Agama sebagai Institusi Agama sebagai Pengalaman Pribadi

7

BAB II LANDASAN TEORI

A. Pandangan Umum Mengenai Agama

Secara garis besar, agama dapat dipandang melalui 2 dimensi yaitu agama sebagai institusi dan agama sebagai pengalaman pribadi. Meskipun demikian, penelitian ini akan berfokus pada dimensi agama sebagai pengalaman pribadi. Dimensi ini dipilih karena penelitian ini bertujuan untuk melihat pengalaman dan pandangan individu dalam beragama.

1. Agama sebagai Institusi

Baumeister dan Vohn 2007 mengatakan bahwa agama merujuk pada bentuk pencarian suci yang terorganisasi secara sosial. Menurut Crapps 1993, ilmuwan sosial memandang agama sebagai bentuk institusional atau kelembagaan yang mencakup segala pengaturan dan praktik yang dalam masyarakat telah dikaitkan dengan tradisi keagamaan. Robert dalam Crapps, 1993 menawarkan tiga tipe institusional atau kelembagaan agama, yaitu: a. Tipe pertama klasik merupakan bentuk yang mencakup lembaga utama yang sudah terbentuk lama bahkan selama berabad-abad dan telah menjadi perwujudan nilai dan arti keagamaan yang dijunjung tinggi. Tipe ini meliputi agama kebudayaan kuno yang sudah mati agama-agama di Mesopotamia, Mesir, Yunani dan Romawi dan yang masih hidup seperti Islam, Kristen, Budha. Selain itu juga terdapat bentuk yang lebih khusus lagi seperti islam Sunni atau Syiah, Kristen Katholik atau Protestan, dan Budha Zen. b. Tipe kedua merupakan bentuk institusional agama terdiri dari ungkapan atau perwujudan yang memiliki organisasi intern tersendiri, tetapi bergerak lepas dari induk agama yang sudah ada. Tipe ini memiliki sosok ajaran, ibadat dan organisasi yang jelas, namun bentuk institusionalnya berbeda dari agama induk. Theosofi dan Meditasi Transendental termasuk dalam tipe ini. c. Tipe ketiga merupakan bentuk institusional agama lebih tidak jelas Karena tergantung pada struktur sosial yang sifatnya non keagamaan sebagai perwujudannya. Dalam tipe ini ada nilai dan kepercayaan yang pada umumnya tidak bisa disebut sebagai agama namun secara aktif berperan sebagai agama pada penganutnya. Jadi pada tipe ini vitalitas keagamaan dan bentuk kehidupan politik melebur menjadi ―agama kemasyarakatan‖ civil religion. Tipe ini berkaitan dengan semangat nasionalisme.

2. Agama sebagai Pengalaman Pribadi

Selain dipandang sebagai institusional, agama juga bisa dipandang sebagai pengalaman pribadi. Salah satu cabang ilmu yang memandang agama sebagai pengalaman pribadi adalah psikologi. Masing-masing mazhab psikologi memiliki karakter tersendiri dalam memandang agama. Meskipun demikian, mazhab-mazhab tersebut sepakat bahwa agama merupakan pengalaman pribadi bagi tiap individu. Berikut ini uraian pemikiran para tokoh psikologi terhadap agama mulai dari mazhab Psikoanalisis, Humanistik dan Behavioristik. a. Pandangan Psikoanalisis terhadap Agama Tokoh PsikoanalisisFreud dalam Crapps, 1993 menganggap agama sebagai gejala psikis. Ia melihat adanya hubungan yang erat antara Tuhan dan Oedipus dan menganggap agama tidak ada hubungannya dengan kenyataan melainkan khayalan yang diciptakan dari kecenderungan masa kanak-kanak untuk mendapatkan kepuasan dan keamanan. Freud dalam Paloutzian, 1996 menganggap orang beragama pada dasarnya infantile, insecure, dan unstable. Sedangkan bagi tokoh analisis lain Jung dalam Crapps, 1993, agama bukanlah sisa sifat kekanak-kanakan manusia untuk dikeluarkan dan diobati tetapi tempat berhubungan dengan kemampuan tertinggi kepribadian sebagaimana terpelihara sepanjang sejarah umat manusia dalam ketidaksadaran kolektif. Dalam buku Psychology Religion, Jung1938 mengatakan: Agama merupakan perilaku tertentu dari pikiran manusia, yang bisa diformulasikan sesuai dengan penggunaan asli istilah ‗religio‘, yaitu pemikiran dan pengamatan cermat terhadap faktor dinamik tertentu, dimengerti sebagai ‗power‘ roh, iblis, Tuhan, hukum, ide, ideal, atau nama apapun yang diberikan oleh manusia untuk suatu faktor yang dia anggap powerful, berbahaya, atau cukup membantu untuk dipertimbangkan secara cermat atau diagungkan, indah, dan cukup berarti untuk dikagumi dan dicintai secara tulus. hal. 5 Jung dalam Paloutzian, 1996 menganggap manusia memiliki kebutuhan tidak sadar untuk mencari dan menemukan Tuhan dan agama memiliki peran yang positif dalam kepribadian. Pendapat lain muncul dari tokoh Psikoanalisis generasi kedua Erich Fromm dalam Crapps,1993 yang berpendapat bahwa ada dua konsep agama yaitu agama Authoritarian dan agama Humanistik. Agama Authoritarian dianggap sebagai agama yang belum masak dan dewasa karena melanjutkan begitu saja cara berpikir tentang Tuhan yang bergaya kekanak-kanakan, dan menganggapnya sebagai bapak yang menolong dan mengawasi. Sebaliknya, Crapps 1993 mengatakan bahwa agama Humanistik memiliki sikap membebaskan manusia agar menjadi diri sendiri dan hal itu merupakan tuntutan terhadap agama dalam arti sebenarnya b. Pandangan Behavioristik terhadap Agama Paloutzian 1996 mengatakan bahwa para tokoh Behavioristik setuju bahwa semua perilaku termasuk semua perilaku keagamaan dipelajari melalui proses dasar reward, punishment, association, dan imitation. Kegiatan agama diulangi karena menjadi faktor penguat sebagai perilaku yang meredakan ketegangan Crapps, 1993. c. Pandangan Humanistik terhadap Agama Mazhab Humanistik memiliki caranya sendiri dalam memandang agama. William James dalam Crapps, 1993 berpendapat bahwa kesadaran merupakan kunci untuk mengetahui pengalaman manusia, khususnya agama. Bagi James dalam Crapps, 1993, ada tiga ciri yang mewarnai agama yaitu: pribadi personal, emosionalitas emotionality, keanekaragaman variety. James dalam Crapps, 1993 memandang agama sebagai hal yang sangat pribadi personal dan menyimpulkan bahwa kesalehan batin, hati, merupakan ungkapan keagamaan yang utama. James dalam Crapps, 1993 juga percaya bahwa emosi keagamaan merupakan dasar bagi para penganut agama untuk membangun struktur intelektual mereka sehingga ia lebih terkesan pada emosi daripada dengan pemikiran mengenai pengalaman keagamaan. Selain itu James dalam Crapps, 1993 juga berpendapat bahwa keanekaragaman pengalaman keagamaan praktis tak terbatas. Ia menganjurkan agar ―setiap orang bertahan dalam pengalaman sendiri, apa pun pengalaman itu, dan orang-orang lain membiarkannya tetap dalam pengalaman itu. Itulah keadaan dan sikap yang terb aik.‖ James dalam Crapps, 1993. Tokoh Humanistik lainnya, Abraham Maslow dalam Crapps, 1993 menyadari bahwa agama-agama memiliki keanekaragaman tempat, bahasa, atau faktor etnis kesukuan, namun agama-agama pada prinsipnya sepakat dalam hal meningkatkan pengalaman puncak sebagai wahana untuk mencapai pemenuhan diri.

B. Peran Agama bagi Kehidupan Manusia