Ontologi Sila Kesatu Pancasila Kajian Hu

DAFTAR ISI PENGANTAR REDAKSI

 Perlindungan Hukum Terhadap Istri Sebagai Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga

I.A. Indah Sukma Angandari .................... 1-11  Strategi Penanggulangan Illegal Logging

Melalui Ekolabeling

I Wayan Suardana .................................. 12-29  Pengaruh Otonomi Daerah Terhadap Peran Negara Dalam Perlindungan Pekerja

I Wayan Gde Wiryawan.......................... 30-42  Filsafat Praktis Dalam Tataran Konsep Etika Bagi Pendidik, Suatu Tinjauan Pramagtis Tentang Toxic World Sebagai Salah Satu Penyebab Awal Anak Berdelikuensi Vieta Imelda Cornelis ............................. 43-53

 Alternatif Sanksi Pidana Penjara Terhadap

Anak Delinquent

I Nyoman Ngurah Suwarnatha ............... 54-68  Penyelesaian Pelanggaran Ham Yang Berat

1998 Melalui Out Court System

Ika Amilatun Nazah Email ...................... 69-76  Kebebasan Pers Di Indonesia

Jimmy Z Usfunan ................................... 77-87  Eksistensi Hukuman Mati Ditinjau Dari

Persepspektif Hak Asasi Manusia (Hak

Untuk Hidup)

Sagung Putri M.E. Purwani .................... 88-97

 Penyelesaian Pelanggaran Rahasia Dagang

Di Indonesia

Ida Bagus Ketut Weda ......................... 98-113  Ontologi Sila Kesatu Pancasila (Kajian

Hukum Tata Negara) Tomy M Saragih ................................. 114-126

 The Legal Protection Toward Remuneration Of Performing Artist In Bali Tjok Istri Sri Harwathy, Made Emy Andayani Citra, Ni Luh Gede Yogi Arthani, And Dewi Bunga Faculty Of Law, University Of Mahasaraswati Denpasar. ................. 127-134

Daftar Riwayat Penulis ............................................. Ketentuan Umum Penulisan Jurnal Advokasi ........................................................

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ISTRI SEBAGAI KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

I.A. Indah Sukma Angandari Imogena Consultants &Development dayuindahsukma@yahoo.co.id

Abstract:

Wholeness and harmony of the household may be disrupted if the quality and self-control can not be controlled, which can ultimately lead to the occurrence of domestic violence. Domestic Violence is any action against someone, especially his wife, which resulted in misery or suffering physical, sexual, psychological. To prevent, protect the wife as a victim, and prosecution of domestic violence on September 22, 2004, was approved the introduction of Law Number 23 Year 2004 on the Elimination of Domestic Violence (PKDRT), which consists of 10 Chapters and 56 Articles. The law is expected to provide legal protection for members in the household, particularly women, the most victims of domestic violence.

Key words: Protection, violence and wife

Pendahuluan

Selama ini rumah tangga dianggap sebagai tempat yang aman karena seluruh anggota keluarga merasa damai dan terlindungi. Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut. Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut.

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebagai salah satu jenis kekerasan yang berbasis gender dari waktu ke waktu terus meningkat. Hal ini pertama dilatarbelakangi oleh budaya patriarki yang terus langgeng, kesetaraan gender yang belum nampak serta nilai budaya masyarakat yang selalu ingin hidup harmonis sehingga cenderung selalu menyalahkan perempuan.

Tindak kekerasan di dalam rumah tangga (domestic violence) merupakan jenis kejahatan yang kurang mendapatkan perhatian dan jangkauan hukum. Tindak kekerasan di dalam rumah tangga pada umumnya melibatkan pelaku dan korban diantara anggota Tindak kekerasan di dalam rumah tangga (domestic violence) merupakan jenis kejahatan yang kurang mendapatkan perhatian dan jangkauan hukum. Tindak kekerasan di dalam rumah tangga pada umumnya melibatkan pelaku dan korban diantara anggota

Menurut pendapat Romli Atmasasmita, kekerasan jika dikaitkan dengan kejahatan, maka kekerasan sering merupakan pelengkap dari kejahatan itu sendiri. Bahkan, ia telah membentuk ciri tersendiri dalam khasanah tentang studi kejahatan. Semakin menggejala dan menyebar luas frekuensi kejahatan yang diikuti dengan kekerasan dalam masyarakat, maka semakin tebal keyakinan masyarakat akan penting dan seriusnya kejahatan semacam ini 1 .

Untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.

Pada tanggal 22 September 2004, telah disahkan berlakunya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), yang terdiri atas 10 Bab dan 56 Pasal. Undang-undang tersebut diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum bagi anggota dalam rumah tangga, khususnya perempuan, yang paling banyak menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Negara dan masyarakat wajib memberikan perlindungan agar setiap anggota dalam rumah tangga terhindar dari ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat manusia. Segala bentuk kekerasan harus dicegah dan dihapuskan, karena merupakan pelanggaran hak asasi manusia.

Perlindungan Hukum dalam Kasus KDRT

Dengan disahkannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, tidak berarti bahwa perjuangan perempuan sudah selesai, karena sebetulnya perjuangan perempuan masih panjang. Masih perlu dicermati, diikuti dan diawasi, sejauh mana komitmen pemerintah dalam menjalankan kewajibannya untuk melaksanakan undang-undang tersebut. Perlu diperhatikan problema apa saja yang timbul

1 Atmasasmita, Romli. 2007, Teori dan Kapita Selekta Krimonologi, Rafika Aditama, Bandung, hal.63 1 Atmasasmita, Romli. 2007, Teori dan Kapita Selekta Krimonologi, Rafika Aditama, Bandung, hal.63

Kasus KDRT yang terjadi sesungguhnya dapat disebut sebagai fenomena gunung es. Secara kuantitas sedikit yang terdata oleh karena faktor-faktor :

1) Persepsi mengenai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga harus ditutup karena merupakan masalah keluarga dan bukan masalah sosial.

2) Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama mengenai aturan mendidik istri, kepatuhan istri pada suami, penghormatan posisi suami sehingga terjadi persepsi bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan.

3) Budaya bahwa istri bergantung pada suami, khususnya ekonomi.

4) Kepribadian dan kondisi psikologis suami yang tidak stabil.

5) Pernah mengalami kekerasan pada masa kanak-kanak.

6) Budaya bahwa laki-laki dianggap superior dan perempuan inferior.

7) Masih rendahnya kesadaran untuk berani melapor dikarenakan dari masyarakat sendiri yang enggan untuk melaporkan permasalahan dalam rumah tangganya, maupun dari pihak- pihak yang terkait yang kurang mensosialisasikan tentang kekerasan dalam rumah tangga.

8) Masalah budaya, Masyarakat yang patriarkis ditandai dengan pembagian kekuasaan yang sangat jelas antara laki –laki dan perempuan dimana laki –laki mendominasi perempuan. Dominasi laki – laki berhubungan dengan evaluasi positif terhadap asertivitas dan agtresivitas laki – laki, yang menyulitkan untuk mendorong dijatuhkannya tindakan hukum terhadap pelakunya. Selain itu juga pandangan bahwa cara yang digunakan orang tua untuk memperlakukan anak–anaknya , atau cara suami memperlakukan istrinya, sepenuhnya urusan mereka sendiri dapat mempengaruhi dampak timbulnya kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT).

9) Faktor Domestik Adanya anggapan bahwa aib keluarga jangan sampai diketahui oleh orang lain. Hal ini menyebabkan munculnya perasaan malu karena akan dianggap oleh lingkungan tidak mampu mengurus rumah tangga. Jadi rasa malu mengalahkan rasa sakit hati, masalah Domestik dalam keluarga bukan untuk diketahui oleh orang lain sehingga hal ini dapat berdampak semakin menguatkan dalam kasus KDRT.

Menurut hemat penulis faktor-faktor tersebutlah yang mengakibatkan kekerasan dalam rumah tangga semakin marak terjadi.Kekerasan merupakan salah satu bentuk dari kejahatan, yang tentunya akan sangat mengganggu dan meresahkan masyarakat, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Bonger bahwa "Kejahatan adalah perbuatan yang

sangat anti sosial, yang oleh Negara ditentang dengan sadar. 2 Kekerasan dalam lingkup rumah tangga atau keluarga banyak dilakukan oleh seorang

suami, Adapun bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri antara lain :

1. Kekerasan Fisik

2 Bonger, W.A.,1977, Pengantar Tentang Kriminologi, Terjemahan A. Koesnoen, Ghalia Indonesia, Hal.23

Kekerasan fisik adalah suatu tindakan kekerasan (seperti: memukul, menendang, dan lain-lain) yang mengakibatkan luka, rasa sakit, atau cacat pada tubuh istri hingga menyebabkan kematian.

2. Kekerasan Psikis Kekerasan psikis adalah suatu tindakan penyiksaan secara verbal (seperti: menghina, berkata kasar dan kotor) yang mengakibatkan menurunnya rasa percaya diri, meningkatkan rasa takut, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan tidak berdaya. Kekerasan psikis ini, apabila sering terjadi maka dapat mengakibatkan istri semakin tergantung pada suami meskipun suaminya telah membuatnya menderita. Di sisi lain, kekerasan psikis juga dapat memicu dendam dihati istri.

3. Kekerasan Seksual Kekerasan seksual adalah suatu perbuatan yang berhubungan dengan memaksa istri untuk melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau bahkan tidak memenuhi kebutuhan seksual istri.

4. Kekerasan Ekonomi Kekerasan ekonomi adalah suatu tindakan yang membatasi istri untuk bekerja di dalam atau di luar rumah untuk menghasilkan uang dan barang, termasuk membiarkan istri yang bekerja untuk di-eksploitasi, sementara si suami tidak memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Sebagian suami juga tidak memberikan gajinya pada istri karena istrinya berpenghasilan, suami menyembunyikan gajinya,mengambil harta istri, tidak memberi uang belanja yang mencukupi, atau tidak memberi uang belanja sama sekali, menuntut istri memperoleh penghasilan lebih banyak, dan tidak mengijinkan istri untuk meningkatkan karirnya.

Penulis berpendapat bahwa Kurang tanggapnya lingkungan atau keluarga terdekat untuk merespon apa yang terjadi, dapat menjadi tekanan tersendiri bagi korban. Karena bisa saja korban beranggapan bahwa apa yang dialaminya bukanlah hal yang penting karena tidak direspon lingkungan, hal ini akan melemahkan keyakinan dan keberanian korban untuk keluar dari masalahnya. Selain itu, faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap istri berhubungan dengan kekuasaan suami/istri dan diskriminasi gender di masyarakat. Dalam masyarakat, suami memiliki otoritas, memiliki pengaruh terhadap istri dan anggota keluarga yang lain, suami juga berperan sebagai pembuat keputusan.

Pembedaan peran dan posisi antara suami dan istri dalam masyarakat diturunkan secara kultural pada setiap generasi. Hal ini mengakibatkan suami ditempatkan sebagai orang yang memiliki kekuasaan yang lebih tinggi daripada istri. Kekuasaan suami terhadap istri juga dipengaruhi oleh penguasaan suami dalam sistem ekonomi, hal ini mengakibatkan masyarakat memandang pekerjaan suami lebih bernilai.

Kenyataan juga menunjukkan bahwa kekerasan juga menimpa pada istri yang bekerja, karena keterlibatan istri dalam ekonomi tidak didukung oleh perubahan sistem dan kondisi Kenyataan juga menunjukkan bahwa kekerasan juga menimpa pada istri yang bekerja, karena keterlibatan istri dalam ekonomi tidak didukung oleh perubahan sistem dan kondisi

Bergulirnya reformasi yang diikuti dengan demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia berdampak pada upaya penegakan hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Bangsa Indonesia sebagai negara demokrasi menunjukkan salah satu ciri negara demokrasi adalah proteksi konstitusional atau kekuasaan negara dilaksanakan berdasarkan konstitusi (rechstaats) bukan atas kekuasaan belaka.

Konstitusi kita mengatur pula tentang perlindungan hak asasi manusia. 4 Pada asasnya, Hak Asasi Manusia menurut Bab I Pasal I angka 1 Undang-Undang

Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia disebutkan merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan

harkat dan martabat manusia. Oleh karena itu maka pada dasarnya menurut Paul Sieghart. 5 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam

Rumah Tangga memberikan perlindungan secara khusus bagi korban kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga, dan dilaksanakan berdasarkan asas penghormatan hak asasi manusia, keadilan dan kesetaraan gender, non diskriminasi dan perlindungan korban, serta mempunyai tujuan untuk mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga, melindungi korban dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga serta memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.

Konsepsi kekerasan sebagai kejahatan dalam konteks kehidupan berumah tangga, sebagaimana yang dikonsepsikan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga selanjutnya disebut UU PKDRT, adalah sebagai berikut:

Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk

Rumah Tangga”, http://psikologi.or.id/mycontents/uploads/2010/10/kdrt.pdf diakses pada 18 Januari 2012 4 Romli Atmasasmita, “Latar Belakang Penyusunan RUU tentang Pengadilan HAM di

Indonesia”, Makalah disampaikan pada 18 Oktober 2000, Yogyakarta. 5 Paul Sieghart, 1986, The Lawful Rights Of Mankind, An Introduction To The International

Legal Code Of Human Rights , Oxford University Press, Inggris, hal.107 Legal Code Of Human Rights , Oxford University Press, Inggris, hal.107

Disahkannya Undang-undang tersebut merupakan titik awal keberhasilan perjuangan perempuan dalam memperoleh perlindungan terhadap kekerasan yang sering terjadi dalam lingkup rumah tangga, yang sebelumnya dianggap sebagai urusan pribadi suami-isteri, merupakan ‘aib keluarga’, tabu untuk diketahui dan dikemukakan kepada masyarakat. Ketidakberdayaan perempuan yang disebabkan adanya keinginan untuk mempertahankan posisi diri sebagai perempuan baik-baik dari keluarga yang terhormat, mengakibatkan perempuan harus bersikap pasif dan mau menerima perlakuan apapun yang diperolehnya demi mempertahankan ‘citra perempuan baik-baik atau keluarga harmonis. Hal-hal demikian ini yang menyebabkan adanya kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak terungkap dan tidak dapat diatasi.

Penulis berpendapat meskipun Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga telah disahkan bukan berarti bahwa perjuangan perempuan sudah selesai, karena sebetulnya perjuangan perempuan masih panjang dan harus diketahui apakah UU No. 23 Tahun 2004 digunakan secara cermat, selektif dan limitative. Hal ini sependapat Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Sudarto, apabila menggunakan upaya penal maka penggunaanya sebaiknya dilakukan dengan lebih hati-hati, cermat, hemat, selektif, dan limitative. Penyusunan suatu perundang- undangan yang mencantumkan ketentuan pidana haruslah memperhatikan beberapa pertimbangan kebijakan sebagai berikut :

1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.

2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau spiritual) atas masyarakat.

3. Penggunaan hukum pidana harus memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle )

4. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan

beban tugas (overbelasting) 6

6 Sudarto, 1981, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, hal. 44-48

Agar hukum itu berfungsi maka hukum harus memenuhi syarat berlakunya hukum sebagai kaidah yakni:

a) Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah

yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan.

b) Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif. Artinya, kaidah itu dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan) atau kaidah itu berlaku karena adanya pengakuan dari masyarakat.

c) Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi. 7

Penulis berpandangan kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu persoalan sosial yang menuntut penyelesaian, maka upaya untuk penanggulangan kejahatan telah dimulai terus- menerus. Salah satu usaha pencegahan dan pengendalian kejahatan itu ialah menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana. Hal ini sesuai dengan apa yang telah diungkapkan oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief, bahwa ada tiga alasan mengenai perlunya pidana dan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan yang pada intinya sebagai berikut :

a. Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada persoalan tujuan-tujuan yang hendak dicapai, tetapi terletak pada persoalan seberapa jauh untuk mencapai tujuan itu boleh menggunakan paksaan, persoalannya bukan terletak pada hasil yang akan dicapai, tetapi dalam pertimbangan antara nilai dari hasil itu dan nilai dari batas- batas kebebasan pribadi masing-masing.

b. Ada usaha-usaha perbaikan perawatan yang tidak mempunyai arti sama sekali bagi si terhukum dan disamping itu harus tetap ada suatu reaksi atas pelanggaran- pelanggaran norma yang telah dilakukannya itu dan tidaklah dapat dibiarkan begitu saja.

c. Pengaruh pidana atas hukum pidana bukan semata-mata ditujukan pada si penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat yaitu warga masyarakat yang

mentaati norma-norma masyarakat. 8 Kebijakan penegakan hukum pidana merupakan serangkaian proses yang terdiri dari

tiga tahap kebijakan yaitu :

a. Tahap kebijakan legislatif (formulatif) yaitu menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan oleh badan pembuat undang-undang.

b. Tahap kebijakan yudikatif/ aplikatif yaitu menerapkan hukum pidana oleh aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.

c. Tahap kebijakan eksekutif/administratif yaitu melaksanakan hukum pidana secara konkrit, oleh aparat pelaksana pidana. 9

7 H. Zainuddin Ali, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 94. 8 Barda Nawawi Arief, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan , PT Citra Aditya Bhakti, Bandung, hal 152-153

9 Barda Nawawi Arief, 1998 Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana , Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.30

Dihubungkan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan hukum, penulis mengutip pendapat Lawrence friedman dalam buku “Hukum dan Masyarakat” karangan Satjipto Raharjo, hukum dilihat sebagai suatu sistem hukum yang utuh, yang terdiri dari 3 komponen, yaitu:

a. Komponen substansi hukum, yang terdiri dari hasil aktual yang diberikan oleh sistem hukum, misalnya norma-norma peraturan dan sebagainya.

b. Komponen struktur hukum, yaitu kelembagaan yang diciptakan oleh sistim hukum dengan berbagai macam fungsinya dalam rangka mendukung bekerjanya hukum.

c. Komponen kultur atau budaya hukum, yaitu nilai-nilai yang merupakan kaidah yang mengikat sistim serta menentukan sistim hukum itu di tengah kultur bangsa secara keseluruhan. 10

Bagi masyarakat Indonesia, lemah kuatnya penegakan hukum oleh aparat akan menentukan persepsi ada tidaknya hukum. Bila penegakan hukum lemah, masyarakat akan mempersepsikan hukum tidak ada dan seolah-olah mereka berada dalam hutan rimba, sebaliknya, bila penegakan hukum kuat dan dilakukan secara konsisten, barulah masyarakat mempersepsikan hukum ada dan akan tunduk. Oleh karenanya penegak hukum yang tegas dan berwibawa dalam kehidupan hukum masyarakat sangat diperlukan. Patuh hukum bukanlah tataran tertinggi, melainkan adalah setiap individu dalam masyarakat yang bersikap di bawah alam sadar sesuai dengan tujuan. Kultur hukum di sini berkaitan dengan sikap sosial dan nilai- nilai sosial yang telah terpatri yang dipergunakan sebagai acuan normatif dalam perilaku.

Penulis berpandangan bahwa istri sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga berhak mendapatkan perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial atau pihak lain baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Selain itu istri sebagai korban juga berhak memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis, penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban, pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum, pada setiap tingkat proses pemeriksaan karena hal-hal tersebut telah diatur didalam ketentuan pasal-pasal yang telah termuat didalam UU. No. 23 Tahun 2004 tentang pencegahan kekerasan dalam rumah tangga. Korban kekerasan dalam rumah tangga juga berhak untuk mendapatkan pelayanan demi pemulihan dari tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/ atau pembimbing rohani (Ketentuan Pasal 39 UU. No.23 Tahun 2004). Sehingga Pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggungjawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga (Ketentuan Pasal 12 UU No. 23 Tahun 2004). Sedangkan masyarakat berkewajiban melakukan

10 Satjipto Raharjo, 1986, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung.

upaya-upaya sesuai batas kemampuannya untuk mencegah berlangsungnya tindak pidana, memberikan perlindungan kepada korban, memberikan pertolongan darurat dan membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan Korban kekerasan dalam rumah tangga, selain memperoleh perlindungan secara fisik dan psikis dari pemerintah dan masyarakat, korban juga memperoleh perlindungan hukum, dengan pemberian sanksi pidana bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga, yang diatur dalam ketentuan Pasal 44 sampai dengan Pasal 53 UU No. 23 Tahun 2004, dengan ancaman sanksi pidana yang berlainan, tergantung perbuatan yang dilakukan, dengan ancaman sanksi paling berat yaitu pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun atau denda Rp. 500.000.000,(Lima ratus juta rupiah), dan paling ringan 4 (empat) bulan penjara atau denda Rp.5.000.000 (Lima juta rupiah).

Peran aparat penegak hukum, yaitu kepolisian, advokat dan pengadilan, dalam memberikan perlindungan dan pelayanan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga, diatur secara khusus oleh UU No. 23 Tahun 2004, sebagai berikut:

- Kepolisian Diatur dalam ketentuan Pasal l6 UU No. 23 Tahun 2004. Pada waktu kepolisian menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, harus segera dijelaskan kepada korban bahwa mereka mendapatkan pelayanan dan pendampingan. Kepolisian memperkenalkan identitas mereka dan segera wajib melakukan penyelidikan serta wajib melindungi korban. Selanjutnya kepolisian akan meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Kepolisian dapat melakukan penangkapan dan penahanan terhadap pelaku. - Advokat

Diatur dalam ketentuan Pasal 25 UU. No. 23 Tahun 2004. Di dalam memberikan perlindungan dan pelayanan, advokat wajib memberikan konsultasi hukum mengenai hak-hak korban dan proses peradilan. Mendampingi korban pada penyidikan dan pemeriksaan di dalam sidang, serta melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya. - Pengadilan

Diatur dalam ketentuan Pasal 28 sampai dengan 34, 37 dan 38 UU. No. 23 Tahun 2004. Pengadilan harus mengeluarkan surat penetapan perintah perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain yang diajukan oleh kepolisian.

Penutup

Bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri antara lain kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan kekerasan ekonomi. Kekerasan fisik adalah suatu tindakan kekerasan (seperti: memukul, menendang, dan lain-lain) yang mengakibatkan luka, rasa sakit, atau cacat pada tubuh istri hingga menyebabkan kematian. Kekerasan psikis adalah suatu tindakan penyiksaan secara verbal (seperti: menghina, berkata kasar dan kotor) yang mengakibatkan menurunnya rasa percaya diri, meningkatkan rasa takut, hilangnya kemampuan Bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri antara lain kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan kekerasan ekonomi. Kekerasan fisik adalah suatu tindakan kekerasan (seperti: memukul, menendang, dan lain-lain) yang mengakibatkan luka, rasa sakit, atau cacat pada tubuh istri hingga menyebabkan kematian. Kekerasan psikis adalah suatu tindakan penyiksaan secara verbal (seperti: menghina, berkata kasar dan kotor) yang mengakibatkan menurunnya rasa percaya diri, meningkatkan rasa takut, hilangnya kemampuan

Perlindungan terhadap istri sebagai Korban kekerasan dalam rumah tangga berhak mendapatkan perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial atau pihak lain baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan dimana sudah diatur didalam UU. No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Adapun saran yang dapat penulis sampaikan untuk mencegah agar istri tidak menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga antara lain peningkatan pendidikan bagi perempuan sehingga mereka menyadari hak-hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan warga masyarakat. Serta peningkatan kesempatan kerja dan lapangan kerja bagi perempuan, sehingga secara ekonomi tidak tergantung sepenuhnya kepada suami/laki- laki. Sosialisasi peraturan perundang-undangan yang memberikan perlindungan kepada istri khususnya sosialisasi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga lengkap dengan peran dan fungsi Ruang Pelayanan Khusus (RPK). Memberikan advokasi dan pendampingan bagi korban serta Memberikan advokasi kebijakan pemerintah di dalam menyusun peraturan-peraturan yang melindungi istri.

DAFTAR PUSTAKA BUKU

Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembanqan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.

____________________, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan , PT Citra Aditya Baakti, Bandung.

Bonger, W.A.,1977, Pengantar Tentang Kriminologi, Terjemahan A. Koesnoen, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Romli Atmasasmita, 2007, Teori dan Kapita Selekta Krimonologi, Rafika Aditama, Bandung.

Satjipto Raharjo, 1986, Hukum dan Masyarakat, PT. Angkasa, Bandung. Sieghart, Paul, 1986, The Lawful Rights Of Mankind, An Introduction To The International

Legal Code Of Human Rights , Oxford University Press Sudarto, 1981, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung Zainuddin Ali, H., 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

MAKALAH

Romli Atmasasmita, “Latar Belakang Penyusunan RUU tentang Pengadilan HAM di Indonesia” Makalah pada 18 Oktober 2000, Yogyakarta..

INTERNET Baquandi,

Rumah Tangga”, http://psikologi.or.id/mycontents/uploads/2010/10/kdrt.pdf diakses pada 18 Januari 2012

“Kekerasan

Dalam

STRATEGI PENANGGULANGAN ILLEGAL LOGGING MELALUI EKOLABELING

I Wayan Suardana Dinas Kehutanan Provinsi Bali wayan_suardana@rocketmail.com

Abstract:

Indonesia is one of country that has not been able to tackle illegal logging. Increasing quantities of illegal logging results in deforestation. Deforestation is a threat to the lives of living things. To overcome this deforestation, we need a sustainable forest management. One form of sustainable forest management is ecolabeling or labeling of forest products is a form of forest inventory activities play an important role in preventing deforestation. Basically, this application is a breakthrough ecolabeling very well in the inventory of forest and prevent deforestation.

Key words: forest, deforestation, illegal logging and ecolabeling

Pendahuluan

Hutan merupakan aset besar yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Meskipun Kepulauan Indonesia hanya terdiri sekitar 1% dari seluruh daratan di permukaan bumi, cadangan hutan alaminya merupakan yang terbesar di Asia dan kedua terbesar di dunia, yang diperkirakan membentang seluas lebih dari 100 juta hektar. Hutan merupakan karunia Tuhan yang tak ternilai harganya. Hutan memberikan manfaat besar untuk hidup dan kehidupan bagi seluruh makhluk, terutama manusia. Bagi sebagian masyarakat Indonesia, hutan merupakan sumber kehidupan. Disamping merupakan tempat penyedia makanan, penyedia obat-obatan, juga menjadi tempat hidup bagi sebagian besar masyarakat.

Indonesia mulai memanfatkan hutan pada awal tahun 1970-an, melalui pembangunan industri pengolahan kayu. Saat ini, Indonesia menjadi eksportir kayu lapis terbesar di dunia, dan juga produksi kayu gelondongan, kayu olahan dan bubur kayu untuk produksi kertas. Pada tahun 2001, terdapat data statistik yang akurat, produksi kayu menyumbang 1,1 % Gross Domestic Product Indonesia dan sekitar US$ 5,1 miliar dari hasil ekspor. Walaupun pentingnya industri kayu untuk ekonomi nasional, sektor ini menghadapi ancaman serius

dari maraknya praktik penebangan liar. 11 Pada Januari 2003, pemerintah Indonesia mengumumkan bahwa aktivitas penebangan liar

menyebabkan kerugian negara sebesar Rp. 30,24 trilliun (US$3,37 miliar). Selain itu, sekitar

Pulse Analyst”, http://www.addthis.com/landing/?to=ffext&utm_source=el&utm_medium=link&utm_content=ATT ool_orig&utm_campaign=AT_tooldl, diakses pada 3 Januari 2012.

11 Felicity

Williams,

“Asia

322 dari 460 perusahaan yang beroperasi di bidang ini mengalami kegagalan diakibatkan penebangan liar. Sebanyak 80% dari 70 juta meter kubik kayu setiap tahunnya diperjualbelikan secara ilegal. Jumlah kayu selundupan dari Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Riau, Aceh, Sumatera Utara dan Jambi yang diselundupkan ke luar negeri seperti Malaysia, Cina, Vietnam dan India kira-kira mencapai 10 juta meter kubik tiap

tahunnya dan dari Papua sendiri bisa mencapai 600 ribu meter kubik. 12 Di tahun 2001, Indonesia mengkonsumsi 19 juta kubik kayu dalam bentuk kertas, kayu

gelondong, kayu lapis dan produk lain. Di tahun yang sama, Indonesia mengekspor sejumlah 40,7 juta meter kubik dalam bentuk-bentuk tersebut. Tetapi laporan resmi mengenai penebangan kayu pada tahun 2001 hanya sebanyak 10 juta kubik. Dengan kata lain, total jumlah penebangan kayu yang sebanyak 59,7 juta meter kubik termasuk di dalamnya sekitar 50 juta meter kubik kayu yang dihasilkan dari penebangan liar.

Penjagaan terhadap kelestarian hutan menjadi tanggung jawab semua pihak baik terhadap pemanfaatan sumber daya hutan yang ramah lingkungan hingga dalam memproteksi hasil-hasil hutan. Untuk itu badan-badan internasional yang memiliki kepedulian terhadap sumber daya hutan ini memperkenalkan kebijakan ekolabel atau biasa pula disebut dengan ekolabeling. Ekolabel berasal dari kata eco yang berarti lingkungan hidup dan label yang berarti suatu tanda pada produk yang membedakannya dari produk lain. Ekolabel membantu konsumen untuk memilih produk yang ramah lingkungan sekaligus berfungsi sebagai alat bagi produsen untuk menginformasikan konsumen bahwa produk yang diproduksinya ramah lingkungan.

Dengan adanya penandaan melalui ekolabel ini, maka akan diketahui karakteristik serta jumlah dari sumber daya yang ada di hutan. Ekolabel di Indonesia pada mulanya diterapkan pada hutan-hutan di daerah Jawa yang rawan akan pencurian kayu atau penebangan secara ilegal. Dengan inventarisasi semacam ini maka akan mudah bagi negara dan pihak swasta pengelola hutan untuk mengetahui persediaan kayu-kayu yang diekolabel.

Deskripsi Singkat Illegal Logging di Indonesia

Hutan merupakan karunia Tuhan yang mengandung banyak nilai dan fungsi strategis bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sumber daya hayati ini memiliki begitu banyak kekayaan di dalamnya yang dapat dipergunakan manusia untuk mempertahankan hidupnya. Namun dewasa ini penebangan liar semakin banyak terjadi. Penebangan liar atau yang

12 Ibid.

kemudian sering diistilahkan dengan illegal logging bukan hanya dilakukan oleh masyarakat di sekitar hutan namun juga dilakukan oleh kelompok-kelompok yang terorganisir.

Istilah illegal logging sampai saat ini belum pernah ditemukakan dalam peraturan perundang-undangan manapun. Definisi illegal logging itu sendiri belum menemukan bentuk bakunya. Perbedaan dalam menentukan definisi ini seringkali terjadi, baik antara tataran lokal, tataran international dan masyarakat. Dalam The Comtemporary English Indonesian Dictionary sebagaimana yang diikuti Salim, illegal artinya tidak sah, dilarang atau bertentangan dengan hukum, haram. Dalam Black’s Dictionary, illegal artinya forbidden by law; unlawsful’s artinya yang dilarang menurut hukum atau tidak sah. Log dalam bahasa Inggris artinya batang kayu atau kayu gelondongan dan logging artinya menebang kayu dan membawa ke tempat

gergajian. 13 Dari aspek implikasi semantik illegal logging sering diartikan sebagai praktik penebangan liar. Adapun aspek integratif, illegal logging diartikan sebagai praktik pemanenan kayu beserta prosesnya secara tidak sah atau tidak mengikuti prosedur dan tata cara yang telah ditetapkan. Proses tersebut mulai dari kegiatan perencanaan, perjanjian, permodalan, aktifitas memanen, hingga pasca pemanenan yang meliputi pengangkutan, tata niaga, pengolahan, hingga penyelundupan. 14

Illegal logging bukanlah sebuah masalah baru. Usianya hampir sama dengan sejarah penebangan komersial itu sendiri. Di Indonesia, sejak zaman penjajahan Belanda, pencurian kayu kecil-kecilan sering dilakukan di tanah-tanah yang diberikan izin konsesi penebangan oleh Belanda. Bahwa illegal logging menjadi perhatian yang sedemikian besar pada saat ini tidak lain karena skala dan intensitasnya yang memang sangat luar biasa. Illegal logging atau penebangan yang tidak sah muncul sebagai akibat dari peningkatan kapasitas industri kayu yang yang tidak diimbangi dengan analisa terhadap daya dukung lingkungan, penghormatan terhadap hak-hak tenurial, persiapan hutan tanaman industri yang akan mensuplai bahan baku dan kecenderungan untuk melihat hutan sebagai potensi ekonomi berdasarkan tegakan pohon yang ada didalamnya. Hutan itu sendiri dipandang dengan sudut pandang yang berbeda baik oleh

masyarakat, perusahaan, pemerintah daerah dan pemerintah pusat. 15

13 Salim, 2005, Illegal Logging Dalam Perspektif Politik Hukum Pidana (Kasus Papua) cetakan pertama, Universitas Atma jaya, Yogyakarta, hal. 72.

14 Rahmi Hidayati D. dkk., 2006, Pemberantasan Illegal Logging dan Penyelundupan Kayu Melalui Kelestarian Hutan dan Peningkatan Kinerja Sektor Kehutanan , Wanaaksara, Tangerang,

hal. 128. 15 Rully Syumanda, ____, “ Deforestasi dan Illegal Logging”, http://rullysyumanda.org/natural-

resources/forest/moratorium-logging-a-forest-conversion/54-deforestasi-dan-illegal-logging.html, diakses pada 3 Januari 2012.

Sebuah penelitian dari World Bank mengestimasikan bahwa dalam 40 tahun Indonesia akan menjadi tandus, dan faktor penyebab utamanya adalah praktek penebangan kayu tanpa perhatian (World Bank, 1986). Pada tahun 2002, Departemen Kehutanan memperkirakan luas kawasan hutan yang terdegradasi mencapai 59,7 juta hektar dengan lahan kritis didalam dan diluar kawasan mencapai 42,1 juta hektar. Hingga 1999 hingga 2000, kapasitas produksi industri kehutanan meningkat menjadi 74 juta meter kubik pertahun. Sementara itu Departemen Kehutanan menyebutkan bahwa produksi kayu yang ditebang secara legal pada tahun 2000 hanya mencapai 17 juta meter kubik. Bila produksi ini ditambah dengan kayu impor (yang menurut berbagai kalangan nilainya sangat kecil dan tidak signifikan) yang mencapai 3 juta meter kubik, maka kita mendapatkan pasokan kayu sebesar 20 juta meter kubik. Sampai disini, diketahui defisit untuk memenuhi kebutuhan kayu bagi industri mencapai angka 54 juta meter kubik. Jika diestimasi seluruh perusahaan tidak menggenjot angka produksinya dengan maksimal, asumsi ini memungkinkan mengingat mesin yang sudah tua, sehingga kapasitas produksi hanya 80 persen, maka akan mendapatkan gambaran defisit sebesar 39,2 juta meter kubik setiap tahunnya.

Dengan angka defisit seperti ini, ditambah gambaran bahwa pada tahun 2000 tidak ada satupun catatan yang menunjukkan terjadinya kebangkrutan disektor industri kayu, maka bisa dipastikan bahwa pada tahun 2000, lebih kurang 39 juta meter kubik kayu yang ditebang di Indonesia adalah ilegal. Angka tersebut sekaligus menggambarkan bahwa laju deforestasi pada tahun 2000 mencapai 1,85 juta hektar dengan kerugian nominal langsung dari kayu mencapai 47,01 trilyun rupiah.

Pada tahun 2003, meskipun pemerintah hanya memberikan jatah tebang sebesar 6,8 juta meter kubik namun Departemen Kehutanan sendiri memperkirakan bahwa kapasitas produksi industri kehutanan mencapai 73 juta meter kubik. Sedangkan kemampuan hutan alam hanya mencapai 22 juta meter kubik pertahun dengan perincian 7 juta meter kubik dari hutan alam dan 15 juta meter kubik dari hutan tanaman industri. Dengan figur ini dapat dipastikan bahwa 36,4 juta meter kubik kayu yang ditebang di Indonesia adalah illegal. Angka ini sekali lagi menggambarkan laju deforestasi di Indonesia pada tahun yang sama mencapai 1,825 juta hektar pertahun dengan kerugian nominal mencapai 43,680 trilyun rupiah. Pada tahun 2006, sebagian besar hutan tanaman di Sumatera dan Kalimantan sudah mulai mampu memenuhi kebutuhan industri sehingga pasokan bahan baku mencapai 46,7 juta meter kubik. Namun ini pun belum mampu memenuhi kebutuhan industri yang juga meningkat, akibat peningkatan produksi industri pulp, yang mencapai 96,19 juta meter Pada tahun 2003, meskipun pemerintah hanya memberikan jatah tebang sebesar 6,8 juta meter kubik namun Departemen Kehutanan sendiri memperkirakan bahwa kapasitas produksi industri kehutanan mencapai 73 juta meter kubik. Sedangkan kemampuan hutan alam hanya mencapai 22 juta meter kubik pertahun dengan perincian 7 juta meter kubik dari hutan alam dan 15 juta meter kubik dari hutan tanaman industri. Dengan figur ini dapat dipastikan bahwa 36,4 juta meter kubik kayu yang ditebang di Indonesia adalah illegal. Angka ini sekali lagi menggambarkan laju deforestasi di Indonesia pada tahun yang sama mencapai 1,825 juta hektar pertahun dengan kerugian nominal mencapai 43,680 trilyun rupiah. Pada tahun 2006, sebagian besar hutan tanaman di Sumatera dan Kalimantan sudah mulai mampu memenuhi kebutuhan industri sehingga pasokan bahan baku mencapai 46,7 juta meter kubik. Namun ini pun belum mampu memenuhi kebutuhan industri yang juga meningkat, akibat peningkatan produksi industri pulp, yang mencapai 96,19 juta meter

Dengan kondisi kekurangan bahan baku ”resmi” dimulailah pembalakan besar- besaran dalam sejarah industri kehutanan di Indonesia. Pada awal tahun 2000, seorang pejabat senior Departemen Kehutanan mengakui bahwa industri pengolahan kayu telah diizinkan melakukan ekspansi tanpa mempertimbangkan kemampuan pasokan kayu yang tersedia, sehingga menyebabkan kelebihan kapasitas. Kegagalan memasok kayu secara resmi sebagian besar ditutupi dengan pembalakan illegal, yang telah mencapai proporsi epidemis.

Sampai disini, sudah jelas bahwa illegal logging adalah sebuah aktivitas kehutanan yang tidak saja merugikan secara lingkungan namun juga menciptakan sejumlah masalah besar lainnya baik dalam perannya dalam penghancuran sistem ekonomi maupun perannya sebagai pemicu konflik. Demikian halnya menjadi mustahil untuk menyangkal bahwa illegal logging adalah produk pokok masalah struktural di sektor kehutanan yang terus menyebar. Sejak tahun 2001 hingga 2006, diperkirakan angka kayu yang ditebang secara illegal mencapai 23,323 juta meter kubik setiap tahunnya. Jika dikalkulasi secara finansial, illegal logging tersebut menciptakan kerugian negara sebesar Rp. 27,9 trilyun setiap tahun sejak tahun 2001.

Untuk mengatasi hal tersebut maka pemerintah menerapkan kebijakan operasi hutan lestari. Operasi hutan lestari ini dimaksudkan untuk mencegah pembalakan liar melalui pengawasan dari departemen Kehutanan. Operasi hutan lestari, meskipun mampu menekan keinginan orang untuk melakukan pembalakan secara liar namun dianggap belum mampu memenuhi target. Rata-rata setiap tahun, hanya 8 persen dari kayu yang tertebang secara illegal berhasil ditangkap. Dengan demikian kejahatan ini memang memerlukan konsentrasi yang tinggi untuk diselesaikan.

Fenomena illegal logging ini dapat dilihat secara kasat mata dengan menggunakan data-data resmi antara negara pengekspor dengan negara pengimpor. Sebagai contoh, pada tahun 2000, catatan pemerintah menunjukkan Indonesia tidak mengimpor sebatang kayu bulat pun ke Malaysia, sementara data di negara tersebut menunjukkan bahwa Malaysia telah mengimpor kayu bulat dari Indonesia sebesar 623.000 meter kubik. Sementara itu di Cina, angka impor kayu lebih besar 103 kali dari angka ekspor kayu dari Indonesia. Seperti Fenomena illegal logging ini dapat dilihat secara kasat mata dengan menggunakan data-data resmi antara negara pengekspor dengan negara pengimpor. Sebagai contoh, pada tahun 2000, catatan pemerintah menunjukkan Indonesia tidak mengimpor sebatang kayu bulat pun ke Malaysia, sementara data di negara tersebut menunjukkan bahwa Malaysia telah mengimpor kayu bulat dari Indonesia sebesar 623.000 meter kubik. Sementara itu di Cina, angka impor kayu lebih besar 103 kali dari angka ekspor kayu dari Indonesia. Seperti

Praktek Illegal logging dan eksploitasi hutan yang tidak mengindahkan kelestarian, mengakibatkan kehancuran sumber daya hutan yang tidak ternilai harganya, kehancuran kehidupan masyarakat dan kehilangan kayu senilai US$ 5 milyar, diantaranya berupa pendapatan negara kurang lebih US$ 1.4 milyar setiap tahun. Kerugian tersebut belum menghitung hilangnya nilai keanekaragaman hayati serta jasa-jasa lingkungan yang dapat dihasilkan dari sumberdaya hutan.

Penebangan hutan secara illegal ini tentunya memerlukan penanganan secepatnya sebab penyelesaian kasus ini selalu berpacu dengan waktu. Deferostasi yang terus-menerus dibiarkan akan menimbulkan kerusakan lingkungan yang lebih parah, dan kalau sudah seperti itu tentu penanganannya akan semakin sulit. Penanganan tersebut bukan hanya bersifat represif namun juga bersifat preventif. Salah satu upaya preventif yang dapat dilakukan adalah dengan menginventarisasi persediaan keanekaragamanan hayati di hutan. Upaya inilah yang selanjutnya dikenal dengan prinsip ekolabeling. Inventarisasi yang dilakukan dengan ekolabeling memerlukan pengorganisasian yang solid, sebab walaupun hutan merupakan tanggung jawab negara namun hal tersebut tidak menutup akses bagi pihak swasta dan masyarakat untuk turut berpartisipasi. Praktiknya, ekolabeling ini kebanyakan dilakukan oleh pihak swasta baik yang bertujuan komersial maupun lembaga swadaya masyarakat.

Konstruksi Pemikiran Ekolabeling

Sejak tahun 1990 ekspor kayu lapis memberikan hasil devisa non migas kedua terbesar setelah tekstil. Pada tahun 1993 hingga 1994 besarnya pangsa ekspor kayu lapis terhadap total ekpor produk kehutanan adalah sebesar 70,8% dan terhadap total ekspor non migas sebesar 17,5%. Peningkatan produksi dan volume ekspor kayu lapis Indonesia yang cukup pesat memberikan sumbangan devisa yang sangat besar pula. Sejak tahun 1975 hingga 1986, kayu lapis hanya memberikan sumbangan sekitar 21,5 % dari total ekspor hasil hutan, sekitar 5,3 % dari total ekspor Indonesia. Hingga tahun 1996 kayu lapis telah memberikan sumbangan devisa yang cukup besar yaitu sekitar 70,7 % dari total ekspor hasil

hutan, 16,7 % dari nilai total ekspor Indonesia. 16

16 Amiluddin dan Isang Gonarsyah, _____, “Analisis Ekonometrika Keragamanan Pasar Kayu Lapis Indonesia dan Dampak Kemungkinan Diberlakukannya Liberalisasi Perdagangan”,

http://www.google.com, diakses pada 3 Januari 2012.

Ekspor kayu lapis Indonesia pada 2010 ke Jepang, Uni Eropa, Timur Tengah dan AS diperkirakan naik 20% dibandingkan dengan realisasi ekspor 2009 sebanyak 3,1 juta ini. Keyakinan itu mengacu pada peningkatan permintaan pasar internasional, terutama Jepang yang menyerap 50% ekspor kayu lapis asal lndonesia. Harga pasar kayu lapis yang berlaku di pasar internasional pada 2010, diprediksi berkisar pada US$ 500 hingga US$ 550/m. Sebelum situasi krisis keuangan global, harga yang berlaku US$ 450 hingga US$500/m. Produk kayu lapis nasional, katanya, sebenarnya mengalami peningkatan jika dibandingkan 2008 yang tercatat 3,6 juta m. Produk kayu lapis ekspor tercatat 3,1 juta rn, angka itu belum termasuk produk kayu lapis yang dikonsumsi di dalam negeri yang jumlahnya 1,5 juta m. Kalau melihat kapasitas kayu lapis yang diekspor pada 2009 tercatat 3.1 juta m memang menurun jika dibandingkan ekspor kayu lapis 2008 yang tercatat 3,6 juta rn1.

Produksi kayu lapis nasional pada 2009 tidak turun karena sebagian hasil produksinya sebesar 1,5 juta m1 dijual di dalam negeri. Banyak produsen yang memasarkan kayunya untuk pasar domestik. Sementara itu, pemerintah hendaknya tidak hanya bersikap optimistis akan terjadi kenaikan investasi. Sebaiknya pemerintah mengambil langkah mempersiapkan aturan tentang kemudahan ekspor dan memperbaiki kualitas ekspor kayu yang akan diekspor. Permintaan pasar internasional terhadap kayu lapis Indonesia, tetap tinggi. Namun, apakah hasil produksi kayu nasional memiliki daya saing di pasar internasional, itu yang dipertanyakan. Perusahaannya setiap tahun memperoleh pesanan dari Amerika Serikat sebesar 4.000 rn hingga 5.000 rn. Pada 2010 ada kenaikan permintaan hingga 6.000 in Harganya pun masih lebih baik, bisa mencapai US$550. Daya saing kualitas kayu nasional