PENGARUH PEMBERIAN JINTAN HITAM (Nigella sativa) TERHADAP RESPON IMUN NON-SPESIFIK KAKAP PUTIH (Lates calcarifer B.) YANG DIINFEKSI VIRAL NERVOUS NECROSIS (VNN)

(1)

(2)

ABSTRACT

EFFECT OF BLACK CUMIN (Nigellasativa) ON NON-SPECIFIC IMMUNE RESPONSE ASIAN SEABASS (Latescalcarifer B.) WHICH

INFECTION VIRAL NERVOUS NECROSIS (VNN)

By

AULIA SONIDA

Asian seabass (Lates calcarifer) is one of the fish has a high economic value so

widely cultivated in Indonesia. However, asian seabass production obstracted by infectious diseases such as Viral Nervous Necrosis (VNN). Immunostimulatory is

the prevention method which. The aim of this research were to know the best dose of black cumin which can increase the non specific immune system of asian seabass injected by VNN. This research was conducted during September to October 2013 in the Laboratory National Sea Farming Development Centre (BBPBL) Lampung and in the Laboratory of Aquaculture Departmet, Faculty of Agriculture, University of Lampung. This research used four treatments (0 % black cumin/kg of feed, 2,5 % black cumin /kg of feed, 5 % black cumin/kg of feed and 7,5 % black cumin/kg of feed). Data from the calculation of total leucocyte and differential leucocyte were analyzed descriptively. The results showed that dose of 7,5 % black cumin/kg of feed is the best increase the non specific immune system of asian seabass which had been seen from the highest total leucocyte.

Key words: asian seabass, black cumin, immunostimulatory, Viral Nervous Necrosis (VNN)


(3)

ABSTRAK

PENGARUH PEMBERIAN JINTAN HITAM (Nigella sativa) TERHADAP RESPON IMUN NON-SPESIFIK KAKAP PUTIH (Lates calcarifer B.)

YANG DIINFEKSI VIRAL NERVOUS NECROSIS (VNN)

Oleh

AULIA SONIDA

Kakap putih (Lates calcarifer) adalah salah satu jenis ikan yang bernilai ekonomis

tinggi sehingga banyak dibudidayakan di Indonesia. Namun, produksi kakap putih tidak terlepas dari serangan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Viral Nervous Necrosis (VNN). Imunostimulan merupakan metode pencegahan penyakit yang lebih aman. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dosis terbaik dari pemberian jintan hitam untuk meningkatkan sistem imun non spesifik kakap putih yang diuji tantang dengan VNN. Penelitian ini dilaksanakan selama bulan September sampai Oktober 2013 di Laboratorium Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung dan di Laboratorium Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Penelitian ini menggunakan 4 perlakuan (0 % jintan hitam/kg pakan, 2,5 % jintan hitam/kg pakan, 5 % jintan hitam/kg pakan dan 7,5 % jintan hitam/kg pakan). Data hasil perhitungan total leukosit dan differensial leukosit dianalisis secara deskripsi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan dosis 7,5 % jintan hitam/kg pakan adalah dosis terbaik untuk meningkatkan sistem imun non spesifik kakap putih yang terlihat dari peningkatan total leukosit tertinggi dan uji fagositosis.

Kata kunci : ikan kakap putih, imunostimulan, jintan hitam, Viral Nervous Necrosis (VNN)


(4)

(5)

(6)

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Kerangka Pemikiran ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan kakap Putih ... 5

2.1.1 Biologi dan Taksonomi ... 5

2.1.2 Habitat dan Kebiasaan Hidup ... 6

2.1.3 Kelebihan Ikan Kakap Putih ... 7

2.2. Viral Nervous Necrosis (VNN). ... 7

2.2.1 Tipe Genom VNN ... 8

2.2.2 Penularan ... 8

2.2.3 Patogenesitas, Gejala Klinis, dan Mortalitas Ikan Kakap Putih Akibat Serangan VNN ... 9

2.2.4 Distribusi Geografis, Penanggulangan dan Dampak Perekonomian ... 10

2.3. Jintan Hitam ... 11

2.3.1. Biologi dan Taksonomi Jintan Hitam ... 11

2.3.2. Kandungan Kimia jintan Hitam ... 13

2.3.3 Manfaat Jintan Hitam ... 13

2.4. Darah Ikan ... 14

2.4.1. Plasma Darah ... 15

2.4.2. Sel Darah Merah (Eritrosit) ... 15

2.4.3 Sel Darah Putih (Leukosit) ... 16

2.5. Sistem Pertahanan Tubuh Ikan ... 17


(8)

ii

2.7. Imunostimulan ... 20

III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat ... 22

3.2 Alat dan Bahan ... 22

3.2.1 Persiapan Penelitian ... 22

A. Pengganasan VNN ... 22

B. Persiapan Wadah dan Ikan Uji ... 23

C. Pencampuran Pakan... 23

3.2.2 Tahap Pelaksanaan ... 23

A. Pemberian Imunostimulan dan Uji Tantang... 23

3.2.3 Pengamatan ... 24

A. Pengukuran Kadar Hematokrit ... 24

B. Pemeriksaan Darah ... 24

C. Uji Fagositosis ... 24

D. Analisis Kualitas Air ... 25

3.3 Desain Penelitian ... 25

3.4 Metode Penelitian ... 25

3.4.1 Persiapan Penelitian ... 25

A. Pembuatan isolat VNN ... 25

B. Persiapan Wadah dan Ikan Uji ... 26

C. Pencampuran Pakan... 27

3.4.2 Tahap Pelaksanaan ... 27

A. Pemberian Imunostimulan dan Uji Tantang... 27

3.4.3 Pengamatan ... 28

A. Pengukuran Kadar Hematokrit ... 28

B. Pemeriksaan Darah ... 28

C. Uji Aktivitas Fagositosis ... 30

D. Perhitungan Relative Percent Survival (RPS) ... 32

E. Pengukuran Kualitas Air... 32

3.5 Analisis Data... 32

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Pengamatan ... 33

4.1.1 Pengukuran Kadar Hematokrit ... 33

4.1.2 Pemeriksaan Darah... 36

A. Total Leukosit ... 36

B. Diferensial Leukosit ... 40

1. Monosit ... 40

2. Limfosit ... 43

3. Neutrofil... 45

4.1.3. Uji Aktivitas Fagositosis ... 48

4.1.4. Relative Percent Survival (RPS) ... 50

4.1.5. Analisis Kualitas Air ... 52 V. KESIMPULAN DAN SARAN


(9)

iii

5.1. Kesimpulan ... 54 5.2. Saran ... 54 DAFTAR PUSTAKA


(10)

I. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Ikan kakap putih/ Asian seabass/ Barramundi (Lates calcarifer B.) merupakan ikan yang cukup dikenal saat ini baik di dalam maupun di luar negeri (Thorne, 2002; Bromage, 2004; Philipose et al., 2010). Ikan kakap putih banyak

dibudidayakan di Indonesia karena mempunyai nilai ekonomis yang tinggi (Utojo, 1995; Indarjo et al., 2000; Maeno et al., 2004), memiliki kisaran toleransi

fisiologis yang cukup luas, fekunditas tinggi dan pertumbuhan yang cukup cepat (FAO, 2007; Philipose et al., 2010; McGrouther, 2012). Namun, usaha budidaya ikan kakap putih tidak terlepas dari berbagai masalah seperti serangan penyakit infeksi. Salah satunya adalah penyakit yang disebabkan oleh virus, yaitu Viral Nervous Necrosis (VNN). Gejala yang biasa timbul pada ikan yang terserang

VNN adalah ikan berwarna pucat, berenang membentuk spiral, kembung, terbentuknya vakuola di sel-sel otak dan sumsum tulang belakang (FAO, 2007; Kueh, 2012).

Saat ini penggunaan bahan-bahan alami seperti obat herbal yang berfungsi sebagai imunostimulan mulai marak di masyarakat, hal ini timbul karena kesadaran akan efek samping dari penggunaan bahan-bahan kimia dan obat-obatan. Penggunaan imunostimulan yang lebih ramah lingkungan dapat menciptakan budidaya


(11)

2

perikanan yang berkelanjutan. Imunostim ulan merupakan bahan yang mampu meningkatkan mekanisme non spesifik ikan. Peningkatan respon kekebalan ikan yang diberi imunostimulan dapat terjadi melalui peningkatan populasi dan jumlah leukosit, aktivitas fagosit, dan titer antibodi (Anderson, 1992). Jintan hitam merupakan salah satu imunostimulan yang berpotensi sebagai ekstrak anti-viral

(Salem, 2005).

Penelitian yang dilakukan oleh El-Tahir dan Bakeet (2006) telah membuktikan bahwa jintan hitam mengandung minyak atsiri yang secara signifikan mampu menekan pertumbuhan virus. Penelitian lain yang dilakukan oleh Saad et al. (2013) menunjukan pemberian ekstrak jintan hitam mampu meningkatkan persentase limfosit dan monosit secara signifikan yang berperan dalam sistem imun pada ikan kakap yang diberikan vaksin bakteri Pseudomonas fluorescence.

Berdasarkan hasil penelitian di atas diharapkan pemberian ekstrak jintan hitam sebagai imunostimulan juga mampu meningkatkan sistem imun pada ikan kakap putih yang diuji tantang dengan virus VNN. Peningkatan sistem imun pada ikan kakap putih menggunakan imunostimulan dari ekstrak jintan hitam diharapkan dapat menjadi upaya pencegahan dan penggulangan penyakit VNN yang efektif dan aman bagi lingkungan.

1.2Kerangka Pemikiran

Viral Nervous Necrosis (VNN) merupakan penyakit yang berasal dari genus Betanodavirus (Barja, 2004; Moody dan Horwood, 2008; Yanong dan VMD, 2010; OIE, 2012). Virus ini teridentifikasi pada beberapa jenis ikan air laut salah


(12)

3

satunya adalah ikan kakap putih (Chi et al., 2005). Penyakit ini, sesuai dengan namanya Viral Nervous Necrosis (VNN) menunjukkan kerusakan saraf dalam

sistem saraf pusat dan retina ikan kakap putih yang terserang (Kueh, 2012).

Dampak negatif dari VNN terhadap sistem budidaya ikan kakap putih mengakibatkan menurunnya status kesehatan ikan hingga menyebabkan kematian mencapai 50 hingga 100% dalam tahap larva dan persentase semakin rendah seiring pertambahan usia ikan (Barja, 2004), dan pada akhirnya akan mengakibatkan menurunnya kualitas dan kuantitas produk budidaya yang dihasilkan. Hal itulah yang akan berimbas kepada menurunnya produksi serta kerugian secara ekonomi (Utojo, 1995). Oleh karena itu untuk menanggulangi penyakit tersebut diperlukan adanya upaya pencegahan yang aman bagi ikan, manusia, dan lingkungan salah satunya menggunakan imunostimulan. Imunostimulan menjadi salah satu cara yang efektif untuk mencegah terjadinya penyakit pada ikan dengan meningkatkan sistem imun.

Sistem imun terbagi menjadi sistem imun alamiah (innate immunity) yang bersifat non spesifik dan imun adaptif (adaptive immunity) yang bersifat spesifik. Imunitas

adaptif atau spesifik dibedakan lagi menjadi dua, yaitu imunitas humoral (antibody-mediated): Sel B dan imunitas seluler (cell-mediated): CD4+ (helper)

dan CD8+ (cytolytic/cytotoxic) T cells. Sistem imun alamiah terdiri atas sel-sel

non spesifik, yaitu: granulosit, sel Natural Killer (NK), dan DC (Salem, 2005). CD8+ (cytolytic/cytotoxic) T cells dan sel NK adalah sel-sel yang berperan dalam

proses penghancuran sel inang yang telah terinfeksi oleh virus (Madigan dan Martinko, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Salem (2005) menunjukkan


(13)

4

jintan hitam dapat meningkatkan rasio CD8+ sel Tc sebesar 55% dan rasio sel NK sekitar 30%. Hal ini sesuai dengan pendapat Dorucu et al. (2009) yang

menjelaskan bahwa ekstrak jintan hitam mampu meningkatkan sel T cytolytic

(CD8 +). Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian untuk meningkatkan sistem imun kakap putih yang distimulasi dengan jintan hitam untuk menanggulangi infeksi VNN.

1.3Tujuan penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan dosis terbaik jintan hitam yang untuk meningkatkan respon imun non spesifik ikan kakap putih yang diuji tantang dengan VNN.

1.4Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai efektivitas jintan hitam dalam meningkatkan imunitas ikan kakap putih terhadap penyakit VNN.


(14)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Kakap Putih 2.1.1 Biologi dan Taksonomi

Ikan kakap putih memiliki badan yang memanjang dan pipih terlihat pada Gambar 1, memiliki mulut yangbesar, agak miring (Tarwiyah, 2001; FAO, 2007), rahang atas melewati belakang mata, tidak memiliki gigi taring. Tepi bawah pre-operkulum ikan kakap putih terbentuk dari tulang keras (FAO, 2007; Tim Penyusun Modul Penyuluh Perikanan, 2011). Sirip dorsal kakap putih terdiri dari 7-9 jari-jari keras dan 10-11 jari-jari lemah, sirip anal bulat, dengan 3 jari-jari keras dan 7-8 jari-jari lunak, sirip ekor membulat (FAO, 2007). Tubuh kakap putih berwarna coklat zaitun atau hijau/biru di atas, dengan sisi tubuh dan perut berwarna perak, tidak ada corak bintik-bintik atau bar pada sirip dan badan (FAO, 2007; Tim Penyusun Modul Penyuluh Perikanan, 2011). Spesies ini dapat tumbuh hingga sepanjang 1,2 m dengan berat tubuh mencapai 60 kg (FAO, 2007; McGrouther, 2012).


(15)

6

Gambar 1. Kakap putih: (A) Sirip Dorsal, (B) Sirip Caudal, (C) Sirip Pectoral, (D) Sirip Ventral, (E) Sirip Anal, (F) Mata, (G) Mulut.

Oleh McGrouther (2012) ikan kakap putih diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Actinopterygii Ordo : Perciformes

Famili : Latidae Genus : Lates

Spesies : L. Calcarifer

2.1.2 Habitat dan Kebiasaan Hidup

Ikan kakap putih merupakan ikan yang bersifat katadrom yang terdistribusi secara luas di wilayah Pasifik Indo Barat dari Teluk Persia, seluruh negara-negara Asia Tenggara ke Australia. Ikan kakap putih adalah ikan yang mempunyai toleransi yang cukup besar terhadap kadar garam (euryhaline) (Tarwiyah,2001), sehingga dapat dibudidayakan di KJA, tambak dan kolam air tawar di banyak negara Asia Tenggara (Philipose, 2010). Kakap putih tinggal di habitat laut, tawar, payau termasuk sungai, danau, muara dan perairan pesisir. Kakap putih adalah predator

E G

F

D C

A


(16)

7

oportunistik, krustasea dan ikan rucah menjadi makanan favorit ikan kakap dewasa (Utojo, 1995; FAO, 2007).

2.1.3 Kelebihan Ikan Kakap Putih

Kakap putih juga memiliki kisaran toleransi fisiologis yang cukup luas, memiliki fekunditas dan pertumbuhannya cukup cepat sehingga siap dipanen dengan ukuran 350gr - 3kg dalam waktu 6 - 24 bulan (FAO, 2007; McGrouther, 2012).

2.2 Viral Nervous Necrosis (VNN)

Penyakit Viral Encephalopathy and Retinopathy (VER) juga disebut Viral Nervous Necrosis (VNN), disebabkan oleh kelompok piscine nodaviruses yang

termasuk dalam family Nodaviridae, genus Betanodavirus (Barja, 2004; Moody dan Horwood, 2008; Yanong dan VMD, 2010; OIE, 2012). Nodavirus adalah virus RNA beruntai tunggal terkecil (berdiameter 25-34 nm) yang pernah menginfeksi ikan. Berbentuk icosahedral, single coat protein dan bi-segmented genome (Barja, 2004; Moody dan Horwood, 2008; OIE, 2012). Genom terdiri dari

dua molekul positif-sense ssRNA: RNA1(3,1 kb) dikodekan replikase (110 kDa) dan RNA2 (1,4 kb) dikodekan coat protein (42 kDa). (OIE, 2003; Barja, 2004;

Chi et al., 2005; Moody dan Horwood, 2008).

2.2.1 Tipe Genom VNN

Virus ini teridentifikasi pada beberapa ikan yang terinfeksi diantaranya: striped jack, kakap putih, dan seabass Eropa (Chi et al., 2005). Studi imunologi pertama


(17)

8

kalinya mengidentifikasi VNN pada pemurnian jaringan otak larva striped jack

yang terserang penyakit sehingga disebut Striped Jack Nervous Necrosis Virus

(SJNNV), studi ini telah menunjukkan hubungan antara SJNNV (jenis spesies dari genus Betanodavirus) dengan Betanodavirus lainnya (Chi et al., 1997; OIE,

2012). Klasifikasi genom Betanodaviruses telah menunjukkan kekerabatan dekat

pada beberapa kelompok utama, yaitu: Striped Jack Nervous Necrosis Virus

(SJNNV)-type, Tiger Puffer Nervous Necrosis Virus (TPNNV)-type, Barfin Flounder Nervous Necrosis Virus (BFNNV)-type dan Red-Spotted Grouper Nervous Necrosis Virus (RGNNV)-type (Moody dan Horwood, 2008; OIE, 2012).

2.2.2. Penularan

Sumber air yang berasal dari alam merupakan salah satu penyebab dari infeksi VNN yang terjadi pada suatu populasi ikan budidaya, sementara distribusi benih yang terinfeksi merupakan penyebab umum tersebarnya virus ke dalam suatu lingkungan budidaya (OIE, 2012). Masih sedikit informasi yang diketahui tentang siklus hidup Betanodaviruses karena perbedaan hasil dari beberapa

penelitian yang telah dilakukan, virus kemungkinan menyerang inang melalui epitel usus dan sistem saraf peripheral, selanjutnya virus segera mencapai

jaringan saraf pusat (Barja, 2004; OIE, 2012), dimana ia dapat menyebabkan kematian inang atau hanya menetap selama beberapa lama di ikan (OIE, 2012). Ikan yang mati membusuk dapat menyebarkan virus secara horisontal di lingkungan perairan hingga mencapai vektor biologis lainnya. Selain itu ikan yang sakit dapat dengan mudah dimangsa oleh predator, sehingga kemungkinan predator tersebut terinfeksi atau juga virus dapat menyebar melalui kotoran yang


(18)

9

terkontaminasi dari ikan-ikan yang mati membusuk tersebut (OIE, 2012). Penularan secara vertikal merupakan rute transmisi utama dalam kasus ini, induk menjadi sumber virus, yang ditransmisikan ke larva melalui telur yang dibuahi (Barja, 2004; OIE, 2012;).

2.2.3 Patogenesitas, Gejala Klinis, dan Mortalitas Ikan Kakap Putih Akibat Serangan VNN.

Betanodavirus sangat tahan dalam lingkungan perairan dan dapat bertahan untuk

waktu yang lama di dalam air laut pada suhu rendah, sedangkan pada suhu 25°C atau lebih tinggi, tingkat kelangsungan hidupnya secara signifikan mulai terpengaruh. Dalam ikan beku virus dapat bertahan untuk waktu yang lama dan mungkin merupakan resiko potensial jika ikan mentah digunakan untuk memberikan makan ikan budidaya. Di luar lingkungan air, Betanodavirus

kehilangan cytopathogenicity dengan sangat mudah. Dalam kondisi pengeringan

> 99% pada suhu 21°C, inaktivasi terjadi setelah periode 7 hari (OIE, 2003). Penyakit ini, sesuai dengan namanya Viral Nervous Necrosis (VNN)

menunjukkan vakuolisasi sel dan degenerasi saraf dalam sistem saraf pusat dan retina. Oleh karena itu, ikan yang terinfeksi menunjukkan kehilangan keseimbangan, kegagalan kontrol otot dan disfungsi visual (Barja, 2004).

Gejala ikan yang terserang virus ini berbeda menurut umurnya, pada umur 45 hari sampai 4 bulan akan terlihat ikan berdiam di dasar, berenang terbalik dan berputar-putar, gerakannya lemah dan kadang-kadang menyentak seperti tanpa


(19)

10

kendali, serta nafsu makan menurun drastis, biasanya 3-5 hari setelah adanya gejala klinis ikan akan mati (Chi et al., 2005). Diagnosis dugaan infeksi VNN

dapat dibuat atas dasar penampilan mikroskopis cahaya dari otak, sumsum tulang belakang atau retina (Barja, 2004). Penyakit ini menyebabkan mortalitas mulai dari 50 hingga 100% dalam tahap larva, tetapi persentase ini berkurang sesuai dengan pertambahan usia ikan (Barja, 2004).

2.2.4 Distribusi geografis, Penanggulangan dan Dampak Perekonomian

Penyakit ini telah resmi dilaporkan di berbagai negara. Termasuk negara-negara di Asia Selatan (Iran), Asia Timur (Republik Rakyat Cina, Jepang, Taiwan, Korea) dan Asia Tenggara (India, Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Vietnam), Oceania (Australia, Tahiti), Mediterania (Perancis, Yunani, Israel, Italia, Malta, Portugal, Spanyol, Tunisia), Inggris, Norwegia, Karibia dan Amerika Utara (Kanada, Amerika Serikat). Selanjutnya dugaan kematian yang disebabkan oleh Betanodaviruses telah dilaporkan dalam kasus kematian ikan

kerapu di alam sepanjang pantai Senegal dan Libya (Chi et al., 2005; OIE, 2012).

Kerugian ekonomi yang diderita oleh para pembudidaya diakibatkan oleh mortalitas yang terjadi pada populasi kakap putih, mortalitas biasanya tergantung pada umur ikan. Kasus kematian tertinggi terjadi ketika stadia larva mencapai 100% sehingga sangat merugikan petani budidaya kakap putih, sedangkan pada stadia juvenil dan dewasa kerugian yang terjadi umumnya sudah mulai menurun (OIE, 2003; Barja, 2004).


(20)

11

Penanggulangan yang biasa dilakukan dengan menggunakan disinfektan umum seperti Natrium Hipoklorit, Yodium, Hidrogen Peroksida, OTC (Oxy Tetra Cyklin) dan Benzalkonium Klorida sangat berguna untuk menonaktifkan

Betanodaviruses. Ozonisasi juga telah digunakan untuk menghindari atau

mengurangi kontaminasi virus pada permukaan kulit telur, dan air yang terkontaminasi virus dapat secara efektif disterilkan oleh paparan UV (OIE, 2012; Amelia dan Prayitno, 2012).

2.3 Jintan Hitam

2.3.1 Biologi dan Taksonomi Jintan Hitam

Tanaman jintan hitam (Nigella sativa) merupakan salah satu spesies dari genus

Nigella yang memiliki kurang lebih 14 spesies tanaman yang termasuk dalam famili Ranunculaceae. Tanaman ini berasal dari Eropa Selatan, Afrika Utara, dan

Asia Selatan (Sirat et al.,2001). Jintan hitam adalah tanaman semak yang memiliki ketinggian ± 30 cm. Penyebaran tanaman ini mulai dari daerah Levant di Mediterania Timur hingga ke Samudra Indonesia berperan sebagai gulma semusim dengan keanekaragaman yang kecil. Budidaya jintan hitam dilakukan dengan biji (Hutapea, 1994).

Jintan hitam memiliki kelopak bunga kecil, berjumlah lima, berbentuk bulat telur, ujungnya agak meruncing sampai agak tumpul, pangkal mengecil membentuk sudut yang pendek dan besar. Bunga jintan hitam merupakan bunga majemuk dan berbentuk karang (Hutapea, 1994; Sirat et al., 2001). Mahkota bunga pada umumnya berjumlah delapan, berwarna putih kekuningan, agak memanjang, lebih


(21)

12

kecil dari pada kelopak bunga, berbulu jarang dan pendek. Tanaman ini berdaun lonjong dengan panjang 1,5-2 cm, berdaun tunggal dengan ujung dan pangkalnya runcing dan berwarna hijau. Kelopak bunga berjumlah lima dengan ukuran kecil, berbentuk bulat dan ujungnya agak meruncing (Hutapea, 1994). Buah jintan hitam seperti polong, bulat panjang, dan coklat kehitaman. Bijinya kecil, bulat, hitam, jorong bersusut tiga tidak beraturan dan sedikit berbentuk kerucut, panjang 3 mm, serta berkelenjar (Hutapea, 1994; Sirat et al., 2001). Sirat et al. (2001)

mengklasifikasikan jintan hitam (N. sativa) sebagai berikut: Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Ranunculales

Famili : Ranunculaceae Genus : Nigella

Spesies : N. Sativa

2.3.2 Kandungan Kimia Jintan Hitam

Biji dan daun jintan hitam mengandung saponin dan polifenol (Hutapea, 1994). Kandungan kimia jintan hitam adalah minyak atsiri, melantin (saponin), nigelin (zat pahit), zat samak, nigelon, tymoquinone. Kandungan jintan hitam (N. sativa) antara lain minyak volatil yang berwarna kuning (0,5-1,6%), minyak campuran (35,6-41,6%), protein (22,7%), asam amino, gula reduksi, alkaloid, asam organik, tanin, resin, glukosida, toksik, metarbin, serat, mineral, vitamin, thiamin, niasin, piridoksin, asam folat.


(22)

13

Tabel 1. Komposisi biji jintan hitam

Komposisi Jumlah (mg/100g)

Air 6,4 ± 0,15

Lemak 2,0 ± 0,54

Serat Kasar 6,6 ± 0,69

Protein 20,2 ± 0,82

Abu 4,0 ± 0,29

Karbohidrat 37,4 ± 0,87 Sumber : Nergiz dan Ötles (1993)

Biji jintan hitam juga mengandung logam yang berjumlah sekitar 1.510,8mg/100g biji dan mengandung asam lemak tak jenuh dalam jumlah yang cukup banyak.

2.3.3 Manfaat Jintan Hitam

Sugindro et al. (2008) dan Sirat et al. (2009) mengemukakan penggunaan biji

jintan hitam pada pengobatan tradisional membuat beberapa peneliti mengekstraksi komponen aktifnya dan melakukan studi in vitro dan in vivo pada

hewan dan manusia untuk mengetahui aksi farmakologinya. Hal ini meliputi imunostimulan, anti histamin, antiinflamasi, antikanker, analgesik, anti mikroba, anti parasit, anti oksidan, efek hipoglikemi dan sebagainya (Sugindro et al., 2008).

Jintan hitam umumnya digunakan di Timur Tengah sebagai obat tradisional untuk memperbaiki berbagai kondisi kesehatan manusia (Sirat et al. 2009). Biji jintan

hitam berkhasiat sebagai obat cacing (Hutapea 1994).

Beberapa kegunaan jintan hitam menurut El-tahir dan Bakeet (2006) adalah sebagai berikut :

a. Memperkuat sistem kekebalan tubuh dari serangan virus dan bakteri. Salah satu khasiat yang telah teruji untuk sistem kekebalan tubuh adalah jintan hitam dapat meningkatkan jumlah sel limfosit dan monosit.


(23)

14

b. Mempertahankan tubuh dari serangan kanker dan HIV. c. Sebagai Anti Histamin dan Anti Alergi.

2.4 Darah Ikan

Darah ikan tersusun dari sel-sel darah yang tersuspensi dalam plasma dan diedarkan ke seluruh tubuh melalui sistem sirkulasi tertutup. Volume darah yang beredar dalam tubuh ikan teleostei berkisar antara 1,5 – 3% dari bobot tubuhnya. Sel darah ikan diproduksi di dalam jaringan hematopoietik yang terletak di ujung anterior ginjal, limfa dan tymus (Affandi dan Tang 2002). Darah tersusun atas cairan darah (plasma darah) dan elemen-elemen seluler (sel-sel darah) (Clauss et al., 2008; Dikic et al., 2013). Adapun sel darah terdiri dari sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit) dan keping darah (trombosit).

2.4.1 Plasma Darah

Plasma darah terdiri dari air, garam-garam anorganik (natrium klorida, natrium bikarbonat dan natrium fosfat), protein (albumin 60%, globulin 35% dan fibrinogen 5%), lemak (dalam bentuk lesitin dan kolesterol) serta zat-zat lain seperti hormon, vitamin, dan enzim. Total protein plasma didefinisikan sebagai jumlah total protein yang terdapat dalam plasma darah meliputi 60 % albumin, 35 % globulin, dan 4% fibrinogen (Moyle dan Cech, 2004). Albumin memiliki fungsi dalam transportasi ion, molekul, nutrisi, hormon dan sisa metabolisme, fibrinogen berfungsi untuk menggumpalkan darah saat terjadi luka, dan globulin


(24)

15

berperan dalam sistem kekebalan. Dengan demikian dapat diketahui plasma darah juga memiliki fungsi yang cukup penting dalam tubuh ikan.

2.4.2 Sel Darah Merah (Eritrosit)

Sel darah merah (eritrosit) ikan mempunyai inti, umumnya berbentuk bulat dan oval, berdiameter 7-36 µm bergantung pada jenis ikannya. Inti sel eritrosit terletak sentral dengan sitoplasma terlihat jernih kebiruan dengan pewarnaan giemsa. Eritrosit dibuat di organ ginjal terutama ginjal anterior dan limfa. Jumlah eritrosit berkisar antara 20.000 – 3.000.000 sel/mm3. Eritrosit memiliki jangka hidup yang cukup lama yaitu sekitar 120 hari. Hematologi mempunyai peranan penting untuk menjadi alat pemonitor kesehatan dan perkembangan ikan (Dorucu

et al., 2009; Saglam dan Yonar, 2009). Salah satu parameter yang berpengaruh

terhadap pengukuran volume eritrosit/sel darah merah adalah hematokrit.

2.4.3 Sel Darah Putih (Leukosit)

Sel darah putih (leukosit) ikan merupakan bagian dari sistem pertahanan tubuh yang bersifat non spesifik. Leukosit pada ikan diproduksi di dalam organ ginjal dan limfa. Jumlah leukosit lebih sedikit dibandingkan dengan sel darah merah. Sel leukosit berjumlah antara 20.000 – 150.000 dalam tiap mm3 darah (Lestari et al.,

2012; Noercholis et al., 2013). Leukosit ikan terdiri agranulosit dan granulosit. agranulosit terdiri dari limfosit dan monosit, sedangkan granulosit terdiri dari basofil, neutrofil dan eosinofil (Iwama dan Nakanishi, 1996).


(25)

16

a. Monosit

Monosit merupakan jenis leukosit agranulosit (Clauss et al. 2008). Monosit pada

ikan dihasilkan di ginjal dan limfa (Moyle dan Cech, 2004). Monosit dapat bertahan selama 24-36 jam di dalam sirkulasi darah. Monosit yang telah meninggalkan sirkulasi darah akan mengalami perubahan dan selanjutnya akan menetap di jaringan sebagai makrofag (macro: besar dan phagen: makan), di dalam jaringan makrofag dapat menghasilkan sel sejenis lebih banyak. Makrofag merupakan sel fagosit mononuklear yang utama di jaringan dalam proses fagositosis terhadap mikroorganisme dan benda asing lainnya (Iwama dan Nakanishi, 1996).

b. Limfosit

Limfosit mampu menerobos jaringan atau organ tubuh yang lunak karena menyediakan zat kebal untuk pertahanan tubuh (Uribe et al., 2011). Pada ikan

teleost, limfosit diproduksi di organ timus, limfa dan ginjal (Moyle dan Cech, 2004). Limfosit merupakan jenis sel leukosit yang paling dominan di dalam populasi leukosit pada ikan. Limfosit terbagi menjadi 3 kelas: sel B, sel T dan sel NK (Natural killer). Sel B berperan untuk menghasilkan antibodi, sel NK dan sel T berperan dalam respon imun. Sel T sendiri terbagi lagi menjadi 2, yaitu (T

helper (Th)/CD4+ dan T cytolytic/cytotoxic (Tc)/CD8+. Limfosit memiliki waktu hidup yang cukup lama, bertahun-tahun untuk sel memori (sel B) dan berminggu-minggu untuk sel lainnya. Limfosit menunjukkan heterogenisitas yang sangat tinggi dalam morfologi dan fungsinya, karena sifatnya yang aktif dan mempunyai kemampuan berubah bentuk dan ukuran (Uribe et al., 2011).


(26)

17

c. Neutrofil

Neutrofil merupakan sel fagosit sistem polymorphonuklear. Sel ini bekerja cepat dalam melakukan fagosit tetapi tidak mampu bertahan lama (Suhermanto et al., 2011) ±10 jam. Neutrofil merupakan sel yang pertama kali merespon terjadinya infeksi oleh benda asing yang masuk ke dalam tubuh ikan (Summers et al., 2010).

Penurunan kadar neutrofil di dalam tubuh ikan disebut neutropenia. Satu sel neutrofil dapat memfagosit 5 – 20 bakteri sebelum kemudian tidak aktif (Suhermanto et al., 2011). Sel ini bekerja cepat dalam melakukan fagosit tetapi tidak mampu bertahan lama (Suhermanto et al., 2011) ±10 jam. Neutrofil di

produksi di dalam ginjal dan limfa.

2.5 Sistem Pertahanan Tubuh Ikan

Imunitas adalah suatu mekanisme kemampuan tubuh organisme untuk bertahan dari serangan infeksi benda asing (Madigan dan Martinko, 2006). Sistem imun pada organisme vertebrata dapat melindungi tubuhnya dari patogen, seperti : virus, bakteri, fungi, dan parasit (Alifuddin, 2002). Secara umum sistem imun ikan terbagi menjadi sistem pertahanan alami/nonspesifik/innate immunity dan pertahanan adaptif /spesifik/adaptive immunity yang bersifat spesifik

(Magnadóttir, 2006; Uribe et al., 2011).

Imunitas adaptif atau spesifik dibedakan lagi menjadi dua, yaitu imunitas humoral (antibody-mediated): Sel B dan imunitas seluler (cell-mediated): CD4+ (helper) dan CD8+ (cytolytic/cytotoxic) T cells (Salem, 2005). Sistem imun non spesifik


(27)

18

Komponen utama yang termasuk kedalam sistem imun non spesifik menurut Magnadóttir (2006), meliputi:

a. Komponen fisik, meliputi: kulit/epidermis, sisik pada ikan bersisik, dan

mucus/lendir.

b. Komponen seluler, meliputi: fagosit (granulosit/neutrofil, monosit/makrofag), Natural Killer cell (NK), sel epitel, dan sel dendrit. c. Komponen humoral, meliputi cairan yang dapat menghambat

pertumbuhan patogen seperti lektin, transferin, interferon, cytokine, chemokines, antibodi alami (anti-TNP/DNP antibody activity), antibacterial peptides; dan molekul pelarut enzim lytic (lisozim, kitinase,

ACP), Protease (α2-macroglobulin).

2.6 Aktivitas Fagositosis

Fagositosis merupakan salah satu proses yang sangat penting bagi hewan poikilotermal seperti ikan, hal ini dikarenakan proses tersebut tidak terlalu dipengaruhi oleh suhu. Aktifitas fagositosis dalam penelitian ini dianalisis secara deskriptif dan dihitung dalam persen (%). Iwama dan Nakanishi (1996); Madigan dan Martinko (2006) menyatakan, proses fagositosis terdiri dari 4 tahap yaitu:

1. Kemotaksis

Pertama-tama sel neutrofil dan monosit/makrofag bergerak ketempat infeksi sebagai respon terhadap berbagai faktor yang dihasilkan oleh mikroorganisme atau benda asing lainnya yang menginfeksi tubuh ikan.


(28)

19

Selanjutnya akan terjadi proses perlekatan membran plasma neutrofil dan monosit/makrofag dengan permukaan mikroorganisme atau benda asing lainnya (Penangkapan). Sel-sel tersebut dapat dengan mudah memfagosit benda asing jika benda asing tersebut terlapisi lebih dulu dengan protein plasma tertentu yang mempermudah adhesi. Proses pelapisan ini disebut opsonisasi dan proteinnya disebut opsonin yang berupa komponen sistem komplemen dan molekul antibodi.

3. Ingesti (Penelanan)

Proses penelanan mikroorganisme atau benda asing lainnya terjadi dengan cara sel neutrofil dan monosit/makrofag membentuk tonjolan pseudopodi pada membran plasmanya, kemudian membentuk kantung yang disebut fagosom (vakuola fagositik) yang mengelilingi dan mengurung benda asing pada saat dimakan.

4. Degranulasi

Selanjutnya fagosom akan masuk ke dalam sitoplasma, dan akan mengalami fusi dengan lisosom dan membentuk fagolisosom, sehingga terjadi penghancuran/ pembunuhan mikroorganisme atau benda asing lainnya oleh enzim lisosom pada fagolisosom.

Selain dalam proses penghancuran antigen sel monosit/makrofag juga berperan dalam mekanisme penyajian antigen (antigen presenting cells) untuk

menstimulasi respon sel limfosit. Mikroorganisme atau benda asing lainnya yang difagosit, lalu diproses dan dipresentasikan sebagai peptide antigen yang berasosiasi dengan molekul MHC kelas II pada permukaan sel fagosit. Presentasi antigen kepada sel limfosit (T-helper) menyebabkan terjadinya sekresi berbagai


(29)

20

antibodi (Iwama dan Nakanishi, 1996; Raa, 2000; Madigan dan Martinko, 2006; Uribe et al., 2011).

2.7 Imunostimulan

Imunostimulan merupakan senyawa kimia, obat atau bahan lainnya yang mampu meningkatkan mekanisme respon imunitas ikan, baik seluler maupun humoral (Alifuddin, 2002). Berbeda dengan vaksin, imunostimulan tidak direspon ikan dengan mensintesis antibodi, melainkan dengan peningkatan aktivitas dan reaktivitas sel pertahanan seluler ataupun humoral (Alifuddin, 2002; Uribe et al.,

2011). Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan jintan hitam efektif dalam proses peningkatan sistem imun ikan baik secara Innate maupun

adaptive.

Penelitian yang dilakukan oleh Saad et al. (2013) menunjukan pemberian ekstrak

jintan hitam mampu meningkatkan persentase limfosit dan monosit secara signifikan yang berperan dalam sistem imun pada ikan kakap yang diberikan vaksin bakteri Pseudomonas fluorescence. Penelitian lain yang dilakukan oleh

Salem (2005) menunjukkan jintan hitam dapat menghasilkan stimulatory effect,

yaitu meningkatkan proses perubahan CD4+/ helper T cell (sel Th) menjadi

CD8+/cytotoxic T cell (sel Tc) dan meningkatkan fungsi Natural killer cell/ sel NK yang berperan dalam proses penghancuran sel-sel yang terinfeksi patogen intraseluler seperti virus. Peningkatan rasio CD8+ sel Tc sebesar 55% dan rasio sel NK sekitar 30% (Salem, 2005).


(30)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai dengan Oktober 2013 di Laboratorium Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung dan juga di Laboratorium Budidaya Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

3.2Alat dan Bahan

3.2.1 Persiapan Penelitian A. Pengganasan VNN

Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam persiapan penelitian adalah sebagai berikut:

a. Alat : autoklaf, mortar, cool box, ice pack, ember, aerasi, tabung reaksi. b. Bahan : spuit dengan needle 26G ukuran 1 ml (ThermoTM), mikrotube,

PBS, ikan kerapu tikus yang terserang VNN, alkohol 70%, masker, sarung tangan, millipore (ThermoTM) 0,45 µm, ikan kakap putih.


(31)

22

B. Persiapan Wadah dan Ikan Uji

Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam persiapan penelitian adalah sebagai berikut:

a. Alat : bak ukuran 45x30x35cm 4 buah (4 perlakuan dengan 5 kali ulangan), aerator, selang aerasi, dan batu aerasi.

b. Bahan : ikan kakap putih putih dengan bobot sekitar15 gr sebanyak 60 ekor, dan pakan buatan (pellet Megami®) terapung.

C.Pencampuran Pakan

Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam pencampuran pakan adalah sebagai berikut:

a. Alat : timbangan digital dan spatula.

b. Bahan : pakan buatan (pellet Megami®), kapsul habatussauda//jintan hitam (HPATM) dan putih telur (binder).

3.2.2 Tahap Pelaksanaan

A. Pemberian Imunostimulan dan Uji Tantang

Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam pemberian vaksin dan Imunostimulan adalah sebagai berikut:

a. Alat : spuit dengan needle 26 Gukuran 1 ml (ThermoTM).

b. Bahan : pakan buatan (PelletMegami®), kapsul habatussauda/jintan hitam (HPATM), dan virus VNN.


(32)

23

3.2.3 Pengamatan

A. Pengukuran Kadar Hematokrit

Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam pemeriksaan darah adalah sebagai berikut:

a. Alat : tabung hematokrit dengan heparin, sentrifuse b. Bahan : lilin, darah ikan kakap putih

B. Pemeriksaan Darah

Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam pemeriksaan darah adalah sebagai berikut:

a. Alat : spuit dengan needle 26 Gukuran 1 ml, tabung eppendorf,

haemocytometer, kaca penutup, pipet tetes, mikroskop, baki,

spidol, dan gelas objek.

b. Bahan : larutan EDTA 10%, metanol, larutan turk, aquades, dan minyak imersi.

C. Uji Fagositosis

a. Alat : spuit 1 ml, refrigerator, microdilution plate, mikropipet, eppendorf, dan sentrifuge.

b. Bahan : ikan kakap putih yang akan diambil sampel darahnya (serum darah), PBS (phospat buffer saline) dan antigen-O Vibrio alginolyticus.


(33)

24

D. Analisis Kualitas Air

Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam pengamatan analisis kualitas air adalah sebagai berikut:

a. Alat : termometer, pH meter, refraktometer dan DO meter b. Bahan : sampel air bak pemeliharaan ikan kakap putih.

3.3Desain Penelitian

Penelitian ini terdiri dari 4 perlakuan. Perlakuan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:

Perlakuan A : Tanpa diberi jintan hitam

Perlakuan B : Penambahan 2,5% konsentrasi jintan hitam /kg pakan Perlakuan C : Penambahan 5% konsentrasi jintan hitam /kg pakan. Perlakuan D : Penambahan 7,5% konsentrasi jintan hitam /kg pakan.

3.4 Metode Penelitian 3.4.1 Persiapan Penelitian A. Pembuatan Isolat VNN

Adapun metode pembuatan isolat VNN adalah sebagai berikut (Lampiran 2): 1. PBS, tabung reaksi dan mortar disterilisasi dalam autoklaf.

2. mata, otak, ginjal, hati dan jantung diambil dari ikan yang terserang VNN. 3. organ digerus dengan menggunakan mortar dan ditambahkan PBS steril 20 ml. 4. air gerusan disaring dengan menggunakan milipore (ThermoTM) 0,45 µm dan

dimasukan ke dalam tabung reaksi untuk mendapatkan virus VNN yang akan diganaskan.


(34)

25

5. air hasil saringan diambil sebanyak 1ml dengan menggunakan Spuit. 6. ikan media disuntikan secara intra peritoneal (i.p) dengan dosis 0,1 ml.

7. ikan media dipelihara dan diamati gejala yang timbul untuk mengetahui apakah virus VNN sudah menginfeksi ikan tersebut.

8. jika ikan media pengganasan sudah mati diulangi langkah kerja pembuatan isolat VNN 3.4.1.1 (metode a-metode e) hasil saringan lalu disuntikkan kepada ikan kakap putih sebagai ikan uji.

B. Persiapan Wadah dan Ikan Uji

Adapun metode persiapan penelitian adalah sebagai berikut:

1. bak ukuran 45x30x35cm sebanyak 4 buah dibersihkan dengan air tawar lalu dicuci kembali dengan menggunakan kaporit diamkan selama 24 jam.

2. bak dibilas lalu diisi air diamkan selama 24 jam, setelah itu dibilas lagi sebanyak 2x, lalu diisi air didiamkan selama 24 jam.

3. ikan kakap putih dipersiapkan dengan bobot sekitar 15 gr sebanyak 60 ekor dalam 4 bak yang masing-masing diisi dengan 15 ekor ikan lalu diadaptasikan di dalam bak selama 7 hari.

4. ikan dipelihara dan diberi pakan berupa pelet.

5. selama masa pemeliharaan atau adaptasi dilakukan manajemen kualitas air dengan dilakukan penyiponan setiap pagi.

C. Pencampuran Pakan


(35)

26

1. pakan buatan yang digunakan berupa pellet terapung. Pakan buatan ditimbang sebanyak 1 kg.

2. imunostimulan ditimbang sesuai dosis lalu dicampurkan pada pakan dengan bantuan spatula, ditambahkan putih telur sebagai binder dan diaduk dengan spatula.

3. pellet dikeringkan dengan cara diangin-anginkan.

3.4.2. Tahap Pelaksanaan

A. Uji Tantang dan Pemberian Imunostimulan

Adapun metode uji tantang dan pemberian imunostimulan adalah sebagai berikut: 1. ikan disuntik pada bagian intra peritoneal (i.p) dengan dosis pemberian virus

0,1 ml/ikan.

2. imunostimulan dicampurkan merata ke dalam pakan, dan dosis imunostimulan yang digunakan pada penelitian ini yaitu: 2,5%, 5%, 7,5%. 3. pakan bercampur imunostimulan diberikan pada ikan kakap putih setiap hari

selama 30 hari masa pemeliharaan dengan frekuensi pemberian pakan sebanyak 2 kali sehari yaitu pada pukul 08.00 dan 16.00.

4. pakan yang diberikan sesuai perlakuan pada masing-masing akuarium dengan nilai FR 4% (FAO, 2007).

3.4.3 Pengamatan

A. Pengukuran kadar hematokrit

Pengukuran kadar hematokrit biasa disebut Packed cell volume. Pengukuran kadar hematokrit ini dilakukan untuk mengetahui jumlah volume eritrosit/sel


(36)

27

darah merah di dalam tubuh. Adapun metode pengukuran kadar hematokrit adalah sebagai berikut (Lampiran 4):

1. sampel darah dimasukan ke dalam tabung hematokrit sampai kira-kira 4/5 bagian tabung, salah satu ujungnya disumbat dengan lilin malam.

2. sentrifugasi dengan sentrifuse hematokrit selama 15 menit dengan kecepatan 3.500 rpm.

3. hematokrit dihitung menggunakan rumus:

Hematokrit = x 100%

Keterangan: A (nilai plasma darah), B (nilai eritrosit), C (nilai leukosit).

B.Pemeriksaan darah Total Leukosit.

Perhitungan total leukosit dilakukan untuk menentukan jumlah total sel leukosit/mm3 dalam tubuh ikan. Perhitungan total sel leukosit ini dilakukan menurut Blaxhall dan Daisley (1973) adalah (Lampiran 5):

1. bilik hitung haemocytometer dan kaca penutupnya dibersihkan dengan etanol, kemudian kaca penutup dipasang pada haemocytometer.

2. sampel darah dihisap dengan pipet berskala sampai 0,5 dilanjutkan dengan menghisap larutan turk sampai skala 11 (pengenceran 1:20), kemudian digoyangkan selama 3 menit agar bercampur homogen.

3. empat tetesan pertama dibuang, tetesan berikutnya dimasukkan ke dalam


(37)

28

kaca penutup dan dibiarkan selama 3 menit agar leukosit mengendap dalam bilik hitung.

4. bilik hitung tersebut diletakkan di bawah mikroskop menggunakan pembesaran lemah.

5. penghitungan dilakukan pada 4 kotak besar haemocytometer.

Pengamatan Diferensial Leukosit

Pengamatan diferensial leukosit (Lampiran 6) dilakukan untuk menentukan persentase tiap-tiap jenis leukosit yang ada di dalam darah ikan.

 Pembuatan sediaan apus darah

1. kaca obyek dibersihkan dengan alkohol 70%. Kemudian diletakkan setetes darah ikan uji kira-kira 1 cm dari ujung sebelah kiri kaca obyek.

2. sisi kiri kaca obyek dipegang dengan ibu jari dan telunjuk tangan kiri. Kaca pemulas dipegang dengan tangan kanan dan diletakkan di depan tetesan darah membentuk sudut kira-kira 30º dari kaca obyek membuka ke kanan.

3. kaca pemulas disentuhkan pada tetesan darah kemudian digeser kearah kanan sehingga darah tersebut akan menyebar sepanjang sisi kaca pemulas, selanjutnya dikeringkan.

 Cara pewarnaan giemsa

1. sediaan apus darah diletakkan di baki dengan sediaan apus darah di sebelah atas.


(38)

29

2. sediaan tersebut digenangi dengan methanol secukupnya selama 5-10 menit, kemudian kelebihan methanol yang terdapat pada sediaan dibuang, selanjutnya digenangi dengan giemsa selama 25 menit.

3. dibilas dengan aquades dan dikering anginkan.

 Cara pemeriksaan

1. minyak imersi diteteskan pada bagian sediaan yang leukositnya tidak saling menumpuk, diamati dengan perbesaran 1000x.

2. macam-macam bentuk leukosit dihitung sepanjang sediaan apus darah, perhitungan dihentikan bila jumlahnya telah mencapai 100 sel leukosit, hasilnya dihitung dalam persen (%).

C. Uji Aktivitas Fagositosis

Uji aktifitas fagositosis ini dilakukan untuk mengetahui respon sel-sel fagosit terhadap benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Adapun pengujian aktifitas fagositosis adalah sebagai berikut (Lampiran 7):

1. Vibrio alginolyticus dikultur pada TSA, dan diinkubasi pada 37oC selama 24 jam.

2. kultur V. alginolyticus dipanen dengan penambahan PBS dan dimatikan dengan 2% formalin selama 24 jam.

3. V. alginolyticus dicuci dengan menggunakan PBS sebanyak 3 kali dengan

sentrifugasi pada 3000 rpm selama 15 menit.

4. kepadatan V. alginolyticus diestimasi dengan spektrofotometer.

5. tabung kapiler hematokrit diisi dengan sampel darah+EDTA dan disentrifus dengan cara yang sama seperti pada uji leukokrit dan hematokrit.


(39)

30

6. tabung kapiler hematokrit kemudian dipotong pada batas antara eritrosit dan leukosit, bagian leukosit ditampung pada mikrotube (effendorf).

7. leukosit sebanyak 100 l dimasukkan dalam microplate well, kemudian

ditambah dengan V. alginolyticus (kepadatan 107 sel/ml) dengan volume yang sama.

8. kemudian V. alginolyticus dicampur dengan leukosit secara pipetting dan diinkubasi selama 20 menit.

9. berikutnya sampel dari microplate well diambil sebanyak 5 l dan diletakkan pada objek glass, dibuat preparat ulas, dan didiamkan dengan cara

dikeringanginkan.

10. objek glass difiksasi dengan etanol (95%) selama 5 menit, dan

dikeringanginkan.

11. kemudian preparat diwarnai dengan safranin (0,15%) selama 10 menit dan diamati dengan mikroskop perbesaran 1000x, minimal 100 sel.

12. sel dengan aktifitas fagositosis dan sel yang tidak beraktifitas fagositosis dihitung minimal 100 sel.

13. kemudian aktifitas fagositosis (AF), dihitung dengan rumus :

AF (%) =

diamati yang

fagosit

aktif yang fagosit

x 100%

D. Perhitungan Relative Percent Survival (RPS)

Relative Percent Survival (RPS) merupakan pengamatan jumlah kematian ikan

dari masing-masing perlakuan. Pengamatan tingkat kelangsungan hidup dilakukan setiap hari selama 7 hari hingga akhir penelitian dengan mencatat jumlah ikan


(40)

31

kakap putih yang mati pada setiap perlakuan. Kemudian RPS dihitung dengan rumus:

RPS = [1- ] x 100%

E. Pengukuran Kualitas Air

Pengukuran kualitas air ini dilakukan untuk mengetahui dan mengontrol lingkungan perairan tempat hidup ikan uji saat penelitian berlangsung. Parameter kualitas air yang diamati adalah pengukuran oksigen terlarut (DO) dan suhu yang dilakukan setiap hari pada pagi dan sore juga pH dan salinitas yang diukur setiap seminggu sekali. Pengukuran parameter kualitas air menggunakan alat ukur kualitas air. Kualitas air dijaga dengan melakukan penyiponan setiap pagi dan dilakukan pergantian air setiap hari.

3.5 Analisis Data

Analisis data pada penelitian ini, yaitu parameter hematologi, Relative Percent Survival (RPS) dan parameter kualitas air dianalisis secara deskriptif.


(41)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, kesimpulan yang dapat diperoleh adalah dosis terbaik imunostimulan jintan hitam yang dapat menstimulasi sistem imun nonspesifik (total leukosit, diferensial leukosit dan aktifitas fagositosis) ikan kakap putih adalah perlakuan D (7,5% jintan hitam/kg pakan).

5.2Saran

Saran yang bisa penulis sampaikan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan adalah perlu dilakukan pengamatan infeksi virus VNN setelah uji tantang terhadap ikan kakap putih dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk melengkapi data penelitian agar lebih akurat.


(42)

28 DAFTAR PUSTAKA

Affandi, R. dan U.M. Tang. 2002. Fisiologi Hewan Air. Unri press. Riau

Alamanda, I. E., N. S. Handajani, A. Budiharjo. 2007. Penggunaan Metode Hematologi Dan Pengamatan Endoparasit Darah Untuk Penetapan Kesehatan Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Di kolam Budidaya

Desa Mangkubumen Boyolali. BIODIVERSITAS. 8: 34-38

Alifuddin, M. 2002. Imunostimulasi Pada Hewan Akuatik. Jurnal Akuakultur Indonesia, 2: 87-92.

Amelia, Nita dan S.B., Prayitno. 2012. Pengaruh Ekstrak Daun Jambu Biji (Psidium guajava) untuk Menginaktifkan Viral Nervous Necrosis (VNN) pada Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus). Journal Of Aquaculture Management and Technology. 1:264-278.

Aonullah, A. A., S. B. Prayitno, Sarjito. 2013. Pengaruh Penggunaan Ekstrak Daun Jeruju (Acanthus ilicifolius) Terhadap Kelulushidupan Ikan Kerapu

Macan (Epinephelus fuscogutattus) Yang Diinfeksi Vibrio alginolyticus. Journal of Aquaculture Management and Technology. 2:126-135.

Anderson, D.P. 1992. Immunostimulant, adjuvant and vaccine carrier in fish: Applications to aquaculture.Annual Review of Fish Diseases. 21: 281-307. Avila,E. J. F., L. G. Beltran, W. C. Z. Rodríguez, O. B. D. Zaragoza, P. A. Rueda.

2011. Pathology caused by adult Pseudochondracanthus diceraus

(Copepoda: Chondracanthidae), a parasite of bullseye puffer fish

Sphoeroides annulatus. Revista de Biología Marina y Oceanografía. 46 :

293-302.

Azad,I. S., M. S. Shekhar, A. R. Thirunavukkarasu, M. Poornima, M. Kailasam, J. J. S. Rajan, S. A. Ali, M. Abraham, P. Ravichandran. 2005. Nodavirus infection causes mortalities in hatchery produced larvae of Lates calcarifer

first report from India. Dis Aquat Org 63: 113–118.

Barja J.L. 2004. Report about fish viral diseases. In : Alvarez-Pellitero P. (ed.), Barja J.L. (ed.), Basu rco B.(ed.), Berth e F. (ed.), Toran zo A.E. (ed.).

Mediterranean aquaculture diagnostic laboratories. Zaragoza : CIHEAM,


(43)

Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung. 2013.

Pembenihan Kakap Putih. http://bbpbl.djpb.kkp.go.id/index.php. Direktoran Jenderal Perikanan Budidaya. Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.

Blaxhall and K.W. Dasley. 1973. Routine Haematological Methods for Use with Fish Blood. Jurnal Fish Biology. 5: 577-581.

Boyd, C.E. and L. Licthkoppler. 1979. Water quality management in pond fish culture. Series No.22. Aubum University. Alabama. 30 pp.

Bromage, Erin. 2004. The Humoral Immune Response Of Lates calcarifer To Streptococcus iniae. Thesis. School of Biomedical Sciences. James cook University.

Chi S.C., Wu Y.C. & Cheng T.M. (2005). Persistent infection of brtanodavirus in a novel cell line derived from the brain tissue of barramundi Lates calcarifer. Dis. Aquat. Org.,65: 91–98.

Clauss, T.M., A.D.M. Dove, J.E. Arnold. 2008. Hematologic Disorders of Fish.

Vet Clin Exot Anim. 11: 445–462.

Claver, J. A., and A. I. E. Quaglia. 2009. Comparative Morphology,

Development, andFunction of Blood Cells inNonmammalian Vertebrates.

Journal of Exotic Pet Medicine. 18: 87–97.

Dikic, D, D. Lisicic, S.M. Skoko, P. Tutman, D. Skaramuca, Z. Franic and B. Skaramuca. 2013. Comparative hematology of wild Anguilliformes (Muraena helena, L. 1758, Conger conger, L. 1758 and Anguilla anguilla

L. 1758). Animal Biology. 63: 77–9.

Dorucu, M., S.O. Colak, U. Ispir, B. Altinterim, and Y. Celayir. 2009. The Effect of Black Cumin Seeds, Nigella sativa, on the Immune Response of

Rainbow Trout, Oncorhynchus mykiss. Mediterranean Aquaculture Journal. 2: 27-33.

El-Tahir, K.E.H dan D.M. Bakeet. 2006. The Black Seed Nigella sativa Linnaeus

- A Mine for Multi Cures: A Plea for Urgent Clinical Evaluation of its Volatile Oil. J T U Med. 1: 1-19.

Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO). 2007. Cultured Aquatic Species Information Programme Lates calcarifer (Block , 1790). Fisheries and Aquaculture Department.

Harikrishnan, R., M. N. Rani and C. Balasundaram, 2003. Haematological and biochemical parameters incommon carp, Cyprinus carpio, following

herbal treatment for Aeromonas hydrophilla infection. Aquaculture, 221:


(44)

Hutapea, J.R.1994. Inventaris Tanaman Obat Indonesia (III), Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, hlm.163.

Indarjo, A., I. Samidjan, C. Adi S. 2000. Aplikasi Menejemen Pemberian Pakan Dalam upaya Peningkatan Produksi benih Ikan Kakap Putih (Lates calcarifer Bloch). Laporan Hasil Penelitian. Fakultas Perikanan Dan Ilmu

Kelautan. Universitas Diponegoro.

Iwama, G. and T. Nakanishi. 1996. The Fish Immune System. Organism, Pathogen, and Environment. Academic Press. San Diego. California. USA Kueh, Susan G. 2012. Diseases of Asian seabass (or barramundi), Lates

calcarifer Bloch. Thesis. Murdoch University.

Lestari, E.P., Feliatra, D. Yoswati. 2012. Uji Efektifitas Bakteri Asam Laktat Dalam Mengatasi Vibrio alginolyticus Pada Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau. Pekanbaru.

Madigan, M.T. and J.M. Martinko. 2006. Brock. Biology Of Microorganisms. Eleventh Edition. Pearson Prentice Hall. United States of America.

Maeno, Y., Leobert D. De La Peña and Erlinda R. Cruz-Lacierda. 2004. Mass Mortalities Associated with Viral Nervous Necrosis in Hatchery-Reared Sea Bass Lates calcarifer in the Philippines. JARQ. 38 : 69-73.

Magnadóttir, Bergljót. 2006. Innate immunity of fish (overview). Fish & Shellfish Immunology. 20:137-151.

Mayunar. 1999. Produktivitas Beberapa Jenis Ikan Laut Yang Dibudidaya Dalam Keramba Jaring Apung. Oseana. 24 : 21-26.

McGrouther, Mark. 2012. Barramundi, Lates calcarifer (Bloch, 1790).

http://australianmuseum.net.au/search?keyword=Lates+calcarifer. Diakses pada tanggal 11 September 2013, pukul 17.34 WIB.

Moody, N.J. and P.F. Horwood. 2008. Betanodavirus Infections of Finfish. Department of Primary Industries and Fisheries. Australia

Moyle P.B. dan Jr. J.J. Cech 2004. Fishes. An Introduction to Ichthyology. 5thed. USA: Prentice Hall, Inc.

Nergiz C. and Otles S. 1993. Chemical Composition of Nigella sativa L. seeds. J Food Chem. 48:259-261.

Noercholis, A., M. A. Muslim, Maftuch. 2013. Ekstraksi Fitur Roundness untuk

Menghitung Jumlah Leukosit dalam Citra Sel Darah Ikan. Jurnal EECCIS.


(45)

Nuryati, S., N.A. Maswan, Alimuddin, Sukenda, K. Sumantadinata, F.H. Pasaribu, R.D. Soejoedono, A. Santika. 2010. Gambaran darah ikan mas setelah divaksinasi dengan vaksin DNA dan diuji tantang dengan koi

herpesvirus. Jurnal Akuakultur Indonesia. 9: 9–15.

Office International Des Epizooties (OIE). 2012. Viral Encephalopathy And Retinopathy Chapter 2.3.11. Manual of Diagnostic Tests for Aquatic Animals 2012. Paris. France. Hlm 409-427.

Office International Des Epizooties (OIE). 2003. Viral Encephalopathy And Retinopathy Chapter 2.1.7. Manual of Diagnostic Tests for Aquatic

Animals. Fourth Edition 2003. Paris. France. Hlm 136-140.

Philipose, K. K., S. R. Krupesha Sharma, N. Sadhu, N. G. Vaidya And G. Syda Rao. 2010. Some Aspects Of Nursery Rearing Of The Asian Seabass (Lates Calcarifer, Bloch) In Indoor Cement Tanks. Indian J. Fish. 57: 61-64.

Purwanti, R., R. Susanti.N.K.T., Martuti. 2012.Pengaruh Ekstrak Jahe terhadap Penurunan Jumlah Ektoparasit Protozoa pada Benih Kakap putih. Unnes of Life science. 1:70-77.

Raa, J. 2000. The use of immune-stimulants in fish and shellfish feeds. University of Tromso Norway.

Reece, J.B., A. Lisa, Urry, M. L. Cain, S. A. Wasserman, P. V. Minorsky, And R. B. Jackson. 2011. Campbell Biology 9th Edition. Pearson Education, Inc,

San Fransisco.

Roberts, R.J., L.G. Willoughby and S. Chinabut. 1993. Mycotic Aspects of Epizootic Ulcerative Syndrome (EUS) of Asian Fishes. Journal of fish Diseases.16: 169-183.

Saad, T.T., A. El-Geit, E.N. , E. Hammady, A. K. I. and M. S. Zaki. 2013. Effect of Black Cumin Seeds (Nigella Sativa) and / or Turmeric (Curcumin) On

Hematological, Biochemical and Immunological Parameters of Sea Bass

Vaccinated with Pseudomonas Fluorescence Bacterin. Life Science Journal. 10: 1292-1303.

Saglam, N. and M. E.Yonar. 2009. Effects of sulfamerazine on selected haematological and immunological parameters in rainbow trout (Onchorhynchus mykiss, Walbaum, 1792). Aquaculture Research. 40:

395-404.

Salem, M.L. 2005. Immunomodulatory And Therapeutic Properties Of The


(46)

Satheeshkumar, P., G. Ananthan, D.S. Kumar, L. 2011. Jagadeesan. Haematology and biochemical parameters of different feeding behaviour of teleost fishes from Vellar estuary, India. Comp Clin Pathol. Springer-Verlag London

Limited.

Schipp, G., J. Bosmans and J. Humphrey. 2007. Northern Territory Barramundi Farming Handbook. Department of Primary Industry, Fisheries and Mines. Darwin Aquaculture Centre. Darwin Northern Territory.

Sirat, H. M., N. Basar, E. M. Fang. 2001. Analisis Biji Jintan Hitam (Nigella sativa). Malaysian Journal of Analytical Sciences. 7: 245-248.

Sugindro, E. Mardliyati, J. Djajadisastra. 2008. Pembuatan dan Mikroenkapsulasi Ekstrak Etanol Biji Jinten Hitam Pahit (Nigella sativa Linn.). Majalah Ilmu Kefarmasian. 5: 57 – 66.

Suhermanto, A., S. Andayani, Maftuch. 2011. Pemberian Total Fenol Teripang Pasir (Holothuria scabra) untuk Meningkatkan Leukosit dan Diferensial Leukosit Ikan Mas (Cyprinus carpio) yang Diinfeksi Bakteri Aeromonas Hydrophila . Jurnal Kelautan. 4: 49-56.

Summers, C., S.M. Rankin and E.R. Chilvers. 2010. Neutrophil kinetics in health and disease. Trends immunol. 31: 318-324.

Syawal, E., Syafriadiman, S. Hidayah. 2008. Pemberian Ekstrak Kayu Siwak (Salvadora persica L.) untuk Meningkatkan Kekebalan Ikan Mas

(Cyprinus carpio L.) yang Dipelihara dalam Keramba. Biodiversitas. 9:

44-47.

Thorne, Tina. 2002. The Translocation Of Barramundi (Lates calcarifer) For

Aquaculture And Recreational Fishery Enhancement In Western Australia.

Fisheries Management Paper No. 159.

Tarwiyah. 2001. Pembesaran Ikan Kakap Putih (Lates calcalifer, Bloch) di Keramba Jaring Apung. Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Jakarta.

Tim Penyusun Modul Penyuluh Perikanan. 2011. Pengolahan Ikan kakap putih. Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Utojo. 1995. Pengaruh Kadar Protein pada Pakan Buatan Terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Ikan Kakap Putih, Lates calcarifer Bloch. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 1: 37-48.

Uribe, C., H. Folch, R. Enriquez, G. Moran. 2011. Innate and adaptive immunity in teleost fish: a review. Veterinarni Medicina, 56: 486–503.


(47)

Woo, H.J. and J. Reifman. 2011. A Quantitative Quasispecies Theory – based Model of Virus Escape Mutation Under Immune Selection. US Army Medical Research. Fort Detrick.

Yanong, Roy P. E. and VMD. 2010. Viral Nervous Necrosis (Betanodavirus) Infections in Fish. University of Florida.


(48)

(49)

Pelaksanaan Penelitian Penyusunan Laporan Deskriptif Analisis Data Hematologi Hematokrit Total Leukosit Diferensial Leukosit Uji Fagositosis Kualitas Air Suhu pH DO Salinitas Parameter pengamatan

Pengambilan sampel darah pada hari ke- 0, 7, 14, 21 dan 45

Jarum suntik dan microtube dibilasdengan EDTA 10% Darah diambil dari 5 ekor ikan, dipilih secara acak pada setiap bak, lalu disimpan di microtube 1,5ml

Pengambilan Darah

Uji tantang pada hari ke-38

Penyuntikan virus VNN ke tubuh semua ikan uji secara intra peritoneal (i.p) dengan dosis 0,1 ml.

Uji Tantang

Pakan diberikan selama 45 hari pemeliharaan Frekuensi 2x/hari, pukul 08.00 dan 16.00 WIB

Pemberian pakan yang dicampur imunostimulan

Lampiran 1. Road-map Penelitian

Persiapan Penelitian

Persiapan wadah dan ikan uji (15-30 Agustus 2013)

Bak ukuran 45x30x35cm sebanyak 4 buah dicuci, didesinfeksi, dan dikeringkan

Diletakkan secara acak dan diberi label

Diisi air dengan padat tebar ikan kakap putih 15 ekor/bak. Adaptasi ikan selama 7 hari

Pencampuran pakan dengan imunostimulan (H0/9 September 2013)

Pakan buatan ditimbang sebanyak 1 kg.

Imunostimulan dicampurkan pada pakan, ditambahkan putih telur sebagai binder dan diaduk.

Pellet dikeringkan dengan cara diangin-anginkan.

Pengganasan Virus VNN (H21 dan H28)

PBS, tabung reaksi dan mortar diautoklaf

Organ diambil dari ikan yang terserang VNN, digerus dengan mortar dan ditambahkan PBS steril.

Air gerusan disaring dengan menggunakan milipore

(ThermoTM) 0,45 µm, hasilnya diambil sebanyak 1ml dengan menggunakan Spuit.

Disuntikan secara intra peritoneal (i.p) dengan dosis 0,1 ml. Ikan media dipelihara, diamati gejala yang timbul untuk mengetahui apakah virus VNN sudah menginfeksi ikan tersebut.


(50)

64

Lampiran 2. Pembuatan Isolat VNN

organ diambil dari ikan yang terserang VNN

Organ digerus dengan menggunakan mortar

Hasil gerusan dimasukkan ke dalam microtube

Ikan media disuntikan secara intra peritoneal (i.p) dengan dosis 0,1 ml

Air hasil saringan diambil sebanyak 1ml

dengan menggunakan Spuit


(51)

65

Lampiran 3. Pencampuran imunostimulan jintan hitam pada pakan

Pakan ditimbang sebanyak 1kg

Dosis jintan hitam ditambahkan sesuai perlakuan

Putih telur ditambahkan sebagai binder

Pakan diberi label sesuai dengan dosis imunostimulan pada perlakuan

Diaduk hingga merata lalu dikeringanginkan


(52)

66

Lampiran 4. Pengamatan Hematokrit

Darah diambil dengan spuit 1ml

Darah dihisap kedalam tabung hematokrit

Tabung hematokrit ditutup dengan lilin

Setelah komponen darah terpisah lalu diukur dengan penggaris

Tabung hematokrit disentrifuge selama 15 menit, kecepatan 3.500 rpm


(53)

67

Lampiran 5. Pengamatan Total Leukosit

Sampel darah dihisap dengan pipet berskala sampai 0,5 dilanjutkan dengan menghisap larutan turk sampai skala 11

Empat tetesan pertama dibuang

Bilik hitung/ haemocytometer tersebut diletakkan di bawah mikroskop

Tetesan berikutnya dimasukkan ke dalam haemocytometer


(54)

68

Lampiran 6. Pengamatan Differensial Leukosit

Kaca pemulas disentuhkan pada tetesan darah, digeser Ke kanan sehingga darah

menyebar sepanjang kaca objek, selanjutnya dikeringkan.

Sediaan tersebut digenangi dengan methanol secukupnya selama 5-10 menit

Genangi dengan giemsa selama 25 menit

Amati dengan perbesaran 1000x

Preparat dikeringanginkan


(55)

69

Lampiran 7. Pengamatan Uji Fagositosis

Kultur V. alginolyticus dipanen ditambahkan PBS, dimatikan dengan 2%

formalin selama 24 jam.

Sentrifugasi pada 3000 rpm selama 15 menit.

Tabung hematokrit dipotong pada leukosit, lalu ditampung pada mikrotube

(effendorf)..

Preparat difiksasi dengan etanol (95%) selama 5 menit, dikeringanginkan, lalu diwarnai dengan safranin (0,15%) selama

10 menit dan diamati dengan mikroskop perbesaran 1000x.

Sampel dari microplate well diambil sebanyak 5 l dan diletakkan pada objek

glass, dibuat preparat ulas, dikeringanginkan

Leukosit dimasukkan dalam microplate well, kemudian ditambah dengan V. alginolyticus (kepadatan 107 sel/ml)


(1)

64

Lampiran 2. Pembuatan Isolat VNN

organ diambil dari ikan yang terserang VNN

Organ digerus dengan menggunakan mortar

Hasil gerusan dimasukkan ke dalam microtube

Ikan media disuntikan secara intra peritoneal (i.p) dengan dosis 0,1 ml

Air hasil saringan diambil sebanyak 1ml

dengan menggunakan Spuit


(2)

65

Lampiran 3. Pencampuran imunostimulan jintan hitam pada pakan

Pakan ditimbang sebanyak 1kg

Dosis jintan hitam ditambahkan sesuai perlakuan

Putih telur ditambahkan sebagai binder

Pakan diberi label sesuai dengan dosis imunostimulan pada perlakuan

Diaduk hingga merata lalu dikeringanginkan


(3)

66

Lampiran 4. Pengamatan Hematokrit

Darah diambil dengan spuit 1ml

Darah dihisap kedalam tabung hematokrit

Tabung hematokrit ditutup dengan lilin

Setelah komponen darah terpisah lalu diukur dengan penggaris

Tabung hematokrit disentrifuge selama 15 menit, kecepatan 3.500 rpm


(4)

67

Lampiran 5. Pengamatan Total Leukosit

Sampel darah dihisap dengan pipet berskala sampai 0,5 dilanjutkan dengan menghisap larutan turk sampai skala 11

Empat tetesan pertama dibuang

Bilik hitung/ haemocytometer tersebut diletakkan di bawah mikroskop

Tetesan berikutnya dimasukkan ke dalam haemocytometer


(5)

68

Lampiran 6. Pengamatan Differensial Leukosit

Kaca pemulas disentuhkan pada tetesan darah, digeser Ke kanan sehingga darah

menyebar sepanjang kaca objek, selanjutnya dikeringkan.

Sediaan tersebut digenangi dengan methanol secukupnya selama 5-10 menit

Genangi dengan giemsa selama 25 menit

Amati dengan perbesaran 1000x

Preparat dikeringanginkan


(6)

69

Lampiran 7. Pengamatan Uji Fagositosis

Kultur V. alginolyticus dipanen ditambahkan PBS, dimatikan dengan 2%

formalin selama 24 jam.

Sentrifugasi pada 3000 rpm selama 15 menit.

Tabung hematokrit dipotong pada leukosit, lalu ditampung pada mikrotube

(effendorf)..

Preparat difiksasi dengan etanol (95%) selama 5 menit, dikeringanginkan, lalu diwarnai dengan safranin (0,15%) selama

10 menit dan diamati dengan mikroskop perbesaran 1000x.

Sampel dari microplate well diambil sebanyak 5 l dan diletakkan pada objek

glass, dibuat preparat ulas, dikeringanginkan

Leukosit dimasukkan dalam microplate well, kemudian ditambah dengan V. alginolyticus (kepadatan 107 sel/ml)


Dokumen yang terkait

PENGARUH FORMULASI TERHADAP KUALITAS NUGGET IKAN KAKAP PUTIH (Lates calcarifer)

4 27 13

Uji Aktivitas Inhibisi Fraksi-Fraksi Hasil Kolom Kromatografi dari Ekstrak Biji Jintan Hitam (Nigella sativa L.) terhadap Enzim RNA Helikase Virus Hepatitis C

0 11 80

Efek ekstrak biji jintan hitam (nigella sativa) terhadap jumlah spermatozoa mencit yang diinduksi gentamisin

2 59 75

EFEKTIFITAS JINTAN HITAM (Nigella sativa) SEBAGAI IMUNOSTIMULAN PADA KAKAP PUTIH (Lates calcarifer) TERHADAP BAKTERI Vibrio alginolyticus MELALUI PROFIL HISTOPATOLOGI

0 25 48

JUDUL INDONESIA : EFEKTIFITAS JINTAN HITAM (Nigella sativa) SEBAGAI IMUNOSTIMULAN PADA KAKAP PUTIH (Lates calcarifer) TERHADAP BAKTERI Vibrio alginolyticus MELALUI PROFIL HISTOPATOLOGI JUDUL INGGRIS : EFFECTIVITY OF BLACK CUMIN (Nigella sativa) AS IMUNOST

1 15 47

PROFIL HISTOPATOLOGI KERAPU TIKUS (Cromileptes altivelis) YANG DISTIMULASI JINTAN HITAM (Nigella sativa) DAN DIINFEKSI Viral Nervous Necrosis (VNN)

5 38 54

PENGARUH JINTAN HITAM (Nigella sativa) TERHADAP HISTOPATOLOGI IKAN KAKAP PUTIH (Lates calcarifer) DENGAN UJI TANTANG VIRAL NERVOUS NECROSIS (VNN)

5 61 52

EFEKTIVITAS JINTAN HITAM (Nigella sativa) PADA PENINGKATAN SISTEM IMUN NON SPESIFIK KERAPU TIKUS (Cromileptes altivelis) TERHADAP VIRAL NERVOUS NECROSIS (VNN)

2 19 61

Peningkatan Respon Imun Non-Spesifik Benih Kerapu Bebek, Cromileptes altivelis dengan Imunostimulan dan Bakterin terhadap Infeksi Viral Nervous Necrosis (VNN) | Roza | Jurnal Perikanan (Journal of Fisheries Sciences) 160 93 1 PB

0 1 11

PENGARUH JINTAN HITAM (Nigella sativa) TERHADAP HISTOPATOLOGI ORGAN KAKAP PUTIH (Lates calcarifer) YANG TERINFEKSI VIRAL NERVOUS NECROSIS SECARA BUATAN

0 0 6