TINJAUAN YURIDIS PERLINDUNGAN PASIEN DALAM PELAYANAN KESEHATAN YANG MENGGUNAKAN ALAT KESEHATAN DI RUMAH SAKIT

(1)

ABSTRAK

TINJAUAN YURIDIS PERLINDUNGAN PASIEN DALAM PELAYANAN KESEHATAN YANG MENGGUNAKAN ALAT KESEHATAN DI

RUMAH SAKIT

Oleh

ABRAM DAVID LEVY S

Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan kegiatan pelayanan secara paripurna dengan menggunakan pendekatan kesehatan promotif, prefentif, kuratif, dan rehabilitatif. Penyelenggaraan pelayan kesehatan tersebut diwakilkan tenaga kesehatan untuk melaksanakan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Rumah sakit berkewajiban menyediakan dan mengoperasikan alat kesehatan yang memenuhi standar dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan efektif dengan mengutamakan perlindungan serta keselamatan pasien. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah perlindungan hukum terhadap pasien dalam penggunaan alat kesehatan di rumah sakit, dan tanggung jawab hukum rumah sakit terhadap penyalahgunaan alat kesehatan kepada pasien.

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), dengan tipe penelitian deskriptif. Data yang digunakan adalah data skunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, serta pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan. Pengolahan data dilakukan dengan cara pemeriksaan data, rekonstruksi data, dan sistematisasi data.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan yang dilaksanakan di rumah sakit harus berdasarkan ketentuan Pasal 54 ayat (1) UU Kesehatan, yang dalam tindakan penyelenggaraan pelayanan kesehatan harus dilaksanakan secara bertanggungjawab, aman, bermutu dan berorientasi pada perlindungan pasien. Secara khusus untuk penggunaan alat kesehatan, rumah sakit wajib menerapkan standar penggunaan alat kesehatan berdasarkan Pasal 16 UU Rumah Sakit. Tanggung Jawab rumah sakit dalam pelayanan kesehatan tunduk pada ketentuan Pasal 46 UU Rumah Sakit. Upaya hukum dapat dilakukan oleh pasien dengan upaya nonlitigasi dan/atau litigasi. Namun, sebelum melakukan upaya hukum litigasi, pasien disarankan untuk terlebih dahulu menyelesaikan sengketa medis melalui proses mediasi, sebagaimana tertuang pada Pasal 29 UU Kesehatan.


(2)

Pasien dapat melakukan gugatan hukum secara perdata berdasarkan gugatan wanprestasi dan gugatan secara perbuatan melawan hukum. Pertanggungjawaban rumah sakit ialah penggantian dalam bentuk sejumlah uang dan pemulihan kesehatan pasien yang mengalami kerugian di rumah sakit.

Kata Kunci : Perlindungan Pasien, Pelayanan Kesehatan, Alat Kesehatan, Rumah Sakit.


(3)

TINJAUAN YURIDIS PERLINDUNGAN PASIEN DALAM PELAYANAN KESEHATAN YANG MENGGUNAKAN ALAT KESEHATAN DI RUMAH

SAKIT

Oleh

ABRAM DAVID LEVY S

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(4)

(5)

(6)

RIWAYAT HIDUP

Nama lengkap penulis adalah Abram David Levy Sitepu, penulis dilahirkan pada tanggal 27 Februari 1993 di Medan. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Sabar Sitepu dan Susana br. Sembiring.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Methodist 12 Medan pada tahun 2004, Sekolah Menengah Pertama di SMP Methodist 12 Medan pada tahun 2007 dan Sekolah Menengah Atas di SMA Methodist 1 Medan pada Tahun 2010.

Tahun 2010 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Unila melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), Selama menjadi mahasiswa penulis aktif mengikuti kegiatan organisasi yaitu, HIMA Perdata Fakultas Hukum Bagian Hukum Keperdataan Universitas Lampung, UKM Sepak Bola Unila, UKM-K (Kristen), IMKA (Ikatan Mahasiswa Karo), Formakris.


(7)

PERSEMBAHAN

Dengan penuh rasa puji dan syukur atas kasih yang diberikan Jesus Kristus dengan penuh kerendahan hati kupersembahkan kepada :

Kepada kedua orang tuaku tercinta Bapak Ir. Sabar Sitepu dan Ibu Susana br. Sembiring yang telah membesarkanku dengan sabar dan penuh kasih sayang

serta selalu menyertaiku dalam doa agar setiap langkahku dipermudah oleh Tuhan, serta mengajarkanku untuk kuat dalam menjalani hidup agar lebih baik

kedepannya.

Adik-adikku Alvina Kristi, dan Regina Trivania trimakasih menjadi motivasiku agar menjadi cermin yang baik untuk adik-adik tercinta.


(8)

MOTO

“Orang yang punya kesehatan…. punya harapan, orang yang punya harapan…. punya segalanya”

(Pepatah Arab)

“Kekeliruan dokter tidak dirasakan sendiri oleh dokter tersebut, melainkan oleh orang lain”

(Jalauddin Rumi)

“Kadang kehidupan dapat menumbangkan kita, kitalah yang memutuskan untuk tetap

jatuh atau kembali bangkit” (Jackie Chan)


(9)

SANWACANA

Salam sejaterah dan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan kasih-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Perlindungan Pasien dalam Pelayanan Kesehatan yang Menggunakan Alat Kesehatan di Rumah Sakit” sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan ilmu pengetahuan, bimbingan, dan masukan yang bersifat membangun dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

2. Bapak Dr. Wahyu Sasongko, S.H., M.Hum., selaku Ketua Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

3. Bapak Dr. Muhammad Fakih, S.H., M.S., selaku Dosen Pembimbing I yang telah meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan masukan, motivasi dan mengarahkan penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan;

4. Ibu Yulia Kusuma Wardani, S.H., LL.M., selaku Dosen Pembimbing II yang telah berkenan meluangkan waktunya untuk membimbing, memberikan


(10)

skripsi ini dapat diselesaikan;

5. Ibu Rilda Murniati, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembahas I yang telah memberikan masukan-masukan yang bermanfaat dalam penulisan skripsi ini; 6. Ibu Siti Nurhasanah, S.H., M.H., selaku Dosen Pembahas II yang juga telah

memberikan saran dan pengarahan dalam penulisan skripsi ini;

7. Bapak Satria Prayoga, S.H., M.H., sebagai Pembimbing Akademik atas bimbingan dan pengarahan kepada penulis selama menjalankan masa studi di Fakultas Hukum Universitas Lampung;

8. Seluruh Bapak/Ibu dosen dan karyawan/i Fakultas Hukum Universitas Lampung, khususnya Bapak/Ibu Dosen Bagian Hukum Keperdataan sumber mata air ilmuku yang penuh ketulusan, dedikasi untuk memberikan ilmu yang bermanfaat dan motivasi bagi penulis, serta segala kemudahan dan bantuannya selama penulis menyelesaikan studi;

9. Untuk Bapak Jhony Siahaan dan Ibu Lidia Sitepu, yang telah memberikan semangat, masukan, doa, serta menjadi orang tua pengganti bagi penulis selama berada di lampung;

10. Seluruh keluarga besar ku, kakek dan nenek, Paman Sucipto, Paman Haris dan Bibi Lina, Bibi Agustina serta sepupuku yang selalu menemaniku di saat senang ataupun sedih;

11. Untuk teman-teman Fakultas Hukum Angkatan 2010 : Ade, Charlina, Dede, Aji, Denny, Rusjana, Insan, Kemal, Johannes, Cahya, Khusnul, dan teman-teman lainnya, atas do’a, motivasi dan semangat kebersamaan yang telah terjalin selama ini;


(11)

dan teman seperjuanganku : Bismar, Richart, Doni, Jetek, Rio, Brian, Ivander, Ridwan, Rama, Bella, Osa, Ardiansyah, Zul, Rindi, Ayu, Wanna, Gilang, Yuri, Jonatan, Ketut, Candre, Dece, Topan, Titi, Dendri, Neil, Sonya, Ridho, Merly, Jepri, dan teman-teman lainya yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas doa, dukungan, dan kerjasamanya;

13. Forum Mahasiswa Hukum Kristen, Ada Tua, Sanggam, Saut, Ivo, Ricko, Reni, Edo, Jusuf, Cio, Rizal, Richart, Yoga, Neil, Batara, Kristian, Isco, Wetson, dan abang kakak senior yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu terima kasih telah menjadi pendukung kuliah sampai penulis menyelesaikan kuliah;

14. Keluarga Ikatan Mahasiswa Karo Lampung; Rantika, Janwira, Juna, Rio, Eko, Berlian, dan Oktaviani, dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas doa dan dukunganya;

15. Keluarga UKM Sepak Bola Unila; Mas Ardian, Mas Adit, dan Hendrik, serta teman-teman dan seluruh keluarga UKM Sepak Bola Unila;

16. Keluarga KKN ku, keluarga besar Baradatu, Way kanan: Harjono, Syarif, Windy, Devy, Fitri, Tunjung, Enni, dan Nopi, terima kasih telah menjadi bagian dalam 40 hari selama masa KKN;

17. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini, terima kasih atas semua doa, bantuan dan dukungannya;


(12)

kepada penulis. Akhir kata, penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini dan masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya, khususnya bagi penulis dalam mengembangkan dan mengamalkan ilmu pengetahuan.

Bandar Lampung, Penulis,


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

HALAMAN JUDUL ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

RIWAYAT HIDUP... vi

MOTO... vii

PERSEMBAHAN ... viii

SANWACANA ... ix

DAFTAR ISI ... xiii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Ruang Lingkup ... 6

D. Tujuan Penelitian ... 6

E. Kegunaan Penelitian ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA A.Pelayanan Kesehatan ... 8

1. Defenisi Pelayanan Kesehatan ... 8

2. Dasar Hukum Pelayanan Kesehatan ... 10

3. Pihak-pihak yang Berhubungan dengan Pelayanan Kesehatan ... 12

4. Hubungan Hukum dalam Pelayanan Kesehatan... ... 17

B.Rumah Sakit ... 19

1. Defenisi Rumah Sakit ... 20

2. Klasifikasi Rumah Sakit ... 21

3. Hak dan Kewajiban Rumah Sakit ... 24

C.Alat Kesehatan... ... 25

1. Defenisi dan Fungsi Alat Kesehatan ... 25

2. Jenis dan Klasifikasi Alat Kesehatan... 27

D.Pasien... ... 30

1. Defenisi Pasien... ... 30


(14)

E. Perlindungan Hukum... ... 34

1. Defenisi Perlindungan Hukum... ... 34

2. Teori Perlindungan Hukum... ... 36

F. Kerangka Pikir ... 38

III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 41

B. Tipe Penelitian ... 42

C. Pendekatan Masalah ... 42

D. Data dan Sumber Data ... 43

E. Metode Pengumpulan Data ... 44

F. Pengolahan Data ... 44

G. Analisis Data ... 45

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Perlindungan Hukum terhadap Pasien dalam Penggunaan Alat Kesehatan di Rumah Sakit ... 46

1. Perlindungan Hukum Pasien dalam Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit ... 46

2. Perlindungan Pasien terhadap Penggunaan Alat Kesehatan di Rumah Sakit ... 54

B. Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit terhadap Penyalahgunaan Alat Kesehatan di Rumah Sakit ... 60

1. Upaya Hukum Pasien terhadap Kerugian Pasien di Rumah Sakit ... 60

2. Bentuk Tanggung Jawab Rumah Sakit ... 67

V. PENUTUP A. Kesimpulan ... 78


(15)

I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Kesehatan adalah salah satu parameter untuk mengukur keberhasilan pembangunan manusia. Tanpa kesehatan manusia tidak akan produktif untuk hidup layak dan baik. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia yang tertuang dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam bidang kesehatan.

Peran negara dalam meningkatkan pembangunan kesehatan tidak lepas dari tanggung jawab Negara yang berlandaskan unsur Pancasila dan UUD 1945 yang telah tercantum dalam Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa: “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan pelayanan kesehatan dan pelayanan umum masyarakat ialah dengan membangun rumah sakit”.

Menurut Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, bahwa Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan


(16)

rawat jalan, rawat inap, dan gawat darurat. Serta melaksanakan kegiatan berupa pendidikan, penyuluhan kesehatan (promotif), pencegahan (prefentif), pengobatan (kuratif), pemulihan (rehabilitatif), dan melaksanakan pelayanan rujukan.1 Tujuan pelayanan yang diberikan rumah sakit kepada masyarakat adalah untuk memberikan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, anti diskriminasi dan efektif.

Sejalan dengan amanat Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945: “ Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Maka setiap anggota masyarakat memiliki hak yang sama dalam masalah pelayanan kesehatan di rumah sakit.

Penyelenggaraan pelayanan kesehatan harus dilaksanakan secara bertanggung jawab, aman, bermutu, serta merata dan nondiskriminatif yang bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Rumah sakit sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan memiliki tenaga medis yang mewakilkan rumah sakit untuk menjalankan kegiatan pelayanan kesehatan, seperti dokter, dokter gigi, perawat, bidan, dan tenaga apoteker, yang memiliki keahlian dan kewenangan di bidang kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban menghormati dan melindungi hak-hak pasien.2

Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan No. 1191 Tahun 2010 tentang Penyaluran Alat Kesehatan berbunyi, produk alat kesehatan

1

Soekidjo Notoatmodjo. Etika dan Hukum Kesehatan (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm. 154

2

Harmien Hadiati Koeswadji. Hukum Kedokteran (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998), hlm. 100


(17)

yang beredar harus memenuhi standar dan/atau persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan. Rumah sakit sebagai institusi yang menjalankan pelayanan kesehatan berkewajiban menyediakan alat kesehatan yang memenuhi standar dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, alat kesehatan tersebut merupakan sarana pendukung bagi rumah sakit dalam melakukan upaya pengobatan dan perawatan terhadap pasien.

Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan dalam bidang teknologi khususnya dalam pelayanan kesehatan dengan menggunaan alat kesehatan baik itu pelayanan medis dan nonmedis di rumah sakit, rumah sakit harus memiliki pedoman atau standar baku dalam pelaksanaanya. Pedoman yang dilaksanakan oleh rumah sakit harus memberikan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan dan keselamatan pasien sesuai dengan standar pelayanan kesehatan di rumah sakit sebagai acuan dalam melayani pasien.

Pedoman mengenai standar penggunaan alat kesehatan dan kelengkapan alat kesehatan disetiap rumah sakit memiliki pedoman dan pelaksanaan yang berbeda menurut kelasifikasi rumah sakit. Perbedaan klasifikasi rumah sakit dalam hal pengoperasian dan kelengkapan alat kesehatan di rumah sakit tidak menjadi faktor penghambat penyebab berkurangnya mutu pelayanan yang diberikan rumah sakit kepada pasien, melainkan rumah sakit terus mampu berupaya meningkatkan kinerja dan mutu pelayanan agar tercapai hasil pelayanan kesehatan yang lebih optimal.


(18)

Namun, pada praktiknya terdapat gejala sosial antara das sein yang merupakan realita yang telah terjadi, tidak sesuai dengan das sollen yang merupakan norma dan perundang-undangan yang telah diatur.3 Penggunaan alat kesehatan yang tidak mengutamakan standar, syarat mutu keselamatan dan keamanan, serta layak pakai ada kalanya mengakibatkan dampak yang buruk serta dapat menimbulkan kerugian terhadap pasien, seperti luka, cacat, bahkan sampai pada kematian.

Hal tersebut dapat dilihat pada kasus, yang terjadi pada tahun 2010, saat itu pasien yang bernama Syarifudin Pane, berusia 34 tahun yang menjalani operasi patah kaki di Rumah Sakit Haji Pondok Gede, Jakarta Timur. Pasien tersebut menjadi korban penyalahgunaan pemasangan pen (alat bantu penyambung tulang) oleh tim dokter yang menanganinya. Pen yang dipasang di kaki kanannya pada Bulan September 2010 diduga bekas dan tidak steril.

Timbulnya dugaan atas penyalahgunaan alat kesehatan itu terjadi setelah beberapa bulan pemasangan pen, kaki kanan pasien yang terpasang pen tersebut mengeluarkan darah dan nanah. Pada tanggal 3 Juli 2011, pasien menjalani operasi pengangkatan pen di rumah sakit lain yaitu Rumah Sakit Husada, Bali. Prof. dr. Siki Kawiana, dokter yang melakukan operasi pengangkatan pen di rumah sakit tersebut, menyatakan bahwa pendarahan tersebut disebabkan pen yang tidak steril.

Berdasarkan dugaan penyalahgunaan alat kesehatan tersebut, Syarifudin Pane menuntut Rumah Sakit Haji Pondok Gede, Jakarta Timur, untuk mengganti

3

Soerjono Soekanto. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum ( Jakarta: Rajawali Pers,1988), hlm. 79.


(19)

kerugian yang dialami pasien terhadap tindakan kesalahan/kelalaian yang dilakukan oleh dokter maupun tenaga kesehatan yang melakukan pemasangan pen tersebut. Namun dilain pihak, melalui kordinator marketing pihak Rumah Sakit Haji Pondok Gede, dalam hal ini membantah melakukan tindakan penyalahgunaan alat kesehatan terhadap pasien. Membantah juga bila pen yang dipasang tersebut adalah bekas, rencananya pihak rumah sakit akan melakukan pertemuan dengan pihak pasien dan memberikan keterangan terkait apa yang dialami oleh pasien, serta akan mempertimbangkan bila memang terjadi kesalahan pada rumah sakit.4

Berdasarkan kasus di atas, penulis tertarik mengadakan penelitian yang dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul “Tinjauan Yuridis Perlindungan Pasien dalam Pelayanan Kesehatan yang Menggunakan Alat Kesehatan di

Rumah Sakit”.

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang penelitian ini, ada dua rumusan masalah yang akan dirumuskan dan dicari penyelesaiannya secara ilmiah. Beberapa masalah tersebut sebagai berikut:

1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pasien dalam penggunaan alat kesehatan di rumah sakit?

4

http://news.detik.com/read/2011/10/11/003617/1741056/10/ diakses tanggal 20 juni


(20)

2. Bagaimana tanggung jawab hukum rumah sakit terhadap penyalahgunaan alat kesehatan kepada pasien?

C.Ruang Lingkup

Ruang lingkup dalam penelitian ini meliputi ruang lingkup pembahasan dan ruang lingkup bidang ilmu. Ruang lingkup pembahasan dalam penelitian ini adalah mengkaji tentang perlindungan pasien dan tanggung jawab rumah sakit dalam pelayanan medis dengan menggunakan alat kesehatan di rumah sakit di tinjau berdasarkan Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan Undang-Undang-Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, sedangkan ruang lingkup bidang ilmu dalam penelitian ini adalah hukum keperdataan, dan hukum kesehatan.

D.Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka yang menjadi tujuan penelitan adalah: 1. Mendeskripsikan dan mengkaji bentuk perlindungan hukum terhadap pasien

dalam penggunaan alat kesehatan di rumah sakit;

2. Mendeskripsikan dan mengkaji tanggung jawab hukum rumah sakit terhadap penyalahgunaan alat kesehatan kepada pasien.

E. Kegunaan Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka yang menjadi kegunaan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:


(21)

1. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, dan dapat memberikan sumbangan pemikiran pada ilmu hukum khususnya hukum kesehatan mengenai perlindungan dan tanggung jawab hukum terhadap pasien dalam penggunaan alat kesehatan di rumah sakit.

2. Kegunaan Praktis

a. Bagi rumah sakit, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pedoman bagi rumah sakit dalam penyediaan dan penggunaan alat kesehatan dalam melakukan pelayanan medis terhadap pasien;

b. Bagi masyarakat, hasil penulisan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan masyarakat, khususnya pasien terhadap perlindungan hukum dan tanggung hukum jawab rumah sakit;

c. Bagi penulis, hasil penulisan ini dapat menambah pengetahuan mengenai perlindungan pasien dan tanggung jawab hukum rumah sakit dalam melakukan pelayanan medis yang menggunaan alat kesehatan terhadap pasien, serta sebagai syarat untuk melengkapi dan menyelesaikan pendidikan strata satu (S1) di Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.Pelayanan Kesehatan

1. Defenisi Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan (health care service) merupakan hak setiap orang yang dijamin dalam Undang Undang Dasar 1945 untuk melakukan upaya peningkatkan derajat kesehatan baik perseorangan, maupun kelompok atau masyarakat secara keseluruhan.5 Defenisi Pelayanan kesehatan menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2009 (Depkes RI) yang tertuang dalam Undang-Undang Kesehatan tentang kesehatan ialah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan, perorangan, keluarga, kelompok ataupun masyarakat. Berdasarkan Pasal 52 ayat (1) UU Kesehatan, pelayanan kesehatan secara umum terdiri dari dua bentuk pelayanan kesehatan yaitu:

a. Pelayanan kesehatan perseorangan (medical service)

Pelayanan kesehatan ini banyak diselenggarakan oleh perorangan secara mandiri (self care), dan keluarga (family care) atau kelompok anggota masyarakat yang bertujuan untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan

5


(23)

kesehatan perseorangan dan keluarga. Upaya pelayanan perseorangan tersebut dilaksanakan pada institusi pelayanan kesehatan yang disebut rumah sakit, klinik bersalin, praktik mandiri.

b. Pelayanan kesehatan masyarakat (public health service)

Pelayanan kesehatan masyarakat diselenggarakan oleh kelompok dan masyarakat yang bertujuan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang mengacu pada tindakan promotif dan preventif. Upaya pelayanan masyarakat tersebut dilaksanakan pada pusat-pusat kesehatan masyarakat tertentu seperti puskesmas.

Kegiatan pelayanan kesehatan secara paripurna diatur dalam Pasal 52 ayat (2) UU Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu:

a. Pelayanan kesehatan promotif, suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat promosi kesehatan.

b. Pelayanan kesehatan preventif, suatu kegiatan pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan/penyakit.

c. Pelayanan kesehatan kuratif, suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit, pengendalian kecacatan agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal mungkin.

d. Pelayanan kesehatan rehabilitatif, kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan untuk mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat sehingga dapat berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat yang berguna untuk dirinya dan masyarakat, semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuannya.


(24)

Berdasarkan uraian di atas pelayanan kesehatan yang diselenggarakan di puskesmas, klinik, dan rumah sakit diatur secara umum dalam UU Kesehatan, dalam Pasal 54 ayat (1) UU Kesehatan berbunyi bahwa penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara bertanggung jawab, aman, bermutu, serta merata dan nondiskriminatif. Dalam hal ini setiap orang atau pasien dapat memperoleh kegiatan pelayanan kesehatan secara professional, aman, bermutu, anti diskriminasi dan efektif serta lebih mendahulukan pertolongan keselamatan nyawa pasien dibanding kepentingan lainnya.

2. Dasar Hukum Pelayanan Kesehatan

Semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan, maka semakin berkembang juga aturan dan peranan hukum dalam mendukung peningkatan pelayanan kesehatan, alasan ini menjadi faktor pendorong pemerintah dan institusi penyelenggara pelayanan kesehatan untuk menerapkan dasar dan peranan hukum dalam meningkatkan pelayanan kesehatan yang berorientasi terhadap perlindungan dan kepastian hukum pasien.6 Dasar hukum pemberian pelayanan kesehatan secara umum diatur dalam Pasal 53 UU Kesehatan, yaitu: a. Pelayanan kesehatan perseorangan ditujukan untuk menyembuhkan penyakit

dan memulihkan kesehatan perseorangan dan keluarga.

b. Pelayanan kesehatan masyarakat ditujukan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit suatu kelompok dan masyarakat.

6


(25)

c. Pelaksanaan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendahulukan pertolongan keselamatan nyawa pasien dibanding kepentingan lainnya.

Kemudian dalam Pasal 54 UU Kesehatan juga mengatur pemberian pelayanan kesehatan, yaitu:

a. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara bertanggung jawab, aman, bermutu, serta merata dan nondiskriminatif.

b. Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

c. Pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

Pelayanan kesehatan itu sebenarnya juga merupakan perbuatan hukum, yang mengakibatkan timbulnya hubungan hukum antara pemberi pelayanan kesehatan dalam hal ini rumah sakit terhadap penerima pelayanan kesehatan, yang meliputi kegiatan atau aktivitas professional di bidang pelayanan prefentif dan kuratif untuk kepentingan pasien. Secara khusus dalam Pasal 29 ayat (1) huruf (b) UU Rumah Sakit, rumah sakit mempunyai kewajiban memberikan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit. Peraturan atau dasar hukum dalam setiap tindakan pelayanan kesehatan di rumah sakit wajib dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 53 dan Pasal 54 UU Kesehatan sebagai dasar dan ketentuan umum dan ketentuan Pasal 29 ayat (1)


(26)

huruf (b) UU Rumah Sakit dalam melakukan pelayanan kesehatan. Dalam penyelenggaraan kesehatan di rumah sakit mencakup segala aspeknya yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan.7

Melalui ketentuan UU Kesehatan dan UU Rumah Sakit dalam hal ini pemerintah dan institusi penyelenggara pelayanan kesehatan yakni rumah sakit, memiliki tanggung jawab agar tujuan pembangunan di bidang kesehatan mencapai hasil yang optimal, yaitu melalui pemanfaatan tenaga kesehatan, sarana dan prasarana, baik dalam jumlah maupun mutunya, baik melalui mekanisme akreditasi maupun penyusunan standar, harus berorientasi pada ketentuan hukum yang melindungi pasien, sehingga memerlukan perangkat hukum kesehatan yang dinamis yang dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum untuk meningkatkan, mengarahkan, dan memberi dasar bagi pelayanan kesehatan.

3. Pihak-Pihak yang Berhubungan dengan Pelayanan Kesehatan

Pihak-pihak yang berhubungan dengan setiap kegiatan pelayanan kesehatan baik itu di rumah sakit, puskesmas, klinik, maupun praktek pribadi, antara lain:

a. Dokter

Dokter adalah orang yang memiliki kewenangan dan izin sebagaimana mestinya untuk melakukan pelayanan kesehatan, khususnya memeriksa dan mengobati penyakit berdasarkan hukum dan pelayanan di bidang kesehatan. Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menjelaskan defenisi dokter adalah suatu pekerjaan yang

7

Cecep Triwibowo. Etika dan Hukum Kesehatan (Yogyakarta: Nuha Medika, 2014), hlm. 16


(27)

dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang, dan kode etik yang bersifat melayani masyarakat.

Seorang dokter harus memahami ketentuan hukum yang berlaku dalam pelaksanaan profesinya termasuk didalamnya tentang persamaan hak-hak dan kewajiban dalam menjalankan profesi sebagai dokter.8 Kesadaran dokter terhadap kewajiban hukumnya baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain dalam mejalankan profesinya harus benar-benar dipahami dokter sebagai pengemban hak dan kewajiban.

b. Perawat

Perawat adalah profesi yang sifat pekerjaannya selalu berada dalam situasi yang menyangkut hubungan antar manusia, terjadi proses interaksi serta saling memengaruhi dan dapat memberikan dampak terhadap tiap-tiap individu yang bersangkutan.9 Menurut hasil Lokakarya Keperawatan Nasional Tahun 1983, perawat adalah suatu bentuk pelayanan professional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu pelayanan bio-psiko-sosio-spiritual yang komprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga, dan masyarakat baik yang sakit maupun sehat yang mencakup seluruh siklus hidup manusia.10

Sebagai suatu profesi perawat mempunyai kontrak sosial dengan masyarakat, yang berarti masyarakat memberikan kepercayaan bagi perawat untuk

8

Anny Isfandyarie. Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter Buku I ( Prestasi Pustaka: Jakarta, 2006), hlm. 3

9

Mimin Emi. Etika Keperawatan Aplikasi Pada Praktik (Kedokteran EGC: Jakarta, 2004), hlm. 4

10

Sri Praptianingsih. Kedudukan Hukum Keperawatan dalam Upaya Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm.25


(28)

menerus memelihara dan meningkatkan mutu pelayanan yang diberikan. Peraturan Menteri Kesehatan No. HK. 02. 02 /MENKES /148 I /2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat. Pasal 1 ayat (1) menjelaskan defenisi perawat adalah seorang yang telah lulus pendidikan perawat, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pada proses hubungan antara perawat dengan pasien, pasien mengutarakan masalahnya dalam rangka mendapatkan pertolongan yang artinya pasien mempercayakan dirinya terhadap asuhan keperawatan yang diberikan.

c. Bidan

Bidan adalah profesi yang diakui secara nasional maupun internasional oleh sejumlah praktisi diseluruh dunia. Defenisi bidan menurut International Confederation of Midwife (ICM) Tahun 1972 adalah seseorang yang telah menyelesaikan program pendidikan bidan yang diakui oleh negara serta memperoleh kualifikasi dan diberi izin untuk menjalankan praktik kebidanan di negeri tersebut, bidan harus mampu memberi supervisi, asuhan, dan memberi nasihat yang dibutuhkan wanita selama hamil, persalinan, dan masa pasca persalinan, memimpin persalinan atas tanggung jawabnya sendiri serta asuhan pada bayi lahir dan anak.11 Asuhan ini termasuk tindakan preventif, pendeteksian kondisi abnormal pada ibu dan bayi, dan mengupayakan bantuan medis serta melakukan tindakan pertolongan gawat-darurat pada saat tidak ada tenaga medis lain.

Defenisi bidan di Indonesia adalah seorang wanita yang telah mengikuti dan menyelesaikan pendidikan kebidanan yang telah diakui pemerintah dan telah

11

Atik Purwandi. Konsep Kebidanan Sejarah & Profesionalisme (Kedokteran EGC: Jakarta, 2008), hlm. 5


(29)

lulus ujian sesuai dengan persyaratan yang berlaku dan memperoleh kualifikasi untuk registrasi dan memperoleh izin.12 Secara otentik Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan No. HK. 02. 02. /MENKES /149 /2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan menjelaskan yang dimaksud dengan bidan adalah seorang perempuan yang lulus dari pendidikan yang telah teregistrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Bidan mempunyai tugas penting dalam konsultasi dan pendidikan kesehatan, tidak hanya untuk wanita sebagai pasiennya tetapi termasuk komunitasnya. Pendidikan tersebut termasuk antenatal, keluarga berencana dan asuhan anak.

d. Apoteker

Menurut ketentuan Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, apoteker ialah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker. Adapun tugas yang dimiliki oleh seorang apoteker dalam melakukan pelayanan kesehatan diatur dalam PP 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian adalah sebagai berikut:

a. Melakukan pekerjaan kefarmasian termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat, dan obat tradisional.

b. Membuat dan memperbaharui SOP (Standard Operational Procedure) baik di industri farmasi.

c. Memenuhi ketentuan cara distribusi yang baik yang ditetapkan oleh menteri, saat melakukan pekerjaan kefarmasian dalam distribusi atau penyaluran

12 Ibid


(30)

sediaan farmasi, termasuk pencatatan segala sesuatu yang berkaitan dengan proses distribusi atau penyaluran sediaan farmasi.

d. Sebagai penanggung jawab di industri farmasi pada bagian pemastian mutu (quality Assurance), produksi, dan pengawasan mutu.

e. Sebagai penanggung jawab fasilitas pelayanan kefarmasian yaitu di apotek, di instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat, atau praktek bersama.

f. Melakukan pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) di apotek untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap sadiaan farmasi dalam rangka pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat.

g. Menjaga kerahasiaan kefarmasian di industri farmasi dan di apotek yang menyangkut proses produksi, distribusi dan pelayanan dari sediaan farmasi termasuk rahasia pasien.

Pelayanan kegiatan kesehatan dapat diperoleh mulai dari tingkat puskesmas, rumah sakit umum/swasta, klinik dan institusi pelayanan kesehatan lainnya diharapkan kontribusinya agar lebih optimal dan maksimal. Masyarakat atau pasien dalam hal ini menuntut pihak pelayanan kesehatan yang baik dari beberapa institusi penyelenggara di atas agar kinerjanya dapat dirasakan oleh pasien dan keluarganya, dilain pihak pemerintah belum dapat menerapkan aturan pelayanan kesehatan secara tepat, sebagaimana yang diharapkan karena adanya keterbatasan-keterbatasan. Untuk meningkatkan pelayanan kesehatan dibutuhkan tenaga kesehatan yang baik, terampil dan fasilitas rumah sakit yang baik, tetapi tidak semua institusi pelayanan medis tersebut memenuhi kriteria tersebut, sehingga meningkatkan kerumitan sistem pelayanan kesehatan dewasa ini.


(31)

4. Hubungan Hukum dalam Pelayanan Kesehatan

Hubungan hukum antara pasien dengan penyelenggara kesehatan dan pihak pelayanan kesehatan (dalam hal ini rumah sakit, dokter, perawat, bidan) dalam melakukan hubungan pelayanan kesehatan. Pertama adalah hubungan medis yang diatur oleh kaedah-kaedah medis, dan kedua adalah hubungan hukum yang diatur oleh kaedah-kaedah hukum baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Hubungan hukum yang terjadi dalam pelayanan medis ialah berdasarkan perjanjian yang bertujuan untuk melakukan pelayanan dan pengobatan pasien demi kesembuhan pasien.13

Upaya pelayanan kesehatan di rumah sakit bertolak dari hubungan dasar dalam bentuk transaksi terapeutik. Transaksi terapeutik sebagai suatu transaksi mengikat antara pihak pemberi pelayanan dengan pasien sebagai penerima pelayanan dalam perikatan transaksi terapeutik tersebut. Untuk menilai sahnya perjanjian hubungan hukum dalam pelayanan kesehatan tersebut diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, bahwa unsur-unsur syarat perjanjian dalam transaksi terapeutik meliputi:

a. Adanya sepakat dari mereka yang mengikatkan dirinya. b. Adanya kecakapan antara pihak membuat perikatan. c. Suatu hal tertentu yang diperbolehkan.

d. Karena suatu sebab yang halal.

Pelaksanaan dan pengaplikasian perjanjian itu sendiri harus dilaksanakan dengan itikad baik sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 dan Pasal 1339 KUHPerdata dan

13

Hermien Hadiati Koeswadji . Hukum Kedokteran (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998), hlm. 101


(32)

perikatan tersebut berdasarkan perikatan usaha yang berdasarkan prinsip kehati-hatian.

Perikatan antara pemberi pelayanan kesehatan dengan pasien dapat dibedakan dalam dua bentuk perjanjian yaitu :

a. Perjanjian perawatan, dimana terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan pasien bahwa pihak rumah sakit menyediakan kamar perawatan serta tenaga perawatan melakukan tindakan penyembuhan.

b. Perjanjian pelayanan medis, di mana terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan pasien bahwa tenaga medis pada rumah sakit akan berupaya secara maksimal untuk menyembuhkan pasien melalui tindakan medis.14

Secara teoritis proses terjadinya pelayananan kesehatan diawali dengan keputusan pasien dan keluarganya untuk mendatangi dokter dan rumah sakit, kedatangan pasien dapat ditafsirkan untuk mengajukan penawaran (offer, aanbod) kepada dokter untuk meminta pertolongan dalam mengatasi masalah kesehatan yang dideritanya. Apabila pasien dan keluarganya menyetujui untuk menjalani pelayanan kesehatan di rumah sakit, maka rumah sakit bersedia untuk memberikan pelayanan kesehatan yang diperlukan pasien, maka hak dan kewajiban pasien dan rumah sakit timbul sejak pasien masuk ke rumah sakit dan sepakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.

Pasien dengan segala kewajibannya yang telah ditentukan oleh rumah sakit berhak atas pelayanan kesehatan sesuai dengan indikasi penyakit pasien tersebut. Dalam

14

Pengurus Besar IDI. Panduan Aspek Hukum Praktek Swasta Dokter, IDI, 1994, hlm.18. Dikutip dalam Buku Endang Kusuma Astuti, Transaksi Terapeutik Dalam Upaya Pelayanan Medis Di Rumah Sakit ( Citra Aditya Bakti: Bandung, 2009) hlm.94.


(33)

perjanjian ini kewajiban rumah sakit adalah melakukan penyediaan fasilitas perawatan yakni sarana alat kesehatan, dokter, tenaga kesehatan dengan tujuan memberikan pelayanan kesehatan yang optimal kepada pasien.

Perjanjian yang dilakukan antara pasien dan pemberi pelayanan kesehatan berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata dijadikan tolok ukur berdasarkan syarat sah terjadinya perjanjian antara pasien dan pemberi pelayanan kesehatan berdasarkan perjanjian terapeutik yang melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak dalam melaksanakan upaya penyembuhan.

Secara umum dalam hubungan hukum antara penyelenggara pelayanan kesehatan dengan pasien ialah upaya penyembuhan bukan merupakan perikatan hasil (resultaasverbitenis), melainkan perikatan usaha (inspanningsverbintenis) secara maksimal dan berdasarkan prinsip kehati-hatian yang hasilnya belum pasti. Sebaliknya pasien juga harus memberikan informasi secara jelas, lengkap dan jujur kepada dokter terkait dengan penyakit yang dideritanya. Sehingga, tidak menyebabkan kesalahpahaman antara kedua belah pihak guna tercapainya tujuan pelayanan kesehatan yang lebih optimal.

B.Rumah Sakit

Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna, yang menyediakan pelayanan rawat jalan, rawat inap, dan gawat darurat. Rumah sakit dalam bahasa Inggris disebut hospital. Kata hospital berasa dari kata bahasa Latin hospitali yang berarti tamu, secara lebih luas kata itu bermakna menjamu para tamu.


(34)

Rumah Sakit adalah salah satu sarana atau tempat menyelenggarakan pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, serta memiliki tujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Pelayanan kesehatan yang diselenggarakan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif), yang diselenggarakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan.15

1. Defenisi Rumah Sakit

Pengertian atau defenisi dari rumah sakit tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) UU Rumah Sakit, pengertian rumah sakit ialah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna,16 serta menyediakan pelayanan rawat jalan, rawat inap, dan gawat darurat.

Rumah sakit merupakan institusi yang mempunyai kemandirian untuk melakukan hubungan hukum yang penuh dengan tanggung jawab. Rumah sakit bukan (persoon) yang terdiri dari manusia sebagai (natuurlinjk persoon) melainkan rumah sakit diberikan kedudukan hukum sebagai (persoon) yang merupakan badan hukum (rechtspersoon) sehingga rumah sakit diberikan hak dan kewajiban menurut hukum.17

15

Charles J.P.Siregar. Farmasi Rumah Sakit Teori dan Penerapan (Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2003), hlm.7

16

Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan paripurna tingkat kedua adalah upaya kesehatan perorangan tingkat lanjut dengan mendayagunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan spesialistik.

17


(35)

Rumah sakit diselenggarakan berasaskan Pascasila dan didasarkan kepada nilai kemanusiaan,18 etika, dan profesionalitas,19 manfaat,20 keadilan,21 persamaan hak dan anti diskriminasi,22 pemerataan,23 perlindungan,24 dan keselamatan pasien,25 serta mempunyai fungsi sosial.26 Rumah sakit harus diselenggarkan oleh suatu badan hukum yang dapat berupa perkumpulan, yayasan atau perseroan terbatas.

2. Klasifikasi Rumah Sakit

Menurut Pasal 18 UU Kesehatan diatur bahwa rumah sakit dibagi berdasarkan jenis pelayanan dan pengelolaanya yaitu, sebagai berikut :

a. Jenis pelayanan yang diberikan rumah sakit dikategorikan dalam rumah sakit umum dan rumah sakit khusus.

18 Yang dimaksud dengan ”nilai kemanusiaan” adalah bahwa penyelenggaraan Rumah Sakit dilakukan dengan memberikan perlakuan yang baik dan manusiawi dengan tidak membedakan suku, bangsa, agama, status sosial, dan ras.

19Yang dimaksud dengan ”nilai etika dan profesionalitas” adalah bahwa penyelenggaraan rumah sakit dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki etika profesi dan sikap profesional, serta mematuhi etika rumah sakit.

20Yang dimaksud dengan ”nilai manfaat” adalah bahwa penyelenggaraan

Rumah Sakit harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dalam rangka mempertahankan dan meningkatakan derajat kesehatan masyarakat.

21Yang dimaksud dengan ”nilai keadilan” adalah bahwa penyelenggaraan Rumah Sakit mampu memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada setiap orang dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat serta pelayanan yang bermutu.

22Yang dimaksud dengan ”nilai persamaan hak dan anti diskriminasi” adalah bahwa penyelenggaraan Rumah Sakit tidak boleh membedakan masyarakat baik secara individu maupun kelompok dari semua lapisan.

23 Yang dimaksud dengan “nilai pemerataan” adalah bahwa penyelenggaraan Rumah Sakit menjangkau seluruh lapisan masyarakat.

24Yang dimaksud dengan ”nilai perlindungan dan keselamatan pasien”

adalah bahwa penyelenggaraan Rumah Sakit tidak hanya memberikan pelayanan kesehatan semata, tetapi harus mampu memberikan peningkatan derajat kesehatan dengan tetap memperhatikan perlindungan dan keselamatan pasien.

25Yang dimaksud dengan “nilai keselamatan pasien” adalah bahwa penyelenggaraan rumah sakit selalu mengupayakan peningkatan keselamatan pasien melalui upaya majamenen risiko klinik.

26Yang dimaksud dengan “fungsi sosial rumah sakit” adalah bagian dari tanggung jawab yang melekat pada setiap rumah sakit, yang merupakan ikatan moral dan etik dari rumah sakit dalam membantu pasien khususnya yang kurang/tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan akan pelayanan kesehatan.


(36)

1) Rumah sakit umum memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit yang masih dapat dikategorikan sebagai penanganan penyakit secara umum atau menyeluruh.

2) Rumah sakit khusus memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya.

b. Sedangkan berdasarkan pengelolaanya rumah sakit dibagi menjadi rumah sakit publik dan rumah sakit privat yaitu sebagai berikut :

1) Rumah sakit publik dapat dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan badan hukum yang bersifat nirlaba yang diselenggarakan berdasarkan pengelolaan Badan Layanan Umum atau Badan Layanan Umum Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dengan tidak dapat dialihkan menjadi Rumah Sakit Privat.

2) Rumah sakit privat dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit yang berbentuk Perseroan Terbatas atau Persero.

c. Klasifikasi berdasarkan Kepemilikan terdiri atas rumah sakit pemerintah, Rumah Sakit yang langsung dikelola oleh Departemen Kesehatan Klasifikasi berdasarkan kepemilikan terdiri atas Rumah Sakit pemerintah terdiri dari: 1) Rumah sakit yang langsung dikelola oleh Departemen Kesehatan, Rumah

Sakit pemerintah daerah, Rumah Sakit militer, Rumah Sakit BUMN, dan Rumah Sakit swasta yang dikelola oleh masyarakat.

2) Klasifikasi berdasarkan jenis pelayanan

Klasifikasi berdasarkan jenis pelayanannya, rumah sakit terdiri atas Rumah Sakit Umum, memberi pelayanan kepada pasien dengan beragam jenis


(37)

penyakit dan Rumah Sakit Khusus, memberi pelayanan pengobatan khusus untuk pasien dengan kondisi medik tertentu baik bedah maupun non bedah. Contoh: rumah sakit kanker, rumah sakit bersalin.

3) Klasifikasi berdasarkan lama tinggal

Berdasarkan lama tinggal, rumah sakit terdiri atas rumah sakit perawatan jangka pendek yang merawat penderita kurang dari 30 hari dan rumah sakit perawatan jangka panjang yang merawat penderita dalam waktu rata-rata 30 hari.

4) Klasifikasi berdasarkan status akreditasi

Berdasarkan status akreditasi terdiri atas rumah sakit yang telah diakreditasi dan rumah sakit yang belum diakreditasi. Rumah sakit telah diakreditasi adalah rumah sakit yang telah diakui secara formal oleh suatu badan sertifikasi yang diakui, yang menyatakan bahwa suatu rumah sakit telah memenuhi persyaratan untuk melakukan kegiatan tertentu.

5) Klasifikasi Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Swasta

Klasifikasi rumah sakit umum maupun rumah sakit swasta diklasifikasikan menjadi Rumah sakit kelas A, B, C, dan D. Klasifikasi tersebut didasarkan pada unsur pelayanan, ketenagaan, fisik dan peralatan.

a) Rumah sakit kelas A, adalah rumah sakit yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik luas dan subspesialistik luas. b) Rumah sakit kelas B, adalah rumah sakit yang mempunyai fasilitas dan

kemampuan pelayanan medik sekurang-kurangnya sebelas spesialistik dan subspesialistik terbatas.


(38)

c) Rumah sakit kelas C, adalah rumah sakit yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik dasar.

d) Rumah sakit kelas D, adalah rumah sakit yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik.

3. Hak dan Kewajiban Rumah Sakit

Rumah sakit mempunyai hak-hak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 30 UU Rumah Sakit antara lain, sebagai berikut :

a. Menentukan jumlah, jenis, dan kualifikasi sumber daya manusia sesuai dengan klasifikasi rumah sakit.

b. Melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam rangka pengembangan pelayanan.

c. Menerima bantuan dari pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

d. Menggugat pihak yang mengalami kerugian. e. Mendapatkan pelindungan hukum.

f. Mempromosikan layanan kesehatan yang ada di rumah sakit.27

Kewajiban rumah sakit menurut Pasal 29 UU Rumah Sakit, disebutkan bahwa setiap rumah sakit mempunyai kewajiban sebagai berikut :

a. Memberikan informasi yang benar tentang pelayanan rumah sakit kepada masyarakat.

b. Memberikan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, nondiskriminasi dan efektif mengutamakan kepentingan pasien.

27


(39)

c. Memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya.

d. Menyediakan sarana dan prasarana pelayanan bagi masyarakat tidak mampu atau miskin.

e. Menyelenggarakan rekam medis.

f. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak dan kewajiban pasien.28

C.Alat Kesehatan

1. Defenisi dan Kegunaan Alat Kesehatan

Alat kesehatan dalam bahasa Inggris adalah Medical-Instrumen, dalam bahasa Indonesia adalah alat yang digunakan oleh tenaga medis yang memiliki kegunaan sebagai alat penunjang medis. Alat kesehatan memiliki kegunaan untuk mendukung dalam melakukan upaya pelayanan kesehatan terhadap pasien di rumah sakit, alat kesehatan yang disediakan oleh rumah sakit sebagai sarana pendukung penyelenggara pelayanan kesehatan.

Pengertian alat kesehatan menurut ketentuan Pasal 1 UU Rumah Sakit, ialah instrument, aparatus, mesin dan atau implant yang tidak mengandung obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang sakit, memulihkan kesehatan pada manusia, dan/ atau membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh.

28


(40)

Peralatan yang dioperasikan dan digunakan di rumah sakit baik peralatan medis dan nonmedis harus memenuhi standar pelayanan mutu, keamanan, keselamatan dan digunakan sesuai dengan indikasi medis pasien yang pengoperasian dan pemeliharaannya dilakukan oleh petugas yang mempunyai kompetensi dibidangnya.29

Kegunaan alat kesehatan berdasarkan tujuan penggunaanya diatur dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Kesehatan No. 1191 Tahun 2010 tentang Penyaluran Alat Kesehatan, yaitu:

a. Diagnosis, pencegahan, pemantauan, perlakuan atau pengurangan penyakit. b. Diagnosis, pemantauan, perlakuan, pengurangan atau kompensasi kondisi

sakit.

c. Penyelidikan, penggantian, pemodifikasian, mendukung anatomi atau proses fisiologis.

d. Mendukung atau mempertahankan hidup. e. Menghalangi pembuahan.

f. Desinfeksi alat kesehatan.

g. Menyediakan informasi untuk tujuan medis atau diagnosis melalui pengujian in vitro terhadap spesimen dari tubuh manusia.

Sedangkan Kegunaan alat kesehatan di rumah sakit terhadap upaya pelayanan kesehatan kepada pasien ialah sebagai berikut:

29


(41)

a. Alat instrument medis, alat-alat yang biasa digunakan oleh para tenaga kesehatan seperti dokter, perawat, dan bidan, khusus merupakan alat merawat pasien seperti testimeter dan stetoskop.

b. Alat bantu diagnostik dan terapi non elektro medis, alat-alat non elektrik yang biasanya digunakan oleh dokter, perawat, dan bidan untuk merawat pasien dengan kondisi yang lebih khusus.

c. Alat canggih, alat-alat modern yang dibuat secara khusus dengan tujuan dapat mengobati dan menanggulangi penyakit secara lebih cepat, tepat, dan akurat.

Kegunaan dari alat kesehatan sebagai sarana dan prasarana pendukung pelayanan kesehatan di rumah sakit berguna untuk kepentingan penyembuhan dan pemeliharaan pasien di rumah sakit, alat kesehatan berdasarkan nilai dan tujuan penggunaannya di operasikan berdasarkan kompetensi tenaga keahlian kesehatan sehingga tujuan dan kegunaan alat kesehatan dalam hal ini dapat dipergunakan untuk mengobati dan menanggulangi penyakit secara aman, bermutu, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan kesehatan di rumah sakit sebagai acuan dalam melayani pasien.

2. Jenis dan Klasifikasi Alat kesehatan

Peningkatan mutu pelayanan penunjang medik dan sarana kesehatan di rumah sakit berkaitan erat dengan tersedianya sarana dan prasarana kesehatan yang memenuhi persyaratan. Dalam Pasal 7 UU Rumah Sakit diatur bahwa rumah sakit harus memenuhi persyaratan lokasi, bangunan, prasarana, sumber daya manusia, kefarmasian dan peralatan.


(42)

Untuk mewujudkan hal tersebut perlu dibuat kebijakan, program dan kegiatan yang sistematis dan terencana agar memenuhi standar fasilitas peralatan kesehatan di rumah sakit sesuai dengan amanah UU Kesehatan dan UU Rumah Sakit, bahwa peralatan medis dan non medis harus memenuhi standar pelayanan, persyaratan mutu, keselamatan dan layak pakai. Alat kesehatan di rumah sakit dapat di tinjau dari berbagai jenis dan klasifikasi berupa :

a. Penggolongan alat kesehatan menurut fungsinya

Penggolongan alat kesehatan berupa peralatan medis dan peralatan non medis yang bertujuan utuk menunjang upaya pelayanan kesehatan di rumah sakit. b. Penggolongan alat kesehatan menurut sifat pemakaiannya

Penggolongan peralatan kesehatan menurut sifat pemakaiannya dapat di bedakan menjadi dua yaitu pemakaian peralatan habis pakai (consumable) dan pemakaian yang dapat dilakukan secara terus- menerus.

c. Penggolongan alat kesehatan menurut kegunaannya

Hal ini alat kesehatan memiliki tingkat pemberian pelayanan (cure and care) yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi kepada pasien harus berdasarkan ukuran maupun standar guna kepentingan pelayanan yang berdasarkan mutu dan keamanan pasien dapat dibagi kedalam bentuk alat kesehatan seperti, peralatan THT, peralatan bedah, peralatan obgyn, peralatan gigi, peralatan ortophedi.

d. Penggolongan alat kesehatan menurut umur peralatan

Penggolongan alat kesehatan sesuai dengan masa atau jangka waktu pemakaian alat kesehatan serta sistem penghapusannya dapat di golongkan menjadi:


(43)

1) Yang tidak memerlukan pemeliharaan dan hanya dapat dipakai satu kali pakai (disposable) atau yang habis terpakai (consumable) atau yang memiliki “unit cost” rendah seperti jarum suntik, pinset atau penjepit alat bedah, gunting dan alat bedah.

2) Alat-alat yang bersifat memiliki urgentcy, atau alat kesehatan yang memiliki waktu penyusutan lebih dari 5 tahun seperti peralatan laboratorium, dan peralatan ruang bedah.

3) Alat-alat berat dengan waktu penyusutan lebih dari 5 tahun dikaitkan dengan bangunan dimana alat tersebut ditempatkan yaitu berupa X-ray, alat sterilisasi, dan perlengkapan kamar bedah.

e. Penggolongan alat kesehatan menurut macam dan bentuknya

Alat kesehatan yang dapat digolongkan berdasarkan alat-alat kecil umum yang di gunakan dalam penanganan medis pasien berupa, jarum suntik, alat bedah, alat THT, alat dokter gigi, alat ortophedik. Berbagai jenis alat kesehatan yang berfungsi sebagai alat perlengkapan rumah sakit seperti, meja operasi, autoclave, alat sterilisasi, lampu operasi, unit perlengkapan kedokteran gigi, dan alat-alat laboratorium.

Penggolongan menurut Alat Medis Habis Pakai (AMHP) yang dapat diklaim terpisah adalah hanya ialah sebagai berikut:

a. Intra Ocular Lens (IOL). b. J Stent (Urologi).

c. Stent Arteri (Jantung). d. VP Shunt (Neurologi). e. Mini Plate (Gigi).


(44)

f. Implant Spine dan Non Spine (Orthopedi). g. Prothesa (Kusta).

h. Alat Vitrektomi (Mata).

i. Pen (alat bantu penyambung tulang). j. Pompa Kelasi (Thalassaemia).

k. Kateter Double Lumen (Hemodialisa). l. Implant (Rekonstruksi kosmetik). m.Stent (Bedah, THT, Kebidanan).

Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan No. 1191 Tahun 2010 tentang Penyaluran Alat Kesehatan berbunyi, produk alat kesehatan yang beredar harus memenuhi standar dan/atau persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan. Dengan demikian pengklasifikasian alat kesehatan di rumah sakit menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 1191 Tahun 2010 tentang Penyaluran Alat Kesehatan merupakan kebijakan yang dilaksanakan pemerintah yang bertujuan untuk memberikan pedoman terhadap rumah sakit agar program dan kegiatan pemeliharaan dan pengobatan terhadap pasien di rumah sakit terlaksana secara sistematis dan terencana dan memenuhi standar keamanan penggunaan alat kesehatan.

D.Pasien

1. Defenisi Pasien

Pasien adalah seseorang yang menerima perawatan medis. Kata pasien dari bahasa Indonesia analog dengan kata patient dari bahasa Inggris. Patient diturunkan dari


(45)

bahasa Latin yaitu patiens yang memiliki kesamaan arti dan kata kerja pati yang artinya menderita. Sedangkan menurut KBBI, pasien adalah orang sakit (yang dirawat dokter), penderita (sakit).30

Pasien adalah orang sakit yang membutuhkan bantuan dokter untuk menyembuhkan penyakit yang dideritanya, pasien dapat diartikan juga adalah orang sakit yang awam mengenai penyakitnya.31 Menurut aturan Pasal 1 ayat (10) UU Praktik Kedokteran, pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi. Pasien adalah subjek yang memiliki pengaruh besar atas hasil akhir layanan, bukan hanya sekedar objek. Hak- hak pasien harus dipenuhi mengingat kepuasan pasien menjadi salah satu barometer mutu pelayanan di rumah sakit. Oleh karena itu harapan pasien sebagai penerima pelayanan medis meliputi:

1) Pemberian pelayanan yang dijanjikan dengan segera dan memuaskan.

2) Membantu dan memberikan pelayanan dengan tanggap tanpa membedakan unsur SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan).

3) Jaminan keamanan, keselamatan, dan kenyamanan. 4) Komunikasi yang baik dan memahami kebutuhan pasien.32

Dengan demikian Pasien sebagai pihak atau subyek yang membutuhkan bantuan pelayanan kesehatan, memiliki hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang optimal untuk menyembuhkan penyakit yang dideritanya. ketidakpuasan pasien

30

Kamus Besar Bahasa Indonesia 31

Willa Candrawila. Hukum Kedokteran (Mandar Maju: Bandung, 2004), hlm.20 32

Titik Triwulan dan Shinta Febrina. Perlindungan Hukum bagi Pasien (Prestasi Pustaka: Jakarta, 2010), hlm. 27


(46)

terhadap pelayanan yang diberikan oleh tenaga medis dan rumah sakit dapat menjadi pangkal tuntutan hukum pasien untuk menuntut kerugian yang telah dilakukan pihak rumah sakit . 33

2. Hak- Hak Pasien

Pada awalnya isu tentang hak-hak pasien muncul berdasarkan berbagai peristiwa yang merugikan pasien, merugikan pasien dalam hal melanggar martabat pasien sebagai manusia. Hak-hak pasien pada dasarnya memiliki kemiripan dan merupakan bagian dari konsep hak asasi manusia.34 Hak-hak pasien cenderung meliputi hak-hak warga negara, hak-hak hukum dan hak moral. Hak-hak pasien yang secara luas dikenal menurut Megan meliputi:

a. Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang adil, memadai dan berkualitas.

b. Hak untuk diberi informasi.

c. Hak untuk dilibatkan dalam pembuatan keputusan tentang pengobatan dan perawatan.

d. Hak untuk memberikan informed consent. e. Hak untuk menolak suatu consent.

f. Hak untuk mengetahui nama dan status tenaga kesehatan penolong.35

Menurut Pasal 32 UU Rumah Sakit, diatur tentang hak-hak pasien yaitu:

a. Memperoleh informasi mengenai tata tertib dan pengaturan yang berlaku di rumah sakit.

33 Ibid. 34

Robert Priharjo, Pengantar Etika Keperawatan (kanisius: Yogyakarta, 1995), hlm. 43. 35


(47)

b. Memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien.

c. Memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi. d. Memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi

dan standar prosedur operasional.

e. Memperoleh layanan efektif dan efisien sehingga terhindar dari kerugian fisik dan materi.

f. Mengadukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan.

g. Memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginan dan peraturan yang berlaku di rumah sakit.

h. Meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik dalam maupun di luar rumah sakit. i. Mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk

data-data medisnya.

j. Mendapatkan informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko, dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan.

k. Memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya.

l. Didampingi keluarganya dalam keadaan kritis.

m.Menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya.

n. Memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di rumah sakit.


(48)

o. Mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan rumah sakit terhadap dirinya.

p. Menolak layanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya.

q. Menggugat dan/ atau menuntut rumah sakit apabila rumah sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana.

r. Mengeluhkan pelayanan rumah sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

E.Perlindungan Hukum

1. Defenisi Perlindungan Hukum

Kata perlindungan dalam bahasa Inggris adalah protection. Menurut kamus bahasa Inggris, Oxford Dictionary of Current English, kara protection (n) diartikan sebagai : protection or being protected, system of protecting, person or thing that protects. Bentuk kata kerjannya, protect (vt), artinya keep safe, guard.36 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan perlindungan adalah, tempat berlindung, perbuatan memperlindungi.37 Dalam kamus Hukum Black Law

36

Hornby, A.S. dan A P Cowie, Oxford Advance Learner’s Dictionary of Current English (London: Oxford University Press, 1974), hlm. 671.

37

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, cet. I, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hlm. 595.


(49)

Dictionary, protection (n) dapat diartikan, the act of protecting, protectionism, coverage.38

Pemaknaan kata perlindungan secara kebahasaan tersebut memiliki kemiripan atau kesamaan unsur-unsur, yaitu (1) unsur tindakan melindungi, (2) unsur pihak-pihak yang melindungi, dan (3) unsur cara-cara melindungi. Dengan demikian, kata pelindungan mengandung makna, yaitu suatu tindakan pelindungan atau tindakan melindungi dari pihak-pihak tertentu yang ditujukan untuk pihak tertentu dengan menggunakan cara-cara tertentu.39

Perlindungan hukum dapat diartikan sebagai perlindungan oleh hukum atau perlindungan dengan menggunakan pranata dan sarana hukum. Hukum dalam memberikan perlindungan dapat melalui cara-cara tertentu, yaitu dengan:

a. Membuat Peraturan (by giving regulation), bertujuan untuk: 1) Memberikan hak dan kewajiban.

2) Menjamin hak-hak para subyek hukum.

b. Menegakkan peraturan (by law enforcement), melalui:

1) Hukum administrasi negara yang berfungsi untuk mencegah (preventif) terjadinya pelanggaran hak-hak konsumen (pengguna tenaga listrik), dengan perjanjian dan pengawasan.

2) Hukum pidana yang berfungsi untuk menanggulangi (repressive) pelanggaran hak-hak konsumen listrik, dengan mengenakan sanksi pidana dan hukuman.

38

Bryan A. Garner, edt.,Black’s Law Dictionary (Minnesota: West Group, 1999), hlm. 1238.

39

Wahyu Sasongko, 2007, Ketentuan-ketentuan Pokok Hukum Pelindungan Konsumen, Penerbit UNILA, Bandar Lampung, hlm.30


(50)

3) Hukum perdata berfungsi untuk memulihkan hak (curative; recovery; remedy), dengan membayar kompensasi atau ganti kerugian.40

Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian hukum, kemanfaatan dan kedamaian. Oleh karena itu, diperlukan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan masyarakat agar kepentingan-kepentingannya tidak bertentangan dengan kepentingan sesama warga masyarakat.

2. Teori Perlindungan Hukum

Menurut Fizgerald, teori perlindungan hukum ialah bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan setiap individu dalam masyarakat, karena dalam suatu lalulintas kepentingan sosial perlindungan terhadap kepentingan tertentu dapat dilakukan dengan cara membatasi kepentingan di lain pihak.41 Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi.42 Perlindungan hukum dapat dilihat dari berbagai tahapan yakni perlindungan hukum yang lahir dari suatu ketentuan hukum masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara angota-angota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat.

40

Ibid, hlm. 31. 41

Satijipto Raharjo, Ilmu Hukum (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 53 42


(51)

Menurut Satijipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan oleh orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.43

Menurut Philipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif, dan represif. Perlindungan hukum preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan yeng bersikap kehati-hatian, sedangkan perlindungan represif bertujuan untuk penanganan suatu sengketa tertentu.44

Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, tidak lain ialah keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Perlindungan hukum dalam hal ini perlindungan yang diberikan kepada subjek hukum harus sesuai dengan aturan hukum, baik itu bersifat preventif maupun dalam bentuk yang bersifat represif, ataupun secara tertulis maupun secara tidak tertulis dalam rangka penegakan hukum. Oleh sebab itu pada hakekatnya setiap orang berhak mendapatkan perlindungan hukum, dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian hukum, kemanfaatan dan kedamaian, seperti yang dicita-citakan dan diimpikan oleh seluruh lapisan sosial masyarakat.

43

Ibid, hlm. 54 44

Maria Alfons, Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis atas Produk-Produk Masyarakat Lokal dalam Prespektif Hak Kekayaan Intelektual. (Malang: Universitas Brawijaya, 2010) hlm. 18


(52)

F. Kerangka Pikir

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, maka dibuat kerangka pikir sebagai berikut:

Rumah Sakit Pasien

Pelayanan Kesehatan

Pasal 54 ayat (1) UU

Kesehatan

Penggunaan Alat

Kesehatan

Standar Alat

Kesehatan Pasal 16

UU Rumah Sakit

Perlindungan Hukum Pasal 58 ayat (1) UU

Kesehatan

Tanggung Jawab Rumah Sakit Pasal 46 UU Rumah Sakit


(53)

Berdasarkan Skema di atas dapat dijelaskan bahwa:

Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna, Rumah sakit berperan sebagai fasilitas penyelenggara pelayanan kesehatan dan penyedia jasa pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan kepada masyarakat atau pasien.

Dalam menjalankan pelayanan kesehatannya rumah sakit tunduk pada ketentuan umum yang telah menjadi dasar hukum rumah sakit dalam melakukan pelayanan kesehatan yang diatur dalam Pasal 54 ayat (1) UU Kesehatan dijelaskan, bahwa penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara bertanggung jawab, aman, bermutu, serta merata dan nondiskriminatif. Rumah sakit sebagai institusi yang menjalankan pelayanan kesehatan, menyediakan dan mengoperasikan alat kesehatan harus memenuhi standar dan/atau persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan alat kesehatan dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, alat kesehatan merupakan sarana penunjang untuk mendukung rumah sakit dalam melakukan upaya pelayanan kesehatan dalam melayani pasien.

Sebagai institusi penyelenggara pelayanan kesehatan, khususnya dalam pelayanan kesehatan yang dengan menggunakan alat kesehatan, dalam Pasal 16 UU Rumah Sakit, bahwa rumah sakit memiliki kewajiban untuk menjalankan pelayanan kesehatan dengan menggunakan metode dan pedoman standar dalam penggunaan alat kesehatan, Dengan adanya standar pelayanan medis, khususnya dalam pelayanan medis dengan menggunakan alat kesehatan di rumah sakit dapat


(54)

menjamin perlindungan hukum yang diatur dalam Pasal 58 ayat (1) UU Rumah Sakit terhadap pasien dalam melaksanakan pelayanan kesehatan.

Pelayanan kesehatan terhadap pasien yang dilakukan oleh pihak rumah sakit terkadang tidak selalu berjalan dengan baik, terkadang tenaga kesehatan dapat melakukan kelalaian/kesalahan dalam menjalankan praktiknya. Sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka pasien dapat melakukan upaya hukum terhadap tindakan medis yang telah membahayakan keselamatannya, rumah sakit bertanggung jawab jika dituntut berdasarkan Pasal 46 UU Rumah Sakit, terhadap kerugian yang dialami oleh pasien, dan pasien dapat melakukan upaya hukum melalui gugatan terhadap rumah sakit.


(55)

III. METODE PENELITIAN

Penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran, secara sistematis, metodologis, dan konsisten. Sistematis artinya menggunakan sistem tertentu, metodologis artinya menggunakan metode atau cara tertentu dan konsisten berarti tidak ada hal yang bertentangan dalam kerangka tertentu. Penelitian sangat diperlukan untuk memperoleh data yang akurat sehingga dapat menjawab permasalahan sesuai dengan fakta atau data yang ada dan dapat mempertanggungjawabkan kebenaranya.45

A.Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang digunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.46 Penelitian ini akan mengkaji tentang tinjauan yuridis perlindungan pasien dalam pelayanan kesehatan yang menggunakan alat kesehatan di rumah sakit dengan melihat

45 Abdulkadir Muhammad. Hukum dan Penelitian Hukum (Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004), hlm. 2

46

Soerjono Soekanto & Sri Mamudji Penelitian Hukum Normatif (Rajawali Pres: Jakarta 2009), hlm. 13.


(56)

norma, peraturan perundang-undangan dan literatur yang terkait dengan perlindungan pasien dalam penggunaan alat kesehatan di rumah sakit.

B.Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan untuk menjawab permasalahan dan menguraikan pokok bahasan yang telah disusun dalam penelitian ini adalah tipe deskriptif, tipe deskriptif bertujuan untuk memperoleh pemaparan (deskripsi) secara lengkap, rinci, jelas, dan sistematis tentang beberapa aspek yang diteliti pada undang-undang, peraturan daerah, naskah kontrak atau objek kajian lainnya.47 Untuk itu, penelitian ini akan menggambarkan secara lengkap, rinci, jelas, dan sistematis mengenai tinjauan yuridis perlindungan pasien dalam pelayanan kesehatan yang menggunakan alat kesehatan di rumah sakit, yang didasari pada peraturan perundang-undangan yang terkait.

C.Pendekatan Masalah

Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, macam-macam pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah:

1. Pendekatan Undang-Undang (statue approach). 2. Pendekatan Kasus (case approach).

3. Pendekatan Historis (historical approach). 4. Pendekatan Konseptual (conceptual appoach).48

47

Abdulkadir Muhammad, Op, Cit, hlm. 102. 48

Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum (Kencana Prenada Group: Jakarta, 2008) hlm.93.


(57)

Penelitian yang dilakukan oleh penulis lebih ditujukan pada pendekatan undang. Pendekatan undang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi.49

D.Data dan Sumber Data

Jenis data dapat dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka.50 Adapun dalam mendapatkan data atau jawaban yang tepat dalam membahas skripsi ini, serta sesuai dengan pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini maka jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan bahan-bahan hukum yang terdiri dari:

1. Bahan hukum primer, yaitu data normatif yang bersumber dari perundang-undangan yang menjadi tolok ukur terapan. Bahan hukum primer meliputi: a. Undang-Undang Dasar 1945.

b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

c. Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. d. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

e. Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

f. Peraturan Menteri Kesehatan No. 1191 Tahun 2010 tentang Penyaluran Alat Kesehatan.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu dalam menganalisa serta memahami

49

Ibid, hlm. 93. 50


(58)

bahan hukum primer, seperti literatur dan norma-norma hukum yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini.

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang diperoleh dari kamus, pedoman penulisan karya ilmiah, internet dan informasi lainnya yang mendukung penelitian.51

E.Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan cara studi kepustakaan (liberary research). Studi kepustakaan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan penulis dengan maksud untuk memperoleh data skunder dengan cara membaca, mencatat, dan mengutip dari berbagai literatur, peraturan perundang-undangan, buku-buku, media masa, dan bahan tulisan lainnya yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan.

F. Pengolahan Data

Data yang diperoleh baik dari hasil studi kepustakaan selanjutnya diolah dengan menggunakan metode:

a. Pemeriksaan data (editing), yaitu data yang diperoleh diperiksa apakah masih terdapat kekurangan serta apakah data tersebut sesuai dengan permasalahan. b. Rokonstruksi data, (reconstructing), yaitu menyusun ulang data secara teratur,

berurutan, logis, sehingga mudah dipahami dan diinterpretasikan.

51


(59)

c. Sistematisi data (sistematizing), yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap pokok bahasan secara sistematis sehingga memudahkan pembahasan.52

G.Analisis Data

Setelah dilakukan pengolahan data, selanjutnya data dianalisis secara kualitatif, yang artinya hasil penelitian ini dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat-kalimat yang mudah dimengerti untuk ditarik kesimpulan sehingga diperoleh gambaran yang jelas mengenai jawaban dari permasalahan yang dibahas.

52


(60)

V. PENUTUP

A.Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Pasal 58 ayat (1) UU Rumah Sakit, memberikan perlindungan dan kepastian hukum akan keselamatan pasien yang wajib dijunjung tinggi dalam pelayanan kesehatan. Rumah sakit sebagai salah satu penyelenggara pelayanan kesehatan khususnya denggan menggunakan alat kesehatan wajib menerapkan standar penggunaan alat kesehatan berdasarkan Pasal 16 UU Rumah Sakit, selain menerapkan dan menyediakan alat kesehatan yang standar dan layak pakai, dokter/dokter gigi sebagai pelaksana pelayanan kesehatan di rumah sakit juga dituntut untuk menerapkan ketentuan Pasal 3 UU Praktik Kedokteran, dimana dokter/dokter gigi berkewajiban memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap pasien yang bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.

2. Tanggung Jawab rumah sakit dalam pelayanan kesehatan tunduk pada ketentuan Pasal 46 UU Rumah Sakit. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pasien ialah dengan dua bentuk upaya hukum, upaya nonlitigasi dan/atau litigasi. Namun sebelum melakukan upaya hukum litigasi, pasien disarankan


(61)

untuk terlebih dahulu menyelesaikan sengketa medis melalui proses mediasi, sebagaimana tertuang pada Pasal 29 UU Kesehatan. Pasien dapat mengajukan gugatan hukum secara perdata terhadap rumah sakit berdasarkan gugatan wanprestasi berdasarkan Pasal 1239 KUHPerdata dan perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata. Pasal 1367 KUHPerdata dapat dipakai sebagai dasar hukum pasien untuk menuntut rumah sakit. Pasien dapat menuntut rumah sakit berdasarkan klausul Pasal 1367 KUHPerdata bahwa, pertanggungjawaban rumah sakit terhadap tindakan atau perbuatan orang-orang yang berada di bawah pengawasanya, prinsip ini dikenal dengan doktrin (respondeat superior). Bentuk pertanggungjawaban rumah sakit yaitu dengan memberikan ganti kerugian dengan sejumlah uang dan pemulihan kesehatan terhadap pasien.


(1)

bahan hukum primer, seperti literatur dan norma-norma hukum yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini.

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang diperoleh dari kamus, pedoman penulisan karya ilmiah, internet dan informasi lainnya yang mendukung penelitian.51

E.Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan cara studi kepustakaan (liberary research). Studi kepustakaan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan penulis dengan maksud untuk memperoleh data skunder dengan cara membaca, mencatat, dan mengutip dari berbagai literatur, peraturan perundang-undangan, buku-buku, media masa, dan bahan tulisan lainnya yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan.

F. Pengolahan Data

Data yang diperoleh baik dari hasil studi kepustakaan selanjutnya diolah dengan menggunakan metode:

a. Pemeriksaan data (editing), yaitu data yang diperoleh diperiksa apakah masih terdapat kekurangan serta apakah data tersebut sesuai dengan permasalahan. b. Rokonstruksi data, (reconstructing), yaitu menyusun ulang data secara teratur,

berurutan, logis, sehingga mudah dipahami dan diinterpretasikan.

51


(2)

45

c. Sistematisi data (sistematizing), yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap pokok bahasan secara sistematis sehingga memudahkan pembahasan.52

G.Analisis Data

Setelah dilakukan pengolahan data, selanjutnya data dianalisis secara kualitatif, yang artinya hasil penelitian ini dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat-kalimat yang mudah dimengerti untuk ditarik kesimpulan sehingga diperoleh gambaran yang jelas mengenai jawaban dari permasalahan yang dibahas.

52


(3)

V. PENUTUP

A.Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Pasal 58 ayat (1) UU Rumah Sakit, memberikan perlindungan dan kepastian hukum akan keselamatan pasien yang wajib dijunjung tinggi dalam pelayanan kesehatan. Rumah sakit sebagai salah satu penyelenggara pelayanan kesehatan khususnya denggan menggunakan alat kesehatan wajib menerapkan standar penggunaan alat kesehatan berdasarkan Pasal 16 UU Rumah Sakit, selain menerapkan dan menyediakan alat kesehatan yang standar dan layak pakai, dokter/dokter gigi sebagai pelaksana pelayanan kesehatan di rumah sakit juga dituntut untuk menerapkan ketentuan Pasal 3 UU Praktik Kedokteran, dimana dokter/dokter gigi berkewajiban memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap pasien yang bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.

2. Tanggung Jawab rumah sakit dalam pelayanan kesehatan tunduk pada ketentuan Pasal 46 UU Rumah Sakit. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pasien ialah dengan dua bentuk upaya hukum, upaya nonlitigasi dan/atau litigasi. Namun sebelum melakukan upaya hukum litigasi, pasien disarankan


(4)

79

untuk terlebih dahulu menyelesaikan sengketa medis melalui proses mediasi, sebagaimana tertuang pada Pasal 29 UU Kesehatan. Pasien dapat mengajukan gugatan hukum secara perdata terhadap rumah sakit berdasarkan gugatan wanprestasi berdasarkan Pasal 1239 KUHPerdata dan perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata. Pasal 1367 KUHPerdata dapat dipakai sebagai dasar hukum pasien untuk menuntut rumah sakit. Pasien dapat menuntut rumah sakit berdasarkan klausul Pasal 1367 KUHPerdata bahwa, pertanggungjawaban rumah sakit terhadap tindakan atau perbuatan orang-orang yang berada di bawah pengawasanya, prinsip ini dikenal dengan doktrin

(respondeat superior). Bentuk pertanggungjawaban rumah sakit yaitu dengan memberikan ganti kerugian dengan sejumlah uang dan pemulihan kesehatan terhadap pasien.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

a. Buku-buku

Andi, Hamzah, Kamus Hukum. 2005. Ghalia Indonesia

Azwar, Azrul, Pengantar Administrasi Kesehatan. Binarupa Aksara, Jakarta. Endang, Kusuma Astuti. 2009. Transaksi Terapeutik dalam Pelayanan Medis di

Rumah Sakit. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Hermien, Hadiati Koewadji. 2002. Hukum untuk Perumahsakitan. Citra Aditya Bakti, Bandung.

---,1998. Hukum Kedokteran. Citra Aditya Bakti, Bandung.

J. Guwandi, Hukum Medik(Medical Law). 2004. Fakultas Kedokteran Indonesia. Johan, Bahder Nasution. 2005. Hukum Kesehtan Pertanggungjawaban Dokter.

Rineka Cipta, Surabaya.

Junaidi, Eddi. 2011. Mediasi dalam Penyelesaian Sengketa Medik, Rajawali Pers, Jakarta.

Kerbala, Husein. 1993. Segi-segi Etis dan Yuridis Informed Consent, Sinar Harapan, Jakarta.

Komalawati, Veronica. 2002. Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung

Muhammad, Abdulkadir. 2000. Hukum Perdata Indonesia. Citra Aditya Bakti, Bandung.

---, 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Citra Aditya Bakti, Bandung. ---, 2010. Hukum Perusahaan Indonesia. Citra Aditya Bakti, Bandung. Priharjo, Robert. 1995. Pengantar Etika Keperawatan. kanisius, Yogyakarta. Soerjono, Soekanto. 2012. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Raja Grafindo Persada,


(6)

Suryono, Indra. 2011. Penyelesaian Sengketa Kesehatan. Salemba Medika, Jakarta.

---, 2004. Penelitian Hukum Normatif. Rajawali Pers, Jakarta.

Siswati, Sri. 2013. Etika dan Hukum Kesehatan. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Titik, Triwulan dan Tautik Shinta Febrina dan. 2010. Perlindungan Hukum

Pasien. Prestasi Pustaka, Jakarta.

Wibowo, Agus. 2009. Cerdas Memilih Obat dan Mengenali Penyakit, Lingkar Pena.

Wila, Chandra Supriadi. 2001. Hukum Kedokteran. Mandar Maju, Bandung

b. Peraturan perundang-undangan Kitap Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

Peraturan Menteri Kesehatan No. 1191 Tahun 2010 tentang Penyaluran Alat Kesehatan

c. Website

http://news.detik.com/read/2011/10/11/003617/1741056/10/ diakses tanggal 20 juni 2014 Pukul: 13.30 WIB


Dokumen yang terkait

Determinan Kepuasan Pasien Jaminan Kesehatan Nasional (Jkn) Di Rumah Sakit Umum Daerah H. Abdul Manan Simatupang Kisaran

2 96 60

Pengaruh Persepsi Pasien Umum tentang Mutu Pelayanan terhadap Pemanfaatan Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat II Medan

9 101 131

Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen

0 78 194

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN SEBAGAI KONSUMEN PENGGUNA JASA PELAYANAN KESEHATAN RUMAH SAKIT

0 3 109

TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN ASURANSI KESEHATAN DALAM RANGKA MENINGKATKAN PELAYANAN KESEHATAN TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN ASURANSI KESEHATAN DALAM RANGKA MENINGKATKAN PELAYANAN KESEHATAN DI PUSKESMAS GONDANG KABUPATEN SRAGEN.

0 0 12

Kualitas Pelayanan Kesehatan Terhadap Pasien yang Menggunakan Jamkesmas di Rumah Sakit Umum Daerah Banyumas.

0 1 1

HALAMAN PERSETUJUAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN DALAM PELAYANAN KESEHATAN Di Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang

0 0 17

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN DALAM PELAYANAN KESEHATAN Di Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang - Unissula Repository

0 0 13

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN DALAM MENYAMPAIKAN KELUHAN PELAYANAN KESEHATAN DI RUMAH SAKIT MELALUI MEDIA MASSA - Unika Repository

0 1 15

PELAYANAN KESEHATAN KESEHATAN DAN DAN DAN PERLINDUNGAN PERLINDUNGAN PERLINDUNGAN HAK HAK TERHADAP TERHADAP PASIEN PASIEN PASIEN LANSIA LANSIA (STUDI (STUDI KASUS KASUS KASUS PADA PADA PADA RUMAH RUMAH RUMAH SAKIT SAKIT SAKIT PANTI PANTI PANTI WILASA WILAS

0 0 16