10
BAB II KAJIAN PUSTAKA
Pada bab ini akan dibahas mengenai landasan teori yang digunakan pada penelitian ini, selanjutnya akan diuraikan mengenai penelitian- penelitian sejenis
yang dilakukan sebelumnya dan hasil dari penelitian tersebut. Landasan teori dan penelitian sebelumnya akan menjadi dasar dalam membangun hipotesis
penelitian. Penjelasan terperinci pada bab ini akan dijelaskan sebagai berikut.
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Teori Keagenan dalam Menjelaskan Senjangan Anggaran
Penjelasan mengenai konsep senjangan anggaran dimulai dari pendekatan teori agensi. Menurut Jensen dan Meckling 1976, teori keagenan
adalah konsep yang menjelaskan hubungan kontraktual antara prinsipal dan agen, yaitu antara dua atau lebih individu, kelompok atau organisasi. Pihak prinsipal
adalah pihak yang mengambil keputusan dan memberikan mandat kepada pihak lain agen, untuk melakukan semua kegiatan atas nama prinsipal. Inti dari teori
ini adalah kontrak kerja yang didesain dengan tepat untuk menyelaraskan kepentingan antara prinsipal dengan agen Supanto, 2010.
Entitas di Indonesia terdiri dari dua sektor, yaitu entitas sektor publik dan non publikswasta. Anggaran sektor publik berhubungan dengan proses penentuan
jumlah dana untuk tiap- tiap program dan aktivitas dalam satuan moneter yang menggunakan dana milik rakyat, serta bersifat terbuka untuk publik. Sedangkan,
anggaran dalam sektor swasta bersifat tertutup untuk publik dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Meskipun berbeda, tetapi kedua sektor
memiliki kesamaan sifat yakni terbagi dalam dua pihak, yaitu: prinsipal dan agen. Permasalahan dalam keagenan menimbulkan biaya keagenan. Biaya ini meliputi
biaya untuk monitoring mengukur, mengamati dan mengawasi prilaku agen; biaya bonding penyusunan dan penetapan suatu sistem agar agen bertindak untuk
kepentingan prinsipal; dan kerugian residual sebagai akibat dari perjanjian yang tidak mampu meyelaraskan kepentingan agen dan prinsipal, karena tidak dapat
teramatinya tindakan agen. Unit analisis dalam teori keagenan adalah kontrak yang melandasi
hubungan antara prinsipal dan agen, sehingga yang menjadi fokus dan tujuan dari teori ini adalah pencapaian kontrak yang paling efisien antara prinsipal dan agen.
Menurut Sukartha 2007 kontrak yang efisien adalah kontrak yang memenuhi 2 syarat, yaitu : 1 agen dan prinsipal memiliki informasi yang simetri yang artinya
baik agen maupun prinsipal memiliki kualitas dan jumlah informasi yang sama sehingga tidak terdapat informasi tersembunyi yang dapat digunakan untuk
keuntungan dirinya sendiri, 2 risiko yang dipikul agen berkaitan dengan imbal jasanya adalah kecil yang berarti agen mempunyai kepastian yang tinggi
mengenai imbalan yang diterimanya. Pada penerapannya informasi simetri ini tidak pernah terjadi, yang berarti
kontrak efisien tidak pernah dapat terlaksana sehingga hubungan antara prinsipal dan agen selalu dilandasi oleh asimetri informasi. Menurut Eisenhard 1989
dalam Arifah 2012 menyebutkan ada beberapa asumsi yang muncul terkait teori keagenan adalah sebagai berikut :
1 Asumsi sifat manusia yang cenderung mengutamakan kepentingan diri
sendiri self interest, keterbatasan rasionalitas atau daya pikir terhadap persepsi masa depan bounded rationality dan cenderung untuk
menghindari risiko. 2
Asumsi tentang keorganisasian, adalah konflik antar anggota organisasi, efisiensi dan asimetri informasi antara prinsipal dan agen.
3 Asumsi tentang informasi, adalah informasi dianggap sebagai barang
komoditi yang dapat diperjualbelikan. Berdasarkan
ketiga asumsi
tersebut manusia
akan bertindak
opportunistik, yaitu mengutamakan kepentingan pribadi dari pada kepentingan organisasi. Agen akan termotivasi untuk meningkatkan kompensasi dan jenjang
karir di masa mendatang, sedangkan prinsipal termotivasi untuk meningkatkan utilitas dan profitabilitasnya. Konflik kepentingan antara agen dan prinsipal akan
terus meningkat, karena prinsipal tidak dapat memonitor kegiatan agen setiap hari. Sebaliknya, agen memiliki lebih banyak informasi penting mengenai kapasitas
diri, lingkungan kerja dan organisasinya secara keseluruhan. Hal inilah yang menimbulkan asimetri informasi yaitu ketidak seimbangan informasi antara
prinsipal dan agen yang dapat menimbulkan beberapa permasalahan. Jensen dan Meckling 1976 menyatakan permasalahan tersebut antara
lain : 1 moral hazard adalah permasalahan yang muncul karena agen tidak melaksanakan hal- hal yang telah disepakati bersama sesuai kontrak kerja; dan 2
adverse selection adalah suatu keadaan dimana prinsipal tidak dapat mengetahui apakah keputusan yang diambil oleh agen benar- benar didasarkan atas informasi
yang telah diperolehnya atau terjadi kelalaian dalam bertugas. Pihak- pihak yang terlibat dalam proses penganggaran sektor publik
terdiri dari tiga kategori utama yang meliputi eksekutif, legislatif, dan masyarakat. Hubungan keagenan dalam penganggaran daerah adalah :
1 Hubungan Keagenan antara Masyarakat Publik dan Legislatif
Legislatif adalah lembaga perwakilan rakyat yang keberadaannya telah dipilih oleh rakyat voters. Rakyat berdasarkan asas demokrasi adalah
prinsipal utama dan legislatif berperan sebagai agen yang mewakili rakyat sebagai prinsipal. Rakyat melakukan pengawasan terhadap DPR dengan cara
social pressure, yaitu rakyat berperan sebagai parliament watch, media dan aksi langsung dengan kekuatan massa melalui demokrasi Kencana,2010.
Legislatif berperan penting dalam penganggaran daerah karena DPRD adalah Pengesah APBD dalam tahap retifikasi. Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999,
DPRD dan Gubernur, Bupati atau Walikota menetapkan APBD. Sehingga, DPRD perlu untuk mendengarkan aspirasi rakyat melalui berbagai komponen
yang mewakili rakyat, yang diantaranya terdiri dari Lembaga Sosial Masyarakat LSM, Perguruan Tinggi, kuesioner, kotak pos, media masa, dan
lain sebagainya Kencana, 2010. Masalah keagenan antara legislatif dengan rakyat adalah legislatif akan
membela kepentingan rakyat atau pemilihnya, tetapi sering kali tidak terjadi karena pendelegasian kewenangan rakyat atau pemilih dengan legislatornya
tidak ada kejelasan aturan konsekuensi kontrol keputusan yang disebut abdikasi abdication. Lupia dan Mc. Cubbins 2000 dalam Halim dan
Abdullah 2006 menyatakan bahwa abdikasi tejadi karena pemilih voters tidak ingin mempengaruhi legislatif yang mereka pilih, sedangkan legislatif
tidak memiliki banyak waktu dan pengetahuan untuk mengetahui semua kebutuhan rakyat. Sehingga, legislatur cenderung melakukan political
corruption. 2
Hubungan Keagenan antara Legislatif dan Eksekutif Pemerintah Daerah Hubungan keagenan antara legislatif dan eksekutif berdasarkan UU
No. 23 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, terjadi perubahan posisi luasnya kekuasaan antara legislatif sebagai prinsipal terhadap eksekutif
sebagai agen. DPRD tidak menjadi satu kesatuan dengan Kepala Daerah beserta perangkatnya. Hubungan keagenan terjadi dalam konteks pembuat
kebijakan, yang mana legislatif memberikan kewenangan kepada eksekutif agen untuk membuat usulan kebijakan baru dan berakhir setelah usulan
tersebut diterima atau ditolak. Fungsi DPRD adalah mengawasi pelaksana peraturan daerah, pelaksana keputusan GubernurBupatiWalikota, pelaksana
APBD pelaksana kebijakan daerah, dan pelaksana kerjasama internasional di daerah. Sedangkan, kepala daerah memiliki kewenangan dan tanggung jawab
atas terselenggaranya pemerintahan, serta meningkatkan kepuasan rakyat. Kinerja kepala daerah dinilai dari keberhasilan sebagai program pemerintah
dan kebijakan pada realisasi APBD dalam laporan pertanggungjawaban kepada DPRD Kencana, 2010.
Masalah keagenan dalam hubungan legislatif dan eksekutif adalah legislatif cenderung melakukan “kontak semu” dengan eksekutif, karena
memiliki keunggulan
kekuasaan discretionary
power. Legislatif
mengutamakan kepentingan pribadi secara jangka panjang demi menjaga
kesinambungan dan nama baik politisi atau anggota dewan. Sedangkan, eksekutif cenderung melakukan budgetary slack karena memiliki keunggulan
informasi asimetri informasi dan untuk mengamankan posisinya di pemerintahan. Eksekutif akan mengusulkan anggaran belanja yang lebih
besar dan target anggaran yang lebih rendah, agar lebih mudah dicapai ketika realisasi dilaksanakan.
3 Hubungan Keagenan antara Kepala Daerah BupatiWalikota dan Kepala
DinasKantorBadan. Hubungan keagenan antara Kepala Daerah BupatiWalikota dan
Kepala DinasKantorBadan adalah Kepala Daerah BupatiWalikota
berperan sebagai prinsipal dan Kepala DinasKantorBadan berperan sebagai agen. Eksekutif akan menyampaikan dokumen rancangan APBD kepada
legislatif untuk diteliti dan disahkan. Kepala daerah berorientasi pada penetapan
sistem pengendalian
manajemen yang
mengatur DinasKantorBadan, serta mendukung keberhasilan reformasi anggaran,
keuangan dan sistem akuntansi daerah. DinasKantorBadan akan
mengajukan daftar usulan kegiatan daerah dan daftar usulan proyek daerah yang akan dibahas oleh panitia anggaran daerah. Perangkat daerah
DinasKantorBadan bertanggung jawab dalam pelayanan masyarakat
Kencana, 2010. Mardiasmo 2001 dalam Kencana 2010 menyatakan bahwa slack yang diciptakan oleh perangkat daerah cenderung merupakan
slack yang positif, karena menjaga hubungannya dengan kepala daerah dan mengamankan pekerjaan dan posisi atau jabatan di pemerintahan.
2.1.2 Peran Keadilan Distributif dan Komitmen Organisasional