Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN RUMAH SAKIT TERHADAP

PASIEN DALAM JASA PELAYANAN KESEHATAN MENURUT

UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

TESIS

Oleh

NATALITA SOLAGRACIA SITUMORANG

077005084/HK

S

E K O L A H

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

PERTANGGUNGJAWABAN RUMAH SAKIT TERHADAP

PASIEN DALAM JASA PELAYANAN KESEHATAN MENURUT

UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

NATALITA SOLAGRACIA SITUMORANG

077005084/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : PERTANGGUNGJAWABAN RUMAH SAKIT

TERHADAP PASIEN DALAM JASA PELAYANAN KESEHATAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

Nama Mahasiswa : Natalita Solagracia Situmorang

Nomor Pokok : 077005084

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof.Dr.Ningrum Natasya Sirait,SH,MLI) Ketua

(Prof.Dr.Suhaidi,SH.MH) (Dr.T.Keizerina Devi A.,SH,CN,M.Hum)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Direktur


(4)

Tanggal lulus: 31 Agustus 2009 Telah diuji pada

Tanggal 31 Agustus 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof.Dr.Ningrum Natasya Sirait,SH,MLI

Anggota : 1. Prof.Dr.Suhaidi,SH.MH

2. Dr.T.Keizerina Devi A.,SH,CN,M.Hum 3. Prof.Dr.Tan Kamello,SH,M.S

4. Dr.Mahmul Siregar,SH, M.Hum


(5)

ABSTRAK

Perkembangan dunia medis sangat mempengaruhi fungsi rumah sakit sebagai penyedia jasa pelayanan kesehatan. Rumah sakit sering mengalami krisis pelayanan kesehatan, karena fungsi rumah sakit bukan saja tempat untuk berobat tetapi pelayanannya meliputi kegiatan yang bersifat kuratif, rehabilitatif, promotif, dan preventif.

Batas kewenangan dan tanggung jawab etik para tenaga kesehatan di rumah sakit harus sesuai dengan standard profesi, karna setiap tindakan medis yang dilakukan mempunyai hubungan hukum antara rumah sakit, dokter, dan pasien. Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan dalam tesis ini yaitu: Bagaimanakah tanggung jawab rumah sakit terhadap pasien dalam pelayanan jasa kesehatan di rumah sakit dan Apa saja alternatif penyelesaian sengketa yang terjadi antara pasien (konsumen) dengan pihak rumah sakit?.

Metode penelitian yang digunakan adalah analisis kualitatif yang bertujuan menggambarkan permasalahan yang berkaitan dengan pertanggungjawaban terhadap pasien di rumah sakit. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang dilakukan dalam upaya menganalisis data sekunder baik berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: tanggung jawab rumah sakit terhadap pasien dalam jasa pelayanan kesehatan adalah terlebih dahulu terletak pada direktur rumah sakit sebagai pelaku usaha. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 19 Undang-undang Perlindungan Konsumen No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Penerapan doktrin hospital liability menjadikan rumah sakit dapat dimintakan pertanggungjawaban perdata (ganti rugi) yang ditimbulkan orang yang dibawah perintahnya. Jadi, ada hubungan hukum antara rumah sakit dan pasien. Semua tanggung jawab atas pekerjaan tenaga kesehatan adalah menjadi beban tanggung jawab rumah sakit tempat mereka bekerja. Ketika, pasien merasa haknya terabaikan oleh pihak rumah sakit maka pasien sebagai konsumen dapat menuntut haknya melalui jalur pengadilan yaitu melalui peradilan umum dan di luar pengadilan dengan alternatif penyelesaian sengketa seperti mediasi, konsiliasi, dan arbitrase.

Saran dalam penelitian ini adalah: standard pelayanan kesehatan di rumah sakit harus ditingkatkan, agar pasien merasa puas dan nyaman, serta rumah sakit sebagai penyedia pelayanan kesehatan tidak hanya berorientasi pada bisnis sehingga melupakan fungsi rumah sakit sebagai lembaga sosial ekonomis. Agar pasien lebih terlindungi haknya maka harus ada payung hukum yang mengatur hak-hak pasien yaitu segera disahkannya Rancangan Undang Undang tentang Rumah Sakit.


(6)

ABSTRACT

Medical world growth very influencing of hospital function as made of health service. Hospital often experience of the crisis of health service, because hospital function not only place to medicinize but its service cover the activity having the character of curative, rehabilitatif, promotif, and preventif.

Boundary of authoritative and responsibility ethics of all ill health energy at home have to as according to profession standard, because of every medical action have the contractual terms between hospital, doctor, and patient. Based on the description above, the problem in this thesis included: How about the hospital responsibility to patient in ill health service at hospital? and Any kind of alternative of solving of dispute that happened between patient (consumer) with hospital?.

The method used was a descriptive analysis intended to describe the problem related to responsibility of patient in hospital. The approach used was jurudicial normative to analyze the secondary data either primary, secondary or tertiary legal materials.

The result of the study showed that hospital responsibility to patient in health service is beforehand lay by hospital director as perpetrator of effort. This matter pursuant to Section 19 of Consumer Protection Law about Consumer Protection. Applying of doctrine of hospital liability make the hospital can be asked by a civil responsibility (compensatory) what generated by one who at one's command. So, there is contractual terms of between hospital and patient. All responsibility for work of health energy is become the burden of their place hospital responsibility work. When, patient feel the uncared that rights by hospital party hence patient as consumer can pretent to passing justice band that is general court and extrajudical with the alternative of solving of dispute like mediation, consiliation, and arbitration.

The suggestion assumed in this study is that: standard of health service at hospital pain have to be improved, so patient lick lips and balmy, and also hospital as made of health service do not only orient at business so that forget the hospital function as economic social institute. So patient more protected by the rights hence law umbrella there must be arranging patient rights that is immediately ratifying of law about Hospital.

Keywords : Responsibility, Hospital, Customer Protection


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yesus Kristus karena kasihNya telah memberikan kesehatan dan kekuatan kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis yang merupakan salah satu syarat dalam meraih gelar Magister Humaniora pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dengan judul tesis “Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien

Dalam Jasa Pelayanan Kesehatan Menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen.”

Dalam penulisan tesis ini telah banyak pihak yang memberikan bantuan dan dukungan, tetapi Penulis menyadari bahwa tesis ini mungkin masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, Penulis mohon saran dan kritikan yang bersifat membangun demi kesempurnaan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa sejak awal, pertengahan hingga akhir penulisan tesis ini telah banyak pihak memberi bimbingan, bantuan, dan dukungan, untuk itu Penulis dengan tulus iklas mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Prof.Chairuddin P.Lubis, DTM&H, Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera

Utara.

2. Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B.,M.Sc selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.


(8)

3. Prof.Dr.Bismar Nasution,SH,MH selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU atas kesempatan yang diberikan dalam menyelesaikan tesis ini.

4. Prof.Dr.Ningrum Natasya Sirait,SH,MLI selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dengan penuh kesabaran dan banyak masukan sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

5. Prof.Dr.Suhaidi,SH.MH selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberi koreksi yang baik dan semangat untuk cepat-cepat menyelesaikan pendidikan tesis ini.

6. Dr.T.Keizerina Devi A.,SH,CN,M.Hum selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan masukan dalam penyelesaian tesis ini.

7. Prof.Dr.Tan Kamello,SH,M.S selaku anggota Komisi Penguji. 8. Dr.Mahmul Siregar,SH,M.Hum selaku Komisi Penguji.

9. Seluruh Guru Besar serta Dosen yang telah memberikan ilmunya dan membuka cakrawala berfikir Penulis selama mengikuti pendidikan Magister Ilmu Hukum. 10.Drs.Arnold Budiman Hutasoit selaku Ketua Yayasan Setia Budi Mandiri yang

telah memberikan banyak kelonggaran waktu dalam bekerja mulai dari proses perkuliahan sampai penyelesaian tesis ini.

11.Terkhusus kepada kedua orang tuaku yang terkasih Ayahanda Drs.Mananda Situmorang M.Si dan Dumaris Bako yang tidak henti-hentinya memberikan doa,


(9)

motivasi, perhatian dan cinta kasih selama pendidikan sampai proses penyelesaian tesis selesai. Beribu-ribu terima kasihku semoga Tuhan memberkati.

12.Abang tersayang Ferdinand Damenson,SE, Marton Tohap,SPd, dan juga adikku tersayang Manahan Credo,S.Kom dan Patar Immun terima kasih buat doa dan dukungannya. Walaupun kita semua berjauhan namun perhatian dan kasih sayang kalian tetap kurasakan dalam menyemangatiku untuk menyelesaikan pendidikan ini.

13.Kepada sahabatku Indah Lestari,SE dan Irma Uli,Spak terima kasih buat doa dan perhatiannya, dan juga buat Bona Fernandez,SH yang telah memberi motivasi dalam menyelesakan tesis ini.

14.Seluruh teman-teman Angkatan 2007 di Sekolah Magister Ilmu Hukum. Dan juga buat Febria Yanti, Bang Parlin Dony, Ibu Theresia, Gilang, Pak Verry, Guntur, Bang Abdilah terima kasih buat suka duka yang dirasakan dan dukungan selama menempuh pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 15.Teman-teman di Yayasan Setia Budi Mandiri buat Martin Sihombing S.Pd,

Debora Ambarita,SPd, Delores, Maya Andriani,SPd, dan teman-teman yang lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih buat dukungan sehingga Penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini tepat pada waktunya.

16.Tidak ketinggalan kepada keluarga di Palembang kota kenangan, buat keluarga besar Wahyu Siregar dan keluarga besar Tulus Sitohang terima kasih buat doanya, dan juga buat Hasian,ST dan Jimmy,ST terima kasih buat dukungannya.


(10)

Akhir kata Penulis berharap tesis ini dapat memberikan kontribusi bagi semua pihak yang berkepentingan dan diharapkan secepatnya agar disahkan Rancangan Undang-undang tentang Rumah Sakit Tahun 2008 menjadi Undang-Undang sehingga ada payung hukum yang melindungi hak pasien di Indonesia. Kiranya Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan berkat dan kasih karunia kepada kita semua.

Medan, Agustus 2009

Penulis


(11)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Natalita Solagracia Situmorang

Tempat/Tgl Lahir : Medan, 20 Desember 1985

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Kristen Protestan

Pendidikan : - Sekolah Dasar HKBP Padang Bulan Medan,

Tahun 1991-1997

- Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1O

Medan, Tahun 1997-2000

- Sekolah Menengah Atas Santo Thomas 2 Medan, Tahun 2000-2003

- Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang, Tahun 2003-2007

- Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Tahun 2007-2009


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ………... i

ABSTRACT ……… ii

KATA PENGANTAR ……….. iii

RIWAYAT HIDUP... vii

DAFTAR ISI ……… viii

DAFTAR LAMPIRAN……… x

BAB I PENDAHULUAN……….. 1

A. Latar Belakang………. 1

B. Perumusan Masalah………. 17

C. Tujuan Penelitian………. 18

D. Manfaat Penelitian………... 18

E. Keaslian Penelitian……… 19

F. Kerangka Teori dan Konsepsi……….. 19

1. Kerangka Teori……….. 19

2. Konsepsi……….... 27

G. Metode Penelitian……… 32

1. Sifat Penelitian……….. 32

2. Sumber Data………. 33

3. Teknik Pengumpulan Data……… 34

4. Metode Analisis Data... 35


(13)

BAB II ANALISIS TANGGUNG JAWAB RUMAH SAKIT

TERHADAP KONSUMEN (PASIEN) DI INDONESIA ... 37

A. Hukum Perlindungan Konsumen... 37

B. Sumber Peraturan Perlindungan Konsumen... 56

C. Hak dan Kewajiban Pasien sebagai Konsumen... 60

D. Hubungan Hukum Rumah Sakit, Dokter dan Pasien... 76

1. Hubungan hukum antara dokter dan pasien... 77

2. Hubungan hukum antara rumah sakit dan pasien... 82

E. Tanggung jawab Rumah Sakit... 85

1. Konsep Tanggung Jawab Pelaku Usaha... 85

2. Tanggung Jawab Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit 91 BAB III ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (PASIEN) DI RUMAH SAKIT ... 114

A. Ketentuan Umum Tentang Penyelesaian Sengketa Konsumen ... 114

B. Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Pengadilan... 124

C. Penyelesaian Sengketa Konsumen di Luar Pengadilan... 129

D. Sanksi bagi Pelaku Usaha... 144

E. Lembaga Penunjang Perlindungan Konsumen... 146

F. Analisis Kasus Rumah Sakit Elisabeth dengan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)... 153

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN... 172

A. Kesimpulan... 172

B. Saran... 173


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Pemerintah Kota Medan

181


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam dunia medis yang semakin berkembang, peranan rumah sakit sangat penting dalam menunjang kesehatan dari masyarakat. Maju atau mundurnya masyarakat akan sangat ditentukan oleh keberhasilan dari pihak-pihak yang bekerja di rumah sakit, dalam hal ini dokter, perawat dan orang-orang yang berada di tempat tersebut. Dari pihak rumah sakit diharapkan mampu memahami konsumennya secara keseluruhan agar dapat maju dan berkembang.1

Dalam pelayanan kesehatan, rumah sakit harus memperhatikan etika profesi tenaga yang bekerja di rumah sakit yang bersangkutan. Akan tetapi, tenaga professional yang bekerja di rumah sakit dalam memberikan putusan secara professional adalah mandiri. Putusan tersebut harus dilandaskan atas kesadaran, tanggung jawab dan moral yang tinggi sesuai dengan etika profesi masing-masing.2

Dalam pemberian pelayanan kesehatan terkait beberapa komponen seperti tenaga kesehatan3, sarana kesehatan4, upaya kesehatan5, dan pasien6. Pelayanan jasa

1

Henny Saida Flora, http://www.freewebs.com/pencegahanberspektifpasien/implikasihukum.html, diakses 25 Maret 2009

2 Ibid 3

Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan keterampilan melalui pendidikan bidang kesehatan yang untuk sejenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Pasal 1 ayat (3) Undang-undang No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

4

Sarana Kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan. Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.


(16)

kesehatan ini dapat diperoleh konsumen di tempat-tempat penyediaan jasa pelayanan kesehatan, umumnya diperoleh melalui jasa perorangan, misalnya praktek dokter, dokter gigi, bidan, dan yang diperoleh melalui lembaga pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, balai pengobatan, rumah bersalin, apotik dan sejenisnya.7

Pelayanan kesehatan merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkat derajat kesehatan baik perorangan maupun kelompok atau masyarakat secara keseluruhan. Azwar yang mengutip pendapat Lavey dan Loomba mengatakan bahwa yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan ialah setiap upaya baik yang diselenggarakan sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk meningkatkan dan memelihara kesehatan, mencegah penyakit, mengobati penyakit dan memulihkan kesehatan yang ditujukan terhadap perorangan, kelompok atau masyarakat.8

Dalam pelayanan kesehatan, terdapat dua kelompok yang perlu dibedakan, yaitu :9

5

Upaya Kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat. Pasal 1 ayat (2) Undang-undang No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

6

Pasien adalah orang yang mendapatkan pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan kepada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan biopsiko-sosio spritual yang komprehensif, yang ditujukan kepada individu maupun keluarga dan masyarakat, baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia. Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter (Surabaya: Rineka Cipta), 2005, hal 10.

7

R.Sianturi, Perlindungan konsumen dilihat dari sudut peraturan perundang-undangan Kesehatan. Simposium Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Bina Cipta, 2000), hal.31.

8

Hendrojono Soewono, Batas Pertanggungjawaban Hukum Malpraktek Dokter dalam

Transaksi Terapeutik (Surabaya: Srikandi, 2005) hal.100.

9

Rio Christiawan, Aspek Hukum Kesehatan Dalam Upaya Medis Transplantasi Organ Tubuh (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2003), hal.1.


(17)

1. Health Receivers, yaitu penerima pelayanan kesehatan. Yang termasuk dalam

kelompok ini: pasien, yaitu orang yang sakit; mereka yang ingin memelihara/meningkatkan kesehatannya, misalnya ingin divaksinasi atau wanita hamil yang memeriksakan kandungannya.

2. Health Providers, yaitu pemberi pelayanan kesehatan.

Contohnya: Medical providers yaitu dokter dan tenaga bidang kesehatan lain, misalnya apoteker, asisten apoteker, bidan, perawat, analis/laboran, ahli gizi dan lain-lain.

Dalam pelayanan kesehatan terutama di rumah sakit, sering timbul pelanggaran etik dimana perkembangan teknologi kesehatan juga mempengaruhi terjadinya pelanggaran etik, karena pemilihan teknologi kesehatan yang tidak didahului dengan pengkajian teknologi dan pengkajian ekonomi, akan memunculkan tindakan yang tidak etis dengan membebankan biaya yang tidak wajar. Diterapkannya standar operasional dalam pelayanan kesehatan itu bertujuan untuk mengatur sampai sejauh mana batas-batas kewenangan dan tanggung jawab etik dan hukum dokter terhadap pasien, maupun tanggung jawab rumah sakit terhadap

medical staff dan sebaliknya. Standar operasional ini akan mengatur hubungan antara

tenaga medis dengan sesama teman sejawat dokter dalam satu tim, tenaga medis dengan para medis, serta merupakan tolak ukur bagi seorang dokter untuk menilai


(18)

dapat tidaknya dimintakan pertanggungjawaban hukumnya jika terjadi kerugian bagi pasien.10

Standar pelayanan kesehatan di rumah sakit merupakan pengaturan teknis klinis yang sifatnya lebih detail dan berpedoman pada standar praktik keperawatan dan standar pelayanan rumah sakit itu sendiri sesuai dengan kondisi rumah sakit yang bersangkutan. Penamaan tentang standar pelayanan kesehatan untuk setiap rumah sakit berbeda-beda, ada yang menggunakan nama formularium diagnosis dan terapi, ada yang menamakannya dengan standar dan prosedur tetap konsultasi medis, dan ada juga yang menggunakan nama prosedur tetap rumah sakit.11

Rumah sakit adalah tempat berkumpul sebagian besar tenaga kesehatan dalam menjalankan profesinya seperti dokter, dokter gigi, apoteker, perawat, bidan, nutrisionis, fisioterapis, ahli rekam medik, dan lain-lain. Masing-masing disiplin ini umumnya telah mempunyai etik profesi yang harus diamalkan anggotanya. Begitu pula rumah sakit sebagai institusi dalam pelayanan kesehatan juga telah mempunyai etika yang ada di Indonesia yang terhimpun dalam Etik Rumah Sakit Indonesia (ERSI). Dengan demikian dalam menjalankan pelayanan kesehatan masing-masing profesi harus berpedoman pada etika profesinya dan harus pula memahami etika profesi disiplin lainnya apalagi dalam wadah dimana mereka berkumpul (rumah sakit), agar tidak saling berbenturan.12

10

Op.Cit, Bahder Johan Nasution, hal.45. 11

Ibid, hal.46 12

Jusuf Hanafiah & Amri Amir, Etika Kedokteran&Hukum Kesehatan, (Medan: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1998) hal.160.


(19)

Pelayanan di rumah sakit, terdiri dari :13

1. Pelayanan medis dalam arti luas yang menyangkut kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif;

2. Pendidikan dan latihan tenaga medis;

3. Penelitian dan pengembangan ilmu kedokteran.

Peran dan fungsi rumah sakit sebagai tempat untuk melakukan pelayanan kesehatan yang profesional erat kaitannya dengan 3 unsur, yaitu :14

1. Unsur mutu yang dijamin kualitasnya;

2. Unsur keuntungan atau manfaat yang tercermin dalam mutu pelayanan;

3. Hukum yang mengatur perumahsakitan secara umum dan kedokteran dan/atau medik khususnya. Jadi, unsur-unsur ini akan bermanfaat bagi pasien dan tenaga kesehatan serta rumah sakit, disebabkan karena adanya hubungan yang saling melengkapi dari unsur tersebut. Pelayanan kesehatan memang sangat membutuhkan kualitas mutu pelayanan yang baik dan maksimal agar manfaatnya dapat dirasakan oleh penerima jasa pelayanan kesehatan dan pemberi jasa pelayanan kesehatan.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga telah berikrar tentang hak dan kewajiban pasien dan dokter, yang wajib untuk diketahui dan dipatuhi oleh seluruh dokter di Indonesia. Salah satu hak pasien yang utama dalam ikrar tersebut adalah hak untuk

13

Op.Cit, Henny Saida Flora,

http://www.freewebs.com/pencegahanberspektifpasien/implikasihukum.html. 14


(20)

menentukan nasibnya sendiri, yang merupakan bagian dari hak asasi manusia, serta hak atas rahasia kedokteran terhadap riwayat penyakit yang dideritanya.15

Pasien sebagai konsumen16 diartikan setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Adapun pengertian konsumen di sini adalah konsumen akhir, sedangkan produk berupa obat-obatan, suplemen makanan, alat kesehatan, sementara produk jasa berupa jasa pelayanan kesehatan yang diberikan oleh dokter dan jasa asuransi kesehatan.17

Pasien sebagai konsumen kesehatan memiliki perlindungan diri dari kemungkinan upaya kesehatan yang tidak bertanggungjawab seperti penelantaran. Pasien juga berhak atas keselamatan, keamanan, dan kenyamanan terhadap pelayanan jasa kesehatan yang diterima. Dengan hak tersebut maka konsumen akan terlindungi dari praktik profesi yang mengancam keselamatan atau kesehatan.18

Apabila ditinjau dari hubungan hukum yang timbul antara pasien dan rumah sakit dapat dibedakan pada 2 macam perjanjian, yaitu :19

15

Shaleh L.Seumawe, “Dokter dan Tanggung jawab Terhadap Pihak Ketiga”, http://www.modusaceh-news.com.html, diakses pada tanggal 25 Maret 2009.

16

Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Perlindungan Konsumen No.8 Tahun 1999. 17

http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=11479:perli ndungan-konsumen-kesehatan-berkaitan-dengan-malpraktik-medik-&catid, diakses pada tanggal 25 Maret 2009.

18

Ibid

19

Op.Cit, Henny Saida Flora,

http://www.freewebs.com/pencegahanberspektifpasien/implikasihukum.html.


(21)

1. Perjanjian perawatan dimana terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan pasien bahwa pihak rumah sakit menyediakan kamar perawatan dan dimana tenaga perawatan melakukan tindakan perawatan.

2. Perjanjian pelayanan medis dimana terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan pasien bahwa tenaga medis pada rumah sakit akan berupaya secara maksimal untuk menyembuhkan pasien melalui tindakan medis Inspannings Verbintennis20.

Untuk menilai sahnya perjanjian tersebut dapat diterapkan Pasal 1320 KUPerdata, sedangkan untuk pelaksanaan perjanjian itu sendiri harus dilaksanakan dengan itikad baik sesuai dengan Pasal 1338 dan 1339 KUHPerdata. Dengan adanya ketentuan ini, maka proses terhadap kepastian perlindungan hukum bagi pasien dan rumah sakit terjadi dengan lahirnya kata sepakat yang disertai dengan kecakapan untuk bertindak dalam perjanjian, diantara pasien, tenaga kesehatan dan rumah sakit.21

Menurut Pasal 1320 KUHPerdata menentukan bahwa untuk sahnya persetujuan diperlukan suatu kesepakatan. Kesepakatan bagi mereka yang mengikat merupakan asas esensi dari hukum perjanjian. Kesepakatan ini mempunyai hubungan erat dengan dengan asas kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat di dalam pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata dimana semua persetujuan yang dibuat secara sah

20

Inspannings verbintennis adalah perjanjian antara dokter dan pasien. Dalam inspannings verbintennis kewajiban hukum dokter berupa kewajiban berusaha sekeras-kerasnya dan

sungguh-sungguh untuk melakukan pengobatan atau penyembuhan atau pemulihan kesehatan pasien yang juga mengandung kewajiban perlakuan yang benar, teliti, penuh pertimbangan, dan kehati-hatian yang tinggi, Chrisdiono M.Achadiat, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam Tantangan Zaman, (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2006) hal.40.

21 Ibid


(22)

berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas kebebasan berkontrak berkaitan erat dengan isi perjanjian yaitu kebebasan menentukan ”apa” dan dengan ”siapa” perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang dibuat sesuai dengan pasal 1320 KUHPerdata ini mempunyai kekuatan mengikat.22 Pasal 1320 KUHPerdata menegaskan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi 4 syarat, yaitu :23

1. Adanya kesepakatan dari kedua belah pihak yang bebas dari paksaan, kekeliruan, salah paham dan penipuan.

2. Kedua belah pihak telah cakap untuk membuat membuat suatu perjanjian. 3. Adanya suatu hal tertentu/nyata yang diperjanjikan.

4. Perjanjian tersebut mengenai suatu sebab yang halal, yang dibenarkan dan tidak dilarang oleh peraturan perundang-undangan, serta merupakan suatu sebab yang masuk akal untuk dipenuhi oleh pihak-pihak yang membuat perjanjian.

Perlindungan hukum tidak terlepas dari tanggung jawab pelaku usaha untuk memenuhi tuntutan konsumen. Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut :24

22

Ningrum Natasya Sirait, Diktat Kuliah Azas Kebebasan Berkontrak & Perjanjian Baku, Pasca Hukum USU,2008, hal.39

23

Ibid, hal.40 24

Johannes Gunawan, Tanggung jawab pelaku usaha menurut Undang-undang No. 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen, Hukum Bisnis, hal.45


(23)

1. Kesalahan (Liability based on Fault)

Menurut prinsip ini, setiap pelaku usaha yang melakukan kesalahan dalam melakukan kegiatan usaha wajib bertanggung jawab untuk membayar ganti kerugian atas segala kerugian yang timbul dari kesalahan tersebut. Pihak yang menderita kerugian harus membuktikan kesalahan pelaku usaha. Jadi beban pembuktian ada pada pihak penggugat. Bukan pada pihak tergugat.

2. Praduga selalu bertanggung jawab (Presumption of Liability)

Menurut prinsip ini pelaku usaha dianggap selalu bertanggungjawab atas setiap kerugian yang timbul dari kegiatan yang dilakukannya, tetapi jika pelaku usaha dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah, maka pelaku usaha dibebaskan dari kewajiban membayar ganti kerugian. Jadi beban pembuktian ada pada pelaku usaha.

3. Praduga untuk tidak selalu bertanggungjawab (Presumption of Non Liability) Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas, dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.25 Misalnya pada pelaksanaan pengangkutan, barang yang tidak mempunyai lebel bagasi menjadi pengawasan penumpang (konsumen) sedangkan yang menjadi tanggung jawab pengangkut hanya pada barang yang mempunyai lebel bagasi saja.

25


(24)

4. Tanggung jawab mutlak (Strict Liability)

Prinsip ini sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute

liability). Absolute Liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan

tidak ada pengecualiannya.

5. Pembatasan tanggung jawab (Limitation of Liability)26

Prinsip ini dilakukan oleh pelaku usaha dengan pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya.27

Dalam kaitan dengan tanggung jawab rumah sakit, maka prinsipnya rumah sakit bertanggungjawab secara perdata terhadap semua kegiatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan sesuai dengan bunyi Pasal 1367 (3) KUHPerdata. Selain itu rumah sakit juga bertanggungjawab atas wanprestasi dan perbuatan melawan hukum.28 Pemberian sanksi terhadap wanprestasi ini juga diatur dalam ketentuan Pasal 54 ayat (1) Undang-undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992.29

Dalam tindakan medis apabila terjadi kesalahan dan mengakibatkan kerugian dari pihak pasien, maka tanggung jawab tidak langsung kepada pihak rumah sakit. Mengenai tanggung jawab harus dilihat terlebih dahulu apakah kesalahan dilakukan oleh dokter itu sendiri atau tenaga medis lain. Setiap masalah yang terjadi baik sengaja atau tidak sengaja perlu diteliti terlebih dahulu. Jika kesalahan yang dilakukan para medis tersebut khusus dokter yang melakukan, biasanya pihak rumah

26

Ibid, hal.59 27

Ibid, hal.64 28

Op.Cit, Shaleh L.Seumawe. 29

Ibid


(25)

sakit yang bertanggangjawab secara umum. Dan dokter sebagai pelaksana tindakan juga dapat dikenakan sanksi. Terhadap tenaga kesehatan khususnya yang bekerja di rumah sakit, ada 2 tenaga yaitu :30

1. Tenaga dari Pegawai Negeri Sipil

Terhadap tenaga dari pegawai negeri sipil yang melakukan kesalahan/kelalaian dalam tindakan medis, biasanya dokter diberikan sanksi berupa pemindahan kerja ke instansi lain atau pemberhentian sementara.

2. Tenaga dari Swasta

Terhadap dokter swasta dalam hal melakukan kesalahan/kelalaian biasanya sanksi yang dijatuhkan berupa diberhentikan oleh rumah sakit tempat ia bekerja. Dan akibat dari kesalahan dokter atau paramedis lain yang menyebabkan kerugian terhadap pasien akan menjadi beban bagi pihak rumah sakit.

Wanprestasi atau tindakan kelalaian dalam pelayanan kesehatan terjadi bila memenuhi unsur-unsur :31

1. Hubungan antara dokter dengan pasien terjadi berdasarkan kontrak terapeutik. 2. Dokter telah memberikan pelayanan kesehatan yang tidak patut yang menyalahi

tujuan kontrak terapeutik.

3. Pasien menderita kerugian akibat tindakan dokter yang bersangkutan.

30 Ibid 31


(26)

Untuk terjadinya hubungan hukum dokter dan pasien, maka pasien harus memberikan persetujuan untuk pengobatan ataupun perawatan. Persetujuan ini disebut informed consent. Dalam Permenkes No.589 Tahun 1989 persetujuan tindakan medik (informed consent) adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Persetujuan tindakan medik (informed consent) ada 2 bentuk, yaitu :32

1. Tersirat atau dianggap telah diberikan (implied consent) a. Keadaan normal

b. Keadaan darurat

2. Dinyatakan (expressed consent) a. Lisan

b. Tulisan

Implied consent adalah persetujuan yang diberikan pasien secara tersirat, tanpa

pernyataan tegas. Expressed consent adalah persetujuan yang dinyatakan secara lisan atau tulisan, bila yang akan dilakukan lebih dari prosedur pemeriksaan dan tindakan yang biasa.

32

Ibid, hal.68.


(27)

Terkait dengan kebutuhan pelayanan kesehatan, perkembangan dinamika dari perpekstif perlindungan konsumen, karakter pengaduan konsumen dapat diklasifikasikan sebagai berikut :33

1. Pelayanan produk jasa yang diberikan tenaga kesehatan (aspek teknis-medis), misalnya: pengaduan-pengaduan malpraktik medik.

2. Pelayanan menyangkut institusi, baik penyelenggara kesehatan maupun sarana pemberi pelayanan kesehatan (aspek kelembagaan).

3. Pelayanan produk jasa yang diberikan institusi pelayanan kesehatan (aspek manajerial), misalnya: tagihan kamar perawatan sejak pendaftaran dilakukan, meskipun tindakan medik pembedahan baru dilakukan keesokan harinya.

4. Pelayanan produk barang yang diberikan institusi pelayanan kesehatan, seperti ketiadaan obat yang diresepkan dokter. Ketidaktersediaan obat tersebut diikuti dengan kebiasaan buruk mengganti obat yang diresepkan dokter, misalnya mengganti resep.

Dengan diundangkannya Undang-undang No.8 Tahun 1999, tentang Perlindungan konsumen, maka masyarakat konsumen yang merasa dirugikan dapat mengadukan permasalahannya dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri

33

Yusuf Shofie, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2008), hal.83


(28)

atau ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)34. BPSK merupakan salah satu alternative penyelesaian sengketa di luar pengadilan (Alternatif Dispute

Resolution) yaitu konsiliasi35, mediasi36 dan arbitrase37 yang dibentuk oleh Pemerintah. Alternatif dalam penyelesaian sengketa konsumen juga dapat diselesaikan oleh suatu badan yaitu Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan khusus untuk bidang pelayanan kesehatan adalah Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI).38

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) bertugas memberikan konsultasi perlindungan konsumen; melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku; menerima pengaduan, baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen.39

34

BPSK adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara Pelaku Usaha dan Konsumen. Pasal 1 ayat (1) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.350/MPP/Kep/12/2001.

35

Konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan BPSK untuk mempertemukan para pihak yang bersengketa, dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. Pasal 1 ayat (9) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.350/MPP/Kep/12/2001.

36

Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan BPSK sebagai penasehat dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. Pasal 1 ayat (10) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.350/MPP/Kep/12/2001.

37

Arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan yang dalam hal ini para pihak yang bersengketa menyerahkan sepenuhnya penyelesaian sengketa kepada BPSK. Pasal 1 ayat (11) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.350/MPP/Kep/12/2001.

38

Yusuf Shofie, Sosok Peradilan Konsumen (Jakarta: Piramedia, 2004), hal.4. 39

Op.Cit, Adrian Sutedi, hal.26.


(29)

Dalam Pasal 46 ayat (1) UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur gugatan secara kelompok, bahwa gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh :40

1. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan 2. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama

3. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.

4. Pemerintah dan atau instansi terkait apabila barang dan atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan atau korban yang tidak sedikit.

Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama dapat dilakukan dengan jalur class action.41. Saat ini masyarakat Indonesia sudah dapat mengajukan gugatan dengan prosedur class ction yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 yang disebut dengan nama ”gugatan perwakilan kelompok”. Peraturan Mahkamah Agung tersebut

40

Susanti Adi Nugroho, Refleksi Praktek Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action) Di

Indonesia, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2003), hal.8.

41

Class Action adalah adalah tata cara pengajuan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri mereka sendiri sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok atau anggota kelompok dimaksud. Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen

Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, (Jakarta: Fakultas Hukum Pascasarjana


(30)

mengartikan class action sebagai suatu cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud.42

Sebagai contoh kasus yang dapat memperjelas bahwa hak-hak konsumen telah diabaikan, oleh pihak penyelenggara jasa pelayanan kesehatan atau rumah sakit yaitu:

a) Kasus pada Februari 2005 yang dilakukan oleh Rumah Sakit Pondok Indah Jakarta, dimana ketidakhati-hatian dan ketidaktelitian Rumah sakit dan dokter dalam mendiagnosa penyakit tumor ganas pada pasien mengakibatkan pasien meninggal.43

b) Kasus pada Oktober 2007 di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan yang digugat oleh pasien karna masalah pelayanan rumah sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan kesehatan.44

c) Kasus pada Juni 2009 di Rumah Sakit Omni Internasional Tangerang yang terjerat kasus hukum dengan pasien Prita Mulyasari, yang berawal dari pihak

42

Erman Rajagukguk,dkk, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung: Bandar Maju, 2000), hal.67.

43

Muhammad Ichsan, ’Mengakhiri Kolusi Dokter dan Perusahaan Farmasi dari milis

keluarga sejahtera”, http://manikamanika.multiply.com/journal/item/37.com.html, diakses pada

tanggal 25 Maret 2009 44

Sumber Data: Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Medan Tahun 2007


(31)

rumah sakit tidak memberikan dokumen rekam medis (DRM) yang merupakan hak pasien.45

Bila dilihat dari kasus yang ada di atas, maka sudah seharusnya konsumen (pasien) mendapatkan perlindungan hukum. Apabila berbicara tentang perlindungan hukum, maka hal itu berarti tidak terlepas pada masalah tanggung jawab. Perlindungan hukum46 atas hak-hak konsumen di Indonesia, sebenarnya telah diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan untuk konsumen jasa pelayanan kesehatan juga diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, permasalahan dalam penelitian ini, dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah tanggung jawab rumah sakit terhadap pasien dalam pelayanan jasa kesehatan di rumah sakit?

45

Titiana Adinda,

http://www.mail-archive.com/tamanbintang@yahoogroups.com/msg06467.html, diakses pada tanggal 1 Juni 2009. 46

Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Adapun hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antar berbagai pihak satu sama lain yang berkaitan dengan barang dan jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup. Lihat A.Z.Nasution, Konsumen dan Hukum : Tinjauan

Sosial, Ekonomi dan Hukum Pada Perlindungan Konsumen Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan, 1995), hal.61-64. Bandingkan dengan pengertian hukum konsumen yang meliputi keseluruhan aspek hukum yang terdapat kepentingan pihak konsumen di dalamnya. Jadi intinya bukan pada kaidah yang harus ”mengatur” atau ”memaksa”. Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen


(32)

2. Apa saja alternatif penyelesaian sengketa yang terjadi antara pasien (konsumen) dengan pihak rumah sakit?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui tanggung jawab rumah sakit dalam pelayanan jasa kesehatan di rumah sakit.

2. Untuk mengetahui alternatif penyelesaian sengketa yang terjadi antara pasien (konsumen) dengan pihak rumah sakit.

D. Manfaat Penelitian

Diharapkan kegunaan yang dapat diperoleh dari penelitian ini, baik bersifat teoritis maupun praktis sebagai berikut :

1. Bersifat teoritis

Diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya hukum perlindungan konsumen dan hukum kesehatan.

2. Bersifat praktis

Secara praktis penelitian ini ditujukan kepada kalangan praktisi, dalam hal ini Pemerintah sebagai regulator yang berperan dalam membuat peraturan yang terkait dengan perlindungan konsumen di rumah sakit. Selain itu penelitian ini


(33)

ditujukan kepada pelaku usaha yaitu rumah sakit agar dapat memahami tentang makna pelayanan bagi pasien.

Penelitian ini juga sedapat mungkin dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari, suatu peraturan yang baik adalah peraturan yang tidak saja memenuhi persyaratan-persyaratan formal sebagai suatu peraturan, tetapi juga menimbulkan rasa keadilan dan kepatuhan serta dilaksanakan/ditegakkan dalam kenyataannya.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan dan penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai analisis hukum mengenai pertanggungjawaban rumah sakit terhadap pasien dalam jasa pelayanan kesehatan belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama. Jadi penelitian ini asli sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, dan objektif serta terbuka, semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga dapat dikatakan penelitian ini asli dan keasliannya secara akademis keilmuan dapat dipertanggungjawabkan.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Hans Kelsen menyatakan bahwa suatu konsep kewajiban hukum adalah tanggung jawab hukum (liability). Seseorang dikatakan secara hukum


(34)

bertanggungjawab untuk suatu perbuatan tertentu adalah bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatan yang berlawanan.47

Konsep tanggung jawab hukum merupakan bagian dari konsep kewajiban hukum. Kewajiban hukum berasal dari suatu norma trasendental yang mendasari segala peraturan hukum. Norma dasar kemudian merumuskan kewajiban untuk mengukuti peraturan hukum, dan mempertanggungjawabkan kewajiban untuk mengikuti peraturan-peraturan hukum tersebut.48

Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut:49

1. Prinsip Kesalahan

2. Prinsip Praduga selalu bertanggungjawab

3. Prinsip Praduga untuk tidak selalu bertanggungjawab 4. Prinsip Tanggung jawab mutlak

5. Prinsip Pembatasan tanggung jawab

Lawrence M.Friedman mengatakan bahwa fungsi hukum adalah untuk melindungi kepentingan yang ada dalam masyarakat yang meliputi:50

1. Subtansi hukum yaitu aturan, norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem hukum itu.

47

Jimmly Asshiddiqie dan M.Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006) hal.61.

48

Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta:Kanisius, 1995), hal.281.

49

Op.Cit, Johannes Gunawan, hal.45. 50

Bismar Nasution dan Mahmul Siregar, Bahan Kuliah Teori Hukum, Pascasarjana Ilmu Hukum, USU, 2008.


(35)

2. Struktur hukum, yaitu unsur-unsur jumlah dan ukuran pengadilan, yurisdiksi tiap-tiap peradilan dan upaya-upaya hukum.

Komponen struktur ini dapat dikatakan pranata hukum yang menopang bentuk hukum dan proses kinerja hukum yang dilakukan oleh polisi, jaksa, dan hakim.51 3. Budaya hukum yaitu menyangkut sikap manusia terhadap hukum dan sistem

hukum.

Menurut teori Johannes Gunawan menjelaskan Undang-undang Perlindungan Konsumen mengandung materi pertanggungjawaban dengan struktur sebagai berikut:52

a. Contract Liability

Contract Liability atau pertanggungjawaban kontrak adalah tanggung jawab

perdata atas dasar perjanjian/kontrak dari pelaku usaha (baik barang maupun jasa), atas kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkan atau memanfaatkan jasa yang diberikan.

b. Product Liability

Product Liability atau tanggung jawab produk adalah tanggung jawab para

produsen untuk produk yang dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan atau menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut.

51

Harkistuti Harkriswono, Menjalani Masa Transisi; Mungkinkah Hukum Sebagai Panglima, 2002.

52

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal.25.


(36)

c. Profesional Liability

Profesional Liability atau tanggung jawab profesional adalah tanggung jawab

hukum (legal liability) dalam hubungan dengan jasa profesional yang diberikan kepada klien.

d. Criminal Liability

Criminal Liability adalah tanggung jawab pidana yang mengatur tentang tindak

atau perbuatan pidana dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen Pasal 61, 62, dan Pasal 63, di mana maksimum sanksi pidananya penjara lima tahun atau denda dua miliar.

Dalam hukum perdata, gugatan untuk meminta pertanggungjawaban bersumber pada dua dasar hukum, yaitu:53

1. Berdasarkan pada wanprestasi (contractual liability) sebagaimana diatur dalam Pasal 1239 KUHPerdata.

2. Berdasarkan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatigedaad) sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata.

Bila di hubungkan dengan masalah pertanggungjawaban korporasi juga dikenal dengan istilah corporate liability54 dan vicarius liability55. Dalam

53

Ibid, hal.30 54

Corporate liability menekankan pada tanggung jawab suatu lembaga/korporasi terhadap tenaga-tenaga yang dipekerjakannya. Lihat Guwandi. Tindakan Medik dan Tanggung Jawab Medik, (Jakarta: FKUI, 1993), hal.16


(37)

melaksanakan pemberian layanan kepada konsumen, pelaku usaha sering menggunakan ketentuan-ketentuan baku dalam bertransaksi, dan isi dari klausula baku itu lebih menguntungkan bagi pelaku usaha.

Kesehatan merupakan suatu kebutuhan pokok manusia, disamping sandang pangan dan papan. Tanpa hidup yang sehat, hidup manusia tanpa arti, manusia tidak mungkin dapat melakukan kegiatan-kegiatan sehari-hari dengan baik.

Masalah kesehatan sebenarnya telah dijabarkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit, yaitu :56

”Dalam rangka lebih meningkatkan pelayanan kesehatan, perlu terus ditingkatkan mutu pelayanan kesehatan rumah-rumah sakit, lembaga-lembaga pemulihan kesehatan, pusat-pusat kesehatan masyarakat serta lembaga-lembaga kesehatan lainnya. Selanjutnya perlu ditingkatkan pula, para medis dan tenaga kesehatan lainnya, serta penyediaan obat yang makin merata dan terjangkau oleh rakyat.”

Rumah sakit merupakan suatu badan usaha (laba atau nir laba) yang sudah tentu mempunyai misi tersendiri seperti badan-badan usaha lainnya. Menurut jenisnya rumah sakit terdiri dari, rumah sakit umum, rumah sakit jiwa dan rumah sakit khusus. Dan mengenai rumah sakit umum menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No.582/Menkes/SK/VI/1997 tentang pola tarif rumah sakit Pemerintah, terdapat rumah sakit umum kelas A, kelas B, kelas C, kelas D.

55

Vicorius liability merupakan tanggung jawab atas kesalahan orang yang berada dibawah pengawasan majikan. Ibid, hal.13.

56

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit


(38)

Samsi Jacobalis mengemukakan pendapatnya tentang rumah sakit, yaitu:57 1. Rumah sakit menjadi lembaga yang makin rumit, padat karya, dan padat modal;

rumah sakit bukan lagi urusan profesi dokter dan perawat melainkan berbagai profesi dan tenaga ahli lainnya terlibat di dalamnya;

2. Penerapan hi-tech di kebayakan rumah sakit, dijadikan selling-point untuk menarik perhatian pasien (konsumen) sehingga penggunaan teknologi kedokteran menjadi tidak efisien;

3. Melalui deregulasi, debirokratisasi, dan swastanisasi, pemerintah menyetujui rumah sakit mendapatkan laba dari penyelenggaraannya; akibatnya rakyat harus menanggung (paling tidak sebagian) biaya pengobatannya.

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Nomor 191/Menkes-Kesos/SK/II/2001 Tentang Perubahan Kepmenkes RI Nomor 157/Menkes/SK/III/1999 Tentang Perubahan Kedua Atas Permenkes Nomor 159b/Menkes/Per/II/1988 Tentang Rumah Sakit pada Bab II Pasal (3) dinyatakan sebagai berikut :58

a. Rumah sakit dapat dimiliki dan diselenggarakan oleh pemerintah atau swasta. b. Rumah sakit pemerintah dimiliki dan diselenggarakan oleh :

1. Departemen kesehatan;

57

Op.Cit, Yusuf Shofie, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, hal.70 58 Robert Imam Sutedja, ”Peraturan perundang-undangan Rumah Sakit”, http://www.indographstudio.com.html, diakses pada tanggal 23 Februari 2009


(39)

2. Pemerintah daerah; 3. ABRI;

4. Badan Usaha Milik Negara;

c. Rumah sakit swasta dimiliki dan diselenggarakan oleh : 1. Yayasan;

2. Badan Hukum lain yang bersifat sosial.

Menurut Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor 725/Menkes/E/VI/2004 maka berdasarkan peraturan ini kini pelayanan kesehatan swasta di medik boleh diselenggarakan oleh : perorangan, kelompok, yayasan atau badan hukum lainnya.59 Pada awal berdirinya rumah sakit sesuai dengan buku yang diterbitkan oleh WHO

Expert Committee on Organization of Medical Care pada tahun 1975 yang berjudul Role of Hospital In Programmes of Community Health Protection memuat salah satu

konotasi yang pertama mengenai pengertian rumah sakit sebagai unit sosial.60 Yang berarti bahwa ide awal pembentukan rumah sakit adalah untuk kegiatan yang bersifat sosial, tetapi dalam perkembangannya fungsi sosial saja tidak akan memberikan perkembangan yang signifikan dengan kemajuan teknologi kedokteran yang memerlukan biaya yang tidak sedikit. Maka status itu berubah menjadi sosial ekonomi. Jadi berdasarkan peraturan di atas akan terdapat rumah sakit yang berbentuk IPSM (Institusi Pelayanan Sosial Masyarakat) dan rumah sakit sebagai suatu business enterprise, suatu bentuk baru dengan tujuan mencari keuntungan.

59 Ibid 60

Ali Alkatiri, dkk, Rumah Sakit Proaktif Suatu Pemikiran Awal, (Jakarta: Nimas Multimah, 1997), hal.37-43.


(40)

Sumber daya manusia yang terdapat di rumah sakit adalah terdiri dari tiga jenis tenaga yaitu :61

a. Tenaga full timer (purna waktu); b. Tenaga part timer (paruh waktu); c. Tenaga contract (kontrak);

Adapun fungsi dari rumah sakit yaitu :62 1. Pelayanan kesehatan pasien;

2. Pelayanan komunitas berupa suatu kerjasama dengan pihak-pihak luar lain diluar rumah sakit yang biasanya berupa upaya-upaya Preventif, Promotif dan Rehabilitatif;

3. Pendidikan terutama bagi rumah sakit yang besar yang berfungsi sebagai rumah sakit pendidikan;

4. Penelitian

Di Indonesia terdapat Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) yang didirikan pada tahun 1978 oleh kongres luar biasa PERSI yang diadakan pada tanggal 6 September 1986 telah disahkan Etika Rumah Sakit Indonesia (ERSI). Kode Etik itu kemudian disahkan berlaku oleh Keputusan Menteri Kesehatan R.I Nomor 924/Men.Kes/SK/XII/1986 63 dan kode etik rumah sakit ini tetap menjadi panduan pendirian rumah sakit hingga sekarang. Dalam rapat kerja PERSI yang telah

61

Dini Handayani Nasution, Organisasi Perumahsakitan di Indonesia, Pengantar

Administrasi Rumah Sakit ( FK USU, 2007), hal.12.

62 Ibid 63

Ibid, hal.30.


(41)

berlangsung tanggal 15-17 Maret 1999 di Jakarta, telah disepakati Kode Etik Rumah Sakit Indonesia yang baru dengan singkatan ”KODERSI” yang dilengkapi dengan penjelasannya.64

2. Konsepsi

Kerangka konsepsi menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan konsepsi yang digunakan dalam penelitian tesis. Peranan konsep pada dasarnya dalam penelitian adalah untuk menguhubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas yang akan digunakan sebagai landasan pada proses untuk melindungi para pengguna jasa pelayanan kesehatan di rumah sakit.

1. Konsumen

Istilah ”konsumen” berasal dari bahasa Belanda ”Konsument”, bahasa Inggris ”Consumer”, yang berarti pemakai. Di Amerika sering kata ini dapat diartikan lebih luas lagi sebagai ”korban pemakaian produk yang cacat”, baik korban pembeli, bukan pembeli tetapi pemakai, bahkan juga korban yang juga bukan pemakai, karena perlindungan hukum dapat dinikmati pula bahkan oleh korban yang bukan pemakai.65 Di dalam kamus besar bahasa Indonesia juga ada defenisi tentang konsumen yang menyebutkan bahwa konsumen adalah pemakai barang-barang hasil produksi, penerima pesanan iklan dan pemakai jasa (pelanggan).66

64

Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia, Kode Etik Rumah Sakit Indonesia, 1999. 65

Mariam Darus Badrulzaman, Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat dari Sudut

Perjanjian Baku Standard (Bandung: Binacipta, 1986), hal.57.

66


(42)

Pegertian konsumen dalam hal ini adalah pasien. Pasien sebagai konsumen diartikan ”setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa baik kepentingan sendiri maupun kepentingan orang lain”. Pasien adalah orang yang mendapatkan suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian dari integral dari pelayanan kesehatan didasarkan kepada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan biopsiko-sosio spritual yang komprehensif, yang ditujukan kepada individu maupun keluarga dan masyarakat, baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia.67

Menurut pandangan sosiologis dapat dikatakan bahwa pasien maupun tenaga kesehatan memainkan peranan-peranan tertentu dalam masyarakat. Dalam hubungan dengan tenaga kesehatan, pasien dituntut untuk mengikuti nasehat dokter tempat mengadu nasib. Pasien sebagai konsumen dalam hal ini, merasa dirinya tergantung dan aman apabila tenaga kesehatan berusaha untuk menyembuhkan penyakitnya.

2. Pelaku Usaha

Pelaku usaha, menurut Undang Undang Perlindungan Konsumen Pasal 1 ayat (3) adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam

67

Soerjono Soekanto, Aspek Hukum Kesehatan,cet.I, (Jakarta: IND Hill-Co, 1989), hal.75.


(43)

berbagai bidang ekonomi.68 Pelaku usaha di sini bergerak di bidang pelayanan kesehatan yaitu rumah sakit.

Rumah sakit adalah suatu yang menyediakan pemondokan yang memberikan jasa pelayanan medik jangka pendek atau jangka panjang yang terdiri dari tindakan observasi diagnostik, terapeutik dan rehabilitatif untuk orang-orang yang menderita sakit, terluka dan untuk mereka yang mau melahirkan.69

Rumah sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan memiliki hak dan kewajiban yang perlu diketahui oleh semua pihak yang terlibat dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit agar dapat menyesuaikan dengan hak dan kewajiban di bidang profesi masing-masing. Karena hak dan tanggung jawab ini berkaitan erat dengan pasien sebagai penerima jasa, maka masyarakat pun harus mengetahui dan memahaminya.

3. Sarana Kesehatan

Sarana kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan.70 Sarana kesehatan termasuk rumah sakit. Rumah sakit ini menyediakan tempat bagi pasien (konsumen) untuk berobat atau menggunakan bentuk pelayanan kesehatan lainnya. Bisa juga di samping itu menyediakan atas dasar berobat jalan kepada pasien-pasien yang bisa langsung pulang.71 Rumah sakit

68

Lihat, Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Perlindungan Konsumen 69

Op.Cit, J.Guwandi, hal.31. 70

Pasal 1 ayat (4) Undang Undang Kesehatan 71


(44)

menyediakan jasa berupa pelayanan dalam bidang perawatan kesehatan. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.72 Jadi rumah sakit berfungsi sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan.

4. Perlindungan Hukum

Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Adapun hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antar berbagai pihak satu sama lain yang berkaitan dengan barang dan jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup.73 Pengertian hukum konsumen juga meliputi keseluruhan aspek hukum yang terdapat kepentingan pihak konsumen di dalamnya. Jadi intinya bukan pada kaidah yang harus ”mengatur” atau ”memaksa”. 74

5. Tanggung Jawab

Tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau ada sesuatu hal maka boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya). Tanggung jawab adalah kewajiban untuk memikul pekerjaan atau akibat yang ditimbulkan.

72

Pasal 1 ayat (5) Undang Undang Perlindungan Konsumen 73

Op.Cit, Az.Nasution, hal.61 74

Op.Cit, Shidarta, hal.9


(45)

Dasar dalam tanggung jawab medik adalah:75

a. Wanprestasi, diartikan bahwa dokter tidak memenuhi kewajibannnya yang timbul dari adanya suatu perjanjian (tanggung jawab kontraktual);

b. Perbuatan melanggar hukum, dimana dokter telah berbuat melawan hukum karena tindakannya bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang diharapkan dari padanya dalam pergaulan dengan sesama warga masyrakat (tanggung jawab berdasarkan undang-undang).

6. Wanprestasi

Wanprestasi dalam arti harafiah adalah prestasi yang buruk yang pada dasarnya melanggar isi/kesepakatan dalam suatu perjanjian/kontrak oleh salah satu pihak. Pihak yang melanggar bisa disebut pihak debitur. Bentuk nyata pelanggaran debitur ada 4 macam, yaitu:76

a. Tidak memberikan prestasi sama sekali sebagaimana yang diperjanjikan; b. Memberikan prestasi tidak sebagaimana mestinya, tidak sesuai kualitas

atau kuantitas dengan yang diperjanjikan;

c. Memberikan prestasi tetapi sudah terlambat tidak tepat waktu sebagaimana yang diperjanjikan;

d. Memberikan prestasi yang lain dari yang diperjanjikan.

75

Op.Cit, Hendrojono Soewono, hal.147 76


(46)

Wanprestasi dalam pelayanan kesehatan terjadi apabila hubungan antara dokter dan pasien terjadi berdasarkan kontrak terapeutik, dimana terjadi pelanggaran kesepakatan oleh pihak dokter.

G. Metode Penelitian

Sebagai sebuah penelitian ilmiah, maka rangkaian kegiatan penelitian mulai dari pengumpulan data sampai pada analisis data dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah penelitian ilmiah, sebagai berikut :

1. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat yuridis normatif. Metode penelitian yurisis normatif adalah penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.

Dalam penelitian ini, selain untuk mengumpulkan dan menganalisis data tentang kecukupan kaidah-kaidah hukum dalam perlindungan pasien di rumah sakit dalam hal pelayanan kesehatan, maka ditinjau pula tentang peraturan yang diberlakukan di rumah sakit, hal ini dilakukan dengan memperbandingkan kaidah-kaidah hukum dalam perlindungan konsumen, hukum kesehatan, serta peraturan perumahsakitan yang terkait dalam hal ini.

2. Sumber Data


(47)

Untuk memperoleh hasil data yang akurat dan signifikan, data dikumpulkan melalui studi pustaka yang dihimpun dan diolah dengan melakukan pendekatan yuridis normative, penelitian deskriptif lebih mengutamakan data sekunder atau

library research. Data sekunder ini meliputi :77

a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat berupa peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan perlindungan konsumen dan kesehatan yaitu UU. No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-undang No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang-Undang-undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer antara lain berupa tulisan atau pendapat para ahli yang dimuat dalam buku-buku ilmiah, hasil karya ilmiah, majalah, ceramah atau pidato, buletin dan hasil penelitian yang ada hubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini adalah bahan hukum sekunder.

c. Bahan hukum tertier berupa referensi lainnya yang berkaitan dengan topik penelitian yang memberikan informasi-informasi lebih lanjut mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti ensiklopedia, kamus hukum, kamus Bahasa Indonesia, dan surat kabar.78

77

Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, hal.52.

78


(48)

Disamping itu, untuk mendukung data sekunder, dilakukan wawancara79 di Rumah Sakit Elisabeth Medan dan Badan Penyelesian Sengketa Konsumen (BPSK) Medan. Wawancara di Rumah Sakit Elisbeth Medan dilakukan kepada direktur rumah sakit dalam hubungannya dengan pelayanan kesehatan di rumah sakit tersebut.

Alasan pemilihan rumah sakit ini karena Rumah Sakit Elisabeth Medan merupakan rumah sakit swasta yang diketahui oleh masyarakat luas sebagai rumah sakit dengan pelayanan terbaik namun pada September 2007 pernah digugat oleh pasien dalam kasus masalah pelayanan rumah sakit.80

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui studi kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi, teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dari penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek telaahan penelitian ini yang dapat berupa peraturan Perundang-undangan, buku, tulisan ilmiah dan karya-karya ilmiah lainnya yang keseluruhannya merupakan data sekunder.

79

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Dikutip dari Lexy J.Moleong, Metodologi

Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 1998), hal.135.

80

Sumber Data: Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Medan Tahun 2007


(49)

Dalam penelitian ini alat pengumpul data yang digunakan adalah dengan mempergunakan studi pustaka (library research) dan mengadakan wawancara (depth

interview) kepada pelaku usaha.

Teknik pengumpulan data studi kepustakaan pada penelitian ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Menginventarisir peraturan Perundang-undangan yang terkait dengan masalah jasa pelayanan kesehatan di rumah sakit, khususnya yang terkait langsung dengan pasien yang berobat di rumah sakit.

b. Menginventarisir bahan-bahan sekunder yang relevan dengan rumusan permasalahan.

c. Mengumpulkan bahan hasil wawancara dengan rumusan permasalahan. d. Penelusuran bahan melalui Internet.

4. Metode Analisis Data

Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.81 Data yang telah dikumpulkan dengan studi kepustakaan tersebut selanjutnya dianalisis dengan mempergunakan metode analisis kualitatif yang didukung oleh logika berpikir secara

81


(50)

deduktif, kemudian dilakukan pemeriksaan terhadap data yang terkumpul melalui

wawancara secara langsung dan terarah. Analisis untuk data kualitatif dilakukan dengan cara pemilihan pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen jasa pelayanan kesehatan di rumah sakit, dan kemudian membuat sistematika dari pasal-pasal tersebut sehingga akan untuk memperoleh diskripsi mengenai objek yang diteliti. Sehingga mendapatkan jawaban sesuai dengan pokok permasalahan dalam penelitian ini secara komprehensif, holistik dan mendalam.


(51)

BAB II

ANALISIS TANGGUNG JAWAB RUMAH SAKIT TERHADAP KONSUMEN (PASIEN) DI INDONESIA

A. Hukum Perlindungan Konsumen

Setiap manusia pada dasarnya membutuhkan barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan manusia sangat beraneka ragam dan dapat dibedakan atas berbagai macam kebutuhannya. Jika dilihat dari tingkatannya, maka kebutuhan konsumen dapat terbagi menjadi tiga yaitu kebutuhan primer, kebutuhan sekunder, dan tertier. Selain itu, kebutuhan manusia juga dapat dibagi menjadi kebutuhan jasmani dan rohani.

Adanya bermacam-macam dan berbagai jenis kebutuhan tersebut maka setiap manusia akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik berupa barang maupun jasa. Berbagai kebutuhan tersebut ditawarkan oleh pelaku usaha sehingga tercipta hubungan timbal balik antara konsumen dan pelaku usaha serta saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Aneka ragam barang dan/atau jasa yang ditawarkan oleh para pelaku usaha kepada konsumen sebagai sebuah hubungan timbal balik.82

Terdapat saling ketergantungan dan membutuhkan antara konsumen dan pelaku usaha, sehingga sudah seharusnya kedudukan konsumen dan pelaku usaha

82

Purnadi Purwacaraka dan Soerjono Soekanto, Sendi-sendi Ilmu dan Tata Hukum, cetakan V, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1989), hal.43.


(52)

berada pada posisi yang seimbang. Namun dalam kenyataannya, kedudukan konsumen dan pelaku usaha tidaklah seimbang. Konsumen seringkali berada pada posisi atau kedudukan yang lemah bila dibandingkan dengan kedudukan pelaku usaha.83

Salah satu yang menyebabkan kedudukan konsumen lebih lemah bila dibandingkan dengan kedudukan pelaku usaha adalah konsumen pada umumnya kurang mendapatkan akses informasi dan/atau informasi yang benar, jelas dan dapat dipertanggungjawabkan dari suatu barang atau jasa.84 Konsumen tidak memiliki kesempatan dan sarana yang cukup untuk mengakses berbagai informasi yang dibutuhkan dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan suatu barang dan/atau jasa. Hal ini dapat terjadi karena pelaku usaha sebagai pihak yang memproduksi dan menawarkan barang dan/atau jasa tidak memberikan informasi yang jelas mengenai keadaan, cara penggunaan atau jaminan atas barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada konsumen. Kurangnya informasi dan akses informasi yang menyesatkan, mengelabui atau tidak jujur kepada konsumen demi kepentingan sepihak untuk memperoleh keuntungan yang semaksimal mungkin tanpa memperdulikan konsumen. Kurangnya informasi dan akses informasi ini mempunyai dampak yang cukup besar bagi konsumen, terutama dalam memperoleh kenyamanan, keselamatan dan/atau kesehatan dalam mengkonsumsi suatu barang dan/atau jasa.85

83

Zumrotin K Susilo, Hak-hak Konsumen, cet.I, (Jakarta: Puspa Swara, 1996), hal.11-14. 84

Ibid, hal.viii-ix 85

Happy Susanto, Hak-hak Konsumen Jika Dirugikan, (Jakarta: Visimedia, 2008), hal.15.


(53)

Dari uraian diatas, dapat diketahui bahwa kedudukan konsumen berada pada posisi yang lemah bila dibandingkan dengan pelaku usaha. Ketidakseimbangan kedudukan antara pelaku usaha dan konsumen inilah yang menyebabkan pentingnya suatu perlindungan konsumen ditegakkan dan dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku, yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sehingga konsumen berada pada posisi seimbang dengan kedudukan pelaku usaha.

Sesuai dengan Pasal 2 UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) prinsip yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu:86

1. Prinsip Manfaat

Dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

2. Prinsip Keadilan

Dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujukan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

86

J.Satrio, Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian), Buku I, Cetakan II, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2001), hal.100.


(54)

3. Prinsip Keseimbangan

Dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam materil maupun spritual.

4. Prinsip Keamanan dan Keselamatan Konsumen

Dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan /atau jasa yang digunakan.

5. Prinsip Kepastian Hukum

Dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dan penyelenggaraan perlindungan konsumen, dimana negara dalam hal ini turut menjamin adanya kepastian hukum tersebut.

Pihak-pihak yang terkait dengan hukum perlindungan konsumen, yaitu :

1. Konsumen

Sebelum lahirnya UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, batasan dan pengertian tentang konsumen masih rancu. Istilah konsumen telah dimuat pertama kali dalam TAP MPR No.II/MPR/1993 Bab IV huruf f butir 4a tentang GBHN dan selanjutnya di singgung sedikit dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Namun, tidak satupun menjelaskan pengertian konsumen. Untuk memperkecil lingkup pengertian konsumen, maka pengertian konsumen dapat terdiri dari tiga bagian, yaitu :87

87

Loc.Cit, Az. Nasution, hal.7.


(55)

I. Konsumen dalam arti umum adalah pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/jasa untuk tujuan tertentu.

II. Konsumen-antara adalah pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/jasa untuk diproduksi (produsen) menjadi barang/jasa lain atau untuk diproduksi (produsen) menjadi barang/jasa lain atau untuk memperdagangkan (distributor), dengan tujuan komersial. Konsumen antara ini sama dengan pelaku usaha.

III. Konsumen-akhir adalah pemakai, pengguna dan/atau jasa pemanfaat barang dan/atau jasa konsumen untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali.

Setelah lahirnya UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka jenis konsumen yang dilindungi adalah jenis konsumen akhir. Hal ini terlihat dari Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Perlindungan Konsumen yang menjelaskan defenisi konsumen, yaitu :

”Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahkluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”88

Batasan/pengertian tentang konsumen ini sangat penting untuk dijelaskan agar konsumen dapat mempunyai jaminan kepastian hukum dalam melakukan suatu hubungan hukum. Untuk selanjutnya pengertian konsumen yang akan di bahas dalam tulisan ini adalah konsumen akhir sesuai dengan pengertian konsumen dalam UU No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

88


(56)

Pasien sebagai konsumen diartikan ”setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa baik kepentingan sendiri maupun kepentingan orang lain”. Dalam pelayanan di bidang medis, tidak terpisah akan adanya seorang tenaga kesehatan dengan konsumen, dalam hal ini pasien. Pasien dikenal sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan dalam bidang perawatan kesehatan.89

Pasien mempunyai kedudukan yang sederajat dengan rumah sakit dan dokter yang bekerja di rumah sakit. Pasien selain dilindungi oleh Undang-undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992, juga dilindungi oleh Undang-undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999. Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999, pada penjelasan bagian I umum disebutkan ada beberapa undang-undang yang materinya melindungi kepentingan konsumen yang salah satunya adalah Undang-undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992. Dengan demikian, menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999, pasien merupakan konsumen, khususnya konsumen jasa pelayanan kesehatan (health

consumer) yang harus dilindungi hak-haknya.90

2. Pelaku Usaha

Pelaku usaha dalam dunia perekonomian lebih dikenal dengan istilah pengusaha. Dalam lingkup hukum perlindungan konsumen, Undang-undang Perlindungan Konsumen mencoba mendefenisikan pelaku usaha secara luas, tidak

89

Wila Chandrawilala Supriadi, Hukum Kedokteran, (Jakarta:CV Mandar Maju, 2001), hal.14.

90

Ibid, hal 19


(57)

dibatasi hanya pada pabrikan saja tetapi meliputi distributor (dan jaringannya), importir dan pelaku usaha periklanan.91

Pelaku usaha merupakan salah satu dari pelaku ekonomi yang dibagi dalam tiga kelompok pelaku usaha, yaitu :92

a. Investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai berbagai kepentingan. Seperti perbankan, usaha leasing; ”tengkulak”, penyedia dana lainnya, dan sebagainya.

b. Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang dan/atau jasa dari barang-barang dan/atau jasa-jasa lain (bahan baku, bahan tambahan/penolong dan bahan-bahan lainnya). Mereka dapat terdiri dari orang/badan usaha berkaitan dengan pangan, orang/badan usaha yang memproduksi sandang, orang/badan usaha yang berkaitan dengan pembuatan perumahan, orang/badan usaha yang berkaitan dengan jasa angkutan, perasuransian, perbankan, orang/badan usaha berkaitan dengan obat-obatan, kesehatan, narkotika, dan lain sebagainya.

c. Distributor, yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut kepada masyarakat, seperti pedagang secara retail, pedagang kaki lima, warung, took, supermarket, hyper-market, rumah sakit, klinik, ”warung dokter”, usaha angkutan (darat, laut, udara), kantor pengacara, dan sebagainya.

91

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal.4.

92


(58)

Hak dan kewajiban pelaku usaha, yaitu : 1. Hak-hak pelaku usaha

Untuk menyeimbangkan hak-hak yang telah diberikan kepada konsumen, maka pelaku usaha diberikan beberapa hak seperti yang tercantum dalam Pasal 6 Undang-undang Perlindungan Konsumen, yaitu :93

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan,

b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad baik,

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen,

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

2. Kewajiban pelaku usaha

Sebagai konsekuensi dari adanya hak-hak pelaku usaha, maka kepada pelaku usaha juga dibebankan beberapa kewajiban dalam menjalankan usahanya. Kewajiban pelaku usaha tercantum dalam Pasal 7 Undang-undang Perlindungan Konsumen, yaitu :94

93

Pasal 6 Undang-undang Perlindungan Konsumen No.8 Tahun 1999 94

Pasal 7 Undang-undang Perlindungan Konsumen No.8 Tahun 1999


(59)

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya,

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan,

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif,

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku,

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan,

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/jasa yang diperdagangkan. g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau

jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai dengan perjanjian. Era globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi komunikasi dan informatika akan memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa yang ditawarkan. Konsumen pun dapat dengan bebas memilih berbagai macam jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Tetapi hal ini menimbulkan posisi yang tidak seimbang antara pelaku usaha dan konsumen. Konsumen menjadi objek dari kegiatan bisnis untuk


(1)

--- Tindakan Medik dan Tanggung Jawab Produk, FK UI, 1993.

Hadiati, Hermin, Beberapa Permasalahan Hukum dan Medik, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1992.

Head,W John, Pengantar Umum Hukum Ekonomi, Jakarta: FH UI, 1997.

Hanafiah, Jusuf & Amri Amir, Etika Kedokteran&Hukum Kesehatan, Medan: Penerbit Buku Kedokteran EGC,1998.

Harahap, Yahya, Berbagai Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, cet.I, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997.

Huijbers, Theo, Filsafat Hukum dalam lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius, 1995.

Koeswadi, Hermien Hadiati, Hukum Kedokteran (Studi tentang Hubungan Hukum dalam Nama Dokter sebagai Salah satu Pihak), Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998.

Komalawati, D Veronika, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Jakarta: Grafika Tama Jaya, 1991.

Kristiyanti, Celina Tri, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004.

Moleong, J.Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 1998.

Moser, Charles, Perawatan Kesehatan tanpa Rasa Malu, Jakarta: Pustakarya, 1999.

Nasution, AZ, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta: Widya, 1999.

--- Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta : Diadit Media, 2007.

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan


(2)

Nasution, Bahder Johan, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Jakarta: Rineka Cipta, 2005.

Nasution, Dini Handayani, Organisasi Perumahsakitan di Indonesia, Medan: FK USU, 2007.

Nugroho, Susanti Adi, Refleksi Praktek Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action) Di Indonesia, Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2003.

Purwacaraka, Purnadi & Soerjono Soekanto, Sendi-sendi Ilmu dan Tata Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1989.

Rajagukguk, Erman,dkk, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung: Bandar Maju, 2000.

Samsul, Inosentius, Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, Jakarta: Fakultas Hukum Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004.

Satrio, J, Hukum Perikatan ( Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian), Buku I,

Cetakan II, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2001. Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2000.

Shofie Yusuf, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2008.

--- Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.

--- Sosok Peradilan Konsumen, Jakarta: Piramedia, 2004.

Sianturi, R, Perlindungan konsumen dilihat dari sudut peraturan undangan kesehatan, Jakarta: Bina Cipta.

Soekanto, Soerjono, Aspek Hukum Kesehatan, cet.I, Jakarta : IND Hill-Co, 1989.

Soekanto, Soerjono, Segi-segi Hukum dan Kewajiban Pasien, Bandung: Mandar Maju, 1990.


(3)

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali, 1995.

Soekanto, Soerjono dan Purwacaraka, Perundang-undangan dan Yurisprudensi, cet.IV, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993.

Soekanto, Soerjono dan Muhammad Kartono, Aspek Hukum dan Etika Kedokteran di Indonesia, Jakarta: Grafiti Pers, 1983.

Soewono Hendrojono, Batas Pertanggungjawaban Hukum Malpraktek Dokter dalam Transaksi Terapeutik, Surabaya: Srikandi, 2005.

Subekti,R dan R Tjitrosudibio, Terjemahan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), Jakarta: Pranadya Paramitha, 2001.

Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, 1998. Suherman, Ade Maman, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, cet.I, Jakarta:

Ghalia Indonesia, 2002.

Susanto, Happy, Hak-hak Konsumen Jika Dirugikan, Jakarta: Visimedia, 2008. Susilo, K.Zumrotin, Hak-hak Konsumen, cet.I, Jakarta: Puspa Swara, 1996. Sutedi, Adrian, Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen,

Jakarta: Ghalia Indonesia, 2006.

Tantri C dan Sulastri, Gerakan Organisasi Konsumen, Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, 1995.

Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Widjaja, Gunawan, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.

Zakaria, Adi Afif, vol.II, Manajemen Pemasaran; Analisis, Perencanaan Implementasi, dan Pengendalian, Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI, 1993

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan


(4)

B. Majalah, Diktat, Internet

Brorosusilo, Agus, Instrumen/Aspek-aspek Perlindungan Terhadap Konsumen dalam Sistem di Indonesia, 1997.

Budiarto, M, Laporan Akhir tim penyusunan peraturan perundang-undangan tentang Hukum Disiplin Tenaga Kesehatan, 1991.

BPHN, Nakah Akademis Peraturan Perundang-undangan RUU tentang Perdagangan Internasional, DepKeh RI, 1999.

Gunawan, Johannes, diktat Pertanggujawaban Produk, Pascasarjana Universitas Katolik Parahyangan, 1998.

Nasution Bismar & Mahmul Siregar, Bahan Kuliah Teori Hukum, Pascasarjana Ilmu Hukum, USU, 2008.

Picard, Ellen I. dan Gerald B Roberston, Legal Liability of Doctors and Hospital in Canada, Third Edition, Canada: Carswell, 1984.

Rizal, Jufrina, Mengakomodasi Masalah Perlindungan terhadap Konsumen dalam Kurikulum Pendidikan Tinggi Indonesia, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, 1997.

Saifuddin, Abdul Bari, Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, 2001.

Shidarta, Arif, Aspek Yuridis Hubungan Rumah Sakit, Dokter, dan Pasien, 1989. Shofie, Yusuf, Pelayanan Kesehatan Tanggung Jawab Siapa

Sirait, Ningrum Natasya, Diktat Kuliah Azas Kebebasan Berkontrak & Perjanjian Baku, Pasca Hukum USU,2008.

Rachmawaty, Evy, Kompas, Jumat 26 Juni 2009.

Ichsan, Muhammad ”Mengakhiri Kolusi Dokter dan Perusahaan Farmasi dari

milis keluarga sejahtera” http://manikamanika.multiply.com/journal/item/37.com.html, diakses pada


(5)

Keperawatan,

http://httpyasirblogspotcom.blogspot.com/2009/02/hukum-dan-etika-rumah-sakit.html, diakses tgl 21 Juli 2009.

Lubis,Sofyan, http://www.kantorhukum lhs.com/details_artikel_hukum.php?id=15, diakses tangal 21 Juli 2009.

Rahayu, Siti, http://ayoe01.multiply.com/journal/item/1, diakses tanggal 21 Juli 2009.

Robert Imam Sutedja, ” Peraturan perundang-undangan Rumah Sakit ”, http://www.indographstudio.com.html, diakses pada tanggal 23 Februari 2009. Shaleh L.Seumawe, “Dokter dan Tanggung jawab Terhadap Pihak Ketiga”,

http://www.modusaceh-news.com.html, diakses pada tanggal 25 Maret 2009. Henny Saida Flora,

http://mediasuakamediaperlindungankonsumendiindonesia.com/2009/04/pera

nan-pemerintah.html, diakses pada tanggal 4 April 2009

Henny Saida Flora,

http://www.freewebs.com/pencegahanberspektifpasien/implikasihukum.html,

diakses 25 Maret 2009

Titiana Adinda, http://maleakhi.com/?=p98-peraturan-kesehatan.html, diakses tgl 1 Juni 2009

Muhammad Rasyid,

http://els.bappenas.go.id/upload/other/Banyak%20Rumah%20Sakit%20tidak

%20Memiliki-MI.htm, diakses tanggal 17 Juni 2009

C. Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Undang-undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan.

Undang-undang No.29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan.

Natalita Solagracia Situmorang : Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Pasien Dalam Jasa Pelayanan


(6)

Keputusan Menteri Kesehatan No.129/Menkes/SK/II/2008 Tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit.

Surat Edaran Menteri Kesehatan No.725/Menkes/E/VI/2004 Tentang Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta di Bidang Medik.

Keputusan Menteri Kesehatan Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial No.191/Menkes-Kesos/SK/II/2001 Tentang Rumah Sakit.

Keputusan Menteri Kesehatan No. 582/Menkes/SK/VI/1997 Tentang Pola Tarif Rumah Sakit Pemerintah.

Keputusan MenteriPerindustrian dan Perdagangan No.350/MPP/Kep/12/2001 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Kitab Undang-undang Hukum Perdata Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana


Dokumen yang terkait

Perlindungan Konsumen Terhadap Jasa Pelayanan Tukang Gigi Ditinjau Dari Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

12 99 88

Perlindungan hukum terhadap pasien sebagai konsumen jasa di bidang pelayanan medis berdasarkan kitab undang undang hukum perdata

0 6 97

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN SEBAGAI KONSUMEN PENGGUNA JASA PELAYANAN KESEHATAN RUMAH SAKIT

0 3 109

PELAKSANAAN PELAYANAN KESEHATAN TERHADAP PASIEN DI INSTALASI GAWAT DARURAT (IGD) PADA RUMAH SAKIT ISLAM (RSI) IBNU SINA BUKITTINGGI DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.

0 0 6

TANGGUNG JAWAB RUMAH SAKIT TERHADAP KESELAMATAN PASIEN TERKAIT PELAYANAN RUMAH SAKIT DALAM KEADAAN DARURAT BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 44 TAHUN 2009 TENTANG RUMAH SAKIT.

0 0 2

PERTANGGUNGJAWABAN PT. KALBE FARMA TERHADAP KORBAN OBAT ANESTESI BERMASALAH DI RUMAH SAKIT SILOAM MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.

0 1 2

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK PASIEN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 44 TAHUN TAHUN 2009 TENTANG RUMAH SAKIT (STUDI PADA RUMAH SAKIT MULIA HATI WONOGIRI.

0 0 17

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN SEBAGAI KONSUMEN JASA PELAYANAN KESEHATAN DALAM TRANSAKSI TERAPEUTIK

0 0 15

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN SEBAGAI KONSUMEN JASA PELAYANAN KESEHATAN DALAM TRANSAKSI TERAPEUTIK

0 0 20

JURNAL ILMIAH PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PASIEN SEBAGAI KONSUMEN JASA TERHADAP PELAYANAN KESEHATAN DITINJAU DARI UNDANG- UNDANG NOMOR 8 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

0 0 22