PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN MODUS PEMALSUAN DOKUMEN TENAGA KERJA (Studi Perkara Nomor: 697/PID/B/2012/PNTK)

ABSTRAK

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK
PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN MODUS PEMALSUAN
DOKUMEN TENAGA KERJA
(Studi Perkara Nomor: 697/PID/B/2012/PNTK)
Oleh
DAHLIANA
Tindak pidana perdagangan orang adalah perbuatan melawan hukum oleh setiap
orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,
pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan
kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan
kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat
walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang
lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut. Perdagangan orang ini dilakukan
dengan berbagai modus, diantaranya adalah dengan memalsukan dokumen tenaga
kerja. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah
pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang
dengan modus pemalsuan dokumen tenaga kerja dalam Perkara Nomor:
697/Pid/B/2012/PNTK (2) Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
pidana terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang dengan modus pemalsuan

dokumen tenaga kerja dalam Perkara Nomor: 697/Pid/B/2012/PNTK
Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif
dan pendekatan yuridis empiris, dengan responden penelitian yaitu anggota Hakim
Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum
Unila. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka dan studi lapangan.
Data selanjutnya dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: (1) Pertanggungjawaban pidana
terhadap sebagai pelaku tindak pidana perdagangan orang dengan modus pemalsuan
dokumen tenaga kerja dalam Perkara Nomor 697/Pid/B/2012/PNTK, dilaksanakan
dengan pemidanaan terhadap Terdakwa Kesih Binti Mali yang telah terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana perdagangan orang.
Pertanggungjawaban pidananya adalah terdakwa dipidana penjara selama satu tahun
enam bulan penjara. Pertanggungjawaban pidana tersebut didasarkan pada adanya
unsur kesengajaan oleh pelaku (dolus), yaitu pelaku mengetahui bahwa
perbuatannya melakukan perdagangan orang dilarang oleh undang-undang, tetapi ia
tetap melakukan perbuatan tersebut, sehingga tidak ada alasan pembenar maupun
pemaaf baginya untuk terhindar dari pemidanaan. (2) Dasar yuridis pertimbangan

Dahliana
hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang

dalam Perkara Nomor 697/Pid/B/2012/PNTK adalah kententuan Pasal 183
KUHAP, yaitu hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa harus
didukung oleh minimal dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang
bersalah melakukannya. Pasal 184 KUHP menyebutkan alat bukti sah yang
dimaksud adalah: (a) Keterangan Saksi; (b) Keterangan Ahli; (c) Surat; (d).
Petunjuk; (e) Keterangan Terdakwa, atau hal yang secara umum sudah diketahui
sehingga tidak perlu dibuktikan. Selain itu dasar non yuridis pertimbangan hakim
lainnya adalah hal-hal yang memberatkan, yaitu perbuatan terdakwa melanggar hak
asasi, merugikan orang lain, mendapatkan keuntungan secara ekonomi dari
kejahatan yang dilakukannya serta merugikan korban, keluarga korban dan
menimbulkan keresahan pada masyarakat sebagai akibat dari perbuatannya. Hal-hal
yang meringankan yaitu terdakwa mengakui dan menyesali atas segala
perbuatannya, terdakwa sopan dalam persidangan dan belum pernah dihukum.
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku
tindak pidana perdagangan orang pada masa yang akan datang disarankan
mengedepankan keadilan bagi korban dan keluarganya, dengan cara menjatuhkan
pidana terhadap pelaku secara optimal, sehingga dapat memberikan efek jera kepada
pelaku dan sebagai pembelajaran bagi pihak lain agar tidak melakukan tindak pidana
perdagangan orang. (2) Hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku

perdagangan orang hendaknya tidak mendasarkan pada perilaku terdakwa yang
sopan atau mengakui kesalahannya di persidangan, sebagai dasar yang meringankan
pidana, tetapi hendaknya mempertimbangkan kerugian yang diderita korban baik
secara fisik maupun nonfisik, sehingga pidana yang dijatuhkan menjadi lebih
optimal sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Kata Kunci; Pertanggungjawaban Pidana, Perdagangan Orang, Pemalsuan

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK
PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN MODUS PEMALSUAN
DOKUMEN TENAGA KERJA
(Studi Perkara Nomor: 697/PID/B/2012/PNTK)

Oleh

DAHLIANA

Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar
Sarjana Hukum
Pada

Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2014

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK
PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN MODUS PEMALSUAN
DOKUMEN TENAGA KERJA
(Studi Perkara Nomor: 697/PID/B/2012/PNTK)

(Skripsi)

Oleh

DAHLIANA
1012011016


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2014

DAFTAR ISI

I

II

III

PENDAHULUAN .................................................................................

1

A. Latar Belakang Masalah ....................................................................

1


B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian ..................................

8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .....................................................

8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ....................................................

9

E. Sistematika Penulisan .......................................................................

14

TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................

16


A. Pertanggungjawaban Pidana .............................................................

16

B. Tindak Pidana Perdagangan Orang ...................................................

22

C. Dasar Pertimbangan Hakim ..............................................................

26

D. Pemalsuan Dokumen .........................................................................

29

METODE PENELITIAN .....................................................................

31


A. Pendekatan Masalah ..........................................................................

31

B. Sumber dan Jenis Data ......................................................................

31

C. Penentuan Populasi dan Sampel........................................................

33

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ..................................

34

E. Analisis Data .....................................................................................

34


IV

V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ....................................

35

A. Karakteristik Responden ...................................................................

35

B. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana
Perdagangan Orang dengan Modus Pemalsuan Dokumen Tenaga
Kerja (Studi Perkara Nomor 697/Pid/B/2012/PNTK) ......................

36

C. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Terhadap

Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan Modus
Pemalsuan Dokumen Tenaga Kerja (Studi Perkara Nomor
697/Pid/B/2012/PNTK) ....................................................................

54

PENUTUP ...............................................................................................

62

A. Kesimpulan .......................................................................................

62

B. Saran ..................................................................................................

63

DAFTAR PUSTAKA


1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perdagangan orang (traficking) terutama terhadap perempuan merupakan pengingkaran terhadap
kedudukan setiap orang sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat
dan martabat yang mulia sekaligus melanggara hak asasi manusia, sehingga harus dicegah.
Traficking terhadap perempuan telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi
dan telah mengancam tatanan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta norma-norma
yang telah dilandasi dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Perdagangan orang adalah bentuk modern dari perbudakan manusia. Perdagangan orang juga
merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia.
Bertambah maraknya masalah perdagangan orang di berbagai negara, termasuk Indonesia dan
negara-negara yang sedang berkembang lainnya, telah menjadi perhatian Indonesia sebagai
bangsa, masyarakat internasional, dan anggota organisasi internasional, terutama organisasi
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Hal ini bermakna bahwa tindak pidana perdagangan orang
merupakan kejahatan yang bersifat transnasional atau lintas negara 1
Kemiskinan pada umumnya dianggap sebagai faktor utama penyebab perdagangan orang,
meskikpun demikian kemiskinan bukanlah satu-satunya indikator untuk terjadinya perdagangan
orang. Kemiskinan akan menempatkan orang pada posisi putus asa yang membuat mereka rentan

1

Budiyanto. Menyingkap Tabir Kejahatan Perdagangan Manusia. Jakarta, Yayasan Obor, 2008. hlm. 12

2
untuk mengalami eksploitasi. Meski demikian, kemiskinan dan keinginan seseorang untuk
meningkatkan kondisi ekonominya tetap merupakan faktor yang harus dipertimbangkan dalam
program dan kebijakan pembangunan untuk menghapuskan praktik perdagangan orang agar
tidak berkembang dan mengancam generasi muda bangsa.2

Berdasarkan bukti empiris, perempuan adalah kelompok yang paling banyak menjadi korban
tindak pidana perdagangan orang. Korban diperdagangkan tidak hanya untuk tujuan pelacuran
atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, tetapi juga mencakup bentuk eksploitasi lain, misalnya
kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktik serupa perbudakan itu. Pelaku tindak
pidana perdagangan orang, melakukan perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian,
atau penerimaan orang untuk tujuan menjebak, menjerumuskan, atau memanfaatkan orang
tersebut dalam praktik eksploitasi dengan segala bentuknya dengan ancaman kekerasan,
penggunaan kekerasan, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi
rentan, atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang
memegang kendali atas korban. 3

Perdagangan orang merupakan jenis tindak pidana yang melanggar harkat dan martabat
kemanusiaan, oleh karena itu aparat penegak hukum melaksanakan peran dan fungsinya masingmasing dalam sistem peradilan pidana untuk menanggulangi kejahatan, dengan tujuan mencegah
masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga
masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana dan
mengusahakan mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.
Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan
2

Ibid. hlm. 13
Gadis Arivia. Posisi Rentan Kaum Perempuan di Tengah Kejahatan Kontemporer. Jakarta,
Kalyanamitra, 2009. hlm. 27
3

3
hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil
maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun demikian kelembagaan substansial ini harus dilihat
dalam kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk
kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan.

Penyelenggaan penegakan hukum pidana melibatkan badan-badan yang masing-masing memiliki
fungsi sendiri-sendiri. Badan-badan tersebut yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga
pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sitematik ini tindakan badan yang satu akan berpengaruh
pada badan yang lainnya. Setiap instansi tersebut menetapkan hukum dalam bidang dan
wewenangnya. Pandangan penyelenggaran tata hukum pidana di Indonesia merupakan alur yang
tidak terputus, yaitu dilaksanakan oleh polisi dengan penyidikan dan meneruskan perkaranya ke
kejaksaan dan kejaksaan melakukan penuntutan di muka pengadilan. Hal di atas adalah bagianbagian dari kegiatan dalam rangka penegakan hukum, atau dalam suasana kriminologi disebut
crime control suatu prinsip dalam penanggulangan kejahatan ini ialah bahwa tindakan-tindakan
itu harus sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

Berdasarkan data Kepolisian Republik Indonesia pada tahun 2011 tercatat data tindak pidana
perdagangan orang berjumlah sebanyak 2.683 perkara, pada tahun 2012 mengalami peningkatan
menjadi 2.992 perkara dan pada tahun 2012 kembali meningkat menjadi 3.021 perkara. 4 Sesuai
dengan data tersebut maka diketahui bahwa terjadi peningkatan perkara tindak pidana
perdagangan orang.

Contoh kasus tindak pidana perdagangan orang adalah Putusan Pengadilan Negeri Tanjung
Karang Nomor 470/Pid/Sus/2011/PNTK, yang menjatuhkan pidana terhadap terdakwa seorang
4

www.antaranews.com.datatindakpidanaperdaganganorang.html.Diakses 11 Oktober 2013

4
mucikari bernama Andre Bin Herman selama empat bulan lima belas hari penjara karena terbukti
secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana perdagangan orang. Tindak pidana
perdagangan orang dilakukan dengan berbagai modus, salah satunya adalah dengan pemalsuan
dokumen tenaga kerja sebagaimana terdapat dalam Perkara Nomor: 697/Pid/B/2012/PNTK.
Pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam hal ini memalsukan dokumen yang berupa
identitas dan usia korban yang akan menjadi seorang tenaga kerja, pemalsuan dokumen tersebut
merupakan cara yang ditempuh pelaku untuk memudahkan tindak pidana yang dilakukannya.5

Setiap pelaku tindak pidana perdagangan orang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya
di depan hukum yang berlaku. Pertanggungjawaban pidana pada dasarnya merupakan ganjaran
negatif terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh warga masyarakat sehingga
pandangan ini melihat pemindanaan hanya sebagai pembalasan terhadap kesalahan yang
dilakukan atas dasar tanggungjawab moralnya masing-masing. Selain itu pertanggungjawaban
pidana dapat bermanfaat dalam untuk mencapai situasi atau keadaan yang ingindihasilkan
dengan dijatuhkannya pidana itu. Di satu pihak, pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk
memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan di pihak lain pertanggungjawaban pidana itu
juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang
serupa.
Berdasarkan uraian di atas maka diketahui bahwa tujuan pertanggungjawaban pidana
mengandung unsur perlindungan masyarakat, pandangan rehabilitasi dan resosialisasi terpidana.
Pertanggungjawaban pidana tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat.
Pandangan ini mengerucut pada dua kepentingan, yakni perlindungan masyarakat dan
pembinaan bagi pelaku. Pertanggungjawaban pidana mengakui asas-asas atau keadaan yang
meringankan pertanggungjawaban pidana, mendasarkan pada keadaan obyektif dan
mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan individual dari pelaku tindak pidana. Dengan
kata lain tujuan pertanggungjawaban pidana adalah untuk mencapai manfaat untuk melindungi
masyarakat dan menuju kesejahteraan masyarakat.
5

Ringkasan Perkara pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang Tahun 2013.

5

Tujuan pertanggungjawaban pidana bukan merupakan pembalasan kepada pelaku di mana sanksi
ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan.
Ketentuan mengenai pemidanaan ini juga memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan
atau penyesuaian pidana kepada narapidana. Pelaku yang dijatuhi pidana atau tindakan yang
telah berkekuatan hukum tetap dapat dilakukan perubahan atau penyesuaian dengan mengingat
perkembangan narapidana dan tujuan pemidanaan.

Salah satu perkara tindak pidana perdagangan orang dengan modus pemalsuan dokumen tenaga
kerja adalah Perkara Nomor: 697/PID/B/2012/PNTK. Terdakwa bernama Kesih Binti Mali (40
tahun) terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana membantu
memberikan keterangan palsu pada dokumen negara untuk mempermudah terjadinya tindak
pidana perdagangan orang. Majelis Hakim menjatuhkan pidana penjara selama 1 (satu) tahun
dan 6 (enam) bulan serta denda sebesar Rp 50.000.000 (limapuluh juta rupiah) dengan ketentuan
apabila denda tidak dibayar maka harus diganti dengan penjara selama 3 (tiga) bulan. 6

Sesuai dengan perkara di atas maka terdapat kesenjangan antara vonis yang dijatuhkan majelis
hakim dengan ketentuan Pasal 19 UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang, yang mengatur bahwa setiap orang yang memberikan atau
memasukkan keterangan palsu pada dokumen negara atau dokumen lain atau memalsukan
dokumen negara atau dokumen lain, untuk mempermudah terjadinya tindak pidana
perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling

6

Ringkasan Perkara Nomor: 697/PID/B/2012/PNTK. Data Prariset pada Pengadilan Negeri Tanjung
Karang Tahun 2013.

6
lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah).

Tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan oleh lebih dari satu orang maka termasuk
sebagai penyertaan dalam tindak pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 55 Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP):
(1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana: (a) mereka yang melakukan, yang menyuruh
melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan; (b) mereka yang dengan memberi
atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan
kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau
keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
(2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang
diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

Kententuan Pasal 56 KUHP mengatur bahwa dipidana sebagai pembantu kejahatan mereka yang
sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan dan mereka yang sengaja memberi
kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan. Hal ini sesuai dengan fungsi
hakim sebagai pemberi putusan terhadap perkara yang diajukan, di mana dalam perkara pidana,
hal itu tidak terlepas dari sistem pembuktian negatif, yang menentukan bahwa hak, peristiwa atau
kesalahan dianggap telah terbukti, disamping adanya alat-alat bukti menurut undang-undang juga
ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi dengan integritas moral yang baik.

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, maka penulis akan melakukan penelitian dan
menuangkannya ke dalam Skripsi berjudul: “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku
Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan Modus Pemalsuan Dokumen Tenaga Kerja (Studi
Perkara Nomor: 697/PID/B/2012/PNTK).

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

7

1. Permasalahan
Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Bagaimanakah

pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana perdagangan

orang dengan modus pemalsuan dokumen tenaga kerja dalam Perkara Nomor:
697/Pid/B/2012/PNTK?
b. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana
perdagangan orang dengan modus pemalsuan dokumen tenaga kerja dalam Perkara Nomor:
697/Pid/B/2012/PNTK?

2. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini pada kajian ilmu hukum pidana dengan substansi yaitu
pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam Perkara Nomor:
697/Pid/B/2012/PNTK dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap
pelaku tindak pidana perdagangan orang pada Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang
Nomor 697/Pid/B/2012/PNTK. Ruang lingkup Lokasi Penelitian adalah Pengadilan Negeri
Tanjung Karang dan penelitian dilaksanakan pada Tahun 2013.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai
berikut:

8
a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana perdagangan orang
dalam Perkara Nomor 697/Pid/B/2012/PNTK.
b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku
tindak pidana perdagangan orang pada Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor
697/Pid/B/2012/PNTK.

2. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis,
yaitu sebagai berikut:
a. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk menambah kajian ilmu
hukum pidana, khususnya yang berhubungan pertanggungjawaban pidana pelaku tindak
pidana perdagangan orang dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana
terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang pada Putusan Pengadilan Negeri Tanjung
Karang No: 697/Pid/B/2012/ PNTK.
b. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai masukan dan kontribusi
positif bagi aparat penegak hukum dalam menanggulangi tindak pidana perdagangan orang
pada masa-masa yang akan datang.

D. Kerangka Teori dan Konseptual
1. Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan pengabstraksian hasil pemikiran sebagai kerangka acuan atau dasar
yang relevan untuk pelaksanaan penelitian ilmiah, khususnya dalam penelitian ilmu hukum.
Kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Teori Pertanggungjawaban Pidana

9
Untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, maka suatu perbuatan harus mengandung
kesalahan. Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu kesengajaan (opzet) dan kelalaian
(culpa).
1. Kesengajaan (opzet)
Sebian besar tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan atau opzet. Kesengajaan
ini mempunyai tiga macam jenis:
a. Kesengajaan yang bersifat tujuan (oogmer)
Dapat dikatakan bahwa si pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat yang
menjadi pokok alasan diadakan ancaman hukuman pidana
b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian (opzet zekeheids bewustzint)
c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan (opzet bit mogelijkkheid bewustzint)
Lain halnya dengan kesengajaan yang terang-terangan tidak disertai dengan
bayangan suatu kepastian akan terjadinya akibat yang bersangkutan, tetapi hanya
dibayangkan kemungkinan akan hal itu
2. Kelalaian (culpa)
Kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan, bagaimanapun juga culpa
dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja, oleh karena itu delik culpa, culpa
itu merupakan delik semu (quasideliet) sehingga diadakan pengurangan pidana. Delik
culpa mengandung dua macam, yaitu delik kelalaian yang menimbulkan akibat dan
yang tidak menimbulkan akibat, tapi yang diancam dengan pidana ialah perbuatan
ketidak hati-hatian itu sendiri, perbedaan antara keduanya sangat mudah dipahami
yaitu kelalaian yang menimbulkan akibat dengan terjadinya akibat itu maka diciptalah
delik kelalaian, bagi yang tidak perlu menimbulkan akibat dengan kelalaian itu
sendiri sudah diancam dengan pidana.7
Berdasarkan hal tersebut maka pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum
pidana, terdiri atas tiga syarat, yaitu:
a. Kemampuan bertanggung jawab atau dapat dipertanggungjawabkan dari si pembuat.
b. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis si pelaku yang
berhubungan dengan kelakuannya yaitu disengaja dan sikap kurang hati-hati atau lalai
c. Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf dapat yang menghapuskan
pertanggungjawaban pidana bagi si pembuat8

b. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana

7

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Jakarta, Bina Aksara,
1993. hlm. 46
8
Ibid. hlm. 51

10
Hakim dalam mengadili pelaku tindak pidana harus melalui proses penyajian kebenaran dan
keadilan dalam suatu putusan pengadilan sebagai rangkaian proses penegakan hukum, maka
dapat dipergunakan teori kebenaran. Dengan demikian, putusan pengadilan dituntut untuk
memenuhi teori pembuktian, yaitu saling berhubungan antara bukti yang satu dengan bukti
yang lain, misalnya, antara keterangan saksi yang satu dengan keterangan saksi yang lain
atau saling berhubungan antara keterangan saksi dengan alat bukti lain (Pasal 184 KUHAP).

Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidah-kaidah
hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusanputusannya. Bagaimanapun
baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan dalam suatu negara, dalam
usaha menjamin keselamatan masyarakat menuju kesejahteraan rakyat, peraturan-peraturan
tersebut tidak ada artinya, apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang bebas yang
diwujudkan dalam bentuk peradilan yang bebas dan tidak memihak, sebagai salah satu unsur
Negara hukum. Sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman adalah hakim, yang
mempunyai kewenangan dalam peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan
hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya.9

Secara kontekstual ada tiga esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam
melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu:
a. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan;
b. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan
putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim;
c. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi
yudisialnya. 10

9

Ahmad Rifai. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Jakarta, Sinar
Grafika,2010. hlm.103
10
Ibid. hlm.104

11
Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan mahkota bagi
hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak tanpa kecuali, sehingga tidak
ada satu pihak yang dapat menginterpensi hakim dalam menjalankan tugasnya tertentu.
Hakim dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang
berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang
dilakukan pelaku, kepentingan pihak korban, keluarganya dan rasa keadilan masyarakat.

2. Konseptual
Konseptual adalah susunan konsep-konsep sebagai fokus pengamatan dalam melaksanakan
penelitian, khususnya dalam penelitian ilmu hukum. Analisis pokok-pokok bahasan dalam
penelitian ini dan memberikan batasan pengertian yang berhubungan dengan yaitu sebagai
berikut:
a. Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu mekanisme untuk
menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu
tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan
bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan
dalam undang-undang. 11
b. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar atau
melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Pelaku tindak pidana harus
diberi sanksi demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum12
c. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang
disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan

11

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Jakarta, Bina Aksara,
1993. hlm. 49
12
Ibid. hlm. 52

12
tersebut. Tindak pidana merupakan pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum,
yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku13
d. Tindak pidana perdagangan orang adalah perbuatan melawan hukum oleh setiap orang yang
melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau
penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan,
penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan
utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang
yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di
wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp.120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00
(enam ratus juta rupiah). Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)
mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud pada Ayat (1). (Pasal 2 Ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang).
e. Modus tindak pidana adalah serangkaian cara yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana
dalam rangka memudahkannya untuk melakukan kejahatan atau pelanggaran hukum
tersebut14
f. Tindak pidana pemalsuan adalah perbuatan menyuruh memasukkan keterangan palsu ke
dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta
itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah
keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat menimbulkan

13
14

Ibid. hlm. 53
Ibid. hlm. 76

13
kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun (Pasal 266 Ayat (1) Kitab UndangUndang Hukum Pidana).
g. Tenaga kerja adalah sebutan bagi seseorang yang berada pada usia produktif atau mampu
untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu dan mendatangkan pengasilan dari pekerjaan yang
dilakukannya tersebut15

E. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun dalam lima bab untuk untuk memudahkan pemahaman terhadap isinya.
Adapun ssecara terperinci sistematika penulisan proposal ini adalah sebagai berikut:
I

PENDAHULUAN
Bab ini berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar Belakang,
Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teori dan
Konseptual serta Sistematika Penulisan.

II

TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang berhubungan
dengan penyusunan skripsi dan diambil dari berbagai referensi atau bahan pustaka terdiri
dari pengertian pertanggungjawaban pidana, pengertian dan jenis tindak pidana, tindak
pidana perdagangan orang.

III

METODE PENELITIAN

15

Herianto, Masalah Ketenagakerjaan di Indonesia. Jakarta, Rineka Cipta, 2004 hlm. 27.

14
Berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari Pendekatan Masalah, Sumber
Data, Penentuan Populasi dan Sampel, Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data serta
Analisis Data.

IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berisi deskripsi berupa penyajian dan pembahasan data yang telah didapat penelitian,
terdiri dari deskripsi dan analisis mengenai pertanggungjawaban pidana pelaku tindak
pidana perdagangan orang dalam Perkara

Nomor: 697/Pid/B/2012/PNTK dan dasar

pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana
perdagangan orang pada Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor
697/Pid/B/2012/PNTK.

V

PENUTUP
Berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan pembahasan penelitian
serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan yang ditujukan kepada pihak-pihak
yang terkait dengan penelitian.

15

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak
pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang
tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya. Dengan kata
lain orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut
dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada
waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif
mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut1

Pertanggungjawaban pidana diterapkan dengan pemidanaan, yang bertujuan untuk untuk
mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman
masyarakat; menyelesaikan konflik yang ditimbulkan tindak pidana; memulihkan keseimbangan;
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan
pembinaan sehingga menjadi orang baik dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), yang didasarkan
pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan pada nilai keadilan
harus disejajarkan berpasangan dengan asas legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian.
Walaupun Konsep berprinsip bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, namun
dalam beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban pengganti
1

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Jakarta, Bina Aksara,
1993. hlm. 41

16
(vicarious liability) dan pertanggungjawaban yang ketat (strict liability). Masalah kesesatan
(error) baik kesesatan mengenai keadaannya (error facti) maupun kesesatan mengenai
hukumnya sesuai dengan konsep merupakan salah satu alasan pemaaf sehingga pelaku tidak
dipidana kecuali kesesatannya itu patut dipersalahkan kepadanya.2

Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu mekanisme untuk menentukan
apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana
yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana
yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-undang.

Pertanggungjawaban pidana harus memperhatikan bahwa hukum pidana harus digunakan untuk
mewujudkan masyarakat adil dan makmur merata materiil dan spirituil. Hukum pidana tersebut
digunakan untuk mencegah atau menanggulangi perbuatan yang tidak dikehendaki. Selain itu
penggunaan sarana hukum pidana dengan sanksi yang negatif harus memperhatikan biaya dan
kemampuan daya kerja dari insitusi terkait, sehingga jangan sampai ada kelampauan beban tugas
(overbelasting) dalam melaksanakannya3

Untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, maka suatu perbuatan harus mengandung
kesalahan. Kesalahan dalam arti sempit terdiri dari dua jenis yaitu kesengajaan (opzet) dan
kelalaian (culpa).
1. Kesengajaan (opzet)
Sesuai teori hukum pidana Indonesia, kesengajaan terdiri dari tiga macam, yaitu sebagai berikut:
1. Kesengajaan (opzet)
2

Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Bandung,
PT. Citra Aditya Bakti, 2001. hlm. 23
3
Ibid. hlm. 23

17
Sebian besar tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan atau

opzet. Kesengajaan ini

mempunyai tiga macam jenis:
a. Kesengajaan yang bersifat tujuan (oogmer)
Dapat dikatakan bahwa si pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat yang
menjadi pokok alasan diadakan ancaman hukuman pidana
b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian (opzet zekeheids bewustzint)
c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan (opzet bit mogelijkkheid bewustzint) Lain
halnya dengan kesengajaan yang terang-terangan tidak disertai dengan bayangan suatu
kepastian akan terjadinya akibat yang bersangkutan, tetapi hanya dibayangkan
kemungkinan belaka akan hal itu 4
2. Kelalaian (culpa)
Kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan, bagaimanapun juga culpa dipandang
lebih ringan dibanding dengan sengaja, oleh karena itu delik culpa, culpa itu merupakan delik
semu (quasideliet) sehingga diadakan pengurangan pidana. Delik culpa mengandung dua
macam, yaitu delik kelalaian yang menimbulkan akibat dan yang tidak menimbulkan akibat, tapi
yang diancam dengan pidana ialah perbuatan ketidak hati-hatian itu sendiri, perbedaan antara
keduanya sangat mudah dipahami yaitu kelalaian yang menimbulkan akibat dengan terjadinya
akibat itu maka diciptalah delik kelalaian, bagi yang tidak perlu menimbulkan akibat dengan
kelalaian itu sendiri sudah diancam dengan pidana. 5

Syarat-syarat elemen yang harus ada dalam delik kealpaan yaitu:
1) Tidak mengadakan praduga-praduga sebagaimana diharuskan oleh hukum, adapun hal ini
menunjuk kepada terdakwa berpikir bahwa akibat tidak akan terjadi karena perbuatannya,
4

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana,
Jakarta, Bina Aksara, 1993. hlm. 46
5
Ibid. hlm. 48

18
padahal pandangan itu kemudian tidak benar. Kekeliruan terletak pada salah
piker/pandang yang seharusnya disingkirkan. Terdakwa tidak punya pikiran bahwa akibat
yang dilarang mungkin timbul karena perbuatannya. Kekeliruan terletak pada tidak
mempunyai pikiran sama sekali bahwa akibat mungkin akan timbul hal mana sikap
berbahaya
2) Tidak mengadakan penghati-hatian sebagaimana diharuskan oleh hukum, mengenai hal
ini menunjuk pada tidak mengadakan penelitian kebijaksanaan, kemahiran/usaha
pencegah yang ternyata dalam keadaan yang tertentu/dalam caranya melakukan
perbuatan. 6
Seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan
tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum
untuk pidana yang dilakukannya. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya
seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatannya.

Tindak

pidana

jika

tidak

ada

kesalahan

adalah

merupakan

asas

pertanggungjawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan
perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan
perbuatan ini dia mempunyai kesalahan.

Kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur kesalahan, maka untuk membuktikan adanya
kesalahan unsur tadi harus dibuktikan lagi. Mengingat hal ini sukar untuk dibuktikan dan
memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur kemampuan bertanggung jawab dianggap
diam-diam selalu ada karena pada umumnya setiap orang normal bathinnya dan mampu
bertanggung jawab, kecuali kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin
jiwanya tidak normal. Dalam hal ini, hakim memerintahkan pemeriksaan yang khusus terhadap
keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak diminta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya masih
meragukan hakim, itu berarti bahwa kemampuan bertanggung jawab tidak berhenti, sehingga

6

Ibid. hlm. 49

19
kesalahan tidak ada dan pidana tidak dapat dijatuhkan berdasarkan asas tidak dipidana jika tidak
ada kesalahan. 7

Masalah kemampuan bertanggung jawab ini terdapat dalam Pasal 44 Ayat 1 KUHP yang
mengatur: “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena cacat, tidak
dipidana”. Menurut Moeljatno, bila tidak dipertanggungjawabkan itu disebabkan hal lain,
misalnya jiwanya tidak normal dikarenakan dia masih muda, maka Pasal tersebut tidak dapat
dikenakan.apabila hakim akan menjalankan Pasal 44 KUHP, maka sebelumnya harus
memperhatikan apakah telah dipenuhi dua syarat yaitu syarat psikiatris dan syarat psikologis.
Penjelasan mengenai kedua syarat tersebut adalah sebagai berikut:
a) Syarat psikiatris yaitu pada terdakwa harus ada kurang sempurna akalnya atau sakit
berubah akal, yaitu keadaan kegilaan (idiote), yang mungkin ada sejak kelahiran atau
karena suatu penyakit jiwa dan keadaan ini harus terus menerus.
b) Syarat psikologis ialah gangguan jiwa itu harus pada waktu si pelaku melakukan
perbuatan pidana, oleh sebab itu suatu gangguan jiwa yang timbul sesudah peristiwa
tersebut, dengan sendirinya tidak dapat menjadi sebab terdakwa tidak dapat dikenai
hukuman8

Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, adalah
merupakan faktor akal (intelektual factor) yaitu dapat membedakan perbuatan yang
diperbolehkan dan yang tidak. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan
tentang baik buruknya perbuatan tersebut adalah merupakan faktor perasaan (volitional factor)
yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan
mana yang tidak. Sebagai konsekuensi dari dua hal tersebut maka orang yang tidak mampu
7

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana,
Jakarta, Bina Aksara, 1993. hlm. 49
8
Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Jakarta, Bina Aksara,
1993. hlm. 51

20
menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan, dia tidak
mempunyai kesalahan kalau melakukan tindak pidana, orang demikian itu tidak dapat
dipertanggungjawabkan.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana
mengandung makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum,
sebagaimana

dirumuskan

dalam

undang-undang,

maka

orang

tersebut

patut

mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya. Dengan kata lain orang yang
melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana
apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu
melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai
kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut.

Hal yang mendasari pertangung jawaban tindak pidana adalah pemahaman bahwa setiap manusia
dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa dengan akal budi dan nurani yang memberikan kepadanya
kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk yang akan membimbing dan
mengarahkan sikap dan perilaku dalam menjalani kehidupannya. Dengan akal budi dan
nuraninya itu, maka manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau
perbuatannya. Selain untuk mengimbangi kebebasan, manusia memiliki kemampuan untuk
bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.

B. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang

Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan
perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.

21
Pembentuk undang-undang menggunakan perkataan “ strafbaar feit “ untuk menyebutkan “
tindak pidana “ di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Perkataan “feit” dalam Bahasa
Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan”, sedangkan “straftbaar” berarti “dapat
dihukum”, sehingga secara harfiah, perkataan “staftbaar feit” itu dapat diterjemahkan sebagai “
sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”, sifat penting dari tindak pidana “strafbaar
feit” ialah onrechtmatigheid atau sifat melanggar hukum dari perbuatan 9
Perkataan “ straftbaar feit “ itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai “ suatu pelanggaran
norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan
terhadap seorang pelaku, dimana penjatuhan hukum terhadap pelaku tersebut adalah demi
terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum. Tindak pidana sebagai
perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, di mana penjatuhan pidana pada pelaku
adalah demi tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.10

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan
hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan
pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai
kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari
segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan
orang tersebut. 11

9

Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Bandung,
PT. Citra Aditya Bakti, 2001. hlm. 23
10
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung, PT. Citra Adityta Bakti, 1996
hlm. 16.
11
Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Jakarta,Ghalia Indonesia,. 2001. hlm.
20

22
Unsur-unsur tindak pidana adalah sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
e.

Kelakuan dan akibat ( perbuatan )
Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan
Keadaan tambahan yang memberatkan pidana
Unsur melawan hukum yang objektif
Unsur melawan hukum yang subyektif. 12

Berdasarkan pengertian di atas, diketahui bahwa tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau
tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan
diancam pidana, penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan
terjaminnya kepentingan umum.

Pengertian tindak pidana perdagangan orang adalah setiap orang yang melakukan perekrutan,
pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan
ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau
manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain,
untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp.120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan denda paling
banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).13

Perdagangan orang adalah bentuk modern dari perbudakan manusia. Perdagangan orang juga
merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia.
Bertambah maraknya masalah perdagangan orang di berbagai negara, termasuk Indonesia dan
12

Ibid. hlm. 21
Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang
13

23
negara-negara yang sedang berkembang lainnya, telah menjadi perhatian Indonesia sebagai
bangsa, masyarakat internasional, dan anggota organisasi internasional, terutama organisasi
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Kemiskinan pada umumnya dianggap sebagai faktor utama penyebab perdagangan orang,
meskikpun demikian kemiskinan bukanlah satu-satunya indikator untuk terjadinya perdagangan
orang. Kemiskinan akan menempatkan orang pada posisi putus asa yang membuat mereka rentan
untuk mengalami eksploitasi. Meski demikian, kemiskinan dan keinginan seseorang untuk
meningkatkan kondisi ekonominya tetap merupakan faktor yang harus dipertimbangkan dalam
program dan kebijakan pembangunan untuk menghapuskan praktik perdagangan orang agar
tidak berkembang dan mengancam generasi muda bangsa.

Berdasarkan bukti empiris, perempuan dan anak adalah kelompok yang paling banyak menjadi
korban tindak pidana perdagangan orang. Korban diperdagangkan tidak hanya untuk tujuan
pelacuran atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, tetapi juga mencakup bentuk eksploitasi lain,
misalnya kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktik serupa perbudakan itu.
Pelaku tindak pidana perdagangan orang, melakukan perekrutan, pengangkutan, pemindahan,
penyembunyian, atau penerimaan orang untuk tujuan menjebak, menjerumuskan, atau
memanfaatkan orang tersebut dalam praktik eksploitasi dengan segala bentuknya dengan
ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan
kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh
persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban.

Tindak pidana perdagangan orang merupakan bentuk nyata pelanggaran Hak Asasi Manusia
(HAM). Menurut penjelasan umum Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

24
Manusia, mengatur bahwa setiap manusia di anugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa akal budi
dan nurani yang memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang
buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam menjalani
kehidupannya. Dengan akal budi dan nuraninya itu, maka manusia memiliki kebebasan untuk
memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya.Disamping untuk mengimbangi kebebasan
tersebut, manusia memiliki kemampuan untuk bertanggung jawab atas semua tindakan yang
dilakukannya.

Kebebasan dasar dan hak-hak dasar itulah yang disebut Hak Asasi Manusia yang melekat pada
manusia, hak ini tidak dapat diingkari, pengingkaran terhadap hak tersebut berarti mengingkari
martabat kemanusiaan. Hak Asasi Manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat
pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati,
dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.

C. Dasar Pertimbangan Hakim

Seorang hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa tidak boleh menjatuhkan pidana
tersebut kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang
bersalah melakukannya (Pasal 183 KUHAP). Alat bukti sah yang dimaksud adalah: (a).
Keterangan Saksi; (b). Keterangan Ahli; (c). Surat; (d). Petunjuk; (e). Keterangan Terdakwa atau
hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan (Pasal 184)

Pasal 185 Ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup
untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya,

25
sedangkan dalam Pasal 185Ayat (3) dikatakan ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai
dengan suatu alat bukti yang sah lainnya (unus testis nullus testis). Saksi korban juga berkualitas
sebagai saksi, sehingga apabila terdapat alat bukti yang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal
185Ayat (3) KUHAP, maka hal itu cukup untuk menuntut pelaku tindak pidana. 14

Selain itu Hakim Pengadilan Negeri mengambil suatu keputusan dalam sidang pengadilan,
mempertimbangkan beberapa aspek, yaitu:
(1) Kesalahan pelaku tindak pidana
Hal ini merupakan syarat utama untuk dapat dipidananya seseorang. Kesalahan di sini
mempunyai arti seluas-luasnya, yaitu dapat dicelanya pelaku tindak pidana tersebut.
Kesengajaan dan niat pelaku tindak pidana harus ditentukan secara normatif dan tidak
secara fisik. Untuk menentukan adanya kesengajaan dan niat harus dilihat dari peristiwa
demi peristiwa, yang harus memegang ukuran normatif dari kesengajaan dan niat adalah
hakim.
(2) Motif dan tujuan dilakukannya suatu tindak pidana
Kasus tindak pidana mengandung unsur bahwa perbuatan tersebut mempunyai motif dan
tujuan untuk dengan sengaja melawan hukum
(3) Sikap batin pelaku tindak pidana
Hal ini dapat diidentifikasikan dengan melihat pada rasa bersalah, rasa penyesalan dan
be

Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/Pn-Bi)

5 92 87

Pertanggungjawaban Pidana Pengurus Yayasan Yang Melakukan Tindak Pidana Penyelenggaraan Pendidikan Tanpa Izin (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Ri Nomor 275 K/ Pid.Sus/ 2012 Tentang Yayasan Uisu)

9 114 121

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum Di Dalam Kuhp (Studi Putusan Ma No. 1914/K/Pid/2012)

2 116 124

Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Beberapa Putusan Pengadilan Negeri di Indonesia)

1 74 133

Pertanggungjawaban Pidana Bagi Terdakwa Anak Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Sesuai Dengan PASAL 340 KUHP(Studi Kasus Putusan No. 3.682 / Pid.B / 2009 / PN. Mdn)

5 97 123

Pemalsuan Dokumen Dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 (Studi Putusan No. 2960/PID.B/2008/PN.Medan)

0 34 116

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku Tindak Pidana Perusakan dan Pencemaran Lingkungan (Studi Putusan MA RI No. 755K/PID.SUS/2007)

1 50 100

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA ABORSI DI BANDAR LAMPUNG (Studi Putusan PN Nomor 169/PID/B/2009/PNTK)

1 26 59

ANALISIS DISPARITAS PIDANA PADA PUTUSAN PENGADILAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (TRAFFICKING IN PERSON) (Studi Putusan Nomor 1633/Pid/B/2008/PNTK dengan Putusan Nomor 384/Pid/B/2012/PNTK )

3 25 47

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN BILYET DEPOSITO (Studi Putusan No 1343PidSus2014PN Tjk)

0 10 63