Implementasi Kebijakan pembuatan Surat Keputusan Izin Trayek Dan Kartu Pengawasan Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP) Di Badan Pelayanan Jawa Barat

(1)

1 1.1 Latar Belakang Masalah

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah sebagai salah satu perwujudan reformasi pemerintahan telah melahirkan paradigma baru dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 pemberian otonomi kepada daerah yang didasarkan kepada azas desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Daerah memiliki kewenangan yang mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, mone ter dan fiskal, dan agama. Dengan demikian daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang- undangan khususnya dalam bidang transportasi umum.

Transportasi merupakan sarana yang sangat penting dan strategis dalam memperlancar roda perekonomian, memperkukuh persatuan dan kesatuan serta mempengaruhi semua aspek kehidupan bangsa dan negara. Pentingnya transportasi tersebut tercermin pada semakin meningkatnya kebutuhan akan jasa angkutan bagi mobilitas orang serta barang dari dan seluruh pelosok tanah air, bahkan dari dan luar negeri.


(2)

Penyelenggaraan Perhubungan transportasi darat di Wilayah Propinsi Jawa Barat merupakan kegiatan yang sangat penting dan strategis dalam memperlancar roda perekonomian, memperkokoh persatuan dan kesatuan serta mempengaruhi semua aspek kehidupan, disamping itu transportasi juga berperan sebagai penunjang, pendorong dan penggerak bagi pertumbuhan daerah khususnya di wilayah Provinsi Jawa Barat.

Angkutan umum merupakan sarana angkutan untuk masyarakat kecil dan menengah supaya dapat melaksanakan kegiatannya sesuai dengan tugas dan fungsinya dalam masyarakat. Pengguna angkutan umum ini bervariasi, mulai dari buruh, ibu rumah tangga, mahasiswa, pelajar, dan lain- lain.

Angkutan umum, khususnya angkutan orang yang diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 68 Tahun 1993 yang telah diperbaharui menjadi Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 84 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan Dengan Kendaraan Umum dan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 35 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan, secara struktural dipisahkan dalam tiga kepentingan yaitu kepentinga n pengguna jasa (masyarakat), penyedia jasa (operator angkutan) dan pemerintah (regulator).

Angkutan umum di wilayah Provinsi Jawa Barat masih jarang diandalkan oleh masyarakat luas. Penggunaan kendaraan pribadi termasuk kendaraan bermotor roda 2 menjadi ancaman serius bagi peningkatan pelayanan dan upaya pemerintah untuk memasyarakatkan penggunaan angkutan umum yang secara


(3)

jelas mampu menjadi solusi bagi permasalahan transportasi jalan seperti kemacetan, kecelakaan, polusi udara, efisiensi penggunaan BBM.

Kehadiran Organda sebagai wadah operator angkutan belum mampu menunjukan kinerja yang baik, bahkan cenderung bertindak sebagai regulator. Kedepan, Organda dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif dalam mengelola perusahaan secara lebih efisien. Kreativitas dan inovasi tersebut dapat dimulai dengan lebih kritis terhadap setiap kebijakan pemerintah yang mengatur angkutan umum di jalan dan permintaan pasar.

Salah satu upaya untuk memperbaiki kualitas pelayanan angkutan umum adalah dengan memperbaiki sistem pelayanan publik mengenai perizinan transportasi umum terhadap pengusaha transportasi umum agar lebih fleksibel, efisien dan efektif. Masih banyak permasalahan seperti, lamanya membuat perizinan, kurangnya sosialisasi perizinan terhadap pengusaha transportasi umum sehingga lebih cenderung mengurusnya kepada calo yang harganya lebih mahal daripada harus datang sendiri ke Dinas Perhubungan. Masalah seperti tersebut dapat dicegah dan apabila pengusaha transportasi umum merasakan pelayanan perizinan yang sangat baik dari pemerintah akan terjadi dampak pelayanan yang memuaskan terhadap masyarakat umum bahkan mereka akan berfikir lebih baik menggunakan transportasi umum dibandingkan membawa kendaraan pribadi yang hanya akan menambah kemacetan lalulintas.

Dari gambaran di atas disadari peranan sektor perhubungan harus ditata dalam satu sistem transportasi yang terintegrasi dan mendinamisasikan secara terpadu antar moda dan intra moda tersebut dan mampu mewujudkan tersedianya


(4)

jasa transportasi yang baik dengan pelayanan yang tertib, selamat, aman, nyaman, cepat, tepat, teratur, lancar dan dengan biaya yang terjangkau oleh daya beli masyarakat serta memperhatikan aspek kelestarian lingkungan, koordinasi, antara wewenang pusat dan daerah serta antar instansi, sektor, da n atau unsur terkait agar pelayanan perizinan terhadap pengusaha angkutan umum lebih efektif dan efisien supaya terjadi hubungan timabal balik yang baik dan tidak terhenti antara pemerintah , pengusaha dan masyarakat dengan adanya otonomi daerah sesuai dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008.

Sektor pelayanan publik merupakan salah satu sektor yang sedang mendapat perhatian besar dari pemerintah Provinsi Jawa Barat khususnya dalam pelayanan perizinan transportasi darat, karena dalam berbagai kasus sering terjadi kegagalan dalam pelayanan umum kepada masyarakat. Hal ini mungkin disebabkan oleh kurangnya pelayanan terhadap masyarakat. Kurangnya pelayanan ini lebih dirasakan oleh kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah, yang lebih memfokouskan pada usaha untuk mempertahankan hidup.

Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Provinsi Jawa Barat adalah unsur pelayanan masyarakat dibidang perizinan yang berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah (Perda No. 7 Tahun 2011). BPPT Provinsi Jawa Barat memberikan berbagai pelayanan perizinan yang meliputi semua jenis perizinan dan non perizinan yang terdiri dari 59 layanan izin dan 52 layanan non izin.


(5)

Surat Keputusan Izin Trayek dan Kartu Pengawasan Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP) merupakan salah satu layanan sektor Perhubungan yang diintegrasikan dari Dinas Perhubungan Provinsi Jawa Barat ke Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Provinsi Jawa Barat yang merupakan satu bentuk upaya Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam meningkatkan pelayanan perizinan transportasi darat melalui Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT). Surat Keputusan Izin Trayek dan Kartu Pengawasan Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP) merupakan bentuk perizinan dibidang transportasi darat. Surat izin ini dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah setempat terhadap setiap unit jenis angkutan umum yang beroperasi di Provinsi Jawa Barat lintas Kabupaten/Kota.

Berangkat dari latar belakang masalah di atas, yang menjadi permasalahan adalah bagaimana proses implementasi kebijakan pembuatan Surat Keputusan Izin Trayek dan Kartu Pengawasan Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP) di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Propinsi Jawa Barat, dalam proses pelayanan publik khususnya menyangkut masalah pelayanan pembuatan perizinan transportasi angkutan umum dalam Provinsi di Jawa Barat sudah efektif atau sebaliknya, baik bagi Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan masyarakat, karena dalam implementasi pembuatan AKDP tersebut masih adanya beberapa permasalahan dalam hal penggunaannya. Disamping itu implementasi pembuatan AKDP ini diharapkan mampu meningkatkan pelayanan perizinan usaha di Provinsi Jawa Barat. Jadi salah satu tugas Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Provinsi Jawa Barat adalah bagaimana usaha- usaha yang dilakukan dari


(6)

implementasi pembuatan AKDP dalam meningkatkan pelayanan perizinan transportasi umum di Provinsi Jawa Barat.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka penulis merasa tertarik untuk mengambil judul, yaitu ”Implementasi Kebijakan Pembuatan Surat Keputusan Izin Trayek Dan Kartu Pengawasan Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP) Di Badan Pelayanan Pe rijinan Terpadu (BPPT) Provinsi Jawa Barat”.


(7)

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis membuat identifikasi masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Program (kebijakan) pembuatan Surat Keputusan Izin Trayek dan Kartu Pengawasan Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP) di Badan Pelayanan Perijinan Terpadu (BPPT) Provinsi Jawa Barat?

2. Siapakah target groups (kelompok sasaran) dalam pembuatan Surat Keputusan Izin Trayek dan Kartu Pengawasan Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP) di Badan Pelayanan Perijinan Terpadu (BPPT) Provinsi Jawa Barat? 3. Apa unsur pelaksana dalam pembuatan Surat Keputusan Izin Trayek dan

Kartu Pengawasan Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP) di Badan Pelayanan Perijinan Terpadu (BPPT) Provinsi Jawa Barat?

4. Bagaimana faktor lingkungan (ekonomi, sosial dan politik) sebagai pendorong berlangsungnya pembuatan Surat Keputusan Izin Trayek dan Kartu Pengawasan Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP) di Badan Pelayanan Perijinan Terpadu (BPPT) Provinsi Jawa Barat?

1.3 Maksud dan Tujuan KKL

Adapun maksud dari KKL ini yaitu untuk mengetahui implementasi pembuatan Surat Keputusan dan Kartu Pengawasan Izin Trayek Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP) di Badan Pelayanan Perijinan Terpadu (BPPT) Provinsi Jawa Barat. Sedangkan Tujuan KKL ini adalah:


(8)

1. Untuk mengetahui program (kebijakan) yang dilaksanakan dalam pembuatan Surat Keputusan Izin Trayek dan Kartu Pengawasan Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP) di Badan Pelayanan Perijinan Terpadu (BPPT) Provinsi Jawa Barat.

2. Untuk mengetahui target groups (kelompok sasaran) dalam pembuatan Surat Keputusan Izin Trayek dan Kartu Pengawasan Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP) di Badan Pelayanan Perijinan Terpadu (BPPT) Provinsi Jawa Barat. 3. Untuk mengetahui unsur pelaksana dalam pembuatan Surat Keputusan Izin

Trayek dan Kartu Pengawasan Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP) di Badan Pelayanan Perijinan Terpadu (BPPT) Provinsi Jawa Barat.

4. Untuk mengetahui faktor lingkungan (ekonomi, sosial dan politik) sebagai pendorong berlangsungnya pembuatan Surat Keputusan Izin Trayek dan Kartu Pengawasan Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP) di Badan Pelayanan Perijinan Terpadu (BPPT) Provinsi Jawa Barat.

1.4 Kegunaan KKL

Penulisan Laporan KKL ini dilakukan dengan kegunaan sebagai berikut: Secara Teoritis,

Dalam rangka mengembangkan teori yang telah diperoleh dibangku kuliah dengan praktek dilapangan mengenai kebijakan pembuatan Surat Keputusan dan Kartu Pengawasan Izin Trayek Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP) di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Provinsi Jawa Barat.


(9)

Diharapkan laporan KKL ini dapat bermanfaat sebagai masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan khususnya Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Provinsi Jawa Barat.

1.5 Kerangka Pe mikiran

Berkaitan dengan masalah yang di kemukakan sebelumnya dan sesuai dengan fokus penulisan, maka pada bagian ini penulis akan menjelaskan berbagai kerangka teori yang relevan deengan masalah yang diteliti. Teori-teori yang akan di ungkapkan adalah teori-teori mengenai proses implemetasi pengungkapan teori ini dibuat untuk pedoman dalam menganalisa masalah yang akan diteliti.

Berdasarkan uraian di atas penulis akan terlebih dahulu menguraikan terlebih dahulu tentang asal kata implementasi secara etimologis pengertian implemetasi yang di ungkap oleh Tachjan:

“Implementasi kebijakan merupakan proses kegiatan adminsitratif yang dilakukan setelah kebijakan ditetapkan dan disetujui. Kegiatan ini terletak di antara perumusan kebijakan dan evaluasi kebijakan. Implementasi kebijakan mengandung logika top-down, maksudnya menurunkan atau menafsirkan alternatif-alternatif yang masih abstrak atau makro menjadi alternatif yang bersifat konkrit atau mikro”. (Tachjan, 2006:25)

Berdasarkan pengertian diatas, implementasi merupakan suatu proses yang dilakukan untuk menimbulkan dampak atau akibat itu dapat berupa undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan dan kebijakan yang dibuat oleh lembaga- lembaga pemerintah dalam kehidupan ke negaraan. Implementasi kebijakan merupakan tahapan-tahapan yang penting dalam keseluruhan struktur kebijakan, karena melalui prosedur ini proses kebijakan secara keseluruhan dapat dipengaruhi tingkat keberhasilan atau tidaknya tercapainya tujuan.


(10)

Berdasarkan pengertian implementasi menurut Tachjan, mengemukakan beberapa hal mengenai komponen-komponen model sistem implementasi kebijakan publik, yaitu:

1. Program (kebijakan) yang dilaksanakan 2. Target groups (Kelompok sasaran) 3. Unsur pelaksana

4. Faktor lingkungan (Ekonomi, Sosial dan Politik) (Tachjan, 2006:26).

1. Program (kebijakan) yang dilaksanakan

Program (kebijakan) yang dilaksanakan berisikan tentang tujuan, proses, serta berbagai macam sarana dan prasarana yang menunjang untuk terlaksananya program tersebut. Tujuan diperlukan untuk mengukur apakah proses implementasi telah mencapai target yang diharapkan. Karena tanpa tujuan yang jelas semua kegiatan yang dilakukan akan sia-sia. Sedangkan Sarana dan prasarana sangat dibutuhkan dalam mendukung pelaksanaan pembuatan Surat Keputusan Izin Trayek dan Kartu Pengawasan Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP) dan pencapaiannya, sehingga tidak terjadinya pemotongan atau keterbatasan terhadap pembiayaan yang akan menghambat dalam pencapaian tujuan.

2. Target groups (Kelompok sasaran)

Target groups atau kelompok sasaran yaitu sekelompok orang atau organisasi dalam masyarakat yang akan menerima jasa dari proses pembuatan Surat Keputusan Izin Trayek dan Kartu Pengawasan Angkutan Kota Dalam


(11)

Provinsi (AKDP) tersebut. Dalam pembuatan Surat Keputusan Izin Trayek dan Kartu Pengawasan Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP) sasaran yang ditujukan kepada pelaku usaha, karena pelaku usaha yang langsung merasakan kebijakan mengenai pembuatan Surat Keputusan Izin Trayek dan Kartu Pengawasan Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP) tersebut. Jasa yang di maksud berbentuk pelayanan mengenai perizinan transportasi angkutan umum.

Kelompok sasaran terdiri dari karakteristik kelompok sasaran dan komunikasi. Karakteristik kelompok sasaran diperlukan karena dapat mempengaruhi proses implementasi pembuatan Surat Keputusan Izin Trayek dan Kartu Pengawasan Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP). Karakteristik kelompok sasaran dapat dipengaruhi oleh lingkungan mereka tinggal. Sedangkan komunikasi sangat dibutuhkan untuk penyebarluasan implementasi Surat Keputusan Izin Trayek dan Kartu Pengawasan Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP) kepada pelaku usaha karena melalui proses implemetasi yang baik akan berpengaruh terhadap efektivitas implementasi tersebut.

3. Unsur pelaksana

Unsur pelaksana adalah unit- unit administratif atau unit- unit birokrasi yang memiliki kewajiban melaksanakan suatu kebijakan. Unit-unit tersebut memiliki karakteristik tertentu sebagai agen pelaksana kebijakan hal ini sama dengan yang di kemukakan oleh Van Meter dan Van Horn yang dikutip oleh Subarsono, bahwa karakteristik agen pelaksana adalah mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi (Meter dan Horn dalam Subarsono, 2006:101). Dalam menjalankan tugas dan


(12)

tanggung jawab sebagai pelaksana dari Surat Keputusan Izin Trayek dan Kartu Pengawasan Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP) harus dilandasi dengan rasa tanggung jawab dan disiplin yang tinggi, merasa memiliki terhadap tugasnya masing- masing yang didasari pada peraturan yang berlaku.

4. Faktor lingkungan (Ekonomi, Sosial dan Politik)

Dalam menilai kinerja keberhasilan implementasi kebijakan menurut Tachjan adalah sejauh mana lingkungan eksternal ikut mendukung keberhasilan kebijakan publik yang telah ditetapkan, lingkungan eksternal tersebut adalah ekonomi, sosial, dan politik. Berdasarkan pendapat tersebut terdapat beberapa faktor yang mendukung proses implementasi diantaranya adalah faktor ekonomi, sosial, dan politik.

Surat Keputusan Izin Trayek dan Kartu Pengawasan Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP) adalah merupakan surat izin untuk dapat melaksanakan kegiatan usaha transportasi angkutan umum. Setiap perusahaan, koperasi, persekutuan maupun perusahaan perseorangan, yang melakukan kegiatan usaha transportasi umum wajib memiliki Surat Keputusan Izin Trayek dan Kartu Pengawasan Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP) yang diterbitkan berdasarkan domisili perusahaan dan berlaku di wilayah Provinsi tempat di keluarkanya izin tersebut.

Peraturan perundang- undangan yang mengatur tentang Surat Keputusan Izin Trayek dan Kartu Pengawasan Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP) adalah Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 35 Tahun 2003 tentang


(13)

Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan dan di atur di dalam Perda No 21 Tahun 2001 Tentang Penyelenggaraan Perhubungan.

Sejalan dengan pengertian diatas, untuk menindaklanjuti terselenggaranya proses pembangunan yang sejalan dengan prinsip pemerintahan yang baik (good governance), pemerintah provinsi Jawa Barat melalui Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) berkewajiban untuk mengoptimalisasi pembuatan Surat Keputusan Izin Trayek dan Kartu Pengawasan Angk utan Kota Dalam Provinsi (AKDP).

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka definisi operasional sistem implementasi kebijakan pembuatan Surat Keputusan Izin Trayek dan Kartu Pengawasan Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP) di Badab Pelayanan Perijinan Terpadu (BPPT) Provinsi Jawa Barat dalam penulisan laporan KKL ini adalah :

1. Kebijakan adalah serangkian kegiatan dalam menyiapkan, menentukan, melaksanakan serta mengendalikan kebijakan. Efektivitas suatu kebijakan publik ditentukan oleh proses kebijakan yang melibatkan tahapan-tahapan dan variabel- variabel.

2. Implementasi kebijakan merupakan tahapan-tahapan yang penting dalam keseluruhan struktur kebijakan, karena melalui prosedur ini proses kebijakan secara keseluruhan dapat dipengaruhi tingkat keberhasilan atau tidaknya tercapainya tujuan.

Mengukur suatu keberhasilan implementasi kebijakan tersebut dilihat dalam indikator sebagai berikut :


(14)

1) Program (kebijakan), meliputi :

a. Tujuan adalah kepuasan pelayanan berupa pelayanan informasi surat izin untuk transportasi umum yang diberikan kepada pelaku usaha, pelayanan informasi perizinan tersebut merupakan pelayanan yang tepat dan benar, kemudahan mendapatkan pelayanan, dan kenyamanan b. Sarana dan prasarana adalah alat yang sangat diperlukan untuk

mendukung proses keberhasilan implementasi, karena semua program memerlukan modal yang banyak. Oleh karena itu kesiapan modal sangat diperlukan, seperti untuk pembelian alat-alat komputer, pengadaan sarana-prasarana, dan pengadaan jaringan komunikasi lainnya.

2) Target groups (Kelompok sasaran)

a. Karakteristik kelompok sasaran adalah hal yang diperlukan untuk keberhasilan proses implementasi

b. Komunikasi adalah faktor sangat berpengaruh terhadap proses implementasi, sehingga apabila proses komunikasi tidak berjalan dengan baik maka akan berpengaruh terhadap efektivitas tersebut. 3) Unsur pelaksana

a. Struktur birokrasi adalah pelaksana kebijakan yang memiliki pengaruh besar terhadap pelaksanaan kebijakan. Salah satu aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar (Standard Operating Procedures atau SOP).


(15)

b. Norma- norma adalah aturan-aturan bagi para pelaksana, dengan adannya norma dapat membatasi sikap para pelaksana agar mereka tidak bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan tugasnya. c. Pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi adalah hubungan

yang terjadi diantara para pelaksana sangat mempengaruhi proses implementasi, apabila pola hubungan yang terjadi di lingkungan birokrasi tidak baik maka akan berpengaruh terhadap keberhasilan kebijakan.

4) Faktor lingkungan (Ekonomi, Sosial dan Politik)

a. Ekonomi adalah dukungan sumber daya atau modal yang sangat diperlukan sebagai pendukung keberhasilan.

b. Sosial adalah faktor yang sangat dipengaruhi oleh pelaku usaha dan masyarakat yang sudah terbuka dan terdid ik. Pelaku usaha dan masyarakat yang sudah menerima keterbukaan atau masuknya pengaruh dari luar.

c. Politik adalah salah satu aktor kebijakan yang dukungannya sangat berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi. Elite politik tersebut, seperti pemerintah daerah dan tokoh masyarakat.


(16)

Gambar 1.1

Model Kerangka Pemikiran

1.6 Metode Penulisan 1.6.1 Metode Laporan KKL

Sesuai dengan masalah yang dibahas dalam Laporan KKL ini dan berhubungan dengan yang terjadi sekarang, maka dasar-dasar yang digunakan untuk mencari kebenaran dalam Laporan KKL ini adalah berdasarkan suatu metode. Metode yang digunakan oleh penulis adalah metode penelitian deskriptif.

Implementasi Kebijakan Pembuatan Surat Keputusan Izin Trayek dan Kartu Pengawasan Angkutan Kota Dalam

Provinsi (AKDP)

1. Program (kebijakan) yang dilaksanakan

2. Target groups (Kelompok sasaran) 3. Unsur pelaksana

4. Faktor lingkungan (Ekonomi, Sosial dan Politik)

Pembuatan Perizinan Surat Keputusan Izin Trayek dan Kartu Pengawasan Angkutan Kota


(17)

Dikutip dari buku Instrumen Penelitian Bidang Sosial, Metode penelitian deskriptif adalah:

“Prosedur atau cara memecahkan masalah penelitian dengan memaparkan keadaan objek yang diselidiki (seseorang, lembaga, masyarakat, pabrik dan lain- lain) sebagaimana adanya, berdasarkan fakta- fakta yang aktual pada saat sekarang” (Nawawi dan Hadari, 2006:67).

Berdasarkan pengertian di atas, maka metode deskriptif adalah salah satu cara dalam pemecahan masalah penelitian dengan cara memaparkan keadaan suatu objek yang di selidiki bedasarkan fakta-fakta yang aktual pada saat saat sekarang. Penulis menggunakan metode deskriptif, karena laporan KKL ini dimaksudkan untuk memberi gambaran tentang implementasi pembuatan Surat Keputusan Izin Trayek dan Kartu Pengawasan Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP) dalam meningkatkan pelayanan publik di Propinsi Jawa Barat, serta mendeskripsikan sejumlah konsep yang berkenaan dengan masalah pembuatan Surat Keputusan Izin Trayek dan Kartu Pengawasan Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP).

Penulis juga memilih metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif dikarenakan peneliti dalam menyusun laporan KKL secara langsung di lapangan. Adapun pengertian metode kualitatif menurut Sugiyono dalam bukunya

Memahami Penelitian Kualitatif mendefinisikan pengertian kualitatif, sebagai berikut:

“Metode Kualitatif adalah metode yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi” (Sugiyono, 2005:1).


(18)

Dengan mencermati definisi-definisi di atas dapat disimpulkan, bahwa metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif merupakan metode penelitian yang memberikan gambaran dan uraian yang jelas, sistematis, faktual dan akurat dalam sebuah penelitian serta peneliti merupakan instrumen kunci dalam sebuah penelitian yang mengutamakan kualitas data, artinya data yang disajikan dalam bentuk kata atau kalimat (tidak menggunakan analisis statistika).

1.6.2 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis dalam Laporan KKL ini adalah:

a. Studi Pustaka

Dengan membaca dan mencari buku-buku yang berhubungan langsung dengan implementasi kebijakan pembuatan Surat Keputusan Izin Trayek dan Kartu Pengawasan Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP) di Badan Pelayanan Perijinan Terpadu (BPPT) Provinsi Jawa Barat. serta dokumenter, yaitu format pencatatan dokumen dan sumber datanya berupa catatan atau dokumen yang tersedia pada Dinas BPPT Provinsi Jawa Barat.

b. Observasi (Observation)

Mengadakan pengamatan langsung dilokasi atau terjun langsung dilapangan untuk mengetahui tentang implementasi kebijakan pembuatan Surat Keputusan Izin Trayek dan Kartu Pengawasan Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP) di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Provinsi Jawa Barat serta dokumenter yaitu format pencatatan dokumen dan sumber


(19)

datanya berupa catatan atau dokumen yang tersedia. Akan tetapi, dalam observasi ini penulis hanya bersifat non partisipan.

Dengan menggunakan cara penelitian di atas penulis ingin mengetahui kebenaran pandangan teoritis tentang masalah yang diselidiki dalam hubungannya dengan dunia kenyataan. Disamping juga untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai masalah dan mungkin petunjuk-petunjuk tentang cara memecahkannya.

1.6.3 Teknik Analisis Data

Analisa data merupakan suatu kegiatan yang mengacu pada penelaahan atau pengujian yang sistematik mengenai suatu hal dalam rangka menentukan bagian-bagian atau hubungan diantara bagian dalam keseluruhan. Penulis dalam menganalisis data, yaitu dengan cara mengumpulkan data-data terlebih dahulu sebelum diinterprestasikan artinya data diproses terlebih dahulu.

Hal ini sejalan dengan pendapat Sugiyono dalam bukunya Memahami Penelitian Kualitatif menyebutkan ada tiga unsur dalam kegiatan proses analisa data, sebagai berikut:

1. Data Reduction (reduksi data), yaitu bagian dari proses analisis dengan bentuk analisis untuk mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal yang tidak penting dan mengatur data sehingga dapat disimpulkan.

2. Data Display (penyajian data), yaitu susunan informasi yang memungkinkan dapat ditariknya suatu kesimpulan, sehingga memudahkan untuk memahami apa yang terjadi.


(20)

3. Conclusion Verification (penarikan kesimpulan), yaitu suatu kesimpulan yang diverifikasi dengan cara melihat dan mempertanyakan kembali, dengan meninjau kembali secara sepintas pada catatan lapangan untuk memperoleh pemahaman yang lebih cepat.

(Sugiyono, 2005:92-99).

Penulis menggunakan analisis ini supaya dapat mengklasifikasikan secara efektif dan efisien mengenai data-data yang terkumpul, sehingga siap untuk diinterpretasikan. Disamping itu data yang di dapat akan lebih lengkap, lebih mendalam dan kredibel serta bermakna sehingga laporan KKL dapat dicapai. 1.7 Lokasi dan Waktu KKL

Lokasi usulan penelitian yang dilakukan oleh penulis di kantor Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Provinsi Jawa Barat, yang beralamatkan di Jl. Phh. Mustofa No. 22 No Telepon (022) 721744 Bandung 40121.

Adapun Jadwal KKL tersebut dapat dilihat pada pada table dibawah ini : Tabel 1.1

Jadwal KKL

Waktu

Kegiatan

Tahun 2010-2011

Apr Mei Juni Juli Agt Spt Okt

Observasi lokasi KKL Pengajuan Judul KKL Penyusunan Usulan Penelitian

Bimbingan KKL Pelaksanaan KKL


(21)

(22)

21

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Implementasi Kebijakan

2.1.1 Pengertian Implementasi kebijakan

Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik. Suatu kebijakan atau program harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan. Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian luas merupakan alat administrasi publik dimana aktor, organisasi, prosedur, teknik serta sumber daya diorganisasikan secara bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan.

Kebijakan yang telah direkomendasikan untuk dipilih oleh pembuat kebijakan bukanlah jaminan bahwa kebijakan tersebut pasti berhasil dalam implementasinya. Ada banyak hal yang dapat mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan baik yang bersifat individual maupun kelompok atau institusi. Implementasi dari suatu program melibatkan upaya- upaya pembuat kebijakan untuk mempengaruhi perilaku birokrat pelaksana agar bersedia memberikan pelayanan dan mengatur perilaku kelompok sasaran.

Dalam berbagai sistem politik, kebijakan publik diimplementasikan oleh badan-badan pemerintah. Badan-badan tersebut melaksanakan pekerjaan-pekerjaan pemerintah dari hari ke hari yang membawa dampak pada warganegaranya. Namun dalam praktinya badan-badan pemerintah sering menghadapi pekerjaan-pekerjaan di bawah mandat dari Undang-Undang,


(23)

sehingga membuat mereka menjadi tidak jelas untuk memutuskan apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan.

Secara etimologis pengertian implementasi menurut Kamus Webster yang dikutip oleh Solichin Abdul Wahab adalah:

“Konsep implementasi berasal dari bahasa inggris yaitu to implement. Dalam kamus besar webster, to implement (mengimplementasikan) berati to provide the means for carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); dan to give practical effect to (untuk menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu)”. (Webster dalam Wahab, 2005:64).

Jadi sesuatu yang dilakukan untuk menimbulkan dampak atau akibat itu dapat berupa undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan dan kebijakan yang dibuat oleh lembaga- lembaga pemerintah dalam kehidupan ke negaraan. Sedangkan pengertian implementasi menurut Van Meter dan Van Horn adalah :

“Implementasi adalah tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu/pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan”. (Meter dan Horn dalam Wahab, 2005:65).

Sejalan dengan kutipan di atas maka menurut Lester dan Stewart yang dikutip oleh Winarno, bahwa implementasi adalah:

“Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian luas merupakan alat administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan”. (Lester dan Stewart dalam Winarno, 2002:101-102).

Jadi implementasi itu merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan yang telah di tetapkan dalam suatu keputusan kebijakan. Akan tetapi pemerintah dalam membuat kebijakan juga harus mengkaji terlebih dahulu apakah kebijakan tersebut dapat memberikan dampak yang buruk


(24)

atau tidak bagi masyarakat. Hal tersebut bertujuan agar suatu kebijakan tidak bertentangan dengan masyarakat apalagi sampai merugikan masyarakat.

Dalam melengkapi pengertian implementasi di atas, menurut George C. Edwards III yang dikutip oleh Budi Winarno bahwa implementasi kebijakan adalah:

“Tahap pembuatan kebijakan antara pembentukan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya. Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mengurangi masalah yang merupakan sasaran dari kebijakan, maka kebijakan itu mungkin akan mengalami kegagalan sekalipun kebijakan itu diimplementasikan dengan sangat baik. Sementara itu, suatu kebijakan yang cemerlang mungkin juga akan mengalami kegagalan jika kebijakan tersebut kurang diimplementasikan dengan baik oleh para pelaksana kebijakan”. (Edwards III dalam Winarno, 2002:125-126).

Jadi implementasi kebijakan dalam pembuatannya melalui adanya suatu tahapan, tahapan tersebut dalam pelaksanaannya di pengaruhi oleh masyarakat karena dengan melibatkan masyarakat maka pelaksanaan kebijakan tidak akan berhasil. Akan tetapi walaupun kebijakan tersebut sudah tepat dan mengikutsertakan masyarakat maka akan mengalami kegagalan yang diakibatkan oleh kurang diimplementasikan oleh para pelaksana kebijakan. Oleh karena itu apabila suatu kebijakan dapat berhasil maka dalam prosesnya harus melibatkan masyarakat dan juga dalam mengimplementasikan kebijakan harus maksimal sehingga diperoleh hasil yang sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.

Grindle (1980: 7) menyatakan, implementasi merupakan proses umum tindakan administratif yang dapat diteliti pada tingkat program tertentu. Sedangkan Van Meter dan Horn (Wibawa, dkk., 1994: 15) menyatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta baik secara individu maupun secara kelompok yang dimaksudkan untuk


(25)

mencapai tujuan. Grindle (1980: 7) menambahkan bahwa proses implementasi baru akan dimulai apabila tujuan dan sasaran telah ditetapkan, program kegiatan telah tersusun dan dana telah siap dan telah disalurkan untuk mencapa i sasaran.

Menurut Lane, implementasi sebagai konsep dapat dibagi ke dalam dua bagian. Pertama, implementation = F (Intention, Output, Outcome). Sesuai definisi tersebut, implementasi merupakan fungsi yang terdiri dari maksud dan tujuan, hasil sebagai produk dan hasil dari akibat. Kedua, implementasi merupakan persamaan fungsi dari implementation = F (Policy, Formator, Implementor, Initiator, Time). Penekanan utama kedua fungsi ini adalah kepada kebijakan itu sendiri, kemudian hasil yang dicapai dan dilaksa nakan oleh implementor dalam kurun waktu tertentu (Sabatier, 1986: 21-48).

Implementasi kebijakan menghubungkan antara tujuan kebijakan dan realisasinya dengan hasil kegiatan pemerintah. Hal ini sesuai dengan pandangan Van Meter dan Horn (Grindle, 1980: 6) bahwa tugas implementasi adalah membangun jaringan yang memungkinkan tujuan kebijakan publik direalisasikan melalui aktivitas instansi pemerintah yang melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan (policy stakeholders).

2.1.2 Perspektif Imple mentasi Kebijakan

Implementasi kebijakan publik dapat dilihat dari beberapa perspektif atau pendekatan. Salah satunya ialah implementation problems approach yang diperkenalkan oleh Edwards III (1984: 9-10). Edwards III mengajukan pendekatan masalah implementasi dengan terlebih dahulu mengemukakan dua pertanyaan pokok, yakni: (i) faktor apa yang mendukung keberhasilan


(26)

implementasi kebijakan? dan (ii) faktor apa yang menghambat keberhasilan implementasi kebijakan? Berdasarkan kedua pertanyaan tersebut dirumuskan empat faktor yang merupakan syarat utama keberhasilan proses implementasi, yakni komunikasi, sumber daya, sikap birokrasi atau pelaksana dan struktur organisasi, termasuk tata aliran kerja birokrasi. Empat faktor tersebut menjadi kriteria penting dalam implementasi suatu kebijakan.

Komunikasi suatu program hanya dapat dilaksanakan dengan baik apabila jelas bagi para pelaksana. Hal ini menyangkut proses penyampaian informasi, kejelasan informasi dan konsistensi informasi yang disampaikan. Sumber daya, meliputi empat komponen yaitu staf yang cukup (jumlah dan mutu), informasi yang dibutuhkan guna pengambilan keputusan, kewenangan yang cukup guna melaksanakan tugas atau tanggung jawab dan fasilitas yang dibutuhkan dalam pelaksanaan. Disposisi atau sikap pelaksana merupakan komitmen pelaksana terhadap program. Struktur birokrasi didasarkan pada standard operating prosedure yang mengatur tata aliran pekerjaan dan pelaksanaan kebijakan.

Untuk memperlancar implementasi kebijakan, perlu dilakukan diseminasi dengan baik. Syarat pengelolaan diseminasi kebijakan ada empat, yakni: (1) adanya respek anggota masyarakat terhadap otoritas pemerintah untuk menjelaskan perlunya secara moral mematuhi undang-undang yang dibuat oleh pihak berwenang; (2) adanya kesadaran untuk menerima keb ijakan. Kesadaran dan kemauan menerima dan melaksanakan kebijakan terwujud manakala kebijakan dianggap logis; (3) keyakinan bahwa kebijakan dibuat secara sah; (4) awalnya suatu kebijakan dianggap kontroversial, namun dengan berjalannya waktu maka kebijakan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang wajar.


(27)

Menurut Mazmanian dan Sabatier (1983: 5), terdapat dua perspektif dalam analisis implementasi, yaitu perspektif administrasi publik dan perspektif ilmu politik. Menurut perspektif administrasi publik, implementasi pada awalnya dilihat sebagai pelaksanaan kebijakan secara tepat dan efisien. Namun, pada akhir Perang Dunia II berbagai penelitian administrasi negara menunjukkan bahwa ternyata agen administrasi publik tidak hanya dipengaruhi oleh mandat resmi, tetapi juga oleh tekanan dari kelompok kepentingan, anggota lembaga legislatif dan berbagai faktor dalam lingkungan politis.

Perspektif ilmu politik mendapat dukungan dari pendekatan sistem terhadap kehidupan politik. Pendekatan ini seolah-olah mematahkan perspektif organisasi dalam administrasi publik dan mulai memberikan perhatian terhadap pentingnya input dari luar arena administrasi, seperti ketentuan administratif, perubahan preferensi publik, teknologi baru dan preferensi masyarakat. Perspektif ini terfokus pada pertanyaan dalam analisis implementasi, yaitu seberapa jauh konsistensi antara output kebijakan dengan tujuannya.

Ripley memperkenalkan pendekatan “kepatuhan” dan pendekatan “faktual” dalam implementasi kabijakan (Ripley & Franklin, 1986: 11). Pendekatan kepatuhan muncul dalam literatur administrasi publik. Pendekatan ini memusatkan perhatian pada tingkat kepatuhan agen atau individu bawahan terhadap agen atau individu atasan. Perspektif kepatuhan merupakan analisis karakter dan kualitas perilaku organisasi. Menurut Ripley, paling tidak terdapat dua kekurangan perspektif kepatuhan, yakni: (1) banyak faktor non-birokratis yang berpengaruh tetapi justru kurang diperhatikan, dan (2) adanya program yang tidak didesain dengan baik. Perspektif kedua adalah perspektif faktual yang


(28)

berasumsi bahwa terdapat banyak faktor yang mempengaruhi proses implementasi kebijakan yang mengharuskan implementor agar lebih leluasa mengadakan penyesuaian.

Kedua perspektif tersebut tidak kontradiktif, tetapi saling melengkapi satu sama lain. Secara empirik, perspektif kepatuhan mulai mengakui adanya faktor eksternal organisasi yang juga mempengaruhi kinerja agen administratif. Kecenderungan itu sama sekali tidak bertentangan dengan perspektif faktual yang juga memfokuskan perhatian pada berbagai faktor non-organisasional yang mempengaruhi implementasi kebijakan (Grindle, 1980: 7).

Berdasarkan pendekatan kepatuhan dan pendekatan faktual dapat dinyatakan bahwa keberhasilan kebijakan sangat ditentukan oleh tahap implementasi dan keberhasilan proses implementasi ditentukan oleh kemampuan implementor, yaitu: (1) kepatuhan implementor mengikuti apa yang diperintahkan oleh atasan, dan (2) kemampuan implementor melakukan apa yang dianggap tepat sebagai keputusan pribadi dalam menghadapi pengaruh eksternal dan faktor non-organisasional, atau pendekatan faktual.

Keberhasilan kebijakan atau program juga dikaji berdasarkan perspektif proses implementasi dan perspektif hasil. Pada perspektif proses, program pemerintah dikatakan berhasil jika pelaksanaannya sesuai dengan petunjuk dan ketentuan pelaksanaan yang dibuat oleh pembuat program yang mencakup antara lain cara pelaksanaan, agen pelaksana, kelompok sasaran dan manfaat program. Sedangkan pada perspektif hasil, program dapat dinilai berhasil manakala program membawa dampak seperti yang diinginkan. Suatu program mungkin saja berhasil dilihat dari


(29)

sudut proses, tetapi boleh jadi gagal ditinjau dari dampak yang dihasilkan, atau sebaliknya.

2.1.3 Uns ur-unsur Implementasi

Tachjan menjelaskan tentang unsur- unsur dari implementasi kebijakan yang mutlak harus ada yaitu:

1. Unsur pelaksana

2. Adanya program yang dilaksanakan

3. Target group atau kelompok sasaran. (Tachjan (2006i:26) 1) Unsur Pelaksana

Unsur pelaksana adalah implementor kebijakan yang diterangkan Dimock & Dimock dalam Tachjan sebagai berikut:

“Pelaksana kebijakan merupakan pihak-pihak yang menjalankan kebijakan yang terdiri dari penentuan tujuan dan sasaran organisasional, analisis serta perumusan kebijakan dan strategi organisasi, pengambilan keputusan, perencanaan, penyusunan program, pengorganisasian, penggerakkan manusia, pelaksanaan operasional, pengawasan serta penilaian. (Dimock dalam Tachjan”. (2006i:28)

2) Program Yang Dilaksanakan

Suatu kebijakan publik tidak mempunyai arti penting tanpa tindakan-tindakan riil yang dilakukan dengan program, kegiatan atau proyek. Menurut Terry dalam Tachjan program merupakan;

Suatu program dapat didefinisikan sebagai rencana komprehensif yang mencakup penggunaan masa depan sumber daya yang berbeda dalam pola terintegrasi dan membentuk urutan tindakan yang diperlukan dan jadwal waktu untuk setiap dalam rangka mencapai tujuan yang dinyatakan. Make up dari sebuah program dapat mencakup tujuan, kebijakan, prosedur, metode, standar dan anggaran. (Terry dalam Tachjan (2006:31)


(30)

program merupakan rencana yang bersifat komprehensif yang sudah menggambarkan sumber daya yang akan digunakan dan terpadu dalam satu kesatuan. Program tersebut menggambarkan sasaran, kebijakan, prosedur, metode, standar dan budjet. Pikiran yang serupa dikemukakan oleh Siagiaan, program harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Sasaran yang dikehendaki ,

2. Jangka waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu, 3. Besarnya biaya yang diperlukan beserta sumbernya,

4. Jenis-jenis kegiatan yang dilaksanakan dan

5. Tenaga kerja yang dibutuhkan baik ditinjau dari segi jumlahnya maupun dilihat dari sudut kualifikasi serta keahlian dan keterampilan yang diperlukan (Siagiaan, 1985:85)

Grindle menjelaskan bahwa isi program harus menggambarkan;

“kepentingan yang dipengaruhi (interest affected), jenis manfaat (type of benefit), derajat perubahan yang diinginkan (extent of change envisioned),

status pembuat keputusan (site of decision making), pelaksana program

(program implementers) serta sumberdaya yang tersedia (resources

commited)”. (Grindle (1980:11)

Program dalam konteks implementasi kebijakan publik terdiri dari beberapa tahap yaitu:

1. Merancang bangun (design) program beserta perincian tugas dan perumusan tujuan yang jelas, penentuan ukuran prestasi yang jelas serta biaya dan waktu.


(31)

2. Melaksanakan (aplication) program dengan mendayagunakan struktur-struktur dan personalia, dana serta sumber-sumber lainnya, prosedur dan metode yang tepat.

3. Membangun sistem penjadwalan, monitoring dan sarana-sarana pengawasan yang tepat guna serta evaluasi (hasil) pelaksanaan kebijakan (Tachjan, 2006i:35)

3) Target Group atau Kelompok Sasaran

Tachjan mendefinisikan bahwa:

target group yaitu sekelompok orang atau organisasi dalam masyarakat yang akan menerima barang atau jasa yang akan dipengaruhi perilakunya oleh kebijakan”. (Tachjan (2006i:35)

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan kelompok sasaran dalam konteks implementasi kebijakan bahwa karakteristik yang dimiliki oleh kelompok sasaran seperti: besaran kelompok, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman, usia serta kondisi sosial ekonomi mempengaruhi terhadap efektivitas implementasi.

Untuk dapat mengkaji dengan baik suatu implementasi kebijakan publik perlu diketahui variabel atau faktor- faktor penentunya. Untuk menggambarkan secara jelas variabel atau faktor-faktor yang berpengaruh penting terhadap implementasi kebijakan publik serta guna penyederhanaan pemahaman, maka akan digunakan model- model implementasi kebijakan. Edwards III (1980) berpendapat dalam model implementasi kebijakannya bahwa keberhasilan implementasi kebijakan dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:


(32)

1. Bureaucraitic structure(struktur birokrasi) 2. Resouces (sumber daya)

3. Disposisition (sikap pelaksana) 4. Communication (komunikasi)

Implementasi kebijakan merupakan kegiatan yang kompleks dengan begitu banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi kebijakan.

2.1.4 Model Imple mentasi Kebijakan

Menurut Sabatier (1986: 21-48), terdapat dua model yang berpacu dalam tahap implementasi kebijakan, yakni model top down dan model bottom up. Kedua model ini terdapat pada setiap proses pembuatan kebijakan. Model elit, model proses dan model inkremental dianggap sebagai gambaran pembuatan kebijakan berdasarkan model top down. Sedangkan gambaran model bottom up

dapat dilihat pada model kelompok dan model kelembagaan.

Grindle (1980: 6-10) memperkenalkan model implementasi sebagai proses politik dan administrasi. Model tersebut menggambarkan proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh beragam aktor, dimana keluaran akhirnya ditentukan oleh baik materi program yang telah dicapai maupun melalui interaksi para pembuat keputusan dalam konteks politik administratif. Proses politik dapat terlihat melalui proses pengambilan keputusan yang melibatkan berbagai aktor kebijakan, sedangkan proses administrasi terlihat melalui proses umum mengenai aksi administratif yang dapat diteliti pada tingkat program tertentu.


(33)

Gambar 2.1

Implementation as a Political and Administrative Process

(Merilee S. Grindle. 1980. Politics and Policy Implementation in the Third World, Princeton University Press, New Jersey, p. 11)

T.B. Smith mengakui, ketika kebijakan telah dibuat, kebijakan tersebut harus diimplementasikan dan hasilnya sedapat mungkin sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pembuat kebijakan (Nakamura dan Smallwood, 1980: 2). Pada gambar 2.1 terlihat bahwa suatu kebijakan memiliki tujuan yang jelas sebagai wujud orientasi nilai kebijakan. Tujuan implementasi kebijakan diformulasi ke dalam program aksi dan proyek tertentu yang dirancang dan dibiayai. Program dilaksanakan sesuai dengan rencana. Implementasi kebijakan atau program – secara garis besar – dipengaruhi oleh isi kebijakan dan konteks implementasi. Keseluruhan implementasi kebijakan dievaluasi dengan cara mengukur luaran program berdasarkan tujuan kebijakan. Luaran program dilihat mela lui dampaknya terhadap sasaran yang dituju baik individu dan kelompok maupun

Implementing Activities Influenced by:

a.Content of Policy

 Intersts affected

 Type of benefits

 Extent of change envisioned

 Site of decision making

 Program implementors

 Resources committed

b.Context Implementation

 Power, interests, and strategies of actors involved

 Institution and regime characteristics

 Compliance and responsiveness

Outcomes:

a. Impact on society, individuals, and groups b.Change and its

acceptance

Policy Goals

Goals achieved?

Action Programs and Individual Projects Designed and Funded Programs Delivered as designed? MEASURING SUCCESS


(34)

masyarakat. Luaran implementasi kebijakan adalah perubahan dan diterimanya perubahan oleh kelompok sasaran.

Gambar 2.2

Model Linier Imple mentasi Kebijakan (dikutip dari Baedhowi 2004 : 46-48)

Pada aspek pelaksanaan, terdapat dua model implementasi kebijakan publik yang efektif, yaitu model linier dan model interaktif (lihat Baedhowi, 2004: 47). Pada model linier, fase pengambilan keputusan merupakan aspek yang terpenting, sedangkan fase pelaksanaan kebijakan kurang mendapat perhatian atau dianggap sebagai tanggung jawab kelompok lain. Keberhasilan pelaksanaan kebijakan tergantung pada kemampuan instansi pelaksana. Jika implementasi kebijakan gagal maka yang disalahkan biasanya adalah pihak manajemen yang dianggap kurang memiliki komitmen sehingga perlu dilakukan upaya yang lebih baik untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan pelaksana.

Is u Kebijakan

Dalam Agenda

Tidak

Keputusan kebijakan

Tidak ada kebijakan

Sukses dilaksanakan

Gagal

Per kuat Instit usi

Tingkat kan kemauan politik


(35)

Gambar 2.3

Model Interaktif Imple mentasi Kebijakan

(Thomas R. Dye. 1981. Understanding Public Policy, Prentice-Hall International, Inc., Englewood Cliffs, NY)

Berbeda dengan model linier, model interaktif menganggap pelaksanaan kebijakan sebagai proses yang dinamis, karena setiap pihak yang terlibat dapat mengusulkan perubahan dalam berbagai tahap pelaksanaan. Hal itu dilakukan ketika kebijakan publik dianggap k urang memenuhi harapan stakeholders. Ini berarti bahwa berbagai tahap implementasi kebijakan publik akan dianalisis dan

Karakteristik Kebijakan Pengambil kebijakan menilai dan memobilisasi sumberdaya untuk keberlangsung-an kebijakkeberlangsung-an Pertanggung-jawaban terhadap publik Pelaksana kebijakan menilai dan memobilisasi sumberdaya untuk keberlangsung-an kebijakkeberlangsung-an

Potensi Hasil Kebijakan

Tolak/Laksanakan Laksanakan/Tolak

Publik Birokrasi

Arena Konflik Tahap Keputusan Agenda Kebijakan


(36)

dievaluasi oleh setiap pihak sehingga potensi, kekuatan dan kelemahan setiap fase pelaksanaannya diketahui dan segera diperbaiki untuk mencapai tujuan.

Pada gambar 2.3 terlihat bahwa meskipun persyaratan input sumberdaya merupakan keharusan dalam proses implementasi kebijakan, tetapi hal itu tidak menjamin suatu kebijakan akan dilaksanakan dengan baik. Input sumberdaya dapat digunakan secara optimum jika dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan terjadi interaksi positif dan dinamis antara pengambil kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan pengguna kebijakan (masyarakat) dalam suasana dan lingkungan yang kondusif.

Jika model interaktif implementasi kebijakan di atas disandingkan dengan model implementasi kebijakan yang lain, khususnya model proses politik dan administrasi dari Grindle, terlihat adanya kesamaan dan representasi elemen yang mencirikannya. Tujuan kebijakan, program aksi dan proyek tertentu yang dirancang dan dibiayai menurut Grindle menunjukkan urgensi fase pengambilan keputusan sebagai fase terpenting dalam model linier implementasi kebijakan. Sementara itu, enam elemen isi kebijakan ditambah dengan tiga elemen konteks implementasi sebagai faktor yang mempengaruhi aktivitas implementasi menurut Grindle mencirikan adanya interaksi antara pengambil kebijakan, pelaksana kebijakan dan pengguna kebijakan dalam model interaktif. Begitu pula istilah model proses politik dan proses administrasi menurut Grindle, selain menunjukkan dominasi cirinya yang cenderung lebih dekat kepada ciri model interaktif implementasi kebijakan, juga menunjukkan kelebihan model tersebut dalam cara yang digunakan untuk mengukur keberhasilan imp lementasi kebijakan, beserta output dan outcomesnya.


(37)

Selain model implementasi kebijakan di atas Van Meter dan Van Horn mengembangkan Model Proses Implementasi Kebijakan. (Tarigan, 2000: 20). Keduanya meneguhkan pendirian bahwa perubahan, kontrol dan kepat uhan dalam bertindak merupakan konsep penting dalam prosedur implementasi. Keduanya mengembangkan tipologi kebijakan menurut: (i) jumlah perubahan yang akan dihasilkan, dan (ii) jangkauan atau ruang lingkup kesepakatan mengenai tujuan oleh berbagai pihak yang terlibat dalam proses implementasi.

Tanpa mengurangi kredibilitas model proses implementasi kebijakan dari Van Meter dan Van Horn terlihat bahwa elemen yang menentukan keberhasilan penerapannya termasuk ke dalam elemen model proses politik dan administ rasi menurut Grindle. Kata kunci yakni perubahan, kontrol dan kepatuhan termasuk dalam dimensi isi kebijakan dan konteks implementasi kebijakan. Demikian pula dengan tipologi kebijakan yang dibuat oleh keduanya termasuk dalam elemen isi kebijakan dan konteks implementasi menurut Grindle. Tipologi jumlah perubahan yang dihasilkan termasuk dalam elemen isi kebijakan dan tipologi ruang lingkup kesepakatan termasuk dalam konteks implementasi.

Sejalan dengan pendapat di atas, Korten (baca dalam Tarigan, 2000: 19) membuat Model Kesesuaian implementasi kebijakan atau program dengan memakai pendekatan proses pembelajaran. Model ini berintikan kesesuaian antara tiga elemen yang ada dalam pelaksanaan program, yaitu program itu sendiri, pelaksanaan program dan kelompok sasaran program.


(38)

Gambar 2.4 Model Kesesuaian

(Dikutip dari David C. Korten (1988) dalam Tarigan, h. 19)

Korten menyatakan bahwa suatu program akan berhasil dilaksanakan jika terdapat kesesuaian dari tiga unsur implementasi program. Pertama, kesesuaian antara program dengan pemanfaat, yaitu kesesuaian antara apa yang ditawarkan oleh program dengan apa yang dibutuhkan oleh kelompok sasaran (pemanfaat). Kedua, kesesuaian antara program dengan organisasi pelaksana, yaitu kesesuaian antara tugas yang disyaratkan oleh program dengan kemampuan organisasi pelaksana. Ketiga, kesesuaian antara kelompok pemanfaat dengan organisasi pelaksana, yaitu kesesuaian antara syarat yang diputuskan organisasi untuk dapat memperoleh output program dengan apa yang dapat dilakukan oleh kelompok sasaran program.

Berdasarkan pola yang dikembangkan Korten, dapat dipahami bahwa jika tidak terdapat kesesuaian antara tiga unsur implementasi kebijakan, kinerja program tidak akan berhasil sesuai dengan apa yang diharapkan. Jika output program tidak sesuai dengan kebutuhan kelompok sasaran jelas outputnya tidak

PROGRAM

PEMANFAAT ORGANISASI

Output Tugas

Tuntutan

Kebutuhan Kompetensi


(39)

dapat dimanfaatkan. Jika organisasi pelaksana program tidak memiliki kemampuan melaksanakan tugas yang disyaratkan oleh program maka organisasinya tidak dapat menyampaikan output program dengan tepat. Atau, jika syarat yang ditetapkan organisasi pelaksana program tidak dapat dipenuhi oleh kelompok sasaran maka kelompok sasaran tidak mendapatkan output program. Oleh karena itu, kesesuaian antara tiga unsur implementasi kebijakan mutlak diperlukan agar program berjalan sesuai dengan rencana yang telah dibuat.

Model kesesuaian implementasi kebijakan yang diperkenalkan oleh Korten memperkaya model implementasi kebijakan yang lain. Hal ini dapat dipahami dari kata kunci kesesuaian yang digunakan. Meskipun demikian, elemen yang disesuaikan satu sama lain – program, pemanfaat dan organisasi – juga sudah termasuk baik dalam dimensi isi kebijakan (program) dan dimensi konteks implementasi (organisasi) maupun dalam outcomes (pemanfaat) pada model proses politik dan administrasi dari Grindle.

2.1.5 Krite ria Pengukuran Imple mentasi Kebijakan

Menurut Grindle (1980: 10) dan Quade (1984: 310), untuk mengukur kinerja implementasi suatu kebijakan publik harus memperhatikan variabel kebijakan, organisasi dan lingkungan. Perhatian itu perlu diarahkan karena melalui pemilihan kebijakan yang tepat maka masyarakat dapat berpartisipasi memberikan kontribusi yang optimal untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Selanjutnya, ketika sudah ditemukan kebijakan yang terpilih diperlukan organisasi pelaksana, karena di dalam organisasi ada kewenangan dan berbagai sumber daya yang mendukung pelaksanaan kebijakan bagi pelayanan publik. Sedangkan


(40)

lingkungan kebijakan tergantung pada sifatnya yang positif atau negatif. Jika lingkungan berpandangan positif terhadap suatu kebijakan akan menghasilkan dukungan positif sehingga lingkungan akan berpengaruh terhadap kesuksesan implementasi kebijakan. Sebaliknya, jika lingkungan berpandangan negatif maka akan terjadi benturan sikap, sehingga proses implementasi terancam akan gagal. Lebih daripada tiga aspek tersebut, kepatuhan kelompok sasaran kebijakan merupakan hasil langsung dari implementasi kebijakan yang menentukan efeknya terhadap masyarakat.

Kriteria pengukuran keberhasilan implementasi menurut Ripley dan Franklin (1986: 12) didasarkan pada tiga aspek, yaitu: (1) tingkat kepatuhan birokrasi terhadap birokrasi di atasnya atau tingkatan birokrasi sebagaimana diatur dalam undang-undang, (2) adanya kelancaran rutinitas dan tidak adanya masalah; serta (3) pelaksanaan dan dampak (manfaat) yang dikehendaki dari semua program yang ada terarah. Sedangkan menurut Goggin et al. (1990: 20-21, 31-40), proses implementasi kebijakan sebagai upaya transfer informasi atau pesan dari institusi yang lebih tinggi ke institusi yang lebih rendah diukur keberhasilan kinerjanya berdasarkan variabel: (1) dorongan dan paksaan pada tingkat federal, (2) kapasitas pusat/negara, dan (3) dorongan dan paksaan pada tingkat pusat dan daerah.

Variabel dorongan dan paksaan pada tingkat pusat ditentukan oleh legitimasi dan kredibilitas, yaitu semakin sahih kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat di mata daerah maka semakin besar kredibilitasnya, begitu pula sebaliknya. Untuk mengukur kekuatan isi dan pesan kebijakan dapat dilihat melalui: (i) besarnya dana yang dialokasikan, dengan asumsi bahwa semakin


(41)

besar dana yang dialokasikan maka semakin serius kebijakan tersebut dilaksanakan dan (ii) bentuk kebijakan yang memuat antara lain, kejelasan kebijakan, konsistensi pelaksanaan, frekuensi pelaksanaan dan diterimanya pesan secara benar. Sementara itu, untuk mengetahui variabel kapasitas pusat atau kapasitas organisasi dapat dilihat melalui seberapa jauh organisasi pelaksana kebijakan mampu memanfaatkan wewenang yang dimiliki, bagaimana hubungannya dengan struktur birokrasi yang ada dan bagaimana mengkoordinasikan berbagai sumberdaya yang tersedia dalam organisasi dan dalam masyarakat.

Model kesesuaian implementasi kebijakan atau program dari Korten juga relevan digunakan (lihat kembali Gambar 3 dan penjelasannya) sebagai kriteria pengukuran implementasi kebijakan. Dengan kata lain, keefektifan kebijakan atau program menurut Korten tergantung pada tingkat kesesuaian antara program dengan pemanfaat, kesesuaian program dengan organisasi pelaksana dan kesesuaian program kelompok pemanfaat dengan organisasi pelaksana.

Selain kriteria pengukuran implementasi kebijakan di atas, perlu pula dipahami adanya hubungan pengaruh antara implementasi kebijakan dengan faktor lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Van Meter dan Van Horn (lihat Grindle, 1980: 6) bahwa terdapat variabel bebas yang saling berkaitan sekaligus menghubungkan antara kebijakan dengan prestasi kerja. Variabel yang dimaksud oleh keduanya meliputi: (i) ukuran dan tujuan kebijakan, (ii) sumber kebijakan, (iii) ciri atau sifat badan/instansi pelaksana, (iv) komunikasi antar organisasi terkait dan komunikasi kegiatan yang dilaksanakan, (v) sikap para pelaksana, dan (vi) lingkungan ekonomi, sosial dan politik.


(42)

Menurut Quade (1984: 310), dalam proses implementasi kebijakan yang ideal akan terjadi interaksi dan reaksi dari organisasi pengimplementasi, kelompok sasaran dan faktor lingkungan yang mengakibatkan munculnya tekanan dan diikuti dengan tindakan tawar-menawar atau transaksi. Dari transaksi tersebut diperoleh umpan balik yang oleh pengambil kebijakan dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam perumusan kebijakan selanjutnya. Quade memberikan gambaran bahwa terdapat empat variabel yang harus diteliti dalam analisis implementasi kebijakan publik, yaitu: (1) Kebijakan yang diimpikan, yaitu pola interaksi yang diimpikan agar orang ya ng menetapkan kebijakan berusaha untuk mewujudkan; (2) Kelompok target, yaitu subyek yang diharapkan dapat mengadopsi pola interaksi baru melalui kebijakan dan subyek yang harus berubah untuk memenuhi kebutuhannya; (3) Organisasi yang melaksanakan, yaitu biasanya berupa unit birokrasi pemerintah yang bertanggungjawab mengimplementasikan kebijakan; dan (4) Faktor lingkungan, yaitu elemen dalam lingkungan yang mempengaruhi implementasi kebijakan.

Sebagai komparasi dapat dipahami pemikiran Mazmanian dan Sabatier yang mengembangkan “kerangka kerja analisis implementasi” (Wahab, 1991: 117). Menurutnya, peran penting analisis implementasi kebijakan negara ialah mengidentifikasi variabel yang mempengaruhi pencapaian tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi. Variabel yang dimaksud oleh Mazmanian dan Sabatier diklasifikasikan ke dalam tiga kategori umum, yaitu: (1) mudah atau sulitnya dikendalikan masalah yang digarap; (2) kemampuan kebijakan unt uk mensistematisasi proses implementasinya; dan (3) pengaruh langsung variabel politik terhadap keseimbangan dukungan bagi tujuan yang termuat dalam


(43)

kebijakan. Ketiga variabel ini disebut variabel bebas yang dibedakan dengan tahap implementasi yang harus dilalui sebagai variabel terikat.

Variabel mudah atau sulitnya suatu masalah dikendalikan mencakup: (i) kesukaran teknis, (ii) keragaman perilaku kelompok sasaran, (iii) persentase kelompok sasaran dibandingkan dengan jumlah penduduk, dan (iv) ruang lingkup perubahan perilaku yang diinginkan. Variabel kemampuan kebijakan untuk mensistematisasi proses implementasi mencakup: (i) kejelasan dan konsistensi tujuan, (ii) ketepatan alokasi sumber daya, (iii) keterpaduan hirarki dalam dan di antara lembaga pelaksana, (iv) aturan keputusan dari badan pelaksana, (v) rekruitmen pejabat pelaksana, dan (vi) akses formal pihak luar. Variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi mencakup: (i) kondisi sosial ekonomi dan teknologi, (ii) dukungan publik, (iii) sikap dan sumber daya yang dimiliki kelompok, (iv) dukungan dari pejabat atasan, dan (v) komitmen dan kemampuan kepemimpinan pejabat pelaksana (Keban, 2007: 16). Sedangkan variabel terikat yang ditunjukkan melalui tahapan dalam proses implementasi mencakup: (i) output kebijakan badan pelaksana, (ii) kesediaan kelompok sasaran mematuhi output kebijakan, (iii) dampak nyata output kebijakan, (iv) dampak output kebijakan sebagaimana yang dipersepsikan, dan (v) perbaikan.

2.2 Surat Keputusan Izin Trayek dan Kartu Pengawasan Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP)

Izin adalah suatu instrument yang paling banyak digunakan dalam hukum administrasi, pemerintah menggunakan izin sebagai sarana untuk mengendalikan tingkah laku para warganya. Hal ini dikarenakan pemerintah menggunakan izin


(44)

sebagai instrument untuk mempengaruhi hubungan dengan para warganya agar mau mengikuti cara yang dianjurkan oleh pemerintah guna mencapai tujuan yang konkrit. Perizinan adalah suatu alat untuk menstimulasi perilaku yang baik terhadap lingkungan atau untuk mencegah perilaku yang tidak dikehendaki. Segi normatif dari perizinan adalah bahwa hukum menentukan peraturan-peraturan mana yang dapat diterapkan bagi suatu perizinan.

Konsekuensi jika izin tidak dilaksanakan sesuai dengan isinya maka pemerintah selaku aparat penegak hukum melalui kewenangan diskresi (discrectionary power) dapat menerapkan sanksi administrasi, dan pencabutan izin, bahkan dalam hal terhadap indikasi adanya elemen-elemen tindak pidana, sanksi administrasi dapat diterapkan bersama sanksi pidana.

Pengawasan terhadap proses pengangkutan diantaranya dilakukan dengan pemberian izin trayek terhadap pengelola armada angkutan umum berdasarkan peraturan perundang- undangan. Salah satu instrument pengawasan negara/pemerintah terhadap kegiatan usaha trayek adalah lembaga Dinas Perhubungan.

Sesuai dengan Keputusan Menteri No.35 Tahun 2003 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dijalan Dengan Angkutan Umum setiap orang pribadi dan atau badan hukum yang akan menyelenggarakan pelayanan angkutan penumpang umum dalam wilayah tertentu harus mendapatkan izin trayek dari daerah terkait dengan mengajukan Surat Permohonan Persetujuan Izin Trayek melalui Dinas atau Badan yang mengeluarkan Surat Keputusan Izin Trayek dan Kartu Pengawasan Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP).


(45)

Dalam Keputusan Menteri No 35 Tahun 2003 pasal 42 bagian 1 dan 2 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dijalan Dengan Angkutan Umum dijelaskan mengenai izin trayek berupa ;

(1) Untuk melakukan kegiatan angkutan dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, wajib memiliki izin trayek.

(2) Izin trayek sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), merupakan satu kesatuan dokumen yang memiliki masa berlaku izin lima tahun dan apabila diperlukan dapat diperpanjang dengan mengajukan permohonan baru yang terdiri dari : a. Surat keputusan izin trayek, yang sekurang-kurangnya memuat :

1) nomor surat keputusan; 2) nama perusahaan;

3) nomor induk perusahaan;

4) nama pimpinan perusahaan/ penanggung jawab; 5) alamat perusahaan/ penanggung jawab;

6) masa berlaku izin;

b. Surat keputusan pelaksanaan izin trayek, yang sekurang-kurangnya memuat : 1) nomor surat keputusan;

2) nama perusahaan;

3) kode trayek yang dilayani;

4) jumlah kendaraan yang diizinkan; 5) jumlah perjalanan per hari; 6) sifat pelayanan;


(46)

c. Lampiran surat keputusan berupa daftar kendaraan, yang sekurang-kurangnya memuat :

1) nomor surat keputusan; 2) nama perusahaan; 3) nomor induk kendaraan; 4) tanda nomor kendaraan; 5) nomor uji;

6) merk pabrik; 7) tahun pembuatan; 8) daya angkut orang;

9) kode trayek yang dilayani; 10) kode pelayanan;

d. Kartu pengawasan kendaraan guna pengawasan dan evaluasi pelayanan angkutan umum di setiap jalur trayek yang telah ditetapkan. Masa berlaku kartu pengawasan dan jadwal jam perjalanan wajib didaftarkan ulang untuk setiap 1 (satu) tahun sekali, yang sekurang-kurangnya memuat :

1) nomor surat keputusan; 2) nomor induk kendaraan; 3) nama perusahaan; 4) masa berlaku izin; 5) trayek yang dilayani; 6) tanda nomor kendaraan; 7) nomor uji;


(47)

9) daya angkut bagasi;

10) kode trayek yang dilayani; 11) jenis dan sifat pelayanan; 12) jadwal perjalanan;

Berdasarkan Keputusan Menteri No.35 Tahun 2003 Pasal 19 (4) Tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dijalan Dengan Angkutan Umum, Angkutan Kota Dalam Propinsi (AKDP) adalah angkutan dari satu kota ke kota lain yang melalui antar daerah Kabupaten / Kota dalam satu daerah Propinsi dengan menggunakan mobil bus umum yang terikat dalam trayek.

Pelayanan angkutan antar kota dalam propinsi diselenggarakan dengan ciri-ciri sebagai berikut :

a. Mempunyai jadwal tetap, sebagaimana tercantum dalam jam perjalanan pada kartu pengawasan mobil bus yang dioperasikan;

b. Pelayanan angkutan yang dilakukan bersifat pelayanan cepat atau lambat ; c. Dilayani dengan mobil bus besar atau mobil bus sedang, baik untuk

pelayanan ekonomi maupun pelayanan non ekonomi;

d. Tersedianya terminal penumpang sekurang-kurangnya tipe B, pada awal pemberangkatan, persinggahan, dan terminal tujuan;

e. Prasarana jalan yang dilalui dalam pelayanan angkutan antar kota dalam propinsi sebagaimana tercantum dalam izin trayek yang telah ditetapkan. Kendaraan yang digunakan untuk angkutan antar kota dalam propinsi harus dilengkapi dengan :

a. Nama perusahaan dan nomor urut kendaraan yang dicantumkan pada sisi kiri, kanan, dan belakang kendaraan;


(48)

b. Papan trayek yang memuat asal dan tujuan serta kota yang dilalui dengan dasar putih tulisan hitam yang ditempatkan di bagian depan dan belakang kendaraan;

c. Jenis trayek yang dilayani ditulis secara jelas dengan huruf balok, melekat pada badan kendaraan sebelah kiri dan kanan dengan tulisan "ANGKUTAN ANTAR KOTA DALAM PROVINSI";

d. Jati diri pengemudi yang ditempatkan pada dashboard, yang dikeluarkan oleh masing- masing perusahaan angkutan;

e. Fasilitas bagasi sesuai kebutuhan; f. Tulisan standar pelayanan;

g. Daftar tarif yang berlaku.

Selain dilengkapi dengan kelengkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), kendaraan angkutan antar kota antar propinsi dapat dilengkapi dengan :

a. Kotak obat lengkap dengan isinya;

b. Alat pemantau unjuk kerja pengemudi, yang sekurang-kurangnya dapat merekam kecepatan kendaraan dan perilaku pengemudi dalam mengoperasikan kendaraannya.


(49)

37 3.1 Gambaran Umum Provinsi Jawa Barat

Letak Geografis

Provinsi Jawa Barat salah satu provinsi si Indonesia yang memiliki alan dan pemandangan yang indah serta memiliki berbagai potensi yang dapat diberdayakan, antara lain menyangkut Sumber Daya Air, Sumber Daya Alam dan Pemanfaatan Lahan, Sumber Daya Hutan, Sumber Daya Pesisir dan Laut serta Sumber Daya Perekonomian.

Dengan lahirnya UU No.23 Tahun 2000 tentang provinsi Banten, Maka Wilayah Administrasi Pembantu Gubernur Wilayah I Banten resmi ditetapkan menjadi Provinsi Banten. Adanya perubahan itu, maka saat ini pProvinsi Jawa Barat terdiri dari : 17 Kabupaten dan 9 Kota, dengan membawahkan 592 kecamatan, 5.201 Desa dan 609 Kelurahan.

Provinsi Jawa Barat mempunyai luas wilayah sekitar 44.354,61 K m2 dan secara geografis terletak di antara 50 50 - 70 50 Lintang Selatan dan 104o 48 - 104o 48 Bujur Timur.

Dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:

1. Sebelah Utara, berbatasan dengan Laut Jawa Bagian Barat, Banten dan DKI Jakarta,

2. Sebelah Timur, berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah, 3. Sebelah Selatan, berbatasan dengan Samudra Indonesia,


(50)

4. Sebelah Barat, berbatasan dengan Selat Sunda.

“Visi dan Misi Provinsi Jawa Barat”

Masa depan Pemerintahan Provinsi Jawa Barat akan ditentukan oleh kondisi kepemerintahan dan kehidupan kemasyarakatan dengan segala aspeknya yang meliputi politik, ekonomi, sosial dan budaya, keamanan dan ketertiban. Sehubungan dengan hal itu Provinsi Jawa Barat memiliki visi filosofis yang berorientasi kedepan, menuju kehidupan yang lebih baik demi memenuhi tuntutan kebutuhan dan persaingan dalam menghadapi kompetisi global dimasa yang akan datang. Visi merupakan cita-cita, cita-cita dimaksud dinyatakan dalam visi

“Tercapainya Masyarakat Jawa Barat yang Mandiri, Dinamis dan Sejahtera”

Misi merupakan tugas yang diemban oleh pemerintah dan masyarakat Provinsi Jawa Barat dalam melaksanakan perannya dalam pembangunan yang mengacu pada visi yang telah ditetapkan, misi tersebut adalah:

 Mewujudkan Sumber Daya Manusia Jawa Barat Yang Produktif dan Berdaya Saing;

 Meningkatkan Pembangunan Ekonomi Regional Berbasis Potensialm Lokal;

 Meningkatkan Ketersediaan dan Kualitas Infrastruktur Wilayah;

 Meningkatkan Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Untuk Pembangunan Yang Berkelanjutan;


(51)

3.2 Profil BPPT Provinsi Jawa Barat

3.2.1 Kedudukan BPPT Provinsi Jawa Barat

Badan Pelayanan Perijinan Terpadu (BPPT) Provinsi Jawa Barat dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jawa Barat Nomor 24 Tahun 2008 tanggal 19 November 2008 tentang Organisasi dan Tatakerja Lembaga Lain Provinsi Jawa Barat. BPPT Provinsi Jawa Barat merupakan lembaga teknis Daerah yang berkedudukan sebagai unsur penunjang Pemerintah Daerah, dipimpin oleh seorang Kepala Badan yang berada dibawah dan bertanggungjawab kepada Gubernur Jawa Barat melalui Sekretaris Daerah.

3.2.2 Tugas Pokok dan Fungsi BPPT Provinsi Jawa Barat

Tugas pokok dan fungsi dimaksudkan untuk memberikan gambaran mengenai tugas dan fungsi dari masing- masing bagian dan sub bagian, bidang dan sub bidang, sehingga rencana yang disusun sesuai dengan tugas dan fungsinya masing- masing.

Sebagai lembaga teknis daerah BPPT Provinsi Jawa Barat mempunyai tugas pokok dan fungsi berdasarkan keputusan Gubernur Nomor 63 tahun 2009, adalah sebagai berikut :

1. Tugas Pokok Badan Pelayanan Perijinan Terpadu adalah melaksanakan koordinasi dan menyelenggarakan pelayanan administrasi perizinan secara terpadu meliputi ketatausahaan, administrasi, pelayanan, monitoring, evaluasi dan penanganan pengaduan dengan prinsip koordinasi, integral, sinkronisasi, simplikasi, keamanan dan kepastian.


(52)

Dalam menyelenggarakan tugas pokok sebagaimana dimaksud Badan Pelayanan Perizinan Terpadu mempunyai fungsi :

a) Penyelenggaraan penyusunan program Badan ;

b) Penyelenggaraan pelayanan administrasi dan pembinaan perizinan ; c) Penyelenggaraan koordinasi proses pelayanan perizinan ;

d) Penyelenggaraan administrasi pelayanan perizinan dan penanganan pengaduan ;

e) Penyelenggaraan pemantauan dan evaluasi proses pemberian pelayanan perizinan.

3.2.3 Personil BPPT Provinsi Jawa Barat

Dalam pelaksanaan kegiatan sebagaimana tugas pokok dan fungsinya Badan Pelayanan Perijinan Terpadu (BPPT) Provinsi Jawa Barat ditunjang oleh personil sebanyak 62 orang yang terdiri dari 56 orang PNS dan 6 orang Tenaga Kerja Kontrak sebagai berikut :

a. Gol IV /a = 3 Orang Gol IV /b = 4 Orang Gol IV /c = - Orang Gol IV /d = - Orang Jumlah Gol IV = 7 Orang


(53)

Gol III/b = 9 Orang Gol III/c = 3 Orang Gol III/d = 8 Orang Jumlah Gol III = 33 Orang

c. Goll II/a = 8 Orang Gol II/b = - Orang Gol II/c = 4 Orang Gol II/d = 3 Orang Jumlah Gol II = 15 Orang

d. Gol I/a = - Orang Gol I/b = - Orang Gol I/c = 1 Orang Gol I/d = - Orang Jumlah Gol I = 1 Orang

e. Tenaga Kontrak = 6

f. Tenaga Kerja Berdasarkan Pendidikan Formal, sebagai berikut : · Doktor ( S3 ) = - Orang · Magister/Pasca Sarjana ( S2 ) = 7 Orang · Sarjana ( S1 ) = 19 Orang


(54)

· Diploma Tiga ( D3 ) = 3 Orang · Diploma Dua ( D2 ) = - Orang · Diploma Satu ( D1 ) = - Orang · Sekolah Lanjutan Tingkat Atas = 35 Orang · Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama = 2 Orang · Sekolah Dasar ( SD ) = - Orang · Jumlah = 56 Orang

Pada tahun 2010, jumlah personil pada BPPT Provinsi Jawa Barat sebanyak 63 orang yang masing- masing terdiri dari 61 orang PNS dan 2 orang Tenaga Kerja Kontrak sebagai berikut :

a. Gol IV /a = 3 Orang Gol IV /b = 4 Orang Gol IV /c = - Orang Gol IV /d = - Orang Jumlah Gol IV = 7 Orang

b. Gol III/a = 15 Orang Gol III/b = 10 Orang Gol III/c = 5 Orang Gol III/d = 7 Orang Jumlah Gol III = 37 Orang


(55)

c. Goll II/a = 12 Orang Gol II/b = - Orang Gol II/c = 3 Orang Gol II/d = 2 Orang Jumlah Gol II = 17 Orang

d. Tenaga Kontrak = 2 Orang

e. Tenaga Kerja Berdasarkan Pendidikan Formal, sebagai berikut : · Doktor ( S3 ) = - Orang

· Magister/Pasca Sarjana ( S2 ) = 7 Orang · Sarjana ( S1 ) = 25 Orang · Diploma Tiga ( D3 ) = 2 Orang · Diploma Dua ( D2 ) = - Orang · Diploma Satu ( D1 ) = - Orang · Sekolah Lanjutan Tingkat Atas = 25 Orang · Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama = 2 Orang · Sekolah Dasar ( SD ) = - Orang · Jumlah = 61 Orang

Jumlah personil tersebut masih belum memenuhi kebutuhan dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi BPPT dalam menyelenggarakan pelayanan perizinan, sehubungan dengan akan dibentuknya unit layanan izin dan non izin di


(56)

wilayah-wilayah potensial (outlet), serta sejumlah personil yang dibutuhkan untuk operasionalisasi Site Mobile Service (SMS). Sehingga jumlah personil yang proporsional dan mutlak untuk dapat terpenuhi di tahun 2011 sebanyak 102 orang dengan standar kompetensi yang sesuai dengan tugas dan jabatan yang dibutuhkan.

3.2.4 Struktur Organisasi

Untuk mengatur tata kerja dan hubungan kerja antar pegawai yang satu dengan yang lainnya dan untuk menentukan tugas dan tanggung jawab masing-masing. Maka diperlukan struktur organisasi yang merupakan wadah untuk melaksanakan aktifitas setiap anggotanya. Dengan ini diharapkan dapat mempermudah serta memberikan kerangka mengenai gambaran berbagai macam hubungan kerja berdasarkan jabatan masing- masing anggota dalam wadah organisasi tersebut.

Struktur Organisasi Badan Pelayanan Perijinan Terpadu terdiri atas : a. Kepala Badan,

b. Bagian Tata Usaha, membawahkan ; 1. Sub. Bagian Program

2. Sub. Bagian Keuangan 3. Sub. Bagian Umum c. Bidang Administrasi, d. Bidang Pelayanan,


(57)

f. Kelompok Jabatan Fungsional.

Gambar 3.1

Gambar struktur Organisasi BPPT Provinsi Jawa Barat

Untuk lebih jelasnya penulis akan menguraikan tugas dan fungsi setiap pegawai di BPPT Provinsi Jawa Barat:

1. Kepala Badan

(1) BPPT Provinsi Jawa Barat di pimpin oleh seorang kepala badan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui


(58)

sekretariat daerah. Kepala badan mempunyai tugas pokok memimpin, mengkoodinasikan, dan mengendalikan tugas pokok dan fungs i badan. (2) Fungsi Kepala Badan adalah:

a. Perumusan, pengaturan dan pelaksanaan kebjakan teknis bidang perpustakaan, kearsipan, informasi dan telematika;

b. Pengendalian dan fasilitasi pelaksanaan tugas-tugas di bidang perpustakaan, kearsipan, informasi dan telematika;

c. Pengolahan sumber daya aparatur, keuangan sarana dan prasarana pemerintah daerah;

d. Penyelenggaraan koordinasi dan kerjasama yang berkaitan dengan tugas dan fungsi badan.

(3) Kepala Badan membawahkan: a. Bagian Tata Usaha;

b. Bidang Administrasi, c. Bidang Pelayanan,

d. Bidang Monitoring Evaluasi dan Pengaduan.

2. Bagian Tata Usaha

a. Dipimpin oleh seorang kepala bagian yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada kepala badan yang mempunyai tugas pokok menyusun dan melaksanakan urusan umum dan keuangan.

b. Fungsi Kepala Bagaian Tata Usaha adalah:


(1)

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBUATAN

SURAT KEPUTUSAN IZIN TRAYEK DAN KARTU PENGAWASAN ANGKUTAN KOTA DALAM PROVINSI (AKDP)

DI BADAN PELAYAN AN PERIJINAN TERPADU (BPPT) PROVINSI JAWA BARAT

LAPOR AN KKL

Diajukan Untuk Menempuh Kuliah Kerja Lapangan

Pada Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Komputer Indonesia

Disusun Oleh : PEN Y LUKMAN

NIM. 41708023

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL D AN ILMU POLITIK

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN BANDUNG


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Edward III, George C (edited), 1984, Public Policy Implementing, Jai Press Inc, London-England.

Goggin, Malcolm L et al. 1990. Implementation, Theory and Practice: Toward a Third Generation, Scott, Foresmann and Company, USA.

Grindle, Merilee S. 1980. Politics and Policy Implementation in The Third World, Princnton University Press, New Jersey.

Indrajit, Richardus Eko. 2005. e-Government In Action Ragam Kasus Implementasi Sukses Di berbagai Belahan Dunia. Yogyakarta: Andi. Marbun, B.N. 2005. Otonomi Daerah 1945-2005 Proses dan Realita

Perkembangan Otonomi Daerah, Sejak Zaman Kolonial Sampai Saat ini. Jakarta: Pustaka Sinar Utama.

Mazmanian, Daniel A and Paul A. Sabatier. 1983. Implementation and Public Policy, Scott Foresman and Company, USA.

Nakamura, Robert T and FrankSmallwood. 1980. The Politics of Policy Implementation, St. Martin Press, New York.

Quade, E.S. 1984. Analysis For Public Decisions, Elsevier Science Publishers, New York.

Ripley, Rendal B. and Grace A. Franklin. 1986. Policy Implementation and Bureaucracy, second edition, the Dorsey Press, Chicago-Illionis.

Sabatier, Paul. 1986. “Top down and Bottom up Approaches to Implementation Research” Journal of Public Policy 6, (Jan), h. 21-48.

Soehartono, Iarawan. 2002. Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahtraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: CV. Alfabeta.

Tachjan. 2006. Implementasi Kebijakan Publik. Bandung: AIPI

Wahab, Solichin A. 1991. Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan, Bumi Aksara Jakarta.


(3)

Widodo, Joko. 2001. Good Governance Telaah dari Dimensi : Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Surabaya: Insan Cendekia.

Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik, Media Pressindo Yogyakarta.

DOKUMEN-DOKUMEN

Keputusan Menteri Perhubungan No.35 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan.

Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Ap aratur Negara No.26 Tahun 2004 tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan Akuntabilitas Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik.

Peraturan Gubernur Jawa Barat No.6 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyelengggaraan Perizinan di Provinsi Jawa Barat.

Peraturan Gubernur Jawa Barat No.7 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan Standar Perizinan Terpadu Satu Pintu di Provinsi Jawa.

Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 16 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Perijinan Terpadu.

Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 24 Tahun 2008 tentang Pelayanan Perijinan Yang Meliputi Semua Jenis Perijinan dan Non Perijinan.


(4)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama Lengkap : Peny Lukman

Tempat dan Tanggal Lahir : Bandung, 9 November 1990 Jenis Kelamin : Laki- laki

Usia : 20 Tahun

Status : Belum Kawin

Alamat : Jl.Sukanegla Rt.07/Rw.01 No.39 Kel : Antapani Kulon Kec : Antapani Bandung 40291

Telp/Hp : 085722428474

PENDIDIKAN FORMAL

2005-2008 SMK Kartika Siliwangi 1 Bandung 2002-2005 SMP Negeri 20 Bandung

1996-2002 SD Negeri Griya Bumi Antapani 5/1 Bandung PENDIDIKAN YANG SEDANG DITEMPUH

2008- UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA

Demikian Daftar Riwayat Hidup ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Bandung, November 2011

Peny Lukman NIM. 41708023


(5)

ii

KATA PENGAN TAR

Assalamualaikum warohmatullohi wabarokatuh.

Dengan mengucapkan Syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan karunia dan ilmu pengetahuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan KKL dengan judul “Implementasi Kebijakan Pe mbuatan Surat Keputusan Izin Trayek Dan Kartu Pengawasan Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKD P) Di Badan Pelayanan Perijinan Terpadu (BPPT) Provinsi Jawa Barat”. Penulis berharap dengan dibuatnya Laporan KKL ini dapat berguna dalam peningkatan perizinan usaha di Provinsi Jawa Barat.

Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang setinggi- tingginya kepada pihak yang telah membantu penyusunan Usulan Penelitian ini, kepada Yth:

1. Prof. Dr. Samugyo Ibnu Redjo, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Komputer Indonesia.

2. Ibu Nia Karniawati. S.IP., M.Si selaku Dosen Pembimbing KKL dan Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP Unikom, Dosen Wali Mahasiswa angkatan 2008.

3. Kepala Badan Pelayanan Pelayanan Terpadu Provinsi Jawa barat yang telah memberikan rekomendasi penulis dalam pelaksanaan Kuliah Kerja Lapangan. 4. Teman-teman Program Studi Ilmu Pemerintahan angkatan 2008.

5. Terima kasih yang tiada terkira kapada Ibunda dan Ayahanda tercinta selaku kedua orang tua yang telah memberikan motivasi baik do’a, moril maupun materil dan adik tercinta yang selalu mendukung dalam proses pembuatan Laporan KKL ini.


(6)

iii

Penulis menyadari masih adanya kelemahan dan kekurangan dalam penyusunan Laporan KKL ini. Untuk itu, penulis berharap memberikan masukan, kritik dan saran senantiasa penulis nantikan dari semua pihak yang berguna untuk kesempurnaan Laporan KKL ini.

Wasalamualaikum warohmatullohi wabarokatuh.

Bandung, November 2011


Dokumen yang terkait

Implementasi Kebijakan Pelayanan Transportasi ( Studi Kasus Pengelolaan Trayek Angkutan Umum Bus Kota di Dinas Perhubungan Provinsi Sumatera Utara)

12 148 113

Evaluasi Karakteristik Operasional Angkutan Umum Antar Kota Dalam Provinsi (AKDP) (Studi Kasus : PO.DATRA dan CV.PAS Trayek Medan-Sidikalang)

4 34 149

Sistem Pendukung Keputusan Perijinan Trayek Kapal Pedalaman Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP) Di Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Balai Pengelolaan Laut Dan Angkutan Sungai, Danau Dan Penyebrangan (ASDP) Provinsi Jawa Barat

3 19 305

Implementasi Kebijakan Tentang Pembuatan Surat Keputusan Ijin Trayek Dan Kartu Pengawasan Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP) Pada Badan Pelayanan Perijinan Terpadu (BPPT) Privinsi Jawa Barat

1 23 157

Evaluasi Karakteristik Operasional Angkutan Umum Antar Kota Dalam Provinsi (AKDP) (Studi Kasus : PO.DATRA dan CV.PAS Trayek Medan-Sidikalang)

0 9 149

Implementasi Kebijakan Pelayanan Terpadu Di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Propinsi Jawa Barat.

0 0 2

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAYANAN TERPADU DI BADAN PELAYANAN PERIZINAN TERPADU PROPINSI JAWA BARAT.

0 0 1

Evaluasi Karakteristik Operasional Angkutan Umum Antar Kota Dalam Provinsi (AKDP) (Studi Kasus : PO.DATRA dan CV.PAS Trayek Medan-Sidikalang)

0 1 10

Evaluasi Karakteristik Operasional Angkutan Umum Antar Kota Dalam Provinsi (AKDP) (Studi Kasus : PO.DATRA dan CV.PAS Trayek Medan-Sidikalang)

0 0 1

Evaluasi Karakteristik Operasional Angkutan Umum Antar Kota Dalam Provinsi (AKDP) (Studi Kasus : PO.DATRA dan CV.PAS Trayek Medan-Sidikalang)

0 0 6