EVALUASI PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PENDIDIKAN DASAR KABUPATEN BANGKA TENGAH TAHUN 2015
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Otonomi daerah yang dilaksanakan per 1 Januari 2001 telah memberikan peran yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk mengurus sendiri urusan pemerintahannya, berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah antara lain dimaksudkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat.
Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai. Pemerintah wajib melakukan pembinaan dan pengawasan berupa pemberian pedoman, standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi, pengendalian, koordinasi, monitoring dan evaluasi. Hal ini dimaksudkan agar kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah tetap sejalan dengan tujuan nasional dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk mewujudkan hal tersebut salah satunya adalah menerapkan Standar Pelayanan Minimal (SPM). Kewajiban pemerintah daerah untuk menerapkan SPM termuat dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah, yang pedoman penyusunan dan penerapan SPM masih mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun 2005 Tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan SPM.
(2)
2 Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, SPM adalah ketentuan mengenai jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan pemerintahan wajib yang berhak diperoleh setiap warga negara secara minimal. Adapun urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar meliputi: (a) pendidikan; (b) kesehatan; (c) pekerjaan umum dan penataan ruang; (d) perumahan rakyat dan kawasan permukiman; (e) ketenteraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat; dan (f) sosial. (Pasal 11 Undang-Undang 23 Tahun 2014). Sedangkan penyelenggaraan pelayanan dasar yang dilakukan oleh pemerintah daerah berpedoman pada standar pelayanan minimal yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (Pasal 18 Undang-Undang 23 Tahun 2014)
Berkaitan dengan hal tersebut, sampai saat ini Pemerintah melalui Kementerian atau Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) telah menetapkan SPM untuk diterapkan di Pemerintahan Daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota, yang terdiri dari 15 (lima belas) bidang yaitu:
1. Perumahan Rakyat;
2. Pemerintahan Dalam Negeri
3. Sosial;
4. Kesehatan;
5. Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak;
6. Lingkungan Hidup;
7. Keluarga Berencana dan Sejahtera;
(3)
3
9. Pendidikan;
10.Pekerjaan Umum;
11.Ketahanan Pangan;
12.Kesenian;
13.Komunikasi dan Informasi;
14.Perhubungan; dan
15.Penanaman Modal.
Dari bidang SPM yang telah ditetapkan diatas, yang wajib diterapkan oleh Pemerintah Provinsi sebanyak 9 (sembilan) bidang, yaitu: Perumahan Rakyat; Sosial; Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; Lingkungan Hidup; Ketenagakerjaan; Ketahanan Pangan; Kesenian; dan Perhubungan; serta Penanaman Modal. Sedangkan yang wajib diterapkan oleh pemerintah Kabupaten/Kota yaitu seluruh bidang yang ditetapkan diatas (15 bidang).
Sebagai upaya untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam pemenuhan hak warga negara dan pembangunan secara merata, perlu dilakukan evaluasi capaian terhadap SPM tersebut. Evaluasi sangat penting agar capaian indikator masing-masing jenis pelayanan mengalami peningkatan, dan minimal sesuai dengan standar nasional yang telah ditetapkan. Meningkatnya capaian indikator tersebut sebagai penanda semakin meningkatnya pelayanan kepada masyarakat.
Salah satu bidang pelayanan yang menarik untuk dilakukan evaluasi adalah bidang pendidikan. Selain merupakan urusan pemerintahan wajib yang
(4)
4 berkaitan dengan pelayanan dasar, bidang pendidikan merupakan kunci keberhasilan pembangunan dan menjadi fokus utama pembangunan di setiap daerah. Pendidikan masyarakat merupakan modal utama pembangunan suatu daerah karena tingginya tingkat pendidikan berimplikasi pada meningkatnya kualitas hidup masyarakat. Hingga saat ini berbagai program telah dilaksanakan oleh pemerintah daerah, diantaranya program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun; program peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan; dan program manajemen pelayanan pendidikan.
Dalam peraturan kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2013 menyebutkan dalam pasal 2 (dua) ayat 2 (dua) menyebutkan ada 14 (empat belas) pelayanan pendidikan dasar yang harus dilaksanakan pemerintah Kabupaten/Kota :
1. Tersedia satuan pendidikan dalam jarak yang terjangkau dengan berjalan
kaki yaitu maksimal 3 km untuk SD/MI dan 6 km jalan darat/air untuk SMP/MTs dari kelompok permukiman permanen di daerah terpencil;
2. Jumlah peserta didik dalam setiap rombongan belajar untuk SD/MI tidak
melebihi 32 orang, dan untuk SMP/MTs tidak melebihi 36 orang. Untuk setiap rombongan belajar tersedia 1 (satu) ruang kelas yang dilengkapi dengan meja dan kursi yang cukup untuk peserta didik dan guru, serta papan tulis;
3. Setiap SMP dan MTs tersedia ruang laboratorium IPA yang dilengkapi
dengan meja dan kursi yang cukup untuk 36 peserta didik dan minimal satu set peralatan praktek IPA untuk demonstrasi dan eksperimen peserta
(5)
5 didik;
4. Setiap SD/MI dan SMP/MTs tersedia satu ruang guru yang dilengkapi
dengan meja dan kursi untuk setiap orang guru, kepala sekolah dan staf kependidikan lainnya; dan di setiap SMP/MTs tersedia ruang kepala sekolah yang terpisah dari ruang guru;
5. Setiap SD/MI tersedia 1 (satu) orang guru untuk setiap 32 peserta didik
dan 6 (enam) orang guru untuk setiap satuan pendidikan, dan untuk daerah khusus 4 (empat) orang guru setiap satuan pendidikan;
6. Setiap SMP/MTs tersedia 1 (satu) orang guru untuk setiap mata pelajaran,
dan untuk daerah khusus tersedia satu orang guru untuk setiap rumpun mata pelajaran;
7. Setiap SD/MI tersedia 2 (dua) orang guru yang memenuhi kualifikasi
akademik S1 atau D-IV dan 2 (dua) orang guru yang telah memiliki sertifikat pendidik;
8. Di setiap SMP/MTs tersedia guru dengan kualifikasi akademik S-1 atau
D-IV sebanyak 70% dan separuh diantaranya (35% dari keseluruhan guru) telah memiliki sertifikat pendidik, untuk daerah khusus masing-masing sebanyak 40% dan 20%;
9. Setiap SMP/MTs tersedia guru dengan kualifikasi akademik S-1 atau D-IV
dan telah memiliki sertifikat pendidik masing-masing satu orang untuk mata pelajaran Matematika, IPA, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Pendidikan Kewarganegaraan.
(6)
6
10.Setiap kabupaten/kota semua kepala SD/MI berkualifikasi akademik S1
atau D-IV dan telah memiliki sertifikat pendidik;
11.Setiap kabupaten/kota semua kepala SMP/MTs berkualifikasi akademik
S1 atau D-IV dan telah memiliki sertifikat pendidik;
12.Setiap kabupaten/kota semua pengawas sekolah dan madrasah memiliki
kualifikasi akademik S-1 atau D-IV dan telah memiliki sertifikat pendidik;
13.Pemerintah kabupaten/kota memiliki rencana dan melaksanakan kegiatan
untuk membantu satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum dan proses pembelajaran yang efektif; dan
14.Kunjungan pengawas ke satuan pendidikan dilakukan satu kali setiap
bulan dan setiap kunjungan dilakukan selama 3 jam untuk melakukan supervisi dan pembinaan
Penerapan standar pelayanan minimal pendidikan dasar dikabupaten Bangka Tengah sudah dimulai sejak tahun 2010. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Kepala Dinas Pendidikan Pemerintah Kabupaten Bangka Tengah kepada media online Radar Bangka online
”SPM itu sudah diterapkan sejak 2010 dan diharapkan ke depannya bisa berubah menjadi standar pelayanan nasional seiring meningkatnya tuntutan dunia terhadap kualitas pendidikan”
Harapan yang disampaikan oleh kepala dinas pendidikan seiring berjalannya penerapan SPM pendidikan, adanya kemajuan yang membaik sesuai dengan tuntutan negara terhadap kualitas pendidikan.
(7)
7 Namun capaian indikator SPM bidang pendidikan di daerah kabupaten Bangka Tengah masih jauh dari target capaian nasional, seperti capaian pada
indikator “Di setiap SMP/MTs tersedia ruang Laboratorium IPA yang
dilengkapi dengan meja kursi yang cukup untuk 36 peserta didik” sampai
tahun 2015 baru terealisasi sebesar 18,18%, sedangkan target capaian nasional mencapai 100%. Artinya masih ada gap sebesar 72,82%. Ketidak tercapainya indikator ini disebabkan karena hingga saat ini pemerintah Kabupaten Bangka Tengah baru bisa memenuhi kebutuhan gedung ruangan laboratoriumnya saja, namun untuk alat didalam laboratorium hingga saat ini masih di anggarkan di APBD perubahan
Selanjutnya pada indikator “Disetiap kabupaten/Kota semua kepala SMP/MTs berkualifikasi akademik S1 atau D-IV dan telah memiliki sertifikat pendidik” baru mencapai 77,27% pada tahun 2015, sedangkan target capaian nasional mencapai 100%. Belum tercapainya indikator ini sebabkan masih adanya sebagian kecil kepala sekolah yang sudah berusia sangat tua. Sehingga keinginan mereka untuk melanjutkan kuliah sudah tidak ada lagi. Hingga saat ini pemerintah Kabupaten Bangka Tengah masih berupa upaya untuk memberikan beasiswa kepada kepala sekolah yang berusia muda.
Mengingat masih rendahnya beberapa capaian indikator bidang pendidikan di Kabupaten Bangka Tengah, maka perlu dilakukan evaluasi capaian SPM bidang pendidikan agar dapat diketahui akar permasalahan dan upaya peningkatan capaian. Untuk itu, penulis memfokuskan penelitian ini pada evaluasi pelaksanaan SPM bidang pendidikan di Kabupaten Bangka
(8)
8
Tengah dengan judul penelitian “Evaluasi Pelaksanaan Standar Pelayanan
Minimal (SPM) Bidang Pendidikan Dasar di Kabupaten Bangka Tengah”
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang diuraikan diatas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah:
(a) Bagaimana pelaksanaan standar pelayanan minimal bidang pendidikan
dasar di Kabupaten Bangka Tengah?
(b) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pelaksanaan Standar
Pelayanan Minimal Bidang pendidikan dasar di Kabupaten Bangka Tengah?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
(a) Menganalisa dan mendeskripsikan pelaksanaan standar pelayanan
minimal bidang pendidikan dasar di Kabupaten Bangka Tengah.
(b) Mengetahui dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi
pelaksanaan SPM bidang pendidikan dasar di Kabupaten Bangka Tengah
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini secara komprehensif berfungsi sebagai filter dalam memformulasikan produk keilmuan baik dalam tataran teoritis,
(9)
9 akademis, maupun praktis. Oleh karena itu kegunaan penelitian dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Secara teoritis, diharapkan hasil penelitian ini dapat memperkaya
pengetahuan tentang standar pelayanan minimal bidang pendidikan dasar, serta sebagai referensi bagi pengembangan ide mahasiswa di Magister Ilmu Pemerintahan dalam melakukan penelitian yang serupa.
2. Secara Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
masukan atau kebijakan bagi pemerintah daerah Kabupaten Bangka Tengah dalam proses percepatan pencapaian SPM bidang pendidikan.
(10)
10 BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI A. Kajian Pustaka
Sebelum mengadakan penelitian yang sesungguhnya, peneliti mengadakan suatu studi pendahulu, yaitu menjajaki kemungkinan diteruskannya pekerjaan meneliti. Menurut Suharsimi Arikunto Studi pendahulu ini dimaksudkan untuk mencari informasi yang diperlukan oleh peneliti agar masalahnya menjadi lebih jelas kedudukannya. Oleh karena itu peneliti memakai dua penelitian pendahulu untuk dijadikan sebagai rujukan yang akan di uraikan dalam tabel berikut ini:
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
No Nama Peneliti Judul Penelitian Hasil dan Pembahasan
1 Herpikus,
Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Tanjungpura, Pontianak. 2012 Implementasi Kebijakan Standar Pelayanan Minimal Sekolah Dasar di Kabupaten Sanggau
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi kebijakan Standar Pelayanan Minimal Sekolah Dasar di Kabupaten Sanggau belum berjalan maksimal, karena masih rendahnya kualitas sumber daya manusia baik tenaga pengajar maupun kepala sekolah. Kepala sekolah di Kabupaten Sanggau yang memenuhi kualifikasi S1 atau D IV hanya mencapai 22,96% dan guru yang memenuhi
kualifikasi S1 atau D IV hanya mencapai 26,30%. Ketersediaan sarana dan prasarana di Kabupaten Sanggau juga masih belum memadai. Hanya 59,92% sekolah di Kabupaten Sanggau yang sarana
prasarananya sudah memadai. Persamaan antara penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan adalah objek yang akan diteliti yaitu, Standar Pelayanan Minimal
Pendidikan Dasar. Perbedaan kedua penelitian ini terletak pada sampel dan populasi penelitian. Dalam penelitian ini meneliti SPM dalam tingkat Kabupaten sedangkan penelitian yang diteliti oleh peneliti hanya 1 sekolah saja.
(11)
11
No Nama Peneliti Judul Penelitian Hasil dan Pembahasan
2 Herwin, ST.
2012 Analisis pencapaian standar pelayanan minimal (spm) pendidikan dasar (Studi kasus: Kecamatan Sangir Kabupaten Solok Selatan)
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa di 39 Kecamatan Sangir sampai tahun 2010 belum sepenuhnya mencapai Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar. Penelitian ini menganalisis pelaksanaan SPM Pendidikan Dasar berdasarkan analisis gap, analisis keselarasan pembiayaan pendidikan, analisis proyeksi pencapaian SPM dan MDGs Tahun 2015 di Kecamatan Sangir.
3 Mohammad
Khozin, Sinergi Visi Utama. Jurnal Studi
Pemerintahan Vol. 1 No. 1 Agustus 2010 Evaluasi Implementasi Kebijakan Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten Gunungkidul
Bahwa pada dasarnya Standar Pelayanan Minimal bidang kesehatan Pemerintah Kabupaten Gunungkidul dapat tercapai dengan baik. Hal ini bisa dilihat dari perbandingan data capaian indikator dari tahun ke tahun yang telah dikompilasikan. Namun dari sekian banyak indikator capaian kinerja pelayanan yang telah ditetapkan, tetap saja ada beberapa
indikator yang tidak jelas angka capaiannya : antara lain penerbitan perijinan sarana kesehatan, penerbitan perijinan apotek dan toko obat, pelayanan operasi pada penderita katarak keluarga miskin dan pengawasan kualitas lingkungan Rumah Tangga, Pada pelayanan- pelayanan tersebut tidak didapatkan data yang akurat, sehingga menjadikan tanda tanya terhadap capaian indikator kinerja pelayanannya.
4 Iwan
Kurniawan, Program Magister Hukum Univesitas Indonesia Jakarta 2011 Efektivitas pengaturan standar pelayanan minimal dalam perspektif desentralisasi di indonesia
Penelitian ini menghasilkan beberapa temuan. Pertama, amanat konstitusi yang menghendaki pemenuhan kebutuhan pelayanan dasar belum mampu diberikan oleh pemerintah
(Pusat dan Daerah) secara optimal, meskipun Pemerintah terus
mengembangkan pengaturan terkait penerapan SPM di daerah otonom. Kedua, pengaturan SPM bagi daerah otonom belum efektif karena peraturan perundang-undang yang mengatur SPM tidak menegaskan jenis pelayanan dasar yang wajib diatur dan rumusan norma dan validitas norma
(12)
12
No Nama Peneliti Judul Penelitian Hasil dan Pembahasan
pemberlakuan kebijakan SPM tersebut tidak taat asas-asas hukum dan dapat dikatakan tidak valid. Ketiga, terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi
pelaksanaan SPM di daerah otonom. Untuk itu, dalam rangka ius constituendum, tiada jalan lain yang harus dilakukan untuk memperbaiki pengaturan SPM bagi daerah otonom adalah dengan merevisi Pasal dalam UU Pemerintahan Daerah yang berisi pengaturan tentang jenis pelayanan dasar yang menjadi urusan pemerintahan yang wajib diatur melalui pengaturan SPM. Selain itu, merevisi pedoman penyusunan dan penerapan SPM agar lebih sederhana dan tidak berbelit-belit, sehingga
memudahkan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk berkoordinasi dalam rangka mencapai target akhir SPM yaitu mewujudkan kesejahteraan melalui pemenuhan kebutuhan pelayanan dasar sesuai amanat
5 Ariani Puspita
Dewi, Hari Susanta N& Sari Listyorini. Jurnal Sosial dan Politik Diponegoro tahun 2013 Analisis pengendalian kualitas dengan pendekatan p.d.c.a. (plan-do-check-act) berdasarkan standar minimal pelayanan Rumah sakit pada rsud dr. Adhyatma
semarang
(studi kasus pada instalasi radiologi)
Berdasarkan analisis yang ada diperoleh bahwa pengendalian kualitas pelayanan secara keseluruhan sudah berjalan baik. Namun masih terdapat tingkat kerusakan hasil rontgen yang berada di atas standar yang ditetapkan yakni lebih dari (>) 2%, sehingga dibutuhkan suatu perbaikan kualitas hasil rontgen untuk dapat
memberikan hasil rontgen yang berkualitas tinggi agar tercipta diagnosis yang tepat serta memberikan layanan
kesehatan yang memuaskan bagi pasien Instalasi Radiologi RSUD Dr. Adhyatma Semarang.
Berdasarkan tabel tabel 2.1 diatas dapat diuraikan tentang study-study terdahulu yang bersinggungan dengan penelitian yang akan peneliti lakukan sebagai berikut:
(13)
13
(1) Jurnal dari Herpikus yang berjudul Implementasi Kebijakan Standar Pelayanan
Minimal Sekolah Dasar di Kabupaten Sanggau. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi kebijakan Standar Pelayanan Minimal Sekolah Dasar di Kabupaten Sanggau belum berjalan maksimal, karena masih rendahnya kualitas sumber daya manusia baik tenaga pengajar maupun kepala sekolah. Kepala sekolah di Kabupaten Sanggau yang memenuhi kualifikasi S1 atau D IV hanya mencapai 22,96% dan guru yang memenuhi kualifikasi S1 atau D IV hanya mencapai 26,30%. Ketersediaan sarana dan prasarana di Kabupaten Sanggau juga masih belum memadai. Hanya 59,92% sekolah di Kabupaten Sanggau yang sarana prasarananya sudah memadai. Persamaan antara penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan adalah objek yang akan diteliti yaitu, Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar. Perbedaan kedua penelitian ini terletak pada sampel dan populasi penelitian. Dalam penelitian ini meneliti SPM dalam tingkat Kabupaten sedangkan penelitian yang diteliti oleh peneliti hanya 1 sekolah saja.
(2) Penelitian yang dilakukan oleh Herwin, ST Analisis pencapaian standar pelayanan
minimal (SPM) pendidikan dasar (Studi kasus: Kecamatan Sangir Kabupaten Solok Selatan). Dari hasil penelitian ini Herwin, ST Menarik kesimpulah bahwa hasil penelitian ini menunjukkan bahwa di 39 Kecamatan Sangir sampai tahun 2010 belum sepenuhnya mencapai Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar. Penelitian ini menganalisis pelaksanaan SPM Pendidikan Dasar berdasarkan analisis gap, analisis keselarasan pembiayaan pendidikan, analisis proyeksi pencapaian SPM dan MDGs Tahun 2015 di Kecamatan Sangir.
(14)
14
(3) Penelitian lain adalah Mohammad Khozin, Sinergi Visi Utama tentang Evaluasi
Implementasi Kebijakan Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten Gunung Kidul dari hasil penelitian yang dilakukan Mohammad Khozin menarik kesimpulan Bahwa pada dasarnya Standar Pelayanan Minimal bidang kesehatan Pemerintah Kabupaten Gunungkidul dapat tercapai dengan baik. Hal ini bisa dilihat dari perbandingan data capaian indikator dari tahun ketahun yang telah dikompilasikan. amun dari sekian banyak indikator capaian kinerja pelayanan yang telah ditetapkan, tetap saja ada beberapa indikator yang tidak jelas angka capaiannya : antara lain penerbitan perijinan sarana kesehatan, penerbitan perijinan apotek dan toko obat, pelayanan operasi pada penderita katarak keluarga miskin dan pengawasan kualitas lingkungan Rumah Tangga, Pada pelayanan- pelayanan tersebut tidak didapatkan data yang akurat, sehingga menjadikan tanda tanya terhadap capaian indikator kinerja pelayanannya.
(4) Penelitian lain juga dilakukan oleh Iwan Kurniawan dari Program Magister
Hukum Univesitas Indonesia Jakarta 2011 tentang Efektivitas pengaturan standar pelayanan minimal dalam perspektif desentralisasi di Indonesia. Dalam penelitian ini Iwan Kurniawan menarik kesimpulan dari pembahasan bahwa Penelitian ini menghasilkan beberapa temuan. Pertama, amanat konstitusi yang menghendaki pemenuhan kebutuhan pelayanan dasar belum mampu diberikan oleh pemerintah (Pusat dan Daerah) secara optimal, meskipun Pemerintah terus mengembangkan pengaturan terkait penerapan SPM di daerah otonom. Kedua, pengaturan SPM bagi daerah otonom belum efektif karena peraturan perundang-undang yang mengatur SPM tidak menegaskan jenis pelayanan dasar yang wajib diatur dan
(15)
15 rumusan norma dan validitas norma peraturan yang dibuat sebagai dasar hokum pemberlakuan kebijakan SPM tersebut tidak taat asas-asas hukum dan dapat dikatakan tidak valid. Ketiga, terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi pelaksanaan SPM di daerah otonom. Untuk itu, dalam rangka ius constituendum, tiada jalan lain yang harus dilakukan untuk memperbaiki pengaturan SPM bagi daerah otonom adalah dengan merevisi Pasal dalam UU Pemerintahan Daerah yang berisi pengaturan tentang jenis pelayanan dasar yang menjadi urusan pemerintahan yang wajib diatur melalui pengaturan SPM. Selain itu, merevisi pedoman penyusunan dan penerapan SPM agar lebih sederhana dan tidak berbelitbelit, sehingga memudahkan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk berkoordinasi dalam rangka mencapai target akhir SPM yaitu mewujudkan kesejahteraan melalui pemenuhan kebutuhan pelayanan dasar sesuai amanat
(5) Penelitian dengan tema besar yang sama juga dilakukan oleh Ariani Puspita Dewi,
Hari Susanta N & Sari Listyorini. Jurnal Sosial dan Politik Diponegoro tahun 2013 dengan judul Analisis pengendalian kualitas dengan pendekatan p.d.c.a. (plan-do-check-act) berdasarkan standar minimal pelayanan Rumah sakit pada rsud dr. Adhyatma semarang (studi kasus pada instalasi radiologi). Dari hasil pembahasannya Puspita Dewi, Hari Susanta N & Sari Listyorini menarik kesimpulan bahwa Berdasarkan analisis yang ada diperoleh bahwa pengendalian kualitas pelayanan secara keseluruhan sudah berjalan baik. Namun masih terdapat tingkat kerusakan hasil rontgen yang berada di atas standar yang ditetapkan yakni lebih dari (>) 2%, sehingga dibutuhkan suatu perbaikan kualitas hasil rontgen untuk dapat memberikan hasil rontgen yang berkualitas tinggi agar tercipta
(16)
16 diagnosis yang tepat serta memberikan layanan kesehatan yang memuaskan bagi pasien Instalasi Radiologi RSUD Dr. Adhyatma Semarang.
Dari kelima penelitian terdahulu yang telah penulis paparkan, peneliti akan menjelaskan perbedaan penelitian yang akan peneliti lakukan. Pada penelian yang akan peneliti lakukan peneliti akan membahas SPM lebih spesifik kebidang pendidikan. Namun pada penelitian ini peneliti akan membahas 3 (tiga) poin penting yaitu: (1) capaian SPM pendidikan pada tahun 2015, dan membandingkan dengan capaian nasional (2) dampak dana pendidikan terhadap SPM pendidikan, dan (3) mencari kendala dalam pencapaian SPM dan berikut memberikan solusinya.
B. Landasan Teori 1. Otonomi Daerah
Otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani, autos yang berarti
sendiri dan nomous yang berarti hukum atau peraturan. Dengan demikian,
otonomi pada dasarnya memuat makna kebebasan dan kemandirian. Bayu
Suryaningrat berpendapat bahwa otonomi berarti mengatur sendiri, melaksanakan
pemerintahan sendiri. 1
Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa otonomi adalah menyelenggarakan pemerintahan sendiri. Dalam pengertian menyelenggarakan pemerintahan sendiri ini terkandung unsur hak dan wewenang. Tanpa adanya hak dan wewenang suatu lembaga tidak akan dapat melaksanakan pemerintahan sendiri. Atas dasar itu dapat disimpulkan bahwa pengertian otonomi adalah hak
(17)
17
dan wewenang menyelenggarakan pemerintahan sendiri.2
Menurut Sarundajang Pengertian otonomi dapat juga ditemukan dalam
literature Belanda, dimana otonomi berarti pemerintahan sendiri (zelfregering) yang oleh Van Vollenhoven dibagi atas zelfwetgeving (membuat undang-undang
sendiri), zelfuitvoering (melaksanakan sendiri), zelfrechtspraak (mengadili
sendiri), dan zelfpolitie (menindaki sendiri).3
Sarundajang juga menyatakan bahwa otonomi daerah pada hakekatnya adalah:
(a) Hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonom. Hak
tersebut bersumber dari wewenang pangkal dan urusan-urusan pemerintah (pusat) yang diserahkan kepada daerah. Istilah sendiri dalam hak mengatur dan mengurus rumah tangga merupakan inti keotonomian suatu daerah.
(b) Dalam kebebasan menjalankan hak mengurus dan mengatur rumah tangga
sendiri, daerah tidak dapat menjalankan hak dan wewenang otonominya itu diluar batas-batas wilayah daerahnya.
(c) Daerah tidak boleh mencampuri hak mengatur dan mengurus rumah
tangga daerah lain sesuai dengan wewenang pangkal dan urusan yang diserahkan kepadanya.
(d) Otonomi tidak membawahi otonomi darah lain, hak mengatur dan
mengurus rumah tangga sendiri tidak merupakan hak mengatur dan
mengurus rumah tangga daerah lain.4
2 Djaenuri, Aries, dkk. 2003. Sistem Pemerintahan Daerah. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka 3 Sarundajang, S.H. 2005. Babak Baru Sistem Pemerintahan Daerah. Jakarta: Kata Hasta Pustaka
(18)
18 Pelaksanaan otonomi daerah tidak terlepas dari keberadaan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal tersebut yang menjadi dasar penyelenggaraan otonomi dipahami sebagai normatifikasi gagasan-gagasan yang mendorong pemakaian otonomi sebagai bentuk dan cara menyelenggarakan pemerintahan daerah. Otonomi yang dijalankan tetap harus memperhatikan hak-hak asal usul dalam daerah yang bersifat istimewa.
Sejalan dengan hal itu, Soepomo dalam Ladjin mengatakan bahwa otonomi daerah sebagai prinsip berarti menghormati kehidupan regional menurut riwayat,
adat dan sifat-sifat sendiri dalam kadar Negara kesatuan.5 Tiap daerah mempunyai
historis dan sifat khusus yang berlainan dari riwayat dan sifat daerah lain. Oleh karena itu, pemerintah harus menjauhkan segala urusan yang bermaksud akan menguniformisir seluruh daerah menurut satu model.
Menurut Sarundajang tujuan pemberian otonomi daerah setidak-tidaknya akan meliputi 4 (empat) aspek sebagai berikut:
(a) Dari segi politik adalah untuk mengikutsertakan, menyalurkan inspirasi dan
aspirasi masyarakat, baik untuk kepentingan daerah sendiri, maupun untuk mendukung politik dan kebijaksanaan nasional dalam rangka pembangunan dalam proses demokrasi di lapisan bawah.
(b) Dari segi manajemen pemerintahan, adalah untuk meningkatkan dayaguna
dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam memberikan
5 Nurjanna Ladjin. 2008. Analisis Kemandirian Fiskal di Era Otonomi Daerah. (Studi Kasus di Provinsi
(19)
19 pelayanan terhadap masyarakat dengan memperluas jenis-jenis pelayanan dalam berbagai bidang kebutuhan masyarakat.
(c) Dari segi kemasyarakatan, untuk meningkatkan partisipasi serta
menumbuhkan kemandirian masyarakat, dengan melakukan upaya pemberdayaan (empowerment) masyarakat, sehingga masyarakat makin mandiri, dan tidak terlalu banyak tergantung pada pemberian pemerintah serta memiliki daya saing yang kuat dalam proses pertumbuhannya.
(d) Dari segi ekonomi pembangunan adalah untuk melancarkan pelaksanaan
program pembangunan guna tercapainya kesejahteraan rakyat yang makin
meningkat.6
Martin dalam Paturusi menjelaskan tujuan utama otonomi daerah pada era otonomi daerah telah dijelaskan dalam kebijakan desentralisasi sejak tahun 1999, yakni:7
(a) Pembebasan pusat, maksudnya membebaskan pemerintah pusat dari
beban-beban tidak perlu mengenai urusan domestik sehingga ia berkesempatan mempelajari, memahami, merespons berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat daripadanya. Pada saat yang sama sangat diharapkan pemerintah pusat lebih mampu berkonsentrasi pada kebijakan makro nasional dari yang bersifat strategis.
(b) Pemberdayaan lokal atau daerah. Alokasi kewenangan pemerintah pusat ke
daerah maka daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang signifikan.
6 Opcit
7 Idrus A Paturusi, dkk. 2009. Hasil Penelitian. Esensi dan UrgensitasPeraturan Daerah dalam
(20)
20
Artinya ability (kemampuan) prakarsa dan kreativitas daerah akan terpacu
sehingga kapasitasnya dalam mengatasi berbagai masalah domestik akan semakin kuat.
(c) Pengembalian trust (kepercayaan) pusat ke daerah. Desentralisasi
merupakan simbol lahirnya kepercayaan dari pemerintah pusat ke daerah. Hal ini dengan sendirinya mengembalikan kepercayaan kepada pemerintah dan masyarakat daerah.
Dalam penyelenggaraan otonomi daerah, daerah mempunyai kewajiban:
1) Melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan, dan kerukunan
nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2) Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat;
3) Mengembangkan kehidupan demokrasi;
4) Mewujudkan keadilan dan pemerataan;
5) Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;
6) Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;
7) Menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak;
8) Mengembangkan sistem jaminan sosial;
9) Menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;
10)Mengembangkan sumber daya produktif di daerah;
11)Melestarikan lingkungan hidup;
12)Mengelola administrasi kependudukan;
(21)
21
14)Membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan
kewenangannya, dan
15)Kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
2. Pelayanan Publik
A. PengertianPelayanan Publik
Gronroos dalam Ratminto yaitu pelayanan adalah suatu aktivitas atau serangkaian aktivitas yang bersifat tidak kasat mata yang terjadi akibat adanya interaksi antara konsumen dengan karyawan atau hal-hak lain yang disediakan oleh perusahaan pemberi pelayanan yang dimaksudkan untuk
memecahkan permasalahan konsumen/pelanggan.8
Dalam kamus Bahasa Indonesia pelayanan publik dirumuskan sebagai
berikut:
1) Pelayanan adalah perihal atau cara melayani.
2) Pelayanan adalah kemudahan yang diberikan sehubungan dengan jual
beli barang dan jasa.
3) Pelayanan medis merupakan pelayanan yang diterima seseorang dalam
hubungannya dengan pencegahan, diagnosa dan pengobatan suatu gangguan kesehatan tertentu.
4) Publik berarti orang banyak (umum). 9
Pengertian publik menurut Inu Kencana Syafi'ie, dkk yaitu: "Sejumlah
8 Ratminto & Atik. 2005. Manajemen Pelayanan. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Hal:2
(22)
22 manusia yang memiliki kebersamaan berfikir, perasaan, harapan, sikap dan tindakan yang benar dan baik berdasarkan nilai- nilai norma yang mereka miliki".10
Pengertian lain berasal dari pendapat A.S. Moenir menyatakan bahwa:"Pelayanan umum adalah suatu usaha yang dilakukan kelompok atau seseorang atau birokrasi untuk memberikan bantuan kepada masyarakat
dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu".11
Pelayanan merupakan kegiatan utama pada orang yang bergerak di bidang jasa, baik itu orang yang bersifat komersial ataupun yang bersifat non komersial. Namun dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan antara pelayanan yang dilakukan oleh orang yang bersifat komersial yang biasanya dikelola oleh pihak swasta dengan pelayanan yang dilaksanakan oleh organisasi non komersial yang biasanya adalah pemerintah. Kegiatan pelayanan yang bersifat komersial melaksanakan kegiatan dengan berlandaskan mencari keuntungan, sedangkan kegiatan pelayanan yang bersifat non-komersial kegiatannya lebih tertuju pada pemberian layanan kepada masyarakat (layanan publik atau umum) yang sifatnya tidak mencari keuntungan akan tetapi berorientasikan kepada pengabdian.
Selanjutnya dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003 telah dijelaskan bahwa pengertian pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara
10 Inu Kencana Syafiie dkk, 1999. Ilmu Administrasi Publik. Jakarta. PT. Rineka Cipta. Hal: 18 11 Moenir, H. A. S. 1995. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia, Jakarta Bumi Aksara. Hal: 7
(23)
23 pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan
maupun pelaksanaan kebutuhan peraturan perundang-undangan.12
Sedangkan penyelenggara pelayanan publik dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 63 tahun 2003 diuraikan bahwa Instansi Pemerintah sebagai sebutan kolektif yang meliputi Satuan Kerja/satuan
organisasi Kementerian, Departemen, Lembaga Pemerintah Non
Departemen, Kesekretariatan Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara, dan Instansi Pemerintah lainnya, baik pusat maupun Daerah termasuk Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Menjadi penyelenggara pelayanan publik.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pelayanan publik adalah segala bentuk jasa pelayanan baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi pemerintah di Pusat, di daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang- undangan.
B. Unsur-unsur Pelayanan Publik
Dalam proses kegiatan pelayanan publik terdapat beberapa faktor atau unsur yang mendukung jalannya kegiatan. Menurut A.S. Moenir unsur-unsur
tersebut antara lain:13
1) Sistem, Prosedur dan Metode
12 Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003 13 Op.cit Hal: 8
(24)
24 Yaitu di dalam pelayanan publik perlu adanya sistem informasi , prosedur dan metode yang mendukung kelancaran dalam memberikan pelayanan.
2) Personil, terutama ditekankan pada perilaku aparatur; dalam pelayanan
publik aparatur pemerintah selaku personil pelayanan harus profesional, disiplin dan terbuka terhadap kritik dari pelanggan atau masyarakat.
3) Sarana dan prasarana
Dalam pelayanan publik diperlukan peralatan dan ruang kerja serta fasilitas pelayanan publik. Misalnya ruang tunggu, tempat parkir yang memadai.
4) Masyarakat sebagai pelanggan
Dalam pelayanan publik masyarakat sebagai pelanggan sangatlah heterogen baik tingkat pendidikan maupun perilakunya.
C. Jenis-Jenis Pelayanan Publik
Timbulnya pelayanan umum atau publik dikarenakan adanya kepentingan, dan kepentingan tersebut bermacam-macam bentuknya sehingga pelayanan publik yang dilakukan juga ada beberapa macam. Secara garis besar jenis-jenis layanan publik menurut Menurut Sutopo dan Suryanto dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu antara lain:
1) Pelayanan administratif
Yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh publik, misalnya status kewarganegaraan, sertifikat kompetensi, kepemilikan atau penguasaan terhadap suatu
(25)
25 barang dan sebagainya. Dokumen- dokumen ini antara lain Kartu Tanda Pendudukan (KTP), akte Kelahiran, Akte Kematian, Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), Surat Ijin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Kendaraan Bermotor (STNK), Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), Paspor, Sertifikat kepemilikan atau penguasaan Tanah dan sebagainya.
2) Pelayanan barang
Yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk atau jenis barang yang digunakan oleh publik, misalnya jaringan telepon, penyediaan tenaga listrik, air bersih dan sebagainya.
3) Pelayanan jasa
Yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk jasa yang dibutuhkan oleh publik, misalnya pendidikan, pemeliharaan kesehatan,
penyelenggaraan transportasi, pos dan sebagainya.14
D. Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Kegiatan pelayanan publik diselenggarakan oleh instansi pemerintah. Instansi pemerintah merupakan sebutan kolektif meliputi satuan kerja atau satuan orang kementerian, departemen, lembaga, pemerintahan non departemen, kesekertariatan lembaga tertinggi dan tinggi negara, dan instansi pemerintah lainnya, baik pusat maupun daerah termasuk Badan Usaha Milik Daerah. Sebagai penerima pelayanan publik adalah orang, masyarakat, instansi pemerintah dan badan hukum.
14 Sutopo dan Suryanto, A. 2006. Pelayanan Prima. Jakarta : Lembaga AdministrasiNegara Republik
(26)
26 Kegiatan pelayanan publik atau disebut juga dengan pelayanan umum, yang biasanya menempel di tubuh lembaga pemerintahan dinilai kurang dapat memenuhi tugasnya sesuai dengan harapan masyarakat, sebgai konsumen mereka. Salah satu yang dianggap sebagai biang keladinya adalah bentuk orang birokrasi, sehingga birokrasi seperti dikemukakan oleh Achmat Batinggi adalah "Merupakan tipe dari orang yang dimaksudkan untuk mencapai tugas- tugas administratif yang besar dengan cara mengkoordinir
secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang."15
Konsep birokrasi bukan merupakan konsep yang buruk. Organisasi birokrasi mempunyai keteraturan dalam hal pelaksanaan pekerjaan karena mempunyai pembagian kerja dan struktur jabatan yang jelas sehingga komponen birokrasi mempunyai tanggung jawab dan wewenang untuk melaksanakan kewajibannya. Pelaksanaan pekerjaan dalam orang birokrasi diatur dalam mekanisme dan prosedur agar tidak mengalami penyimpangan dalam mencapai tujuan orang. Dalam organisasi birokrasi segala bentuk hubungan bersifat resmi dan berjenjang berdasarkan struktur orang yang berlaku sehingga menuntut ditaatinya prosedur yang berlaku pada orang tersebut. Adapun yang menjadi ciri ideal birokrasi menurut Max Weber
seperti yang dikutip dan diterjemahkan oleh Ahmad Batinggi antara lain
adalah: a) pembagian kerja yang kurang jelas, b) Adanya hierarki jabatan, c) Adanya pengaturan sitem yang konsisten, d) Prinsip formalistic
(27)
27 impersonality, e) Penempatan berdasarkan karier, f) Prinsip rasionalitas.16 E. Manajemen Pelayanan Publik
Berkaitan dengan upaya peningkatan efektivitas dan efisiensi kegiatan
pelayanan publik, maka diperlukan suatu aktivitas manajemen. Moenir
menjelaskan aktivitas manajemen adalah aktivitas yang dilakukan oleh manajemen yang mampu mengubah rencana menjadi kenyataan, apakah rencana itu berupa rencana produksi atau rencana dalam bentuk sikap dan
perbuatan.17
Aktivitas manajemen memang subyek, karena manajemen berhadapan dengan unsur organisasi yang terdiri dari manusia, dana, peralatan, bahan, metode dan pasar (bagi orang bisnis). Namun dalam hal manajemen pelayanan yang dihadapi oleh manajemen yang utama antar lain adalah manusia (pegawai) dengan segala tingkah lakunya.
Manajemen pelayanan umum oleh A.S. Moenir didefinisikan sebagai "manajemen yang proses kegiatan diarahkan secara khusus pada terselenggaranya pelayanan guna memenuhi kepentingan umum atau kepentingan perseorangan, melalui cara- cara yang tepat dan memuaskan pihak yang dilayani."18
Selain dapat berjalan dengan baik, manajemen pelayanan umum/publik harus dapat mencapai sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Sasaran manajemen pelayanan umum sederhana saja yaitu kepuasan. Meskipun
16 Ibid Hal: 53
17 H. A. S Moenir. 1995. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia, Jakarta. Bumi Aksara. Hal: 164 18 Ibid Hal: 204
(28)
28 sasaran itu sederhana tapi untuk mencapainya diperlukan kesungguhan dan syarat- syarat yang seringkali tidak mudah dilakukan. Hal ini berkaitan dengan masalah kepuasan yang tidak dapat diukur secara pasti tetapi relatif. Mengenai sasaran dari kegiatan pelayanan umum, A.S. Moenir
mengemukakan sasaran utama pelayanan umum, yaitu: 19
1. Layanan
Agar layanan dapat memuaskan orang atau sekelompok orang yang dilayani, maka petugas harus dapat memenuhi empat syarat pokok yakni: (a) tingkah laku yang sopan, (b) cara menyampaikan sesuatu berkaitan dengan apa yang seharusnya diterima oleh orang yang bersangkutan, (c) waktu penyampaian yang tepat dan, (d) keramah tamahan.
2. Produk
Yang dimaksud dengan produk dalam hubungan dengan sasaran pelayanan umum yaitu kepuasan dapat berbentuk:
1) Barang
Yaitu sesuatu yang dapat diperoleh melalui layanan pihak lain, misalnya barang elektronik dan kendaraan
2) Jasa
Produk jasa yang dimaksud adalah suatu hasil yang tidak harus dalam bentuk fisik tetapi dapat dinikmati oleh panca indera dan atau perasaan (gerak, suatu, keindahan, kenyamanan, rupa) disamping memang ada yang bentuk fisiknya dituju.
19 Ibid Hal: 165
(29)
29
3) Surat- surat berharga
Kepuasan berikut ini menyangkut keabsahan atas surat- surat yang diterima oleh yang bersangkutan. Keabsahan surat sangat ditentukan oleh proses pembuatannya berdasarkan prosedur yang berlaku dalam tata laksana surat pada instansi yang bersangkutan.
Ditinjau dari segi aktivitasnya dalam kaitan dengan fungsi pelayanan, aktivitas manajemen yang menonjol diantara aktivitas- aktivitas yang
dilakukan menurut A. S. Moenir antara lain ialah:20
a) Aktivitas menetapkan sasaran dalam rangka pencapaian tujuan
Aktivitas yang menonjol dalam manajemen pelayanan umum adalah menetapkan sasaran untuk mencapai tujuan organisasi serta menetapkan cara yang tepat serta melaksanakan pekerjaan dan menyelesaikan masalah.
b) Menetapkan cara yang tepat
Aktivitasnya manajemen yang kedua adalah menetapkan cara bagaimana yang tepat untuk mencapai tujuan organisasi. Dalam hal ini termasuk menetapkan teknik pencapaian, prosedur dan metode. Khusus dalam tugas-tugas pelayanan soal prosedur dan metode harus benar-benar menjadi perhatian manajemen, karena hal ini akan menentukan kualits dan kecepatan dalam pelayanan, baik pelayanan manual maupun pelayanan dengan menggunakan peralatan. Mengenai teknik tercapainya tujuan. Moenir juga menuliskan beberapa teknik manajemen yang perlu diketahui, antara lain:
20 Ibid Hal: 164-185
(30)
30
1) Manajemen dengan sasaran (Management by Objective=MBO).
Teknik ini menggunakan pendekatan pada sasaran orang yang dijabarkan lebih lanjut menjadi sasaran unit kerja yang paling kecil. Unit- unit kerja tersebut setelah mengetahui sasaran yang akan dituju, lalu membuat rencana pencapaian dan pengendaliannya bersama dengan unit tingkah atasnya.
2) Manajemen hasil (Management by Result=MBR). Dalam teknik MBR
ini masalah kewenangan dalam pengambilan keputusan, dilakukan melalui system delegasi karena di situlah letak kelangsungan proses kegiatan hingga tercapai hasil di negara (result).
3) Manajemen dengan system (Management by system=MBS). MBS mencapai sasaran melalui mekanisme sistem, karena itu sistem
dengan prosedur dan metodenya menjadi perhatian utama untuk
ditata. Teknik MBS ini lebih tepat penerapannya di bidang kegiatan yang sifatnya pelayanan, karena faktor utama tertuju pada proses, (pelayanan adalah proses)
4) Manajemen dengan motivasi (Management by Motivation). Teknik
MBM mendasarkan pendekatan utama pada pencapaian sasaran
melalui system motivasi. Berbagai macam motivasi dikembangkan baik yang bersifat material maupun non material sehingga mampu menjadi alat perangsang aktivitas yang bersifat tetap.
5) Manajemen dengan pengecualian (Management by Exception=
(31)
31 pengelolaan organisasi selalu ada hal-hal yang secara strategis tidak dapat dilimpahkan pada orang lain dan tetap berada ditangan pimpinan organisasi, meskipun secara teori dilimpahkan wewenang itu dimungkinkan karena dalam susunan organisasi ada pejabat yang mengurusnya dan bertanggungjawab. Wewenang atau tugas yang tidak dilimpahkan itulah yang disebut pengecualian dalam teknik
MBE ini.21
c) Melaksanakan pekerjaan
Dalam pelaksanaan kegiatan ini penting yang harus diperhatikan ialah bahwa manajemen harus senantiasa siap memecahkan setiap masalah yang timbul dan sekaligus memutuskan keputusan yang diambil menajemen hendaknya benar-benar memecahkan persoalan dan dapat dilaksanakan, serta memenuhi maksud yang terkandung dalam inti masalah.
d) Mengendalikan kegiatan atau proses pelayanan
Pengendalian agak berbeda dengan pengawasan, meskipun keduanya masuk dalam jaringan kegiatan manajemen. Perbedaan itu terletak pada unsure tanggung jawab. Pada pengendalian, unsure ini jelas kelihatan sehingga pengendalian menjadi dinamis, disamping unsur-unsur tujuan, rencana kegiatan dan standar. Dalam pengendalian memang termasuk kegiatan pemantauan sebagai salah satu fungsi manajemen, tetapi tidak membawa misi tanggung jawab sebagaimana kegiatan pengendalian. Pengawasan adalah suatu proses kegiatan yang berisi pengukuran,
21 Ibid Hal: 170-173
(32)
32 perbandingan dan perbaikan serta berorientasi pada masa datang. Aktivitas pengendalian pelaksanaan tugas pelayanan umum harus selalu dilakukan sejak permulaan sampai berakhirnya tugas itu.
e) Mengevaluasi pelaksanaan tugas atau pekerjaan.
Evaluasi pelaksanaan kegiatan dapat dilakukan melalui sistem lapangan dan pengamatan di lapangan. Cara lain yang dapat ditempuh untuk evaluasi pelaksanaan tugas pelayanan umum antara lain: menyediakan kotak saran atau pengaduan untuk menampung segala jenis keluhan atau saran dari masyarakat mengenai pelaksanaan pelayanan.
F. Standar Pelayanan Publik
Sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, bahwa setiap penyelenggara pelayanan publik, baik yang memberikan pelayanan kepada masyarakat secara langsung maupun tidak langsung wajib menyusun, menetapkan, dan menerapkan Standar pelayanan untuk setiap jenis pelayanan sebagai tolok ukur dalam
penyelenggaraan pelayanan di lingkungan masing- masing.22 Sebagai tindak
lanjut pelaksanaan Undang-Undang Pelayanan Publik tersebut, maka telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Selanjutnya Kementerian PAN dan RB menetapkan Peraturan nomor 15 tahun 2014 Tentang Pedoman standar pelayanan.
Standard pelayanan adalah ukuran yang telah ditentukan sebagai suatu
(33)
33 pembakuan pelayanan yang baik. Dalam standard pelayanan ini juga terdapat pedoman baku pada mutu pelayanan.
Adapun pengertian mutu menurut Goetsch dan Davis dalam Sutopo dan Suryanto, merupakan kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan
pihak yang menginginkannya.23
Di Indonesia, upaya untuk menetapkan standar pelayanan publik dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan publik sebenarnya telah lama dilakukan. Upaya tersebut antara lain ditunjukan dengan terbitnya berbagai kebijakan, diantaranya adalah Undang-Undang RI No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Namun sejauh ini standar pelayanan publik sebagaimana yang dimaksud masih lebih banyak berada pada tingkat konsep, sedangkan implementasinya masih jauh dari harapan. Hal ini terbukti dari masih buruknya kualitas pelayanan yang diberikan oleh berbagai instansi pemerintah sebagai penyelenggara layanan publik.
Adapun dalam Buku Lembaga Administrasi Negara (LAN) yang dimaksud dengan standar pelayanan adalah suatu tolok ukur yang dipergunakan untuk acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai komitmen atau janji dari pihak penyedia pelayanan kepada pelanggan untuk
23 Sutopo dan Suryanto, A. 2006. Pelayanan Prima. Jakarta : Lembaga AdministrasiNegara Republik
(34)
34
memberikan pelayanan yang berkualitas.24
Menurut Kepmenpan nomo 63 Tahun 2004 dalam Ratminto standar pelayanan public meliputi 5 aspek:
(1) Prosedur pelayanan
Prosedur pelayanan yang dibakukan bagi pemberi dan penerima pelayanan termasuk pengaduan.
(2) Waktu penyelesaian
Waktu penyelesaian yang ditetapkan sejak saat pengajuan permohonan sampai dengan penyelesaian pelayanan termasuk pengaduan
(3) Biaya pelayanan
Biaya/tariff pelayanan termasuk rinciannya yang ditetapkan dalam proses pemberian pelayanan
(4) Produk pelayanan
Hasil layanan yang diterima sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan
(5) Sarana dan prasarana
Penyediaan sarana dan prasarana pelayanan yang memadai oleh penyelenggaraan pelayanan publik
(6) Kompetensi petugas pemberi pelayanan harus ditetapkan dengan
tepat berdasarkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, sikap,
24 LAN, 2003, SANKRI Buku I Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Negara, Lembaga Administrasi Negara.
(35)
35 prilaku yang dibutuhkan.
Sedangkan yang dimaksud dengan pelayanan berkualitas adalah pelayanan yang cepat, menyenangkan, tidak mengandung kesalahan, serta mengikuti proses dan prosedur yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Jadi pelayanan yang berkualitas tidak hanya ditentukan oleh pihak yang melayani, tetapi juga pihak yang ingin dipuaskan ataupun dipenuhi kebutuhannya. Manfaat yang dapat diperoleh dengan adanya standar pelayanan antara lain
adalah:25
a. Memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa mereka mendapat
pelayanan dalam kualitas yang dapat dipertanggungjawabkan, memberikan fokus pelayanan kepada pelanggan/masyarakat, menjadi alat komunikasi antara pelanggan dengan penyedia pelayanan dalam upaya meningkatkan pelayanan, menjadi alat untuk mengukur kinerja pelayanan serta menjadi alat monitoring dan evaluasi kinerja pelayanan.
b. Melakukan perbaikan kinerja pelayanan publik. Perbaikan kinerja
pelayanan publik mutlak harus dilakukan, dikarenakan dalam kehidupan bernegara pelayanan publik menyangkut aspek kehidupan yang sangat luas. Hal ini disebabkan tugas dan fungsi utama pemerintah adalah memberikan dan memfasilitasi berbagai pelayanan publik yang diperlukan oleh masyarakat, mulai dari pelayanan dalam bentuk pengaturan ataupun pelayanan-pelayanan lain dalam rangka memenuhi
25 Ibid
(36)
36 kebutuhan masyarakat dalam bidang pendidikan, kesehatan, utlilitas, sosial dan lainnya.
c. Meningkatkan mutu pelayanan. Adanya standar pelayanan dapat
membantu unit-unit penyedia jasa pelayanan untuk dapat memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat pelanggannya. Dalam standar pelayanan ini dapat terlihat dengan jelas dasar hukum, persyaratan pelayanan, prosedur pelayanan, waktu pelayanan, biaya serta proses pengaduan, sehingga petugas pelayanan memahami apa yang seharusnya mereka lakukan dalam memberikan pelayanan.
Masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan juga dapat mengetahui dengan pasti hak dan kewajiban apa yang harus mereka dapatkan dan lakukan untuk mendapatkan suatu jasa pelayanan. Standar pelayanan juga dapat membantu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas kinerja suatu unit pelayanan.
Dengan demikian, masyarakat dapat terbantu dalam membuat suatu pengaduan ataupun tuntutan apabila tidak mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Berdasarkan uraian di atas, maka standar pelayanan menjadi faktor kunci dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik. Upaya penyediaan pelayanan yang berkualitas antara lain dapat dilakukan dengan memperhatikan ukuran-ukuran apa saja yang menjadi kriteria kinerja pelayanan.
(37)
37 3. Evaluasi Kebijakan Publik
a. Evaluasi Kebijakan Publik
Dalam Studi Analisis Kebijakan Publik, maka salah satu cabang bidang kajiannya adalah Evaluasi Kebijakan. Mengapa Evaluasi Kebijakan
dilakukan, karena pada dasarnya setiap kebijakan negara (public policy)
mengandung resiko untuk mengalami kegagalan. Menurut Anderson dalam Winarno, secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup
substansi, implementasi dan dampak pelaksanaan kebijakan tersebut.26
Tidak terimplementasikannya suatu kebijakan itu berarti bahwa kebijakan itu tidak dilaksanakan sesuai dengan direncanakan. Sedangkan implementasi yangtidak berhasil biasanya terjadi bila suatu kebijakan tertentu telah dilaksanakan sudah sesuai rencana, dengan mengingat kondisi eksternal ternyata sangat tidak menguntungkan, maka kebijakan kependudukan tersebut tidak dapat berhasil dalam mewujudkan dampak atau hasil akhir yang telah dikehendaki.
Biasanya kebijakan yang memiliki resiko untuk gagal disebabkan oleh
faktor-faktor diantaranya: pelaksanaannya jelek (bad execution),
kebijakannya sendiri itu memang jelek (bad policy) atau kebijakan itu
sendiri yang bernasib kurang baik (bad luck). Adapun telaah mengenai
dampak atau evaluasi kebijakan adalah dimaksudkan untuk mengkaji akibat-akibat dari suatu kebijakan atau dengan kata lain untuk mencari
(38)
38
jawaban apa yang terjadi sebagai akibat dari pada “implementasi kebijakan”.
Sinyal tersebut lebih diperjelas oleh Dolbeare dijelaskan bahwa:27
“policy impact analysis entails an extension of this research area while, at the same time, shifting attention toward the measurment of the consequences of public policy. In other words, as opposed to the study of what policy causes”.
Dengan demikian yang didefinisikan oleh Dye, secara singkat analisis dampak kebijakan “menggaris bawahi” pada masalah what policy causes
sebagai lawan dari kajian what causes policy. Konsep evaluasi dampak yang
mempunyai arti sama dengan konsep kebijakan.28
“Policy evaluation is learning about the consequences of public policy”. Adapun definisi yang lebih kompleks oleh Wholey dalam Dye adalah sebagai berikut :
“Policy evaluation is the assesment of the overall effectiveness of a national program in meeting its objectives, or assesment of the relative effectiveness of two or more programs in meeting common objectives”.29
Evaluasi Kebijakan adalah merupakan suatu aktivitas untuk melakukan penilaian terhadap akibat-akibat atau dampak kebijakan dari berbagai program-program pemerintah. Pada studi evaluasi kebijakan telah dibedakan antara “policy impact/outcome dan policy output. “Policy Impact /outcome” adalah akibat-akibat dan konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan dengan dilaksanakannya suatu kebijakan. Adapun yang
27 Dolbeare, Kenneth M. ( editor ), 1975. Public Policy Evaluation, Sage Publication, Beverly Hills Hal:
95
28 Thomas R. Dye. 1981. Understanding Public Policy. Englewood Cliff., Prentice Hall. New Jersey. Hal:
366–367
(39)
39
dimaksud dengan “Policy output” ialah dari apa-apa yang telah dihasilkan
dengan adanya program proses perumusan kebijakan pemerintah. Dari pengertian tersebut maka dampak mengacu pada adanya perubahan-perubahan terjadi yang diakibatkan oleh suatu implementasi kebijakan.
Dampak kebijakan tidak lain adalah seluruh dari dampak pada kondisi “dunia-nyata” (the impact of a policy is all its effect on real – world conditions ), untuk itu masih menurut Dye, yang termasuk dampak
kebijakan adalah:30
1) The impact on the target situations or group.
2) The impact on situations or groups other than the target(“ spoilover effect” ).
3) Its impact on future as well as immediate conditions. 4) Its direct cost, in term of resources devote to the program.
5) Its indirect cost, including loss of opportunities to do other things. Dengan demikian, terdapat beberapa alasan untuk menjawab mengapa perlu ada kegiatan evaluasi kebijakan. Alasan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua dimensi, internal dan eksternal. Yang bersifat internal, antara lain:
1) Untuk mengetahui keberhasilan suatu kebijakan. Dengan adanya
evaluasi kebijakan dapat ditemukan informasi apakah suatu kebijakan sukses ataukah sebaliknya.
30 Ibid Hal: 367
(40)
40
2) Untuk mengetahui efektivitas kebijakan. Kegiatan evaluasi kebijakan
dapat mengemukakan penilaian apakah suatu kebijakan mencapai tujuannya atau tidak.
3) Untuk menjamin terhindarinya pengulangan kesalahan (guarantee to
non-recurrence). Informasi yang memadai tentang nilai sebuah hasil kebijakan dengan sendirinya akan memberikan rambu agar tidak terulang kesalahan yang sama dalam implementasi yang serupa atau kebijakan yang lain pada masa-masa yang akan datang.
Sedangkan alasan yang bersifat eksternal paling tidak untuk dua kepentingan:
1) Untuk memenuhi prinsip akuntabilitas publik. Kegiatan penilaian
terhadap kinerja kebijakan yang telah diambil merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban pengambil kebijakan kepada publik, baik yang terkait secara langsung maupun tidak dengan implementasi tindakan kebijakan.
2) Untuk mensosialisasikan manfaat sebuah kebijakan. Dengan adanya
kegiatan evaluasi kebijakan, masyarakat luas, khususnya kelompok sasaran dan penerima, manfaat dapat mengetahui manfaat kebijakan secara lebih terukur.
b. Fungsi Evaluasi Kebijakan
Fungsi pertama dan paling mendasar dari kegiatan evaluasi kebijakan adalah untuk memberikan informasi yang valid tentang kinerja kebijakan. Evaluasi mengungkap dan mengukur seberapa jauh ketercapaian kebutuhan
(41)
41 dan nilai melalui tindakan kebijakan publik. Evaluasi kebijakan mengungkap seberapa jauh tujuan telah terealisasi dan seberapa besar target tertentu telah tercapai
Fungsi kedua, evaluasi memberi kontribusi untuk upaya klarifikasi dan kritik atas nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target. Evaluasi dapat memperjelas nilai dengan cara mendefinisikan tujuan dan target secara operasional. Di samping itu, dalam kegiatan evaluasi, nilai dikritisi dengan menyoal secara sistematis kesesuaian antara tujuan dan target yang ingin dicapai dengan tindakan kebijakan yang dilaksanakan.
Fungsi ketiga, evaluasi menunjang (back up) pelaksanaan
prosedur-prosedur lainnya dalam analisis kebijakan, seperti perumusan masalah, rekomendasi, dan kegiatan lainnya. Evaluasi kebijakan bukanlah kegiatan yang berdiri sendiri, akan tetapi ia terkait dengan kegiatan analisis kebijakan yang lain. Kontribusi penting evaluasi bagi kegiatan analisis kebijakan lainnya misalnya, informasi inadekuitas (ketidakmemadainya) suatu tindakan kebijakan dapat memberikan referensi bagi perumusan ulang kebijakan pada masa-masa yang akan datang. Informasi tentang ketidaksesuaian tujuan dan target kebijakan misalnya, dapat mendefinisi ulang tujuan dan target itu sendiri, atau mengubah alternatif kebijakan yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan dan sasaran yang sama pada masa-masa yang akan datang.
(42)
42 c. Tipe-Tipe Evaluasi Kebijakan
James Anderson dalam Winarno membagi evaluasi kebijakan dalam
tiga tipe, masing-masing tipe evaluasi yang diperkenalkan ini didasarkan
pada pemahaman para evaluator terhadap evaluasi, sebagai berikut:31
a. Tipe pertama
Evaluasi kebijakan dipahami sebagai kegiatan fungsional. Bila evaluasi kebijakan dipahami sebagai kegiatan fungsional, evaluasi kebijakan dipandang sebagai kegiatan yang sama pentingnya dengan kebijakan itu sendiri.
b. Tipe kedua
Merupakan tipe evaluasi yang memfokuskan diri pada bekerjanya kebijakan atau program-program tertentu. Tipe evaluasi ini lebih membicarakan sesuatu mengenai kejujuran atau efisiensi dalam melaksanakan program.
c. Tipe ketiga
Tipe evaluasi kebijakan sistematis, tipe kebijakan ini melihat secara obyektif program-program kebijakan yang dijalankan untuk mengukur dampaknya bagi masyarakat dan melihat sejauh mana tujuan-tujuan yang telah dinyatakan tersebut tercapai.
Berdasarkan pada ketiga tipe evaluasi kebijakan diatas maka nantinya penulis akan mengevaluasi tingkat capaian SPM secara obyektive program yang dijalankan pemerintah kabupaten Bangka Tengah, membicarakan
(43)
43 sesuatu mengenai efisiensi dalam pelaksanaan program dan juga melihat program dalam pencapaian SPM sebagai kegiatan fungsional.
d. Kriteria untuk Evaluasi Kebijakan
Kriteria untuk menghasilkan informasi mengenai kinerja kebijakan sangat terkait dengan kriteria rekomendasi kebijakan. Yang membedakan kriteria tersebut bagi keduanya adalah orientasi waktunya; pada kegiatan rekomendasi kebijakan, kriteria tersebut diterapkan secara prospektif, sedangkan pada kegiatan evaluasi bersifat retroaktif.
Kriteria evaluasi kebijakan dengan demikian terdiri dari 6 (enam) aspek, yaitu: Pertama, efektivitas. Pada kegiatan evaluasi, penekanan kriteria ini terletak pada ketercapaian hasil. Apakah hasil yang diinginkan
dari adanya suatu kebijakan sudah tercapai. Kedua, efesiensi. Fokus dari
kriteria ini adalah persoalan sumber daya, yakni seberapa banyak sumberdaya yang dikeluarkan untuk mewujudkan hasil yang diinginkan. Ketiga, adekuasi (kecukupan). Kriteria ini lebih mempersoalkan kememadaian hasil kebijakan dalam mengatasi masalah kebijakan, atau seberapa jauh pencapaian hasil dapat memecahkan masalah kebijakan. Keempat, kemerataan atau ekuitas.
Kriteria ini menganalisis apakah biaya dan manfaat telah didistribusikan secara merata kepada kelompok masyarakat, khususmya kelompok-kelompok sasaran dan penerima manfaat. Kelima, responsivitas. Kriteria ini lebih menyoal aspek kepuasan masyarakat khususnya kelompok sasaran, atas hasil kebijakan. Apakah hasil kebijakan yang dicapai telah
(44)
44
memuaskan kebutuhan dan pilihan mereka atau tidak. Keenam, ketepatan.
Kriteria ketepatan ini menganalisis tentang kebergunaan hasil kebijakan, yakni apakah hasil yang telah dicapai benar-benar berguna bagi masyarakat khususnya kelompok sasaran.
e. Pendekatan Evaluasi Kebijakan
William Ndun menjelaskan terdapat tiga pendekatan besar dalam evaluasi kebijakan, yakni evaluasi semu, evaluasi formal, dan evaluasi
keputusan teoritis: 32
1) Evaluasi Semu
Evaluasi semu (pseudo evaluation) adalah pendekatan yang
menggunakan metode-metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid tentang hasil kebijakan, tanpa mempersoalkan lebih jauh tentang nilai dan manfaat dari hasil kebijakan tersebut bagi individu, kelompok sasaran, dan masyarakat dalam skala luas. Analis yang menggunakan pendekatan ini mengasumsikan bahwa nilai atau manfaat dari suatu hasil kebijakan akan terbukti dengan sendirinya serta akan diukur dan dirasakan secara langsung, baik oleh individu, kelompok, maupun masyarakat.
Metode-metode yang banyak digunakan dalam pendekatan evaluasi semu adalah rancangan quasi-eksperimen, kuesioner, random
32 Willian N. Dunn. 2003 Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta. Gajah Mada University
(45)
45 sampling, dan teknik-teknik statistik. Pendekatan evaluasi semu ini relevan dengan seluruh pendekatan pemantauan kebijakan.
2) Evaluasi Formal
Evaluasi formal (formal evaluation) adalah pendekatan yang
menggunakan metode-metode deskriptif untuk menghimpun informasi yang valid mengenai hasil kebijakan dengan tetap melakukan evaluasi atas hasil tersebut berdasarkan tujuan kebijakan yang telah ditetapkan dan diumumkan secara formal oleh pembuat kebijakan dan tenaga administratif kebijakan. Pendekatan ini memiliki asumsi bahwa tujuan dan target yang telah ditetapkan dan diumumkan secara formal merupakan ukuran yang paling tepat untuk mengevaluasi manfaat atau nilai suatu kebijakan.
Evaluasi formal terdiri dari evaluasi sumatif dan evaluasi formatif. Evaluasi yang bersifat sumatif adalah evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pencapaian target atau tujuan segera setelah selesainya suatu kebijakan yang ditetapkan dalam jangka waktu tertentu yang biasanya bersifat pendek dan menengah. Sedangkan evaluasi formatif merupakan evaluasi yang dilakukan secara terus menerus dalam waktu yang relatif panjang untuk memantau pencapaian target dan tujuan suatu kebijakan.
Evaluasi formal ini memiliki beberapa varian, antara lain: Pertama,
(46)
46 perkembangan adalah kegiatan penilaian yang secara eksplisit ditujukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari staf program.
Kedua, evaluasi proses retrospektif. Evaluasi ini terdiri dari pemantauan dan evaluasi setelah suatu kebijakan dilaksanakan pada jangka waktu tertentu. Evaluasi varian ini tidak melakukan intervensi atau manipulasi secara langsung kepada input dan proses kebijakan. Evaluasi ini hanya mendasarkan diri pada informasi yang telah ada tentang kebijakan yang sedang berjalan, yang berhubungan secara langsung dengan hasil output dan dampak kebijakan.
Ketiga, evaluasi hasil retrospektif. Evaluasi ini meliputi pemantauan dan evaluasi atas hasil kebijakan tanpa melakukan kontrol
secara langsung terhadap input dan proses kebijakan. Kalaupun
dilakukan kontrol, itu hanya sebatas kontrol statistik, atau kontrol dengan metode kuantitatif, untuk mengeliminir pengaruh dari banyak faktor.
Evaluasi ini dapat dibagi lagi ke dalam dua bentuk, yakni studi inter sektoral dan studi longitudinal. Studi lintas sektoral adalah studi yang mengevalusi dua atau lebih kebijakan pada suatu jangka waktu tertentu. Evaluasi ini dilaksanakan dengan tujuan untuk menemukan signifikan tidaknya perbedaan hasil kebijakan dan sekaligus mencari penjelasan atas perbedaan tersebut. Sedangkan studi longitudinal merupakan studi yang mengevaluasi satu atau lebih kebijakan pada dua jangka waktu
(47)
47 atau lebih, dengan tujuan untuk mengetahui perubahan dari satu atau lebih kebijakan dari satu waktu ke waktu yang lain.
Keempat, evaluasi eksperimental. Berbeda dengan dua varian sebelumnya, evaluasi ini meliputi pemantauan dan evaluasi atas hasil
kebijakan dengan melakukan kontrol secara langsung atas input dan
proses kebijakan. Dalam evaluasi ini, hampir seluruh faktor dalam input dan proses dikontrol, dipertahankan secara konstan, dan diposisikan sebagai hipotesis kontrol yang bersifat logis.
3) Evaluasi Keputusan Teoritis
Evaluasi keputusan teoritis (decision-theoretic evaluation) adalah
kegiatan evaluasi yang menggunakan metode-metode deskriptif untuk mengumpulkan informasi yang valid dan akuntabel tentang hasil kebijakan, yang dinilai secara eksplisit oleh para pelaku kebijakan. Evaluasi jenis ini bertujuan untuk menghubungkan antara hasil kebijakan dengan nilai-nilai dari para pelaku kebijakan tersebut.
Perbedaan mendasar evaluasi ini dengan dua pendekatan sebelumnya adalah bahwa evaluasi ini berusaha untuk menemukan dan mengeksplisitkan tujuan dan target dari pelaku kebijakan, baik yang nyata maupun tersembunyi. Dengan demikian, individu maupun lembaga pelaksana kebijakan dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi dilibatkan di dalam mengukur pencapaian tujuan dan target suatu kebijakan.
(48)
48 Pendekatan evaluasi ini memiliki dua varian; yakni penilaian evaluabilitas (evaluability assessment) dan analisis utilitas multi atribut. Penilaian evaluabilitas merupakan serangkaian prosedur yang dilaksanakan untuk menganalisis sistem pembuatan keputusan. Hal itu dimaksudkan untuk memperoleh informasi tentang kinerja kebijakan serta memperjelas tujuan, sasaran, dan asumsi-asumsi yang dicapai dengan kinerja tersebut.
Sedangkan analisis utilitas multi atribut merupakan serangkaian prosedur yang ditetapkan untuk memperoleh penilaian yang subjektif dari para pelaku kebijakan tentang kemungkinan nilai dari hasil suatu kebijakan. Analisis ini menampakkan secara ekplisit penentuan nilai dari berbagai pelaku kebijakan serta keberagaman.tujuan dari pelaku kebijakan.
Pada evaluasi capaian standar pelayanan minimal bidang pendidikan penulis kemudian menggunakan pendekatan evaluasi formal submatif. Evaluasi formal yang submatif pada penelitian ini ialah mengukur pencapaian SPM bidang pendidikan yang telah ditetapkan dalam jangka tertentu baik jangka pendek atau pun jangka menengah.
(49)
49 4. Efektifitas
A. Pengertian Efektivitas
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata efektif berarti dapat membuahkan hasil, mulai berlaku, ada pengaruh/akibat/efeknya. Efektivitas bisa juga diartikan sebagai pengukuran keberhasilan dalam pencapaian
tujuan-tujuan.33
Efektivitas merupakan unsur pokok untuk mencapai tujuan atau sasaran yang telah ditentukan di dalam setiap organisasi, kegiatan ataupun program. Disebut efektif apabila tercapai tujuan ataupun sasaran seperti yang telah ditentukan. Hal ini sesuai dengan pendapat H. Emerson yang dikutip Soewarno Handayaningrat S. yang menyatakan bahwa “Efektivitas adalah pengukuran dalam arti tercapainya tujuan yang telah ditentukan sebelumnya”.34
Lebih lanjut menurut Agung Kurniawan dalam bukunya Transformasi
Pelayanan Publik mendefinisikan efektivitas, sebagai berikut: “Efektivitas
adalah kemampuan melaksanakan tugas, fungsi (operasi kegiatan program atau misi) daripada suatu organisasi atau sejenisnya yang tidak adanya tekanan atau ketegangan diantara pelaksanaannya”. 35
Dari beberapa pendapat di atas mengenai efektivitas, dapat disimpulkan bahwa efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target
33 Sulkan Yasin dan Sunarto Hapsoyo, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Praktis, Populer dan Kosa
Kata Baru, (Surabaya : Mekar, 2008), 132
34 Handayaningrat, 1994. Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Manajemen. Jakarta:Haji Mas
agung. Hal: 16
(50)
50 (kuantitas, kualitas dan waktu) yang telah dicapai oleh manajemen, yang mana target tersebut sudah ditentukan terlebih dahulu.
Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Hidayat yang
menjelaskan bahwa: “Efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan
seberapa jauh target (kuantitas, kualitas dan waktu) telah tercapai.36 Dimana
makin besar persentase target yang dicapai, makin tinggi efektivitasnya”.
B. Ukuran Efektivitas
Mengukur efektivitas organisasi bukanlah suatu hal yang sangat sederhana, karena efektivitas dapat dikaji dari berbagai sudut pandang dan tergantung pada siapa yang menilai serta menginterpretasikannya. Bila dipandang dari sudut produktivitas, maka seorang manajer produksi memberikan pemahaman bahwa efektivitas berarti kualitas dan kuantitas (output) barang dan jasa.
Tingkat efektivitas juga dapat diukur dengan membandingkan antara rencana yang telah ditentukan dengan hasil nyata yang telah diwujudkan. Namun, jika usaha atau hasil pekerjaan dan tindakan yang dilakukan tidak tepat sehingga menyebabkan tujuan tidak tercapai atau sasaran yang diharapkan, maka hal itu dikatakan tidak efektif.
Adapun kriteria atau ukuran mengenai pencapaian tujuan efektif atau
tidak, sebagaimana dikemukakan oleh Strisno efektivitas, yaitu:37
(1) Pemahaman program
36 Hidayat. 1986. Definisi Efektifitas, Bandung: Angkasa
37 Sutrisno. 2007. Manajemen Keuangan: Teori,Konsep, dan Aplikasi. Yogyakarta: Ekonisia. Hal:
(51)
51
(2) Tepat sasaran
(3) Tepat waktu
(4) Tercapainya tujuan
(5) Perubahan nyata.
Namun munurut Cambel J.P pengukuran efektivitas secara umum dan yang paling menonjol adalah
(1) Keberhasilan program
(2) Keberhasilan sasaran
(3) Kepuasan terhadap program
(4) Tingkat input dan output
(5) Pencapaian tujuan menyeluruh.38
Sehingga efektivitas program dapat dijalankan dengan kemampuan operasional dalam melaksanakan program-program kerja yang sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya, secara komprehensif, efektivitas dapat diartikan sebagai tingkat kemampuan suatu lembaga atau organisasi untuk dapat melaksanakan semua tugas-tugas pokoknya atau untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan
sebelumnya.39
C. Definisi Konseptual
Definisi konsepsional adalah definisi yang di gunakan untuk menggambarkan secara tepat suatu fenomena yang akan di teliti. Definisi konsepsional ini juga di
38 J. P Cambel. 1989. Riset Dalam Efektifitas Organisasi, terjemahan Sahat Simamora. Erlangga:
Jakarta. Hal: 121
(52)
52 gunakan untuk menggambarkan secara abstrak tentang kejadian, keadaan kelompok
atau individu yang menjadi pusat perhatian dalam ilmu sosial.40 Sedangkan maksud
dari definisi konsepsional yaitu untuk menjelaskan mengenai pembatasan antara konsep yang satu dengan konsep yang lainya:
(1) Evaluasi Kebijakan adalah kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian
kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak pelaksanaan kebijakan tersebut
(2) Standar Pelayanan Minimal adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan
dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga
D. Definisi Operasional
Definisi oprasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana mengukur suatu variabel-variabel. Sedangkan variabel adalah suatu karakteristik
yang mempunyai variasi/ukuran/score.41Adapun indicator–indicator pada penelitian
ini yaitu:
1. Pemahaman program
Dari indikator ini peneliti ingin melihat tingkat pemahaman pemerintah kabupaten Bangka Tengah terhadap standar pelayanan minimal bidang pendidikan dasar pada tahun 2015
2. Tepat sasaran
40 Singarimbun, Masri dan Efendi, Sofyan. 1987. Metode Penelitian. Jakarta. LP3ES. Hal 34 41Ibid. Hal 46
(53)
53 Pada indicator ini peneliti mendeskripsikan ketepatan sasaran yang dibuat oleh pemerintah kabupaten Bangka Tengah pada pelaksanaan standar pelayanan minimal bidang pendidikan dasar.
3. Tepat waktu
Pada indicator ini peneliti melihat ketepatan waktu capaian pelaksanaan standar pelayanan minimal bidang pendidikan dasar dengan waktu yang ditetapkan.
4. Tercapainya tujuan.
Pada indicator ini peneliti menjelaskan tercapainya tujuan dari pelaksanaan SPM.
5. Perubahan nyata
Berdasarkan pada definisi oprasional diatas, peneliti melihat implikasi dari pelaksanaan yang dilihat dari sisi peningkatan mutu pendidikan di kabupaten Bangka tengah.
(54)
54
E. KERANGKA PIKIR
Pelaksanaan SPM bidang pendidikan dasar
EVALUASI
Tingkat Pencapaian SPM
Kendala Pelaksanaan SPM
Solusi Mencapai SPM
Mutu Pelayanan Pendidikan Dasar
(55)
55
BAB III
METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian Deskriptif kualitatif yaitu ada beberapa definisi mengenai pendekatan ini, Bogdan dan Taylor dalam Lexy menjelaskan bahwa metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat di amati, dimana metode yang di gunakan menekankan pada proses penelusuran data/informasi hingga di rasakan telah cukup di gunakan untuk membuat suatu
interpretasi.1Tipe penelitian deskriptif yaitu bertujuan untuk mendeskripsikan
secara terperinci mengenai fenomena-fenomena sosial tertentu yang berkenaan dengan masalah dan untuk diteliti.
Senada dengan yang di sampaikan oleh Nazir Menurutnya penelitian deskriptif adalah metode penelitian yang meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang dengan tujuan untuk membuat deskriptif, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai
fakta-fakta sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.2 Senada apa
yang di kemukakan oleh Sugiyono yang menjelaskan bahwa metode kualitatif digunakan untuk mendapatkan data yang mendalam, suatu data yang
1
Lexy. J. Moleong. 2011. Metodelogi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Hal: 4
(56)
56
mengandung makna.3 Makna adalah data yang sebenarnya, data yang pasti
yang merupakan suatu nilai dibalik data yang tampak. Tujuan penelitian
deskriptif (Descriptif Research) adalah menggambarkan atau
mendeskripsikan fakta-fakta, atau membuat kesimpulan atas fenomena yang diselidiki.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini diharapkan mampu mengungkapkan fenomena peristiwa faktual yang terjadi di lapangan bahkan mampu menyajikan dan mengungkapkan nilai-nilai yang tersembunyi dari penelitian ini. Di mana objek penelitian yang akan di teliti tentang bagaimana mendeskripsikan capaian pelaksanaan standar pelayanan minimal bidang Pendidikan Dasar Kabupaten Bangka Tengah. Alasan yang disampaikan peneliti menggunakan metode deskriptif kualitatif karena dengan menyajikan data-data dapat memberikan rincian yang lebih kompleks tentang fenomena sosial yang sangat sulit diungkapkan pada penelitian ini.
B. Lokasi Penelitian
Penetapan penelitian ditentukan secara purposive atau berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan dan tujuan penelitian. Menurut Sugiyono Purposive adalah lokasi penelitian dipilih berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan tertentu dan diambil berdasarkan tujuan penelitian. 4
Penelitian ini dilakukan di lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten Bangka Tengah dengan pertimbangan salah satu Kabupaten yang telah
3
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Hal: 9
(1)
122 Sehingga ada kerja-kerja bersama dalam meningkatkan pendidikan Kabupaten Bangka Tengah.
(2)
122 BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan pada bab sebelumnya mengenai evaluasi pelaksanaan standar pelayanan minimal bidang pendidikan dasar di kabupaten Bangka Tengah hingga tahun 2015 masih ada beberapa indikator yang belum tercapai. Namun pada penelitian ini peneliti dapat menyimpulkan bentuk pemahaman pemerintah kabupaten Bangka Tengah terhadap pemahaman program SPM ini di tandai dengan adanya target pencapaian dari tahun-tahun hingga 2015 selain itu pada setiap tahun pemerintah terus menerus mengakomodir program dan kegiatan pendukung penerapan capaian SPM tersebut..
Pelaksanaan SPM pendidikan kabupaten Bangka Tengah sudah tepat sasaran hal tersebut ditandai dengan sejalannya dokumen perencanaan daerah seperti RPJMD Sebagaimana yang dijelaskan dalam peraturan kementerian pendidikan dan kebudayaan tentang SPM Bidang pendidikan, bahwa batas akhir pencapaian SPM pada tahun 2014. Dalam pelaksanaan capaian SPM, pemerintah kabupaten Bangka Tengah hingga tahun 2015 masih ada 7 indikator yang belum tercapai 100% sebagaimana target yang telah ditetapkan. Hal ini menjelaskan pencapaian SPM pendidikan belum tepat waktu. Namun pelaporan hasil pelaksanaan SPM tetap disampaikan sesuai waktu yang telah ditentukan.
Pemerintah daerah Kabupaten Bangka Tengah menetapkan target 100% untuk capaian setiap indikator. Namun ada beberapa indikator yang memiliki capaian sangat rendah dan tidak sesuai dengan target seperti indikator terkait peralatan Lab IPA dan
(3)
123 Jumlah Guru yang bersertifikat pendidik untuk setiap mata pelajaran. Hal ini disimpulkan bahwa belum tercapainya tujuan dari capaian SPM pendidikan dengan sepenuhnya ditandai dengan jumlah 7 indikator SPM yang belum tercapai 100%
Tingkat keberhasilan suatu program atau kebijakan dapat di ukur dengan adanya perubahan secara nyata. Pelaksanaan SPM hingga tahun 2015 sudah memberikan perubahan nyata pada angka pendidikan kabupaten Bangka Tengah. Meningkatnya angka harapan lama sekolah dan rata-rata lama sekolah dari tahun ketahun merupakan implikasi dari pelaksanaan SPM bidang pendidikan meskipun rata-rata lama sekolah kabupaten Bangka Tengah berada pada posisi terendah nomor 2 dari 7 kabupaten/kota di provinsi Kepulauan Bangaka Belitung.
B. Saran
(1) Dalam upaya mengoptimalkan capaian indikator SPM bidang pendidikan dasar perlu dukungan pemerintah pusat maupun kabupaten Bangka Tengah terutama dukungan anggaran yang optimal disertai dengan alokasi anggara yang tepat sasaran.
(2) Diindikasikan bahwa indikator pencapaian SPM akan mengalami perubahan seiring dengan diterbitkannya Undang-undang 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, dan isu-isu terkait pendidikan yang dihadapi seperti SDGs yang berimplikasi pada penyesuaian indikator pencapaian SPM. Untuk itu hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan evaluasi target pencapaian indikator SPM yang baru.
(3) Selain anggaran, kualitas dan kuantitas SDM juga merupakan unsur pendukung keberhasilan penerapan SPM, sehingga pemerintah daerah diharapkan ada langkah khusus dalam upaya peningkatan kualitas SDM Dinas Pendidikan Kabupaten Bangka Tengah.
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Basrowi dan Suwandi. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta
Batinggi, Ahmad. 1999. Manajerial Pelayanan Umum. Jakarta. Universitas Terbuka
Bogdan, Robert. C dan Sari Knopp Biklen. 1982. Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon,
Bungin Burhan. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Penerbit:PT Rajagrafindo Persada, Jakarta
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta. Balai Pustaka, 1990
Djaenuri, Aries, dkk. 2003. Sistem Pemerintahan Daerah. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka
Dolbeare, Kenneth M. (editor), 1975. Public Policy Evaluation, Sage Publication, Beverly Hills
Dye, Thomas R. 1981. Understanding Public Policy. Englewood Cliff. Prentice Hall. New Jersey
Hadi, Sutrisno. 2001. Metodologi Research Jilid III. Yogyakarta: Andi Offset Handayaningrat, 1994. Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Manajemen.
Jakarta:Haji Masagung
Hidayat. 1986. Definisi Efektifitas, Bandung: Angkasa
J. P Cambel. 1989. Riset Dalam Efektifitas Organisasi, terjemahan Sahat Simamora. Erlangga: Jakarta
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003 Kurniawan, Agung. 2005. Transformasi Pelayanan Publik. Yogyakarta:
Pembaruan
Ladjin, Nurjanna. 2008. Analisis Kemandirian Fiskal di Era Otonomi Daerah. (Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Tengah)
LAN, 2003, SANKRI Buku I Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Negara, Lembaga Administrasi Negara. Jakarta
Moenir, H. A. S. 1995. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia, Jakarta. Bumi Aksara
(5)
Moleong, L.J. 2011. Metodelogi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Mukhtar. 2013. Metode Penelitian Deskriftif Kualitatif. Jakarta : GP Press Group Nazir, Moh. 2009. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Paturusi, Idrus A, dkk. 2009. Hasil Penelitian. Esensi dan UrgensitasPeraturan Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah
Peraturan Pemerintah RI Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal
Ratminto & Atik. 2005. Manajemen Pelayanan. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Sarundajang, S.H. 2005. Babak Baru Sistem Pemerintahan Daerah. Jakarta: Kata
Hasta Pustaka
Singarimbun, Masri dan Efendi, Sofyan. 1987. Metode Penelitian. Jakarta. LP3ES Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta
Suryaningrat, Bayu. 1980. Organisasi Pemerintahan Wilayah/Daerah. Cetakan I. Aksara Baru. Jakarta
Sutopo dan Suryanto, A. 2006. Pelayanan Prima. Jakarta: Lembaga AdministrasiNegara Republik Indonesia
Sutrisno. 2007. Manajemen Keuangan: Teori,Konsep, dan Aplikasi. Yogyakarta: Ekonisia
Syafiie, Inu Kencana dkk, 1999. Ilmu Administrasi Publik. Jakarta. PT. Rineka Cipta
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
Winarno , Budi. 2008. Kebijakan Publik Teori dan Proses. Jakarta: PT Buku Kita Yasin, Sulkan dan Sunarto Hapsoyo. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(6)
TESIS
EVALUASI PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PENDIDIKAN DASAR KABUPATEN BANGKA TENGAH
TAHUN 2015
OLEH : ZAKIYUDIN FIKRI NIM : 20141040034
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA TAHUN 2016