANG BERAT 1998 MELALUI OUT COURT SYSTEM

PENYELESAIAN PELANGGARAN HAM YANG BERAT 1998 MELALUI OUT COURT SYSTEM

Ika Amilatun Nazah Email Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta iccasajalah@yahoo.com

Abstrak:

So far, there are two mechanisms for resolving human right violations in the past that is ad-hoc Human Right Court and Truth and Reconciliation Commission (KKR). In this paper, the settlement of human rights violations that are considered effective, regardless of the cancellation of the Law on the KKR, the KKR feels that is quite effective in resolving the conflict the human rights violations that occurred in Indonesia.

Key words: Human right violations, Truth and Reconcilliation Commission and conflict.

Pendahuluan

Kemarahan masyarakat terhadap kebrutalan aparat keamanan dalam peristiwa Trisakti dialihkan kepada orang Indonesia sendiri yang keturunan, terutama keturunan Cina. Betapa amuk massa itu sangat menyeramkan dan terjadi sepanjang siang dan malam hari mulai pada malam hari tanggal 12 Mei dan semakin parah pada tanggal 13 Mei siang hari setelah disampaikan kepada masyarakat secara resmi melalui berita mengenai gugurnya mahasiswa tertembak aparat.

Sampai tanggal 15 Mei 1998 di Jakarta dan banyak kota besar lainnya di Indonesia terjadi kerusuhan besar tak terkendali mengakibatkan ribuan gedung, toko maupun rumah di kota-kota Indonesia hancur lebur dirusak dan dibakar massa. Sebagian mahasiswa mencoba menenangkan masyarakat namun tidak dapat mengendalikan banyaknya massa yang marah.

Setelah kerusuhan, yang merupakan terbesar sepanjang sejarah bangsa Indonesia pada abad ke 20, yang tinggal hanyalah duka, penderitaan, dan penyesalan. Bangsa ini telah menjadi bodoh dengan seketika karena kerugian material sudah tak terhitung lagi padahal bangsa ini sedang mengalami kesulitan ekonomi. Belum lagi kerugian jiwa di mana korban yang meninggal saat kerusuhan mencapai ribuan jiwa. Mereka meninggal karena terjebak dalam kebakaran di gedung-gedung dan juga rumah yang dibakar oleh massa. Ada pula yang psikologisnya menjadi terganggu karena peristiwa pembakaran, penganiayaan, pemerkosaan terhadap etnis Cina maupun yang terpaksa kehilangan anggota keluarganya saat kerusuhan terjadi. Sangat mahal biaya yang ditanggung oleh bangsa ini.

Opsi-opsi Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Tahun 1998

Pergantian kekuasaan dari rezim otoritarian ke rezim demokrasi pada tahun 1998 telah memberikan angin segar terhadap penegakan HAM di Indonesia. Pemerintah kemudian mengeluarkan berbagai kebijakan untuk menopang usaha penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Tahun 1998, merupakan tahun yang bersejarah dalam perkembangan HAM di Indonesia. Salah satu syarat dalam sebuah negara yang mengalami proses transisi dari sistem otoriter menuju ke sistem demokratis adalah

penyelesaian pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan oleh rejim. 98 Sampai sejauh ini, terdapat beberapa mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu yaitu Pengadilan

HAM ad-hoc dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), serta Alternative Dispute Resolution (ADR). Pengadilan HAM ad-hoc merupakan satu mekanisme penyelesaian kasus yang menggunakan logika sistem yudisial sementara Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan ADR menggunakan logika sistem non-yudisial. Dengan adanya mekanisme penyelesaian tersebut tentunya diharapkan dapat terselesaiakn pelanggarn-pelanggarn HAM yang terjadi dimasa lalu.

Belajar dari pengalaman beberapa negara lain yang mengalami masalah yang serupa serta melihat peluang mendapatkan keadilan melalui mekanisme peradilan, mekanisme tentang KKR kemudian muncul. Beberapa konsep dasar KKR adalah memberikan arti pada suara korban secara individu, pengungkapan sejarah sebenarnya, pendidikan dan pengetahuan publik, menuju reformasi kelembagaan, mengembalikan hak korban serta pertanggungjawaban dari para pelaku. Namun, kehadiran KKR sendiri yang diatur dalam UU mendapat sambutan yang dingin dari para kelompok korban. Sehingga hal ini adanya pengajuan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Atas permohonan tersebut, MK mengabulkan serta membatalkan adanya Undang-undang KKR tersebut. Untuk memberikan gambaran tentang meknisme penyelesaiannya, dapat dideskripsikan sebagai berikut :

1. Pengadilan HAM Ad-hoc

Mekanisme ini berdasarkan pada pasal 43 UU No. 26 tahun 2000. 99 Sementara itu, untuk sistem acara pidana tetap mengikuti Kitab Umum Hukum Acara Pidana

98 Badruzzam an Ism ail, ____, “ Pola-pola dam ai Sebagia Solusi Penyelesaian Pelanggaran HAM M asa Lalu” , ht t p:/ / w w w .acehinst it ut e.org/ opini_hbadruzzam an_pola_dam ai.ht m, diakses

t anggl 1 Juni 2010.

99 Pasal 43 ayat 1 menyebutkan: Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.

(KUHAP) yang digunakan dalam sistem peradilan di Indonesia. Selanjutnya, penuntutan perkara dapat dilakukan oleh penuntut umum dari Kejaksaan Agung atau ad-hoc yang berasal dari unsur masyarakat. Kemudian, pemeriksaan perkara dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri dari hakim karier dan non-karier.

Menurut UU No. 26 tahun 2000, proses terbentuknya pengadilan terdiri dari tiga bagian yang ideal. Pertama, Komnas HAM melakukan penyelidikan berdasarkan pengduan dari kelompok korban atau kelompok masyarakat tentang satu kasus yang terjadi di masa lalu. Komnas HAM kemudian membentuk satu KPP HAM untuk melakukan penyelidikan dan kemudian mengeluarkan rekomendasi. Jika dalam rekomendasi tersebut terdapat bukti terhadap dugaan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan atau genosida, maka akan dilanjutkan pada tahap penuntutan oleh Kejaksaan Agung. Kedua, DPR kemudian membahas hasil penyelidikan dari Komnas HAM dan kemudian membuat rekomendasi kepada presiden untuk membentuk pengadilan HAM ad-hoc. Ketiga, Presiden kemudian mengeluarkan keputusan presiden untuk pembentukan satu pengadilan HAM ad-hoc. Pada tahap kedua dan ketiga tampak jelas bagaimana political will dari pemerintahan yang berkuasa memegang peranan penting.

Beberapa kasus pelanggaran HAM yang berat di masa lalu yang telah ditangani oleh mekanisme ini adalah kasus Timor Timur dan Tanjung Priok. Peradilan pertama dilakukan pada tahun 2003 atau sekitar terlambat dua tahun dari yang direncanakan. Pemerintah berapologi bahwa keterlambatan tersebut hanya masalah teknis seperti pembangunan infrastruktur peradilan dan rekrutmen jaksa dan hakim ad-hoc.

2. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

Komisi ini akan dibentuk berdasarkan UUNo. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang telah disahkan pada 7 September 2004. Sebelumnya, UU ini telah diusulkan oleh TAP MPR No. VI/MPR/200 yang kemudian juga tertuang dalam pasal 47 (ayat 1) UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM yang menyatakan “Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum

Dan pasal 2 menyebutkan : Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden. Kemudian pasal 3: Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada di lingkungan Peradilan Umum.

berlakunya Undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.” 100

Dalam UU-nya, Komisi ini bertugas untuk untuk mengungkapkan pelanggaran HAM yang berat di masa lalu dan melaksanakan proses rekonsiliasi nasional demi keutuhan bangsa. Selain itu, komisi mendefinisikan lebih detil tentang siapa yang menjadi korban dan apa saja yang menjadi hak dari mereka seperti untuk mendapatkan kebenaran, kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Komisi ini juga mengatur bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada pengadilan

hak asasi manusia ad hoc. 101 Menurut beberapa narasumber, komisi ini merupakan komplementer dari UU No. 26 tahun 2000.

Komisi ini terdiri dari tiga sub-komisi yang terdiri dari subkomisi penyelidikan dan klarifikasi; subkomisi kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi serta subkomisi pertimbangn amnesti. Komisi ini akan beranggotakan 21 anggota komisi yang

kemudian akan berkerja dengan sistem sub-komisi. 102

3. Alternative Dispute Resolution (ADR) Alternative dispute resolution , yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan alternatif penyelesaian sengketa merupakan lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara

arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa. 103

Jose Zalaquett, 2003, “Menangani Pelanggaran HAM di Masa Lalu : Prinsip-prinsip penyelesaian dan Kendala Politik”, sebagaimana dimuat dalam Jurnal Dignitas Volume I, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), hal. 32.

Djoko Prakoso,___, Masalah Pemberian Pidana Dalam Teori dan Praktik Peradilan, Ghalia Indonesia,Jakarta, hal. 37.

102 Wikipedia, “Komisi a Kebenaran a dan a Rekonsiliasi”, http://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Kebenaran_dan_Rekonsiliasi, diakses pada 1 Juni 2009.

Pasal 1 angka 10 UU No. 30 tahun 1999. Namun, sebagian besar sarjana mengartikan ADR dalam dua pandangan yang berbeda : Pertama, ADR mencakup berbagai penyelesaian sengketa selain dari pada proses peradilan, baik yang berdasarkan pendekatan konsensus misalnya

Kata “alternatif” disini sebenarnya sebagai penegasan terhadap pengertian selain “daripada “pengadilan”. 104 Sengketa atau beda pendapat (perdata) dapat diselesaikan

oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri. Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa tersebut diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan

tertulis. 105 Dalam perkembangan hukum di Indonesia, mekanisme penyelesaian pelanggaran

HAM yang berat melalui KKR telah ditiadakan. Hal ini dilegitimasi berdasarkan putusan MK yang menyatakan lembaga KKR inkonstitusional. Sungguhpun UU KKR dan keberadaanya telah dibatalkan oleh MK dan diganti dengan mekanisme ADR namun KKR sejauh ini nampaknya dipandang sebagai mekanisme yang efektif dalam menyelesaikan pelanggran HAM yang berat yang terjadi dimasa lalu, khususnya terkait dengan peristiwa 1998. Hal ini mengingat bahwa KKR bukanlah suatu gagasan yang muncul dari suatu hubungan keperdataan tetapi suatu mekanisme transisitional untuk menyelesaikan

pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di suatu negara. 106 Dengan demikian, Keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi merupakan lembaga yang bertugas untuk

menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa-lalu, dengan cara pengungkapan kebenaran, memberikan pengakuan kepada korban bahwa mereka adalah korban, menyediakan reparasi kepada korban, serta melakukan reformasi terhadap institusi yang dianggap bertanggung-jawab atas pelanggaran HAM masa lalu untuk memastikan pelanggaran HAM tersebut tidak terulang dimasa-datang (nonrecurrence), tetapi tidak ada

penghukuman terhadap pelaku. 107

negoisasi, mediasi, konsiliasi maupun yang tidak berdasarkan pada konsensus, seperti arbitrasi. Sedangkan yang lain hanya berdasarkan konsensus, arbitrasi tidaktermasuk sebagai ADR.

Takdir Rakhmadi, 1997, Mempertimbangkan ADR: Kajian Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Luar Peradilan, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta, hal. 25. 105 Pasal 1 angka 10, Pasal 2, Pasal 6 ayat (1-2) UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan

alternatif penyelesaian sengketa, Lembaran Negara LN 138 tahun 1999. Lihat juga Peraturan Mahkamah Agung No. 2 tahun 2003 tentang Mediasi diluar Pengadilan.

106 Hal ini dapat juga dirujuk dalam ketentuan Pasal 3 UU No. 27 tahun 2004 tentang KKR yang merumuskan “Mekanisme KKR merupakan salah satu mekanisme untuk menyelesaikan

perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi pada masa lalu diluar pengadilan, guna mewujudkan perdamaian dan persatuan bangsa, dan mewujudkan rekonsiliasi dan persatuan nasional dalam jiwa saling pengertian”

Ifdhal Kasim, Apakah Komisi Kebenaran Itu?”, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jurnal Dignitas Volume IV, hal. 21.

Upaya maksimal yang dapat dilakukan oleh lembaga ini adalah mengidentifikasi pelaku dan mengungkap nama mereka kepada Publik (naming name). Namun ini pun biasanya hanya terbatas pada pelaku yang paling bertanggung-jawab atas kasus tersebut (the most responsible perpetrators ). Bahkan kepada pelaku khususnya yang kooperatif dengan

Komisi ini -- akan mendapat pengampunan (amnesty). 108 Sifat komplementari dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tersebut dapat dilihat dari ketentuan Pasal 47 ayat (1) UU No.

26 tahun 2000 dan penjelasan umumnya, yang menyatakan : Pelanggaran hak sasi manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya

Undangundang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang sudah diberi putusan oleh pengadilan hak asasi manusia ad hoc maka Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak berwenang memutuskan. Dengan demikian, putusan Komisi kebenaran dan Rekonsiliasi atau putusan pengadilan hak asasi manusia ad hoc bersifat final dan mengikat.

Dari ketentuan di atas, paling tidak dua kesimpulan yang dapat diambil, yaitu 1. Komisi bekerja terlebih dahulu untuk mengungkapkan kebenaran dan melakukan proses- proses penyelesaian, apabila perkaranya bisa diselesaikan maka perkara tersebut berhenti sampai di Komisi saja; 2. Tetapi apabila perkaranya tidak dapat diselesaikan, maka perkaranya kemudian diajukan lagi ke Pengadilan HAM ad-hoc. Pada saat itulah Pengadilan HAM ad-hoc mulai bekerja. Berkaitan dengan karakteristik, setidaknya terdapat empat elemen umum yang dimiliki berbagai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di dunia sejauh ini. Pertama, yang menjadi fokus penyelidikan KKR adalah kejahatan masa lalu. Kedua, tujuannya untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif mengenai kejahatan HAM dan pelanggaran hukum internasional pada kurun waktu tertentu, serta tidak terfokus pada satu kasus saja. Ketiga, masa bakti terbatas, biasanya berakhir setelah perampungan laporan. Keempat , memiliki kewenangan mengakses informasi ke lembaga apapun, dan mengajukan perlindungan hukum terhadap saksi.

Kemudian yang menjadi penting kenapa KKR menjadi solusi yang efektif karena urgensi dari KKR adalah membangun pondasi kesatuan bangsa menuju demokrasi, untuk membangun kembali kepercayaan public terhadap prinsip-prinsip hokum dan keadilan

A.H Semendawai, 2005, Working Paper “Relasi Antara KKR dan Badan Peradilan di Indonesia: Mencari Format Hubungan Ideal untuk Pemberian Keadilan Bagi Korban” , Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta, hal. 13.

Penutup

Dalam penyelesaian pelanggaran HAM yang berat terdapat beberapa mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu yaitu Pengadilan HAM ad-hoc dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), serta Alternative Dispute Resolution (ADR). Dalam perkembangan hukum di Indonesia, KKR telah dihapuskan melalui putusan MK yang membatalkan UU KKR. Padahal KKR memiliki fungsi yang sangat penting dalam menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat. KKR adalah membangun pondasi kesatuan bangsa menuju demokrasi, untuk membangun kembali kepercayaan public terhadap prinsip- prinsip hokum dan keadilan melalui penungkapan kebenaran faktual, walau nantinya bermuara pada pemaafan.