BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kebakaran Hutan
Brown dan Davis 1973 mendefinisikan kebakaran hutan sebagai suatu proses pembakaran yang menyebar secara bebas dengan mengkonsumsi bahan
bakar alam yang terdapat dalam hutan misalnya serasah, rumput, ranting- ranting kayu mati, tiang, gulma, semak, dedaunan dan pohon-pohon segar
lainnya. Selanjutnya Clar dan Chatten 1954 mengatakan bahwa kebakaran dapat terjadi bila terdapat tiga unsur sekaligus dan saling mempengaruhi satu
dengan lainnya yang sering disebut dengan segitiga api atau fire triangle yaitu bahan bakar, panas dan oksigen.
Selama proses kebakaran, dapat diperlihatkan lima fase pembakaran Debano, et al., 1998, yaitu :
a. Fase pra pemanasan Pre-ignition
Pada tahap ini bahan bakar mulai terpanaskan, kering dan mulai mengalami pyrolisasi, yaitu terjadi pelepasan uap air, CO
2
dan gas-gas mudah terbakar termasuk metana, metanol dan hidrogen. Selulosa
menunjukkan suhu yang berkenaan dengan panas dicapai pada suhu 250 C
620 F. Pada suhu tersebut partikel-partikel dengan cepat
mengembangkan jumlahnya menjadi lebih besar dan mudah terbakar. Dalam proses pirolisis ini reaksi berubah dari exotermic memerlukan
panas menjadi endothermic melepaskan panas b.
Fase penyalaan Flaming combustión Pirolisis
melaju dan mempercepat oksidasi dari gas-gas yang dapat terbakar. Sebagaimana temperatur dari bahan bakar terus meningkat, gas-
gas mudah menyala lebih cepat dihasilkan dan reaksi kimia benar-benar menjadi proses eksotermik dan mencapai puncak pada suhu 320
C. Meskipun gas-gas lebih mudah terbakar yang dihasilkan pada temperatur
di atas 200 C, namun gas-gas tersebut tidak akan menyala bahkan ketika
bercampur dengan udara pada suhu 425 - 480 C. Suhu maksimum yang
dapat dihasilkan dengan terbakarnya gas-gas pada bahan bakar wildland
berkisar 1900 C dan 2200
C dengan status campuran udara dan gas-gas ideal.
c. Fase pembakaran Smoldering
Terdapat dua zona yang merupakan karakteristik dari fase ini, yaitu 1 zona pirolisis dengan berkembangnya hasil-hasil pembakaran dan 2 zona
arang dengan pelepasan hasil pembakaran yang tidak terlihat. Laju pembakaran api mulai menurun sekitar 3 cmjam karena bahan bakar tidak
dapat mensuplai gas-gas yang dapat terbakar dalam konsentrasinya dan pada laju yang dibutuhkan untuk pembakaran yang dasyat. Kemudian
panas yang dilepaskan menurun dan suhunya pun menurun menyebabkan gas-gas lebih banyak berkondensasi ke dalam asap. Proses ini bisa
menaikkan temperatur tanah mineral di atas 300 C dan pada suhu sekitar
600 C menyebabkan dekomposisi bahan organik dan kematian organisme
tanah. d.
Fase penjalaran Glowing Fase ini merupakan fase terakhir dari proses smoldering. Pada fase ini
temperatur puncak dari pembakaran berkisar antara 300 C – 600
C dan sedikit atau tidak sama sekali menghasilkan asap. Bila suatu kebakaran
mencapai fase glowing, sebagian besar dari gas-gas yang mudah menguap akan hilang dan oksigen mengadakan kontak langsung dengan permukaan
dari bahan bakar yang mengarang. Hasil dari fase ini adalah CO, CO
2,
dan abu sisa pembakaran.
e. Fase pemadaman Extinction
Status kebakaran akhirnya berhenti bila semua bahan bakar yang tersedia telah dikonsumsi atau bila panas yang dihasilkan melalui oksidasi
baik melalui fase smoldering maupun glowing tidak cukup untuk menguapkan air yang dibutuhkan berasal dari bahan bakar yang basah
kadar air tinggi.
Lebih lanjut Brown dan Davis 1973 mengelompokkan tipe-tipe kebakaran hutan dan lahan menjadi tiga tipe kebakaran, yaitu :
a. Kebakaran permukaan surface fire
Kebakaran yang terjadi di permukaan atau lantai hutan dan kebakaran ini hanya membakar bahan bakar seperti serasah, rumput, log, dan anakan
seedling beserta komponen jaringan tanaman yang terdapat di lantai hutan. Kebakaran ini paling sering terjadi karena kebakaran hutan terjadi dimulai dari
kebakaran permukaan. Kebakaran ini dapat menjalar pada vegetasi yang lebih tinggi dan penjalarannya dimulai dari permukaan lantai hutan. Kebakaran ini
dihasilkan oleh adanya pengaruh angin dimana permukaan mendapat suplai oksigen yang banyak untuk proses pembakaran. Bentuk dari penjalaran api
lonjong atau elips kerena mendapat pengaruh angin. Bila api yang searah dengan angin maka akan menjalar dengan cepat sedangkan bila berlawanan
dengan arah angin penjalaran cenderung lambat. b.
Kebakaran bawah Ground fire Kebakaran bawah hanya membaakar bahan bakar yang ada di bawah
permukaan dimana api membakar bahan-bahan organik yang menjadi lapisan tanah dan menjalar dengan perlahan-lahan. Kebakaran ini tidak dipengaruhi
oleh angin karena lapisan bahan-bahan organik ini bersifat padat, tekstur halus, dan tidak dipengaruhi oleh oksigen. Penjalaran api dalam kebakaran bawah ini
berjalan lambat tetapi kontiniu dan dapat bertahan dengan panas yang kuat dan tidak menimbulkan nyala api, sehingga sulit untuk dideteksi. Arah dari
kebakaran kesegala arah, sehingga kebakaran bawah mempunyai bentuk penjalaran yang melingkar dan menimbulkan kerusakan beragam karena
penjalarannya itu. Tanda awal dari terjadinya kebakaran bawah di dalam suatu kawasan adalah adanya asap smoke putih yang keluar dari permukaan tanah.
c. Kebakaran tajuk Crown fire
Kebakaran ini diawali dengan adanya kebakaran permukaan yang terus menjalar menjadi kebakaran tajuk dimana api mengkonsumsimembakar tajuk-
tajuk pohon, cadangan biji, ranting, dedaunan atau dari semak-semak dan umumnya terjadi pada tegakan conifer. Kebakaran tajuk sangat dipengaruhi
oleh arah angin sehingga kebakaran ini sangat sulit ditanggulangi karena
menjalarnya api sangat cepat. Kebakaran tajuk biasanya terjadi dikarenakan adanya api loncar spot fire menjalar dan berasal dari pohon yang bertajuk
lebih rendah, tajuk tumbuhan bawah, atau semak belukar yang ditunjang dengan faktor angin.
2.2. Dampak Kebakaran Hutan Gambut
Kebakaran gambut berdampak buruk bagi lingkungan baik lokal, regional maupun global seperti lingkungan fisik-kimia, biologi dan sosial ekonomi
serta kesehatan masyarakat. Kebakaran dalam skala besar mempunyai konsekuensi yang besar bagi lingkungan baik langsung maupun tidak
langsung. Dampak terhadap kualitas udara merupakan hal yang menjadi isu besar. Asap yang menjadi hasil proses pembakaran tidak hanya dirasakan
secara lokal, namun juga secara regional bahkan global. Hal ini karena asap bisa bergerak bebas melampaui batas-batas negara. Levine et al. 1999
melaporkan bahwa kebakaran yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan pada tahun 1997 telah meningkatkan jumlah gas-gas yang berlibat kali
dibandingkan dengan terbakarnya kilang minyak Kuwait pada tahun 1991, seperti gas karbon monoksida 2,5 kali lipat, karbon diokasida sebanyak 50 kali
lipat, methane delapan kali lipat, senyawa nitrogen 197 kali lipat serta partikel delapan kali lipat.
Peristiwa kebakaran hutan dan lahan gambut mempunyai sumbangan yang sangat besar terhadap terjadinya perubahan iklim global. Gas-gas yang
dihasilkan menimbulkan efek rumah kaca. Gas rumah kaca adalah gas-gas yang memiliki kemampuan menyerap radiasi gelombang panjang yang
dipancarkan kembali ke atmosfer oleh permukaan bumi. Gas yang mampu menyerap radiasi tersebut antara lain CO
2
, CH
4
, N
2
O, CFC dan gas lainnya di atmosfer. Panas yang ditimbulkan oleh radiasi tersebut menyebabkan
pemanasan atmosfer global warming. Data menunjukkan bahwa Indonesia menyumbang 22 gas rumah kaca.
Dari jumlah tersebut sebagaimana hasil penelitian Levine 1999 bahwa gas karbon monoksida 191,5 juta metrik ton terdiri dari 171 juta metrik ton berasal
dari kebakaran gambut 89 , gas karbon dioksida sebesar 32,8 juta metrik
ton, 31 juta ton berasal dari kebakaran gambut 94,5 , gas methane 1,84 juta metrik ton, 1,78 juta ton berasal dari kebakaran gambut 97, serta bahan
partikel 16 juta metrik ton, 15,6 juta metrik ton berasal dari kebakaran gambut 97,5 .
2.3. Sumber dan Siklus Karbon
Pada dasarnya
karbon bersumber
dari kegiatan antropogenik dan alami. Sumber utama karbon dioksida CO
2
yaitu dari bahan organik yang terjadi akibat tindakan mikroorganisme, pertukaran gas di lautan, penebangan hutan,
respirasi oleh hewan, manusia dan pembakaran bahan api. Kegiatan antropogenik seperti industri, penggunaan bahan bakar fosil, dan transformasi
lahan penebangan, pembukaan lahan dan kebakaran hutan secara besar- besaran merupakan sumber utama emisi karbon Soedomo, 2001.
Di atmosfer terdapat kurang lebih 60,249 x 10
15
molekul karbon yang terdiri dari 59,9 x 10
12
molekul karbon dioksida CO
2
, 0,33 x 10
15
molekul gas metan CH
4
, dan 0,19 x 10
15
molekul karbon monoksida CO Soedomo, 2001. Emisi karbon ke atmosfer dapat terjadi pada berbagai aktivitas seperti
1 respirasi oleh tumbuhan, hewan dan manusia, 2 pembakaran bahan bakar fosil, seperti minyak, batubara dan sebagainya, 3 kebakaran hutan, dan 4
ledakan gunung berapi. Selanjutnya Levine et al. 1999 mengemukakan bahwa pembakaran biomassa dapat memberikan 20 – 49 total emisi
antropogenik karbon ke udara. Pengurangan konsentrasi karbon di atmosfer dapat terjadi melalui proses
fotosintesis oleh tanaman atau tumbuhan hijau daun. Fotosintesis didefenisikan sebagai proses pembentukan gula dari dua bahan sederhana
yaitu karbon dioksida CO
2
dan air H
2
O dengan bantuan klorofil dan cahaya matahari sebagai sumber energi. Fotosintesis merupakan asimilasi zat karbon,
dimana zat-zat organik CO
2
dan H
2
O diubah menjadi molekul C
6
H
12
O
6
dengan bantuan energi cahaya matahari dan klorofil. Pada areal konversi yang mengalami degradasi lahan pengurangan emisi karbon dapat dilakukan dengan
penanaman kembali perkebunan, agroforestri, reforestasi dan aforestasi,
sehingga emisi karbon tanah yang meningkat dapat ditangkap kembali melalui fotosintesis Brown et al., 1993.
Menurut Kinderman et al. 1993 tempat penyimpanan dan fluks karbon yang terpenting dalam ekosistem hutan tropik tergantung pada perubahan
dinamik stok karbon di vegetasi dan tanah, ketersediaan kandungan hara, dan kondisi iklim setempat yang dapat di modelkan seperti gambar 2. Tempat
penyimpanan utama karbon adalah biomassa bagian atas yang meliputi batang, cabang, ranting, daun, buah, bunga, dan bagian bawah yang meliputi
akar, bahan organik mati necromass, tanah dan yang tersimpan dalam bentuk produk kayu yang nantinya akan diemisikan dalam bentuk produk
jangka panjang. Sedangkan atmosfer sendiri bentindak sebagai media perantara di dalam siklus karbon. Aliran karbon biotik antara atmosfer dan
hutanlahan adalah fiksasi netto karbon melalui proses fotosintesis net primary productivity
dan respirasi heretropik dekomposisi pada serasah halus dan kasar, akar yang mati dan karbon tanah. Untuk lahan merupakan
proses pertumbuhan dan pemulihan kembali, sedangkan untuk hutan merupakan pertumbuhan alami. Sebagian dari karbon yang terfiksasi dari
fotosintesis akan ditransfer ke sistem perairan melalui sungai sebagian bahan organik yang terlarut dan jumlahnya untuk daerah tropik basah diperkirakan
sebesar 0,1 x 10
-6
Mt Chatahun Brown et al., 1993. Untuk pelepasan netto karbon ke atmosfer dari perubahan tata guna lahan
tergantung pada jumlah karbon yang tersimpan dalam vegetasi dan tanah, laju dan bentuk pembukaan lahan, laju dekomposisi, intensitas tanah yang
terganggu akibat pemanenan kayu, perubahan tata guna lahan dan pukulan mekanik hujan. Laju perubahan tata guna lahan sendiri yang dipengaruhi oleh
aktivitas manusia tergantung pada faktor sosial, ekonomi dan politik. Model dasar mengenai cadangan karbon secara umum dapat dibedakan menjadi dua
sumber yaitu karbon dari vegetasi dan karbon di dalam tanah seperti pada Gambar 2.
Gambar 2. Model dasar tempat penyimpanan dan fluks C dalam dan antara ekosistem hutan tropik dan atmosfer Brown et al., 1993
2.4. Biomassa Hutan
Biomassa adalah berat bahan organik suatu organisme per satuan unit area yang ada dalam ekosistem pada paruh waktu tertentu Chapman, 1986. Karena
kandungan air yang berbeda setiap tumbuhan, maka biomassa tersebut umumnya dinyatakan dalam satuan berat kering dry weight. Dengan
demikian unit satuan biomassa adalah gr per m
2
atau kg per ha atau ton per ha. Sedangkan laju produksi biomassa adalah laju akumulasi biomassa dalam
kurun waktu tertentu, sehingga unit satuannya juga dinyatakan per satuan waktu, misalnya kg per ha per tahun. Sementara Brown 1997 menyatakan
bahwa biomassa adalah total materi organik pohon yang hidup di atas tanah yang diekspresikan sebagai berat kering tanaman per unit areal. Biomassa
dapat dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu biomassa di atas permukaan tanah above ground biomass dan di bawah permukaan tanah below gorund
biomass .
Land use change
CO
2
Atmosfer
Karbon Biomassa
Karbon necromassa
Karbon tanah
Produk Faktor
Manusia Akumulasi
karbon netto
Sungai
Dari segi ekologis, data biomassa hutan sangat penting untuk mempelajari aspek fungsional dari suatu ekosistem hutan seperti produksi primer hutan,
siklus hara, dan aliran energi Hasse, et al., 1985. Sedangkan dari segi manajemen hutan secara praktis, biomassa hutan sangat penting dalam tahap
perencanaan pengusahaan hutan karena keseluruhan kegiatan operasional pengelolaan hutan sangat dipengaruhi oleh besarnya biomassapotensi hutan.
Disamping itu, data biomassa hutan juga merupakan data dasar penting untuk membuat peta penyebaran potensi hutan dan penentuan prioritas pengelolaan
hutan. Biomassa tersusun oleh senyawa karbohidrat yang terdiri dari elemen
karbon, hidrogen dan oksigen yang dihasilkan dari proses fotosintesis tanaman White dan Plaskett, 1981. Jumlah total biomassa tumbuhan dapat bertambah
karena tumbuhan menyerap CO
2
dari udara dan mengubah zat tersebut menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis. Hal ini tergantung pada
luas daun yang terkena sinar matahari, intensitas penyinaran, suhu dan karakteristik dari masing-masing jenis tumbuhan. Lebih lanjut dikemukakan
bahwa biomassa dalam hutan adalah hasil selisih dari produksi fotosintesis dengan konsumsi melalui respirasi dan proses penebangan.
Produksi biomassa merupakan model proses yang ditetapkan secara khusus melalui keseimbangan antara karbon yang diambil melalui proses
fotosintesis dan proses kehilangan karbon melalui respirasi. Karbon merupakan produk dari produksi biomassa yang terbentuk dikurangi dengan
total yang hilang melalui jaringan akar halus, cabang dan daun serta penyakit sisanya tergantung di dalam struktur yang tersimpan di dalam pohon.
Penyerapan air dan elemen penting lainnya akan berpengaruh terhadap keseimbangan karbon dan pengalokasian karbon Johnsen et al., 2001.
Biomassa antara lain dapat digunakan sebagai dasar perhitungan bagi kegiatan pengelolaan hutan karena dapat dianggap sebagai sumber dan rosot
sinks dari karbon. Jumlah stok biomassa tergantung pada terganggu atau tidaknya hutan, dan atau ada tidaknya permudaan alam, dan peruntukan hutan.
Beberapa faktor yang mempengaruhi biomassa tegakan hutan antara lain;
umur tegakan hutan, perkembangan vegetasi, komposisi dan struktur tegakan. Selain itu faktor iklim, seperti curah hujan dan suhu merupakan faktor yang
mempengaruhi laju peningkatan biomassa pohon Kusmana, 1992. Suhu berdampak pada proses biologi dalam pengambilan karbon oleh tanaman dan
penggunaan karbon dalam aktivitas dekomposer. Selain suhu dan curah hujan, umur dan kerapatan tegakan, komposisi dan struktur tegakan serta kualitas
tempat tumbuh juga mempengaruhi besarnya biomassa. Semakin tinggi suhu udara akan menyebabkan kelembaban udara relatif
berkurang. Berkurangnya kelembaban udara akan mempengaruhi laju fotosintesis. Hal ini disebabkan karena suhu udara yang tinggi akan memiliki
tekanan uap air parsial yang lebih tinggi dibanding dengan tekanan udara parsial CO
2
, ini akan memudahkan uap air berdifusi melalui stomata, akibatnya adalah laju fotosintesis akan menurun. Sedangkan pengaruh umur
tanaman menunjukkan bahwa semakin tua tanaman, jumlah daunnya akan semakin banyak sehingga proses fotosintesis akan lebih besar oleh karena
penyerapan CO
2
oleh daun semakin besar. Karbon merupakan komponen penting penyusunan biomassa tanaman
melalui proses fotosintesis, kandungannya sekitar 45 – 50 bahan kering dari tanaman. Adanya peningkatan kandungan karbon dioksida di atmosfer secara
global telah menyebabkan timbulnya masalah bagi lingkungan. Hal ini mempengaruhi kebijakan negara-negara di dunia untuk mempertahankan
keberadaan hutan yang dapat dianggap sebagai buffer terhadap kandungan karbon, sehingga menarik para ilmuwan untuk meneliti kandungan karbon
yang tersimpan di hutan. Hutan mempunyai fungsi untuk memfiksasi karbon dan menyimpannya di
dalam ekosistem yang tersimpan di dalam vegetasi yang dikenal sebagai rosot sinks karbon, pada hutan daratan tinggi dan hijau peningkatan biomassa
hutan menghasilkan sinks karbon bersih sekitar 0,74 + 0,19 juta ton karbontahun. Hutan mempunyai potensi untuk menangkap CO
2
dari udara yang dinyatakan sebagai sequestration. Salah satu kriteria penyimpanan
karbon adalah adanya potensi karbon jangka panjang dalam biomassa hutan
dan produk hutan yang dinyatakan dalam ton karbontahun Nabuurs dan Mohren, 1993.
Semua tipe hutan mempunyai kemampuan untuk mengabsorbsi karbon. Lokasi utama cadangan karbon adalah hutan tropika, baik di atas permukaan
tanah maupun di bawah permukaan tanah Van Norrwik et al., 1997. Hutan tropika merupakan tipe hutan yang mengandung biomassa dalam jumlah yang
besar, sehingga hutan tropik merupakan cadangan simpanan karbon yang sangat penting. Potensi pertumbuhan di hutan tropis umumnya lebih tinggi dan
lebih cepat, sehingga dapat mempercepat akumulasi karbon di dalam tanaman. Vegetasi hutan mempunyai kemampuan untuk menyerap CO
2
. Hutan mampu menyerap karbon yaitu sekitar 16,3 juta metrik ton selama 40 tahun melalui
pertambahan bersih dari biomassa karbon dan inventarisasi tegakan dan penyerapan melalui tegakan hutan. Disamping itu, karbon juga tersimpan
dalam material yang telah mati sebagai serasah, batang pohon yang jatuh ke permukaan tanah, dan sebagai material yang sukar lapuk di dalam tanah
Whitmore, 1985. Biomassa hutan dapat memberikan dugaan sumber karbon pada vegetasi
hutan, karena 50 dari biomassa adalah karbon. Biomassa diukur dari biomassa di atas permukaan tanah dan biomassa di bawah permukaan tanah,
dari bagian tumbuhan yang hidup, semak dan serasah Brown dan Gaston, 1996. Selanjutnya Jetkins et al 2002, menyatakan bahwa kandungan karbon
dapat diduga melalui persamaan regresi allometrik dari biomassa pohon yang didasarkan pada fungsi dari diameter pohon.
Pada atmosfer bumi, karbon dioksida terdapat dalam kepekatan rendah sekitar 0,03, akan tetapi CO
2
ini memainkan peranan yang sangat penting dalam iklim bumi. Atmosfer berperan sebagai media perantara dalam siklus
karbon. Aliran C biotik antara atmosfer dan hutantanaman adalah fiksasi netto C melalui proses fotosintesis net primary product dan respirasi. Radiasi sinar
matahari yang masuk mempunyai panjang gelombang yang berbeda-beda, akan tetapi pada saat mengenai bumi sebagian besar energi diubah menjadi
radiasi inframerah.
2.5. Pendugaan dan Pengukuran Biomassa
Brown 1997, mengemukakan ada dua pendekatan yang digunakan untuk menduga biomassa yakni pertama berdasarkan penggunaan dugaan volume
kulit sampai batang bebas cabang yang kemudian diubah menjadi kerapatan biomassa tonha. Sedangkan pendekatan kedua secara langsung dengan
menggunakan persamaan regresi biomassa. Pendugaan biomassa pada pendekatan pertama menggunakan persamaan
yaitu : Biomassa di atas tanah tonha = VOB x WD x BEF, dimana VOB Volume Over Bark merupakan volume batang bebas cabang dengan kulit
m
3
ha, WD Wood Density adalah kerapatan kayu biomassa kering oven ton dibagi volume biomassa inventarisasi m
3
dan BEF Biomass Expansion Factor
adalah perbandingan total biomassa pohon kering oven di atas tanah dengan biomassa kering oven hasil inventarisasi hutan.
Pendugaan biomassa dengan pendekatan kedua menggunakan persamaan regresi biomassa berdasarkan diameter batang pohon dengan persamaan :
Biomassa di atas tanah Y = a D
b
Dimana Y menyatakan biomassa pohon kg dan D menyatakan diameter setinggi dada, serta a dan b merupakan konstanta.
Dari persamaan regresi biomassa adalah hanya mendekati biomassa rata- rata per pohon menurut sebaran diameter dengan menggabungkan sejumlah
pohon pada setiap kelas diameter dan menjumlahkan total seluruh pohon untuk kelas diameter. Champman 1976, mengelompokkan metode
pendugaan biomassa di atas tanah ke dalam dua golongan, yaitu 1. Motede Pemanenan
a. Metode pemanenan individu tanaman Metode ini diterapkan pada kondisi tingkat kerapatan tumbuhanpohon
cukup rendah dan komunitas tumbuhan dengan jenis sedikit. Nilai total biomassa diperoleh dengan menjumlahkan biomassa seluruh individu
dalam suatu unit area contoh.
b. Metode Pemanenan kuadrat Metode ini mengharuskan memanen semua individu pohon dalam suatu
unit area contoh dan menimbangnya. Nilai total biomassa diperoleh dengan mengkonversi berat bahan organik yang dipanen di dalam suatu
area tertentu. c. Metode pemanenan individu pohon yang mempunyai luas bidang dasar
rata-rata. Metode ini biasanya diterapkan pada tegakan yang memiliki ukuran
individu seragam. Pohon yang ditebang ditentukan berdasarkan rata- rata diameternya dan kemudian menimbangnya. Nilai total biomassa
diperoleh dengan menggandakan nilai berat rata-rata dari pohon contoh yang ditebang dengan jumlah individu pohon dalam suatu unit area
tertentu atau jumlah berat dari semua pohon contoh yang digandakan dengan rasio antara luas bidang dasar dari semua pohon dalam suatu
unit area dengan jumlah luas bidang dasar dari semua pohon contoh. 2. Metode Pendugaan tidak langsung
a. Metode hubungan allometrik Persamaan allometrik dibuat dengan mencari korelasi yang paling baik
antara dimensi pohon dengan biomassanya. Untuk membuat persamaan allometrik, pohon-pohon yang mewakili sebaran kelas diameter
ditebang dan ditimbang. Nilai total biomassa diperoleh dengan menjumlahkan semua berat individu pohon dalam suatu unit area
contoh tertentu b.
Crop meter Pendugaan biomassa dengan metode ini dilakukan dengan cara
menggunakan seperangkat peralatan elektroda listrik yang kedua kutubnya diletakkan di atas permukaan tanah pada jarak tertentu.
Biomassa tumbuhan antara dua elektoda dipantau dengan memperhatikan electrical capacitance yang dihasilkan alat tersebut.
2.6. Model Penduga Biomassa dan Kandungan Karbon
Model merupakan rangkuman atau penyederhanaan dari suatu sistem, sehingga hanya faktor-faktor dominan atau komponen yang relevan dari
masalah yang dianalisis, diikutsertakan dan yang menunjukkan hubungan langsung atau tidak langsung dalam pengertian sebab akibat Grant et al.,
1997. Permodelan adalah pengembangan analisis ilmiah dengan beberapa cara, yang berarti bahwa dalam memodelkan suatu ekosistem akan lebih
mudah dibandingkan dengan ekosistem sebenarnya Hall dan Day, 1976, sedangkan sistem secara sederhana didefenisikan sebagai suatu kumpulan
komponen atau objek-objek yang saling berinteraksi Grant et al., 1997. Produksi biomassa merupakan model proses yang ditetapkan secara
khusus melalui keseimbangan antara karbon yang diambil melalui proses fotosintesis dan proses kehilangan karbon melalui respirasi. Karbon
merupakan produk dari produksi biomassa yang dibentuk dikurangi dengan total yang hilang melalui jaringan akar halus, daun, dan cabang serta penyakit,
sisanya tergabung dalam struktur dan tersimpan dalam pohon. Model biomassa mensimulasikan penyerapan karbon melalui proses
fotosintesis dan kehilangan karbon melalui respirasi. Penyerapan karbon bersih akan disimpan dalam organ tumbuhan dalam bentuk biomassa. Fungsi
dan model biomassa dipresentasikan melalui persamaan dengan tinggi dan diameter pohon Kusmana, 1996; Johnsen et al., 2001.
Sebelum pembuatan model dibutuhkan peubah-peubah yang mendukung keberadaan model tersebut yakni adanya korelasi yang tinggi antar peubah-
peubah penciri. Dalam penyusunan model penduga biomassa ini dapat menggunakan satu atau dua peubah bebas dalam bentuk linier dan non linier.
Adapun peubah bebas yang digunakan adalah diameter setinggi dada, tinggi bebas cabang, tinggi total. Beberapa persamaan umum model penduga
biomassa pohon yang dipakai oleh beberapa peneliti antara lain ; Model dengan satu peubah bebas, yaitu :
W = a D
b
........ Brown, 1997
W = a + bD + cD
2
.......Brown, 1997 Model dengan dua peubah bebas :
W = a D
2
H
b
....... Ogawa et al., 1965 W
= a + bD
2
H ....... Brown, 1997 Hairiah et al. 1999, mengemukakan bahwa persamaan empirik untuk
total biomassa dapat berbentuk polynomial dengan bentuk Y = a + bD + cD
2
+ dD
3
atau mengikuti fungsi Y = aD
b
dengan nilai b antara 2 dan 3 dan nilai D ≠
0. Karena jika D = 0, persamaan polynomial memprediksi sebuah biomassa dari nilai a tetapi tidak mempunyai satu atau lebih parameter yang diukur.
Selanjutnya Ogawa et al, 1965 telah menyusun model allometrik pendugaan biomassa batang untuk semua tipe hutan berdasarkan keterkaitan dengan
dimensi diameter D dan tinggi pohon H dengan persamaan Ws = 0,0396 D
2
H
0,9326
. Hanya saja model allometrik ini tidak cukup baik untuk menduga biomassa cabang, hal ini memiliki nilai kesalahan yang cukup besar untuk
setiap individu pohon dibandingkan nilai kesalahan untuk penduga biomassa batang. Selain itu, Ogawa et al. 1965 juga berhasil membuat penduga untuk
biomassa daun W
L
dalam model regresi non linier berupa persamaan hiperbola. Persamaan biomassa daun untuk pohon yang berdaun lebar adalah
1W
L
= 13,75Ws – 0,025 dan 1W
L
= 22,5Ws – 0,025 untuk pohon berdaun jarum.
Lebih lanjut Ketterings et al. 2001 mengemukakan model pengukuran biomassa hutan campuran sekunder dengan persamaan sebagai berikut :
W = 0,11 x ρ x D
2,62
Dimana : W = Biomassa kgph,
ρ = massa jenis pohon kgm
3
, dan D = diameter setinggi dada 130 cm.
Johnsen 2001 menyatakan bahwa model penduga kandungan karbon dapat diduga melalui persamaan regresi alometrik dari biomassa pohon yang
didasarkan pada fungsi dari diameter pohon. Beberapa penelitian yang
menduga kandungan karbon melalui persamaan regresi alometrik telah dilakukan, antara lain; Hilmi 2003 telah membangun model penduga karbon
untuk kelompok jenis Rhizophora spp. dan Bruguiera spp., Onrizal 2004 menduga biomassa dan kandungan karbon pada tegakan hutan kerangas,
Ismail 2005 menduga potensi kandungan karbon dan biomassa pada tegakan Acacia mangium
Wild di areal bekas terbakar dan tidak terbakar, Yulyana 2005 menduga potensi kandungan karbon pada tanaman karet yang disadap.
Penelitian tersebut masing-masing menggunakan peubah diameter dan atau tinggi pohon dalam membuat model penduga biomassa dan kandungan karbon
pohon.
2.7. Hutan Tanaman Industri
Hutan Tanaman Industri HTI yang saat ini dikenal dengan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Tanaman Industri IUPHHK-
HT di Indonesia pada awalnya merupakan upaya untuk mengurangi degradasi hutan alam, terutama akibat penebangan hutan secara berlebihan dalam
kegiatan Hak Pengusahaan Hutan HPH. HTI direncanakan mampu menggantikan peran utama hutan alam dalam menyediakan kebutuhan bahan
baku kayu bagi industri perkayuan di Indonesia. Hal ini terjadi karena semakin menurunnya potensi kayu yang berasal dari hutan alam dari tahun ke tahun.
Prioritas lokasi pembangunan HTI awalnya juga direncanakan pada areal lahan kritis, tanah kosong, alang-alang, semak belukar dan areal hutan yang
tidak produktif. Departemen Kehutanan 2006 Hutan Tanaman yang sebelumnya disebut
Hutan Tanaman Industri HTI adalah hutan tanaman yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi kualitas hutan produksi dengan menerapkan
sistem silvikultur Tebang Habis Permudaan Buatan THPB untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri primer hasil hutan kayu. Adapun tujuan
pembangunan HTI adalah : a.
Menunjang pengembangan industri hasil hutan dalam negeri guna meningkatkan nilai tambah dan devisa.
b. Meningkatkan produktivitas lahan dan lingkungan hidup
c. Memperluas lapangan kerja
HTI harus dikelola secara profesional agar mencapai tujuan pembangunannya. Hal tersebut dapat berhasil apabila didasarkan pada :
a. Azas manfaat yaitu hutan harus memberikan manfaat sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat b.
Azas kelestarian dimana dalam pemanfaatan sumberdaya hutan harus senantiasa diperhatikan kelestarian sumberdaya alam hutan tersebut guna
memberikan manfaat keberlanjutan c.
Azas perusahaan pengusahaan hutan harus mampu memberikan keuntungan finansial yang layak.
Dasar pertimbangan yang utama dari pembangunan HTI adalah peningkatan ekonomi dan pengembangan teknologi. Penilaian potensi pada
lahan yang akan dijadikan HTI mutlak harus dilakukan, sehingga dari dasar itu kita dapat menentukan spesies yang akan ditaman. Penilaian lahan tidak hanya
terfokus pada karakteristik biofisik lahan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan, tetapi secara keseluruhan menilai potensi yang memiliki nilai
atau potensi ekonomi. Artinya pemilihan jenis tanaman harus benar-benar memiliki nilai ganda, selain memiliki nilai ekonomis jenis tersebut juga
mudah dan dapat dikembangkan sehingga pertumbuhan tanaman dapat memberikan dampak secara ekonomis kepada pengelola dan menghasilkan
devisa bagi negara. Penentuan jenis untuk tanaman industri yang akan ditanam merupakan
langkah paling utama karena hal itu menentukan cara pengelolaan dan memberikan besal kecilnya usaha HTI. Ada beberapa dasar pertimbangan
dalam pemilihan jenis tanaman yang akan digunakan dalam pembangunan HTI adalah Retnowati, 1998 :
a. Produksitivitas tahunan persatuan luas tinggi
b. Kualitas lahan hutan yang baik dan sesuai dengan tujuan penggunaan yang
direncanakan c.
Tidak merusak lingkungan.
Menurut Suratmo 1985, pembangunan HTI dapat memberikan beberapa dampak, yaitu :
1. Komponen fisik dan kimia meliputi : tata guna tanah, kualitas tanah, erosi,
tata air, kualitas dan kuantitas air permukaan serta keadaan air tanah, kualitas udara, cuaca dan kebisingan.
2. Komponen biologis yang meliputi komposisi jenis, keragaman jenis,
kelimpahan jenis, habitat satwa dan rantai makanan satwa 3.
Komponen sosial ekonomi yang meliputi pertumbuhan penduduk, pemukiman baru, nilai lahan, penyerapan tenaga kerja, pertumbuhan
ekonomi, pendapatan tambahan bagi masyarakat, lingkungan pemukiman, interaksi antara areal hutan tanaman dengan masyarakat.
2.8. Acacia crassicarpa Cunn. Ex Benth
Acacia crassicarpa Cunn. Ex Benth. merupakan salah satu jenis akasia
tropika yang termasuk dalam family Leguminoceae, sub family Mimosaceae Doran et al., 1997. Umumnya dikenal dengan nama Northem Wattle
Australia atau Red Wattle Papua New Guinea. Penyebaran jenis tanaman ini anrara 8
LS – 12 LS. Secara alami tumbuh di Australia bagian Utara,
Irian Jaya Bagian Selatan dan Papua New Guinea Turnbull, 1986. Jenis ini dapat tumbuh hingga ketinggian 20 m dpl bahkan dijumpai pada ketinggian
sekitar 700 m dpl dengan sebaran lokasi pada daerah bebas kabut frost dengan rata-rata curah hujan tahunan berkisar 1.000 – 2.000 mmth.
Acacia crassicarpa merupakan jenis cepat tumbuh serta mempunyai daya
adaptasi yang tinggi. Pada kondisi alami tanaman ini toleran pada kondisi yang lebih kritis dibandingkan dengan Acacia mangium Wild., Acacia
auriculiformis Cunn. Ex Benth., Acacia aulocarpa Cunn. Ex Benth.
khususnya pada tanah kering dan gersang serta lahan gambut Jayusman, 1992.
Acacia crassicarpa Cunn. Ex Benth. memiliki bunga majemuk yang
terdiri dari sumber sentral dengan bunga-bunga duduk, berwarna kuning terang, panjang 4-7 cm, tangkai yang menopang anak daun yang tebal,
berkelamin ganda, panjang kelopak 0,5 – 0,7 mm, mahkota berkembang luas, glabrous panjang 1,3 – 1,6 mm, avari pendek, panjang bening seri 2-3 mm
Eldoma, 1999. Menurut Doran et al. 1997, Acacia crassicarpa Cunn. Ex Benth. dapat
digunakan sebagai tanaman pelindung dan nauangan, fiksasi nitrogen udara dan pelindung tanah mencegah erosi. Kayunya dapat digunakan untuk kayu
energi baik kayu bakar dan pembuatan arang, untuk konstruksi bangunan,
meubel, bahan pembuatan kapal, lantai, veneer dan pulp.
BAB III KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN