BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Makna perkawinan adalah suatu Anugrah Allah SWT, yang merupakan kebutuhan fitri setiap manusia.
1
Perkawinan yang sah pastilah akan menimbulkan akibat hukum, seperti hak dan kewajiban suami isteri, harta perkawinan, hubungan
timbal balik antara kedua orang tua dengan anak, kewajiban pemeliharaan anak maupun kewarisan. Salah satu akibat dari perkawinan yang sah adalah anak yang
dilahirkan dari perkawinan tersebut yaitu anak yang sah, memiliki hubungan keperdataan secara sempurna terhadap orang tuanya, sesuai dengan ketentuan Pasal
42 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan UUP 1974. Adapun hubungan hukum keperdataan yang dimaksud meliputi dari garis keturunan anak
yang dihubungkan kepada ayah, hak pemenuhan nafkah dari orang tua terhadap anak, hak pemeliharaan dan pendidikan, hak saling mewarisi, hak perwalian nikah bagi
ayah atas anak perempuan dan hak-hak keperdataan lainnya.
2
Berbeda halnya dengan perkawinan yang sah, maka perkawinan yang tidak sah tidak memiliki akibat hukum apapun terhadap pihak yang terikat dalam perkawinan
tersebut. Jika dihubungkan dengan Pasal 2 ayat 1 UUP 1974 dengan menggunakan
1
Hasim Purba, Pentingnya Amandemen UU Perkawinan Dan Isu-isu Kritis Dalam Naskah Akademik RUU perkawinan, Seminar dan Workshop di Madani Hotel Medan pada tanggal 31 Oktober
2013.
2
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta : Melton Putra, 1991, hal. 9
Universitas Sumatera Utara
interprestasi hukum a contrario perkawinan yang tidak sah adalah perkawinan yang dilakukan tidak menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
3
Hubungan suami isteri yang tidak sah sebagaimana dimaksud adalah hubungan badan senggama antara dua orang yang tidak terikat tali pernikahan. Selain hubungan
suami isteri yang tidak sah tersebut, dapat terjadi atas dasar suka sama suka ataupun karena perkosaan, baik yang dilakukan oleh orang yang telah menikah ataupun belum
menikah.
4
Selanjutnya dalam Kompilasi Hukum Islam KHI kalimat yang mempunyai makna “anak zina” adalah istilah “anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang
sah”, sebagaimana yang terdapat pada Pasal 100 KHI, yang menyebutkan bahwa “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibu
dan keluarga ibunya”. Semakna dengan ketentuan tersebut, Pasal 186 KHI “Anak” sebagai hasil hubungan luar nikah, tidak dijadikan sasaran hukum
sosial, celaan masyarakat dan lain sebagainya dengan menyandangkan dosa besar berzina ibu kandungnya dan ayah alami genetik anak tersebut kepada dirinya.
Untuk lebih mendekatkan makna demikian, Pasal 44 ayat 1 UUP 1974 hanya menyatakan “seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh
isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan kelahiran anak itu akibat daripada perzinaan tersebut”
3
Zan Elhasany, Tentang Kedudukan Anak di Luar nikah, http:artikellengkap.blogspot.com201212kedudukan-anak-di-luar-nikah.html
, diakses pada tanggal 12 Februari 2013 Pukul 23.00 Wib
4
Rio Satria Hakim Pengadilan Sangeti, Kritik Analitis tentang Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai uji materil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat 2 dan Pasal 43
ayat 1.
Universitas Sumatera Utara
menyatakan “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya”.
5
Berhubung dengan kenyataan inilah , maka nampak keperluan adanya suatu perkawinan antara seorang perempuan dan seorang laki-laki, yang dengan bersetubuh
menghasilkan lahirnya anak. Hukum dimanapun juga, yang mengenal peraturan perkawinan, mengandung harapan bahwa seorang suami atau isteri tidak akan
bersetubuh dengan seorang ketiga. Berdasar atas harapan inilah, maka sudah selayaknya baik hukum adat maupun hukum Islam ataupun hukum dari
K.U.H.Perdata Burgerlijk Wetboek Pasal 250 menentukan bahwa “Tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami
sebagai bapaknya”, dan perhubungan anak-bapak diantara mereka ini dianggap sabagai suatu perhubungan yang sah, artinya menurut hukum wettig.
6
Mereka anak-anak pada hakekatnya merupakan satu-satunya golongan ahli waris, artinya sanak keluarga tidak menjadi ahli waris apabila si peninggal warisan
meninggalkan anak-anak. Di dalam hukum Islam, misalnya yang merupakan ahli waris utama disamping ahli-ahli waris lainnya, dengan demikian hukum kewarisan
Islam hendaknya berlaku bagi umat Islam Indonesia, karena ketentuan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 UUD RI tahun 1945 Pasal
29 menegaskan bahwa bangsa Indonesia adalah beragama dan menjalankan
5
Ibid, hal . 4
6
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung : Vorkink-Van Hoeve, 1959, hal. 57
Universitas Sumatera Utara
agamanya itu.
7
Jelas terlihat dalam hal ini kedudukan anak itu penting dalam sebuah perkawinan. Tetapi sebagai orang tua terutama ayah dalam hal ini bisa saja tidak mau
mengakui kedudukan seorang anak sebagai hasil dari hubungan pernikahan yang tidak sah, dan ayah memiliki kekuasaan untuk hal tersebut. Pengakuan anak yang
tidak sah ini juga dimungkinkan dilakukan oleh seorang laki-laki, yang mengakui menyebabkan lahirnya anak itu. Cara pengakuan oleh si ayah hanya mungkin terjadi
apabila ibunya menyetujuinya. Dalam hukum Islam, kedudukan anak-anak di dalam pewarisan dapat
kita lihat di dalam Al-Qur’an Surah An-Nisaa’ ayat 7 yang menyebutkan “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi
wanita ada hak bagian pula dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”.
8
Seorang yang belum dewasa belum berusia 21 tahun tidak dapat melakukan pengakuan anak, kecuali apabila sudah berusia 19
tahun dan pengakuan yang dilakukannya pun bukan akibat paksa, khilaf, tipu ataupun bujuk.
9
7
Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta : Sinar Grafika, 2001, hal. 31
Tidaklah dapat diakui anak yang lahir dalam perzinahan overspel ini menurut Pasal 283 BW. Kalau ayah dan ibu tidak dapat kawin satu sama lain oleh
karena ada larangan berdasar atas kedekatan tali kekeluargaan kecuali kalau ada izin dari Pemerintah, maka pengakuan oleh mereka dari anak yang lahir dari mereka
hanya dapat dilakukan pada surat kawin mereka Pasal 283 jo Pasal 273 BW. Jadi mereka harus kawin, agar supaya dapat mengakui anaknya itu. Dengan pengakuan
8
Lihat Pasal 284 BW
9
Lihat Pasal 282 BW
Universitas Sumatera Utara
sebagai anak ini saja, tanpa diikuti dengan suatu perkawinan antara ayah dan ibu, hanyalah ada anak yang diakui natuurlijk erkend kind, maka anak ini belumlah
dinamakan anak sah wettig kind.
10
Seorang anak yang sah dilahirkan dari sebuah perkawinan yang sah pula. Maka diperlukan adanya perkawinan yang sah menurut agama dan negara, selanjutnya
perkawinan disamping itu juga merupakan sumber kelahiran yang berarti juga obat penawar musnahnya manusia karena kematian, juga merupakan tali ikatan yang
melahirkan keluarga sebagai dasar kehidupan masyarakat dan negara. Hidup bersama antara seorang pria dan seorang wanita tersebut mempunyai akibat yang sangat
penting dalam masyarakat, baik terhadap kedua belah pihak maupun terhadap keturunannya serta anggota masyarakat lainnya.
11
Selanjutnya dalam hukum keluarga Hak dan kewajiban dapat dibedakan menjadi 3 tiga macam, yaitu :
12
a. Hak dan kewajiban antara suami dan isteri;
b. Hak dan kewajiban antara orang tua dan anaknya;
c. Hak dan kewajiban antara anak dengan orang tuanya manakala orang tuanya
telah mengalami proses penuaan. Hak dan kewajiban antara suami isteri adalah hak dan kewajiban yang timbul
karena adanya perkawinan antara mereka. Pasal 30 sampai dengan Pasal 34 UUP1974 terdapat pada Bab VI yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban
10
Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit, hal. 59
11
Balian Zahab, Tentang Perkawinan Antar Agama, Http:balianzahab.wordpresscom
. Makalah-hukumhukum islamperkawinan-antar agamadiakses tanggal 29 Mei 2013 Pukul 11.00 Wib
12
Salim HS,
Pengantar Hukum Perdata Tertulis, Jakarta : Sinar Grafika, 2001, hal.22
Universitas Sumatera Utara
suami isteri secara timbal balik, lebih mempunyai sifat etis daripada yuridis. Pasal 31 menjamin isteri memperoleh wewenang penuh untuk bertindak, Pasal 34 ayat 1
mewajibkan suami untuk melindungi isterinya dan memberinya, sesuai kemampuannya segala apa yang diperlukan untuk kepentingan rumah tangga yang
harus diurusnya ayat 2.
13
Adapun Hak dan kewajiban suami isteri di atur dalam Pasal 32 sampai dengan Pasal 36 UUP 1974. Hak dan kewajiban antara suami isteri
adalah sebagai berikut :
14
a. Menegakkan rumah tangga;
b. Keseimbangan dalam rumah tangga dan dalam pergaulan masyarakat;
c. Suami isteri berhak melakukan perbuatan hukum;
d. Suami isteri wajib mempunyai tempat kediaman yang tetap;
e. Suami isteri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia, dan
memberikan bantuan lahir dan batin yang satu dengan yang lain; f.
Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan rumah tangga sesuai dengan kemampuannya;
g. Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik baiknya.
Apabila kewajiban-kewajiban itu dilalaikan si suami maka si isteri dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan. Hak dan kewajiban antara orang tua dengan
anak di atur dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 49 UUP 1974. Hak dan kewajiban orang tua dan anak dikemukakan berikut ini :
15
a. Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
Kewajiban orang tua berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri;
16
b. Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang baik ;
17
c. Anak wajib memelihara dan membantu orang tuanya, manakala sudah tua ;
18
13
J.Prins alih bahasa G.A.Ticoalu, Tentang Hukum Perkawinan di Indonesia,Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982, hal. 55-56
14
Ibid
15
Ibid
16
Lihat Pasal 45 ayat 1 dan 2 UUP 1974
17
Lihat Pasal 46 ayat 1 UUP 1974
18
Lihat Pasal 46 ayat 2 UUP 1974
Universitas Sumatera Utara
d. Anak yang belum dewasa, belum pernah melangsungkan perkawinan, ada di
bawah kekuasaan orang tua ;
19
e. Orang tua mewakili anak di bawah umur dan belum pernah kawin mengenai
segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan ;
20
f. Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-
barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali kepentingan si anak menghendakinya ;
21
Maka untuk kewajiban yang ketiga disebut alimentasi. Alimentasi adalah kewajiban dari seorang anak untuk memberikan nafkah terhadap orang tuanya manakala ia
sudah tua.
22
Menurut K.Wantjik Saleh, ikatan lahir batin itu harus ada. Ikatan lahir mengungkapkan adanya hubungan formal, sedang ikatan batin merupakan hubungan
yang tidak formal, tak dapat dilihat. Ikatan lahir tanpa ikatan batin akan menjadi rapuh. Ikatan lahir batin manjadi dasar utama pembentukan dan pembinaan keluarga
bahagia dan kekal. Ikatan lahir batin perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dengan
seorang wanita untuk hidup bersama menjadi suami isteri. Kekal artinya perkawinan itu hanya dilakukan satu kali seumur hidup, kecuali ada hal yang tidak dapat diduga
sebelumnya. Perkawinan harus didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa artinya perkawinan itu harus didasarkan atas agama.
23
19
Lihat Pasal 47 ayat 1 UUP 1974
Kemudian bagi suatu negara dan bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-undang Perkawinan Nasional
yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum
20
Lihat Pasal 47 ayat 2 UUP 1974
21
Lihat Pasal 48 UUP 1974
22
Ibid
23
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1976, hal 4
Universitas Sumatera Utara
perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat.
24
Hal ini dapat dimaklumi karena masalah perkawinan adalah sesuatu yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia, oleh karena itu
membahas masalah perkawinan itu juga harus melihat berbagai aspek dan norma- norma yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Masalah pengaturan dan pelaksanaan
perkawinan bagi masyarakat Indonesia sangat terkait dengan norma agama, norma adat maupun norma hukum yang hidup dan berkembang didalam masyarakat.
25
Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia 1945, maka Undang-undang Perkawinan ini disatu pihak harus dapat
mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia 1945. Sedangkan di lain pihak harus dapat pula menampung
segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa ini. Undang-undang Perkawinan ini telah menampung didalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan
hukum agamanya dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan.
26
24
Sudarsono, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta : Melton Putra, 1991, hal. 6
Selanjutnya diciptakannya UUP 1974 yangmerupakan suatu upaya yuridis untuk mengadakan
perubahan dan pembaharuan terhadap pola-pola perkawinan dalam masyarakat yang menimbulkan dampak negatif. Perkawinan yang semula banyak dilakukan dengan
bebas dan seenaknya menjadi perkawinan yang dilakukan dengan syarat-syarat
25
Hasim Purba, Op. Cit.hal. 2
26
Ibid, hal. 7
Universitas Sumatera Utara
formal. Perkawinan yang begitu mudah menjadi suatu perkawinan yang benar-benar membawa kebahagiaan yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
27
Kemudian untuk menjamin kepastian hukum, maka perkawinan berikut segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum undang-undang
ini berlaku yang dijalankan menurut hukum yang telah ada adalah sah. Demikian pula mengenai sesuatu hal undang-undang ini tidak mengatur dengan sendirinya berlaku
ketentuan yang ada.Berdasarkan uraian di atas penting untuk dibahas persoalan hukum terkait tentang pengakuan kedudukan anak diluar perkawinan dalam kajian
hukum positif.
B. Perumusan Masalah