PREVALENSI INFEKSI SALURAN KEMIH PADA PASIEN PENGGUNA KATETER YANG DIRAWAT DI RUANG RAWAT INAP RSUD Dr. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG

(1)

ABSTRAK

KEJADIAN INFEKSI SALURAN KEMIH PADA PASIEN PENGGUNA KATETER YANG DIRAWAT DI RUANG RAWAT INAP RSUD Dr. H. ABDUL

MOELOEK BANDAR LAMPUNG

Oleh

DESTA EKO INDRAWAN

Infeksi saluran kemih (ISK) menempati urutan pertama infeksi nosokomial yang paling sering yang terjadi pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Infeksi saluran kemih adalah keadaan klinis akibat berkembang biaknya mikroorganisme yang menyebabkan inflamasi pada saluran kemih dan ditandai dengan ditemukannya >105 CFU/ml. Berbagai jenis bakteri sering ditemukan sebagi penyebab terjadinya ISK antara lain Escherichia coli, Klebsiella, Proteus, Pseudomonas, Enterobacter, Serratia, Streptococcus dan Staphylococcus. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi infeksi saluran kemih pada pasien pengguna kateter yang dirawat di ruang rawat inap RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.

Penelitian ini meggunakan metode deskriptif dengan pendekatan consecutive sampling. Sampel dalam penelitian ini adalah pasein yang menggunakan kateter di kelas I,II&III sebanyak 30 sampel. Kemudian sampel dilakukan uji kultur.

Hasil penelitian ini ditemukan pasien yang mengalami ISK sebanyak 14 orang dan kejadian ISK terbanyak terjadi di kelas III dengan persentase sebesar 70%. Jenis bakteri penyebab ISK yang ditemukan pada urin pasien pengguna kateter antara lain Staphylococcus aureus 28,57%, Escerichia coli 28,57%, Satphyococcus epidermidis 21,44%, Klebsiella pneumonia 7,14%, Pseudomonas aeroginosa 7,14%, dan Proteus vulgaris 7,14%.

Kesimpulan dari penelitian ini kejadian ISK pada pasien pengguna kateter lebih banyak terjadi di ruang kelas III dan bakteri terbanyak yang ditemukan adalah Staphylococcus aureus dan Escerichia coli.


(2)

ABSTRACT

THE URINARY TRACT INFECTIONS IN HOSPITALIZED PATIENT WITH CATHETER TREATED INPATIENT ROOM RSUD Dr. H. ABDUL

MOELOEK BANDAR LAMPUNG

By

DESTA EKO INDRAWAN

Urinary Tract Infections (UTI) is most often infection can occurs in patients in hospital. UTI is a clinical condition due to proliferation of microorganisms that caused inflammation in urinary tract and chracterized by >105 CFU/ml. Various types of bactery that often found as caused of UTI are Escherichia coli, Klebsiella, Proteus, Pseudomonas, Enterobacter, Serratia, Streptococcus and Staphylococcus. The purpose of this study was to determine the prevalence of urinary tract infections in hospitalized patient with catheter treated inpatient room RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.

The method in this research is descriptive with consecutive sampling. Sample in this study is hospitalized patient with catheter treated in class I, II and III, with total 30 samples. Sample has done culture test.

The result of this study was found 14 people with UTI and the highest incidence of UTI was placed in class III with 70% percentage. The bacteria can cause UTI, was found in the urine of patients catheter users are Staphylococcus aureus 28,57%, Escerichia coli 28,57%, Satphyococcus epidermidis 21,44%, Klebsiella pneumonia 7,14%, Pseudomonas aeroginosa 7,14%, and Proteus vulgaris 7,14%.

The conclusions of this study is the incident in catheter patient users more prevalent in class III and most bacteria found were Staphylococcus aureus and Escerichia coli.


(3)

KEJADIAN INFEKSI SALURAN KEMIH PADA PASIEN PENGGUNA KATETER YANG DIRAWAT DI RUANG RAWAT INAP RSUD Dr. H.

ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG

Oleh

DESTA EKO INDRAWAN

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(4)

KEJADIAN INFEKSI SALURAN KEMIH PADA PASIEN PENGGUNA KATETER YANG DIRAWAT DI RUANG RAWAT INAP RSUD Dr. H. ABDUL

MOELOEK BANDAR LAMPUNG

( Skripsi )

Oleh

Desta Eko Indrawan

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG


(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka Teori ... 6 2. Pewarnaan Gram ... 40 3. Alur Penelitian ... .... 43


(6)

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 5

1.4. Manfaat Penelitian ... 5

1.5 Kerangka Teori ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Rumah Sakit ... 9

2.2. Ruang Rawat Inap ... 10

2.3. Konsep Infeksi ... 13

2.4. Infeksi Nosokomial ... 14

2.4.1. Definisi Infeksi Nosokomial ... 14

2.4.2. Klasifikasi Infeksi Nosokomial ... 14

2.4.3. Etiologi Infeksi Nosokomial ... 17

2.4.4. Kriteria Infeksi Nosokomial ... 18

2.4.5. Faktor Resiko Infeksi Nosokomial ... 18

2.4.6. Penularan Infeksi Nosokomial ... 20


(7)

ii

2.5. Infeksi Saluran Kemih ... 21

2.5.1. Definisi Infeksi Saluran Kemih ... 21

2.5.2. Klasifikasi Infeksi Saluran Kemih ... 21

2.5.3. Patogenesis Infeksi Saluran Kemih ... 23

2.5.4. Etiologi Infeksi Saluran Kemih ... 24

2.5.5. Gambaran Klinis Infeksi Saluran Kemih ... 25

2.5.6. Diagnosa Infeksi Saluran Kemih ... 25

2.5.7. Faktor Risiko Infeksi Saluran Kemih ... 26

2.6. Kateter Urine ... 28

2.6.1. Definisi Kateter Urine ... 28

2.6.2. Tujuan Pemasangan Kateter Urine ... 29

2.6.3. Indikasi dan Kontraindkasi Pemasangan Kateter Urine ... 29

2.7. Kejadian ISK Akibat Pemasangan Kateter ... 29

III. METODE PENELITIAN ... 33

3.1. Desain Penelitian ... 33

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 33

3.3. Alat dan Bahan ... 33

3.4. Subjek Penelitian ... 34

3.4.1. Populasi dan Sampel Penelitian ... 34

3.4.2. Teknik Sampling ... 35

3.4.3. Perkiraan besar sampel ... 35

3.5. Prosedur Penelitian ... 36

3.5.1. Prosedur Pembenihan ... 36

3.5.2. Pengambilan Spesimen Urin Kateter ... 36

3.5.3. Penanaman dan Pembiakan ... 37

3.5.4. Isolasi Bakteri ... 38

3.5.5. Identifikasi Bakteri ... 38

3.6. Alur Penelitian ... 43

3.7. Definisi Operational ... 44


(8)

iii

3.9. Penyajian Data ... 44

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 45

4.1. Hasil Penelitian ... 45

4.2. Pembahasan ... 48

4.2.1. Kejadian ISK pada pasien pengguna kateter ... 48

4.2.2. Perbandingan Kejadian ISK pada Pasien Pengguna Kateter ... 49

4.2.3. Perbandingan Kejadian ISK Pada Pasien Pria dan Wanita ... 53

4.2.4. Jenis Bakteri Penyebab ISK ... 54

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 59

5.1. KESIMPULAN ... 59

5.2. SARAN ... 59

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(9)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Etika Penelitian

2. Lembar Inform Consent/Persetujuan 3. Tabel Pemeriksaan Jumlah Bakteri 4. Tabel Pemeriksaan Uji Biokimia 5. Melihat Hasil Pewarnaan Gram 6. Melakukan Uji TSIA

7. Bakteri yang Tubuh di Media NA pada Hari Pertama 8. Bakteri yang Tubuh di Media NA pada Hari Keempat 9. Bakteri yang Tubuh di Media Mac Conkey

10. Bakteri yang Tubuh di Media Agar Darah 11. Bakteri Basil Gram (-)

12. Bakteri Coccus Gram (+) 13. Uji Katalase

14. Uji Sitrat 15. Uji TSIA 16. Uji SIM 17. Uji Katalase 18. Uji Glukosa


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Kebutuhan Minimal Luas Ruangan Ruang Rawat Inap ... 12

2. Mikroorganisme Penyebab Infeksi Nosokomial... 17

3. Definisi Operational ... 44

4. Prevalensi ISK pada Pasien Pengguna Kateter ... 45

5. Prevalensi ISK pada Pasien Pengguna Kateter kelas I,II&III ... 46

6. Perbandingan Infeksi Saluran Kemih Laki-Laki Dan Perempuan ... 46

7. Pemeriksaan Jumlah Dan Jenis Bakteri Pada Pasien ISK ... 47


(11)

Persembahan

Kupersembahkan karya kecil ini untuk :

Ayah dan Ibu Tercinta

Tidak ada kebaikan ibadah yang tidak ada ilmunya dan

tidak ada kebaikan ilmu yang tidak difahami dan tidak

ada kebaikan bacaan kalau tidak ada perhatian

untuknya.


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 16 Desember 1992, sebagai anak pertama dari Bapak Suharto dan Ibu Suami Indarwati, ST., MTA.

Penulis menempuh pendidikan sekolah dasar di SD Negeri Al-Kautasar Bandar Lampung dan selesai pada tahun 2005. Selanjutnya, penulis melanjutkan pendidikan di SMPN 1 Bandar Lampung yang diselesaikan pada tahun 2008, kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SMA Al-Kautsar Bandra Lampung dan selesai pada tahun 2011.

Tahun 2011, Penulis diterima dan terdaftar sebagai Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN Undangan. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif sebagai anggota PAKIS dan FSI Fakultas Kedokteran Unila pada tahun 2011–2013.


(13)

(14)

SANWACANA

Alhamdulillahirobbil‟alamin, puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT

yang senantiasa mencurahkan segala nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.

Skripsi dengan judul “Kejadian Infeksi Saluran Kemih Pada Psien Penmgguna Kateter Yang Dirawat di Ruang Rawat Inap RSUD Dr. Abdul Moeloek Bandar

Lampung” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Sugeng P. Harianto, M.S selaku Rektor Universitas Lampung.

2. Dr. Sutyarso, M. Biomed., selaku dekan Fakultas Kedoketran Universitas Lampung;

3. Prof. Dr. dr. Efrida Warganegara, M.Kes., Sp.MK., selaku Pembimbing Utama atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;


(15)

4. Ibu Dra. Christian Nugroho Ekowati, M.Si., selaku Pembimbing Kedua atas kesediaan memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;

5. Dr. Tri Umiana Soleha, M.Kes., selaku Penguji Utama pada Ujian Skripsi atas waktu, ilmu dan saran-saran yang telah diberikan;

6. Dr Reni Zuraida, M.Si selaku Pembimbing Akademik terima kasih atas bimbingan, pesan, dan nasehat yang telah diberikan selama ini;

7. Ibu (Ibu Suami Indarwati, ST., MTA) dan Ayah (Bp. Suharto) yang selalu mendoakan setiap waktu, menguatkan, dan memberikan motivasi yang luar biasa untukku. Terima kasih atas kesabarannya, keikhlasannya, kasih sayangnya, dan segala sesuatu yang telah diberikan kepadaku hingga saat ini.

8. Mbak Romi selaku Asisten Laboratorium Mikrobiologi FK Unila yang sangat membantu dalam pelaksanaan penelitian;

9. Seluruh staf dan Bapak kepala ruang Perinatologi Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek;

10.Seluruh staf Dosen FK Universitas Lampung atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis untuk menambah wawasan yang menjadi landasan untuk mencapai cita-cita;

11.Seluruh staf dan karyawan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung; 12.Teman-teman seperjuangan “Kelompok Mikro” dan “Masa Depan

With...”, Gulbuddin, Mbak Nyimas, Jeana, Stevan, Danar, Azatu, Ane,

Rizqun dan Satria yang sudah banyak membantu, berbagi canda dan tawa serta berjuang bersama dalam menyelesaikan skripsi ini;


(16)

13.Teman-temanku Gede, Robby Kotak, Bajie, Wayan, Filla, Bela, Yolanda, Sakinah, Ferina, Lian, Oni, Felis, Ririn, Dila, Rifka, Naomi, Kak Tir, dan Caca atas kebersamaannya selama ini baik suka maupun duka;

14.Teman-temanku kelompuk Tutorial 9 Danar, Stevan, Diah, Marizka, Resty, Mirdes, Twi, Bono dan Sugma yang selalu berbagi canda dan tawa selama ini;

15.Sahabat Terbaikku Gulbuddin Hikmatyar dan Nycho Alva Chindo Terimakasih atas segala bantuannya selama ini, semoga kita semua seukses selalu.

16.Teman-teman Asisten Dosen “Anoatomi 2011”, Erot, Caca, Ara, Ochi, Pau, Belda, Selvi yang telah bekerja sama dalam membimbing adik-adik. 17.Teman-teman PMPATD PAKIS RESCUE TEAM yang telah

memberiakan semangat dan dukungan selama ini.

18.Teman-teman KKN di Pekon Kamilin, Kec. Pringsewu Muslim, Amir,

Sam, Nycho, Dila, Ambar, Dian, Nori, Wayan dan „Keda‟ yang telah

berbagi pengalaman saling mengisi hari-hari selama 40 hari KKN dan saling membantu bekerja sama dalam berbagai program kerja.

19.Teman-teman angkatan 2011 yang tak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih telah memberikan makna atas kebersamaan yang terjalin dan member motivasi belajar;

20. Teman-teman angkatan 2011 yang tak bisa disebutkan satu persatu.

Terima kasih telah memberikan makna atas kebersamaan yang terjalin dan member motivasi belajar


(17)

Penulis menyadari skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat dan pengetahuan baru kepada setiap orang yang membacanya. Terimakasih.

Bandar Lampungs, Januari 2015 Penulis


(18)

(19)

(20)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Rumah sakit adalah bagian integral dari suatu organisasi sosial dan kesehatan dengan fungsi menyediakan pelayanan paripurna (komprehensif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pencegahan penyakit (preventif) kepada masyarakat (Anonim, 2006). Selain berfungsi sebagai sarana kesehatan, rumah sakit juga merupakan tempat bertemunya orang sakit dan sehat sehingga berpotensi menjadi tempat penularan infeksi nosokomial. Berbagai mikroorganisme penyebab infeksi nosokomial ini dapat hidup dan berkembang pada udara, air, lantai, makanan dan benda-benda peralatan medis maupun non medis yang ada dirumah sakit (Anonim, 2004). Infeksi yang didapat dari rumah sakit atau ketika penderita itu dirawat di rumah sakit disebut Infeksi nosokomial (Ducel, 2004)

Infeksi nosokomial hingga saat ini masih merupakan masalah yang memiliki dampak yang cukup besar bagi negara berkembang. Angka kejadian infeksi nosokomial pada pasien di rumah sakit di negara berkembang seperti Indonesia diperkirakan mencapai >40% dan infeksi nosokomial pada pasien yang menjalani perawatan di rumah sakit mencapai 8,7%. Hasil penelitian yang dilakukan di


(21)

2

beberapa rumah sakit di Jakarta menunjukkan bahwa sebesar 9,8% pasien rawat inap mendapat infeksi nosokomial selama dirawat di rumah sakit tersebut. (Spirita, 2006). Sebanyak 15-25% pasien dilakukan pemasangan kateter uretra selama pasien dirawat di rumah sakit. Pemasangan keteter dilakukan selama 2-4 hari atau lebih tergantung dari tujuan pemasangannya (Hotoon et al, 2010). Tindakan kateterisasi ini dapat dilakukan untuk tujuan diagnostik seperti pada pasien ISK untuk mengambil sampel urin ataupun sebagai terapi bagi pasien yang mangalami obstruksi saluran kemih seperti pada pasien Benign Prostat Hiperpalsia. Penggunaan alat kesehatan seperti kateter dapat meningkatkan risiko terjadinya ISK karena menjadi jalan masuk dan tempat persembunyian bagi bakteri yang sulit untuk di bersihkan oleh aliran urin normal (Purnomo, 2012). Infeksi nosokomial yang sering ditemukan pada pasien yang dirawat di rumah sakit antara lain infeksi saluran kemih, infeksi luka operasi dan infeksi saluran nafas (Spirita, 2006).

Infeksi saluran kemih (ISK) menempati urutan pertama infeksi nosokomial yang paling sering yang terjadi pada pasien yang di rawat di beberapa rumah sakit di Amerika Serikat dan Eropa (42%), disusul infeksi luka operasi (24%) dan infeksi saluran napas (11%). Pada umumnya ISK disebabkan oleh flora normal dan dapat diperoleh dari kontak dengan peralatan yang tidak steril (Hooton et al, 2010).

Berbagai jenis bakteri sering ditemukan sebagi penyebab terjadinya ISK antara lain Escherichia coli, Klebsiella, Proteus, Pseudomonas, Enterobacter, Serratia,


(22)

3

Streptococcus dan Staphylococcus (Hooton, 2010). Pada penelitian yang dilakukan di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado di dapatkan 10 jenis bakteri yang berhasil di identifikasi yaitu Staphylococcus aureus, Candida, Streptococcus, Diplococcus, Proteus vulgaris, Lactobacillus, Bacillus subtilis, Enterobacter aglomerans, Citrobacter freundii dan Shigella, dengan jenis bakteri yang paling banyak ditemukan adalah Staphylococcus aureus (Chandra M.P, 2014). Salah satu ruang yang berisiko tinggi menjadi tempat penularan infeksi nosokomial adalah ruang rawat inap.

Ruang rawat inap adalah ruang untuk pasien yang memerlukan asuhan dan pelayanan keperawatan dan pengobatan secara berkesinambungan lebih dari 24 jam (Anonim, 2012). Ada beberapa tipe ruang rawat inap, antara lain : Ruang rawat inap kelas VIP dengan 1 tempat tidur setiap kamar, ruang rawat inap kelas I dengan 2 tempat tidur setiap kamar, ruang rawat inap kelas II dengan 4 tempat tidur setiap kamar, ruang rawat inap kelas III dengan 6 tempat tidur atau lebih setiap kamar (Anonim, 2012). Perbedaan kelas ruang rawat inap menyebabkan perbedaan tingkat kepadatan yang berbeda pula di setiap ruangan. Tingkat kepadatan dalam suatu ruang merupakan salah satu faktor risiko terjadinya infeksi nosokomial (Jawetz, 2007). Hal ini dikarenakan jumlah pasien yang lebih banyak dalam suatu ruang menjadi salah satu penyebab tidak dilakukannya prosedur tindakan septik dan antiseptik yang baik. Sedangkan membatasi transmisi organisme dari atau antara pasien dengan cara mencuci tangan dan penggunaan


(23)

4

sarung tangan, tindakan septik dan aseptik, sterilisasi dan disinfektan adalah salah satu cara untuk mencegah terjadinya infeksi nosokomial (Brook, 2008).

Penelitian yang dilakukan oleh Mustafa (1997), menyebutkan bahwa pasien yang menjalani perawatan di kelas III lebih berisiko terkena infeksi nosokomial sebesar 1,12 kali dari pasien yang menjalani perawatan di kelas I&II. Pada penelitian yang dilakukan oleh Samriani (2007) di RSU Haji Makassar menyebutkan bahwa pasien dengan infeksi nosokomial lebih banyak berada pada kelas II dan III sebesar 78,6 % (Nihi S, 2011). RSU Haji Makassar sendiri memiliki kesamaan dengan RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung, yakni kedua rumah sakit tersebut sama-sama memiliki status sebagai rumah sakit tipe B (Anonim, 2013). Rumah sakit tipe B merupakan rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan spesialis dan subspesialis terbatas dan merupakan rumah sakit rujukan dari kabupaten (Anonim, 2010).

Berdasarkan penjelasan diatas, penulis tertarik untuk mengetahui prevalensi dan bakteri penyebab ISK terbanyak pada pasien pengguna kateter yang di rawat diruang rawat inap kelas I, II & III RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.


(24)

5

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian tersebut, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

a. Bagaimana prevalensi ISK pada pasien pengguna kateter yang di rawat diruang rawat inap kelas I, II & III RSUD Dr. H. Abdul Moeloek?

b. Bakteri apa saja penyebab ISK yang ditemukan pada urin pasien pengguna kateter yang di rawat diruang rawat inap kelas I, II & III RSUD Dr. H. Abdul Moeloek?

1.3Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui angka kejadian ISK pada pasien pasien pengguna kateter yang dirawat di ruang rawat inap kelas I, II & III RSUD Dr. H. Abdul Moeloek.

b. Mengetahui bakteri penyebab ISK yang ditemukan pada urin pasien pengguna kateter yang dirawat di ruang rawat inap kelas I, II & III RSUD Dr. H. Abdul Moeloek.

1.4Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Bagi peneliti

a. Peneliti dapat mengetahui prevalensi dan mikroorganisme penyebab ISK yang terdapat pada urin pasien yang menggunakan kateter di ruang rawat inap Kelas I, II&III RSUD Dr. H. Abdul Moeloek.


(25)

6

b. Dapat menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman di bidang penelitian mikrobiologi khususnya mengenai infeksi nosokomial yang dilihat pola kuman yang terdapat dalam urin pasien yang dirawat di rumah sakit.

2. Bagi instansi terkait

a. Memberikan informasi terkait prevalensi ISK pada pasien yang menggunakan kateter di ruang rawat inap kelas I II&III RSUD Dr. Abdul Moeloek Bandar Lampung.

b. Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan masukan untuk pengendalian dan pencegahan infeksi nososkomial di RSUD Abdul Moeloek Bandar lampung.

c. Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan masukan untuk pengendalian dan pencegahan resistensi mikroorganisme dengan pemberian antibiotik yang sesuai dengan pola kuaman yang ditemukan.

3. Bagi peneliti selanjutnya, sebagai acuan atau bahan pustaka untuk penelitian lebih lanjut.

1.5 Kerangka Teori

Di antara infeksi nosokomial jenis lainnya, infeksi saluran kemih merupakan infeksi yang paling sering terjadi atau sekitar 35% dari total kejadian infeksi nosokomial. Infeksi saluran kemih biasanya disebabkan oleh patogen yang menyebar secara langsung ke area periuretral dari perineum pasien atau saluran


(26)

7

cerna. Selain itu infeksi saluran kemih juga disebabkan kontaminasi intraluminal kateter urin (Sukandar, 2007).

Ruang rawat inap adalah ruang untuk pasien yang memerlukan asuhan dan pelayanan keperawatan dan pengobatan secara berkesinambungan lebih dari 24 jam. Ruang rawat inap ini dibedakan menjadi beberapa tipe tergantung dari jumlah pasien yang dirawat di ruang tersebut. Ada beberapa tipe ruang rawat inap, antara lain : Ruang rawat inap kelas VIP dengan 1 tempat tidur setiap kamar, ruang rawat inap kelas I dengan 2 tempat tidur setiap kamar, ruang rawat inap kelas II dengan 4 tempat tidur setiap kamar, ruang rawat inap kelas III dengan 6 tempat tidur atau lebih setiap kamar (Anonim, 2012). Perbedaan kelas ruang rawat inap menyebabkan perbedaan tingkat kepadatan yang berbeda pula di setiap ruangan. Dari beberapa jenis ruang rawat inap yang ada, ruang rawat inap kelas III adalah ruang rawat yang memiliki tingkat kepadatan paling tinggi. Perbedaan tingkat kepadatan ini menyebabkan peningkatan risiko terjadinya infeksi nosokomial. Hal ini berkaitan dengan prosedur tindakan aseptik dan antiseptik yang dilakukan pada ruang yang memiliki tingkat kepadatan lebih tinggi tidak sebaik pada ruang yang tingkat kepadatannya lebih rendah (Brook, 2008)

Salah satu penyebab terjadinya ISK pada pasien yang dirawat dirumah sakit adaah prosedur pemasangan kateter yang tidak steril dan pemasangan kateter yang terkontaminasi. Infeksi saluran kemih terjadi pada saat mikroorganisme masuk ke dalam saluran kemih dan berkembang biak. Pada kondisi penurunan daya tahan


(27)

8

alami saluran kemih akibat pemasangan kateter, usia lanjut, dan lama menetapnya kateter dapat menyebabkan bakteri yang memiliki pili dapat melakukan perlekatan pada kateter dan masuk ke dalam saluran kemih. Setelah berada dalam saluran kemih bakteri dapat menempel pada epitel dan kemudian bakteri berkolonisasi pada epitel uretra distal. Bakteri kemudian dapat naik ke kandung kemih secara ascending. Selain itu bakteri patogen juga dapat bergerak naik dan menginfeksi saluran kemih bagian atas (Purnomo, 2012)

Gambar 1. Kerangka Teori.

Sumber : 1) Sukandar, 2007. 2) anonim, 2012. 3) Brook, 2008. 4) Purnomo, 2012

Pasien pengguna Kateter

Pemasangan kateter terkontaminasi bakteri

dan flora normal

Prosedur pemasangan yang tidak steril

Bakteri naik ke saluran kemih bagian atas

Infeksi Saluran Kemih Bakteri berkoloni di

uretra distal

Bakteri naik ke kandung kemih

Perbedaan kelas ruang rawat inap


(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Rumah Sakit

Rumah sakit adalah bagian integral dari suatu organisasi sosial dan kesehatan dengan fungsi menyediakan pelayanan paripurna (komprehensif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pencegahan penyakit (preventif) kepada masyarakat. Rumah sakit juga merupakan pusat pelatihan bagi tenaga kesehatan dan pusat penelitian medik dan biososial (Anonim, 2006). Menurut Kepmenkes RI No. 340 tahun 2010 rumah sakit umum pemerintah pusat dan daerah diklasifikasikan menjadi rumah sakit kelas A, B, C, dan D. Klasifikasi tersebut didasarkan pada unsur pelayanan, ketenagaan, fisik dan peralatan.

1. Rumah sakit umum kelas A, adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik luas dan subspesialistik luas.

2. Rumah sakit umum kelas B, adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik sekurang-kurangnya sebelas spesialistik dan subspesialistik terbatas.

3. Rumah sakit umum kelas C, adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik dasar.


(29)

10

4. Rumah sakit umum kelas D, adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik dasar (Anonim, 2010).

Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H. Abdul Moeloek merupakan rumah sakit rujukan tertinggi di provinsi Lampung, dan juga merupakan rumah sakit pendidikan tipe B yang memiliki beberapa fasilitas dan ruangan untuk menjalankan fungsinya sebagai tempat pelayanan kesehatan. Ruangan yang tersedia di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H. Abdul Moeloek antara lain ruang rawat jalan , ruang gawat darurat, ruang operasi, ruang laboratorium, ruang farmasi, ruang rawat inap, ruang sterilisasi, ruang pendidikan dan pelatihan (ruang diklat), ruang laundry, ruang dapur, kamar jenazah dan pelataran parkir. Rumah Sakit Umum Daerah DR. H. Abdul Moeloek memiliki 6 ruangan operasi yang digunakan untuk Bedah Orthpaedi (OK1), Bedah Urologi (OK2), Bedah THT (OK3), Bedah Saraf (OK4), Bedah Gigi & Mulut (OK5) dan Bedah Mata (OK6) (Ayni, 2009).

2.2Ruang Rawat Inap

Ruang rawat inap adalah ruang perawatan untuk pasien yang memerlukan asuhan dan pelayanan keperawatan dan pengobatan secara berkesinambungan lebih dari 24 jam. Setiap rumah sakit akan mempunyai ruang perawatan dengan nama yang berbeda sesuai dengan tingkat pelayanan dan fasilitas yang diberikan oleh pihak rumah sakit kepada pasiennya (Anonim, 2012).


(30)

11

Menurut kementrian kesehatan RI ruang rawat inap memiliki persyaratan umum dan khusus yang harus terpenuhi untuk memberikan pelayan kesehatan yang baik. Berikut adalah persyaratan umum dan khusus ruang rawat inap (Anonim, 2012) :

Persyaratan umum.

1. Pengelompokan ruang berdasarkan kelompok aktivitas yang sejenis hingga tiap kegiatan tidak bercampur dan tidak membingungkan pemakai bangunan.

2. Perletakan ruangannya terutama secara keseluruhan perlu adanya hubungan antar ruang dengan skala prioritas yang diharuskan dekat dan sangat berhubungan/membutuhkan.

3. Akses pencapaian ke setiap blok/ruangan harus dapat dicapai dengan mudah.

4. Kecepatan bergerak merupakan salah satu kunci keberhasilan perancangan, sehingga blok unit sebaiknya sirkulasinya dibuat secara linier/lurus (memanjang).

5. Jumlah kebutuhan ruang harus disesuaikan dengan kebutuhan jumlah pasien yang akan ditampung.

6. Sinar matahari pagi sedapat mungkin masuk ke dalam ruangan. 7. Alur petugas dan pengunjung dipisah.

8. Besaran ruang dan kapasitas ruang harus dapat memenuhi persyaratan minimal seperti ditunjukkan dalam tabel 1 berikut (Anonim, 2012)


(31)

12

Tabel 1. Kebutuhan Minimal Luas Ruangan Ruang Rawat Inap (Anonim, 2012)

Nama ruang Luas Satuan

1 Ruang perawatan

VIP 18 m²/tempat tidur

Kelas I 12 m²/tempat tidur

Kelas II 10 m²/tempat tidur

Kelas III 7,2 m²/tempat tidur

2 Ruang Pos Perawat 20 m²

3 Ruang Konsultasi 12 m²

4 Ruang Tindakan 24 m²

5 Ruang Administrasi 9 m²

6 Ruang Dokter 20 m²

7 Ruang Perawat 20 m²

8 Ruang Ganti/Loker 9 m²

9 Ruang Kepala Rawat Inap 12 m²

10 Ruang Linen Bersih 18 m²

11 Ruang Linen Kotor 9 m²

12 Spoelhoek 9 m²

13 Ruang Kamar Mandi/Toilet 25 m²

14 Pantri 9 m²

15 Ruang Janitor/Servis 9 m²

16 Ruang Gudang Bersih 18 m²

17 Ruang Gudang Kotor 18 m²

Persyaratan khusus

1. Tipe ruang rawat inap, terdiri dari :

a. Ruang rawat inap 1 tempat tidur setiap kamar (VIP). b. Ruang rawat inap 2 tempat tidur setiap kamar (Kelas 1) c. Ruang rawat inap 4 tempat tidur setiap kamar (Kelas 2)

d. Ruang rawat inap 6 tempat tidur atau lebih setiap kamar (kelas 3).

2. Khusus untuk pasien-pasien tertentu harus dipisahkan (Ruang Isolasi), seperti :


(32)

13

b. Pasien dengan pengobatan yang menimbulkan bau (seperti penyakit tumor, ganggrein, diabetes, dan sebagainya).

c. Pasien yang gaduh gelisah (mengeluarkan suara dalam ruangan).

Keseluruhan ruang-ruang ini harus terlihat jelas dalam kebutuhan jumlah dan jenis pasien yang akan dirawat (Anonim, 2012).

2.3Konsep Infeksi

Infeksi adalah proses invasif oleh mikroorganisme yang menimbulkan interaksi antara mikroorganisme dengan pejamu yang rentan sehingga menyebabkan sakit. Cara transmisi mikroorganisme dapat terjadi melalui darah, udara baik droplet maupun airbone, dan dengan kontak langsung (Potter & Perry, 2005).

Proses infeksi dapat disebabkan oleh bebagai macam mikroorganisme, seperti bakteri, virus, jamur dan parasit. Bakteri merupakan penyebab terbanyak dari infeksi. Bakteri dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara, tanah, air, makanan, cairan dan benda mati lainnya. Proses terjadinya infeksi seperti rantai yang saling terkait antar berbagai faktor yang saling mempengaruhi, yaitu agen infeksi, reservoir, portal of exit, cara penularan, portal of entry dan host atau penjamu yang rentan (Potter & Perry, 2005).


(33)

14

2.4Infeksi Nosokomial

2.4.1 Definisi Infeksi Nosokomial

Infeksi nosokomial adalah suatu infeksi yang diperoleh atau dialami oleh pasien selama dia dirawat di rumah sakit dan menunjukkan gejala infeksi baru setelah 72 jam pasien berada di rumah sakit serta infeksi itu tidak ditemukan atau diderita pada saat pasien masuk ke rumah sakit (Ducel, 2004).

Sekitar 40-60% infeksi nosokomial yang terjadi dirumah sakit merupakan infeksi saluran kemih (ISK) dan hampir 80 % ISK yang di dapat dirumah sakit di hubungkan dengan penggunaan kateter. (Adukauskiene D et al, 2006). Hingga saat ini infeksi nosokomial masih banyak terjadi di seluruh dunia. Penelitian yang dilakukan oleh WHO tahun 2006 menunjukkan bahwa sekitar 8,7% dari 55 rumah sakit dari 14 negara di Eropa, Timur tengah, dan Asia Tenggara dan Pasifik terdapat infeksi nosokomial, khususnya di AsiaTenggara sebanyak l0%. Di Indonesia yaitu di 10 RSU pendidikan, infeksi nosokomial cukup tinggi yaitu 6-16% dengan rata-rata 9,8% pada tahun 2010 (Jeyamohan D, 2010).

2.4.2 Klasifikasi Infeksi Nosokomial

Ilmu pengetahuan yang semakin berkembang menyebabkan bertambahnya alat dan prosedur kedokteran yang di gunakan untuk proses penyembuhan suatu penyakit. Hal ini menyebabkan


(34)

15

peningkatan kontak bagian dalam tubuh manusia dengan benda asing atau udara luar yang menyebabkan peningkatan risiko terjadinya infeksi nosokomial (Jawetz et al, 2007).

Lebih dari 80% infeksi nosokomial disebabkan oleh 4 tipe infeksi berikut:

a. Infeksi saluran kemih

Infeksi nosokomial biasa terjadi pada pasien yang dirawat dirumah sakit sekurang-kurangnya selama 72 jam. Infeksi saluran kemih dihubungkan dengan penggunaan kateter urin, yang menyebabkan 3-10% risiko infeksi setiap harinya. Di antara infeksi nosokomial jenis lainnya, infeksi saluran kemih merupakan infeksi yang paling sering terjadi atau sekitar 35% dari total kejadian infeksi nosokomial. Meskipun paling sering terjadi, jenis infeksi ini menyebabkan peningkatan biaya dan angka kematian yang paling kecil. Infeksi saluran kemih biasanya disebabkan oleh bakteri patogen yang menyebar secara langsung ke area periuretral dari perineum pasien atau saluran cerna. Selain itu infeksi saluran kemih juga disebabkan kontaminasi intraluminal kateter urin, biasanya akibat infeksi silang oleh tenaga medis yang melakukan irigasi kateter atau melakukan pengosongan kantung penampungan urin (Sukandar, 2007).

b. Infeksi luka operasi

Infeksi luka operasi merupakan infeksi nosokomial kedua terbanyak yang ditemukan dirumah sakit. Infeksi luka operasi


(35)

16

mencakup kurang lebih 20% dari angka kejadian infeksi nosokomial. Secara umum, risiko terjadinya infeksi luka operasi dipengaruhi oleh keterampilan dokter bedah, penyakit yang diderita pasien (contohnya diabetes, obesitas) atau usia tua, serta waktu pemberian antibiotik profilaksis yang kurang tepat. Faktor risiko tambahan antara lain keberadaan drainase, perpanjangan waktu rawat paska operasi dan infeksi di lokasi tubuh lainnya (contohnya infeksi saluran kemih) (Inweregbu et al, 2005).

c. Infeksi sistemik

Infeksi sistemik atau bakteremia mencakup kurang lebih 15% dari seluruh kejadian infeksi nosokomial. Meskipun lebih rendah dari kedua jenis infeksi nosokomial yang telah dibahas sebelumnya, namun infeksi jenis ini mengakibatkan kerugian materi yang lebih besar dan angka kematian pasien yang lebih tinggi. Infeksi jenis ini dihubungkan dengan penggunaan kateter vena sentral (80-90%). Infeksi kebanyakan berasal dari mikroorganisme yang berada di kulit tempat masuknya kateter, dengan bakteri patogen yang bermigrasi ke ekstraluminar kateter (Jawetz et al, 2007).

d. Pneumonia

Pneumonia akibat infeksi nosokomial biasanya terjadi setelah perawatan lebih dari 48 jam di rumah sakit dan pasien memperlihatkan tanda-tanda klinis pneumonia yang tidak didapatkan saat awal perawatan. Serupa dengan infeksi sistemik, pneumonia juga mencakup kurang lebih 15% dari kejadian infeksi nosokomial (Jawetz et al, 2007).


(36)

17

2.4.3 Etiologi Infeksi Nosokomial

Selama pasien dirawat di rumah sakit ia akan terpapar berbagai macam mikroorganisme. Kontak antara pasien dan berbagai macam mikroorganisme ini tidak selalu menimbulkan gejala klinis karena banyaknya faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi nosokomial. Kemungkinan terjadinya infeksi tergantung pada karakteristik mikroorganisme, resistensi terhadap zat-zat antibiotika, tingkat virulensi, dan banyaknya materi infeksius (Parhusip, 2005).

Semua mikroorganisme termasuk bakteri, virus, jamur dan parasit dapat menyebabkan infeksi nosokomial. Infeksi ini dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang didapat dari orang lain (cross infection) atau disebabkan oleh flora normal dari pasien itu sendiri (endogenous infection) (Jawetz E, 2007). Beberapa mikroorganisme penyebab inkefeksi nosokomial terbanyak ditunjukkan dalam tabel 2 berikut

Tabel 2. Mikroorganisme Penyebab Infeksi Nosokomial. (Tortora et al., 2001)

Mikroorganisme Persentase(%)

S.aureus, Staphylococcus, Enterococci 34

E.coli, P.aeruginosa, Enterobacter sp, 32

C. difficile 17

Fungi (kebanyakan C. Albicans) 10

Bakteri Gram negatif lain (Acinetobacter, Citrobacter, Haemophilus)


(37)

18

2.4.4 Kriteria Infeksi Nosokomial

Infeksi nosokomial disebut juga dengan “Hospital Acquired Infection” apabila memenuhi batasan atau kriteria sebagai berikut:

a. Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit tidak didapatkan tanda-tanda klinik dari infeksi tersebut.

b. Pada waktu penderita mulai dirawat tidak dalam masa inkubasi dari infeksi tersebut.

c. Tanda-tanda infeksi tersebut baru timbul sekurang-kurangnya 3×24 jam sejak mulai dirawat.

d. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa (residual) dari infeksi sebelumnya (Hughes, 2008).

2.4.5 Faktor Resiko Infeksi Nosokomial

Faktor risiko terjadinya infeksi nosokomial antara lain: 1. Infeksi secara langsung atau secara tidak langsung

Infeksi dapat terjadi karena kontak secara langsung atau tidak langsung. Penularan infeksi ini dapat tertular melalui tangan, kulit dan baju, yang disebabkan oleh golongan Staphylococcus aureus. Cairan yang diberikan secara intravena dan jarum suntik, peralatan serta instrumen kedokteran dapat menyebabkan infeksi nosokomial. Makanan yang tidak steril, tidak dimasak dan diambil menggunakan tangan yang menyebabkan terjadinya cross infection (Anonim, 2007)


(38)

19

2. Resistensi Antibiotika

Penggunaan antibiotik yang tidak rasional menyebabkan banyak mikroorganisme yang kini menjadi lebih resisten. Peningkatan resistensi bakteri ini dapat meningkatkan angka mortalitas terutama pada pasien yang immunocompromised. Penggunaan antibiotika yang tidak rasional meningkatkan multiplikasi serta penyebaran strain yang resisten. Penyebab utama terjadinya resistensi bakteri adalah penggunaan antibiotika yang tidak sesuai dan tidak terkontrol, dosis antibiotika yang tidak optimal, terapi dan pengobatan menggunakan antibiotika yang terlalu singkat serta kesalahan diagnosa (Postlethwait. 2006).

3. Faktor alat

Suatu penelitian klinis menunjukka n infeksi nosokomial terutama disebabkan oleh infeksi dari kateter urin, infeksi jarum infus, infeksi saluran nafas, infeksi kulit, infeksi dari luka operasi dan septikemia. Hal ini di karenakan bakteri yang berperan sebagai flora normal dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui penempelan pada alat kesehatan yang tidak steril seperti kateter dan jarum infus. Oleh sebab itu penggunaan peralatan yang tidak steril juga dapat menyebabkan infeksi nosokomial. (Ducel et al, 2004).


(39)

20

2.4.6 Penularan Infeksi Nosokomial

Cara penularan infeksi nosokomial dapat berupa infeksi silang (Cross infection) yaitu disebabkan oleh kuman yang didapat dari orang atau penderita lain di rumah sakit secara langsung atau tidak langsung. Infeksi sendiri (Self infection, Auto infection) yaitu disebabkan oleh kuman dari penderita itu sendiri yang berpindah tempat dari satu jaringan ke jaringan yang lain. Infeksi lingkungan (Environmental infection) yaitu disebabkan oleh kuman yang berasal dari benda atau bahan yang tidak bernyawa yang berada di lingkungan rumah sakit, seperti lingkungan yang lembab (Anonim, 2007).

Ada 4 cara penularan infeksi nosokomial, yaitu

a. Kontak langsung antara pasien dan petugas kesehatan yang merawat atau menjaga pasien.

b. Kontak tidak langsung ketika objek dalam kondisi lemah dan lingkungan menjadi kontaminasi dan tidak didesinfeksi atau sterilkan, sebagai contoh perawatan luka paska operasi. c. Penularan melalui droplet infection dimana kuman dapat

mencapai ke udara (air borne)

d. Penularan melalui vektor yaitu penularan melalui hewan/serangga yang membawa kuman (Hughes, 2008).


(40)

21

2.4.7 Pencegahan Infeksi Nosokomial

Tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi nosokomial antara lain :

a. Membatasi transmisi organisme dari atau antara pasien dengan cara mencuci tangan dan penggunaan sarung tangan, tindakan septik dan aseptik, sterilisasi dan disinfektan.

b. Mengontrol resiko penularan dari lingkungan.

c. Melindungi pasien dengan penggunaan antibiotika yang adekuat, nutrisi yang cukup, dan vaksinasi.

d. Membatasi resiko infeksi endogen dengan meminimalkan prosedur invasif.

e. Pengawasan infeksi, identifikasi penyakit dan mengontrol penyebarannya (Brooks, 2008).

2.5Infeksi Saluran Kemih

2.5.1 Definisi Infeksi Saluran Kemih

Infeksi saluran kemih (ISK) adalah keadaan klinis akibat berkembang biaknya mikroorganisme yang menyebabkan inflamasi pada saluran kemih dan pada pemeriksaan urin ditemukan > 100.000 CFU/ml (Hooton et al, 2010). Karena batasan tersebut, maka diagnosa ISK memerlukan biakan mikroorganisme sebagai gold standar diagnosa.


(41)

22

2.5.2 Klasifikasi Infeksi Saluran Kemih Terdapat beberapa klasifikasi ISK, yaitu: a. Pielonefritis Akut (PNA).

Presentasi klinis PNA seperti panas tinggi (39,5-40,5 °C), disertai mengigil dan sekit pinggang. Presentasi klinis PNA ini sering didahului gejala ISK bawah (sistitis).

b. ISK bawah (sistitis).

Presentasi klinis sistitis seperti sakit suprapubik, polakiuria, nokturia, disuria, dan stanguria.

c. Sindroma Uretra Akut (SUA).

Presentasi klinis SUA sulit dibedakan dengan sistitis. SUA sering ditemukan pada perempuan usia antara 20-50 tahun. Presentasi klinis SUA sangat miskin (hanya disuri dan sering kencing) disertai < 100.000 cfu/ml urin (Hotton et al, 2010).

d. ISK Rekuren

Dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu: a) Reinfection : terjadi episode infeksi ulang dengan interval >6 bulan dengan penyebab mikroorganisme yang berbeda. b) Relapsing infection : terjadinya infeksi kembali dengan penyebab mikroorganisme yang sama, biasanya disebabkan sumber infeksi tidak mendapatkan pengobatan yang adekuat (Sukandar, 2004)

Pembagian ISK yang terpenting ialah pembagian berdasarkan ada atau tidaknya komplikasi :


(42)

23

a. ISK tanpa komplikasi ialah ISK tanpa faktor penyulit dan tidak didapatkan gangguan struktur maupun fungsi saluran kemih. b. ISK dengan komplikasi yaitu bila terdapat hal-hal tertentu

sebagai penyulit, antara lain obstruksi aliran, refluks vesicoureteral, penderita gangguan fungsi dan struktur ginjal, glomeruluonefritis, pielonefritis, penderita diabetes mellitus, gangguan sistem imun (Black & Hawks, 2009)

2.5.3 Patogenesis Infeksi Saluran Kemih

ISK terjadi kerena beberapa faktor, yaitu faktor host, virulensi dari mikroorganisme, dan adanya port of entry. Faktor host terutama meliputi kelainan struktural dan fungsional saluran kemih yang mengakibatkan perubahan aliran maupun stasis urin, faktor penurunan daya tahan tubuh penderita. Faktor virulensi mikroorganisme dikatakan tidak terlalu banyak berperan. Faktor port of entry, misalnya instrumentasi saluran kemih. Mikroorganisme dapat memasuki saluran kemih melalui cara: ascending, hematogen, limfogen dan langsung dari organ sekitarnya yang mengalami infeksi. Pada instrumentasi kateter uretra, ISK yang terjadi akibat ascending mikroorganisme dari kantong penampungan urin ke dalam kandung kemih dan kemampuan dari beberapa mikroorganisme yang berkembang dan tumbuh pada permukaan luar dan dalam dari kateter uretra (Smeltzer & Bare, 2008).


(43)

24

2.5.4 Etiologi Infeksi Saluran Kemih

Infeksi saluran kemih (ISK) umumnya disebabakan oleh bakteri gram negatif di saluran intestinal (Black & Hawk, 2009). Mikroorganisme yang paling sering menyebabkan ISK adalah mikroorganisme gram negatif seperti Escherichia coli, Proteus mirabilis, Klebsiela, Citrobacter, Enterobacter dan Pseudomonas. Mikroorganisme gram positif seperti Enterococcus faecalis, Staphylococcus saprophyticus dan group B Streptococci dapat juga menyebabkan ISK. Chlamydia dan Mycoplasma juga diketahui dapat menyebabkan ISK yang sering ditularkan secara sexual (Lewis et al, 2007).

Beberapa dari mikroorganisme ini merupakan flora normal pada usus penderita, tetapi dapat juga terjadi oleh transmisi silang dari satu penderita ke penderita lainnya, petugas kesehatan atau terpapar oleh cairan dan alat-alat kesehatan yang terkontaminasi. Mikroorganisme penyebab ISK nosokomial sering diperoleh dari koloni kuman yang ada pada penderita dan flora normal di perineum atau dari tangan petugas kesehatan sewaktu pemasangan kateter atau manipulasi pada sistem penampungan urin. Situasi seperti gangguan system imun, penggunaan steroid serta penggunaan antibiotika secara luas dapat merubah pola kuman akibat penggunaan kateter uretra (Lewis et al, 2007).


(44)

25

2.5.5 Gambaran Klinis Infeksi Saluran Kemih

ISK yang di derita pasien dapat menimbulkan gejala klinis (simtomatis) dan tanpa gejala (asimtomatis). Secara umum ISK berdasarkan lokasinya dapat di bedakan menjadi ISK atas dan bawah. Gejala klinis yang timbul tergantung dari lokasi infeksi. Gejala ISK bagian bawah seperti nyeri sewaktu kencing (disuria), sering kencing (polaksuria), rasa terdesak kencing (urgensi), sulit kencing disertai nyeri otot pinggang, nyeri supra simfisis, sering kencing malam hari. Gejala ISK atas dapat berupa demam, menggigil, nyeri pinggang, kolik, mual dan muntah, hematuria, maupun nyeri ketok sudut kostovertebra. ISK akibat penggunaan kateter uretra biasanya tanpa gejala (asimtomatis). Sekitar 30 % dari penderita mengalami demam dan tanda-tanda ISK (Newman, 2010).

2.5.6 Diagnosa Infeksi Saluran Kemih

Diagnosa ISK di tegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan yang digunakan sebagai gold standard ialah biakan urin.. Pemeriksaan biakan urin diindikasikan pada :

a. Penderita dengan gejala dan tanda ISK (simtomatis).

b.Paska instrumentasi saluran kemih, terutama paska kateterisasi urin.

c. Penderita dengan nefropati/uropati obstruksi terutama sebelum dilakukan instrumentasi saluran kemih (Hotton et al, 2010)


(45)

26

Kriteria diagnosa ISK bila didapatkan :

a. 100.000 CFU/ ml urin dari biakan urin porsi tengah

b. 100.000 CFU/ ml urin dari 1 biakan porsi tengah dengan leukosit urin > 10/ml urin segar

c. 100.000 CFU/ ml urin dari 1 biakan porsi tengah disertai gejala klinis ISK

d. 100.000 CFU/ ml urin kateter

e. Berapapun CFU dari urin aspirasi suprapubik (Smeltzer & Bare, 2008).

2.5.7 Faktor Risiko Infeksi Saluran Kemih 1. Usia

Bertambahnya usia sering diikuti dengan penurunan fungsi organ dalam tubuh. Insidens ISK meningkat seiring dengan penuaan karena berkurangnya kemampuan kandung kemih melakukan pengosongan secara lengkap. Infeksi saluran kemih merupakan kasus yang paling umum pada sepsis bakterial akut pada pasien yang berusia lebih dari 65 tahun (Potter & Perry, 2005).

2. Jenis Kelamin

Insidens ISK mayoritas didominasi oleh wanita. Secara anatomis bentuk uretra yang lebih pendek dan dekat dengan vagina, kelenjar periuretral dan rektum membuat wanita lebih berisiko terkena ISK. Prevalensi pada laki-laki yang berusia lebih dari 50 tahun hampir sama dengan perempuan dalam kelompok umur yang sama. Pada


(46)

27

laki-laki, aktivitas antibakterial yang terkandung dalam sekresi prostat melindungi laki-laki dari kolonisasi bakteri pada uretra dan kandung kemih yang menurun seiring dengan penuaan. Peningkatan ISK yang drastis pada laki-laki lanjut usia sangat berkaitan dengan hyperplasia prostat atau karsinoma, striktur uretra, dan kandung kemih neuropatik (Smeltzer & Bare, 2008). 3. Gangguan Metabolisme dan Imunosupresi

Penyakit gangguan metabolisme dan imunosupresi seperti diabetes mellitus dan gagal ginjal kronis dapat mengganggu mekanisme normal pertahanan sterilitas kandung kemih. Pasien diabetes mellitus sangat berisiko terkena ISK karena peningkatan kadar glukosa dalam urine menyebabkan lingkungan pada saluran kemih rentan terhadap infeksi. Kehamilan dan gangguan neurologi juga meningkatkan risiko infeksi saluran kemih karena kondisi ini menyebabkan pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap dan statis urine. Abnormalitas struktur dan kandung kemih neurogenik akibat stroke atau neuropati otonom pada diabetes menyebabkan pengosongan kandung kemih tidak lengkap sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya ISK (Smeltzer & Bare, 2008). 4. Penggunaan Kateter Urine

Penggunaan kateter dalam jangka panjang dapat menyebabkan ISK. Kateter merupakan benda asing yang dimasukkan ke dalam uretra dengan tujuan untuk evaluasi atau penanganan gangguan eleminasi urine. Penggunaan kateter urine memungkinkan


(47)

28

terjadinya kolonisasi mikroorganisme pada kantong drainase. Insersi kateter yang dilakukan dengan teknik steril dan perawatan kateter dengan teknik aseptik serta sistem drainase tertutup merupakan tindakan yang esensial untuk mengurangi risiko kontaminasi bakteri (Smeltzer & Bare, 2008).

2.6 Kateter Urine

2.6.1 Definisi Kateter Urine

Kateter adalah sebuah alat berbentuk pipa yang dimasukkan ke dalam kandung kemih dengan tujuan untuk mengeluarkan urine. Secara umum kateter urine terdiri dari kateter indwelling, kateter intermitten, dan kateter suprapubik (Hooton et al, 2010).

Kateter indwelling adalah alat medis yang biasanya disertai dengan penampungan urine yang berkelanjutan pada pasien yang mengalami disfungsi kandung kemih. Kateter jenis ini lebih banyak digunakan pada perawatan pasien akut dibanding jenis lainnya. Kateter intermitten digunakan untuk jangka waktu yang pendek (5-10 menit) dan klien dapat diajarkan untuk memasang dan melepas sendiri. Kateter suprapubik kadang-kadang digunakan untuk pemakaian secara permanent. Cara memasukan kateter dengan jenis ini dengan membuat sayatan kecil diatas suprapubik (Newman, 2010).


(48)

29

2.6.2 Tujuan Pemasangan Kateter Urine

Penggunaan kateter urine dengan tujuan untuk menentukan perubahan jumlah urine sisa dalam kandung kemih setelah pasien buang air kecil, memintas suatu obstruksi yang menyumbat aliran urine, menghasilkan drainase pasca operatif pada kandung kemih, daerah vagina atau prostat, dan memantau pengeluaran urine setiap jam pada pasien yang sakit berat (Hooton et al, 2011)

2.6.3 Indikasi dan Kontraindikasi Pemasangan Kateter Urine

Kateter urine dilakukan dengan indikasi berupa retensi/obstruksi urin, dibutuhkan pengukuran input dan output cairan yang akurat pada pasien yang tidak dapat menggunakan urinal atau bedpan, emergensi bedah, trauma mayor, prosedur urologi, irigasi bladder. Kontra indikasi pemasangan kateter antara lain adanya penyakit infeksi di dalam vulva seperti uretritis gonorhoe dan pendarahan pada uretra (Doughty & Kisanga, 2010).

2.7 Kejadian ISK Akibat Pemasangan Kateter

Durasi penggunaan kateter urine indwelling yang lama dapat mengakibatkan resiko terjadinya infeksi saluran kemih, trauma pada uretra, blokade kateterisasi dari enkrustasi atau penumpukan kalsium (Hooton, 2010).

Rute masuk bakteri ke dalam saluran kemih melalui kontaminasi fekal pada meatus uretral. Mikroorganisme pada faeses yang naik dari perineum ke


(49)

30

uretra dapat mencapai kandung kemih, dan menempel pada permukaan mukosa. Proses selanjutnya, mikroorganisme melakukan kolonisasi epitelium saluran kemih. Mekanisme ini dilakukan mikroorganisme untuk menghindari pembilasan melalui berkemih, mekanisme pertahanan penjamu dan pencetus inflamasi (Smeltzer & Bare, 2008). Rute lainnya mikroorganisme masuk melalui aliran darah atau sistem limfatik (Lewis et al, 2007).

Faktor yang sering berkontribusi terhadap infeksi ascending yaitu peralatan yang dipasang pada saluran kemih seperti kateterisasi, pemeriksaan sitoskopi (Lewis et al, 2007). Pada pasien yang menggunakan kateter, mikroorganisme dapat menjangkau saluran kemih melalui tiga lintasan utama. Lintasan tersebut yaitu dari uretra ke dalam kandung kemih pada saat kateterisasi, dan melalui jalur dalam tipis cairan uretra yang berada di luar kateter ketika kateter dan membran mukosa bersentuhan. Lintasan dapat juga melalui migrasi ke dalam kandung kemih di sepanjang lumen internal kateter terkontaminasi (Smeltzer & Bare, 2008). Migrasi mikroorganisme dari kateter menuju vesika urinaria dapat terjadi selama 1-3 hari (Newman, 2010).

Pemasangan kateter akan menurunkan sebagian besar daya tahan alami pada saluran kemih inferior dengan menyumbat duktus periuretralis, mengiritasi mukosa kandung kemih dan menimbulkan jalur artifisial untuk masuknya kuman ke dalam kandung kemih (Smeltzer & Bare, 2008). Terdapat 3


(50)

31

tempat utama masuknya bakteri melalui kateter urine indwelling yaitu meatus uretra, sambungan pada selang penampungan kateter, dan tempat drainase dari kantung penampungan (Newman, 2010).

Selain durasi pemakaian kateter yang lama, faktor lain yang yang berpengaruh pada kejadian ISK adalah perawatan kateter urine. Perawatan kateter urine harus diperhatikan agar dapat mencegah terjadinya bakteriuria. Tindakan asepsis yang ketat diperlukan saat memasang kateter dan perawatan kateter. Asepsis adalah hilangnya mikroorganisme patogen atau penyebab penyakit. Teknik asepsis adalah prosedur yang membantu mengurangi resiko terkena infeksi (Potter & Perry, 2009). Tindakan mencuci tangan mutlak harus dilakukan sebelum dan setelah penanganan kateter, selang dan kantong penampung urine (Makic et al, 2011)

Perawatan kateter urine adalah perawatan yang dilakukan menggunakan teknik aseptik dengan membersihkan permukaan kateter urine dan daerah sekitarnya agar bersih dari kotoran, smegma, dan krusta yang terbentuk dari garam urine (Gilbert, 2006). Selain itu, penggunaan kateter urine indwelling dengan sistem drainase tertutup juga merupakan upaya untuk mencegah terjadinya kolonisasi bakteri. Untuk mencegah kontaminasi pada sistem tertutup, selang tidak boleh dilepas dari kateter. Tidak boleh ada bagian dari kantong penampung urine atau selang drainase yang terkontaminasi. Sistem drainase urine tertutup yang dirakit sebelumnya dan steril sangat penting dan tidak boleh dilepas sebelum, selama atau sesudah pemasangan kateter


(51)

32

(Hooton et al, 2010; Makic et al, 2011). Kantong penampung urine tidak boleh ditinggikan diatas kandung kemih pasien karena tindakan ini akan mengakibatkan aliran urine terkontaminasi dalam kandung kemih dari kantong penampung tersebut akibat gaya berat. Urine tidak boleh dibiarkan berkumpul di dalam selang karena aliran urine yang bebas harus dipertahankan untuk mencegah infeksi. Kantong penampung tidak boleh menyentuh lantai. Kantong penampung harus dikosongkan setiap 8 jam sekali melalui katup drainase (Makic et al, 2011). Selain itu penanganan dan manipulasi kateter yang tidak cermat oleh pasien dan staf rumah sakit harus dihindari unutk mencegah terjadinya infeksi nosokomial (Smeltzer & Bare, 2008).


(52)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Desain penelitian ini adalah penelitian Deskriptif. Hal ini dikarenakan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi pasien ISK dan untuk mengetahui jenis bakteri apa saja yang terdapat dalam urin pasien yang menggunakan kateter pada hari ke 1 & 4 yang dirawat di ruang rawat inap kelas I, II dan III RSUD Dr. H. Abdul Moeloek.

3.2Waktu dan Tempat Penelitian

Pengambilan sampel dilakukan di ruang rawat inap kelas I, II dan III RSUD Dr. H. Abdul Moeloek. Pemeriksaan serta analisis sampel dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Penelitian dan pengumpulan data dilakukan pada bulan Oktober–Desember 2014

3.3Alat dan Bahan

Alat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini antara lain cawan petri, tabung reaksi, rak tabung reaksi, tabung erlenmeyer, ose bulat dan ose jarum, spuit 3 ml, gelas kimia, lampu bunsen, pipet tetes, autoklaf, kaca objek, kaca


(53)

34

penutup/cover glass dan, mikropipet, mikroskop, inkubator, dan alat-alat lain yang lazim digunakan di laboratorium mikrobiologi.

Bahan yang dipakai dalam penelitian antara lain nutrien agar, SIM (sulfur, indol, motilitas) agar, glukosa, TSIA (triple sugar iron agar), Simon Citrat agar, bahan pewarnaan Gram (kristal violet, iodin, alkohol 70%, safranin), aquades, dan bahan lain yang lazim digunakan di laboratorium mikrobiologi

3.4Subjek Penelitian

3.4.1 Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi penelitian ini adalah semua pasien yang dirawat di ruang rawat inap kelas I, II&III RSUD Dr. H. Abdul Moeloek. Sampel penelitian adalah pasien yang menggunakan kateter yang ada di ruang rawat inap kelas I,II&III RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.

a. Kriteria inklusi

1. Pasien yang dsirawat inap di ruang rawat inap kelas I II dan III yang menggunakan kateter > 3 hari

2. Dirawat di rumah sakit lebih dari 2x24 jam 3. Berusia > 18 tahun

b. Kriteria eksklusi

1. Pasien yang dirawat selain di ruang rawat inap kelas I, II&III RSUD Dr. H. Abdul Moelek Bandar Lampung.


(54)

35

3.4.2 Teknik Sampling

Teknik pengambilan sampel yang di gunakan dalam penelitian ini adalah teknik consecutive sampling, yaitu semua pasien yang memenuhi kriteria inklusi dimasukkan ke dalam penelitian sampai jumlah minimal terpenuhi (Notoatmojo, 2010)

3.4.3 Besar sampel

Besar sampel yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan rumus Lameshow, yaitu:

Keterangan :

n = jumlah sampel minimal yang di inginkan

Zα = derivat baku alpa (90%), derajat kepercayaan yang diinginkan P = proporsi kategori yang diteliti berdasarkan sumber 50% q = 1-p

d = persisi (15%), derajat penyimpangan yang diinginkan

n = Zα².p.q d²

n = 1,64².0,5.0,5 0,15²

n = 29,88 dibulatkan menjadi 30

jadi sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 30 orang (Notoatmojo, 2010).


(55)

36

3.5Prosedur Penelitian

3.5.1 Prosedur Pembenihan

Untuk pengambilan sample dilakukan dengan pengambilan urin pasien yang menggunakan kateter di ruang rawat inap kelas I, II & III RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung. Kemudian lempeng agar nutrien digunakan sebagai media perbenihan untuk pertunbuhan bakteri Gram positif dan negatif. Setelah diketahui sifat bakteri dengan pewarnaan Gram, maka untuk pembiakan Gram positif digunakan agar darah dan untuk Gram negatif digunakan agar Mac Conkey.

3.5.2 Pengambilan Spesimen Urin Kateter

1. Spuit 3 ml disposible disiapkan untuk pengambilan urin kateter. 2. Selang drainase diklem selama 30 menit sebelum dilakukan

pengambilan sampel urin. Pembendungan ini dilakukan unutk mempermudah dalam pengumpulan spesimen urin.

3. Selanjutnya peneliti mencuci tangan, menggunakan sarung tangan bersih dan botol spesimen diberi label.

4. Daerah kateter yang akan ditusuk yaitu daerah distal selang karet kateter menuju balon dibersihkan dengan desinfektan (alkohol 70%) dan ditunggu hingga kering.

5. Selang kateter urin ditusuk dengan sudut 30-45º dan dilakukan pegambilan spesimen urine pada selang kateter urine pasien sebanyak 3 ml.


(56)

37

6. Selang tempat dilakukan pengambilan spesimen didisinfeksi kembali dengan menggunakan alkohol 70%

7. Selanjutnya klem pada selang drainase dibuka

8. Spesimen urin dipindahkan dari spuit ke botol urine steril dan di tempatkan pada botol spesimen ke dalam plastik.

9. Spesimen segera dikirim ke laboratorium dalam waktu 15-20 menit (Indryan, 2010).

3.5.3 Penanaman dan Pembiakan

Sampel urin diambil menggunakan mikropipet yang telah ditera setara dengan 0,02 ml urin lalu ditebarkan pada media NA, lalu diinkubasi dengan keadaan terbalik pada suhu 37oC selama 24 jam. Kemudian dilakukan penghitungan jumlah koloni. Jumlah koloni yang dihitung dikalikan 50 untuk menentukan jumlah bakteri per ml urin. Bila hasil yang didapatkan >100.000/ml urin koloni yang tumbuh tersebut dilakukan pewarnaan Gram. Setelah diketahui sifat Gram nya, koloni bakteri kembali ditanam pada media Mac Conkey untuk mengidentifikasi bakteri Gram negatif dan media agar darah untuk mengidentifikasi bakteri Gram positif, kemudian dilanjutkan dengan uji biokimia antara lain : Uji Katalase, Tes DNAse, Uji Fermentasi glukosa, Uji TSIA, Uji Sitrat, dan Uji SIM. (Indryan, 2010).


(57)

38

3.5.4 Isolasi Bakteri

Isolasi bakteri dilakukan dengan penanaman koloni bakteri di media agar darah untuk pembiakan bakteri gram positif dan media agar Mac Conkey untuk pembiakan bakteri gram negatif. Diawali dengan mengambil koloni menggunakan ose, diratakan di seluruh permukaan agar, kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam (Soemarno, 2003).

3.5.5 Identifikasi Bakteri

Identifikasi bakteri dilakukan dengan pewarnaan Gram dan tes biokimiawi. Untuk bakteri Gram positif akan dilakukan uji bikomia antara lain : Uji Katalase, Tes DNAse dan Uji Glukosa. Sedangkan untuk bakteri Gram negatif akan dilakukan uji biokomia antara lain : Uji TSIA, Uji Sitrat dan Uji SIM.

1. Langkah kerja pewarnaan gram :

a) Kaca objek dibersihkan dengan alkohol 70% dan dilewatkan beberapa kali pada nyala api Bunsen sehingga bebas dari kotoran

b) Ose dipanaskan dengan cara di lewatkan di atas api bunsen, kemudian ditunggu hingga sedikit dingin.

c) Olesan tipis isolat bakteri dibuat dengan jarum ose secara aseptis pada gelas objek.

d) Spesimen di fiksasi dengan melewatkannya di atas api bunsen sebanyak tiga kali.


(58)

39

e) Kristal violet (Gram A = cat utama) di teteskan pada gelas objek sampai menutupi seluruh sediaan. Kemudian di diamkan selama 20-30 detik, lalu di cuci dengan air mengalir.

f) Kemudian ditetesi dengan larutan iodin (Gram B = larutan mordan), dibiarkan selama 1 menit, lalu dicuci pada air mengalir hingga tetesan menjadi bening.

g) Selanjutnya dilakukan dekolorisasi dengan ditetesi etil alkohol 95% (Gram C) selama 20-30 detik atau sampai terlihat adanya warna yang luntur

h) lalu di aliri dengan air selam beberapa detik untuk menghentikan aktivitas dekolorisasi.

i) Selanjutnya bakteri ditetesi dengan safranin selama 20-30 detik, kemudian dicuci dengan air mengalir selama beberapa detik untuk menghabiskan sisa-sisa cat sampai bersih dan dikeringkan.

j) Setelah itu diamati dengan mikroskop untuk melihat bentuk sel dan sifat bakteri terhadap zat warna.

k) Apabila bakteri terlihat berwarna ungu, menandakan bahwa bakteri tersebut bakteri gram positif. Apabila bakteri terlihat berwarna merah, menandakan bahwa bakteri tersebut bakteri gram negatif (Benson, 2007).


(59)

40

Gambar 2. Pewarnaan Gram (Benson, 2007)

2. Uji biokimia. a. Uji Katalase

Uji ini dilakukan untuk membedakan Staphylococcus sp dan Sterptococcus sp. Hal ini dikarenakan Staphylococcus sp adalah kuman yang sering ditemukan mencemari udara ruang operasi. Cairan H2O2 ditetesi pada kaca objek pada koloni yang diambil sebanyak satu ose. Hasil positif apabila terdapat gelembung udara yang menandakan Staphylococcus sp. dan hasil negatif apabila tidak terdapat gelembung udara yang menandakan Streptococcus sp. (Steven et al, 2004).


(60)

41

b. Uji DNAse

Kultur bakteri ditanam pada DNAse agar plate, kemudian diinkubasi pada suhu 37ºC selama 24 jam. Koloni yang tumbuh digenangi dengan HCl 10% selama 1-2 menit. Kemudian diamati. Hasil positif bila ditemukan zona bening disekitar koloni yang menandakan Staphylococcus aureus dan negatif apabila tidak ditemukan zona bening disekitar koloni yang menandakan spesies Stapylococcus yang lain (Soemarno, 2003)

c. Uji Glukosa

Uji ini didasarkan atas kemampuan bakteri untuk memfermentasi glukosa. Tujuan dari uji gula-gula ini adalah untuk mengetahui bakteri yang menghasilkan gas dan asam. Jika hasil positif di tandai dengan terjadinya perubahan dari biru menjadi hijau atau kuning menandakan bakteri tersebut menghasilkan asam, serta adanya gelembung udara pada tabung Durham menandakaan bakteri tersebut menghasilkan gas (Steven et al, 2004).

d. Uji SIM

Agar SIM merupakan agar semisolid yang digunakan untuk menilai adanya hidrogen sulfide, timbulnya indol akibat enzim tryptophanase yang ditandai dengan berubahnya larutan kovac menjadi merah, serta motilitas atau pergerakan bakteri (Steven et al, 2004).


(61)

42

e. Uji TSIA (Triple Sugar Iron Agar)

Media TSIA merupaka media diferensial yang digunakan untuk menilai kemampuan bakteri memfermentasi glukosa, laktosa, dan sukrosa. Hal ini ditandai dengan perubahan warna akibat timbulnya suasana asam, serta terbentuknya H2S dan gas. Media diamati pada 2 tempat, yaitu bagian lereng dan bagian dasar. Hasil positif bila media berwarna kuning (A=asam) pada lereng atau dasar media. Sedangkan hasil negatif bila media berwarna merah (K=alkali) pada lereng atau dasar media (Syahrurachman et al, 2010).

f. Uji Sitrat

Uji ini digunakan untuk melihat kemampuan bakteri menggunakan natrium sitrat sebagai sumber utama metabolism dan pertumbuhan. Hasil positif apabila agar sitrat yang semula berwarna hijau berubah menjadi biru yang timbul akibat suasana asam. Uji ini di gunakan untuk membantu diferensiasi Escherichia coli dan Klebsiella (Harti, 2012).


(62)

43

3.6Alur Penelitian

Gambar 3. Alur Penelitian (Ayni, 2009 ; Anonim, 2013) Urin Kateter Pasien

Uji Biokomia Pewarnaan Gram Media NA Agar Darah (Bakteri Garam +) Mac Conkey (Bakteri Gram -) Identifikasi makroskopis Gram (+) inkubasi 37oC, 24 jam

- Tes Katalase - Uji DNAse - Uji Glukosa

Gram (-) inkubasi 37oC, 24 jam

- Uji TSIA - Uji Sitrat - Uji SIM Jumlah bakteri dalam urin > 105

CFU/ml Jumlah bakteri

dalam urin < 105 CFU/ml

Inkubasi 37oC, 24 jam


(63)

44

3.7Definisi Operational

Table 3. Definisi Operational

Variabel Definisi Cara ukur Skala

Identifikasi bakteri penyebab ISK pada

urin pasien

pengguna kateter hari ke 4

Mengetahui jenis bakteri penyebab ISK

Diidentifikasi dengan pewarnaan gram dan tes biokimiawi

Kategorik

Infeksi Saluran Kemih (ISK)

Sejumlah bakteri yang terdapat dalam urin yang jumlahnya >100.000 CFU/ ml urim

CFU/ml urin kateter

Kategorik

3.8Etik Penelitian

Penelitian ini telah disetujui dan lolos kaji etik sesuai dengan Surat Keterangan Lolos Kaji Etik nomor : 2128/UM26/8/DT/2014.

3.9Penyajian Data


(64)

59

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1Kesimpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan

1. Kejadian ISK pada pasien pengguna kateter lebih banyak terjadi di ruang rawat inap kelas III di bandingkan ruang rawat inap kelas I dan II.

2. Persentasi kejadian ISK pada pasien pengguna kateter yang dirawat di ruang rawat inap kelas I,II&III masing-masing sebesar 20%, 50% dan 70%.

3. Bakteri penyebab ISK yang ditemukan pada urin pasien pengguna kateter yang di rawat diruang rawat inap kelas I, II & III RSUD Dr. H. Abdul Moeloek antara lain Staphylococcus aureus, Escerichia coli Staphylacoccus epidermidis, Pseudomonas aeroginosa, Klebsiella pneumoniae dan Proteus vulgaris.

5.2Saran

1. Bagi tenaga kesehatan diharapkan dapat lebih memperhatikan prosedur aseptik dan antiseptik pada saat pemasangan kateter.

2. Bagi instansi terkait diharapkan dapat lebih memperhatikan waktu penggunaan kateter untuk mengurangi risiko terjadinya ISK.


(65)

60

3. Bagi pasien diharapkan dapat lebih menjaga hygienitas/kebersihan pribadi untuk menurunkan risiko terjadi ISK selama periode pemakaian kateter. 4. Bagi penelitian lebih lanjut :

a. Diharapkan dapat menggunakan lebih banyak sampel untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat dan diharapkan

b. Diharapkan dapat melanjutkan uji kepekaan terhadap antibiotik pada bakteri penyebab ISK yang ditemukan.

c. Diharapkan dapat mencari faktor yang berhubungan dengan terjadi ISK pada pasien pengguna kateter


(66)

DAFTAR PUSTAKA

Adukauskene D, Kinderyte A, Tarasevecius R, Vitkauskene A. 2006. Etiology, risk factor, and outcome of unrinary track infection. Journal Mediciana (Kaunas). Article in Lithuania. 42(10): 805-9.

Anonim. 2004. Persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1204/Menkes/SK/X/2004 Depertemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan.

Anonim. 2006. Prevention of hospital-acquired infections a practical guide 2nd edition world health organization department of communicable disease, surveillance and response. Diunduh dari http://www.who.int/emc. 10 Oktorber 2014.

Anonim. 2007. Pedoman Pengendalian Infeksi di rumah sakit dan fasilitas kesehatan. Keputusan Mentri Kesehatan Nomor 381/Menkes/III/2007. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Anonim. 2010. Klasifikasi rumah sakit. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 340/Menkes/Per/III/2010.

Anonim. 2012. Pedoman teknis bangunan rumah sakit ruang rawat inap. Keputusan Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik Dan Sarana Kesehatan Direktorat Bina Upaya Kesehatan Kementrian Kesehatan RI Tahun 2012. Kementrian Kesehatan RI.

Anonim. 2012. Profil kesehatan provinsi lampung Tahun 2012. Bandar Lampung. Dinas Kesehatan Provinsi Lampung.

Anonim. 2012. Profil kesehatan provinsi sulawesi selatan 2012. Makassar. Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan.

Anonim. 2013. Data rumah sakit online. Kementrian Kesehatan RI-Direktorat

Jendral Bina Upaya Kesehatan. Diunduh dari

http://sirs.buk.depkes.go.id/rsonline/report/report_by_catrs_2013.php. 12

Desember 2014.

Anonim. 2013. Penuntun praktikum mikrobiologi blok GU. Fakulas Kedokteran Universitas Lampung. Bandar Lampung.


(67)

Ayni, T.N. 2009. Sterilitas udara ruang operasi bedah saraf RSUD DR. H. Abdul moeloek bandar lampung. (Skipsi). Lampung: Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

Balasubramanian, K.Chairman, A.J.A.Ranjit Singh, G.Alagumuthu. 2012. Isolation and identification of microbes from biofilm of Urinary catheters and antimicrobial Susceptibility evalution. APJ. Trop. Biomed. 3(5): 24-30 Benson HJ. 2007. Microbiological applications laboratory manual in general

microbiology. 11th ed. . New York. McGraw-Hill.

Black, J.M., & Hawks, J.H. (2009). Medical surgical nursing : Clinical management for positive outcomes. 8th ed. St. Louis: Elsevier

Boel, T. 2004. Infeksi saluran kemih dan kelamin. Medan. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatrea Utara.

Brooks, G. 2008. Mikrobiologi Kedokteran. Dalam: Jawetz, Melnick, &

Adleberg’s Medical Microbiology, Edisi ke−23. EGC: Jakarta.

Chandra, M.P. 2014. Pola bakteri pada urin pasien yang menggunakan kateter uretra di ruang perawatan intensif RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. (Skripsi). Manado: Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi. Colgan R, Nicolle L Mc glone A,Hooton T. 2006. Asymptomatic Bacteriuria in

Adults. Am. Fam. Phys. 74(6): 12-6.

Doughty D, Kisanga J. 2010. Regulatory guidelines for bladder management in long-term care. J. WOCN. 37(4): 399- 411

Ducel G, Fabry J, Nicolle L. 2004. Prevention of hospital-acquired infections, a practical guide. 2nd ed. Geneva: WHO Department of Communicable disease.

Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, Wilson JD, Martin JB, Kasper DL. 2008. Harrison’s principles of internal medicine. 17th ed. New York: McGraw Hill, Health ProfessionsDivision.

Gilang. 2011. Prevalensi dan identifikasi bakteri infeski saluran kemih pada pasien hari keempat pemakaan kateter kelas II dan III RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung. (Skripsi). Lampung: Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati.

Harti AS. 2012. Dasar-dasar mikrobiologi kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika Hasibuan H. 2007. Pola kuman pada urin penderita yang menggunakan kateter

uretra di ruang perawatan intensif dan bangsal bedah. Medan: Fakultas Kedokteran Universias Sumatra Utara.


(1)

60

3. Bagi pasien diharapkan dapat lebih menjaga hygienitas/kebersihan pribadi untuk menurunkan risiko terjadi ISK selama periode pemakaian kateter. 4. Bagi penelitian lebih lanjut :

a. Diharapkan dapat menggunakan lebih banyak sampel untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat dan diharapkan

b. Diharapkan dapat melanjutkan uji kepekaan terhadap antibiotik pada bakteri penyebab ISK yang ditemukan.

c. Diharapkan dapat mencari faktor yang berhubungan dengan terjadi ISK pada pasien pengguna kateter


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Adukauskene D, Kinderyte A, Tarasevecius R, Vitkauskene A. 2006. Etiology, risk factor, and outcome of unrinary track infection. Journal Mediciana (Kaunas). Article in Lithuania. 42(10): 805-9.

Anonim. 2004. Persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1204/Menkes/SK/X/2004 Depertemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan.

Anonim. 2006. Prevention of hospital-acquired infections a practical guide 2nd edition world health organization department of communicable disease, surveillance and response. Diunduh dari http://www.who.int/emc. 10 Oktorber 2014.

Anonim. 2007. Pedoman Pengendalian Infeksi di rumah sakit dan fasilitas kesehatan. Keputusan Mentri Kesehatan Nomor 381/Menkes/III/2007. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Anonim. 2010. Klasifikasi rumah sakit. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 340/Menkes/Per/III/2010.

Anonim. 2012. Pedoman teknis bangunan rumah sakit ruang rawat inap. Keputusan Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik Dan Sarana Kesehatan Direktorat Bina Upaya Kesehatan Kementrian Kesehatan RI Tahun 2012. Kementrian Kesehatan RI.

Anonim. 2012. Profil kesehatan provinsi lampung Tahun 2012. Bandar Lampung. Dinas Kesehatan Provinsi Lampung.

Anonim. 2012. Profil kesehatan provinsi sulawesi selatan 2012. Makassar. Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan.

Anonim. 2013. Data rumah sakit online. Kementrian Kesehatan RI-Direktorat Jendral Bina Upaya Kesehatan. Diunduh dari http://sirs.buk.depkes.go.id/rsonline/report/report_by_catrs_2013.php. 12 Desember 2014.

Anonim. 2013. Penuntun praktikum mikrobiologi blok GU. Fakulas Kedokteran Universitas Lampung. Bandar Lampung.


(3)

Ayni, T.N. 2009. Sterilitas udara ruang operasi bedah saraf RSUD DR. H. Abdul moeloek bandar lampung. (Skipsi). Lampung: Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

Balasubramanian, K.Chairman, A.J.A.Ranjit Singh, G.Alagumuthu. 2012. Isolation and identification of microbes from biofilm of Urinary catheters and antimicrobial Susceptibility evalution. APJ. Trop. Biomed. 3(5): 24-30 Benson HJ. 2007. Microbiological applications laboratory manual in general

microbiology. 11th ed. . New York. McGraw-Hill.

Black, J.M., & Hawks, J.H. (2009). Medical surgical nursing : Clinical management for positive outcomes. 8th ed. St. Louis: Elsevier

Boel, T. 2004. Infeksi saluran kemih dan kelamin. Medan. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatrea Utara.

Brooks, G. 2008. Mikrobiologi Kedokteran. Dalam: Jawetz, Melnick, &

Adleberg’s Medical Microbiology, Edisi ke−23. EGC: Jakarta.

Chandra, M.P. 2014. Pola bakteri pada urin pasien yang menggunakan kateter uretra di ruang perawatan intensif RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. (Skripsi). Manado: Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi. Colgan R, Nicolle L Mc glone A,Hooton T. 2006. Asymptomatic Bacteriuria in

Adults. Am. Fam. Phys. 74(6): 12-6.

Doughty D, Kisanga J. 2010. Regulatory guidelines for bladder management in long-term care. J. WOCN. 37(4): 399- 411

Ducel G, Fabry J, Nicolle L. 2004. Prevention of hospital-acquired infections, a practical guide. 2nd ed. Geneva: WHO Department of Communicable disease.

Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, Wilson JD, Martin JB, Kasper DL. 2008. Harrison’s principles of internal medicine. 17th ed. New York: McGraw Hill, Health ProfessionsDivision.

Gilang. 2011. Prevalensi dan identifikasi bakteri infeski saluran kemih pada pasien hari keempat pemakaan kateter kelas II dan III RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung. (Skripsi). Lampung: Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati.

Harti AS. 2012. Dasar-dasar mikrobiologi kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika Hasibuan H. 2007. Pola kuman pada urin penderita yang menggunakan kateter

uretra di ruang perawatan intensif dan bangsal bedah. Medan: Fakultas Kedokteran Universias Sumatra Utara.


(4)

Hooton TM, Rice JC, Bradley S, Sanjay S, Diana DC, Schaeffer AJ, Colgan R, Tambayh PA, Suzanne EG, Tenke P, Nicolle LE. 2010. Diagnosis, prevention, and treatment of catheter associated urinary tract infection in adults. ICP Guideline from the Infectious Disease Society of America, Guidelines Catheter Urinary. 4(2): 625-663.

Hughes RG. 2008. Targeting Health Care-Associated Infections: Evidence-Based Strategies. AHRQ. 4(4): 112-120

Indryan IH. 2010. Hubungan lama pemakaian kateter dengan angka bakteriuri infektif pasien rawat inap di instalasi penyakit dalam RSUD Abdul Moeleok. (Skripsi). Lampung: Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Inweregbu K, Dave J, Pittard A. 2005. Nosocomial Infection. Continuing

Education in Anaesthesia, Critical Care & Pain. Int. J. Micro. 1(1): 12-8. Jawetz E., Melnick J.L., Adelberg E.A. 2007. Mikrobiologi kedokteran. Jakarta:

EGC.

Jemmy C.S, Olivia W, John P. 2014. Pola bakteri pada urin pasien yang menggunakan kateter uretra di instalasi rawat inap RSUP Prof R. D. Kandou Manado. (Skripsi). Manado: Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi.

Jeyamohan, D. 2010. Angka prevalensi infeksi nosokomial pada pasien luka operasi pasca bedah di bagian bedah di rumah sakit umum pusat haji adam malik, medan dari bulan april sampai september 2010. (Skripsi). Medan: Universitas Sumatera Utara.

Kasmad. 2007. Hubungan Antara Kualitas Perawatan Kateter Dengan Kejadian Infeksi Nosokomial Saluran Kemih. Semarang. Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Diponegoro. 1(1): 2

Kusuma S. A. 2010. Escherichia coli. Bandung: Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran.

Lewis, S.L., Heitkemper, M.M., Dirksen, S.R., O’Brien, P.G., & Bucher, L. 2007. Medical Surgical Nursing: Assessment and Management of Clinical Problems. Int. J. Micro. 2(7): 23-7

Maki DG. 2004. Engineering out the risk for infection with urinary catheter. United State of America: Univ. Of Wisconsin Medical School.

Makic, M.B., Vonrueden, K.T., Rauen, C.A., & Chadwick, J. 2011. Evidence-Based Practice Habits: Putting More Sacred Cows Out to Pasture. Critic. Care Nurse. 31(2): 38-61.


(5)

Melisa P.C, Olivia W, Velma B. 2014. Pola bakteri pada urin pasien yang menggunakan kateter uretra di ruang perawatan intensif RSUP Prof. DR. R. D. Kandou Manado. (Skripsi). Manado: Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi.

Nandita GP. 2012. Hubungan antara gaya komunikasi pimpinan dan motivasi kerja karyawan RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar (Studi Komunikasi Organisasi). Makassar: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin.

Newman, DK., 2010. Prevention and Management of Catheter Associated UTIs. Independently. McMahon Publishing. Infectious Disease Special Edition. 13-20.

Nihi, S. 2011. Gambaran penderita infeksi nosokomial pada pasien rawat inap di RSUP DR. Wahidin Sudurohusodo tahun 2010. (Skripsi). Makassar: Fakultas Kedokteran Universitas Hassanudin.

Notoatmojo S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rinea Cipta. Parhusip. 2005. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi

Nosokomial Serta Pengendalian di BHG. UPF. Paru RS. Dr. Pirngadi/Lab. Penyakit Paru FK-USU Medan. Medan.: .E-USU Repository.

Postlethwait, Hopson. 2006. Modern biology. Texas: Holt, Rinehart and Winston. Potter, A.P. & Perry, A.G.2005. Fundamental keperawatan. Jakarta: EGC.

Purnomo, BB. 2012. Dasar-dasar urologi. Jakarta: CV Sagung Seto.

Rasheed M, M Awole. 2006. Staphylococcus epidermidis: A commensal merging as a pathogen with increasing clinical significance especially in nosocomial infections. Int. J. Micro. 3(2): 12-8

Samirah. 2006. Pola dan sensitivitas kuman di penderita infeksi saluran kemih. Ind. J. Clin. Pat. and Med. Lab. 12(3): 110-3

Smeltzer, SC & Bare, BG. (2008). Textbook of medical-surgical nursing. 8th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins

Soemarno. 2003. Isolasi dan Identifikasi Bakteri Klinik. Akademi Analisis Kesehatan Yogyakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Yogyakarta.

Spiritia, Y. 2006. Infeksi Nosokomial dan Kewaspadaan Universal. Jakarta : Yayasan Spirita.

Stevan K, Alexander, Dennis Strere, Mary Jane Niles. 2004. Laboratory Exercise in Organismal and Molecular Microbiology. USA. Mc Graw Hill.


(6)

Sukandar E. 2007. Infeksi saluran kemih pasien dewasa. Di dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Syahrurachman A, Chatim A, Triyanti MR. 2010. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta. Binarupa Aksara.

Tohamik. 2003. Nosocomial Infections In Adult Intensive Care Units. Lancet. 42(1): 112-3

Tortora GJ. Funke BR, Case CL. 2001. Microbiology: an Introduction. 7th ed. Addison Wesley Longman, Inc. California

Turner B, Dickens N (2011). Long-term Urethral Catheterisation Care. NCBI. 25(24):49-56

Willson, M. 2009. Nursing interventions to reduce the risk of catheter-associated urinary tract infection: Part 2. J. WOCN. 36(2):137-154.


Dokumen yang terkait

Karakteristik Penderita Batu Saluran Kemih (BSK) Rawat Inap Di Rumah Sakit Haji Medan Tahun 2000-2004

0 33 91

Karakteristik Penderita Batu Saluran Kemih Rawat Inap di Rumah Sakit Tembakau Deli PTP Nusantara II Medan Tahun 2006-2010

2 30 113

Karakteristik Pendrita Batu Saluran Kemih (BSK) Rawat Inap Di Rumah Sakit Haji Medan Tahun 2005-2007

1 26 105

POLA BAKTERI AEROB PENYEBAB INFEKSI LUKA POST OPERASI DI RUANG RAWAT INAP BEDAH DAN KEBIDANAN RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG

3 55 55

TINGKAT PENGETAHUAN PASIEN TENTANG HAK - HAK DALAM MENDAPATKAN PELAYANAN KESEHATAN ( Studi Pada Pasien Rawat Inap di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek, Bandar Lampung )

0 6 100

POLA RESISTENSI ANTIBIOTIK TERHADAP ISOLAT BAKTERI AEROB PENYEBAB INFEKSI LUKA OPERASI DI RUANG RAWAT INAP BAGIAN BEDAH DAN KEBIDANAN RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG

10 97 45

TINGKAT PENGETAHUAN PASIEN TENTANG HAK-HAK DALAM MENDAPATKAN PELAYANAN KESEHATAN (Studi pada pasien rawat inap pengguna Jamkesmas di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung)

0 17 100

UJI KEPEKAAN BAKTERI YANG DIISOLASI DARI URIN PENGGUNA KATETER PASIEN RUANG RAWAT INTENSIF RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK

2 15 66

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH RAWAT INAP DI RSUD Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Infeksi Saluran Kemih Rawat Inap Di RSUD Kabupaten Sukoharjo Tahun 2014.

0 3 12

HUBUNGAN PEMASANGAN KATETER DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN KEMIH PADA PASIEN DI RUANG RAWAT INAP PENYAKIT DALAM RSUDZA BANDA ACEH ipi129064

1 1 13