ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENIPUAN TERHADAP CALON JEMAAH UMRAH (Studi Kasus Perkara Nomor: 758/Pid.B/2011/PN.TK)

(1)

Ranti Setya Cipta Pratama

ABSTRAK

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENIPUAN TERHADAP CALON JEMAAH UMRAH

(Studi Kasus Perkara Nomor : 758/Pid.B/2011/PN.TK) Oleh

RANTI SETYA CIPTA PRATAMA

Dalam beberapa tahun terakhir ini, terdapat peningkatan permintaan perjalanan umrah yang cukup besar, sehingga banyak Biro Perjalanan Tour & Travel yang menawarkan perjalanan umrah. Namun, kondisi ini pun akhirnya dimanfaatkan oleh oknum Biro Perjalanan Tour & Travel nakal yang mengaku sebagai biro perjalanan umrah yang menawarkan biaya yang murah. Hal ini membuat banyak korban tergiur untuk mendaftarkan diri sebagai peserta calon jemaah umrah. Untuk itu, penulis ingin membahas permasalahan tentang bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana penipuan terhadap Calon Jemaah Umrah pada Studi Kasus Perkara Nomor : 758/Pid.B/2011/PN.TK serta apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana penipuan pada perkara Nomor: 758/Pid.B/2011/PN.TK.

Metode penelitian ini menggunakan pendekatan masalah secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melalui studi lapangan dan data sekunder diperoleh melalui studi pustaka. Data diperoleh dengan pengumpulan sampel secara purposive sampling yaitu dengan cara wawancara dengan menggunakan pedoman tertulis terhadap responden yang telah ditentukan.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada Studi Kasus Perkara Nomor: 758/Pid.B/2011/PN.TK, maka dapat diketahui bahwa telah terpenuhi unsur-unsur perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana, berupa perbuatan yang melawan hukum (unsur melawan hukum), seorang pembuat atau pelaku yang dianggap mampu bertanggung jawab atas perbuatannya, dengan sengaja tanpa hak bertindak sebagai penyelenggara perjalanan ibadah umrah, serta tidak adanya alasan pemaaf (unsur kesalahan). Sedangkan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana penipuan pada studi kasus Nomor : 758/Pid.B/2011/PN.TK dilihat dari hal-hal yang bersifat yuridis maupun non yuridis, hal-hal yang bersifat yuridis yaitu dakwaan, keterangan terdakwa dan saksi, barang bukti yang ditunjukan dalam persidangan, pasal-pasal yang terdapat


(2)

Ranti Setya Cipta Pratama

di dalam hukum pidana. Hal-hal yang bersifat non yuridis yaitu latar belakang perbuatan terdakwa, akibat perbuatan terdakwa, kondisi diri terdakwa, keadaan sosial ekonomi terdakwa dan faktor agama dari terdakwa, hal-hal yang memberatkan dan meringankan pidana, dan terdapat lebih dari satu alat bukti sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 183 dan 184 KUHP.

Berdasarkan hasil penelitian, maka disarankan adanya peningkatan kinerja aparat penegak hukum khususnya hakim, agar dalam menjatuhkan suatu putusan mempertimbangkan aspek yuridis dan non yuridis, hal yang memberatkan dan meringankan, serta pasal 183 dan 184 KUHP, sehingga dapat memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana. Menghimbau kepada seluruh masyarakat untuk dapat memahami akan hukum, sehingga pelaku tindak pidana dapat mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah dilakukan serta agar lebih berhati-hati dengan penipuan bermodus pemberangkatan umrah dengan biaya murah, kecuali ada bantuan dari Pemerintah.


(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kejahatan yang berlangsung ditengah-tengah masyarakat semakin hari kian berkembang, salah satu yang mulai tampak menonjol ialah banyaknya kejahatan-kejahatan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada umumnya bertalian dengan uang, harta benda, atau harta kekayaan, kejahatan terhadap harta kekayaan ini semakin berkembang apabila tingkat kehidupan masyarakat semakin rendah sehingga berakibat semakin melunturnya nilai-nilai kehidupan.

Nilai-nilai kehidupan yang cenderung luntur, memberikan peluang tertentu kepada sebagian masyarakat untuk melakukan suatu tindak pidana yang erat hubungannya dengan kepercayaan dan harta kekayaan, yaitu tindak pidana penipuan sebagaimana diatur dalam Buku Kedua Bab XXV Pasal 378 KUHP, yaitu:

"Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun."

Hal ini yang menyatakan bahwa tindak pidana penipuan memiliki masalah yang berhubungan erat dengan sikap, moral, mental, kejujuran dan kepercayaan


(4)

manusia sebagai individu, seperti halnya kasus penipuan dana calon jemaah umrah di Indonesia yang merupakan suatu problema masyarakat yang tidak dapat dipercaya untuk diperbuat seseorang. Niat yang suci untuk melaksanakan perintah Allah SWT dengan mempergunakan ongkos sebagai langkah untuk memenuhi panggilan-Nya, tidak menjadi hambatan seseorang untuk melakukan kejahatan.

Pada penyelenggaraan ibadah umrah terdapat penipuan yang melanggar kewenangan dan penyalahgunaan hak, walaupun pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji yang telah berlangsung kurang lebih 4 tahun diberlakukannya, namun pada kenyataannya masih banyak biro perjalanan umrah yang melakukan penipuan kepada calon jemaah umrah. Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak bertindak sebagai penyelenggara perjalanan Ibadah Umrah dengan mengumpulkan dan/atau memberangkatkan Jemaah Umrah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).1

Pengadilan Negeri Tanjung Karang menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Heryanti Munayah Binti Gerudin yang bersalah melakukan tindak pidana penipuan terhadap jemaah umrah sebagaimana diatur dalam Pasal 63 ayat (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji . Terdakwa dihukum dengan pidana penjara selama 1 tahun 4 bulan penjara dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara, dengan perintah

1


(5)

terdakwa tetap dalam tahanan dan denda Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah), karena secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penipuan terhadap calon jemaah umrah.2

Berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor: 758/Pid./B/2011/PN.TK tersebut, terlihat bahwa vonis yang dijatuhkan Majelis Hakim kepada terdakwa, yaitu 1 tahun 4 bulan tidak sesuai dengan tuntutan jaksa yaitu 2 (dua) tahun penjara dan masih jauh dari hukuman maksimalnya yaitu 4 (empat) tahun penjara.

Berdasarkan uraian di atas yang sekaligus juga melatarbelakangi masalah, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan kemudian membahasnya lebih lanjut dalam bentuk Skripsi dengan judul “Analisis Pertanggungjawaban Pidana

Pelaku Tindak Pidana Penipuan Terhadap Calon Jemaah Umrah (Studi Perkara

Nomor : 758/Pid.B/2011/PN.TK.).”

2


(6)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana penipuan calon jemaah umrah (Studi Kasus Perkara Nomor: 758/Pid.B/2011/PN.TK)? b. Apakah dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap

pelaku tindak pidana penipuan calon jemaah umrah (Studi Kasus Perkara Nomor: 758/Pid.B/2011/PN.TK)?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup studi dalam penelitian ini adalah kajian Ilmu Hukum Pidana, khususnya yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penipuan dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana penipuan sebagaimana terdapat pada Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 758/Pid.B/2011/PNTK. Ruang lingkup waktu penelitian adalah tahun 2012 dan ruang lingkup lokasi penelitian adalah pada Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang.


(7)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana penipuan terhadap calon jemaah umrah.

b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana penipuan calon jemaah umrah.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pengembangan kajian hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penipuan dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana penipuan.

b. Kegunaan Praktis

Dengan adanya penulisan skripsi ini, diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan di dalam bidang hukum serta sebagai masukan dalam praktek pengadilan dan penegakan hukum.


(8)

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah abstraksi hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi yang dianggap relevan oleh peneliti3.

a. Pertanggungjawaban Pidana

Seorang yang melakukan tindak pidana baru boleh dihukum apabila si pelaku sanggup mempertanggungjawabkan yang telah diperbuatnya, masalah pertanggungjawaban erat kaitannya dengan kesalahan, oleh karena adanya asas pertanggungjawaban yang menyatakan dengan tegas bahwa tidak dipidana tanpa ada kesalahan. Pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya.4

Pertanggungjawaban pidana menurut hukum pidana adalah kemampuan bertanggungjawab seseorang terhadap kesalahan. Unsur pertama adalah kemampuan bertanggung jawab yang dapat diartikan sebagai implementasi tanggungjawab seseorang untuk menerima setiap resiko atau konsekuensi yuridis yang muncul sebagai akibat tindak pidana yang telah dilakukannya, sedangkan

3

Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1983), Hlm. 73

4


(9)

unsur kedua adalah kesalahan yang dapat diartikan sebagai unsur kesengajaan, kelalaian, atau kealpaan.

1) Kemampuan bertanggung jawab

Unsur pertama dari kesalahan adalah adanya kemampuan bertangggung jawab. Tidaklah mungkin seseorang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana apabila ia tidak mampu bertanggung jawab. Kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan jiwa sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun dari orangnya5. Kemampuan bertanggung jawab harus memuat unsur:

a) Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk sesuai hukum dan yang melawan hukum (intellectual factor);

b) Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan tadi (volitional factor).

Orang yang mampu bertanggung jawab harus memenuhi tiga syarat6: a) Dapat menginsyafi makna perbuatannya;

b) Dapat menginsyafi bahwa perbuatan itu tidak dapat dipandang patut dalam pergaulan masyarakat;

c) Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan.

5

Tri Andrisman, Asas-asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, (Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2009), Hlm. 96

6


(10)

Seorang pelaku tindak pidana tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban terhadap perbuatannya, apabila terdapat alasan-alasan pemaaf (kesalahannya ditiadakan) dan alasan pembenar (sifat melawan hukumnya ditiadakan) yang dasar-dasarnya ditentukan dalam KUHP, sebagai berikut:

a) Alasan pemaaf/kesalahannya ditiadakan, yaitu jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit (Pasal 44 KUHP), pengaruh daya paksa (Pasal 48 KUHP), pembelaan terpaksa karena serangan (Pasal 49 KUHP) dan perintah jabatan karena wewenang (Pasal 51 KUHP).

b) Alasan pembenar/peniadaan sifat melawan hukum, yaitu keadaan darurat (Pasal 48 KUHP), terpaksa melakukan pembelaan karena serangan terhadap diri sendiri maupun orang lain, terhadap kehormatan kesusilaan, atau harta benda sendiri atau orang lain (Pasal 49 KUHP), perbuatan yang dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang (Pasal 50 KUHP) dan perbuatan yang dilaksanakan menurut perintah jabatan oleh penguasa yang berwenang (Pasal 51 KUHP).

2) Kesengajaan/kelalaian atau kealpaan

Unsur kedua dari kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya adalah hubungan batin antara si pembuat terhadap perbuatannya, yang dicelakan kepada si pembuat. Hubungan batin ini bissa berupa sengaja atau alpa. KUHP tidak memberikan pengertian tentang kesengajaan. Petunjuk tentang arti kesengajaan dapat diketahui dari MvT (Memorie van Toelichting), yang memberikan arti kesengajaan sebagai


(11)

menghendaki dan mengetahui.7 Bentuk atau corak kesengajaan ada 3 (tiga) macam yaitu:

a) Sengaja dengan maksud (Dolus Directus), yaitu apabila si pelaku memang menghendaki dengan maksud akibat perbuatan yang dilakukan sesuai dengan sempurna.

b) Sengaja dengan kepastian, yaitu apabila si pelaku mengetahui dari perbuatannya yang dilakukan akan timbul atau pasti terjadi akibat lain dari perbuatan yang dilakukan.

c) Sengaja dengan kemungkinan (Dolus Evertualis), yaitu apabila si pelaku dapat memperkirakan kemungkinan yang timbul akibat lain dari perbuatan yang dilakukan dan ternyata kemungkinan tersebut benar-benar terjadi.

Hubungan kemampuan bertanggung jawab dengan perbuatan yang dilakukan merupakan masalah kesengajaan, kealpaan serta alasan pemaaf sehingga mampu bertanggung jawab harus mempunyai kesengajaan atau kealpaan serta tidak adanya alasan pemaaf merupakan unsur kesalahan dari semua unsur kesalahan. Jadi harus dihubungkan pula dengan tindak pidana yang dilakukan, sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa harus memenuhi beberapa syarat yaitu8:

a) Melakukan perbuatan pidana; b) Mampu bertanggung jawab; c) Dengan sengaja atau kealpaan; dan

7

Tri Andrisman,Op. cit., Hlm. 102

8


(12)

d) Tidak adanya alasan pemaaf.9

b. Tindak Pidana Penipuan

Timbulnya tindak pidana tidak disebabkan oleh satu faktor saja yang berdiri sendiri, sebagaimana yang dikemukakan oleh Sutherland bahwa:

“Tindak pidana adalah hasil dari faktor-faktor yang beraneka ragam dan bermacam-macam. Dan bahwa faktor-faktor itu dan untuk selanjutnya tidak bisa disusun menurut ketentuan yang berlaku umum tanpa ada pengecualian atau dengan perkataan lain, untuk menerangkan kelakuan kriminal memang

tidak ada teori ilmiah”.10

Menurut bahasa, penipuan berasal dari kata “tipu” yang berarti perbuatan atau

perkataan tidak jujur (bohong, palsu, dan sebagainya) dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali atau mencari untung. Sedangkan penipuan merupakan proses dari tindakan menipu.11 Secara yuridis, penipuan berarti perbuatan dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat atau kebohongan yang dapat menyebabkan orang lain dengan mudah menyerahkan barang, uang atau kekayaan12.

Tindak pidana penipuan yang terdapat pada Pasal 378 KUHP mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

a) Barang siapa dengan maksud menguntungkan dirinya atau orang lain; b) Melawan hukum;

9Ibid. 10

Hari Saherodji,Pokok-Pokok Kriminologi, (Bandung: Aksara Baru, Bandung, 1980), Hlm. 35

11

Adam Normies,Kamus Bahasa Indonesia, (Bandung: Karya Ilmu, 1992), Hlm. 199

12

Soehandi, Kamus Populer Kepolisian Semarang: Koperasi Wira Raharja, Pokok-pokok Kriminologi. (Bandung: Aksara Baru, 20060, Hlm. 78


(13)

c) Dengan memakai nama palsu atau martabat palsu atau dengan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan.

Unsur-unsur tindak pidana penipuan yang terdapat pada Pasal 63 ayat (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 2008 sebagai berikut:

a) Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak bertindak sebagai penyelenggara perjalanan ibadah umrah;

b) Dengan mengumpulkan dan/atau memberangkatkan jemaah umrah.

c. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana

Pada dasarnya tujuan hukum acara pidana itu adalah mencari, menentukan, dan menggali kebenaran materil (materieele waarheid) atau kebenaran yang sesungguh-sungguhnya. Dengan demikian, berkorelatif aspek tersebut secara teoritis dan praktek peradilan guna mewujudkan materieele waarheid maka suatu alat bukti mempunyai peranan penting dan menentukan sehingga haruslah dipergunakan dan diberi penilaian secara cermat agar tercapai kebenaran hakiki sekaligus tanpa mengabaikan hak asasi terdakwa.13

Menurut Barda Nawawi Arif, hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa hakim tidak boleh menjantuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa

13

Lilik Mulyadi,Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), Hlm. 74


(14)

suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.14Alat bukti sah berdasarkan Pasal 184 adalah:

a) Keterangan Saksi; b) Keterangan Ahli; c) Surat;

d) Petunjuk;

e) Keterangan Terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan.

Pasal 185 ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya, sedangkan dalam ayat 3 dikatakan ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya (unus testis nullus testis ). Saksi korban juga berkualitas sebagai saksi, sehingga apabila terdapat alat bukti yang lain sebagaimana dimaksud dalam ayat 3, maka hal itu cukup untuk menuntut pelaku tindak pidana.

Selain itu, hakim Pengadilan Negeri mengambil suatu keputusan dalam sidang pengadilan, mempertimbangkan beberapa aspek, yaitu:

(1) Kesalahan pelaku tindak pidana.

Hal ini merupakan syarat utama untuk dapat dipidananya seseorang. Kesalahan di sini mempunyai arti seluas-luasnya, yaitu dapat dicelanya pelaku tindak pidana tersebut. Kesengajaan dan niat pelaku tindak pidana

14

Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti 1996), Hlm. 112-114


(15)

harus ditentukan secara normatif dan tidak secara fisik. Untuk menentukan adanya kesengajaan dan niat harus dilihat dari peristiwa, yang harus memegang ukuran normatif dari kesengajaan dan niat adalah hakim.

(1) Motif dan tujuan dilakukannnya suatu tindak pidana.

Kasus tindak pidana mengandung unsur bahwa perbuatan tersebut mempunyai motif dan tujuan untuk dengan sengaja melawan hukum.

(2) Cara melakukan tindak pidana.

Pelaku melakukan perbuatan tersebut ada unsur yang direncanakan terlebih dahulu untuk melakukan tindak pidana tersebut. Memang terdapat unsur niat di dalamnya yaitu keinginan si pelaku untuk melawan hukum.

(3) Sikap batin pelaku tindak pidana.

Hal ini dapat diidentifikasikan dengan melihat pada rasa bersalah, rasa penyesalan dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan tersebut. Pelaku juga memberikan ganti rugi atau uang santunan pada keluarga korban dan melakukan perdamaian secara kekeluargaan.

(4) Riwayat hidup dan keadan sosial ekonomi.

Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku tindak pidana juga sangat mempengaruhi putusan hakim dan memperingan hukuman bagi pelaku, misalnya belum pernah melakukan perbuatan tindak pidana apapun, berasal dari keluarga baik-baik, tergolong dari masyarakat yang berpenghasilan sedang-sedang saja (kalangan kelas bawah).


(16)

Pelaku dalam dimintai keterangan atas kejadian tersebut, ia menjelaskan tidak berbelir-belit, ia menerima dan mengakui kesalahannya. Maka hal yang di atas juga menjadi pertimbangan bagi hakim untuk memberikan keringanan pidana bagi pelaku. Pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku. Pidana juga mempunyai tujuan yaitu selain membuat jera kepada pelaku tindak pidana, juga untuk mempengaruhi pelaku agar tidak mengulangi perbuatannnya tersebut, membebaskan rasa bersalah pada pelaku, memasyarakatkan pelaku dengan mengadakan pembinaan, sehingga menjadikannya orang yang lebih baik dan berguna.

(6) Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Dalam suatu tindak pidana masyarakat menilai bahwa tindakan pelaku adalah suatu perbuatan tercela, jadi wajar saja kepada pelaku mendapat ganjarannya dan menjadikan pelajaran untuk tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Hal tersebut dinyatakan bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran dan keadilan juga kepastian hukum.


(17)

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan dalam penelitian.15 Berdasarkan definisi tersebut, maka batasan pengertian dari istilah yang digunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut:

a) Analisis adalah penyidikan suatu peristiwa (karangan, perbuatan dan sebagainya), untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya sebab-musabab, duduk perkaranya dan sebagainya.16

b) Pertanggungjawaban pidana adalah suatu mekanisme hukum, dimana setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, harus mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya.17

c) Pelaku adalah mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan.18

d) Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.19

e) Tindak pidana penipuan adalah Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan

15

Soerjono Soekanto,Op. cit. Hlm. 112

16

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa,Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), Hlm. 60

17

Andi Hamzah,Op. cit, Hlm. 12

18

Pasal 55 ayat (1) KUHP

19


(18)

sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang.20

f) Umrah (haji kecil) yaitu kunjungan (ziarah) ke tempat suci (sebagai bagian dari upacara naik haji, dilakukan setiba di Mekah) dengan cara berihram, tawaf, sai, dan bercukur, tanpa wukuf di Padang Arafah, yang pelaksanaannya dapat bersamaan dengan waktu haji atau di luar waktu haji.21

g) Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.22

E. Sistematika Penulisan

Sistematika yang disajikan, agar mempermudah dalam penulisan skripsi secara keseluruhan diuraikan sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Berisi Pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teori dan konseptual serta sistematika penulisan.

20

Pasal 378 KUHP

21

Kamus Bahasa Indonesia,Op. cit. Hlm. 1588

22


(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Berisi Tinjauan Pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang berhubungan dengan penyusunan skripsi, yaitu pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana penipuan dan dasar pertimbangan hakim dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji .

III. METODE PENELITIAN

Berisikan metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari pendekatan masalah, sumber data, penentuan populasi dan sampel, prosedur pengumpulan dan pengolahan data serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berisi deskripsi, berupa penyajian dan pembahasan data yang telah didapat penelitian, terdiri dari deskripsi dan analisis pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penipuan dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana penipuan.

V. PENUTUP

Berisi kesimpulan yang didasarkan pada hasil analisis dan pembahasan penelitian, serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan yang ditujukan kepada pihak-pihak yang terkait dengan penelitian.


(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana (criminal liability) atau (straafbaarheid), sesungguhnya tidak hanya menyangkut soal hukum semata-mata, melainkan juga menyangkut soal nilai-nilai moral atau kesusilaan umum yang dianut oleh masyarakat atau kelompok-kelompok dalam masyarakat. Dipidananya seseorang tidaklah cukup, apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi walaupun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, yaitu bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt).1

Menurut Romli Atmasasmita, pertanggungjawaban atauliabilitydiartikan sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dan seseorang yang dirugikan.2 Roeslan Saleh berpendapat bahwa tanggung jawab atas sesuatu perbuatan pidana yang bersangkutan secara sah dapat dikenai pidana karena perbuatan itu.3

1

Moeljatno,Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban pidana. (Jogjakarta, 1978), Hlm. 56

2

Romli Atmasasmita,Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana. (Jakarta: LBHI, 1989), Hlm. 79

3


(21)

Konsep dalam rancangan KUHP baru tahun 1991/1992 memberikan definisi pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang obyektif ada pada tindak pidana berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku dan secara subyektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat dalam peraturan perundang-undangan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu.

B. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana

Secara yuridis tindak pidana diartikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar hukum atau dilanggar oleh undang-undang dari beberapa definisi tindak pidana diketahui pada dasarnya adalah suatu bentuk perbuatan dan tingkah laku yang melanggar hukum dan perundang-undangan lain serta melanggar norma sosial hingga masyarakat menentangnya.4 Menurut Moeljatno tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.5 Pompe memberikan pengertian tindak pidana menjadi dua definisi, yaitu:

1. Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. 2. Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian/feit yang oleh

peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.6

4

H. Saherodji,Op. cit. Hlm. 12

5

Moeljatno,Op. cit. Hlm. 54

6


(22)

Menurut Simons mendefinisikan tindak pidana adalah kelakuan/handeling yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.7 Sedangkan Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana.8

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tindak pidana dibagi dalam 2 (dua) kelompok, yaitu:

1) Kejahatan (termuat dalam Buku II, Pasal 104 sampai Pasal 488). Yang termasuk dalam kejahatan antara lain:

a. Kejahatan terhadap keamanan negara;

b. Kejahatan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden;

c. Kejahatan terhadap negara sahabat dan terhadap kepala dan wakil negara tersebut;

d. Kejahatan terhadap ketertiban umum;

e. Kejahatan yang membahayakan keamanan orang dan barang; f. Kejahatan terhadap kesusilaan;

g. Kejahatan terhadap nyawa; h. Kejahatan terhadap tubuh; i. dan lain-lain.

7

Moeljatno,Op. cit. Hlm. 56

8

Wirjono Prodjodikoro,Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. (Bandung: Eresco, 1986), Hlm. 55


(23)

2) Pelanggaran (termuat dalam Buku III, Pasal 489 sampai Pasal 569). Yang termasuk dalam kelompok pelanggaran, antara lain:

a. Pelanggaran keamanan umum bagi orang atau barang dan kesehatan; b. Pelanggaran terhadap ketertiban umum;

c. Pelanggaran terhadap kekuasaan umum; dan d. Pelanggaran terhadap orang yang perlu ditolong.

2. Unsur-unsur Tindak Pidana

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui beberapa unsur yang terkandung dalam suatu tindak pidana. Apabila unsur-unsur tersebut salah satunya tidak terbukti, maka perbuatan tersebut bukanlah suatu tindak pidana atau kejahatan. Menurut Moeljatno, unsur-unsur perbuatan pidana adalah9:

1. Kelakuan dan akibat (perbuatan);

2. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan; 3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana; 4. Unsur melawan hukum yang obyektif; dan 5. Unsur melawan hukum yang subyektif.

Berdasarkan uraian di atas, maka dalam merumuskan suatu perbuatan pidana perlu ditegaskan secara jelas hal-hal yang menjadi unsur-unsurnya. Unsur-unsur tersebut diantaranya adalah suatu perbuatan, melawan hukum, kesalahan dan dapat dipertanggungjawabkan. Lebih lanjut Moeljatno10 membedakan unsur

9

Moeljatno,Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), Hlm. 63

10Ibid


(24)

tindak pidana berdasarkan perbuatan dan pelaku dapat dibagi dalam 2 (dua) bagian, yaitu:

1. Unsur subyektif, berupa: a. Perbuatan manusia; dan b. Mengandung unsur kesalahan. 2. Unsur obyektif, berupa:

a. Bersifat melawan hukum; dan b. Ada aturannya.

Unsur-unsur tindak pidana terbagi menjadi 2, yaitu unsur subyektif dan unsur obyektif. Unsur subyektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku. Unsur obyektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu dalam keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.

C. Tindak Pidana Penipuan

Menurut Andi Hamzah, tindak pidana adalah tindakan atau perbuatan seseorang atau individu yang menyebabkan terjadinya suatu tindak kriminal, menyebabkan orang tersebut menanggung pidana atas perbuatan yang dilakukannya.11Perbuatan tersebut dinyatakan bertentangan dengan nilai-nilai dalam masyarakat, norma hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana.

11


(25)

Setiap perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus dihindari dan barangsiapa melanggarnya, maka akan dikenakan pidana. Larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap warga negara wajib dicantumkan dalam undang-undang maupun peraturan-peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Berdasarkan Pasal 378, penipuan itu terdapat unsur-unsur obyektif yang meliputi perbuatan (menggerakkan), yang digerakkan (orang), perbuatan itu ditujukan pada orang lain (menyerahkan benda, memberi hutang, dan menghapus piutang), dan cara melakukan perbuatan menggerakkan dengan memakai nama palsu, memakai tipu muslihat, memakai martabat palsu, dan memakai rangkaian kebohongan. Unsur-unsur subyektif yang meliputi maksud untung menguntungkan diri sendiri atau orang lain dan maksud melawan hukum. Perbuatannya yaitu:

a. Melakukan akal dan tipu muslihat atau perkataan-perkataan bohong atau membujuk orang lain atau perbuatan curang.

b. Memakai nama palsu atau keadaan palsu.

c. Menggerakkan orang untuk memberikan suatu barang atau memberi hutang atau menghapus piutang.

d. Melakukan akal dan tipu muslihat atau perkataan-perkataan bohong atau membujuk orang lain atau perbuatan curang menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum.


(26)

Pasal 378 menentukan ancaman pidana yang dikenakan bagi setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 378 adalah pidana penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun.

D. Dasar Pertimbangan Hakim

Hakim yang bebas dan tidak memihak telah menjadi ketentuan universal. Ia menjadi ciri negara hukum. Sistem yang dianut di Indonesia, pemeriksaan di sidang pengadilan yang dipimpin oleh hakim, hakim itu harus aktif bertanya dan memberi kesempatan kepada pihak terdakwa, yang diawali oleh penasehat hukumnya untuk bertanya kepada saksi-saksi, begitu pula Penuntut Umum. Semua itu dengan maksud menemukan kebenaran materiil. Hakimlah yang bertanggung jawab atas segala yang diputuskannya.12

Perihal putusan hakim atau putusan pengadilan merupakan aspek penting dan diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Dengan demikian dapat dikonklusikan lebih jauh, bahwasanya putusan hakim di satu pihak berguna bagi terdakwa guna memperoleh kepastian hukum tentang statusnya, dan sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut dalam arti dapat berupa menerima putusan, melakukan upaya hukum verzet, banding, atau kasasi, melakukan grasi, dan sebagainya. Apabila ditelaah melalui visi hakim yang mengadili perkara, putusan hakim adalah mahkota dan puncak pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran hakiki, HAM, penguasaan hukum atau fakta secara

12


(27)

mapan, mumpuni dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dari hakim yang bersangkutan.13

Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa sesuatu tindakan pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dengan perkataan lain meskipun ada lebih dari dua alat bukti yang sah kalau hakim belum atau tidak memperoleh keyakinan bahwa terdakwa benar-benar bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka hakim tidak akan memutuskan penjatuhan pidana terhadap terdakwa.

Kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum karena:

(1) Tidak terdapat alat bukti seperti ditentukan asas minimum pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewijs theorie) sebagaimana dianut KUHAP. Misalnya, hakim dalam persidangan menemukan satu alat bukti berupa keterangan terdakwa saja (Pasal 184 ayat (1) huruf e KUHAP) atau satu alat bukti petunjuk saja (Pasal 184 ayat (1) huruf d KUHAP).

(2) Majelis Hakim berpendirian bahwa terhadap asas minimum pembuktian sesuai undang-undang telah terpenuhi misalnya adanya dua alat bukti berupa keterangan saksi (Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP) dan alat bukti petunjuk

13


(28)

(Pasal 184 ayat (1) huruf d KUHAP). Akan tetapi, majelis hakim tidak dapat menjatuhkan pidana karena tidak yakin akan kesalahan terdakwa.

Berdasarkan Pasal 191 ayat (1) KUHAP, putusan bebas adalah jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan terdakwa yang didakwakan kepadanya jika terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.

Teori dasar pertimbangan hakim, yaitu putusan hakim yang baik, mumpuni dan sempurna, hendaknya putusan tersebut dapat diuji dengan empat kriteria dasar pertanyaan (the four way test)14, berupa:

1. Benarkah putusanku ini?

2. Jujurkah aku dalam mengambil putusan? 3. Adilkah bagi pihak-pihak putusan? 4. Bermanfaatkah putusanku ini?

Prakteknya, walaupun telah bertitik tolak dari sifat/sikap seseorang hakim yang baik, kerangka landasan berpikir/bertindak dan melalui empat buah titik pertanyaan tersebut di atas, maka hakim ternyata seorang manusia biasa yang tidak luput dari kelalaian, kekeliruan/kekhilafan (rechterlijk dwaling), rasa rutinitas, kekuranghati-hatian dan kesalahan. Praktek peradilan pada saat ini, ada

14


(29)

saja aspek-aspek tertentu yang luput dan kerap tidak diperhatikan hakim dalam membuat keputusan.15

Putusan hakim merupakan puncak dari perkara pidana, sehingga hakim harus mempertimbangkan aspek-aspek lainnya selain dari aspek yuridis, sehingga putusan hakim tersebut lengkap mencerminkan nilai-nilai sosiologis, filosofis, dan yuridis. Hakekatnya dengan adanya pertimbangan-pertimbangan tersebut, diharapkan nantinya dihindari sedikit mungkin putusan hakim menjadi batal demi hukum (van rechtswege nietig atau null and void), karena kurang pertimbangan hukum (onvoldoende gemotiverd).

Praktek peradilan pidana pada putusan hakim sebelum pertimbangan-pertimbangan yuridis dibuktikan, maka hakim terlebih dahulu akan menarik fakta-fakta dalam persidangan yang timbul dan merupakan konklusi kumulatif dari keterangan para saksi, keterangan terdakwa, dan barang bukti yang diajukan dan diperiksa di persidangan. Menurut Soerjono Soekanto, teori lain yang berkaitan dengan dasar pertimbangan hakim, yaitu dalam mengadili pelaku tindak pidana pemalsuan dokumen, maka proses menyajikan kebenaran dan keadilan dalam suatu putusan pengadilan sebagai rangkaian proses penegakan hukum, maka dapat dipergunakan teori kebenaran.16

Putusan pengadilan dituntut untuk memenuhi teori-teori sebagai berikut: a. Teori Koherensi atau Konsistensi

15

Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1986), Hlm. 125

16


(30)

Teori yang membuktikan adanya saling berhubungan antara bukti yang satu dengan bukti yang lain, misalnya antara keterangan saksi yang satu dengan keterangan saksi yang lain. Atau, saling berhubungan antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain (alat-alat bukti yang tertuang dalam Pasal 184 KUHAP). Dalam hal seperti ini, dikenal adanya hubungan kausalitas yang bersifatrasional a priori.

b. Teori Korespondensi

Jika ada fakta-fakta di persidangan yang saling bersesuaian, misalnya antara keterangan saksi bersesuaian dengan norma atau ide. Jika keterangan saksi Mr. X menyatakan bahwa pembangunan proyek yang dilakukan oleh Mr. Y tidak melalui proses lelang, tetapi dilaksanakan melalui penunjukan langsung Perusahaan Z. Persesuaian antara fakta dengan norma ini, terlihat dalam hubungan kausalitas yang bersifat empirisa pesteriori.

c. Teori utilitas

Teori ini dikenal pula dengan pragmatik, kegunaan yang bergantung pada manfaat (utility), yang memungkinkan dapat dikerjakan (workability),

memiliki hasil yang memuaskan (satisfactory result), misalnya, seseorang yang dituduh melakukan korupsi karena melakukan proyek pembangunan jalan yang dalam kontrak akan memakai pasir sungai, tetapi karena di daerah tersebut tidak didapatkan pasir sungai, lalu pelaksana proyek itu mempergunakan pasir gunung yang harganya lebih mahal.


(31)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan untuk memahami persoalan dengan tetap berada atau bersandarkan pada lapangan atau kajian ilmu hukum, sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk memperoleh kejelasan dan pemahaman dari permasalahan penelitian berdasarkan realitas yang ada atau studi kasus.1

Berdasarkan pengertian tersebut, maka pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris digunakan dalam penelitian ini, untuk memahami persoalan mengenai pertangungjawaban pidana pelaku tindak pidana penipuan dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana penipuan dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaran Ibadah Umrah, dengan berdasarkan pada studi kasus terhadap Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor: 758/Pid.B/2011/PN.TK.

1


(32)

B. Sumber dan Jenis Data

Jenis data dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka.2 Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:

1. Data Primer

Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan penelitian dengan cara melakukan wawancara dengan orang-orang yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti dalam penulisan skripsi. Data primer ini akan diambil dari Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang dan Kejaksaan Negeri Bandar Lampung.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Data sekunder dalam penelitian ini, terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat terdiri dari: (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo. Undang-Undang Nomor 73

Tahun 1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

(2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP); dan

(3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Umrah.

2


(33)

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder dapat bersumber dari bahan-bahan hukum yang melengkapi hukum primer dan peraturan perundang-undangan lain yang sesuai dengan masalah dalam penelitian ini. Selain itu, bahan hukum sekunder berasal dari Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 758/Pid.B/2011/PN.TK.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier dapat bersumber dari berbagai bahan seperti teori/pendapat para ahli dalam berbagai literatur/buku hukum, dokumentasi, kamus hukum dan sumber dari internet.

C. Penentuan Populasi dan Sampel 1. Populasi

Menurut Soerjono Soekanto, populasi adalah keseluruhan subyek hukum yang memiliki karakteristik tertentu dan ditetapkan untuk diteliti.3 Berdasarkan pengertian di atas, maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah Jaksa dari Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Hakim pada Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

3


(34)

2. Sampel

Menurut Soerjono Soekanto, sampel adalah bagian dari populasi yang masih memiliki ciri-ciri utama dari populasi dan ditetapkan untuk menjadi responden penelitian. Sampel dalam penelitian ditetapkan dengan teknikpurposive sampling,

yaitu sampel dipilih berdasarkan pertimbangan dan tujuan penelitian.4 Berdasarkan pengertian di atas, maka yang menjadi responden/sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung = 2 orang 2) Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang = 2 orang 3) Dosen pada Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum = 1 orang

Universitas Lampung +

Jumlah = 5 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan adalah prosedur yang dilakukan dengan serangkaian kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku literatur serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan terkait dengan permasalahan.

4


(35)

b. Studi Lapangan

Studi lapangan adalah prosedur yang dilakukan dengan kegiatan wawancara (interview) kepada responden penelitian sebagai usaha mengumpulkan berbagai data dan informasi yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.

2. Prosedur Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis data yang telah diperoleh sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Pengolahan data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

a. Seleksi data, adalah kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan data, selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini.

b. Klasifikasi data, adalah kegiatan penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data, yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.

c. Penyusunan data, adalah kegiatan menyusun data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan, sehingga mempermudah interpretasi data.

E. Analisis Data

Menurut Soerjono Soekanto, analisis data adalah menguraikan data dalam bentuk kalimat yang tersusun secara sistematis, jelas dan terperinci, yang kemudian


(36)

diinterpretasikan untuk memperoleh suatu kesimpulan.5 Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini, adalah analisis kualitatif dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induktif, yaitu menguraikan hal-hal yang bersifat khusus lalu menarik kesimpulan yang bersifat umum, sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.

5


(37)

V. PENUTUP A. Kesimpulan

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pelaku tindak pidana penipuan terhadap calon jemaah umrah (Studi Kasus Perkara Nomor: 758/Pid.B/2011/PN.TK), dilaksanakan dengan pertimbangan bahwa pelaku dapat dikatakan memiliki kemampuan bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukan, hal ini berarti tidak memenuhi ketentuan yang terdapat dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP, maka oleh karena itu pelaku harus mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut di depan hukum, pelaku terbukti bersalah serta mengetahui bahwa perbuatannya bersifat melanggar hukum yaitu tanpa hak bertindak sebagai penyelenggara umrah dengan unsur kesengajaan (dolus), serta tidak adanya alasan pemaf yang dapat membenarkan perbuatannya. Putusan Pengadilan Kelas IA Tanjungkarang Nomor: 758/Pid./B/2011/PN.TK dijatuhi pidana penjara selama 1 tahun 4 bulan penjara dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara, dengan perintah Terdakwa tetap dalam tahanan dan denda Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) subsider 2 (dua) bulan kurungan sesuai dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.

Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana penipuan calon jemaah umrah (Studi Kasus Perkara Nomor: 758/Pid.B/2011/PN.TK), yaitu melalui proses pemikiran untuk kemudian


(38)

2

memberikan suatu keputusan serta dalam memberikan keputusan hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang bersifat yuridis maupun non yuridis. Hal-hal yang bersifat yuridis, yaitu dakwaan, keterangan terdakwa dan saksi, barang bukti yang ditunjukkan dalam persidangan serta pasal-pasal yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dan hal-hal yang bersifat non yuridis, yaitu latar belakang perbuatan terdakwa, akibat perbuatan terdakwa, keadaan sosial-ekonomi terdakwa, faktor agama terdakwa. Disamping itu dalam menjatuhkan putusannya, hakim juga mempertimbangkan adanya suatu perbuatan pidana (peristiwa pidana) yang telah terjadi dan unsur-unsur yang memenuhi perbuatan tersebut. Terdapatnya lebih dari dua alat bukti sesuai dalam Pasal 183 dan Pasal 184 KUHP serta mempertimbangkan hal-hal yang meringankan terdakwa, seperti terdakwa mengakui kesalahannya dan menyesali perbuatannya, terdakwa belum pernah dihukum, terdakwa sopan dalam persidangan, dan terdakwa memiliki tanggungan keluarga. Pada akhirnya, seorang hakim memiliki kebebasan dalam memberikan suatu keputusan yang didasarkan pada hati nurani, hal ini diserahkan sepenuhnya pada diri masing-masing hakim, dimana putusan dianggap adil dan dapat diterima oleh semua pihak.


(39)

3

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis menyarankan:

1. Kepada aparat penegak hukum khususnya hakim, agar dalam menjatuhkan putusan mempertimbangkan aspek yuridis dan non yuridis. Hakim dalam memutuskan suatu perkara, harus terlebih dahulu melihat nilai-nilai hukum yang terdapat dalam perundang-undangan yang berlaku, sehingga dapat memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana dan dapat menjadi contoh bagi masyarakat lainnya agar tidak melakukan perbuatan yang sama.

2. Menghimbau kepada seluruh masyarakat untuk dapat lebih memahami hukum, agar seorang pelaku tindak pidana dapat mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah dilakukan, sehingga tidak akan merugikan diri sendiri dan orang lain.

3. Menghimbau kepada masyarakat yang ingin menunaikan ibadah umrah lewat biro perjalanan umrah, agar lebih waspada dengan praktek penipuan yang sedang marak terjadi serta mengingatkan masyarakat untuk lebih berhati-hati terhadap penipuan bermoduskan pemberangkatan umroh dengan biaya yang murah, kecuali ada bantuan dari pemerintah ataupun diselenggarakan oleh biro perjalanan yang terpercaya.


(40)

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENIPUAN TERHADAP CALON JEMAAH UMRAH

(Studi Kasus Perkara Nomor: 758/Pid.B/2011/PN.TK) (Skripsi)

RANTI SETYA CIPTA PRATAMA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(41)

DAFTAR PUSTAKA

Andrisman, Tri. 2009. Asas-asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Arief, Barda Nawawi. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Atmasasmita, Romli. 1989. Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta: LBHI.

________. 1993.Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta. ________. 1987.Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara. Hamzah, Andi. 2001.Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.

Moeljatno. 1978.Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban pidana. Jogjakarta. ________. 1987.Asas-asas Hukum Pidana.Jakarta: Bina Aksara.

________. 1993.Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia.Jakarta: Rineka Cipta. Muhammad, Abdulkadir. 2004.Hukum dan Penelitian Hukum.

Mulyadi. Lilik. 2007.Kekuasaan Kehakiman. Surabaya: Bina Ilmu.

Mulyadi. Lilik. 2010. Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia. Citra Aditya Bakti: Bandung.

Normies, Adam. 1992.Kamus Bahasa Indonesia. Karya Ilmu: Bandung.

Poernomo, Bambang. 1981.Asas-asas Hukum Pidana.Jakarta: Ghalia Indonesia Prodjodikoro, Wirjono. 1986. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung:

Eresco.

Prodjohamidjojo, Martiman, 1997. Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.


(42)

Saherodji, Hari. 1980.Pokok-Pokok Kriminologi. Bandung: Aksara Baru. Saleh, Roeslan. 1982.Asas-Asas Hukum Pidana. Bandung.

Soehandi. 2006. Kamus Populer Kepolisian Semarang: Koperasi Wira Raharja, Pokok-pokok Kriminologi. Aksara Baru: Bandung.

Soekanto, Soerjono. 1983. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Soekanto, Soerjono. 1986.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.

Wahyu, Affandi. 1984.Hakim dan Penegakan Hukum. Alumni. Bandung.

Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor: 758/Pid.B/2011/PNTK

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan

Kehakiman.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.


(43)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Tri Andrisman, S.H., M.H. ………….

Sekretaris/Anggota : Firganefi, S.H., M.H. ………….

Penguji Utama : Maya Shafira, S.H., M.H. ………….

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S.

NIP. 19621109 198703 1 003


(44)

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENIPUAN TERHADAP CALON JEMAAH UMRAH

(Studi Kasus Perkara Nomor : 758/Pid.B/2011/PN.TK)

Oleh

RANTI SETYA CIPTA PRATAMA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(45)

Judul Skripsi : ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENIPUAN

TERHADAP CALON JEMAAH UMRAH

Nama Mahasiswa : RANTI SETYA CIPTA PRATAMA

No. Pokok Mahasiswa : 0812011252

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Tri Andrisman, S.H., M.H. Firganefi, S.H., M.H.

NIP. 19611231 198903 1 023 NIP. 19631217 198803 2 003

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati, S.H., M.H.


(1)

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENIPUAN TERHADAP CALON JEMAAH UMRAH

(Studi Kasus Perkara Nomor: 758/Pid.B/2011/PN.TK)

(Skripsi)

RANTI SETYA CIPTA PRATAMA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Andrisman, Tri. 2009. Asas-asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Arief, Barda Nawawi. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Atmasasmita, Romli. 1989. Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta: LBHI.

________. 1993.Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta. ________. 1987.Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara. Hamzah, Andi. 2001.Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.

Moeljatno. 1978.Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban pidana. Jogjakarta. ________. 1987.Asas-asas Hukum Pidana.Jakarta: Bina Aksara.

________. 1993.Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia.Jakarta: Rineka Cipta. Muhammad, Abdulkadir. 2004.Hukum dan Penelitian Hukum.

Mulyadi. Lilik. 2007.Kekuasaan Kehakiman. Surabaya: Bina Ilmu.

Mulyadi. Lilik. 2010. Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia. Citra Aditya Bakti: Bandung.

Normies, Adam. 1992.Kamus Bahasa Indonesia. Karya Ilmu: Bandung.

Poernomo, Bambang. 1981.Asas-asas Hukum Pidana.Jakarta: Ghalia Indonesia Prodjodikoro, Wirjono. 1986. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung:

Eresco.

Prodjohamidjojo, Martiman, 1997. Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.


(3)

Saherodji, Hari. 1980.Pokok-Pokok Kriminologi. Bandung: Aksara Baru. Saleh, Roeslan. 1982.Asas-Asas Hukum Pidana. Bandung.

Soehandi. 2006. Kamus Populer Kepolisian Semarang: Koperasi Wira Raharja, Pokok-pokok Kriminologi. Aksara Baru: Bandung.

Soekanto, Soerjono. 1983. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Soekanto, Soerjono. 1986.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.

Wahyu, Affandi. 1984.Hakim dan Penegakan Hukum. Alumni. Bandung.

Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor: 758/Pid.B/2011/PNTK

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan

Kehakiman.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.


(4)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Tri Andrisman, S.H., M.H. ………….

Sekretaris/Anggota : Firganefi, S.H., M.H. ………….

Penguji Utama : Maya Shafira, S.H., M.H. ………….

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S. NIP. 19621109 198703 1 003


(5)

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENIPUAN TERHADAP CALON JEMAAH UMRAH

(Studi Kasus Perkara Nomor : 758/Pid.B/2011/PN.TK)

Oleh

RANTI SETYA CIPTA PRATAMA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(6)

Judul Skripsi : ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENIPUAN

TERHADAP CALON JEMAAH UMRAH Nama Mahasiswa : RANTI SETYA CIPTA PRATAMA

No. Pokok Mahasiswa : 0812011252 Bagian : Hukum Pidana Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Tri Andrisman, S.H., M.H. Firganefi, S.H., M.H.

NIP. 19611231 198903 1 023 NIP. 19631217 198803 2 003

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati, S.H., M.H. NIP. 19620817 198703 2 003


Dokumen yang terkait

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENGGELAPAN UANG PERUSAHAAN (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Perkara Nomor: 167/Pid.B/2011/PN.TK)

4 14 77

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN SATWA YANG DILINDUNGI (Studi Putusan Perkara No. 331/Pid.Sus/2011/PN.TK.)

2 15 53

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENIPUAN TERHADAP CALON JEMAAH UMRAH (Studi Kasus Perkara Nomor: 758/Pid.B/2011/PN.TK)

2 8 45

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENIPUAN PENERIMAAN CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL PEMDA PROVINSI LAMPUNG (Studi Putusan No 859/Pid.B/2012/PN TK)

1 19 51

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN MODUS PEMALSUAN DOKUMEN TENAGA KERJA (Studi Perkara Nomor: 697/PID/B/2012/PNTK)

0 16 45

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PERBANKAN (Studi Putusan Nomor: 483/Pid.Sus./2013/PN.TK)

4 44 70

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMILU LEGILATIF DALAM PASAL 309 UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2012 (Studi Perkara Nomor: 70/Pid./2014/PT.Tjk.)

0 2 56

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN (Studi Kasus Perkara Nomor 137/Pid.B/2014/PN.BU)

0 4 53

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENIPUAN CALON JEMAAH UMROH PADA TAHAP PENYIDIKAN (Studi Kasus di Polresta Bandar Lampung)

0 0 12

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENIPUAN PENERIMAAN CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL PEMDA PROVINSI LAMPUNG (Studi Putusan No 859/Pid.B/2012/PN TK)

0 2 11