Review Hukum Internasional 1

Review Hukum Internasional 1
Introduction, History & Theory.

A. Rival Norman Syah
1244010004

Pada tahun 1780 istilah “hukum internasional” pertama kali digunakan oleh Jeremy
Bentham dalam karyanya yang berjudul ”Introduction to the Principles of Morals and
Legislation”. Dengan berjalannya waktu istilah tersebut menggantikan terminologi sebelumnya
dan mulai digunakan di seluruh dunia. Sebelum peristiwa perang dunia pertama dan perang
dunia kedua, tidak ditemukan kesulitan dalam mendefinisikan apa itu hukum internasional. Yaitu
adalah sebuah rumusan hukum yang mengatur hubungan antara negara-negara di dunia. Ya,
suatu definisi berasal dari buah pikiran aliran positivis yang menempatkan negara sebagai
aktornya. Di mana negara adalah satu-satunya subyek dalam hukum internasional. Walaupun
sebenarnya definisi tersebut tidak seluruhnya relevan dengan keadaan pada masa itu dengan
diakuinya The Holy See yang bukan merupakan sebuah negara dan mempunyai hak yang legal di
dalam hukum internasional. Fenomena tersebut menjadi awal mula pemicu munculnya aktoraktor baru dalam hukum internasional. Pada masa inter-war terbukti semakin banyak munculnya
aktor-aktor baru dalam hukum internasional seperti organisasi antar pemerintahan yang dibentuk
oleh negara-negara atau organisasi non pemerintah yang dibentuk oleh individu-individu atau
kelompok-kelompok tertentu. Pada akhirnya aktor-aktor baru tersebut pun mendapatkan hak
legal di dalam hukum internasional. Sir Robert Jennings, mantan presiden mahkamah

internasional pun menyadari bahwa pentingnya untuk melakukan re-definisi hukum internasional
dengan semakin meluasnya kajian di bidang ini dan semakin bertambahnya ‘pemain-pemain”
baru di dalam hukum internasional. Dia mengungkapkan bahwa hukum internasional harus dapat
didefinisikan secara obyektif dan terperinci sehingga peran negara sebagai aktor utama menjadi
jelas dalam hukum internasional terkait alasan-alasan sebelumnya. Terlebih lagi dalam hubungan
internasional, dengan semakin bertambahnya aktor seperti organisasi antar pemerintah dan
organisasi non pemerintah semakin membuat posisi negara dipertanyakan. Tetapi pada faktanya,
peran aktor hukum internasional masih sebagian besar di dominasi oleh negara. Organisasi antar
pemerintahan pun masih bergantung oleh entitas teritorial masing-masing negara dan
membutuhkan dukungan dari pemerintahan masing-masing negara. Hanya negara yang bisa
menjadi anggota PBB, hanya negara yang akan bertanggung jawab di depan Dewan Keamanan
PBB jika terjadi suatu masalah terhadap isu perdamaian dan keamanan dalam hukum
internasional, dan jika pun ada individu yang mempunyai permasalahan dengan individu dari
negara lain, dengan catatan tidak ada perjanjian di antara mereka yang mengatur permasalahan
tersebut, maka hanya negara lah yang dapat membantu individu tersebut. Kesimpulannya adalah
sistem legalitas internasional dalam hukum internasional masih digerakkan oleh pemerintah
sebuah negara kepada komunitas negara-negara sebagai aktor pentingnya. Hukum internasional
umum adalah prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang diterapkan kepada banyak negara entah
dalam bentuk hukum internasional biasa atau perjanjian multilateral. Jika prinsip-prinsip dan
aturan-aturan tersebut mengikat seluruh negara maka akan disebut sebagai hukum internasional

universal. Tetapi ada juga hukum internasional regional yang diterapkan hanya di beberapa
regional saja. Contohnya aturan tertentu mengenai suaka diplomatik yang diterapkan oleh
negara-negara di Amerika Selatan atau hukum yang dimiliki oleh Uni Eropa. Setelah perang
dunia kedua dan terjadinya dekolonisasi semakin banyak negara-negara baru merdeka menjadi
aktor di dalam hukum internasional. Tercatat ada lebih dari 185 negara yang diakui oleh PBB.
Dengan semakin banyaknya aktor di dunia ini maka semakin beragam juga permasalahan yang
ada mulai dari bidang militer, ekonomi, dan politiknya. Maka dibutuhkannya persamaan

pandangan terhadap sebuah hukum internasional universal yang harus ditaati oleh seluruh
anggota PBB dalam Piagam PBB dan Friendly Relations Declaration pada tahun 1970.
Hukum internasional memiliki sebuah karakteristik spesial yang membuatnya beda jika
dibandingkan dengan sistem hukum nasional dalam sebuah negara dimana tersusun rapi dan
terkoneksi dengan segala lembaga-lembaganya. Hukum di dalam pemikiran barat telah menjadi
sebuah instrumen penting dalam kehidupan bernegara dan perkembangan masyarakat di Eropa.
Secara sistematis ada tiga lembaga yang memiliki fungsinya masing-masing seperti yang
merumuskan hukum (legislatif), yang menentukan hukum (pengadilan), dan yang memaksakan
hukum (administrasi, polisi, dan tentara). Dalam hukum domestik dengan sistem yang jelas dan
entitas yang jelas pemerintah mengatur kehidupan masyarakat di bantu oleh lembaga-lembaga
seperti yang disebutkan sebelumnya. Lain ceritanya dengan apa yang terjadi di dalam hukum
internasional. Dikarenakan perbedaan entitas diantara negara-negara yang menyatukan

komunitas internasional misalkan seperti teritorial dan sebagainya, maka ini berakibat tidak
dapat ditemukannya persamaan pandangan terhadap konsep “equality” diantara negara-negara
apalagi jika dikaitkan dengan konsep kedaulatan negara. Sehingga hukum internasional bukanlah
sebuah sistem hukum yang vertikal selayaknya sistem hukum nasional dalam sebuah negara
tetapi adalah sebuah hukum yang bersifat horizontal. Hal tersebut disebabkan karena tidak
adanya otoritas yang lebih tinggi daripada negara-negara di komunitas internasional. Maka
fungsi tiga lembaga yang dimiliki oleh sistem hukum nasional dalam sebuah negara tidak dapat
dijalankan. Sidang Umum PBB bukanlah tempat untuk merumuskan hukum internasional,
Mahkamah Internasional pun tidak dapat melakukan tugasnya jika tanpa persetujuan negara yang
bersangkutan untuk masuk ke dalam wilayah yurisdiksinya, dan Dewan Keamanan PBB pun
geraknya terbatas dalam hal legalitas maupun secara politik. Meskipun demikian disinilah
karakteristik spesial yang dimiliki oleh hukum internasional. Jikalau ada suatu negara yang
melakukan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip dalam hukum internasional atau katakanlah
melakukan pelanggaran ke negara lain maka negara tersebut akan berhadapan dengan seluruh
komunitas internasional sebagai kesatuan. Negara yang dilanggar dapat mengklaim pelanggaran
yang dilakukan oleh negara tersebut dengan bermacam cara seperti mengajak pihak ketiga untuk
melakukan mediasi, konsiliasi, arbitrase dan proses yudisial. Pada akhirnya self-help lah yang
menjadi jalan satu-satunya bagi negara yang dilanggar untuk memperjuangkan hak keadilan bagi
dirinya sendiri. Self-help adalah sebuah cara yang dilegalkan bagi negara yang dilanggar. Sebagai
contoh seorang individu berhak untuk mempertahankan dirinya jika sedang diserang oleh

individu lain, misalkan dengan cara mengambil kembali propertinya yang telah diambil oleh
individu lain sebelumnya, kemudian mengusirnya keluar dari wilayahnya, dan memutus
hubungan kerjasama yang pernah dimilikinya dengan individu yang melakukan serangan
kepadanya tersebut. Tetapi dalam masa sekarang ini self-help hanyalah menjadi sebuah
pengecualian daripada sebuah peraturan. Pada suatu saat ini memungkinkan bagi sebuah negara
untuk berperang dengan negara lain demi memaksakan haknya yang legal. Tetapi hal ini sudah
bukan menjadi tindakan yang legal dikarenakan pengecualian tertentu mengenai pertahanan diri
terhadap serangan yang bersenjata. Bentuk tindakan self-help yang masih legal adalah retorsion
dan reprisal. Retorsion adalah sebuah tindakan yang dilindungi hukum yang bertujuan untuk
memberikan hukuman kepada negara yang melakukan suatu pelanggaran. Sedangkan reprisal
adalah sebuah tindakan yang biasanya dinilai sebagai sebuah tindakan yang illegal tetapi
dilegalkan jika memenuhi syarat-syarat tertentu, misalkan negara tersebut telah di langgar
terlebih dahulu oleh negara yang melanggar. Kelemahan dari retorsion dan reprisal adalah jika
negara yang melanggar mempunyai power baik dalam hal ekonomi atau militer dan sebagainya

yang lebih kuat maka ini tidak akan berarti apa-apa bagi negara yang ingin melakukan bentuk
self-help ini. Terlebih lagi jika mengandalkan bantuan dari lembaga misalkan PBB pun tidak
akan berhasil jika ternyata negara yang melanggar tersebut memiliki hak khusus yaitu hak veto.
Tetapi setidaknya masih ada cara dalam hukum internasional untuk mengakomodasi negara kecil
yang dilanggar yaitu dengan menggalang bantuan dukungan dari komunitas internasional.

Terdapat sebuah perdebatan diantara kaum realis yang meragukan apakah hukum
internasional ini dapat disebut sebagai sebuah “hukum” dengan menyadari berbagai
kelemahannya seperti tidak adanya lembaga supranasional yang dapat mengatur atau bahkan
merumuskan hukum internasional, terbatasnya gerak untuk menciptakan perdamaian dan
keamanan di dunia ini karena hal politik dan kepentingan-kepentingan kelompok tertentu. Yang
harus benar-benar dipahami mengenai konsep hukum internasional ini adalah yang pertama
konsep hukum itu sendiri berkaitan dengan beragamnya definisi dan bentuk hukum yang
beragam pula di seluruh dunia. Misalkan hukum Anglo-Saxon yang pernah diberlakukan di
Inggris. Kemudian ada juga hukum Islam dimana applicable secara universal dengan artian tidak
mengenal society, tidak mengenal boundaries, dan religion. Dan hukum adat yang dapat
ditemukan di Asia maupun di Afrika. Yang kedua adalah fungsi hukum sebagai sebuah aturan
yang mengikat subyeknya untuk menaati aturan tersebut. Sebuah sistem hukum yang horizontal
akan menghasilkan hasil yang berbeda jika dibandingkan dengan sistem hukum yang terpusat.
Karena menyadari keadaan komunitas internasional yang mempunyai karakteristik yang berbeda
jika dibandingkan dengan sistem hukum nasional. Sehingga menyelesaikan masalah dengan
sebuah konsensus dibandingkan hanya sebuah perintah adalah opsi yang paling baik untuk
diterapkan dalam masa yang sekarang ini. Hukum pun akan mempunyai bentuk yang berbeda di
masa yang berbeda, itu adalah suatu hal yang mesti dipikirkan. Jikalau hukum internasional pada
sekarang ini hanya dikategorikan sebagai sebuah aturan moral belaka bukanlah menjadi sebuah
kelemahan karena pada suatu saat hukum internasional akan terus bergerak secara dinamis dan

menemukan bentuknya di suatu saat menyesuaikan dengan kondisi di masanya. Ruang lingkup
hukum internasional dari masa ke masa semakin mengalami perluasan dikarekan faktor
perkembangan teknologi dan isu lingkungan hisup yang semakin meningkat urgensinya dari
tahun ke tahun. Dalam perkembangannya ruang lingkup hukum internasional mencakupi di
banyak bidang termasuk komunikasi, perdagangan internasional, ekonomi dan keuangan,
lingkungan hidup dan pembangunan, atau bahkan pergerakan pengungsi pencari suaka.
Sejarah hukum internasional jika ditelusuri akan menemukan berbagai banyak opini
mengenainya. Karena pengantar awal mula hukum internasional ini dimulai oleh pada masa
perang dunia pertama, masa inter-war, dan akhir perang dunia kedua maka akan dilanjutkan
menggunakan pendekatan eropa. Tetapi agar tidak terlalu eropasentris, dapat dipahami jika tiap
peradaban dan tiap masyarakat di dunia lebih tidak mempunyai dan mengembangkan sebuah
sistem dalam menjaga hubungannya dengan masyarakat lainnya semacam hukum internasional
pada zamannya dengan metode dan bentuk mereka masing-masing. Hukum internasional klasik
dimulai ketika perjanjian Westphalia dimana perjanjian tersebut mengakhiri perang diantara
kerajaan-kerajaan di eropa pada tahun 1600-an. Kemudian tak bisa dilepaskn juga dimana
sejarah eropa dengan kolonialismenya dan hubungan antara negara-negara di eropa dengan
negara-negara non eropa. Kemudian dengan berjalannya waktu hukum internasional semakin
berkembang pada masa perang dunia yang pertama yang mengakui jika hanya negara yang
berdaulat lah sebagai subyek satu-satunya dalam hukum internasional. Setelah perang dunia
pertama usai pun dibentuknya LBB dimana merupakan sebuah organisasi antar pemerintahan


yang secara langsung ikut menjadi aktor dalam hukum internasional. Kemudian terjadi kembali
perang dunia yang kedua sehingga dihapuskannya LBB dan digantikannya oleh PBB dimana
pada masa itu juga terjadi dekolonisasian yang besar sehingga memunculkan banyak negaranegara baru yang merdeka. Pada masa itu terjadi perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni
Soviet dimana terjadi perpecahan kelompok barat dan timur sehingga menambah skup hukum
internasional menjadi semakin luas. Setelah kekalahan Uni Soviet pun dengan diagendakannya
gagasan dunia baru maka hukum internasional pun terus bergerak dinamis untuk menemukan
bentuknya sesuai dengan era pada masa itu.
Ada dua pemikiran yang mendasari perkembangan hukum internasional dari dulu sejak
sekarang, yaitu: naturalis dan positivis. Hugo Grotius (1583-1645) adalah seorang naturalis
ternama asal Belanda yang sering disebut sebagai Bapak Hukum Internasional Moderen.
Pemikiran naturalis mempercayai jika pada dasarnya semua prinsip hukum (baik nasional
maupun internasional) diperoleh bukan dari kesadaran pilihan ataupun keputusan yang dibuat
oleh manusia. Tetapi prinsip-prinsip keadilan yang mempunyai validitas yang abadi dan
universal yang hanya didapatkan dengan alasan yang murni. Hukum tidak dapat diciptakan,
hanya ditemukan. Prinsip dasar-dasar tersebut dinamakan hukum alam. Pada dasarnya hukum
alam ini dinilai sebagai sebuah hasil ciptaan Tuhan tetapi menurut Grotius hukum alam pun
masih akan tetap ada jikalau Tuhan itu tidak ada. Karena ini adalah sebuah konsekuensi otomatis
menyadari bahwa fakta manusia itu hidup bersama dan demi terpeliharanya umat manusia maka
hukum alam ini ada. Sebagai contoh dalam masalah pembunuhan, diluar hukum apapun yang

mengaturnya, setiap orang yang berakal akan sadar jika pembunuhan ini bertolak belakang
dengan tujuan terpeliharanya umat manusia. Di abad ke-16 dan ke-17 teori secara universal
memang diterima, dan berfungsi dengan baik dalam mendorong terciptanya keadilan pada masa
jatuhnya sistem feudal dan mengurangi pergesekan yang terjadi antara protestan dan katolik di
Eropa. Kemudian setelah Grotius meninggal dunia, pemikiran kaum naturalis ikut merosot.
Orang-orang mulai beranggapan jika hukum adalah sesuatu yang positif di tahun 1700-an . Jika
hukum adalah ciptaan manusia dan secara konsekuen orang-orang menyadari perbedaan antara
hukum dan keadilan. Hukum akan dapat bervariasi bentuknya dari waktu ke waktu tergantung
oleh perumus hukumnya (legislator). Aliran pemikiran ini disebut dengan positivism dimana jika
diterapkan terhadap hukum internasional yang menilai perilaku negara yang aktual sebagai dasar
hukum internasional. Pemikir positivis yang terkenal adalah orang Belanda juga yaitu Cornelis
van Bynkershoek (1673-1743). Pemikiran positivis ini sebenarnya sudah ada sejak abad ke-18
tetapi baru diterima dan diterapkan di awal abad ke-19. Sebuah usaha untuk mengkombinasikan
antara pemikiran naturalis dan positivis pernah dilakukan oleh Emerich von Vattel (1714-1767).
Setelah Vattel berusaha mengkombinasikan dua hal tersebut, ada satu konsep yang disebutkan
olehnya yaitu mengenai kedaulatan. Kedaulatan menjadi perdebatan mengenai posisinya dalam
hukum internasional. Negara yang memiliki kedaulatan berarti menmpunyai supreme power baik
ke dalam (internal sovereignty) dan ke luar (external sovereignty). Kedaulatan berarti
independens yang bermakna tidak ada kebergantungan terhadap negara lain. Sehingga
menyebabkan kehorizontalan karakteristik hukum internasional. Bagaimanapun juga perdebatan

mengenai hukum internasional akan terus berlanjut dari masa ke masa.
Referensi:
Malanczuk, Peter. (1997). Akehurst: Modern Introduction to International Law. New York:
Routledge Press.