EFEKTIVITAS JINTAN HITAM (Nigella sativa) PADA PENINGKATAN SISTEM IMUN NON SPESIFIK KERAPU TIKUS (Cromileptes altivelis) TERHADAP VIRAL NERVOUS NECROSIS (VNN)

(1)

(2)

ABSTRAK

EFEKTIVITAS JINTAN HITAM (Nigella sativa) PADA PENINGKATAN SISTEM IMUN NON SPESIFIK KERAPU TIKUS (Cromileptes altivelis)

TERHADAP VIRAL NERVOUS NECROSIS (VNN) Oleh

ASRY RETNO PRATIWI

Jintan hitam (Nigella sativa) telah diketahui bermanfaat sebagai imunostimulan bagi manusia dan hewan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas jintan hitam sebagai imunostimulan pada kerapu tikus (Cromileptes altivelis) melawan infeksi VNN melalui pengamatan parameter-parameter hematologi. Sebanyak 40 ekor kerapu tikus (± 9 cm) dikelompokkan kedalam empat perlakuan berdasarkan konsentrasi jintan hitam yaitu‚ 0%, 2,5%, 5%, and 7,5% kg-1 pakan. Ikan dipelihara di dalam bak (45x30x35 cm3) dengan pemberian aerasi secara terus menerus dan pemberian pakan komersial dua kali sehari secara ad libitum. Beberapa parameter hematologi (total leukosit‚ diferensial leukosit‚ persentase hematokrit dan aktivitas fagositosis) diamati tiap pengambilan sampel darah setiap minggu selama 21 hari. Uji tantang dilakukan pada hari ke-38 dengan menginfeksi filtrat VNN (0‚1 ml/ekor) secara intraperitonial. Survival Rate (SR)‚ Relative Percent Survival (RPS) dan Mean Time to Death (MTD) ikan uji diamati pada hari ke-5 setelah uji tantang.Analisis deskriptif menunjukkan pada perlakuan pemberian jintan hitam 7‚5% kg-1 pakan terjadi peningkatan total leukosit‚ persentase monosit dan limfosit hingga hari ke-21 dengan nilai RPS setelah infeksi VNN yaitu 100%. Dari hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa jintan hitam berperan sebagai imunostimulan yang mampu melindungi kerapu tikus melawan infeksi VNN.

Kata kunci : jintan hitam‚ kerapu tikus‚ VNN‚ imunostimulan dan parameter hematologi


(3)

ABSTRACT

EFFECTIVENESS OF BLACK CUMIN (Nigella sativa) INCREASSING NON-SPECIFIC IMMUNE SYSTEM OF HUMPBACK GROUPER (Cromileptes altivelis) AGAINST VIRAL NERVOUS NECROSIS (VNN)

By

ASRY RETNO PRATIWI

Black cumin (Nigella sativa) has been known to be useful as an immunostimulant for humans and animals. This study aims to determine the effectiveness of black cumin as an immunostimulant in humpback grouper (Cromileptes altivelis) against VNN infection through observation of hematological parameters. Humpback grouper (± 9 cm) grouped into four treatments based on the concentration of black cumin ,that is 0%, 2.5%, 5%, and 7.5% kg-1 feed. The fish were kept in the tanks (45x30x35 cm3) with continuous aeration and feed with commercial feed twice daily ad libitum. Some hematological parameters (total leukocytes, differential leukocyte, hematocrit percentage and phagocytic activity) was observed each blood sampling every week for 21 days. Challenge test performed on day 38th with infect VNN filtrate (0.1 ml / fish) are intraperitonial. Survival Rate (SR), the Relative Percent Survival (RPS) and Mean Time to Death (MTD) test fish were observed on day 5th after challenge test. Descriptive analysis showed the treatment administration of 7.5% black cumin kg-1 feed an increasing the total leukocytes, monocytes and lymphocytes percentage until day 21st and after VNN infection with RPS values is 100%. From the observations it can be concluded that black cumin act as an immunostimulant that can protect humpback grouper against infection VNN.

Keywords: black cumin, humpback grouper, VNN, immunostimulatory and parameters hematologic


(4)

(5)

(6)

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

HALAMAN JUDUL ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN ... vi

RIWAYAT HIDUP ... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... ix

MOTTO ... x

SANWACANA ... xi

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xviii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 3

C. Kerangka Pikir ... 3

D. Manfaat Penelitian ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

A. Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis) ... 6

1. Taksonomi dan Morfologi ... 6


(8)

3. Distribusi Geografis dan Mortalitas... 11

C. Jintan Hitam (Nigella sativa) ... 11

1. Taksonomi dan Morfologi ... 11

2. Habitat... 12

3. Kegunaan sebagai Imunostimulator ... 13

D. Kesehatan Ikan ... 13

1. Sistem Imun Ikan ... 13

2. Imunostimulan ... 14

3. Darah Ikan ... 15

III. METODE PENELITIAN ... 19

A. Waktu dan Tempat ... 19

B. Alat dan Bahan ... 19

C. Prosedur Penelitian ... 20

1. Tahap Persiapan ... 20

1.1. Persiapan Wadah dan Ikan Uji ... 20

1.2. Pembuatan Pakan ... 20

1.3. Peningkatan Virulensi VNN ... 21

2. Tahap Pelaksanaan... 22

2.1. Pemberian Pakan dengan Penambahan Jintan Hitam ... 22

2.2. Uji Tantang ... 22

2.3. Pengambilan Darah ... 22

3. Tahap Pengamatan ... 23

3.1. Perhitungan Total Leukosit ... 23

3.2. Persentase Diferensial Leukosit (Neutrofil, Monosit dan Limfosit) ... 23

3.3. Pengukuran Kadar Hematokrit ... 25

3.4. Uji Aktivitas Fagositosis ... 25

3.5. Perhitungan Relative Percent Survival (RPS) Ikan Kerapu Tikus ... 26

3.6. Perhitungan Mean Time to Death (MTD) ... 27

3.7. Pengukuran Parameter Kualitas Air ... 27

D. Analisis Data ... 28

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

A. Hasil Penelitian ... 29

1. Profil Hematologi dengan Pemberian Jintan Hitam ... 29


(9)

1.2. Diferensial Leukosit ... 31

1.3. Persentase Hematokrit ... 35

2. Profil Hematologi setelah Penambahan Jintan Hitam danInfeksi VNN ... 38

2.1. Total Leukosit ... 38

2.2. Diferensial Leukosit dan Persentase Hematokrit ... 38

3. Aktivitas Fagositosis ... 39

4. Relative Percent Survival (RPS)‚ Survival Rate (SR) dan Mean Time to Death (MTD) ... 41

5. Kualitas Air ... 41

B. Pembahasan ... 42

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 51

A. Kesimpulan ... 51

B. Saran ... 51

DAFTAR PUSTAKA ... 52


(10)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Potensi kelautan dari sektor budidaya yang sudah banyak diminati untuk dikembangkan adalah budidaya kerapu tikus (Cromileptes altivelis) (Putri dkk., 2013a). Meskipun usaha budidaya ikan kerapu tikus ini cukup menjanjikan, namun masih ada kendala yang perlu diwaspadai (Alifuddin, 2002). Salah satu ancaman yang ada yaitu serangan penyakit Viral Nervous Necrosis Virus (VNN) yang juga dikenal dengan nama Viral Encephalopathy and Retinopathy (VER).

VNN merupakan jenis virus betanodavirus yang menyerang kerapu terutama pada stadia larva dan benih (OIE, 2003). Gejala yang ditimbulkan dari penyakit ini antara lain ikan berenang memutar (whirling), terjadi sleeping dead atau ikan berada di dasar seperti mati serta adanya gejala tingkah laku yang tidak wajar (Yuasa et al., 2000).

Perlu dilakukan upaya pengendalian perluasan penyakit sedini mungkin untuk mengurangi kemungkinan terjadinya wabah penyakit VNN yang akan menyebabkan kerugian ekonomi lebih besar besar (Alifuddin, 2002). Dalam upaya penanggulangan dan pencegahan penyakit ini, biasanya pembudidaya melakukan peningkatan sistem imunitas ikan (Johny dkk., 2005).


(11)

2

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan sistem imunitas ikan yaitu dengan cara imunostimulasi (Anderson, 1992) menggunakan tumbuhan obat tradisional yang mampu berperan sebagai imunostimulan. Beberapa keuntungan menggunakan tumbuhan obat tradisional antara lain relatif lebih aman, mudah diperoleh, murah, tidak menimbulkan resistensi, dan relatif tidak berbahaya terhadap lingkungan sekitarnya (Sugianti, 2005).

Jintan hitam telah diketahui dapat digunakan sebagai imunostimulan dan memelihara kesehatan dengan baik (Shewita and Taha‚ 2011). Minyak biji jintan hitam memiliki bahan-bahan antivirus dan berpotensi dalam aktifitas imunologi. Ekstrak biji jintan hitam mampu memperbaiki imunitas ayam broiler untuk melawan virus Newscastle (Durani et al.‚ 2007). Fraksi methanol dan minyak volatil dari biji jintan hitam mampu memperbaiki respon imun melawan vaksin rabies yang diujikan pada tikus uji (Boseila and Messalam‚ 2011). Jintan hitam merupakan tanaman obat-obatan herbal yang memiliki efek pada beberapa parameter hematologi salah satunya yaitu mekanisme pertahanan non spesifik pada ikan rainbow trout (Dorucu et al.‚ 2009).

Parameter-parameter hematologi telah diketahui cukup baik sebagai salah satu upaya untuk memonitoring kondisi kesehatan ikan (Satheeskumar et al.‚ 2011). Oleh karena itu dilakukan penelitian mengenai peningkatan sistem respon imun menggunakan imunostimulan dari jintan hitam dengan mengukur beberapa parameter hematologi pada kerapu tikus.


(12)

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas jintan hitam dalam meningkatkan sistem imun non spesifik kerapu tikus terhadap infeksi VNN melalui pengukuran parameter-parameter hematologis.

C. Kerangka Pikir

Kerapu tikus merupakan jenis ikan yang memiliki nilai ekonomis cukup tinggi, sehingga dimungkinkan prospek pengembangan budidaya ini cukup menjanjikan dimasa mendatang (Putri dkk.,2013b). Meskipun demikian ancaman yang selalu menjadi hambatan dalam budidaya ini adalah serangan suatu penyakit yang mengakibatkan penurunan produksi.

Salah satu penyakit yang menyerang kerapu tikus adalah infeksi Viral Nervous Necrosis (VNN) dengan menunjukkan gejala-gejala klinis yang abnormal pada juvenil dan kematian pada larva. Hal ini disebabkan oleh gejala syaraf yang tidak normal (neurogical disorder) dan sering disertai juga dengan vakuolasi yang kuat pada sistem syaraf pusat (central nervous system, CNS) dan retina (Thiery et al., 2006). Serangan penyakit VNN menjadi semakin ganas ketika virus menyerang ikan yang stres akibat kepadatan dan temperatur yang tinggi dalam sistem budidaya (Tanaka et al., 1998).

Pada hewan akuatik, khususnya ikan, respon imunitasnya terdiri dari respon spesifik dan non spesifik (Corbel, 1975). Oleh karena itu, memori, spesifitas dan pengenalan dari zat-zat asing yang termasuk virus di dalamnya merupakan dasar


(13)

4

mekanisme respon imunitas. Imunostimulan mampu meningkatkan aktivitas dan reaktivitas sel pertahanan seluler dan humoral (Aliffudin, 2002).

Imunitas dihasilkan untuk melawan infeksi virus yang dikontrol oleh sistem imun innate dan sistem imun adaptive (Salem et al.‚ 2011). Minyak dan beberapa bahan yang terkandung dalam biji jintan hitam dapat berperan sebagai immunomodulator dengan meningkatkan sel T dan sel NK (Natural Killer) yang memediasi respon imun (Salem‚ 2005). Dorucu et al. (2009) menyarankan penggunaan jintan hitam untuk mengurangi jumlah kematian yang disebabkan oleh beberapa patogen.

Hal ini yang menjadi alasan dilakukannya penambahan imunostimulan yang berasal dari jintan hitam untuk di berikan kepada kerapu tikus yang diuji tantang menggunakan virus VNN. Pada ikan yang terserang penyakit terjadi perubahan pada nilai hematokrit, kadar hemoglobin, jumlah sel darah merah dan jumlah sel darah putih (Bastiawan et al., 1995). Studi hematologis merupakan kriteria penting yang mana dapat digunakan sebagai sebuah indeks yang efektif dan sensitif untuk diagnosis dan penentuan kesehatan ikan (Satheeskumar et al.‚ 2011). Menurut Klopp et al. (2001) perubahan imunitas dapat terlihat dengan cara mengukur parameter hematologis khususnya sel-sel darah putih. Oleh karena itu untuk mengetahui pengaruh penambahan jintan hitam terhadap hematologi kerapu tikus maka dilaksanakan penelitian ini.


(14)

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai efektivitas imunostimulan dari jintan hitam (Nigella sativa) sebagai upaya pencegahan serangan penyakit Viral Nervous Necrosis Virus (VNN) pada kerapu tikus (Cromileptes altivelis).


(15)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis) 1. Taksonomi dan Morfologi

Menurut Weber dan Beofort (1940), klasifikasi kerapu tikus adalah sebagai berikut :

Phylum : Chordata

Sub phylum : Verterbrata Class : Osteichtyes

Sub class : Actinoperigi Ordo : Percomorphi

Sub ordo : Percoidea Famili : Serranidae

Genus : Cromileptes

Spesies : C. altivelis

Kerapu tikus bertubuh agak pipih dan warna dasar kulit tubuhnya abu-abu dengan bintik-bintik hitam diseluruh permukaan tubuh (Gambar 1). Kepala berukuran kecil dengan moncong agak meruncing. Karena kepala yang kecil mirip bebek, maka jenis ini popular sebagai kerapu bebek. Namun, ada pula yang menyebutnya sebagai kerapu tikus karena bentuk moncongnya yang meruncing menyerupai


(16)

moncong tikus. Kerapu tikus digolongkan sebagai ikan konsumsi bila bobot tubuhnya telah mencapai 0.5 – 2 kg/ekor (Kordi, 2001).

Kerapu tikus memiliki bentuk sirip yang membulat. Sirip punggung tersusun dari 10 jari-jari keras dan 19 jari-jari lunak. Pada sirip dubur, terdapat 3 jari-jari keras dan 10 jari-jari lunak. Ikan ini bisa mencapai panjang tubuh 70 cm atau lebih, namun yang dikonsumsi, umumnya berukuran 30-50 cm. kerapu bebek tergolong ikan buas yang memangsa ikan-ikan dan hewan-hewan kecil lainnya. Kerapu bebek merupakan salah satu ikan laut komersial yang telah dibudidayakan baik dengan tujuan pembenihan maupun pembesaran (Hemstra and Randall‚ 1993).

Gambar 1. Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis)

2. Habitat dan Biologi

Daerah penyebaran kerapu tikus yaitu Afrika Timur sampai Pasifik Barat Daya. Di Indonesia kerapu tikus banyak ditemukan di perairan Pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi, Buru dan Ambon. Salah satu indikator adanya kerapu tikus adalah perairan karang yang terhampar hampir diseluruh perairan pantai di Indonesia (Gambar 2).


(17)

8

Gambar 2. Distribusi ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) (Hemstra and Randall‚ 1993)

Setianto (2011) mengemukakan bahwa pada umumnya siklus hidup kerapu tikus muda hidup di perairan karang pantai dengan kedalaman 0,5 - 3 meter selanjutnya saat masa dewasa beruaya ke perairan yang lebih dalam antara 7 - 40 meter, pada umumnya perpindahan ini berlangsung pada siang hari dan senja hari, telur dan larva bersifat pelagis sedangkan kerapu muda hinggga dewasa bersifat demersal. Menurut Subyakto dkk. (2003), kerapu bersifat hermaprodit protogini, yakni pada tahap perkembangan mencapai dewasa (matang gonad) berjenis kelamin betina kemudian berubah menjadi jantan setelah tumbuh besar atau ketika umurnya bertambah tua.

Kebiasan makan kerapu tikus, yang termasuk dalam keluarga serranidae merupakan ikan nokturnal dimana ikan ini mencari makan pada malam hari (Risamasu‚ 2008). Aktivitas ikan nokturnal mencari makan dimulai saat hari mulai gelap. Ikan-ikan tersebut digolongkan sebagai ikan soliter di mana aktivitas


(18)

makan dilakukan secara individu, gerakannya lambat cenderung diam dan arah gerakannya tidak begitu luas serta lebih banyak menggunakan indera perasa dan indera penciuman (Subyakto dkk.‚ 2003).

B. Viral Nervous Necrosis (VNN) 1. Agen Faktor

Betanodavirus merupakan agen penyebab VNN‚ sebuah penyakit yang merugikan budidaya perikanan laut hampir di seluruh dunia (Thiery et al.‚ 2006). Klasifikasi betanodavirus tergolong dalam family Nodaviridae dengan diameter sekitar 25-30 nm dan memiliki kapsid berbentuk ikosahedral (OIE‚ 2003) (Gambar 3). Genomnya terdiri dari dua molekul rangkaian positif single stranded RNA. RNA1 (3,1 kb) sebagi kode protein A (RdRp) dalam satu open reading frame (ORF) dengan untranslated conserved region (UTR) pada kedua ujung 5’ dan 3’. Sebuah subgenom RNA3 (0.4 kb) merupakan turunan dari RNA1 di dalam sel-sel yang terinfeksi‚ terbentuk selama proses replikasi RNA dan berperan sebagai kode protein B2. RNA2 (1,4 kb) sebagai kode protein α (kapsid protein) dalam satu ORF dengan UTR pada kedua ujung 5’ dan 3’(Korsnes‚ 2008).

Gambar 3. Fotomikrograf Elektron VNN (Nagasawa and Cruz-Lacierda, 2004)


(19)

10

Betanodavirus diklasifikasikan kedalam 4 kelompok besar genotip, ditandai dengan beberapa tipe yaitu striped jack nervous necrosis virus (SJNNV), tiger puffer nervous necrosis virus (TPNNV), barfin flounder nervous necrosis virus (BFNNV), dan redspotted grouper nervous necrosis virus (RGNNV), berdasarkan pada tingkat kesamaan (urutan basa pada 380) dari sekuen RNA2 (Nishizawa et al., 1997).

2. Patogenisitas dan Gejala Klinis

Patogenisitas dan gejala-gejala klinis dari serangan VNN berhubungan dengan syaraf yang mempengaruhi jaringan lainnya. Organ-organ target yang diserang oleh virus ini yaitu sistem syaraf pusat (otak dan sum-sum tulang belakang) dan retina (OIE, 2003). Menurut Chi et al. (1997), kerapu yang terinfeksi VNN akan menunjukan gejala klinis pada keseimbangannya, yaitu berenang secara terbalik dengan bagian ventral pada permukaan air‚ pola berenang yang memutar dan tidak teratur. Selain itu terjadi perubahan pigmentasi serta gejala umum lainnya meliputi anorexialethargy dan anemia (Korsnes‚ 2008). Sifat VNN yang menyerang syaraf (otak dan mata) dapat menyebabkan gerak renang yang tidak normal, sehingga kondisi ikan menjadi lemah dan akan berlanjut pada tingkat kematian yang tinggi (Amelia, 2012). Menurut Prayitno (2002), penyakit Viral Nervous Necrosis (VNN) dapat menyebabkan kematian atau kerusakan syaraf sentral pada ikan, sehingga tidak mampu untuk merespon berbagai rangsangan dan tidak adanya keseimbangan dalam bergerak maupun berenang dan akhirnya ikan mengalami kematian.


(20)

3. Distribusi Geografis dan Mortalitas

Wilayah-wilayah ditemukannya serangan penyakit ini mencakup Asia Tenggara, Asia Selatan‚ Asia Timur, Oceania (Australia dan Tahiti), Mediterrania (Perancis, Greece, Italia, Malta, Portugal dan Spanyol), Ukraina, Norwegia, dan Amerika Utara (Canada, USA) (Zafran et al., 2000). Di Indonesia kasus serangan VNN pertama kali diidentifikasi pada hatchery kakap di Jawa Timur pada tahun 1997. Kemudian pada tahun 1998 kasus kematian yang disebabkan oleh VNN ditemukan pada budidaya ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) dengan tingkat kematian mencapai 100 % (Sugianti, 2005). Serangan VNN menyebabkan kematian pada larva mencapai 70%, kematian pada ikan-ikan yang berukuran 2,5-7‚5 cm mencapai 100% dan pada ikan yang berukuran >15 cm tingkat kematian yang ditimbulkan mencapai <20% (Nagasawa and Cruz-Lacierda, 2004).

C. Jintan Hitam (Nigella sativa) 1. Taksonomi dan Morfologi

Klasifikasi dan morfologi tanaman jintan hitam menurut Hutapea (1994) adalah sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae

Ordo : Ranunculales

Famili : Ranunculaceae Genus : Nigella


(21)

12

Batang tumbuhan ini berwarna hijau kemerahan, tegak, lunak, beralur, berusuk dan berbulu kasar, rapat atau jarang dan disertai dengan adanya bulu-bulu yang berkelenjar. Daunnya berbentuk daun lanset garis (lonjong), panjang 1,5 sampai 2 cm. Merupakan daun tunggal yang ujung dan pangkalnya runcing, tepi berigi dan berwarna hijau. Pertulangan menyirip dengan tiga tulang daun yang berbulu. Mahkota bunga pada umumnya berjumlah delapan, berwarna putih kekuningan, agak memanjang, lebih kecil dari kelopak bunga, berbulu jarang dan pendek. Akarnya merupakan akar tunggang, cokelat. Buahnya berupa polong, bulat panjang, dan cokelat kehitaman. Serta bijinya yang kecil, bulat, hitam, berkeriput tidak beraturan dan sedikit berbentuk kerucut dengan panjang 3 mm (Gambar 5).

Gambar 5. Biji Jintan Hitam

2. Habitat

Tanaman jintan hitam merupakan tanaman semak dengan ketinggian lebih kurang 30 cm. Ekologi dan penyebaran tanaman ini tumbuh mulai dari daerah Levant, kawasan Mediterania Timur sampai ke arah timur Samudera Indonesia, dan dikenal sebagai gulma semusim dengan keanekaragaman yang kecil. Budidaya perbanyakan tanaman dilakukan dengan biji (Hutapea‚ 1994).


(22)

3. Kegunaan sebagai Imunostimulator

Jintan hitam memiliki banyak kegunaan berdasarkan berbagai penelitian yang telah dilakukan. Salah satu kegunaan jintan hitam adalah mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Jintan hitam meningkatkan rasio antara sel-T helper dengan sel-T penekan (supressor) sebesar 55-72%, yang mengindikasikan peningkatan aktivitas fungsional sel pembunuh alami dan efek jintan hitam sebagai imunomodulator (El-Kadi et al. 1986; Haq et al. 1999). Kandungan timokuinon pada jintan hitam menstimulasi sum-sum tulang dan sel imun, produksi interferon, melindungi kerusakan sel oleh infeksi virus, menghancurkan sel tumor dan meningkatkan jumlah antibodi yang diproduksi sel-B (Gali-Muhtasib et al.‚ 2007).

D. Kesehatan Ikan 1. Sistem Imun Ikan

Sistem imunitas ikan dibentuk oleh jaringan limfoid yang menyatu dengan myeloid yang dikenal dengan jaringan limfomyeloid. Pada ikan, organ tersebut adalah limpa, timus dan ginjal bagian depan. Jaringan yang dihasilkan oleh jaringan limfomyeloid adalah sel-sel darah dan respon imunitas baik seluler maupun hormonal (Fange, 1982). Menurut Magnadottir (2010)‚ sistem imun mampu melindungi organisme melawan serangan penyakit dengan mengidentifikasi dan mengeliminasi patogen serta menekan munculnya tumor. Selain itu sistem imun juga menjaga kestabilan kondisi (homeostasis) selama perkembangan dan pertumbuhan organisme. Sistem imunitas yang dimiliki ikan


(23)

14

sebagian besar hampir sama dengan vertebrata-vertebrata lainnya meskipun terdapat beberapa perbedaan penting (Uribe et al.‚ 2011).

Seperti ikan teleostei pada umumnya‚ kerapu tikus memiliki dua sistem pertahanan tubuh yaitu non spesifik (innate) dan spesifik (adaptive). Sistem imun non spesifik telah ada sejak lahir dan merupakan pertahanan tubuh terdepan‚ bereaksi cepat dan langsung menghadapi serangan berbagai mikroorganisme

patogen (antigen) (Ellis‚ 2001). Sedangkan sistem imun spesifik membutuhkan waktu untuk mengenali antigen terlebih dahulu namun sangat spesifik terhadap jenis patogen tertentu dan mampu membentuk memori spesifik antigen. Kedua sistem tersebut bekerja sama untuk mendeteksi beberapa antigen (virus‚ bakteri‚ fungi ataupun parasit) yang masuk ke dalam tubuh inang dan selanjutnya akan menghancurkan serta memusnahkannya dari inang (Yanuhar‚ 2010). Namun perbedaan dengan vertebrata lainnya‚ ikan merupakan organisme hidup secara bebas mulai dari stadia awal embrionik dari hidupnya dan bergantung pada sistem imun non spesifik mereka untuk dapat tetap hidup (Rombout et al.‚ 2005).

2. Imunostimulan

Imunostimulan merupakan senyawa biologi dan sintesis yang dapat meningkatkan respon imun non spesifik. Imunostimulan yang telah banyak dikenal antara lain β -glukan‚ peptidoglikan dan lipopolisakarida (LPS) (Roza et al.‚ 2006). Beberapa vitamin seperti vitamin A, B dan vitamin C juga dapat digunakan sebagai imunostimulan (Sohne et al. 2000; Galeotti 1998). Imunostimulan dapat diberikan melalui injeksi, bersama pakan (per oral) dan perendaman (Anderson‚ 1992).


(24)

Pemilihan cara aplikasi imunostimulan didasarkan atas kepraktisan dan efisiensi dalam kegiatan budidaya.

Imunostimulan direspon ikan dengan peningkatan aktivitas dan reaktivitas sel pertahanan seluler ataupun humoral (Anderson and Siwicki‚ 1993). Mekanisme imunostimulan dalam tubuh merangsang makrofag untuk memproduksi interleukin yang akan menggiatkan sel limfosit yang kemudian membelah menjadi limfosit T dan limfosit B. Limfosit T memproduksi interferon yang meningkatkan kemampuan makrofag sehingga dapat memfagositosis bakteri‚ virus dan partikel asing lainnya yang masuk ke dalam tubuh ikan (Raa et al‚ 1992). Aktivitas fagositik ini merupakan salah satu bentuk dari peningkatan respon seluler dan pada akhirnya akan meningkatkan respon humoral.

3. Darah Ikan

Sel dan cairan darah (plasma darah) merupakan aspek diagnosa yang penting untuk dikaji, karena aspek tersebut mempunyai peran fisiologis yang sangat penting serta mampu menggambarkan kondisi kesehatan ikan. Svobodova and Vyukusova (1991) menjelaskan bahwa pemeriksaan darah dapat digunakan untuk mengevaluasi kondisi ikan, menguji efek zat beracun pada ikan, menguji kualitas pakan yang diberikan pada ikan dan mengevaluasi efek tekanan situasi.

Darah ikan terdiri dari atas komponen cairan (plasma) dan komponen seluler (sel-sel darah). Sel-(sel-sel darah terdiri dari eritrosit ((sel-sel darah merah), leukosit ((sel-sel darah putih) dan trombosit (keping darah), yang diedarkan ke seluruh tubuh melalui


(25)

16

sistem sirkulasi tertutup (Wedemeyer and Yasutke, 1977). Darah ikan mengalir dari jantung melalui aorta ventral dan arteri – arteri brankhial menuju ke insang untuk keperluan oksigenasi (Irianto‚ 2005).

Eritrosit pada ikan merupakan jenis sel darah yang paling banyak jumlahnya. Bentuk eritrosit pada semua jenis ikan hampir sama. Jumlah eritrosit berbeda-beda pada berbagai spesies dan juga sangat dipengaruhi oleh suhu (Takashima and Hibiya‚ 1995). Jumlah eritrosit pada ikan teleostei berkisar antara (1,05 - 3,0) x 106 sel/mm3 (Irianto‚ 2005). Eritrosit berwarna kekuningan, berbentuk lonjong, kecil, dengan ukuran berkisar antara 7 - 36 μm (Lagler et al.‚ 1977). Eritrosit yang sudah matang berbentuk oval sampai bundar, inti berukuran kecil dengan sitoplasma besar. Inti sel eritrosit terletak sentral dengan sitoplasma terlihat jernih kebiruan dengan pewarnaan giemsa (Chinabut et al.‚ 1991).

Leukosit merupakan jenis sel yang aktif di dalam sistem pertahanan tubuh. Setelah dihasilkan di organ timus dan ginjal, leukosit kemudian diangkut dalam darah menuju ke seluruh tubuh (Irianto‚ 2005). Leukosit akan ditanspor secara khusus ke daerah yang mengalami peradangan yang serius (Guyton‚ 1997).

Leukosit tidak berwarna dan jumlah leukosit total ikan teleostei berkisar antara (2 -15) x 104 sel tiap mm3. Leukosit berbentuk lonjong sampai bulat (Moyle and Chech‚ 1988). Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humoral organisme terhadap zat-zat asing. Leukosit dapat melakukan gerakan amuboid dan melalui proses diapedesis leukosit dapat meninggalkan kapiler


(26)

dengan menerobos antara sel-sel endotel dan menembus kedalam jaringan penyambung (Effendi, 2003).

Leukosit terdiri dari dua golongan utama, yaitu agranular dan granular. Leukosit agranular mempunyai sitoplasma yang tampak homogen, dan intinya berbentuk bulat atau berbentuk ginjal. Leukosit granular mengandung granula spesifik (yang dalam keadaan hidup berupa tetesan setengah cair) dalam sitoplasmanya dan mempunyai inti yang memperlihatkan banyak variasi dalam bentuknya. Terdapat 2 jenis leukosit agranular yaitu; limfosit yang terdiri dari sel-sel kecil dengan sitoplasma sedikit, dan monosit yang terdiri dari sel-sel yang agak besar dan mengandung sitoplasma lebih banyak. Terdapat 3 jenis leukosit granular yaitu neutrofil, basofil, dan asidofil (eosinofil) (Effendi, 2003).

Sel neutrofil berdiameter 12–15 μm memilliki inti yang khas padat terdiri atas sitoplasma pucat di antara 2 hingga 5 lobus dengan rangka tidak teratur dan mengandung banyak granula merah jambu (azuropilik) atau merah lembayung (Hoffbrand and Pettit, 1996). Neutrofil terbentuk lebih dari setengah jumlah leukosit secara keseluruhan. Sel-sel ini merupakan garis terdepan dalam pertahanan melawan infeksi-infeksi bakteri (Stock and Hoffman‚ 2000).

Rupa monosit bermacam-macam, pada umumnya lebih besar daripada leukosit darah tepi yaitu diameter 16-20 μm dan memiliki inti besar di tengah oval atau berlekuk dengan kromatin mengelompok. Sitoplasma yang melimpah berwarna biru pucat dan mengandung banyak vakuola halus. Prekursor monosit dalam


(27)

18

sumsum tulang (monoblas dan promonosit) sukar dibedakan dari mieloblas dan monosit (Hoffbrand and Pettit, 1996). 3-8% dari sirkulasi leukosit merupakan monosit-monosit (0‚3 x 109/L) (Stock and Hoffman‚ 2000).

Sebagian besar limfosit yang terdapat dalam darah tepi merupakan sel kecil yang berdiameter kecil dari 10 μm. Intinya yang gelap berbentuk bundar atau agak berlekuk dengan kelompok kromatin kasar dan tidak berbatas jelas. Sitoplasmanya berwarna biru dan dalam kebanyakan sel, terlihat seperti bingkai halus sekitar inti. Kira-kira 10% limfosit yang beredar merupakan sel yang lebih besar dengan diameter 12-16μm dengan sitoplasma yang banyak yang mengandung sedikit granula azuropilik. (Hoffbrand and Pettit, 1996). Sel-sel ini disebut sel Natural Killer karena mereka memiliki kemampuan untuk menghancurkan infeksi virus (Stock and Hoffman‚ 2000).

Hematokrit adalah persentase eritrosit di dalam darah (Guyton‚ 1997). Hematokrit digunakan untuk mengukur perbandingan antara eritrosit dengan plasma, sehingga hematokrit memberikan rasio total eritrosit dengan total volume darah dalam tubuh. Nilai hematokrit dipengaruhi oleh ukuran dan jumlah eritrosit (Ganong‚ 1995). Nilai hematokrit pada ikan teleostei berkisar antara 20 - 30% dan pada ikan laut bernilai sekitar 42% (Bond‚ 1979). Nilai hematokrit di bawah 30% menunjukan adanya defisiensi eritrosit (Nabib dan Pasaribu‚ 1989). Amlacher (1970) mengemukakan bahwa selain infeksi bakteri, nafsu makan juga berpengaruh pada jumlah eritrosit sehingga berpengaruh pula terhadap nilai hematokrit dan konsentrasi hemoglobin di dalam sirkulasi darah.


(28)

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan Oktober 2013 di Laboratorium Budidaya Perikanan Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian UNILA dan Laboratorium Kesehatan Lingkungan Balai Besar Pengembangan dan Budidaya Laut Lampung.

B. Alat dan Bahan

Adapun alat yang digunakan antara lain bak pemeliharaan 4 buah (4 perlakuan), aerator, selang aerasi, batu aerasi, timbangan digital, spatula, autoklaf, pellet pestle, cool box, ice pack, ember, pipet tetes, alat bedah, sarung tangan, masker, spuit dengan needle 26 G ukuran 1 ml, tabung eppendorf, haemocytometer, kaca penutup, pipet tetes, mikroskop, baki, spidol, gelas objek, tabung hematokrit dengan heparin, cawan petri‚ erlenmeyer‚ tabung reaksi‚ spreader‚ sentrifuge‚ mikropipet‚ yellow tipmikrotube (1‚5 ml) ‚ mikroplate well‚ gelas objek‚ mikroskop‚ termometer suhu, pH meter, dan DO meter.

Sedangkan bahan yang diperlukan yaitu kerapu tikus (Cromileptes altivelis) dengan bobot sekitar 36 gr sebanyak 40 ekor, pakan buatan (Megami®), ekstrak


(29)

20

jintan hitam (HPA™), putih telur, larutan EDTA 10%, etanol, larutan turk, methanol, giemsa, aquades, minyak imersi, kretosoel (lilin), darah ikan kerapu tikus, media TSA‚ bakteri Vibrio alginolyticus‚ formalin 1‚5%‚ PBS‚ alkohol 70%, leukosit‚ etanol absolut‚ safranin 0‚15%, sampel air akuarium pemeliharaan ikan kerapu tikus.

C. Prosedur Penelitian 1. Tahap Persiapan

1.1.Persiapan wadah dan ikan uji

Wadah yang akan digunakan berupa bak sebanyak 4 buah. Wadah disusun dan dilabeli secara acak. Sebelum digunakan bak dibersihkan dan dilakukan disinfeksi kemudan diisi air yang telah diendapkan dan diaerasi selama 24 jam. Ikan kerapu tikus disiapkan dengan ukuran ±36 gr sebanyak 40 ekor lalu diadaptasikan dalam wadah uji selama 7 hari. Ikan dipelihara dan diberi pakan berupa pellet (Megami®). Selama masa pemeliharaan atau adaptasi dilakukan manajemen kualitas air dan kesehatan ikan.

1.2.Pembuatan Pakan

Pakan yang digunakan berupa pellet apung dan ditimbang sebanyak 1 kg. Jintan hitam ditimbang sesuai dosis lalu dicampurkan ke dalam pakan dengan bantuan penambahan putih telur ayam sebagai binder dan diaduk dengan spatula. Pellet dikeringkan dengan cara diangin-anginkan, kemudian didinginkan pada suhu kamar dan dikemas dalam wadah.


(30)

1.3.Peningkatan Virulensi Viral Necrosis Virus (VNN)

Kerapu tikus yang positif terinfeksi VNN disiapkan. Sampel tersebut didapatkan dari koleksi di Balai Besar Pengembangan dan Budidaya Laut Situbondo . Sampel yang terbukti positif dari hasil Uji PCR (Polymerase Chain Reaction) diisolasi berdasarkan Postulat River. Adapun metode pembuatan isolat VNN yakni organ (otak. mata, ginjal, hati, otot daging) diambil dari ikan yang terserang VNN dan digerus dengan menggunakan mortar. Organ yang sudah digerus dimasukkan ke microtube dan ditambahkan PBS steril 1 ml. Microtube dimasukkan ke dalam stirrer dengan kecepatan 12000 rpm selama 10 menit. Kemudian air gerusan disaring dengan menggunakan milipore (ThermoTM) 0,45 µm dan dimasukan ke

microtube untuk mendapatkan virus VNN yang akan diganaskan. Air hasil saringan diambil sebanyak 1ml dengan menggunakan spuit.

Kerapu tikus yang sehat disuntikan dengan isolat VNN tersebut secara intra peritoneal. Kemudian ikan dipelihara dan diamati gejala yang timbul untuk mengetahui perkembangan infeksi VNN pada ikan tersebut. Jika ikan mati dan menunjukkan gejala klinis terserang VNN maka organ-organnya diambil dan dibuat isolat VNN yang lebih banyak. Isolat VNN dalam microtube disusun pada rak dan selanjutnya dimasukkan kedalam freezer dengan suhu -81 0C.


(31)

22

2. Tahap Pelaksanaan

2.1.Pemberian Pakan dengan Penambahan Jintan Hitam

Dalam penelitian ini ikan dikelompokkan ke dalam 4 bak perlakuan dengan dosis pemberian jintan hitam 0%‚ 2‚5%‚ 5% dan 7‚5% /kg pakan. Kerapu tikus ukuran 8-10 cm dikelompokkan dalam empat bak perlakuan masing-masing berjumlah 10 ekor. Masing-masing ikan diberi pakan pellet dengan frekuensi dua kali sehari secara ad libitum (sampai ikan kenyang). Ikan perlakuan diberi tambahan jintan hitam dengan konsentrasi sebanyak 2,5% jintan hitam /kg pakan, 5% jintan hitam /kg pakan, dan 7,5% jintan hitam /kg pakan selama 38 hari (5 minggu).

2.2.Uji Tantang

Uji tantang dilakukan pada hari ke-38 pemberian pakan dengan penambahan imunostimulan dari jintan hitam dengan menginfeksikan filtrat sampel kerapu tikus yang positif terinfeksi VNN. Uji tantang dilakukan pada ikan uji kerapu tikus yang diberi jintan hitam maupun ikan kontrol sebanyak 0‚1 ml/ekor filtrat VNN secara intraperitonial.

2.3.Pengambilan Darah

Pengambilan darah melalui vena kaudal yang berada di pangkal ekor ikan menggunakan spuit ukuran 1 ml. Sebelumnya, jarum suntik dan tabung ependorf dibilas dengan larutan EDTA 10% untuk mencegah pembekuan darah. Darah disimpan dalam mikrotube ukuran 1‚5 ml. Pengambilan sampel darah ikan


(32)

dilakukan pada hari ke-0 (sebelum penambahan imunostimulan jintan hitam), hari ke-7, hari ke-14, hari ke-21, dan hari ke-42 (hari ke-4 setelah uji tantang).

3. Tahap Pengamatan

3.1.Perhitungan Total Leukosit

Perhitungan total leukosit dalam penelitian ini dilakukan menurut Blaxhall dan Daisley (1973) dengan sedikit modifikasi. Pertama kali bilik hitung haemocytometer dan kaca penutupnya dibersihkan dengan etanol, kemudian dipasang kaca penutup pada haemocytometer. Sampel darah dihisap dengan pipet berskala sampai 0,5 dilanjutkan dengan menghisap larutan turk sampai skala 11 (pengenceran 1:20), kemudian digoyangkan selama 3 menit agar bercampur homogen. Empat tetesan pertama dibuang, tetesan berikutnya dimasukan kedalam haemocytometer dengan meletakan ujung pipet pada bilik hitung tepat batas kaca penutup dan dibiarkan selama 3 menit agar leukosit mengendap dalam bilik hitung. Bilik hitung diletakkan di bawah mikroskop menggunakan pembesaran lemah. Penghitungan dilakukan pada 4 kotak besar haemocytometer. Rumus yang digunakan untuk menghitung adalah sebagai berikut:

Total leukosit/mm3 = jumlah sel leukosit terhitung x pengenceran x 1

Volume kotak besar

3.2.Persentase Diferensial Leukosit (Neutrofil, Monosit dan Limfosit)

Perhitungan diferensial leukosit (neutrofil, monosit dan limfosit) dilakukan menurut Amlacher (1970) dengan sedikit modifikasi adalah sebagai berikut:


(33)

24

a. Pembuatan sediaan apus darah

Kaca objek dibersihkan dengan etanol. Kemudian diteteskan darah ikan uji sekitar 1 cm dari ujung sebelah kiri kaca objek. Kemudian sisi kiri kaca objek dipegang dengan ibu jari dan telunjuk tangan kiri. Kaca pemulas dipegang dengan tangan kanan dan diletakkan di depan tetesan darah membentuk sudut sekitar 30o dari kaca objek membuka ke kanan. Kaca pemulas disentuhkan pada tetesan darah kemudian digeser kearah kanan sehingga darah tersebut akan menyebar sepanjang sisi kaca pemulas. Sudut antara kedua kaca objek harus dijaga agar tetap 30o kemudian kaca pemulas didorong dengan mantap dan cepat sepanjang kaca objek, selanjutnya dikeringanginkan dan siap untuk diwarnai.

b. Cara pewarnaan giemsa

Sediaan apus darah diletakkan di baki dengan sediaan apus di sebelah atas. Sediaan tersebut digenangi dengan methanol secukupnya selama 5-10 menit kemudian kelebihan methanol yang terdapat pada sediaan dibuang, selanjutnya digenangi dengan giemsa selama 25 menit. Dibilas dengan akuades dan dikeringanginkan.

c. Cara pemeriksaan

Minyak imersi diteteskan pada bagian sediaan yang eritrositnya tidak saling menumpuk diamati dengan perbesaran kuat (objektif 100x). Macam-macam bentuk leukosit dihitung sepanjang sediaan apus darah. Perhitungan dihentikan bila jumlahnya telah mencapai 100 sel leukosit dan hasilnya dihitung dalam persen (%).


(34)

3.3.Pengukuran Kadar Hematokrit

Dalam Penelitian ini pengukuran kadar hematokrit pada darah dilakukan menurut Anderson and Siwicki (1993) dengan sedikit modifikasi. Sampel darah dimasukan kedalam tabung hematokrit sampai kira-kira 4/5 bagian tabung, ujungnya (bertanda merah) disumbat dengan kretoseal. Hematokrit tersebut disentrifus selama 15 menit dengan kecepatan 3.500 rpm. Pengukuran kadar hematokrit dilakukan dengan membandingkan volume padatan sel darah dengan volume seluruh darah pada skala hematokrit.

3.4.Uji Aktifitas Fagositosis

Pengujian aktifitas fagositosis dari leukosit yang dilakukan merujuk pada Amlacher (1970) dengan sedikit modifikasi. V.alginolyticus dikultur pada TSA, dan diinkubasi pada 37oC selama 24 jam. Kultur V.alginolyticus dipanen dengan penambahan PBS dan dibunuh dengan 2% formalin selama 24 jam. V.alginolyticus dicuci dengan menggunakan PBS sebanyak 3 kali dengan sentrifugasi pada 3000 rpm selama 15 menit. Kepadatan V.alginolyticus diestimasi dengan spektrofotometer. Tabung kapiler hematokrit diisi dengan sampel darah+EDTA dan disentrifus dengan cara yang sama seperti pada uji leukokrit dan hematokrit. Tabung kapiler hematokrit kemudian dipotong pada batas antara eritrosit dan leukosit, bagian leukosit ditampung pada mikrotube. Leukosit sebanyak 100 l dimasukkan dalam mikroplate well, kemudian ditambah

Kadar Hematokrit = volume sel darah merah x 100% total darah


(35)

26

dengan V.alginolyticus (kepadatan 108 sel/ml) dengan volume yang sama. Kemudian V. alginolyticus dicampur dengan leukosit secara pipetting dan diinkubasi selama 20 menit. Berikutnya sampel dari mikroplate well diambil sebanyak 5 l dan diletakkan pada objek glass, dibuat preparat ulas, dan didiamkan dengan cara dikeringanginkan. Objek glass difiksasi dengan etanol (95%) selama 5 menit, dan dikeringanginkan. Kemudian preparat diwarnai dengan safranin (0,15%) selama 10 menit dan diamati dengan mikroskop perbesaran 1000x, minimal 100 sel. Sel dengan aktifitas fagositosis dan sel yang tidak beraktifitas fagositosis dihitung minimal 100 sel. Kemudian aktifitas fagositosis (AF), dihitung dengan rumus :

AF (%) =

fagosit yang diamati

aktif yang fagosit

x 100%

3.5.Perhitungan Relative Percent Survival (RPS) dan Survival Rate (SR) Kerapu Tikus

Pengamatan jumlah kematian ikan dari masing-masing perlakuan dilakukan setiap hari dimulai dari uji tantang hingga akhir perlakuan. Selanjutnya dihitung kelangsungan hidup relatif menurut Ellis (1988) dengan rumus sebagai berikut :

RPS = [ 1 – v ] x 100% k

Keterangan: RPS = Relative Percent Survival

v = mortalitas ikan yang diberi perlakuan k = mortalitas ikan kontrol


(36)

Sedangkan Laju Sintasan atau SR (Survival Rate), dihitung berdasarkan rumus: SR = x100%

No Nt

Keterangan :

Nt : jumlah ikan hidup pada akhir penelitian No : jumlah ikan pada awal penelitian

3.6.Perhitungan Mean Time to Death

Waktu rerata kematian (mean time to death, MTD) diukur dengan menghitung waktu rata-rata yang dibutuhkan virus untuk membunuh ikan kerapu tikus. Perhitungan MTD dilakukan sesuai dengan rumus baku:

MTD =

  n i n i bi aibi 1 1 Keterangan :

a : waktu kematian pada hari ke-i

b : jumlah ikan yang mati pada hari ke-i (ekor)

3.7.Kualitas Air

Parameter kualitas air yang diamati adalah oksigen terlarut, pH, amoniak, salinitas dan suhu. Pengukuran parameter kualitas air dilakukan secara harian dan berkala atau mingguan. Kualitas air dijaga dengan melakukan penyiponan setiap pagi dan dilakukan pergantian air setiap hari sebanyak 10% sampai 20% dari volume air.


(37)

28

D. Analisis Data

Data hasil pengamatan meliputi beberapa parameter-parameter hematologi yaitu total leukosit‚ diferensial leukosit‚ kadar hematokrit dan aktivitas fagositosis serta parameter-parameter kualitas air yaitu suhu‚ oksigen terlarut‚ pH dan salinitas. Data pada penelitian ini dianalisis secara dekskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.


(38)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Penambahan jintan hitam memiliki pengaruh terhadap peningkatan respon imun non spesifik kerapu tikus (Cromileptes altivelis) yang diinfeksi Viral Nervous Necrosis.

B. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka penulis menyarankan perlu penelitian lebih lanjut untuk mengevaluasi penambahan jintan hitam dalam pakan pada skala lapang (dalam sistem budidaya di alam) dengan memperhatikan periode pemberian.


(39)

DAFTAR PUSTAKA

Ahlquist, P., Noueiry, A.O., Lee, W.M., Kushner, D.B., Dye, B.T. 2003. Host factors in positive-strand RNA virus genome replication. Journal of Virology. 77: 8181-8186.

Alifuddin‚ M.. 1999. Peran Imunostimulan (Lipopolisakarida, Saccharomyces cere-visiae and Levamisol) terhadap Peningkatan Respons Imunitas Ikan Jambal Siam (Pangasius hypopthalmus). (Tesis). Pascasarjana IPB.Bogor. 50 hlm

2002. Imunostimulasi pada hewan aquatik. Jurnal Akuakultur Indonesia. 1: 87-92.

Almendras, J.M.E. and E.S. Catap. 2002. Immunity and Biological Methods of Disease Prevention and Control. SEAFDEC/AQD. Tighbauan Iloilo Philiphine.30 hlm.

Amelia, N., Prayitno. dan B. Slamet. 2012. Pengaruh ekstrak daun jambu biji (Psidium guajava) untuk menginaktifkan Viral Nervous Necrosis (VNN) pada ikan kerapu bebek (Epinephelus fuscoguttatus). Journal Of Aquaculture Management and Technology. 1: 264 - 278.

Amlacher, E. 1970. Text Book of Fish Disease. D.A.T.F.H. Publication. New York. 302 hlm.

Anderson, D.P. 1992. Immunostimulant, Adjuvant and Vaccine Carrier In Fish: Applications to Aquaculture. Annual Review of Fish Diseases. 21: 281-307. Anderson, D.P. and A.K. Siwicki. 1993. Basic Hematology and Serology for Fish

Health Programs. Asian Fisheries Society. 17 hlm.

Attia, Y.A., A. El-Din., H.S. Zeweil., A.S. Hussein., E.S.M. Qota., and M.A. Arafat. 2008. The effect of supplementation of enzyme on laying and reproductive performance in japanese quail hens feed nigella seed meal.

Journal Poult Sci.45: 110 - 115.

Bashandy, A.E.S. 2006. Effect of fixed oil Nigella sativa on male fertility in

normal and hyperlipidemic rats.Journal Pharmacol. 2: 104 - 109

Bastiawan, D., A. Wahid., M. Alifudin. dan I. Agustiawan. 2001. Gambaran Darah Lele dumbo (Clarias spp.) Yang Diinfeksi Cendawan Aphanomyces sp pada pH yang berbeda. Jurnal Penelitian Indonesia. 7: 44 - 47.


(40)

Bond‚ C.E. 1979. Biology of Fish. W. B. Saunders. Toronto.

Boseila‚ A.A.H and A.A.H. Messalam. 2011. Immunostimulant effect of different fractions of Nigella sativa L. seeds againts rabies vaccine. Journal Nature and Science. 9: 90 - 96.

Bowden‚ T.J.‚ Thompson‚ K.D.‚ Morgan‚ A.L.‚ Gratacap‚ R.M.L.‚ Nikoskelainen‚ S. 2006. Seasonal variation and the immune response : Afish perspective. J Fish and Shellfish Immunology. Article in press: 1-12. Chi, S.C., C.F. Lo., G.H. Kou., P.S. Chang., S.E. Peng. and S.N. Chen. 1997.

Mass mortalities associated with Viral Nervous Necrosis (VNN) disease in

two species of hatchery-reared grouper, Epinephelus fuscogutatus and Epinephelus akaara (Temminck & Schlegel). Journal of Fish Diseases. 20: 185 - 193.

Chinabut, S., C. Limsuwan. and Katsuwan. 1991. Histology of Walking Catfish Clarius batracus. IDRC, Canada.

Corbel, M.J. 1975. The immune response in fish: A review. Journal Fish Biol. 7:

539 - 563.

Dorucu, M., S.O. Colak., U. Ispir., B. Altinterim. and Y. Celayir. 2009. The effect of black cumin seeds, Nigella sativa, on the immune response of rainbow trout, Oncorhynchus mykiss. Mediterranean Aquaculture Journal. 2: 1-7.

Durani‚ F.R.‚ N. Chand.‚ K. Zaka.‚ A. Sultan.‚ F.M. Khattak.and Z. Durrani. 2007. Effect of different levels of feed added black seed (Nigella sativa L.)

on the Performance of broiler Chicks. Pakistan Journal of Biological Sciences. 10: 4164 - 4167.

Effendi‚. 2003. Peranan Leukosit sebagai AntiInflamasi Alergik dalam Tubuh. Universitas Sumatera Utara. Sumatera Utara.

Ellis, A.E. 1989. The Imunology of Teleost. In: Robert RJ, (ed). Fish Patology. Bailliere Tindall. London 18 hlm.

El-Kadi, A. and O. Kandil. 1986. Effect of Nigella sativa (The Black Seed) on Immunity. Proceeding of the 4th International Conference on Islamic Medicine, Kuwait. Bull Islamic Me. 4: 344-350.

Fange‚ R. 1982. A Comparative Study of Lymphoid Tissue in Fish:

Developmenttal and Comparative Immunology Suplement. Journal Fish Bio. 2: 23 – 33.


(41)

Fenner‚ F.J.‚ E.P.J. Gibbs.‚ F.A. Murphy.‚ R. Roil.‚ Studdert. and D.O. White. 1993. Virology Veteriner. Academic Press. California

Galeotti, M. 1998. Some aspects of the application of immunostimulants and a critical review of methods for their evaluation. Journal Appl. Ichthyol. 14:

189 - 199.

Gali-Mustahib‚ A.‚ N. El-Najjar.‚ R. Schneider-Stock. 2007. The medicinal potential of black seed (Nigella sativa) and its components. Advances in Phytomedicine. 2: 133-153.

Ganong, W.F. 1995. Buku Ajar fisiologi Kedokteran (Review of Medical Physiologi). Ed ke-4. Terjemahan P Adianto. EGC. Jakarta.

Grotmol, S., Bergh, Ø., Totland, G.K. 1999. Transmission of viral encephalopathy and retinopathy (VER) to yolksack larvae of the Atlantic halibut Hippoglossus hippoglossus: occurrence of nodavirus in various organs and apossible route of infection. Diseases of Aquatic Organisms. 36:95-106. Guyton, A.C. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Irawati Setiawan

(Penerjemah). Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Jakarta.

Haq, A., P.L. Lobo., M. Al-Tufail., N.R. Rama and S.T. Al-Sedairy. 1999. Immunomodulatory effect of Nigella sativa proteins fractionated by ion exchange chromatography. Int J Immunopharmacol. 21: 283-285.

Heemstra‚ P.C. and J.E. Randall. 1993. Vol.16. Groupers of the world (Family Serranidae‚ Subfamily Epinephelinae). FAO Species Catalogue.

Hoffbrand‚ A.V. and J.E. Pettit. 1992. Kapita Selekta Hematologi. Edisi ke-2. Terjemahan I. Darmawan. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta.

Hutapea, J.R. 1994. Inventaris Tanaman Obat Indonesia (III). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 163 hlm..

Irianto‚ A. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Gajah Mada Universitas Press. Yogyakarta.

Johnny, F., D. Roza., K. Mahardika.,Zafran. dan A. Prijono. 2005. Penggunaan imunostimulan untuk meningkatkan kekebalan non spesifik benih ikan kerapu lumpur (Ephinepelus coioides)terhadap infeksi virus irido. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 11: 75 – 83.

LeRoith‚ T. and Ahmed‚ S.A. 2012. Regulatory T Cells and Viral Disease, Inflammation, Chronic Diseases and Cancer - Cell and Molecular Biology, Immunology and Clinical Bases, Dr Mahin Khatami (Ed.), Available from:


(42)

Klopp‚ R.‚ W. Schmidt.‚ W. Niemer.‚ M. Werner. and J. Beuth. 2001. Changes in immunological characteristics of white blood cell after administration od standardized mistletoe extract. In Vivo 15: 447 - 458.

Kollner‚ B. and G. Kotterba. 2002. Temperature dependent activation of leucocyte population of rainbow trout Onchorinchus mykiss after intraperitonieal

immunization with Aeromonas salmonicida. Journal Fish & Shellfish Immunology. 12: 35 - 48.

Kordi, M. 2001. Usaha Pembesaran Ikan Kerapu di Tambak. Kanisius. Yogyakarta.

Korsners‚ K. 2008. Nervous Necrosis Virus (NNV) in Farmed Norwegian Fish Species. University of Bergen. Bergen. 86 hlm.

Kresno‚ S.B. 2001. Imunologi Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Edisi Ketiga Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta

Lagler, K.F., J.E Bardach., R.R Miller. dan D.R.M. Passino. 1997. Ichtyology. John Wiley and Sons Inc. New York.

Mady‚ WH.‚ Arafa‚ A.‚ Hussein‚ A.S.‚ Aly‚ M.M.‚ Madbouly‚ H.M. 2013. Nigella Sativa Oil as an Immunostimulant Adjuvant in H5 Based DNA Vaccine of H5N1 Avian Influenza Virus. Global Veterinaria. 10: 663-668. Magnadottir‚ B. 2010. Immunologial Control Fish of Diseases. Mar Biotechnol.

12: PU361-379.

Manning‚ M.J. and Nakanishi ‚T. 1996. The Spesific Immune System : Cellular Defenses. California Academy Press. 45 hlm.

Morvan‚ C.L.‚ D. Troutaud. and P. Deschaux. 1998. Perspective differential effects of temperature on specific and on specific immune defences in fish.

Journal of experimental Biology. 201: 165-168.

Moyle‚ P.B. dan J.J. Cech. 1988. Fishes An Introduction to Icthyology. Prentice Hall, Inc. USA. hlm 559.

Munday, B.L., J. Kwang. and N. Moody. 2002. Betanodavirus infections of teleost fish: a review. J. Fish Dis. 25: 127-142.

Murphy‚ F.A.‚ E.P.J. Gibbs.‚ M.C. Horzinek. and M.J. Studdert. 1999. Verterinary Virology. Third Edition. Academic Press. California. 628 hlm.


(43)

Mushiake, K., T. Nishizawa., T. Nakai., I. Furusawa. and K. Muroga. 1994. Control of VNN in striped jack: selection of spawners based on the detection of sjnnv gene by polymerase chain reaction (PCR). Fish Pathol.

29: 177 - 182.

Nabib, R. dan F.H. Pasaribu. 1989. Patologi Dan Penyakit Ikan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. IPB. Bogor.

Nagasawa‚ K. And E. Cruz-Lacierda. 2004. Diseases of Cultured Groupers. Goverment of Japan Trust Fund.

Nakai, T., H.D. Nguyen., T. Nishizawa., K. Muroga., M. Arimoto. and K. Ootsuki. 1994. Occurrence of Viral Nervous Necrosis in kelp grouper and tiger puffer.Fish Pathol. 29: 211 - 212.

Nergiz, C. and S. Ötles. 1993. Chemical composition of Nigella Sativa L. seeds. Food Chem. 48: 259 - 261.

Nishizawa, T., M. Furuhashi., T. Nagai., T. Nakai. and K. Muroga. 1997. Genomic Classification Of Fish Nodaviruses By Molecular Phylogenetic Analysis Of The Coat Protein Gene. Appl Environ Microbiol. 63: 1633 - 1636.

Office International des Epizooties (OIE) .2003. Viral Encephalopathy and Retinopathy or Viral Nervous Necrosis. In Diagnostic Manual For Aquatic Animal Diseases, Eds. OIE. Paris. 9 hlm.

Prayitno, B.S. 2002. Peran Budidaya Perairan Khususnya Penanganan Penyakit Ikan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Pidato Pengukuhan. Universitas Diponegoro. Semarang.

Putri , R.R., U. Yanuhar. dan A.M. Suryanto. 2013. Perubahan struktur jaringan mata dan otak pada larva ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) yang terinfeksi Viral Nervous Necrosis (VNN) dengan pemeriksaan scanning electron microscope (SEM). MSPi Student Journal. 1: 1 - 10.

Putri , D.I.L., A. Tumulyadi dan Sukandar. 2013. Tingkah Laku Pemijahan, Pembenihan, Pembesaran Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis) di balai

budidaya air payau situbondo.PSPK Student Journal. 1: 11-15.

Raa‚ J.‚ G. Roestad.‚ R. Engstad. and B. Robertsen. 1992. The Use of Immunostimulant to Increase Resistance of Aquatic Organisms to Microbial Ifections. Disease in Asian Aquaculture 1. Fish Health Sect. Asian Fish Soc. Manila. 12 hlm.


(44)

Risamasu, F.J.L. 2008. Inovasi Teknologi Penangkapan Ikan Karang dengan Bubu Dasar Berumpon. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Rombout, J.H., H.B.T. Huttenhuis., S. Picchietti. and S. Scapigliati. 2005. Phylogeny and ontogeny of fish leucocites. Fish and Shellfish Immunology. 19: 441 - 455.

Salem‚ M.L. 2005. Immunomodulatory and theurapeutic properties of the Nigella sativa L. Seed.International Immunopharmacology. 5: 1749 - 1770.

Salem‚ M.L.‚ F.Q. Alenzi. and W.Y. Attia. 2011. Thymoquinone‚ the active ingredient of Nigella sativa seeds‚ enhances survival and activity of antigen-spesific CD-positive T cells in vitro. British Journal of Biomedical Science.

68 :131- 137.

Santika‚ A. 2007. Efektivitas Suplementasi Kromium-Ragi (Cr+3) untuk Meningkatkan Ketahanan Tubuh Ikan Mas terhadap virus Herpes pada suhu rentan KHV. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 186 hlm

Satheeskumar‚ P.‚ Anatham. and D.S. Kumar. 2011. Haematology and biochemical parameters of different feeding behaviour of teleost fhises from

Vellar estuary‚ India.Comp Clin Pathol: Springer 5 pg.

Satyantini‚ W.H. 2013. Teknologi produksi fikosianin Spirulina Platensis dan pemanfaatannya sebagai imunostimulan pada ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis). (Disertasi). Pascasarjana IPB. Bogor. 126 hlm. Setianto, A. 2011. Usaha Budidaya Ikan Kerapu. Pustaka Baru Press. Yogyakarta. Setiawati‚ M.‚ I. Mokoginta.‚ M.A. Suprayudi. dan W. Manalu. 2007. Pengaruh penambahan mineral Fe pada pakan ikan terhadap status kesehatan ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis). Jurnal Perikanan dan Kelautan. 12: 55- 63.

Shewita‚ R.S. and A.E. Taha. 2011. Effect of dietary supplementation of different levels of black seed (Nigella Sativa L.) on growth performance,

immunological, hematological and carcass parameters of broiler chicks.

World Academy of Science, Engineering and Technology. 77 : 788 - 849. Sohne, K.S., M.K. Kim., J.D. Kim. and I.K. Han. 2000. The role of

immunostimulants in monogastric animal and fish – review. J. Anim. Sci.

13: 1178 - 1187.

Stock‚ W. and R. Hoffman. 2000. White blood cells 1: non-malignant disorders. The Lance. 355: 1351-1357.


(45)

Subyakto, S. dan S. Cahyaningasih. 2003. Pembenihan Kerapu Skala Rumah Tangga. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Sugianti, B. 2005. Pemanfaatan Tumbuhan Obat Tradisional Dalam Pengendalian Penyakit Ikan. Makalah Pribadi Falsafah Sains (PPS-702). Institut Pertanian Bogor. Bogor

Suhermanto‚ A.‚ S. Andayani. dan Maftuch. 2011. Pemberian total fenol teripang pasir (Holothuria scabra) untuk meningkatkan leukosit dan diferensial leukosit ikan mas (Cyprinus carpio) yang diinfeksi bekteri Aeromonas Hydrophila. Jurnal Kelautan. 4 : 49-56.

Svobodova, Z. and B. Vyukusova. 1991. Diagnostik, Prevention and Therapy of Fish Disease and Intoxication. Research Institute of fish Culture and Hydrobiology Vodnany Czechoslovakia.

Takashima, F. and T. Hibiya. 1995. An Atlas of Fish Histology Normal and Pathological Feature. Second Edition. Takashima F. Kodansha Ltd Tokyo. Tanaka, S., H. Aoki and T. Nakai. 1998. Pathogenicity ofthe nodavirus detected

from diseased sevenband grouper Epinephelus septemfasciatus. Fish Pathol.

33: 31 - 36.

Thiery, R., C. Arnauld. and C. Delsert. 1999. Two isolates of sea bass, Dicentrarchus Labrax L., Nervous Necrosis Virus with distinct genomes. Journal Fish Dis. 22: 201 - 207.

Thiery, R., J. Cozien., J. Cabon., F. Lamour., M. Baud and A. Schneemann. 2006. Induction of a protective immune response against Viral Nervous Necrosis in the European Sea Bass Dicentrarchus labrax by using betanodavirus

virus-like particles. Journal of Virology. 80: 10201 - 10207.

Uribe‚ C.‚ H. Folch.‚ H.‚ R. Enriquez. and G. Morgan. 2011. Innate and adaptive immunity in teleost fish : a review. Verterinari Medicina. 56: 486 - 503. Van de Ligt‚ J.L.G.‚ M.D. Lindeman.‚ R.J. Harmon.‚ H.J. Monegue. and G.L.

Cromwell. 2002. Effect of chromium tripicolinate suplementationon porin immune respone during periparturient and neonatal period. J Animal Siene. 80: 456-466.

Weber, M. dan L.F. de Beaufort. 1940. The fishes of the Indo-Australian Archipelago. Vols. 1-8. Leiden: EJ Brill.

Wedemeyer, G.A. and Yasutke. 1977. Clinical Methods for The Assessment on The Effect of Enviromental Stress on Fish Health. Technical Paper of The US Departement of The Interior Fish and the Wildlife Service. 89: 1-17.


(46)

Yanuhar‚ Uun. 2010. The role of immunogenic adhesin Vibrio alginolyticus 49 kDa to molecule expression of majorhistocompatibility complex on receptors of Humpback Grouper Cromileptes altivelis. World Academy of

Science‚ Engineering and Technology. 43: 968 - 973.

Yanuhar‚ Uun. 2011. The function of receptor protein humpback groper (Cromileptes altivelis) in expression and profileration of CD4 and CD8 cells in defence immunity of VNN infection. International Journal of Bioscience Biochemistry and Bioinformatics. 1: 119 – 124.

Yuasa, K., D. Roza., I. Koesharyani., F. Johnny., and K. Mahardika. 2000. General Remarks on Fish Disease Diagnosis. Textbook for the Training Course on Fish Disease Diagnosis.14 hlm.

Zafran, K.I., F. Johnny., K. Yuasa., T. Harada. dan K. Hatai. 2000. Viral Nervous Necrosis in Humpback Grouper Cromileptes altivelis Larvae and Juveniles

In Indonesia. Fish Pat hol. 35: 95 - 96.


(47)

(48)

Persiapan Penelitian

Persiapan wadah dan ikan uji

 Bak ukuran 40x30x30cm sebanyak 4 buah dicuci, didesinfeksi, dan dikeringkan

 Diletakkan secara acak dan diberi label

 Diisi air dengan padat tebar ikan kakap putih 10 ekor/bak.

 Adaptasi ikan selama 7 hari

Pencampuran pakan dengan jintan hitam

 Pakan buatan ditimbang sebanyak 1 kg.

 Serbuk jintan hitam dicampurkan pada pakan, ditambahkan putih telur sebagai binder dan diaduk.

 Pellet dikeringkan dengan cara diangin-anginkan.

Pelaksanaan Penelitian

Pemberian pakan yang dicampur imunostimulan

 Pakan diberikan selama 42 hari pemeliharaan

 Frekuensi 2x/hari, pukul 08.00 dan 16.00 WIB

Uji Tantang

 Uji tantang pada hari ke-38

 Penyuntikan filtrat VNN ke tubuh semua ikan uji secara intra peritoneal (i.p) dengan dosis 0,1 ml/ekor.

Pengambilan Darah

 Pengambilan sampel darah pada hari ke- 0, 7, 14, 21 dan 4 hari setelah uji tantang

 Jarum suntik dan microtube dibilasdengan EDTA 10%

 Darah diambil dari 5 ekor ikan, dipilih secara acak pada setiap bak, lalu disimpan di microtube

Parameter pengamatan

Hematologi

 Hematokrit

 Total Leukosit

 Diferensial Leukosit

 Uji Fagositosis

Kualitas Air  Suhu  pH  DO  Salinitas Analisis Data Deskriptif Penyusunan Laporan

Pembuatan Filtrat VNN

 Beberapa organ dari kerapu tikus yang positif terserang VNN

 Organ tersebut digerus dengan mortar kemudian dimasukkan dalam mikrotube dan ditambah PBS

 Mikrotube disentrifuse dengan keepatan 12000 rpm selama 10 menit kemudian disaring dengan milipore

 Filtrat disuntikkan kepada kerapu dengan dosis 0‚ 1ml/ekor

yang sehat untuk diamati gejala terserangnya VNN

 Ikan yang menunjukkan gejala diambil organnya untuk dibuat filtrat kembali dan dapat disimpan dalam freezer -81oC


(49)

Lampiran 2. Data Pengamatan Darah 1. Total Leukosit

Total Leukosit A1 A2 A3 A4

Pengamatan Hari ke-0 26400 27500 30800 28600 Pengamatan Hari ke-7 29700 30800 31900 33000 Pengamatan Hari ke-14 27500 34100 36300 70400 Pengamatan Hari ke-21 28600 37400 68200 77000 Pengamatan Hari ke-42 30800 66000 79200 91300

2. Diferensial Leukosit a. Persentase Monosit

Monosit A1 A2 A3 A4

Pengamatan Hari ke-0 3 4 5 3

Pengamatan Hari ke-7 5 6 8 7

Pengamatan Hari ke-14 2 9 10 12

Pengamatan Hari ke-21 4 8 4 8

Pengamatan Hari ke-42 7 11 9 13

b. Persentase Limfosit

Limfosit A1 A2 A3 A4

Pengamatan Hari ke-0 57 59 58 56

Pengamatan Hari ke-7 58 59 64 63

Pengamatan Hari ke-14 57 63 61 60

Pengamatan Hari ke-21 54 64 59 67

Pengamatan Hari ke-42 57 70 63 74

c. Persentase Neutrofil

Neutrofil A1 A2 A3 A4

Pengamatan Hari ke-0 40 37 37 41

Pengamatan Hari ke-7 37 35 28 30

Pengamatan Hari ke-14 41 28 29 28

Pengamatan Hari ke-21 36 28 37 25

Pengamatan Hari ke-42 36 21 32 13

3. Persentase Hematokrit

Hematokrit A1 A2 A3 A4

Pengamatan Hari ke-0 46.15 36.5 33.33 35.39 Pengamatan Hari ke-7 45.93 45.38 46.51 35.72 Pengamatan Hari ke-14 48.98 41.37 48.37 42.62 Pengamatan Hari ke-21 54.54 47.1 36.36 37.16 Pengamatan Hari ke-42 66 59.61 54.71 41.92


(50)

Lampiran 3. Tahap Pemeriksaan Profil Darah 1. Pengambilan Darah

Jarum suntik dan mikrotube 1,5 ml disiapkan

Dibilas dengan larutan EDTA 10% sebanyak 1/3 dari darah yang

diambil

Darah ikan diambil melalui vena caudalis

Darah disimpan dalam mikrotube 1,5 ml


(51)

62

Lampiran 3. Tahap Pemeriksaan Profil Darah 2. Perhitungan Total Leukosit

Kaca penutup dipasang pada haemacytometer

Dilanjutkan dengan menghisap larutan turk

hingga skala 11 (pengenceran 1:20)

Haemacytometer dan kaca penutupnya dibersihkan dengan etanol

Sampel darah dihisap dengan pipet berskala hingga skala 0,5

Pipet digoyangkan selama 3 menit agar bercampur homogen


(52)

Tetesan berikutnya dimasukkan ke dalam

haemacytometer

Dibiarkan selama 3 menit agar leukosit

mengendap

Bilik hitung diletakkan di bawah mikroskop menggunakan perbesaran

lemah

Perhitungan dilakukan pada 4 kotak besar haemocytometer


(53)

64

Lampiran 3. Tahap Pemeriksaan Profil Darah 3. Perhitungan Diferensial Leukosit

Diletakkan setetes darah kerapu tikus

Kaca pemulas disentuhkan pada tetesan darah

kemudian digeser

Kaca obyek yang telah diulas darah dikeringanginkan dan siap diwarnai

Kaca Obyek dibersihkan dengan etanol

Sediaan apus darah diletakkan di baki dengan sediaan apus di sebelah atas


(54)

Sediaan tersebut digenangi dengan methanol secukupnya selama 5-10 menit

Kemudian dilanjutkan untuk digenangi dengan giemsa selama 25

menit

Dibilas dengan akuades dan dikeringkan

Gelas obyek diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran kuat

Berbagai jenis leukosit dihitung sepanjang sediaan apusan darah dan dihentikan bila jumlahnya


(55)

66

Lampiran 3. Tahap Pemeriksaan Profil Darah 4. Pengukuran Hematokrit

Sampel darah kerapu tikus disiapkan

Darah disedot dengan menggunakan tabung

hematokrit

Salah satu bagian ujung tabung disumbat menggunakan lilin dan

diberi label

Tabung dibungkus dengan tissue dengan cara digulungkan


(56)

Dimasukkan ke dalam tabung valcon

Dimasukkan ke dalam mesin sentrifuse pada kecepatan 3500

rpm selama 15 menit

Setelah disentrifuse tabung hematokrit diukur menggunakan penggaris


(57)

68

Lampiran 4. Uji Aktivitas Fagositosis

Bakteri yang telah dilemahkan dan sel darah putih kerapu tikus

dicampurkan ke dalam microdilution plate dengan

perbandingan 1:1

Dilakukan pipeting agar homogen dan diinkubasi selama 4 jam

Diambil sekitar 50µl kemudian diteteskan diatas gelas obyek untuk

di ulas

Dilakukan pewarnaan menggunakan giemsa dan diamati dibawah mikroskop


(58)

Lampiran 5. Uji Tantang

Filtrat VNN yang telah diisolasi dari kerapu tikus

Dilakukan injeksi VNN terhadap kerapu tikus sebanyak 0,1 ml secara intraperitonial

Ikan dipelihara dan diamati hingga menunjukkan gejala terinfeksi VNN


(59)

70

Lampiran 6. Pembuatan Isolat Bakteri Vibrio alginolyticus yang Dilemahkan

Bakteri dicuci dengan PBS sebanyak 3 kali

Divortex selama ± 1 menit

Disentrifuse pada 3000 rpm selama 15 menit

Bakteri V. alginolyticus di kultur pada media semi solid atau TSA

Bakteri dipanen dan diinkubasi dengan formalin

1‚5% selama 24 jam

Kepadatan Bakteri dihitung menggunakan standar McFarland hingga didapat kepadatan 107 sel/ml


(60)

Lampiran 7. Pembuatan Isolat VNN

Beberapa organ diambil dari ikan yang positif terinfeksi VNN

Organ tersebut digerus dengan mortar

Organ yang sudah digerus dimasukkan ke dalam microtube dan ditambahkan dengan PBS steril 1ml

Microtube disentrifuse dengan kecepatan 12000 rpm selama 10 menit


(61)

72

Air hasil saringan diambil sebanyak 1 ml menggunakan

spuit

Kerapu tikus disuntikkan isolat VNN secara intraperitonial

Hasil sentrifuse disaring menggunakan milipore

0‚45 µm dan dimasukkan kedalam microtube

Ikan dipelihara dan diamati hingga muncul gejala klinis serangan VNN

Organ- organ ikan yang terserang VNN diambil dan dibuat isolat yang lebih banyak untuk disimpan dalam


(1)

Dimasukkan ke dalam tabung valcon

Dimasukkan ke dalam mesin sentrifuse pada kecepatan 3500

rpm selama 15 menit

Setelah disentrifuse tabung hematokrit diukur menggunakan penggaris


(2)

Lampiran 4. Uji Aktivitas Fagositosis

Bakteri yang telah dilemahkan dan sel darah putih kerapu tikus

dicampurkan ke dalam microdilution plate dengan

perbandingan 1:1

Dilakukan pipeting agar homogen dan diinkubasi selama 4 jam

Diambil sekitar 50µl kemudian diteteskan diatas gelas obyek untuk

di ulas

Dilakukan pewarnaan menggunakan giemsa dan diamati dibawah mikroskop


(3)

Lampiran 5. Uji Tantang

Filtrat VNN yang telah diisolasi dari kerapu tikus

Dilakukan injeksi VNN terhadap kerapu tikus sebanyak 0,1 ml secara intraperitonial

Ikan dipelihara dan diamati hingga menunjukkan gejala terinfeksi VNN


(4)

Lampiran 6. Pembuatan Isolat Bakteri

Vibrio alginolyticus

yang Dilemahkan

Bakteri dicuci dengan PBS sebanyak 3 kali

Divortex selama ± 1 menit

Disentrifuse pada 3000 rpm selama 15 menit

Bakteri V. alginolyticus di kultur pada media semi solid atau TSA

Bakteri dipanen dan diinkubasi dengan formalin 1‚5% selama 24 jam

Kepadatan Bakteri dihitung menggunakan standar McFarland


(5)

Lampiran 7. Pembuatan Isolat VNN

Beberapa organ diambil dari ikan yang positif terinfeksi VNN

Organ tersebut digerus dengan mortar

Organ yang sudah digerus dimasukkan ke dalam microtube dan ditambahkan dengan PBS steril 1ml

Microtube disentrifuse dengan kecepatan 12000 rpm selama 10 menit


(6)

Air hasil saringan diambil sebanyak 1 ml menggunakan

spuit

Kerapu tikus disuntikkan isolat VNN secara intraperitonial

Hasil sentrifuse disaring menggunakan milipore 0‚45 µm dan dimasukkan kedalam microtube

Ikan dipelihara dan diamati hingga muncul gejala klinis serangan VNN

Organ- organ ikan yang terserang VNN diambil dan dibuat isolat yang lebih banyak untuk disimpan dalam


Dokumen yang terkait

Uji Aktivitas Inhibisi Fraksi-Fraksi Hasil Kolom Kromatografi dari Ekstrak Biji Jintan Hitam (Nigella sativa L.) terhadap Enzim RNA Helikase Virus Hepatitis C

0 11 80

Efek ekstrak biji jintan hitam (nigella sativa) terhadap jumlah spermatozoa mencit yang diinduksi gentamisin

2 59 75

PROFIL HISTOPATOLOGI KERAPU TIKUS (Cromileptes altivelis) YANG DISTIMULASI JINTAN HITAM (Nigella sativa) DAN DIINFEKSI Viral Nervous Necrosis (VNN)

5 38 54

PENGARUH JINTAN HITAM (Nigella sativa) TERHADAP HISTOPATOLOGI IKAN KAKAP PUTIH (Lates calcarifer) DENGAN UJI TANTANG VIRAL NERVOUS NECROSIS (VNN)

5 61 52

PENGARUH PEMBERIAN JINTAN HITAM (Nigella sativa) TERHADAP RESPON IMUN NON-SPESIFIK KAKAP PUTIH (Lates calcarifer B.) YANG DIINFEKSI VIRAL NERVOUS NECROSIS (VNN)

4 47 55

APLIKASI BAKTERIN SEBAGAI IMUNOSTIMULAN UNTUK PENCEGAHAN INFEKSI VIRAL NERVOUS NECROSIS (VNN) PADA BENIH IKAN KERAPU BEBEK, Cromileptes altivelis | Roza | Jurnal Perikanan (Journal of Fisheries Sciences) 8875 16124 1 PB

0 0 10

Peningkatan Respon Imun Non-Spesifik Benih Kerapu Bebek, Cromileptes altivelis dengan Imunostimulan dan Bakterin terhadap Infeksi Viral Nervous Necrosis (VNN) | Roza | Jurnal Perikanan (Journal of Fisheries Sciences) 160 93 1 PB

0 1 11

EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN Macaranga tanarius DALAM MENGINAKTIFASI VIRAL NERVOUS NECROSIS IKAN KERAPU TIKUS

0 0 8

PENGARUH JINTAN HITAM (Nigella sativa) TERHADAP HISTOPATOLOGI ORGAN KAKAP PUTIH (Lates calcarifer) YANG TERINFEKSI VIRAL NERVOUS NECROSIS SECARA BUATAN

0 0 6

TESIS GENOTYPING Viral Nervous Necrosis (VNN) PADA IKAN KERAPU DI WILAYAH JAWA TIMUR DAN NUSA TENGGARA BARAT

0 0 16