14
Pendekatan classification-based
mengasumsikan bahwa
pendeteksian outlier menggunakan pendekatan ini dapat digunakan jika set data training dan label kelas tersedia. Ide umum dari metode
deteksi outlier berbasis classification adalah menentukan model klasifikasi yang dapat membedakan data normal dan outlier. Metode
outlier basis classification ini sering menggunakan satu kelas sebagai label untuk menggambarkan data berupa normal atau outlier.
Pendekatan high-dimensional data, memiliki beberapa contoh algoritma yaitu Angle-Based Outlier Degree ABOD Kriegel et.al.
2008, Grid-Based Subspace Outlier Detection Aggarwal Yu, 2000, dan Subspace Outlier Degree SOD Kriegel et.al., 2009.
2.3 MixCBLOF Mix Cluster Based Local Outlier Factor
Deteksi outlier memiliki ketertarikan tersendiri daripada deteksi pada umumnya, karena pendeteksian outlier ini memiliki informasi yang
mendasari sebuah perilaku tidak biasanya atau berbeda daripada yang lainnya. Pada penelitian ini mendeteksi outlier menggunakan algoritma Mix
Cluster Based Local Outlier Factor MixCBLOF yang dikemukakan oleh Maryono Djunaidy pada tahun 2010. Algoritma ini tergolong pada
pendekatan clustering-based karena algoritma ini perlu menggunakan proses cluster untuk penentuan outlier.
Algoritma ini merupakan perpaduan dari dua algoritma yaitu Cluster Based Local Outlier Factor CBLOF dengan Numerical Cluster Based Local
Outlier Factor NCBLOF. Algoritma ini mengusulkan deteksi outlier menggunakan data campuran berupa data kategorikal dan data numerik. Data
kategorikal diolah menggunakan algoritma CBLOF, sedangkan untuk data numerik diolah menggunakan algoritma NCBLOF.
2.3.1 CBLOF Cluster Based Local Outlier Factor
Menurut He et.al 2003, untuk mengidentifikasi signifikansi data dari definisi outlier perlu mendefinisikan setiap obyek dengan sebuah
15
derajat yang disebut dengan CBLOF Cluster Based Local Outlier Factor yang diukur dengan ukuran klaster di mana ia berada dan
jaraknya terhadap klaster terdekat.
Definisi 1 : Misalkan A
1
, A
2
, ..., A
m
adalah himpunan atribut dengan domain D
1
, D
2
, ..., D
m
. Set data D terdiri dari record obyeknya, sedangkan transaksi t : t
ϵ D. Hasil klasterisasi pada D dinotasikan sebagai C= {C
1
, C
2
, ..., C
k
} dimana C
i
∩ C
j
= Ø dan C
1
∪ C
2
∪... ∪ C
k
= D, dengan k adalah jumlah klaster.
Definisi 2 : Misalkan C= {C
1
, C
2
, ..., C
k
} adalah himpunan klaster pada set data dengan urutan ukuran klaster adalah |C
1
| ≥ |C
2
| ≥ ... ≥ |C
k
|. Di
tetapkan tiga parameter numerik α, β, dan b. Didefinisikan b sebagai batas antara klaster besar dan kecil jika memenuhi salah satu formula
berikut: |
| | | |
| | | |
| |
|
Didefinisikan himpunan klaster besar large cluster sebagai LC = {C
i
, i ≤ b} dan klaster kecil small cluster didefinisikan dengan SC = {C
i
, i b}.
Definisi 2 memberikan ukuran kuantitatif untuk membedakan klaster besar dan klaster kecil. Rumus 2.1 menunjukkan bahwa sebagian
besar data bukan outlier. Oleh karena itu klaster besar mempunyai porsi yang jauh sanga
t besar. Contohnya jika α diberikan 90 maka artinya klaster besar memuat kurang lebih 90 dari total obyek data
pada set data. Rumus 2.2 menunjukkan fakta bahwa klaster besar dan klaster kecil harus memiliki perbedaan yang signifikan. Jika diberikan
........................... 2.2 ........................... 2.1
16
β sebesar 5, maka artinya setiap klaster besar minimal 5 kali lebih besar dari klaster kecil.
Definisi 3 : Misalkan C= {C
1
, C
2
, ..., C
k
} adalah himpunan klaster dengan ukuran |C
1
| ≥ |C
2
| ≥ ...≥ |C
k
|. Didefinisikan LC dan SC sebagimana pada Definisi 2. Untuk sebarang record t, didefinisikan
sebagaimana persamaan 2.3.
{ |
| |
|
2.3.2 NCBLOF Numerical Cluster Based Local Outlier Factor