PROFIL HISTOPATOLOGI KERAPU TIKUS (Cromileptes altivelis) YANG DISTIMULASI JINTAN HITAM (Nigella sativa) DAN DIINFEKSI Viral Nervous Necrosis (VNN)

(1)

PROFIL HISTOPATOLOGI KERAPU TIKUS (Cromileptes altivelis) YANG DISTIMULASI JINTAN HITAM (Nigella sativa)

DAN DIINFEKSI Viral Nervous Necrosis (VNN)

Oleh

SEPTI DIANA SARI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar SARJANA PERIKANAN

Pada

Jurusan Budidaya Perairan

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(2)

ABSTRAK

PROFIL HISTOPATOLOGI KERAPU TIKUS (Cromileptes altivelis) YANG DISTIMULASI JINTAN HITAM (Nigella sativa)

DAN DIINFEKSI Viral Nervous Necrosis (VNN)

Oleh

Septi Diana Sari1), Wardiyanto2), dan Agus Setyawan2)

Jintan hitam (Nigella sativa) memiliki manfaat sebagai imunostimulan pada kerapu tikus (Cromileptes altivelis) yang terinfeksi Viral Nervous Necrosis (VNN). Penambahan jintan hitam sebanyak 7,5% menunjukkan peningkatan respon imun kerapu tikus. Namun, penambahan jintan hitam belum diketahui pengaruhnya terhadap kerusakan jaringan ikan. Penelitian dilakukan untuk mengetahui profil histopatologi kerapu tikus yang distimulasi jintan hitam dan diinfeksi VNN. Ikan dimasukkan dalam lima bak perlakuan yaitu kontrol, diinfeksi VNN, serta diinfeksi VNN dengan penambahan 2,5%, 5%, dan 7,5% jintan hitam pada pakan. Organ yang diamati meliputi otak, mata, ginjal, hati, dan insang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan jintan hitam, tidak mempengaruhi profil histopatologi pada kerapu tikus yang terinfeksi VNN. Kata kunci: Kerapu Tikus, Jintan Hitam, VNN, Histopatologi

1)

Mahasiswa Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung

2)

Dosen Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung Alamat: Jl. Prof. Dr. Sumantri Brojonegoro No. 1 Bandar Lampung 35145


(3)

(4)

(5)

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

DAFTAR ISTILAH ... viii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang ... 1

1.2Tujuan ... 3

1.3Kerangka Pikir ... 3

1.4Manfaat Penelitian ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis) ... 6

2.1.1 Taksonomi dan Morfologi Kerapu Tikus ... 6

2.1.2 Habitat dan Distribusi Ikan Kerapu Tikus ... 7

2.1.3 Pakan dan Kebiasaan Makan Ikan Kerapu Tikus ... 8

2.2 Viral Nervous Necrosis (VNN) ... 9

2.2.1 Karakteristik Viral Nervous Necrosis (VNN) ... 9

2.2.2 Gejala Klinis dan Faktor Penyebaran (VNN) ... 9

2.2.3 Transmisi dan Mekanisme Infeksi VNN ... 10

2.2.4 Penanggulangan VNN ... 11


(7)

2.3.3 Manfaat Jintan Hitam ... 14

2.4 Histopatologi ... 15

2.4.1 Organ yang Digunakan untuk Histopatologi ... 16

III. METODE PENELITIAN ... 20

3.1Waktu dan Tempat ... 20

3.2Alat dan Bahan ... 20

3.2.1 Persiapan Penelitian... 20

3.2.1.1Pengganasan VNN/Uji Kohabitasi ... 20

3.2.1.2Persiapan Wadah dan Ikan Uji ... 21

3.2.1.3Pencampuran Pakan dengan Jintan Hitam ... 21

3.2.2 Tahap Pelaksanaan ... 21

3.2.2.1Pemberian Jintan Hitam dan Uji Tantang ... 21

3.2.2.2Pembuatan Preparat Histopatologi ... 22

3.2.3 Pengamatan... 22

3.2.3.1Pengamatan Preparat Histopatologi ... 22

3.2.3.2Analisa Kualitas Air ... 22

3.3Desain Penelitian ... 23

3.4Metode Penelitian... 24

3.4.1 Persiapan Penelitian... 24

3.4.1.1Pengganasan VNN/Uji Kohabitasi ... 24

3.4.1.2Persiapan Wadah dan Ikan Uji ... 25

3.4.1.3Pembuatan Pakan ... 25

3.4.2 Tahap Pelaksanaan ... 25

3.4.2.1Pemberian Jintan Hitam ... 25

3.4.2.2Uji Tantang ... 25

3.4.2.3Pembuatan Preparat Histopatologi ... 26

3.4.3 Pengamatan... 28

3.4.3.1Pengamatan Gejala Klinis dan Perubahan Fisik ... 28


(8)

3.6Waktu Pelaksanaan Penelitian ... 29

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30

4.1 Hasil ... 30

4.1.1 Pemeriksaan Gejala Klinis ... 30

4.1.2 Pemeriksaan Histopatologi ... 32

4.1.3 Analisis Kualitas Air ... 42

4.2 Pembahasan ... 43

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 50

5.1 Simpulan ... 50

5.2 Saran ... 50

DAFTAR PUSTAKA ... 51


(9)

I. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Budidaya perikanan banyak diminati masyarakat untuk meningkatkan pendapatan serta memperoleh keuntungan yang cukup banyak. Salah satu budidaya ikan yang bisa dijadikan usaha oleh masyarakat adalah budidaya kerapu tikus atau biasa disebut dengan kerapu bebek (Cromileptes altivelis). Ikan ini memiliki potensi untuk dikembangkan di Indonesia serta memiliki nilai ekonomis tinggi. Harga kerapu tikus ditingkat nelayan dapat mencapai Rp 400.000/Kg (KKP, 2012). Total potensi budidaya laut Indonesia sebesar 3.776.000 ha dan yang sudah dimanfaatkan sebesar 45.676 ha. Permintaan dunia akan kerapu cenderung meningkat baik dari sisi kuantitas maupun harganya. Total permintaan produksi kerapu saat ini mencapai 35.000 ton per tahun dengan kisaran harga US$ 25 – US$ 125 (KKP, 2012).

Permasalahan yang sering muncul dalam kegiatan budidaya adalah adanya penyakit yang menginfeksi organisme budidaya. Penyakit-penyakit dalam kegiatan budidaya biasanya disebabkan oleh parasit, bakteri, jamur, dan virus. Penyakit yang umumnya menginfeksi kerapu tikus adalah Viral Nervous Necrosis (VNN). Viral Nervous Necrosis (VNN) adalah jenis virus Nodaviridae yang menyerang ikan kerapu, terutama pada stadia larva dan benih. VNN dapat


(10)

menyebabkan kematian masal hingga mencapai 100% pada stadia larva (Putri et al., 2013). Prayitno (2002) menyatakan bahwa penyakit Viral Nervous Necrosis (VNN) dapat menyebabkan kematian karena virus ini merusak saraf sentral pada ikan, sehingga berbagai rangsangan tidak mampu direspon dan keseimbangan dalam bergerak terganggu sehingga sulit berenang dan akhirnya ikan mengalami kematian.

Salah satu cara untuk mengatasi masalah kerapu yang terinfeksi virus adalah dengan perbaikan nutrisi dengan memanfaatkan respon imun yang terdapat pada tubuh ikan (Suprayudi, 2006). Khasiat jintan hitam bagi kesehatan sudah banyak dirasakan oleh masyarakat, namun untuk penelitian yang dimanfaatkan kepada hewan masih sedikit. Berdasarkan penelitian Dorucu et al. (2009), pemanfaatan ekstrak jintan hitam pada ikan rainbow trout dapat menurunkan mortalitas yang disebabkan oleh serangan patogen.

Pemeriksaan histopatologi dilakukan melalui pemeriksaan terhadap perubahan-perubahan abnormal pada tingkat jaringan. Purivirojkul (2012) menyatakan bahwa kelebihan pemeriksaan histopatologi dalam mendiagnosa penyakit infeksi adalah untuk mengetahui penyebab infeksinya, klasifikasi penyakit berdasarkan waktu dan distribusi penyakit serta terdeteksinya penyakit infeksi pada ikan-ikan yang tidak menunjukkan gejala klinis.

Virus dalam menginfeksi inangnya dapat menyebabkan perubahan morfologi dalam sel. Informasi penting sering terlewatkan apabila pengamatan mikroskopis


(11)

dari sampel jaringan tidak dilakukan (Gupta, 2009). Guarner dan Brandt (2011), menyatakan bahwa untuk mengetahui adanya invasi jaringan dan reaksi inang terhadap infeksi perlu dilakukan diagnosis histopatologi. Gambaran dari infeksi virus, baik dalam sel maupun jaringan dapat menggambarkan perubahan gejala serta fungsi sel dan jaringan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang difokuskan pada pengaruh penambahan jintan hitam pada konsentrasi yang berbeda pada kerapu tikus yang diinfeksi VNN terhadap perubahan struktur jaringannya.

1.2Tujuan

Tujuan dilakukannnya penelitian ini adalah untuk mengetahui profil histopatologi kerapu tikus (C. altivelis) yang diberi jintan hitam (N. sativa) dan diinfeksi Viral Nervous Necrosis (VNN).

1.3Kerangka Pikir

Masalah yang sering dihadapi dalam budidaya kerapu tikus yaitu sering terinfeksinya kerapu tikus oleh VNN yang bisa menyebabkan kematian sehingga merugikan pembudidaya. Pengendalian atau pencegahan terhadap VNN yang menyerang kerapu tikus perlu dilakukan untuk meminimalisir kerugian yang lebih besar bagi para pembudidaya.

Pengendalian agar penyakit tidak semakin menyebar luas adalah dengan pemakaian bahan kimia, namun pemakaiannya untuk jangka waktu yang panjang dapat menimbulkan dampak negatif. Oleh karena itu, perlu adanya pengendalian


(12)

yang salah satunya dengan menggunakan imunostimulan (imunisasi – vaksinasi) untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh ikan terhadap serangan patogen dan pemakainnya yang ramah lingkungan.

Zaher et al. (2008), menyatakan bahwa jintan hitam efektif digunakan untuk mengobati penyakit virus, kanker, gangguan angiogenetic dan stres oksidatif. Muhtasib et al. (2006), melaporkan keamanan dalam mengkonsumsi jintan hitam dalam jangka waktu yang lama. Kekebalan ikan kerapu terhadap infeksi VNN yaitu dapat dengan peningkatan respon imun non-spesifik (Roza et al., 2006).

Ikan yang terserang suatu patogen strukur jaringannya akan mengalami kerusakan. Sebuah gambaran infeksi virus baik dalam sel dan jaringan dapat menggambarkan gejala dan fungsi sel dan jaringan (Yuwanita et al., 2013). Virus mempunyai sifat spesifik terhadap sel jaringan dan spesies tertentu. Ikan yang terinfeksi VNN terdapat kerusakan sel berupa hipertrofi, kongesti, hemorrage, dan vakuolasi pada seluruh sel dalam jaringan mata dan otak (Putri et al., 2013). Gambaran dari infeksi virus, baik dalam sel maupun jaringan dapat menunjukkan perubahan gejala serta fungsi sel dan jaringan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang difokuskan pada pengaruh penambahan jintan hitam pada konsentrasi yang berbeda pada kerapu tikus yang diinfeksi VNN terhadap perubahan struktur jaringannya.


(13)

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan pengetahuan mengenai keamanan dalam mengkonsumsi jintan hitam pada kerapu tikus yang terinfeksi VNN.

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian

Budidaya Kerapu Tikus

Terserang VNN

Ramah Lingkungan

Tidak residu

Bahan mudah didapat

Jintan Hitam (N.sativa)

Terjadi perubahan morfologi pada jaringan

Diagnosis dengan Histopatologi

Perubahan jaringan C. altivelis yang distimulasi N.

sativa dan

dirinfeksi VNN permasalahan

pengendalian

 Sudah banyak

dimanfaatkan manusia  Penelitian sebelumnya

terbukti mengurangi mortalitas akibat serangan patogen


(14)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis) 2.1.1 Taksonomi dan Morfologi Kerapu Tikus

Menurut Weber dan Beofort (1940), taksonomi kerapu tikus adalah sebagai berikut:

Phylum : Chordata

Subphylum : Vertebrata Class : Osteichthyes

Sub Class : Actinopterigi Ordo : Percomorphi

Sub Ordo : Percoidea Family : Serranidae

Genus : Cromileptes

Species : Cromileptes altivelis

Ciri-ciri ikan kerapu jantan warnanya lebih terang dari pada ikan kerapu tikus yang berkelamin betina (Putri et al, 2013). Weber dan Beoford (1940), menyatakan bahwa ikan kerapu tikus mempunyai sirip punggung dengan 10 duri keras dan 18 – 19 duri lunak, sirip perut dengan 3 duri keras dan 10 duri lunak, sirip ekor dengan 1 duri keras dan 70 duri lunak. Permukaan tubuh Kerapu Tikus


(15)

menyerupai bebek atau tikus, berwarna putih keabuan, berbintik bulat hitam, memiliki moncong, dan kepala lancip.

Gambar 2. Morfologi Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis) (Anonim, 2013)

2.1.2 Habitat dan Distribusi Kerapu Tikus

Habitat ikan kerapu tikus adalah pada perairan berbatu karang, atau karang berlumpur dengan kedalaman 40 – 60 m (Syaifudin et al., 2007). Amiruddin et al. (2009) menyatakan bahwa faktor yang harus diperhatikan dalam pemeliharaan ikan kerapu tikus baik untuk ukuran benih maupun induk adalah kondisi air laut dengan tingkat kecerahan tinggi.

Tabel 1. Parameter kualitas air untuk budidaya ikan kerapu tikus

Parameter Kisaran Optimal

Salinitas (ppt) 25 – 35

Suhu (oC) 25 – 32

pH 7,8 – 8,3

DO (mg/l) 6 – 8

Amoniak (mg/l) < 0,02


(16)

Daerah penyebaran kerapu tikus di mulai dari Pasifik Barat dari selatan Jepang ke Palau, Guam, Kaledonia Baru, dan Selatan Australia. Di Indonesia, ikan kerapu banyak ditemukan di perairan Pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi, Pulau Buru, dan Ambon. Salah satu indikator adanya kerapu adalah perairan karang. Indonesia memiliki perairan karang yang cukup luas sehingga potensi sumberdaya ikan kerapunya sangat besar. Distribusi penyebaran Kerapu Tikus dapat dilihat pada Gambar 3. di bawah ini.

Gambar 3. Distribusi Geografis Kerapu Tikus (C. altivelis) (FAO ,1993 )

2.1.3 Pakan dan Kebiasaan Makan Kerapu Tikus

Ikan kerapu merupakan organisme yang bersifat nocturnal, yaitu aktif bergerak di kolom air pada malam hari untuk mencari makan dan pada siang hari lebih banyak bersembunyi di liang-liang karang (Evalawati et al., 2001). Ikan kerapu tikus merupakan hewan karnivora, sebagaimana jenis ikan-ikan kerapu lainnya. Kerapu tikus dewasa adalah pemakan ikan-ikan kecil, kepiting, dan udang-udangan, sedangkan untuk ukuran larva adalah pemakan moluska, rotifer, mikro krustasea, kopepoda, dan zooplankton. Evalawati et al. (2001) menyatakan bahwa


(17)

ikan kerapu biasa mencari makan dengan menyergap mangsa dari tempat persembunyiannya. Ikan kerapu juga bersifat kanibalisme, namun sifat kanibal kerapu tikus tidak seperti ikan kerapu lainnya karena lebar bukaan mulut kerapu tikus lebih kecil.

2.2 Viral Nervous Necrosis(VNN)

2.2.1 Karakteristik Viral Nervous Necrosis(VNN)

Viral Nervous Necrosis (VNN) atau biasa disebut juga Viral Encephalopathy and Retinopathy (VER) adalah penyakit yang terdaftar oleh The Office International des Epizooties (OIE), menjadi masalah utama di dalam produksi perikanan laut di dunia. VNN termasuk dalam genus Betanodavirus yang berukuran kecil, virion berbentuk bulat, tidak memiliki amplop, genomnya terdiri dari dua molekul rangkaian positif ssRNA (Thiery et al., 2006) serta berdiameter 25-30 nm dan selalu menginfeksi sistem saraf (Nishizawa et al., 1995). Betanodavirus diklasifikasikan dalam empat genotipe yaitu Striped Jack Nervous Necrosis Virus (SJNNV), Barfin Flounder Nervous Necrosis Virus (BFNNV), Tiger Puffer Nervous Necrosis Virus (TPNNV), dan Red-spotted Grouper Nervous Necrosis Virus (RGNNV) (Thiery et al., 2006). VNN dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu Paramyxovirinae dan Rhabdoand pneumovirues (Kolakofsky et al., 2005).

2.2.2 Gejala Klinis dan Faktor Penyebaran Viral Nervous Necrosis(VNN) Gejala klinis yang ditunjukkan ikan kerapu setelah terinfeksi Viral Nervous Necrosis (VNN) yaitu nafsu makan menurun, menunjukkan tingkah laku berenang yang tidak beraturan atau berenang memutar (whirling), gerak renang yang pasif,


(18)

ikan mengapung dengan perut di atas karena pembengkakan gelembung renang, berada di dasar kolam terlihat seperti mati dan warna tubuh terlihat lebih gelap (Chi et al., 1997; Prayitno, 2002; Amelia, 2012).

Gerakan renang ikan berputar-putar (whirling) disebabkan karena VNN merusak otak ikan, sehingga menyebabkan pelemahan syaraf pada otak (Putri et al., 2013). Selain menunjukkan perilaku abnormal dalam berenang, ikan yang terinfeksi VNN melalui analisis histopatologi ditemukan adanya vakuola pada otak, sum-sum tulang belakang, dan mata (Bovo et al., 1999; OIE, 2013).

2.2.3 Transmisi dan Mekanisme Infeksi VNN

Transmisi dari VNN dapat terjadi secara vertikal dan horizontal. Transmisi VNN secara vertikal menyebar dari induk ke larva. VNN menyebar dalam indung telur sehingga telur dapat menyebabkan transmisi vertikal dari virus ini. Transmisi VNN secara horisontal pada populasi ikan liar pada area budidaya dan ikan-ikan liar di laut pernah diketahui terkena infeksi VNN dengan genotip RGNNV (Gomez et al., 2004).

VNN adalah kelas virus dari untai tunggal positif, ss (+) Ribonucleid Acid (RNA) yang menyebabkan penyakit retinopathy dan encephalopathy pada C. altivelis. VNN tidak memiliki amplop sehingga dalam prose infeksi inangnya langsung ke organ reseptor inang seperti otak, jantung, dan ginjal (Yanuhar, 2011). Mekanisme infeksi VNN yaitu melalui ikatan antara VNN adhesin dan molekul reseptor dalam organ kerapu. Viral adhesin dapat terbentuk dari komponen dasar


(19)

viral yaitu coat protein dan asam nukleat. Coat protein VNN merupakan faktor utama dalam mekanisme virus menginfeksi inang (ikan kerapu/ humback grouper) dimana protein memiliki peran dalam menempelnya virus pada reseptor inang (Yanuhar, 2011).

Infeksi yang disebabkan oleh virus dalam sel mengakibatkan perubahan karakteristik morfologi sel (Gupta, 2009). Hasil histopatologi ikan yang terserang VNN, terdapat vakuola dan necrosis di sel saraf otak, spinal cord dan retina (Myung-joo oh, 2002) serta beberapa sel-sel saraf di sumsum tulang belakang intinya menepi dan sitoplasma kosong (Azad et al., 2005).

2.2.4 Penanggulangan VNN

Pengendalian VNN didasarkan pada deteksi virus pada inang yang terinfeksi, karena belum ada pengobatan untuk mencegah VNN pada ikan (Thiery et al., 2006). Salah satu upaya pencegahan infeksi VNN di hatchery adalah dengan menggunakan imunostimulan untuk meningkatkan respon imun pada ikan (Amelia, 2012). Penggunaan imunostimulan sangat dianjurkan karena aman bagi lingkungan, berbeda dengan penggunaan bahan-bahan kimia yang akan berdampak terhadap lingkungan perairan dan patogen-patogen yang menjadi resistensi, bahkan adanya residu antibiotik sehingga berbahaya bagi kesehatan konsumen (Alifuddin, 2002). Wijayanto et al. (2012) menyatakan bahwa penanggulangan infeksi VNN pada ikan adalah menggunakan penambahan vitamin, probiotik bahan herbal atau vaksin untuk meningkatkan imunitas tubuh


(20)

ikan. Ikan yang sudah memiliki gejala terinfeksi VNN harus segera diangkat dan dimusnahkan (Wijayanto et al., 2012).

2.3 Jintan Hitam (Nigella sativa)

Jintan hitam (Nigella sativa) tergolong tanaman dari keluarga Ranunculaceae dan termasuk dari 14 spesies dari genus Nigella (Junaedi et al., 2011). Tanaman ini tumbuh setinggi 30 – 445 cm dengan bunga berwarna biru muda dan putih. Jintan hitam dijadikan sebagai obat alami untuk berbagai penyakit dan sebagai bumbu roti di Timur Tengah maupun Asia Tengah (Junaedi et al., 2011).

2.3.1 Ciri Tanaman Jintan Hitam

Jintan Hitam (N. sativa) merupakan jenis tanaman bunga. Ciri-ciri tanaman ini menurut Junaedi et al. (2011) yaitu, berbatang tegak, berkayu, dan berbentuk bulat menusuk. Daunnya runcing, bercabang, dan bergaris. Tanaman jintan hitam memiliki bunga yang berbentuk bumbung atau buah kurung berbentuk bulat panjang. Bunganya berwarna biru pucat atau putih. Buah jintan hitam bentuknya menggembung, berisi 3-7 unit folikel. Masing-masing folikel berisi banyak biji atau benih. Biji jintan hitam berwarna hitam pekat, berukuran kecil, berserabut, dan panjangnya tidak lebih dari 3 mm. Bentuk bunga dan biji jintan hitam dapat dilihat pada Gambar 4.


(21)

Gambar 4. Tanaman Jintan Hitam (Botnick et al., 2012)

Gambar 5. dibawah ini merupakan biji jintan hitam yang digunakan untuk pembuatan ekstrak biji jintan hitam.

Gambar 5. Biji Jintan Hitam

2.3.2 Kandungan Kimia Jintan Hitam

Bagian jintan hitam yang banyak digunakan sebagai obat-obatan adalah bijinya, karena banyak komponen-komponen senyawa yang terdapat pada bijinya termasuk p-cymene, thymohydroquinon, α-thujene, thymoquinene, ϒ-terpinene, dan carcavanol (Botnick et al., 2012). Biji jintan hitam adalah sebagai sumber mineral yang membantu peran enzim dalam tubuh (Junaedi et al., 2011). Pada Tabel 2. dapat dilihat kandungan nutrisi pada biji dan minyak jintan hitam.


(22)

Tabel 2. Kandungan nutrisi dan kandungan aktif dalam biji dan minyak jintan hitam

Nutrisi dan Kandungan Aktif Jumlah Biji Jintan Hitam

Protein 21 %

Karbohidrat 35 %

Lemak 35 – 38 %

Minyak Jintan Hitam

Minyak Esensial 1,4 %

Carvone 21,1 %

Thymoquinone 0,6 %

Alfa-pinene 7,4 %

Sabinene 5,5 %

Beta-pinene 7,7 %

P-cymene 46,8 %

Lain-lain 11,5 %

Minyak Jintan Hitam

Protein 208 ug/g

Tiamina 15 ug/g

Riboflavin 1 ug/g

Piridoksina 5 ug/g

Niasin 57 ug/g

Folat 610 IU/g

Kalsium 1,8 ug/g

Zat besi 105 ug/g

Tembaga (Cu) 18 ug/g

Seng (Zn) 60 ug/g

Fosfor 5,3 mg/g

Asam Lemak Minyak Jintan Hitam

Asam Miristat (C14:0) 0,5 %

Asam Palmitat (C16:0) 13,7 %

Asam Palmitoleic (C16:1) 0,1 %

Asam Stearat (C18:0) 2,6 %

Asam Oleat (C18:0) 23,7 %

Asam Linoleat/Omega 6 (C18:2) 57,9 % Asam Linolenat/Omega 3 (C18-3n-3) 0,2 %

Asam Arakidat 1,3 %

Asam Lemah Jenuh dan Asam Lemak Tak Jenuh dalam Minyak Jintan Hitam

Saturated Acid 18,1 %

Monounsaturated Acids 23,8 %

Polynunsaturated Acids 58,1 %

Sumber: Junaedi et al., 2011

2.3.3 Manfaat Jintan Hitam

Beberapa penelitian menyatakan bahwa jintan hitam bermanfaat bagi kesehatan khususnya dalam meningkatkan sistem kekebalan tubuh atau imunitas (Junaedi et al., 2011). Jintan hitam efektif digunakan sebagai antivirus (Zaher et al., 2008).


(23)

Ekstrak N. sativa telah menunjukkan efek yang nyata untuk pencegahan terhadap serangan bakteri, jamur, virus, parasit, dan cacing. Beberapa studi telah melaporkan keamanan dalam mengkonsumsi N. sativa bahkan dalam jangka waktu yang lama (Muhtasib et al., 2006). Pemanfaatan jintan hitam sudah dilakukan oleh Suhendi et al. (2011), pada hewan uji mencit jantan untuk menurunkan kadar asam urat dan sebagai imunostimulan ikan rainbow trout (Dorucu et al., 2009).

Mekanisme kerja jintan hitam sebagai imunostimulan adalah melalui imunitas non-spesifik yaitu dengan meningkatkan aktivitas sel natural killer (NK), dimana sel NK merupakan sel yang berperan dalam mengenali dan menghancurkan sel abnormal ketika sel tersebut muncul di jaringan perifer. Jintan hitam sebagai imunostimulan melalui imunitas spesifik dengan meningkatkan rasio antara sel T helper (Th) dengan sel T suppressor (Ts) (BPOM RI, 2013).

2.4 Histopatologi

Histopatologi adalah cabang biologi yang mempelajari kondisi dan fungsi jaringan yang berhubungan dengan penyakit. Histopatologi sangat penting dalam kaitannya dengan diagnosis penyakit karena salah satu pertimbangan dalam penentuan diagnosis adalah melalui hasil pengamatan terhadap jaringan yang diduga terganggu. Histopatologi dapat dilakukan dengan mengambil sampel jaringan atau dengan mengamati jaringan setelah kematian terjadi. Dengan membandingkan kondisi jaringan sehat terhadap jaringan sampel dapat diketahui


(24)

apakah suatu penyakit yang diduga benar-benar menyerang atau tidak (Hossain, 2011).

Pemeriksaan histopatologi bertujuan untuk memeriksa penyakit berdasarkan pada reaksi perubahan jaringan. Pemeriksaan histopatologi dilakukan melalui pemeriksaan terhadap perubahan-perubahan abnormal pada tingkat jaringan (Hossain, 2011). Purivirojkul (2012) menyatakan bahwa, kelebihan pemeriksaan histopatologi dalam mendiagnosa penyakit infeksi adalah untuk mengetahui penyebab infeksinya, klasifikasi penyakit berdasarkan waktu dan distribusi penyakit serta terdeteksinya penyakit infeksi pada ikan-ikan yang tidak menunjukkan gejala klinis.

Pemeriksaan histopatologi juga mempermudah untuk mendeteksi sedini mungkin adanya penyakit metabolisme. Putri et al. (2013) menyatakan bahwa ikan yang terinfeksi VNN setelah dianalisa menggunakan histopatologi, terdapat kerusakan sel berupa hipertrofi, kongesti, hemorrage, dan vakuolisasi pada seluruh sel dalam jaringan mata dan otak.

2.4.1 Organ yang Digunakan untuk Histopatologi a. Otak

Kerusakan sel-sel dalam jaringan otak ikan kerapu terjadi di seluruh bagian jaringan dalam otak, sehingga dapat dikatakan bahwa kerusakan jaringan dalam otak Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis) adalah parah/akut (Putri et al., 2013). Berikut gambaran otak kerapu tikus yang terinfeksi VNN dapat dilihat pada


(25)

Gambar 6. di bawah ini, dimana terjadi keadaan abnormal berupa hipertropi, kongesti, hemoragge, dan vakuolisasi.

Gambar 6. Histopatologi otak Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis) yang terinfeksi VNN (Viral Nervous Necrosis) dengan pewarnaan hematoksilin dan eosin yang dilihat menggunakan mikroskop cahaya perbesaran 400x. Keterangan: a. Hipertrofi, b. Kongesti, c. Hemorrage, d. Vakuolisasi. Putri et al. (2013)

b. Mata

Dalam jaringan mata ikan kerapu yang terinfeksi VNN, kerusakan yang terjadi hampir pada seluruh jaringan mata, sehingga kerusakan yang terjadi termasuk dalam kerusakan yang parah/akut. Hal itu mengakibatkan pelemahan pada saraf mata ikan, selanjutnya mengakibatkan ikan menjadi buta dan berenang abnormal (menabrak dinding kolam) (Putri et al., 2013). Gambaran mata kerapu tikus yang terinfeksi VNN dalam penelitian Putri et al. (2013) adalah sebagai berikut:


(26)

Gambar 7. Histopatologi mata Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis) yang terinfeksi VNN (Viral Nervous Necrosis) dengan pewarnaan hematoksilin dan eosin yang dilihat menggunakan mikroskop cahaya perbesaran 400x. Keterangan: a. Hipertrofi, b. Atrofi. (Putri et al., 2013)

c. Insang

Insang merupakan alat respirasi pada ikan, insang berpeluang besar terinfeksi penyakit karena berhubungan langsung dengan lingkungan luar. Kerusakan pada insang bisa berakibat fatal karena akan menghambat ikan dalam bernafas (Genten et al., 2009). Beberapa perubahan histopatologi pada insang yang umum terjadi antara lain: perubahan regresif, anomali sirkulasi, dan perubahan progresif (Genten et al., 2009).


(27)

d. Ginjal

Ginjal merupakan organ yang sering terinfeksi patogen. Fungsi ginjal antara lain untuk regulasi kadar air tubuh, menjaga keseimbangan garam dan mengeliminasi sisa nitrogen hasil dari metabolisme protein. Apabila ada patogen yang menginfeksi masuk ke dalam ginjal maka penyakit akan mudah menyebar keseluruh tubuh (Genten et al., 2009).

e. Hati

Hati adalah sebagai pembuangan beberapa produk limbah dari darah dan mampu mensintesis atau menyimpan nutrien yang terserap, serta memproduksi cairan empedu. Bedasarkan fungsinya tersebut, hati merupakan organ yang paling banyak mengakumulasi zat toksik yang masuk dalam tubuh sehingga dapat dengan mudah terkena efek toksik. Adanya zat toksik dalam hati maka dapat mempengaruhi struktur histologi hati (Genten et al., 2009).


(28)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus - Oktober 2013 di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung tepatnya di Laboratorium Pembenihan Kuda Laut sebagai tempat selama pemeliharaan dan pemberian perlakuan serta di Laboratorium Kesehatan Ikan dan Lingkungan sebagai tempat untuk analisis histopatologi.

3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Persiapan Penelitian

3.2.1.1 Pengganasan VNN / Uji Kohabitasi

Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam pengganasan VNN adalah sebagai berikut:

a. Alat : Autoklaf, pellet pestle, cool box, ice pack, ember, aerasi, tabung reaksi, pipet tetes, alat bedah, spuit dengan needle 26 G ukuran 1 ml (ThermoTM), microtube, masker, sarung tangan, milipore (ThermoTM) 0,45 µm.

b. Bahan : PBS, ikan kerapu tikus yang terserang VNN, alkohol 70%, ikan media pengganasan virus.


(29)

3.2.1.2 Persiapan Wadah dan Ikan Uji

Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam persiapan wadah dan ikan uji adalah sebagai berikut:

a. Alat : Bak pemeliharaan ikan (ukuran 45 x 35 x 30 cm) 4 buah, aerator, selang aerasi, batu aerasi, dan selang sipon.

b. Bahan : Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis) dengan panjang 10 cm sebanyak 40 ekor dan pakan buatan (Megami®).

3.2.1.3 Pencampuran Pakan dengan Jintan Hitam

Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam pencampuran pakan dengan jintan hitam adalah sebagai berikut:

a. Alat : Timbangan digital, mangkok, spatula dan nampan.

b. Bahan : Pakan buatan (Megami®), jintan hitam (HPA™), dan putih telur (sebagai binder).

3.2.2 Tahap Pelaksanaan

3.2.2.1 Pemberian Jintan Hitam dan Uji Tantang

Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam pemberian vaksin dan imunostimulan adalah sebagai berikut:

a. Alat : Spuit dengan needle 26 G ukuran 1 ml (ThermoTM).

b. Bahan : Pakan buatan (Megami®), kapsul habatussauda/jintan hitam (HPATM) dan isolat virus VNN.


(30)

3.2.2.2 Pembuatan Preparat Histopatologi

Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam pembuatan preparat histopatologi adalah sebagai berikut:

a. Alat : seperangkat alat bedah, botol film, kaset embedding, botol winkler, mesin paraffin mold, mikrotom, floating bath, slide glass, cover glass, rak slide, dan refrigator.

b. Bahan : sampel ikan uji, buffer formalin, larutan bouine, alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 95%, alkohol 100%, akuades, formalin, xylol, parafin, hematoxylin, eosin, dan entellan.

3.2.3 Pengamatan

3.2.3.1 Pengamatan Preparat Histopatologi

Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam analisa kualitas air adalah sebagai berikut:

a. Alat : Mikroskop binokuler, kamera, dan komputer. b. Bahan : Preparat histopatologi yang sudah jadi.

3.2.3.2 Analisa Kualitas Air

Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam analisa kualitas air adalah sebagai berikut:

a. Alat : Termometer suhu, pH meter, dan DO meter.


(31)

3.3 Desain Penelitian

Penelitian terdiri dari 4 perlakuan, dimana setiap bak perlakuan terdapat 10 ekor ikan. Hasil penelitian dianalisis secara deskriptif, analisis yang dilakukan menggunakan referensi dari Genten et al. (2009). Perlakuan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:

Perlakuan A : tanpa penambahan jintan hitam

Perlakuan B : penambahan 2,5% jintan hitam/kg pakan Perlakuan C : penambahan 5% jintan hitam/kg pakan Perlakuan D : penambahan 7,5% jintan hitam/kg pakan

3.4 Metode Penelitian 3.4.1 Persiapan Penelitian

3.4.1.1Pengganasan VNN / Uji Kohabitasi

Adapun metode pembuatan isolat VNN adalah sebagai berikut: a. PBS, microtube dan pellet pestle di autoklaf.

b. Organ diambil dari ikan yang terserang VNN.

c. Organ dimasukkan dalam microtube kemudian ditumbuk menggunakan pellet pestle dan ditambahkan PBS steril 20 ml.

d. Hasil tumbukan di sentrifuge dengan kecepatan 12.000 rpm selama 10 menit.

e. Supernatan diambil kemudian disaring dengan menggunakan milipore (ThermoTM) 0,45 µm dan dimasukan ke dalam microtube untuk mendapatkan isolat virus VNN.


(32)

f. Isolat VNN hasil saringan diambil untuk diinjeksikan pada ikan sebanyak 0,1 ml/ekor dengan menggunakan spuit.

g. Ikan media disuntikan secara intra peritoneal (i.p).

h. Ikan media dipelihara dan diamati gejala yang timbul untuk mengetahui apakah virus VNN sudah menginfeksi ikan tersebut.

i. Jika ikan media pengganasan sudah mati ulangi langkah kerja sebelumnya dan suntikan kepada ikan kerapu tikus sebagai ikan uji.

3.4.1.2Persiapan Wadah dan Ikan Uji

a. Ikan kerapu tikus disiapkan dengan panjang 10 cm sebanyak 40 ekor lalu diadaptasikan selama 7 hari;

b. Ikan dipelihara dan diberi pakan berupa pelet;

c. Selama masa pemeliharaan atau aklimatisasi dilakukan penyiponan setiap pagi dan sore hari.

3.4.1.3Pembuatan Pakan

a. Pakan ditimbang sebanyak 1 Kg;

b. Jintan hitam ditimbang sesuai dosis lalu dicampurkan ke dalam pakan dengan bantuan penambahan putih telur ayam (sebagai binder) secukupnya sampai jintan hitam menyatu dengan pakan dan aduk dengan spatula;

c. Pellet dikeringkan dengan cara diangin-anginkan, kemudian didinginkan pada suhu kamar dan dikemas dalam wadah.


(33)

3.4.2 Tahap Pelaksanaan 3.4.2.1Pemberian Jintan Hitam

Metode pemberian imunostimulan jintan hitam yang sudah tercampur dengan pakan adalah dengan dosis 0% jintan hitam/pakan, 2,5% jintan hitam/kg pakan, 5% jintan hitam/kg pakan, dan 7,5% jintan hitam/kg pakan.

Pakan yang bercampur jintan hitam diberikan pada ikan kerapu tikus setiap hari selama pemeliharaan dengan pemberian pakan sebanyak 2 kali sehari, yaitu pada pukul 08.00 dan 16.00. Pakan yang diberikan pada ikan dengan metode ad libitum (sampai ikan kenyang) sesuai perlakuan pada masing-masing bak pemeliharaan.

3.4.2.2Uji Tantang

Uji tantang dilaksanakan pada hari ke 38 perlakuan dengan menginjeksikan isolat VNN 0,1 ml/ekor ikan dengan cara disuntikkan secara intra peritoneal (i.p).

3.4.2.3Pembuatan Preparat Histopatologi

Adapun metode pembuatan preparat histologi adalah sebagai berikut: a. Nekropsi

Proses awal histologi yaitu dengan cara ikan dibedah dan diambil jaringannya (otak, mata, hati, ginjal, dan insang).

b. Fiksasi

Larutan fiksatif yang digunakan adalah buffer formalin 10% (organ otak, hati, dan ginjal) dan larutan Bouine (organ mata dan insang).


(34)

c. Dehidrasi, Clearing, dan Impregnasi

Larutan yang digunakan pada proses dehidrasi yaitu menggunakan alkohol bertingkat dari alkohol 70% sampai alkohol absolut, masing-masing selama 2 x 2 jam tiap larutan. Proses clearing menggunakan larutan xylol yang direndam selama 2 x 2 jam. Proses impregnasi yaitu menggunakan parafin yang direndam selama 2 x 2 jam. Proses dehidrasi, clearing, dan impregnasi dilakukan secara manual dengan menggunakan botol winkler yang berisi larutan untuk dehidrasi, clearing, dan impregnasi. Perlakuannya dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini:

Tabel 3. Proses Dehidrasi, Clearing, dan Impregnasi berdasarkan SNI

Proses Waktu (SNI)

Dehidrasi

Alkohol 70% 2 jam

Alkohol 70% 2 jam

Alkohol 80% 2 jam

Alkohol 80% 2 jam

Alkohol 95% 2 jam

Alkohol 95% 2 jam

Alkohol absolut 2 jam

Alkohol absolut 2 jam

Clearing

Xylol 2 jam

Xylol 2 jam

Impregnasi

Paraffin 2 jam

Paraffin 2 jam

d. Embedding

Setelah proses impregnation kemudian sampel ditempatkan pada paraffin mold dengan posisi sesuai tujuan pemeriksaan kemudian ditambahkan paraffin cair dan ditutup dengan cassete embedding. Selanjutnya dibekukan dan siap dipotong.


(35)

e. Pemotongan

Sebelum dipotong dilakukan proses trimming. Proses pemotongan dilakukan dengan menggunakan mikrotom. Hasil pemotongan diregangkan pada permukaan air floating bath yang bersuhu 42oC.

f. Staining (pewarnaan)

Pewarnaan jaringan bertujuan untuk memperjelas jaringan serta sel-selnya sehingga mempermudah pengamatan di bawah mikroskop. Pewarnaan menggunakan larutan hematoksilin dan eosin. Teknik pewarnaan yang dilakukan menggunakan standar SNI, yaitu dengan langkah sebagai berikut:

Gambar 8. Proses Pewarnaan Preparat Histopatologi

Xylol 1 (2 menit) Xylol 2 (2 menit) Alkohol 100% (2 menit) Alkohol 100% (2 menit) Alkohol 95% (2 menit) Alkohol 95% (2 menit) Hematoxylin (15 menit) Akuades (2 menit) Acid alkohol (2 menit) Air Mengalir (5 menit) Eosin (5-15 menit) Alkohol 95% (2 menit) Alkohol 95% (2 menit) Alkohol 100% (2 menit) Alkohol 100% (2 menit) Xylol 1 (2 menit) Xylol 1 (2 menit) Xylol 2 (2 menit) Xylol 2 (2 menit) Xylol 3 (2 menit) Xylol 3 (2 menit)


(36)

g. Mounting (Penempelan)

Setelah jaringan selesai diwarnai kemudian slide dibersihkan dari kotoran yang menempel kemudian diteteskan entellan sebagai perekat lalu ditutup dengan cover glass.

3.4.3 Pengamatan

3.4.3.1Pengamatan Gejala Klisnis dan Perubahan Fisik

Pengamatan gejala klinis diamati setelah dilakukannya proses uji tantang. Pengamatan yang diamati dilakukan berdasarkan gejala-gejala yang terlihat di bak pemeliharaan, yaitu meliputi nafsu makan ikan, aktivitas berenang ikan, respon ikan terhadap rangsangan dari luar, dan perubahan-perubahan atau kerusakan bagian tubuh ikan yang tampak dari luar sebelum dilakukan pembedahan.

3.4.3.2Analisis Preparat Histopatologi

Setelah selesai proses pembuatan preparat histopatologi, preparat siap untuk diamati dibawah mikroskop binokuler dengaan perbesaran 400x.

3.4.3.3Analisis Kualitas Air

Parameter kualitas air yang diamati adalah oksigen terlarut, suhu, salinitas, dan pH. Oksigen terlarut dianalisa setiap hari pada pagi dan sore hari, sedangkan salinitas dan pH dianalisa seminggu sekali.


(37)

3.5 Analisa Data

Data hasil pengamatan tiap perlakuan dianalisis secara deskriptif. Hasil utama yang ingin diperoleh adalah perbandingan perlakuan jintan hitam dengan konsentrasi 0 %, 2,5%, 5%, dan 7,5% terhadap dan ikan kontrol (tanpa penambahan jintan hitam dan tanpa diinfeksi VNN).

3.6Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian dari awal mulai sampai akhir penelitian dapat dilihat pada grafik dibawah ini:

Gambar 9. Garis Waktu Penelitian

45 38 28

21 14 7

1

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Hari terakhir pengamatan

Uji tantang VNN Uji kohabitasi II Uji kohabitasi I persiapan bahan-bahan untuk pembuatan …

Persiapan alat untuk pembuatan preparat … Perlakuan pemberian jintan hitam


(38)

ke-V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1Simpulan

Simpulan dari penelitian ini yaitu dengan penambahan jintan hitam (N. sativa) dengan konsentrasi sampai 7,5%/kg pakan pada kerapu tikus (C. altivelis) yang terinfeksi VNN, menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh pada profil histopatologi organ otak, mata, ginjal, hati, dan insang. Kerusakan jaringan yang ditimbulkan pada masing-masing organ merupakan akibat infeksi VNN.

5.2 Saran

Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini yaitu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan imunostimulan pada jintan hitam terhadap gambaran histopatologi ikan.


(39)

DAFTAR PUSTAKA

Alifuddin, M. 2002. Imunostimulasi pada Hewan Akuatik. Jurnal Akuakultur Indonesia, Vol. 1(2): 87-92.

Amelia, N. & S.B. Prayitno. 2012. Pengaruh Ekstrak Daun Jambu Biji (Psidium guajava) untuk Menginaktifkan Viral Nervous Necrosis (VNN) pada Ikan Kerapu Bebek (Epinephelus fuscoguttatus). Journal of Aquaculture Management and Technology, Vol. 1(1): 264-278.

Amiruddin, H., R. K. Dongoran, R. Nurhadi & L. Darto. 2009. Manajemen Induk Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis) sebagai Upaya Optimalisasi Produksi Telur Berkualitas. Balai Budidaya Laut Ambon. Ambon. Anonim. 2013. Fish Album. Diakses melalui http://fishalbum.com, pada tanggal 6

November 2013.

APEC/SEAFDEC (Asia–Pacific Economic Cooperation/Southeast Asian Fisheries Development Centre) 2001. Husbandry and health management of grouper. APEC: Singapore and SEAFDEC: Iloilo, Philippines.

Azad, I. S, M. S. Shekhar, A. R. Thirunavukkarasu & M. Poornima et al. 2005. Nodavirus Infection Causes Mortalities in Hatchery Produced Larvae of Lates Calcarifer: First Report from India. Diseases of Aquatic Organisms, Vol. 63: 113–118.

BADAN POM RI. 2013. Jintan Hitam sebagai Imunostimulan. Artikel InfoPOM. Vol. 14. No. 1 Januari – Februari 2013.

Baratawidjaja, K.G. 2002. Imunologi Dasar. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran UI. Jakarta.

Botnick, I., W. Xue, E. Bar, M. Ibdah & A. Schwartz et al. 2012. Distribution of Primary and Specialized Metabolites in Nigella sativa Seeds, a Spice with Vast Traditional and Historical Uses. Articel Molecules ,17.10159-10177.

Bovo, G., T. Nishizawa, C. Maltese, F. Borghesan, F. Mutinelli, F. Montesi & S. De Mass. 1999. Viral encephalopathy and retinopathy of farmed marine fish species in Italy. Elsevier, vol. 63 (1-2): 143-146.


(40)

Chi, S.C, C. F. Lo, P. S. Chang, S.E Peng & S. N. Chen. 1997. Mass Mortalities Associated with Viral Nervous Necrosis (VNN) Disease in Two Species of Hatchery-Reared Grouper, Epinephelus Fuscogutatus And Epinephelus Akaara (Temminck & Schlegel). Journal of Fish Diseases, Vol. 20: 185–193.

Dorucu, M., S. Ozesen Colak, U. Ispir, B. Altinterim & Y. Celayir. 2009. The Effect of Black Cumin Seeds, Nigella sativa, on the Immune Response of Rainbow Trout, Oncorhynchus mykiss. Mediterranean Aquaculture Journal. Vol.2(1); 27-33.

Eroschenko, V.P. 2002. Atlas Histologi difiore dengan korelasi fungsional edisi 11. Buku Kedokteran. EGC.

Evalawati, M. Meiyana & T.W. Aditya. 2001. Pembesaran Kerapu Macan (Epinephelus fuscogutattus) dan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis) di Karamba Jaring Apung - Biologi Kerapu. Departemen Kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Balai Budidaya Laut Lampung. Lampung.

Food and Agriculture Organization of The United Nations (FAO). 1993. Groupers of The World. FAO Species Catalogue. Vol. 16. Hal: 63 – 64.

Genten, F., E. Terwinghe & A. Dangui. 2009. Atlas of Fish Histology. Science Publishers. USA.

Gomez, D.K., J. Sato, K. Mushiake, T. Isshiki, Y. Okinaka & T. Nakai. 2004. PCR-based detection of betanodaviruses from cultured and wild marine fish with no clinical signs. Journal of Fish Diseases. Vol. 27: 603–608. Guarner, J. & M.E. Brandt. 2011. Histopathologic Diagnosis of Fungal Infections in the 21st Century. Clinical Microbiology Reviews, Vol. 24(2): 247-280.

Gupta, E., P. Bhalla, N. Khurana & T. Singh. 2009. Histopathology for the diagnosis of infectious diseases. Indian Journal of Medical Microbiology, vol. 27 (2): 100-106.

Hossain, M. & Myung-Joo Oh. 2011. Histopathology of Marine and Freshwater Fish Lymphocystis Disease Virus (LCDV). Sains Malaysiana, vol. 40(10): 1049–1052.

Junaedi, E., S. Yulianti, S. Suty & E. S. Kuncari. 2011. Kedahsyatan Habbatussauda Mengobati Berbagai Peyakit. AgroMedia Pustaka. Jakarta.


(41)

Kementerian Kelautan Perikanan (KKP). Target Produksi Nasional Kerapu Tercapai 148,55 Persen, Semua Provinsi Mencapai Target. PUMP (Pengembangan Usaha Mina Pedesaan). 10 Desember 2011.

Koesharyani, I., D. Roza, K. Mahardika. 2001. Diagnosa Penyakit Ikan II. Balai Penelitian Perikanan Laut Gondol dan Japan Internasional Coorperation Agency. Bali.

Kolakofsky, D., L. Roux, D. Garcin & R.W.H. Ruigrok. 2005. Paramyxovirus mRNA editing, the 'rule of six' and error catastrophe: a hypothesis. Published online ahead of print on 27 April 2005 as DOI 10.1099/vir.0.80986-0.

Kusuma, I.G.E. 2012. Pemberian Efective Microorganism (Em4®) terhadap Gambaran Histopatologi Hati Tikus Putih (Rattus Norvegicus) Betina. Indonesia Medicus Veterinus, Vol. 1(5) : 582 – 595

Mitchell, R.N. 2006. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit Robbins & Cotran Edisi 7 (Pocket Companion to Robbins & Cotran Pathologic Basis of

Disease 7 edition). EGC Medical Publisher. Jakarta.

Muhtasib, H. G, N. El-Najjar & R. Scheneider-Stock. 2006. The medicinal potential of black seed (Nigella sativa) and its components. Lead Molecules from Natural Products. Hal: 133-153.

Mulyono, A., Ristiyanto, dan N. Soesanti. 2009. Karakteristik Histopatologi Hepar Tikus Got Rattus norvegicus Infektif Leptospira sp. Jurnal Vektora. Vol. 1 No. 2: 84 – 92.

Myung-Joo Oh, S. Jung, S. Kim, K.V. Rajendran, Y. Kim, H. Kim & J. Kim. 2002. A fish nodavirus associated with mass mortality in hatchery-reared red drum, Sciaenops ocellatus. Aquaculture, vol. 211 (1-4): 1-7. Nishizawa, T., K. Mori, M. Furuhashi, T. Nakai, I. Furusawa & K. Muroga. 1995.

Comparison of the coat protein genes of five fish nodaviruses, the causative agents of viral nervous necrosis in marine fish. Journal of General Virology . vol. 76: 1563-1569.

Office International Des Epizooties (OIE). 2013. Viral Encephalopathy And Retinopathy Chapter 2.1.7. Manual Of Diagnostic Tests For Aquatic AnimalsFourth Edition. Paris. Perancis. Hal: 135-141.

Prayitno, S. 2002. Peran Budidaya Perairan Khususnya Penanganan Penyakit Ikan dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Semarang: Universitas Diponegoro.


(42)

Purivirojkul, W. 2012. Histological Change of Aquatic Animals by Parasitic Infection. Diakses melalui http://dx.doi.org/10.5772/52769 InTech, pada tanggal 20 Mei 2013.

Putri, R., U. Yanuhar & A. M. Suryanto. 2013. Perubahan Struktur Jaringan Mata dan Otak pada Larva Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes Altivelis) yang Terinfeksi Viral Nervous Necrosis (VNN) dengan Pemeriksaan Scanning Electron Microscope (SEM). MSPi Student Journal, Vol. 1(1): 1-10.

Robert, R.J. 2001. Fish Pathology. W. B. Saunders, USA.

Robinson, A. 2012. Oedema (Swelling). Egton Medical Information Systems Limited (EMIS). Article patient. Diakses tanggal 12 Desember 2013 melalui http:// patient.co.uk/health/oedema-swelling.pdf.

Roza, D., F. Johnny & Tridjoko. 2006. Peningkatan Respon Imun Non-Spesifik Benih Kerapu Bebek, Cromileptes altivelis dengan Imunostimulan dan Bakterin terhadap Infeksi Viral Nervous Necrosis (VNN). Jurnal Perikanan, vol. 8 (1): 25-35.

Salmin. 2005. Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD) sebagai Salah Satu Indikator untuk Menentukan Kualitas Perairan.

Oseana, Vol. 30(3) : 21 – 26.

Suhendi, A., Nurcahyanti, Muhtadi & EM. Sutrisna. 2011. Aktivitas Antihiperurisemia Ekstrak Air Jinten Hitam (Coleus Ambonicus Lour) pada Mencit Jantan Galur Balb-C dan Standardisasinya. Majalah Farmasi Indonesia, Vol. 22(2): 77-84.

Suparman, I.P., I.W. Sudira & I.K. Berata. 2013. Kajian Ekstrak Daun Kedondong (Spondias Dulcis G.Forst.) diberikan secara Oral pada Tikus Putih ditinjau dari Histopatologi Ginjal. Buletin Veteriner Udayana. Vol. 5 (1) :49-56.

Suprayudi, M.A., L. Indriastuti & M. Setiawati. 2006. Pengaruh Penambahan Bahan-Bahan Imunostimulan dalam Formulasi Pakan Buatan Terhadap Respon Imunitas dan Pertumbuhan Ikan Kerapu Bebek, Cromileptes altivelis. Jurnal Akuakultur Indonesia, Vol. 5(1): 77-86.

Syaifudin, M., R. S. Aliah, Muslim & K. Sumantadinata. 2007. Keterkaitan Jumlah Induk terhadap Frekuensi Pemijahan dan Produksi Telur Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis). Jurnal Akuakultur Indonesia, vol. 6(2): 191-196.

Tamad, F.S.U., Hidayat, Z.S., dan Sulistyo, H. 2011. Gambaran Histopatologi Hepatosit Tikus Putih Setelah Pemberian Jintan Hitam selama 21 hari


(43)

(Subkronik). Mandala of Health. Vol 5(3). Diakses tanggal 12 Desember 2013 melalui http://kedokteran.unsoed.ac.id.

Tavernarakis, N & M. Driscoll. 2001. Cell/Neuron Degeneration. Academic Press. USA.

Thiery, R., J. Cozien, J. Cabon, F. Lamour, M. Baud & A. Schneemann. 2006. Induction of a Protective Immune Response against Viral Nervous Necrosis in the European Sea Bass Dicentrarchus labrax by Using Betanodavirus Virus-Like Particles. Journal Of Virology, Vol. 80 (20): 10201–10207.

Weber, M. & L. F. de Beaufort.1940. The fishes of the Indo-Australian Archipelago. Vols. 1-8. Leiden: EJ Brill.

Wijayanto, D., A. K. Mudzakir, A. H. C. Haditomo & M. N. Huda. 2012. Studi Kelayakan Bisnis Perikanan Karang, Budidaya Kerapu dan Rumput Laut di Kabupaten Flores Timur dan Lembata. Larantuka.

Yanuhar, U. 2011. The Function of Receptor Protein Humpback Grouper Cromileptes altivelis in Expression and Proliferation of CD4 and CD8 cells in Defence Immunity of Viral Nervous Necrotic Infection. International Journal of Bioscience, Biochemistry and Bioinformatics, Vol. 1 (2): 119-124.

Yuwanita, R., U. Yanuhar & Hardoko. 2013. Pathognomonic of Viral Nervous Necrotic (VNN) Virulence on Larvae of Humpback Grouper (Cromileptes altivelis). Advances in Environmental Biology. Vol. 7(6): 1074-1081.

Zaher, K. S., W.M. Ahmed & S.N. Zerizer. 2008. Observations on the Biological Effects of Black Cumin Seed (Nigella sativa) and Green Tea (Camellia sinensis). Global Veterinaria. Vol. 2 (4): 198-204.


(44)

Tabel 7. Pengamatan Gejala Klinis

Hari ke-n

Gejala Klinis

Perlakuan A Perlakuan B Perlakuan C Perlakuan D

0-2 Nafsu makan ikan sangat menurun dibandingkan sebelum dilakukan uji tantang, gerakan ikan melemah, beberapa ikan berada di dasar Nafsu makan ikan menurun namun tidak separah perlakuan A, gerakan ikan melemah Nafsu makan ikan menurun, ikan sering berdiam di dasar dan gerakannya melemah Nafsu makan menurun namun masih lebih baik dibandingkan perlakuan yang lain, beberapa ikan masih berenang aktif namun ada beberapa yang berdiam di dasar 3 Nafsu makan masih menurun, sebagian besar ikan berada di dasar, produksi lendir meningkat, ikan mulai lemas Nafsu makan masih menurun, sebagian ikan berada di dasar, produksi lendir meningkat, dan ada 1 ekor ikan yang berenang miring (whirling) namun belum terlalu parah Nafsu makan masih menurun, sebagian ikan berada di dasar, produksi lendir meningkat, dan ada 3 ekor ikan yang berenang berputar tidak beraturan (whirling)

Nafsu makan masih menurun, sebagian ikan berada di dasar

4

Jam ke-90: 2 ekor ikan whirling, ikan lebih banyak berdiam di dasar, produksi lendir meningkat, tidak ada perubahan pada permukaan tubuh ikan (tampak dari luar) Jam ke-90: 2 ekor ikan whirling, ikan lebih banyak berdiam di dasar, produksi lendir meningkat, tidak ada perubahan pada permukaan tubuh ikan (tampak dari luar) Jam ke-90: 2 ekor ikan whirling, ikan lebih banyak berdiam di dasar, produksi lendir meningkat, tidak ada perubahan pada permukaan tubuh ikan (tampak dari luar) Jam ke-90:

Ikan mulai lemas, dan sebagian berada di dasar namun masih ada ikan yang berenang aktif, produksi lendir meningkat, tidak ada perubahan pada tubuh ikan Jam ke-93:

Sebagian ikan lemas, 1 ekor ikan whirling dan 3 ekor ikan di nekropsi untuk preparat


(45)

Hampir semua ikan whirling, dan 7 ekor ikan mati (3 ekor ikan diantaranya yang paling parah di nekropsi untuk preparat histopatologi) Jam ke-93: Sebagian ikan lemas, 3 ekor ikan whirling dan kemudian mati (di nekropsi untuk preparat histopatologi) Sebagian ikan lemas, 4 ekor ikan whirling dan 3 diantaranya mati (di nekropsi untuk preparat histopatologi) 5 Ikan semakin lemas, produksi lendir meningkat, semua ikan menunjukkan gejala

whirling dan 3 ekor ikan mati

Ikan semakin lemas, produksi lendir meningkat, semua ikan menunjukkan gejala

whirling dan 2 ekor ikan Ikan semakin lemas, produksi lendir meningkat, semua ikan menunjukkan gejala

whirling dan 3 ekor ikan mati

Ikan semakin lemas dan 1 ekor ikan sangat lemas dan berdiam di dasar, produksi lendir meningkat, masih ada 4 ekor ikan yang aktif bergerak

6-7

Ikan sudah mati semua

Ikan tersisa 5 ekor dalam keadaan lemas

Ikan tersisa 4 ekor dalam keadaan lemas

Ikan tersisa 7 ekor, masih ada yang berenang aktif


(46)

gejala klinis

Tabel 8. Pengamaatan secara makroskopis

Perlakuan Sebelum dinekropsi Sesudah dinekropsi A

B

C


(47)

1. Nekropsi

2. Fiksasi


(48)

4. Bloking

5. Pemotongan


(49)

7. Hasil preparat setelah pemotongan

8. Inkubasi dalam inkubator


(50)

10.Hasil pewarnaan


(51)

Tabel 9. Formulasi Larutan Buffer Formalin

No. Bahan Takaran

1. Akuades 1.800ml

2. Formaldehyde 37% 200 ml

3. Sodium dihidrogen pospat 8 g

4. Disodium hidrogen pospat 13 g


(52)

Tabel 10. Formulasi Larutan Bouin

No. Bahan Takaran

1. Formaldehyde 37% 125 ml

2. Picric acid 375 ml

3. Glacial acetid acid 25 ml


(53)

Tabel 11. Formulasi Larutan Hematoxylin

No. Bahan Takaran

1. Hematoxylin cristal 5 g

2. Etanol absolut (95%) 50 ml

3. Akuades 1000 g

4. Aluminium potasium sulfat 100 g

5. Mercurie oxida 2,5 g

Cara membuat:

1. 1000 ml akuades dipanaskan (70 OC/ tidak sampai mendidih); 2. Ditambahkan potasium alumunium 100 g;

3. Dimasukkan 5 g Hematoxylin cristal ke dalam 50 ml etanol; 4. Larutan (1) diangkat dan dicampur dengan larutan (3); 5. Setelah dicampur, ditambahkan mercurie oxida 2,5 g; 6. Dipanaskan sampai berwarna ungu;

7. Setelah itu ditambah dengan glacial acetic acid 2 ml untuk 1 liter larutan hematoxylin; 8. Disaring dengan kertas saring.


(54)

Tabel 12. Formulasi Larutan Eosin

No. Bahan Takaran

1. Eosin 0,1 g

2. Akuades 10 ml

3. Asam asetat glacial 20 mikrolit


(1)

7. Hasil preparat setelah pemotongan

8. Inkubasi dalam inkubator


(2)

10.Hasil pewarnaan


(3)

Lampiran 4. Pembuatan Larutan Buffer Formalin

Tabel 9. Formulasi Larutan Buffer Formalin

No. Bahan Takaran

1. Akuades 1.800ml

2. Formaldehyde 37% 200 ml

3. Sodium dihidrogen pospat 8 g

4. Disodium hidrogen pospat 13 g


(4)

Lampiran 5. Pembuatan Larutan Bouin

Tabel 10. Formulasi Larutan Bouin

No. Bahan Takaran

1. Formaldehyde 37% 125 ml

2. Picric acid 375 ml

3. Glacial acetid acid 25 ml


(5)

Lampiran 6. Pembuatan Larutan Hematoxylin

Tabel 11. Formulasi Larutan Hematoxylin

No. Bahan Takaran

1. Hematoxylin cristal 5 g

2. Etanol absolut (95%) 50 ml

3. Akuades 1000 g

4. Aluminium potasium sulfat 100 g

5. Mercurie oxida 2,5 g

Cara membuat:

1. 1000 ml akuades dipanaskan (70 OC/ tidak sampai mendidih); 2. Ditambahkan potasium alumunium 100 g;

3. Dimasukkan 5 g Hematoxylin cristal ke dalam 50 ml etanol; 4. Larutan (1) diangkat dan dicampur dengan larutan (3); 5. Setelah dicampur, ditambahkan mercurie oxida 2,5 g; 6. Dipanaskan sampai berwarna ungu;

7. Setelah itu ditambah dengan glacial acetic acid 2 ml untuk 1 liter larutan hematoxylin; 8. Disaring dengan kertas saring.


(6)

Lampiran 7. Pembuatan Larutan Eosin

Tabel 12. Formulasi Larutan Eosin

No. Bahan Takaran

1. Eosin 0,1 g

2. Akuades 10 ml

3. Asam asetat glacial 20 mikrolit


Dokumen yang terkait

Efek ekstrak biji jintan hitam (nigella sativa) terhadap jumlah spermatozoa mencit yang diinduksi gentamisin

2 59 75

PENGARUH JINTAN HITAM (Nigella sativa) TERHADAP HISTOPATOLOGI IKAN KAKAP PUTIH (Lates calcarifer) DENGAN UJI TANTANG VIRAL NERVOUS NECROSIS (VNN)

5 61 52

EFEKTIVITAS JINTAN HITAM (Nigella sativa) PADA PENINGKATAN SISTEM IMUN NON SPESIFIK KERAPU TIKUS (Cromileptes altivelis) TERHADAP VIRAL NERVOUS NECROSIS (VNN)

2 19 61

PENGARUH PEMBERIAN JINTAN HITAM (Nigella sativa) TERHADAP RESPON IMUN NON-SPESIFIK KAKAP PUTIH (Lates calcarifer B.) YANG DIINFEKSI VIRAL NERVOUS NECROSIS (VNN)

4 47 55

Histopatologi Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis) yang Terinfeksi Iridovirus

0 11 41

APLIKASI BAKTERIN SEBAGAI IMUNOSTIMULAN UNTUK PENCEGAHAN INFEKSI VIRAL NERVOUS NECROSIS (VNN) PADA BENIH IKAN KERAPU BEBEK, Cromileptes altivelis | Roza | Jurnal Perikanan (Journal of Fisheries Sciences) 8875 16124 1 PB

0 0 10

Peningkatan Respon Imun Non-Spesifik Benih Kerapu Bebek, Cromileptes altivelis dengan Imunostimulan dan Bakterin terhadap Infeksi Viral Nervous Necrosis (VNN) | Roza | Jurnal Perikanan (Journal of Fisheries Sciences) 160 93 1 PB

0 1 11

PENGARUH JINTAN HITAM (Nigella sativa) TERHADAP HISTOPATOLOGI ORGAN KAKAP PUTIH (Lates calcarifer) YANG TERINFEKSI VIRAL NERVOUS NECROSIS SECARA BUATAN

0 0 6

TESIS GENOTYPING Viral Nervous Necrosis (VNN) PADA IKAN KERAPU DI WILAYAH JAWA TIMUR DAN NUSA TENGGARA BARAT

0 0 16

KULTUR SEL OTAK DAN MATAlKAN KERAPU (Chromileptes aitil'elis) UNTUKREPLIKASI VIRAL NERVOUS NECROSIS (VNN)I {Cell line C/rromileptes alttivelis from Encbepalon and R etina for Viral Nervous Necrosis (VNN) Replication]

0 0 9