PERKAWINAN DALAM SISTEM HUKUM POSITIF

PERKAWINAN DALAM SISTEM HUKUM POSITIF
1. Undang-Undang Perkawinan Islam
Selama tiga dasawarsa terakhir beberapa aturan syari:at perkawinan islam
yang telah menjadi bagian dari sistem hukum postim Indonesia, antara lain :
a. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
b. UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
c. PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan; dan
d. PP No. 45 Tahun 1990 tentang Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai
Negeri Sipil.
2. Undang-Undang No.1 Tahun 1974
UU ini merupakan sumber hukum perkawinan dan hukum keluarga
Islam yang mengatur secara lengkap dan modern tentang perkawinan dan
perceraian umat islam yang berakar pada agama islam.
UU ini mengatur beberapa asas yang dapat berfungsi sebagai
penghambat dan mengatur sedemikian rupa dalam pasal-pasalnya guna
mencegah terjadinya pelanggaran, baik terhadap asas-asas maupun normanorma yang terjelma dalam rumusan pasal-pasal UU perkawinan. Asas-asas
yang dimaksud antara lain; asas sukarela, asas partisipasi keluarga, asas
perceraian dipersulit, asas poligami dibatasi dengan ketat, asas kematangan
calon mempelai, asas perbaikan derajat kaum wanita, dan asas keharusan
pencatatan perkawinan dan perceraian dengan ancaman hukuman bagi

pelanggarnya, baik calon mempelai maupun pejabat pencatat perkawinan dan
perceraian.
KELUARGA DAN HUBUNGAN DARAH
1. Konsep Keluarga
Keluarga adalah kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri atas suami istri, dan
anak yang berdiam dalam satu tempat tinggal. Ini konsep keluarga dalam arti
sempit, yang disebut juga keluarga inti. Konsep keluarga dalam arti luas
dapat terdiri atas suami, istri, anak, orangtua, mertua, adik/kakak, dan
adik/kakak ipar.
Hubungan keluarga adalah hubungan dalam kehidupan keluarga yang terjadi
karena ikatan perkawinan dan karena ikatan hubungan darah. Hubungan
keluarga karena perkawinan disebut juga hubungan semenda, seperti mertua,
ipar, anak tiri, dan menantu. Hubungan keluarga karena pertalian darah, seperti
:
a. Ayah, ibu, nenek, puyang (lurus ke atas;)
b. Anak, cucu, cicit (lurus ke bawah); dan
c. Saudara kandung dan anak-anak saudara kandung (lurus ke samping).
2. Hubungan Darah dalam Keluarga
Hubungan darah adalah pertalian darah antara manusia yang satu dengan
manusia yang lain karena berasal dari leluhur yang sama (tunggal leluhur).

Hubungan darah ada dua garis, yaitu :
a. Hubungan darah menurut garis lurus ke atas dank e bawah;
b. Hubungan darah meniurut garis ke samping.
Istilah atau sebutan dan tingkat dalam hubungan darah dihitung sebagai
berikut :

a. Hubungan darah antara anak dan ayah/ibu disebut hubungan satu
tingkat.
b. Hubungan darah antara anak dan kakek/nenek disebut hubungan dua
tingkat.
c. Hubungan darah antara anak dan puyang/moyang disebut hubungan
tiga tingkat.
d. Hubungan darah antara ayah/ibu dan anak disebut hubungan satu
tingkat.
e. Hubungan darah antara ayah/ibu dan cucu disebut hubungan dua
tingkat.
f. Hubungan darah antara ayah/ibu dan cicit disebut hubungan tiga
tingkat.
g. Hubungan darah antara saudara kandung disebut hubungan dua
tingkat.

h. Hubungan darah antara anak dan paman/bibi disebut hubungan tiga
tingkat.
i. Hubungan darah antara anak dan anak paman/bibi disebut hubungan
empat tingkat.
j. Hubungan antara saya dan anak saudara kandung saya (antara saya dan
keponakan saya) disebut hubungan tiga tingkat.
k. Hubungan darah antara anak saya dan anak saudara kandung saya
(antara anak saya dan keponakan saya) disebut hubungan empat
tingkat.
3. Arti Penting Hubungan Darah
Dekat-jauh hubungan darah mempunyai arti penting dalam hal perkawinan,
pewarisan, dan perwalian dalam kehidupan keluarga.
4. Hubungan Darah dan garis Keturunan
Ada tiga hubungan darah dilihat dari garis keturunan, yaitu patrilineal,
hubungan darah yang mengutamakan garis ayah; matrilineal, hubungan darah
yang mengutamakan garis ibu; dan parental atau bilateral, hubungan darah
yang mengutamakan garis ayah dan ibu atau garis orang tua bersama-sama.
5. Undang-Undang Perkawinan Parental (Bilateral)
a. Perkawinan anak izin ayah dan ibu
Menurut ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, anak

yang belum mencapai umur 21 tahun penuh apabila melangsungkan
perkawinan harus mendapat izin kedua orangtua, bukan ayah atau ibu..
Ketentuan pasal 8 Undang-Undang Perkawinan melarang perkawinan
antara pria dan wanita yang mempunyai hubungan darah terlalu dekat
atau karena hubungan semenda.
b. Kekuasaan ayah dan ibu terhadap anak
Diatur dalam pasal 45 ayat (1), pasal 47, dan pasal 48 UU No. 1 Tahun
1974.
c. Kekuasaan ayah dan ibu terhadap harta
Diatur dalam ketentuan pasal 35 ayat 1, dan pasal 35 ayat 2.
d. Perwalian dan pihak ayah dan ibu
Diatur dalam ketentuan pasal 51 ayat 2, pasal 30, pasal 33, dan pasal
31 ayat 3.