BAB I PENDAHULUAN
E. Latar belakang masalah
Terdapat Fenomena menarik mengusung abad ke-21, kemajuan peradaban Barat menjadi suatu kiblat utama peradaban bangsa lain. Kemajuan teknologi tak terbatas
jangkaunnya. Barat menjadi ikon kemajuan peradaban abad 21, kemajuan peradaban Barat tidak disertai dengan nilai-nilai pada aspek pendidikan, pemaksaan hak akan
negara lain tentang suatu model negara terlihat pada penyerbuan besar-besaran negara Adidaya bersama para sekutunya terhadap negara kecil penghasil minyak,
pemaksaan ideology menjadi model utama baik itu bermadzhab sosialis komunis, kapitalis, bahkan agamis, ideology diperankan sebagai mesin kekuatan yang
diharapkan dapat mengangkat martabat para pengusung ideology mereka, satu- satunya perahu yang dapat mengantarkan pada tujuan yaitu tentang konsepsi
pendidikan.
Aneka panorama ini pada satu sisi mengikuti pendapatnya Zeno pada 2500
yang lalu bahwa seluruh benda_ baik benda yang hidup maupun yang mati_ bergerak kepada arah kehancuran sedangkan pada sisi lain bahwa neraca pendidikan
tak jelas arahnya pada satu ideology yang di tawarkan oleh negara-negara maju, hal ini berimplikasi pada apakah sesungguhnya konsep pendidikan yang sesuai tujuan
utama penciptaan manusia dimuka bumi ini sebagai Kholifah Fil ‘ardhi. Selain daripada itu pendidikan yang bermutu merupakan wahana SDM yang mampu
menerapkan, mengembangkan dan menguasai IPTEK dengan tetap dilandasi nilai-
nilai agama, moral dan budaya luhur bangsa, sedangkan kualitas SDM terbukti menjadi factor cerminan kemajuan suatu bangsa
1
. Pendidikan memiliki andil yang sangat besar dalam membangun suatu
peradaban yang luhur. Dilihat dalam segi obyek formalnya, pendidikan memang menjadikan sarana kemampuan manusia untuk dibahas dan dikembangkannya.
Dalam persoalan kemajuan pendidikan dan umat, kemampuan manusia ini harus menjadi perhatian utama, karena ia menjadi penentunya. Ini berarti kajian
pendidikan berhubungan langsung dengan pengembangan sumber daya manusia yang belakangan ini diyakini lebih mampu mengalahkan kemajuan peradaban
daripada sumberdaya alam. Ada banyak negara yang potensi alamnya kecil tetapi potensi sumberdaya manusianya besar mampu mengalahkan kemampuan negara
yang sumber alamnya besar tetapi sumber daya manusianya kecil seperti Indonesia. Nilai-nilai etika sudah menjadi moralitas bangsa yang tergadaikan,
keurgensian reinternalisasi nilai-nilai pendidikan sudah tidak lagi melahirkan manusia yang ‘’baik’’, tetapi justru melahirkan destroyer bagi kesejahteraan umat
manusia dan alam semesta. Mungkin karena fenomena ini Mangunwijaya Tholkhah,2004:129 mengatakan bahwa ‘’ ……. Apa guna kita memiliki seribu
alumni sekolah yang cerdas, tetapi masyarakat dibiarkan bodoh? Segeralah kaum sekolah itu akan menjadi penjajah rakyat dengan modal kepintaran mereka………
Di dalam kacamata sejarah, umat Islam pernah mencapai masa keemasan peradaban ditandai dengan kemajuan diberbagai aspek, ekonomi, sastra, politik,
geografi yang menjadi sentral peradaban, penyerapan ilmu-ilmu yang berkembang
1
Manshur Isha, Diskursus Pendidikan Islam. Yogyakarta : Global Pustaka Utama 2001 cet I, hal 1
diIslamisasikan menjadi ilmu yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, perhatian para penguasa terhadap pendidikan mengantarkan peradaban umat Islam tak tertandingi,
dan banyak melahirkan tokoh-tokoh handal sepanjang sejarah, seperti, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ibnu Rusydy, Al-Faraby, Ibnu Maskawaih
dan masih banyak tokoh lainnya
2
. Kekalahan Islam akibat penghancuran yang dilakukan oleh Hulagu Khan
terhadap kota Baghdad sebagai pusat kekuasaan Islam pada tahun 1258 M mengakibatkan kemunduran umat Islam dalam segala bidang kehidupan, baik
ekonomi, politik, budaya maupun pendidikan. Pasca penghancuran itu, umat Islam seakan-akan sudah kehilangan semangat dalam menggali ilmu pengetahuan umum
yang bersifat ilmiah. Pembahasan-pembahasan serius dalam bidang kebudayaan sastra, filsafat, dan teologi yang seringkali dilakukan para Ilmuwan yang hidup
pada zaman kejayaan peradaban Islam, hilang tak membekas. Kemiskinan intelektual ini tidak bisa pulih, meskipun terdapat penyatuan
kembali hampir seluruh wilayah Islam pada abad ke-16 dibawah dinasti Turki Utsmani. Penguasa baru ini sama sekali tak mampu melindungi kebudayaan Islam
yang luhur, kendatipun dibatas wilayah-wilayah kekuasaanya sendiri. Sementara itu sistem pendidikan dalam periode ini, sebagaimana dilaporkan oleh Nikki R. Keddie,
dikuasai oleh para pemimpin agama, yaitu Ulama
3
. Kondisi seperti ini berlangsung sangat lama, sehingga pendidikan Islam
berada dalam keterbelakangan. Pendidikan Islam tidak lagi memberikan perspektif
2
C.A.Qadir Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, Jakarta,Yayasan obor Indonesia,2002 h.75
3
Nikki R. Keddie ed, Scholars, saints and Sufism: Muslim Religioon Institutions in The Middle East Since 1500, Berkeley dan Los Angeles, 1972 bab I.
masa depan yang cerah. Keadaan demikian berlaku di semua negara Islam. Beriringan dengan masa ini, negara-negara Islam sedang menjadi obyek jajahan bagi
bangsa Eropa, sementara itu Napoleon mendarat dimesir pada tahun 1798 M. Namun, ekspedisi ini datang tidak hanya untuk kepentingan militer, tetapi juga
untuk keperluan ilmiah, sehingga dia membawa para ahli dalam berbagai cabang, tampaknya kedatangan Napoleon ini direspon oleh para pemikir Islam dengan
perlawanan baik fisik maupun intelektual
4
. Umat Islam setelah mengalami masa kejayaan, memasuki masa-masa
kemunduran, hal ini diakibatkan banyak faktor tetapi faktor yang paling mendasar ialah kurangnya perhatian para penguasa pada pendidikan, umat Islam mulai
mengalami kerancuan berfikir yang dahulu diperankan oleh para pendahulunya, umat Islam sudah tidak lagi menggunakan rasionalitas berubah menjadi pola pikir
yang cenderung eksklusif, konservatif dalam memandang kehidupannya
5
, di satu sisi para penguasa tidak menggunakan nuraninya lagi dalam menjalankan
pemerintahannya. Pendidikan diberbagai dunia bahkan di Indonesia hanya diartikan Transfer of
Knowledge, nilai-nilai moralitas tak lagi menjadi perhatian serius, hal ini berakibat
pada lahirnya robot-robot yang tak bermoral. Hilangnya sosok Nabi Muhammad saw sebagi Public Figure mengantarkan kebobrokan moral umat manusia mencapai
klimaksnya.
4
Mujammil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, Surabaya, Erlangga. 2005 hal. 209
5
Poeradisastra, Sumbangan IslamTerhadap Perkembangan Modern. Jakarta, P3M,1985 h.35
Dalam hal ini Syed Muhammad Naquib al-Attas berkomentar bahwa pengalaman keruntuhan dan perpecahan kekuatan dan masyarakat Islam membuat
masyarakat Islam, terutama tokoh reformernya, menilik kembali konsep-konsep Ibnu Khaldun tentang Ummah dan Negara dalam Islam sehingga sebagai usaha
dikerahkan kepada pembangunan kembali konsep-konsep tersebut. Dengan demikian, perhatian terhadap konsep-konsep individu dan peranan yang
dimainkannya dalam mewujudkan dan membina umat dan negara Islam dan membina umat dan negara Islam itu sudah terabaikan sama sekali. Namun,
bagaimana suatau umat dan negara Islam dapat dibangun dan ditegakkan sementara umat Uslam secara individual, yang menjadi sel-selnya, berada dalam keadaan
bingung dan tidak mengerti apa-apa tentang Islam dan ajaran-ajarannya?
6
Seiring dengan berkembangnya peradaban manusia tak terlepas dari pendidikan dalam aspek epistemology ilmu yang telah di bangun oleh para pakar
pendidikan baik ahli di Barat maupun di timur. Epistemologi secara umum dapat diartikan dengan filsafat yang membahas
tentang pengetahuan. Banyak hal menarik yang dibahas dalam epistemology, seperti apakah seputar akal atau indera yang menjadi alat utama untuk mendapatkan
pengetahuan atau dalam bentuk pertanyaan lain apakah pengetahuan yang shohih, semata-mata dihasilkan dari hasil logika atau observasi ketat saja.
Epistemologi Barat kini telah menjadi suatu cara pemikiran dan pencarian yang sangat dominan dengan mengesampingkan cara-cara pengetahuan alternatif
lainnya. Bahkan sesungguhnya seluruh planet ini dibentuk dengan citra manusia
6
Syed Muhammad al-Naquib al-Attas, [Ed.], Aims and Objectives of Islamic Education Jeddah : Hodder and Stoughton, King Abdul Aziz University, 1979, hal 5-6
Barat, imperalisme tersebut menunjukkan tanda-tanda akan terus merambah, jika hal ini dibiarkan, maka perilaku utilitarinisme, hedonisme, sekulerisasi bahkan cara
pandang materialisme akan melanda masyarakat muslim dan hal ini sebahagiannya disebabkan oleh factor-faktor epistemologis.
Selain itu epistemologi Barat cenderung mengarah kepada authopocentris, artinya epistemologinya didasarkan pada tradisi budaya yang dikuatkan kembali
melalui premis-premis filosofis ketat berdasarkan pada spekulasi-spekulasi yang hanya di dasarkan yang hanya mencakup hazanah sekuler atas manusia sebagai
entitas fisik
7
dan hewan rasional dengan menggantungkan diri pada kemampuan intelektual manusia untuk menyingkap materi dan lingkungan eksistensinya
sehingga nilai moral dan etisnya menjadi penuntun dan pengatur, tidak ada kepastian dalam proyeksi pandangan dunia dan pengarahan kehidupan mereka, dikarenakan
nilai-nilai pengetahuan mereka selalu bergantung pada tinjauan dan perubahan akal semata
8
.bahkan tokoh sekaliber Sigment Freud meyakini bahwa eksistensi diluar relitas adalah ilusi atau non sense, bahkan menurut lingkaran Wina, jika tidak
diverifikasi secara empirik Tuhan hanyalah hipotesis yang tak diperlukan dalam kerja ilmiah.
Epistemologi Barat yang digencarkan oleh Rene Descartes yang mengarah kepada antroposentrisme. Ungkapan Rene Descartes, menurut Mujammil Qomar,
bahwa saya pikir saya ada tidak semata-mata menunjukkan pemberdayaan potensi manusia, tetapi ungkapan itu sekaligus berusaha untuk membalikkan kondisi dan
7
Yudi Lathief dan Subandi Ibrahim. Kekerasan Spiritual dalam Masyarakat pasca Modern.Jurnal Ulumul Qur’an No 3 Vol V,1994,h.77, Lihat pula Mulyadi Kertanegara, Menyibak
Tirai Kejahilan.Pengantar Epistemologi Islam Bandung, Mizan, 2002,Cet.I h.8-15
8
Seyyed Hussei Naser, Islam dan Krisi Lingkungan,Terj. Abbas al-Jauhari dan Ihsan Ali Fauzi, dalam jurnal islamika, no 3 januari- maret. 1994.h.10
tradisi sebelumnya yang mendasarkan kebenaran pada sumber-sumber kekuasaan diluar manusia, seperti kekuasaan gereja, kitab suci, tradisi atau negara. Pada
Descartes yang kemudian diikuti oleh para filosof dan ilmuwan berikutnya manusia diangkat derajatnya pada posisi yang menentukan sesuatu kebenaran. Manusia
berdasarkan “Ijtihad’’ pemikirannya dapat membuat kriteria sendiri untuk mengukur dan menentukan kebenaran. Manusia berdasarkan kewenangannya itu, tidak perlu
lagi menunggu petunjuk-petunjuk yang datang dari luar kekuatan dirinya hanya untuk menentukan kebenara, apalagi kebenaran pengetahuan.
Perkembangan ilmu yang begitu pesat telah melahirkan berbagai teknologi sering factor manusia terabaikan, dimana bukan lagi teknologi yang berkembang
seiring dengan perkembangan dan kebutuhan manusia, namun manusianyalah yang seharusnya menyesuaikan diri dengan teknologi, dewasa ini, ilmu bahkan diambang
kemajuan yang memengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri, jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi
9
. Pada tahap inilah masalah moral muncul kepermukaan, jika dalam masalah kontemplasi masalah moral
berkaitan dengan metafisika keilmuan, maka pada tahap praksis inilah masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah, atau secara filosofis
dapat dikatakan, dalam tahap pembangunan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi ontology keilmuan, sedangkan dalam tahap penerapan konsep
terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi aksiologi keilmuan
10
9
Rodhiyah Khuza’i, Dialog Epistemologi Mohammad Iqbal dan Charles S.Peirce.Bandung. PT. Refika Aditama. 2007 hal.45
10
Jujun S. Sumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, cet. VI. 1990 hal. 234
Hegemoni Barat terhadap terknologi Barat atas negara-negara diseluruh dunia membawa pengaruh yang sangat besar terhadap gaya, corak dan pandangan
kehidupan masyarakat. Mereka seperti tak sadarkan diri mengikuti pola-pola pemikiran dari sains Barat, sehingga cara-cara pemikirannya, cara pandangannya
dan persepsinya terhadap sains dan hal-hal terkait yang menjadi implikasinya menjadi terBaratkan. Dalam konteks sejarahnya, bahwa saints Barat modern
dibangun atas dasar semangat kebebasan dan penentangan terhadap doktrin ajaran Kristen, sehingga ia mencoba menampilkan pola pikir yang berlawanan dengan
tradisi pemikiran agama, Kristen sebagai antitesis. Misi yang paling mencolok yang disisipkan kedalam sains Barat modern itu adalah sekulerisasi, konsep
sekulerisasi disosialisasikan dan dipropagandakan sedemikian rupa dikalangan para ilmuwan, mahasiswa, pelajar, kelompok-kelompok ilmuwan lainnya, dan
masyarakat pada umumnya, untuk mendapatkan pembenaran-pembenaran secara ilmiah. Pada akhirnya, konsep sekulerisasi ilmu pengetahuan itu menjadi opini
publik pada tingkat global. Ada beberapa kelompok masyarakat yang paling dirugikan akibat penerapan
sekulerisasi pengetahuan Barat modern itu. Mereka adalah kelompok yang berpegang teguh pada ajaran yang yang tingkat kebenarannya absolut dan memiliki
ikatan moral dengan ajaran agamanya, terutama masyarakat muslim. Ketika mengikuti arus perkembangan sains modern Barat, mereka secara sadar maupun
‘’terpaksa’’ harus menggantikan nilai-nilai religius mereka dengan nilai-nilai sekuler yang sangat bertentangan dengan ajaran agamanya yang selama ini agama Islam
dipedomani sebagai satu-satunya jembatan yang dapat mengantarkan umat manusia
untuk selamat dunia dan akhirat, dan juga agama sebagai basic bangunan ilmu pengetahuan, kondisi inilah yang menjadi perhatian muslim, sebab dapat
membahayakan keimanan akidah Islam termasuk tokoh Muslim abad modern Syed Muhammad Naquib al-Attas serta R.Isma’il al-faruqi.
Berhadapan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi, para ilmuwan terbagi menjadi dua. Pertama, golongan yang
menghendaki, bahwa ilmu itu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai, baik secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini, tugas ilmuwan adalah menemukan
pengetahuan dan terserah kepada penggunaannya. Kedua, netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan pada
penggunaannya, bahkan pemilihan objek penelitian, kegiatan keilmuan harus berlandaskan pada asas-asas moral
11
. Agama sebagai basis epistemology satu hal yang tak dapat ditawar-tawar
lagi. Terlebih lagi sumber ajaran Islam, Al Qur’an dan Sunnah mengajarkan untuk mencari Ilmu dan kearifan, serta menempatkan orang-orang yang berpengetahuan
pada derajat yang tinggi. Dalam Al-Qur’an sendiri terdapat kata al-‘Ilmi dan kata- kata jadiannya sebanyak 780 kali. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kajian
ilmu dalam agama Islam. Islam agama yang memacu umatnya untuk terus secara berkesinambungan
untuk belajar dalam memahami pendidikan, terdapat makna utama antara lain yaitu
12
: Ta’dib, salah satu konsep kunci utama yang merujuk pada hakikat dari inti makna pendidikan adalah istilah ta’dib yang berasal dari kata adab. Istilah adab dianggap
11
Jujun S. Sumantri. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar. hal. 235
12
Mujammil Komar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode Kritik. Hal 104
dapat mewakili makna utama pendidkan Islam. Istilah ini menurut Naquib al-attas sangat penting dalam rangka memberi arti pendidikan Islam. Adab adalah disiplin
tubuh, jiwa dan ruh; disiplin yang menegaskan pengenalan dan pengakuan tempat yang tepat hubungannya dengan kemampuan dan potensi jasmaniyah, intelektual
dan ruhaniyah; pengenalan dan pengakuan akan kenyataan bahwa ilmu dan wujud ditata secara hierarkis sesuai dengan tingkat derajatnya. Dalam adab akan tercermin
keadilan dan kearifan. Adab meliputi kehidupan material dan spiritual. Adab juga bermakna undangan kepada perjamuan yang bisa membawa kepada kenikmatan
ruhaniyah, adab melibatkan disiplin pikiran dan jiwa, tindakan yang betul dan aspek kehormatan. Penekanan adab mencakup amal dan ilmu sehingga mengkombinasikan
ilmu dan amal serta adab secara harmonis, ketiganya sebagai pendidikan. Pendidikan dalam kenyataannya adalah ta’dib, karena adab sebagaimana didefinikasikan
mencakup ilmu dan amal sekaligus.
13
Prof. Dr. H. Abudin Nata berpendapat mengenai akar kata pendidikan didalam Islam yang bersumberkan dari al-Qur’an bahwa selain kata tarbiyah
terdapat pula kata ta’lim, kata ini oleh para penerjemah sering diartikan pengajaran
14
. Dalam hubungan ini jusuf A faisal, pakar dalam bidang pendidikan mengatakan bahwa pengertian pendidikan Islam dari sudut etimologi ilmu akar
kata sering digunakan istilah ta’lim dan tarbiyah yang berasal dari kata ‘allama dan rabba yang dipergunakan didalam al-Qur’an, sekalipun kata tarbiyah lebih luas
konotasinya, yaitu mengandung arti memelihara, membesarkan, dan mendidik sekaligus mengandung makna mengajar ‘allama.selanjutnya Faisal megutip
13
Muhammad al-Naquib al-attas, Konsep Pendidkan dalam Islam Bandung,: Mizan,1994 hal. 52-60
14
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam Jakarta, PT Wacana Ilmu Logos, 1997 hal.5
pendapat Naquib Alatas dalam bukunya yang berjudul Islam and Seculerism yag mengatakan bahwa selain kata tarbiyah dan ta’lim sebagaimana tersebut diatas
terdapat pula kata ta’dib yang ada hubungannya dengan kata adab yag berarti susunan
15
Istilah ini dalam kaitannya dengan arti pendidikan Islam telah dikemukakan oleh Syed Muhammad Naquib al-attas yang menyatakan bahwa istilah ta’dib
merupakan istilah yang sangat tepat untuk menunjuk arti pendidikan Islam. Pengertian ini didasarkan bahwa arti pendidikan adalah meresapkan dan
menanamkan adab pada manusia
16
, disamping alasan makna kebahasan lainnya. Dalam konteks Islam, sains tidak menghasilkan kebenaran yang absolut.
Istilah yang paling tepat untuk mendefinisikan pengetahuan adalah al-‘ilm, karena memiliki dua komponen. Pertama : bahwa seluruh sumber asli pengetahuan adalah
wahyu atau al qur’an yang mengandung kebenaran yang absolut. Kedua : bahwa metode mempelajari pengetahuan yang sistematis dan koheren semuanya sama-sama
valid; semua memiliki bagian dari satu kebenaran dan realitas-bagian yang sangat bermanfaat untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Dua komponen ini
menunjukkan, bahwa al’ilm memiliki akar sandaran yang lebih kuat dibanding sains dalam versi Barat, akar sandaran al-‘ilm justru berasal langsung dari sang maha
berilmu dan sang pencipta. Tuhan yang secara teologis diyakini sebagai sang penguasa segala-galanya
17
15
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1992 cet. Ke-2. hal156
16
Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, ter. Karsido Djoyoswarno Jakarta: Pustaka,1991 hal. 222
17
Mujammil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode Kritik. hal 105
Realitas ini selanjutnya memiliki perbedaan bobot kualitas kebenaran. Pengetahuan yang bersumber pada wahyu, sebagaimana disebut al-ilm tersebut
memiliki bobot kualitas yang lebih tinggi daripada sains. Keunggulan ini akan semakin kokoh dengan dukungan penggunaan metode yang valid, sehingaga
pengetahuan yang dihasilkan tidak secara keseluruhan apriori terhadap wahyu, tetapi juga melalui tahapan-tahapan mekanisme kerja ilmiah. Banyak ayat al-qur’an yang
berkenaan dengan fenomena alam dan secara ilmiah terbuktikan kebenarannya. Cara memperoleh materi pengetahuan sangat bergantung pada karakteristik
materinya itu sendiri, apakah ia berada dalam pengalaman manusia yang empiris sensual, rasional, atau hermeneutis. Jika karakteristik materinya adalah empiris
sensual, maka metode yang digunakan adalah observasi, eksperimen, dan induktif inferensial. Jika karakteristik materinya adalah rasionalaksiomatik, maka metode
analisis yang digunakan adalah metode deduktif. Jika karakteristik materinya adalah hermeneutis, maka metode yang digunakan adalah verstehen, yakni untuk
menangkap makna yang lebih dalam, sehingga diperoleh kesimpulan kasus, atau metode reflektif, yakni metode analitis yang prosesnya mondar-mandir antara yang
empirik dengan yang abstrak
18
. Cara pengembangan ilmu pendidikan Islam bisa menggunakan metode
penelitian ilmiah saintifik, metode penelitian filosofis kefilsafatan , dan juga bisa menguinakan metode penelitian mistik sufistik . Hal ini tergantung pada apa yang
menjadi objek penelitian. Agaknya ilmu pendidikan Islam tidak mungkin hanya berisi ilmu sains pendidkan Islam, tetapi pada bagian-bagian tertentu memerlukan
18
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, Mengurai benang kusut Dunia Pendidikan. Jakarta, PT. Raja Grafindo, 2006 hal. 34
teori-teori filosofis, sehingga pada pengembangannya menggunakan metode penelitian filosofis. Kadang-kadang juga menggunakan teori-teori yang non empirik
atau tidak terjangkau oleh logika. Sehingga perlu menggunakan metode penelitian mistik-sufistik.
Menguaknya gagasan “Islamisasi Pengetahuan’’ abad modern, yang dilontarkan oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas yang dengan gencarnya
mengkritik gagasan-gagasan para tokoh muslim sebelumnya yang terjebak pada konsep sekularisasi, karena menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas bahwa
tantangan yang terbesar yang dialami umat bukanlah kebodohan tetapi pengetahuan yang dipahamkan dan disebarkan keseluruh pelosok dunia oleh peradaban Barat. Hal
ini sejalan dengan Isma’il Al-Faruqi 1984 bahwa system pendidikan telah dicetak dalam sebuah karikatur, sehingga ia dipandang sebagai inti malaise atau penderitaan
yang dialami umat
19
. Terinspirasi oleh gagasan Islamisasi Pengetahuan yang dilontarkan oleh
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Penulis dalam menyelesaikan kelengkapan kajian ilmiah strata I, serta untuk mencapai ridho Allah SWT. Penulis mengajukan judul
“Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Study Pemikiran Pendidikan Syed
Muhammad Naquib. Al-Attas”.
19
Muhaimin. Nuansa Baru Pendidikan Islam, Mengurai benang kusut Dunia Pendidikan. h.38
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah