Pengakuan Kedudukan Anak Di Luar Perkawinan Dalam Kajian Hukum Positif

(1)

PENGAKUAN KEDUDUKAN ANAK DI LUAR PERKAWINAN

DALAM KAJIAN HUKUM POSITIF

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Ilmu Hukum Dalam Program Magister Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara OLEH

NOVIYANTI WULANDARI SITEPU 117005045/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PENGAKUAN KEDUDUKAN ANAK DI LUAR PERKAWINAN

DALAM KAJIAN HUKUM POSITIF

OLEH

NOVIYANTI WULANDARI SITEPU 117005045/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

ABSTRAK

PENGAKUAN KEDUDUKAN ANAK DI LUAR PERKAWINAN DALAM KAJIAN HUKUM POSITIF

Akibat hukum yang ditimbulkan oleh perkawinan yang sah adalah salah satunya anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut yaitu anak yang sah yang memiliki hubungan keperdataan secara sempurna kepada kedua orang tuanya. Berbeda dengan perkawinan yang tidak sah tidak memiliki akibat hukum apapun.Anak sebagai hasil hubungan luar nikah tidak dijadikan sasaran hukum sosial atas perbuatan ibu kandungnya dan ayah alami (genetik).Kedudukan seorang anak penting dalam sebuah perkawinan, tetapi seorang ayah dalam hal ini bisa saja tidak mau mengakui kedudukan seorang anak sebagai hasil hubungan pernikahan tidak sah dan ayah memiliki kekuasaan untuk hal tersebut. Pengakuan sebagai anak ini saja tanpa diikuti dengan suatu perkawinan antara ayah dan ibu hanyalah ada anak yang diakui (natuurlijk erkendkind) maka anak ini belumlah dinamakan anak sah (wettig kind).

Sehingga dari latar belakang diatas maka dapat dirumuskan beberapa masalah yaitu bagaimana latar belakang pengakuan, kedudukan dan implementasi hak keperdataan anak di luar perkawinan dalam kajian hukum positif . Untuk meneliti permasalahan tersebut maka digunakanlah penelitian yuridis normatif yang artinya penelitian yang mangacu pada norma hukum yang berkaitan dengan pendekatan perundang-undangan (statue approach) dalam melakukan pengkajian uji materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

Kemudian dari hasil penelitian tersebut diatas maka diperolehlah suatu kesimpulan bahwasanya untuk kasus yang meminta permohonan penetapan perkawinan tidak perlu seorang hakim memakai acuan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 cukup para hakim memeriksa kelengkapan bukti dan mendengarkan saksi yang dihadirkan para pemohon. Sedangkan untuk kasus yang mengakui anak mereka adalah anak yang dihasilan di luar perkawinan maka para hakim memakai acuan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 sebagai bahan pertimbangan untuk memutuskan perkara tersebut yang dilakukan demi kepentingan anak tersebut. Sehingga dihimbau kepada pasangan yang belum mencatatkan perkawinannya untuk segera mencatatkannya demi kepentingan anak sehingga anak memiliki kejelasan status. Serta diharapkan kepada orang tua yang telah mengakui anak di luar perkawinan hendaknya melaksanakan kewajiban selayaknya sebagai orang tua demi masa depan anak.

Kata Kunci : Pengakuan,Kedudukan, Implementasi Hak Keperdataan Anak Di Luar Perkawinan


(4)

ABSTRACT

Legal consequence caused by a legal marriage is the birth of a legal child who has complete civil relationship with the parents. On the other hand, an illegal marriage does not have any legal consequence. A child from an illegal marriage does not have any legal social relationship on what has been done by his own mother or father (genetic).The position of a child is important in a wedlock although a father, in this case, is able to not recognize his child as the result of the illegal marriage, and it seems that he has the right to do so. The recognition of a child without a marriage between his/her father and mother is regarded as a recognized child (natuurlijk erkendkind) and cannot be called as a legal child (wettig kind).

From the background above, it could be formulated some problems of how about the background of recognition, position, and implementation of the civil right of a child in an illegal marriage, viewed from the study of positive law. In order to analyze these problems, the researcher used judicial formative approach which was referred to legal norms related to statue approach in analyzing material test of Law No. 1/1974 on Marriage.

The result of the research shows that, for a case which requests marriage validation, judges do not need to use the reference from the Constitutional Court No. 46/PUU-VIII/2010; they only need to examine the completeness of evidence and listen to witnesses proposed by the supplicants. In the case of the recognition of a child from an illegal marriage, judges refer to the Ruling of the Constitutional Court No. 46/PUU-VIII/20010 as the consideration for the verdict for the sake of the child. It is recommended that those who have not yet registered their marriage should register it immediately for the sake of their children in getting legal status, and illegal married parents who have recognized their children should take care of them seriously for the sake of their children’ future lives.

Keywords: Recognition, Position, Implementation of Civil Right of Children from Illegal Marriage


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dengan Rahmat dan Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian ini.

Penulisan Tesis ini berjudul PENGAKUAN KEDUDUKAN ANAK DI

LUAR PERKAWINAN DALAM KAJIAN HUKUM POSITIF, Tesis ini

bertujuan untuk memenuhi salah satu persyaratan yang harus dilengkapi dalam rangkaian studi pada Program Pasca Sarjana pada Universitas Sumatera Utara.

Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Bapak-Bapak Komisi Pembimbing yang terhormat Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, S.H.,M.S., Bapak Dr. Hasim Purba, SH., M.Hum., Bapak Dr.Dedi Harianto, SH., M.Hum., yang penuh dengan perhatian dan kesabaran telah meluangkan waktu untuk memberikan kesempatan bimbingan dan pengarahan kepada penulis, sehingga Tesis ini dapat terselesaikan dengan baik.

Dan tidak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM)., Sp.A(K).

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H, M.Hum.

3. Ketua dan Sekretaris Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H, M.H, dan Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H, M.Hum.

4. Ibu Dr. Idha Apriliana, S.H, M.Hum, dan Ibu Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum selaku Penguji dalam menyelesaikan tesis di Program Magister Ilmu Hukum


(6)

pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ide dan pertanyaan-pertanyaan terhadap penulis.

5. Bapak Haspan Pulungan, S.H, di Pengadilan Agama Medan, Bapak Indra Cahya, S.H, di Pengadilan Negeri Medan dan Abangnda Mitra Lubis, S.H., di Yayasan PUSAKA Indonesia.

6. Para Bapak/Ibu Dosen yang telah memberikan khazanah ilmu pengetahuan dan membuka cakrawala berfikir penulis, yang sangat bermanfaat dalam menghadapi kehidupan dimasa yang akan datang.

7. Teristimewa kepada Suami tercinta Harry Burhani Siregar, ST, dan Ayahanda Ferdinand Sitepu, juga Ibunda tercinta (almh) Sudjiati, juga buat anak-anakku tersayang Rachmand Tuah Bastanta Siregar dan Dhabita Aisyah Mehulika Siregar, yang senantiasa mengiringi dengan doa dan kasih sayangnya serta memberi dorongan, semangat dan bantuan baik moril maupun materil bagi penulis dalam menyelesaikan studi Program Magister Ilmu Hukum, dan juga kepada seluruh keluarga yang telah memberikan perhatian.

8. Teman-temanku yang senasib dan seperjuangan Anjani, Iqbal, Rambe, Tika, Eta, Kartina dan semua teman-teman stambuk 2011 khususnya konsentrasi Perdata yang tidak dapat disebutkan satu persatu, Para Pegawai di lingkungan Program Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

Semoga tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, terutama bagi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya dibidang ilmu hukum.

Medan, Desember 2013 Penulis

Noviyanti W. Sitepu


(7)

DAFTAR RIWAYAT

Nama : Noviyanti Wulandari Sitepu

Tempat/Tanggal Lahir : Seribu Dolok, 17 November 1977

Agama : Islam

Status : Menikah

Nama Suami : Harry Burhani Siregar, ST

Nama Orang Tua :

Ayah : Ferdinand Sitepu

Ibu : Sudjiati (almh)

Alamat : Jl. Avros Gg. Mancang No. 14 Kp. Baru – Medan Email : noviyantiwulandarisitepu@gmail.com

Riwayat Pendidikan :

• 1984 – 1990 : SD Negeri Nomor 101921 Karang Anyar, Beringin – Lubuk Pakam.

• 1990 – 1993 : SMP RK Serdang Murni Lubuk Pakam.

• 1993 – 1996 : SMA Negeri I Lubuk Pakam.

• 1997 – 2000 : D3 Administrasi Perpajakan FISIP USU Medan.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT ... v

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Keaslian Penelitian ... 10

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 11

1. Kerangka Teori... 11

2. Kerangka Konsepsi ... 14

G. Metode Penelitian... 17

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 18

2. Sumber Data ... 19

3. Teknik Pengumpulan Data ... 20

4. Analisis Data ... 21

BAB II LATAR BELAKANG PENGAKUAN KEDUDUKAN ANAK DI LUAR PERKAWINAN ... 22


(9)

1. Pengertian Perkawinan ... 22

2. Pengertian Lembaga Catatan Sipil ... 25

3. Tujuan Dan Fungsi Kantor Catatan Sipil ... 30

4. Jenis-Jenis Akta Catatan Sipil ... 32

B. Latar Belakang Pengakuan Kedudukan Anak Di Luar Perkawinan Dalam Kajian Hukum Positif ... 33

1. Ditinjau Dari Sisi Anak ... 33

2. Ditinjau Dari Sisi Orang Tua ... 36

C. Status Hukum Anak Dengan Adanya Pengakuan Anak ... 38

1. Pengertian Anak Sah ... 38

2. Status Hukum Anak Dengan Adanya Pengakuan Anak ... 47

BAB III PENGAKUAN KEDUDUKAN ANAK DI LUAR PERKAWINAN DALAM KAJIAN HUKUM POSITIF ... 57

A. Pengakuan Dan Pengesahan Anak Di Luar Perkawinan ... 57

B. Kajian Hukum Positif Terhadap Anak Di Luar Perkawinan ... 64

1. Pengertian Dan Pengakuan Anak Di Luar Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ... 64

2. Pengertian Dan Pengakuan Anak Di Luar Perkawinan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ... 65

3. Pengertian Dan Pengakuan Anak Di Luar Perkawinan Menurut Hukum Islam Dan Kompilasi Hukum Islam ... 69

4. Pengertian Dan Pengakuan Anak Di Luar Perkawinan Menurut Hukum Adat ... 73

C. Perkembangan Pengakuan Kedudukan Anak Di Luar Perkawinan Dalam Kajian Hukum Positif ... 76


(10)

BAB IV IMPLEMENTASI HAK-HAK KEPERDATAAN ANAK DI LUAR

PERKAWINAN ... 90

A. Hak Keperdataan Anak Di Luar Perkawinan ... 90

1. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 92 2. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ... 96

3. Menurut Hukum Islam ... 98

4. Menurut Hukum Adat ... 104

B. Hak Dan Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak Di Luar Perkawinan ... 107

1. Hak Dan Kewajiban Dalam Perundangan ... 107

2. Hak Dan Kewajiban Dalam Hukum Islam ... 113

C. Implementasi Hak-Hak Keperdataan Anak Di Luar Perkawinan... 115

1. Pengadilan Negeri ... 115

2. Pengadilan Agama ... 116

3. Yayasan Lembaga Perlindungan Anak PUSAKA ... 117

D. Akibat Hukum Bila Tidak Dipenuhi Hak Keperdataan Anak Di Luar Perkawinan ... 116

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 124

A. Kesimpulan ... 124

B. Saran ... 126

DAFTAR PUSTAKA ... 128 LAMPIRAN


(11)

ABSTRAK

PENGAKUAN KEDUDUKAN ANAK DI LUAR PERKAWINAN DALAM KAJIAN HUKUM POSITIF

Akibat hukum yang ditimbulkan oleh perkawinan yang sah adalah salah satunya anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut yaitu anak yang sah yang memiliki hubungan keperdataan secara sempurna kepada kedua orang tuanya. Berbeda dengan perkawinan yang tidak sah tidak memiliki akibat hukum apapun.Anak sebagai hasil hubungan luar nikah tidak dijadikan sasaran hukum sosial atas perbuatan ibu kandungnya dan ayah alami (genetik).Kedudukan seorang anak penting dalam sebuah perkawinan, tetapi seorang ayah dalam hal ini bisa saja tidak mau mengakui kedudukan seorang anak sebagai hasil hubungan pernikahan tidak sah dan ayah memiliki kekuasaan untuk hal tersebut. Pengakuan sebagai anak ini saja tanpa diikuti dengan suatu perkawinan antara ayah dan ibu hanyalah ada anak yang diakui (natuurlijk erkendkind) maka anak ini belumlah dinamakan anak sah (wettig kind).

Sehingga dari latar belakang diatas maka dapat dirumuskan beberapa masalah yaitu bagaimana latar belakang pengakuan, kedudukan dan implementasi hak keperdataan anak di luar perkawinan dalam kajian hukum positif . Untuk meneliti permasalahan tersebut maka digunakanlah penelitian yuridis normatif yang artinya penelitian yang mangacu pada norma hukum yang berkaitan dengan pendekatan perundang-undangan (statue approach) dalam melakukan pengkajian uji materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

Kemudian dari hasil penelitian tersebut diatas maka diperolehlah suatu kesimpulan bahwasanya untuk kasus yang meminta permohonan penetapan perkawinan tidak perlu seorang hakim memakai acuan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 cukup para hakim memeriksa kelengkapan bukti dan mendengarkan saksi yang dihadirkan para pemohon. Sedangkan untuk kasus yang mengakui anak mereka adalah anak yang dihasilan di luar perkawinan maka para hakim memakai acuan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 sebagai bahan pertimbangan untuk memutuskan perkara tersebut yang dilakukan demi kepentingan anak tersebut. Sehingga dihimbau kepada pasangan yang belum mencatatkan perkawinannya untuk segera mencatatkannya demi kepentingan anak sehingga anak memiliki kejelasan status. Serta diharapkan kepada orang tua yang telah mengakui anak di luar perkawinan hendaknya melaksanakan kewajiban selayaknya sebagai orang tua demi masa depan anak.

Kata Kunci : Pengakuan,Kedudukan, Implementasi Hak Keperdataan Anak Di Luar Perkawinan


(12)

ABSTRACT

Legal consequence caused by a legal marriage is the birth of a legal child who has complete civil relationship with the parents. On the other hand, an illegal marriage does not have any legal consequence. A child from an illegal marriage does not have any legal social relationship on what has been done by his own mother or father (genetic).The position of a child is important in a wedlock although a father, in this case, is able to not recognize his child as the result of the illegal marriage, and it seems that he has the right to do so. The recognition of a child without a marriage between his/her father and mother is regarded as a recognized child (natuurlijk erkendkind) and cannot be called as a legal child (wettig kind).

From the background above, it could be formulated some problems of how about the background of recognition, position, and implementation of the civil right of a child in an illegal marriage, viewed from the study of positive law. In order to analyze these problems, the researcher used judicial formative approach which was referred to legal norms related to statue approach in analyzing material test of Law No. 1/1974 on Marriage.

The result of the research shows that, for a case which requests marriage validation, judges do not need to use the reference from the Constitutional Court No. 46/PUU-VIII/2010; they only need to examine the completeness of evidence and listen to witnesses proposed by the supplicants. In the case of the recognition of a child from an illegal marriage, judges refer to the Ruling of the Constitutional Court No. 46/PUU-VIII/20010 as the consideration for the verdict for the sake of the child. It is recommended that those who have not yet registered their marriage should register it immediately for the sake of their children in getting legal status, and illegal married parents who have recognized their children should take care of them seriously for the sake of their children’ future lives.

Keywords: Recognition, Position, Implementation of Civil Right of Children from Illegal Marriage


(13)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Makna perkawinan adalah suatu Anugrah Allah SWT, yang merupakan kebutuhan fitri setiap manusia.1 Perkawinan yang sah pastilah akan menimbulkan akibat hukum, seperti hak dan kewajiban suami isteri, harta perkawinan, hubungan timbal balik antara kedua orang tua dengan anak, kewajiban pemeliharaan anak maupun kewarisan. Salah satu akibat dari perkawinan yang sah adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut yaitu anak yang sah, memiliki hubungan keperdataan secara sempurna terhadap orang tuanya, sesuai dengan ketentuan Pasal 42 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan (UUP 1974). Adapun hubungan hukum keperdataan yang dimaksud meliputi dari garis keturunan anak yang dihubungkan kepada ayah, hak pemenuhan nafkah dari orang tua terhadap anak, hak pemeliharaan dan pendidikan, hak saling mewarisi, hak perwalian nikah bagi ayah atas anak perempuan dan hak-hak keperdataan lainnya.2

Berbeda halnya dengan perkawinan yang sah, maka perkawinan yang tidak sah tidak memiliki akibat hukum apapun terhadap pihak yang terikat dalam perkawinan tersebut. Jika dihubungkan dengan Pasal 2 ayat (1) UUP 1974 dengan menggunakan

1 Hasim Purba, Pentingnya Amandemen UU Perkawinan Dan Isu-isu Kritis Dalam Naskah Akademik RUU perkawinan, Seminar dan Workshop di Madani Hotel Medan pada tanggal 31 Oktober

2013.


(14)

interprestasi hukum a contrario perkawinan yang tidak sah adalah perkawinan yang dilakukan tidak menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.3 Hubungan suami isteri yang tidak sah sebagaimana dimaksud adalah hubungan badan (senggama) antara dua orang yang tidak terikat tali pernikahan. Selain hubungan suami isteri yang tidak sah tersebut, dapat terjadi atas dasar suka sama suka ataupun karena perkosaan, baik yang dilakukan oleh orang yang telah menikah ataupun belum menikah.4

Selanjutnya dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) kalimat yang mempunyai makna “anak zina” adalah istilah “anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah”, sebagaimana yang terdapat pada Pasal 100 KHI, yang menyebutkan bahwa “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibu dan keluarga ibunya”. Semakna dengan ketentuan tersebut, Pasal 186 KHI

“Anak” sebagai hasil hubungan luar nikah, tidak dijadikan sasaran hukum sosial, celaan masyarakat dan lain sebagainya dengan menyandangkan dosa besar (berzina) ibu kandungnya dan ayah alami (genetik) anak tersebut kepada dirinya. Untuk lebih mendekatkan makna demikian, Pasal 44 ayat (1) UUP 1974 hanya menyatakan “seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan kelahiran anak itu akibat daripada perzinaan tersebut”

3

Zan Elhasany, Tentang Kedudukan Anak di Luar nikah,

12 Februari 2013 Pukul 23.00 Wib

4Rio Satria (Hakim Pengadilan Sangeti), Kritik Analitis tentang Putusan Mahkamah

Konstitusi mengenai uji materil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1).


(15)

menyatakan “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya”.5

Berhubung dengan kenyataan inilah , maka nampak keperluan adanya suatu perkawinan antara seorang perempuan dan seorang laki-laki, yang dengan bersetubuh menghasilkan lahirnya anak. Hukum dimanapun juga, yang mengenal peraturan perkawinan, mengandung harapan bahwa seorang suami atau isteri tidak akan bersetubuh dengan seorang ketiga. Berdasar atas harapan inilah, maka sudah selayaknya baik hukum adat maupun hukum Islam ataupun hukum dari K.U.H.Perdata (Burgerlijk Wetboek) Pasal 250 menentukan bahwa “Tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya”, dan perhubungan anak-bapak diantara mereka ini dianggap sabagai suatu perhubungan yang sah, artinya menurut hukum (wettig).6

Mereka (anak-anak) pada hakekatnya merupakan satu-satunya golongan ahli waris, artinya sanak keluarga tidak menjadi ahli waris apabila si peninggal warisan meninggalkan anak-anak. Di dalam hukum Islam, misalnya yang merupakan ahli waris utama disamping ahli-ahli waris lainnya, dengan demikian hukum kewarisan Islam hendaknya berlaku bagi umat Islam Indonesia, karena ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD RI tahun 1945) Pasal 29 menegaskan bahwa bangsa Indonesia adalah beragama dan menjalankan

5

Ibid, hal . 4

6Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung : Vorkink-Van Hoeve,


(16)

agamanya itu.7

Jelas terlihat dalam hal ini kedudukan anak itu penting dalam sebuah perkawinan. Tetapi sebagai orang tua terutama ayah dalam hal ini bisa saja tidak mau mengakui kedudukan seorang anak sebagai hasil dari hubungan pernikahan yang tidak sah, dan ayah memiliki kekuasaan untuk hal tersebut. Pengakuan anak yang tidak sah ini juga dimungkinkan dilakukan oleh seorang laki-laki, yang mengakui menyebabkan lahirnya anak itu. Cara pengakuan oleh si ayah hanya mungkin terjadi apabila ibunya menyetujuinya.

Dalam hukum Islam, kedudukan anak-anak di dalam pewarisan dapat kita lihat di dalam Al-Qur’an Surah An-Nisaa’ ayat (7) yang menyebutkan “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”.

8

Seorang yang belum dewasa (belum berusia 21 tahun) tidak dapat melakukan pengakuan anak, kecuali apabila sudah berusia 19 tahun dan pengakuan yang dilakukannya pun bukan akibat paksa, khilaf, tipu ataupun bujuk.9

7

Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, (Jakarta : Sinar Grafika, 2001), hal. 31

Tidaklah dapat diakui anak yang lahir dalam perzinahan (overspel) ini menurut Pasal 283 BW. Kalau ayah dan ibu tidak dapat kawin satu sama lain oleh karena ada larangan berdasar atas kedekatan tali kekeluargaan (kecuali kalau ada izin dari Pemerintah), maka pengakuan oleh mereka dari anak yang lahir dari mereka hanya dapat dilakukan pada surat kawin mereka (Pasal 283 jo Pasal 273 BW). Jadi mereka harus kawin, agar supaya dapat mengakui anaknya itu. Dengan pengakuan

8 Lihat Pasal 284 BW 9 Lihat Pasal 282 BW


(17)

sebagai anak ini saja, tanpa diikuti dengan suatu perkawinan antara ayah dan ibu, hanyalah ada anak yang diakui (natuurlijk erkend kind), maka anak ini belumlah dinamakan anak sah (wettig kind).10

Seorang anak yang sah dilahirkan dari sebuah perkawinan yang sah pula. Maka diperlukan adanya perkawinan yang sah menurut agama dan negara, selanjutnya perkawinan disamping itu juga merupakan sumber kelahiran yang berarti juga obat penawar musnahnya manusia karena kematian, juga merupakan tali ikatan yang melahirkan keluarga sebagai dasar kehidupan masyarakat dan negara. Hidup bersama antara seorang pria dan seorang wanita tersebut mempunyai akibat yang sangat penting dalam masyarakat, baik terhadap kedua belah pihak maupun terhadap keturunannya serta anggota masyarakat lainnya.11 Selanjutnya dalam hukum keluarga Hak dan kewajiban dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu :12

a. Hak dan kewajiban antara suami dan isteri; b. Hak dan kewajiban antara orang tua dan anaknya;

c. Hak dan kewajiban antara anak dengan orang tuanya manakala orang tuanya telah mengalami proses penuaan.

Hak dan kewajiban antara suami isteri adalah hak dan kewajiban yang timbul karena adanya perkawinan antara mereka. Pasal 30 sampai dengan Pasal 34 UUP1974 terdapat pada Bab VI yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban

10

Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit, hal. 59

11

Balian Zahab, Tentang Perkawinan Antar Agama,

Makalah-hukum/hukum islam/perkawinan-antar agama/diakses tanggal 29 Mei 2013 Pukul 11.00 Wib

12


(18)

suami isteri secara timbal balik, lebih mempunyai sifat etis daripada yuridis. Pasal 31 menjamin isteri memperoleh wewenang penuh untuk bertindak, Pasal 34 ayat (1) mewajibkan suami untuk melindungi isterinya dan memberinya, sesuai kemampuannya segala apa yang diperlukan untuk kepentingan rumah tangga yang harus diurusnya (ayat 2).13 Adapun Hak dan kewajiban suami isteri di atur dalam Pasal 32 sampai dengan Pasal 36 UUP 1974. Hak dan kewajiban antara suami isteri adalah sebagai berikut :14

a. Menegakkan rumah tangga;

b. Keseimbangan dalam rumah tangga dan dalam pergaulan masyarakat; c. Suami isteri berhak melakukan perbuatan hukum;

d. Suami isteri wajib mempunyai tempat kediaman yang tetap;

e. Suami isteri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia, dan memberikan bantuan lahir dan batin yang satu dengan yang lain;

f. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan rumah tangga sesuai dengan kemampuannya;

g. Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik baiknya.

Apabila kewajiban-kewajiban itu dilalaikan si suami maka si isteri dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan. Hak dan kewajiban antara orang tua dengan anak di atur dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 49 UUP 1974. Hak dan kewajiban orang tua dan anak dikemukakan berikut ini :15

a. Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri;16 b. Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang baik ;17 c. Anak wajib memelihara dan membantu orang tuanya, manakala sudah tua ;18

13

J.Prins alih bahasa G.A.Ticoalu, Tentang Hukum Perkawinan di Indonesia,(Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982), hal. 55-56

14Ibid 15Ibid 16

Lihat Pasal 45 ayat (1) dan (2) UUP 1974

17 Lihat Pasal 46 ayat (1) UUP 1974 18 Lihat Pasal 46 ayat (2) UUP 1974


(19)

d. Anak yang belum dewasa, belum pernah melangsungkan perkawinan, ada di bawah kekuasaan orang tua ;19

e. Orang tua mewakili anak di bawah umur dan belum pernah kawin mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan ;20

f. Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali kepentingan si anak menghendakinya ;21 Maka untuk kewajiban yang ketiga disebut alimentasi. Alimentasi adalah kewajiban dari seorang anak untuk memberikan nafkah terhadap orang tuanya manakala ia sudah tua.22

Menurut K.Wantjik Saleh, ikatan lahir batin itu harus ada. Ikatan lahir mengungkapkan adanya hubungan formal, sedang ikatan batin merupakan hubungan yang tidak formal, tak dapat dilihat. Ikatan lahir tanpa ikatan batin akan menjadi rapuh. Ikatan lahir batin manjadi dasar utama pembentukan dan pembinaan keluarga bahagia dan kekal. Ikatan lahir batin perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama menjadi suami isteri. Kekal artinya perkawinan itu hanya dilakukan satu kali seumur hidup, kecuali ada hal yang tidak dapat diduga sebelumnya. Perkawinan harus didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa artinya perkawinan itu harus didasarkan atas agama.23

19Lihat Pasal 47 ayat (1) UUP 1974

Kemudian bagi suatu negara dan bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum

20Lihat Pasal 47 ayat (2) UUP 1974 21

Lihat Pasal 48 UUP 1974

22Ibid


(20)

perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat. 24 Hal ini dapat dimaklumi karena masalah perkawinan adalah sesuatu yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia, oleh karena itu membahas masalah perkawinan itu juga harus melihat berbagai aspek dan norma-norma yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Masalah pengaturan dan pelaksanaan perkawinan bagi masyarakat Indonesia sangat terkait dengan norma agama, norma adat maupun norma hukum yang hidup dan berkembang didalam masyarakat.25

Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia 1945, maka Undang-undang Perkawinan ini disatu pihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia 1945. Sedangkan di lain pihak harus dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa ini. Undang-undang Perkawinan ini telah menampung didalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan hukum agamanya dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan.26

24

Sudarsono, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta : Melton Putra, 1991), hal. 6

Selanjutnya diciptakannya UUP 1974 yangmerupakan suatu upaya yuridis untuk mengadakan perubahan dan pembaharuan terhadap pola-pola perkawinan dalam masyarakat yang menimbulkan dampak negatif. Perkawinan yang semula banyak dilakukan dengan bebas dan seenaknya menjadi perkawinan yang dilakukan dengan syarat-syarat

25 Hasim Purba, Op. Cit.hal. 2 26Ibid, hal. 7


(21)

formal. Perkawinan yang begitu mudah menjadi suatu perkawinan yang benar-benar membawa kebahagiaan yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.27

Kemudian untuk menjamin kepastian hukum, maka perkawinan berikut segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut hukum yang telah ada adalah sah. Demikian pula mengenai sesuatu hal undang-undang ini tidak mengatur dengan sendirinya berlaku ketentuan yang ada.Berdasarkan uraian di atas penting untuk dibahas persoalan hukum terkait tentang pengakuan kedudukan anak diluar perkawinan dalam kajian hukum positif.

B.Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan diatas maka dapat dirumuskan beberapa masalah, sebagai berikut :

1. Bagaimana latar belakang pengakuan kedudukan anak di luar perkawinan dalam kajian hukum positif ?

2. Bagaimana pengakuan kedudukan anak di luar perkawinan dalam kajian hukum positif ?

3. Bagaimana implementasi hak-hak keperdataan anak di luar perkawinan dalam kajian hukum positif ?

27 Riduan Syahrani, Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, (Jakarta : Media Sarana Press, 1986) hal. 11


(22)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang menjadi fokus penelitian, maka tujuan penelitian tesis ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk menggali latar belakang pengakuan kedudukan anak di luar perkawinan dalam kajian hukum positif.

2. Untuk menjelaskan pengakuan kedudukan anak di luar perkawinan dalam kajian hukum positif.

3. Untuk mengetahui dan menjelaskan implementasi hak-hak keperdataan anak di luar perkawinan dalam kajian hukum positif.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoretis dan praktis yaitu :

1. Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan atau data infomasi pengembangan ilmu pengetahuan tentang pengakuan kedudukan anak diluar perkawinanyang dikaitkan dengan hukum positif.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai kerangka acuan penegakkan hukum perdata tentang pengakuan kedudukan anak diluar perkawinan dalam kajian hukum positif.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan dan penelusuran kepustakaan yang telah dilakukan, penulis menerangkan bahwa penelitian mengenai “Pengakuan Kedudukan Anak Di luar Perkawinan Dalam Kajian Hukum Positif belum pernah dilakukan baik judul


(23)

maupun permasalahan yang sama di Program Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, akan tetapi pernah dilakukan penelitian pada :

1. Tinjauan Yuridis Tentang Anak Yang Lahir Di Luar Perkawinan Menurut Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 oleh Amelisa Juliana NPM : 08200011 Mahasiswi S-1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dengan rumusan masalah sebagai berikut :

1). Bagaimana status hukum anak luar kawin menurut keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 ?

2). Bagaimana hak dan kewajiban anak luar kawin menurut keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 ?

2. Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Dalam Perspektif Hukum Islam oleh Ahmad Maulana NPM : 117011136 Mahasiswa Program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara dengan rumusan masalah sebagai berikut :

1). Apa yang menjadi pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 ?

2). Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut ?

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah bagian penting dalam penelitian, artinya teori hukum harus dijadikan dasar dalam memberikan preskripsi atau penilaian apa yang


(24)

seharusnya memuat hukum. Selain teori juga bisa digunakan untuk menjelaskan fakta dan peristiwa hukum yang terjadi. Kaelan M.S. mengatakan landasan teori pada suatu penelitian adalah bersifat strategis artinya memberikan realisasi pelaksanaan

penelitian28. Kerangka teoretis bagi suatu penelitian mempunyai kegunaan sebagai berikut :29

a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya;

b. Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta mengembangkan defenisi-defenisi;

c. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.

Kerangka teori yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teori sistem hukum. Menurut Lawrence M.Friedman, sistem hukum merupakan suatu sistem yang meliputi struktur, substansi, dan budaya hukum30. Struktur merupakan hal yang menyangkut lembaga-lembaga (pranata-pranata), seperti legislatif, eksekutif, dan yudikatif, bagaimana lembaga itu menjalankan fungsinya. Struktur berarti juga bagaimana lembaga legislatif menjalankan fungsinya, berapa anggota duduk sebagai anggota, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan presiden, bagaimana aparat menegakkan hukum (polisi) menjalankan tugas dan lainnya.31

28

Kaelan M.S, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Paradigma Bagi

Pengembangan Penelitian Interdisipliner Bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum dan Seni), (Yogyakarta : Paradigma, 2005), hal. 239

Kemudian menurut Soleman B. Taneko menjelaskan bahwa struktur hukum, mempunyai pola, bentuk

29

Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia, 2005) hal. 121

30

Lawrence M.Friedman, Law and Society an introduction, (New Jersey : Printice Hall, 1977), yang diterjemahkan oleh Ishaq, hal. 7


(25)

dan gaya. Struktur adalah badan, rangka kerja, dan bentuk yang tetap. Pengadilan atau kepolisian, merupakan organisasi. Substansi adalah ketentuan yang mengatur tingkah laku manusia, yaitu peraturan, norma-norma dan pola perilaku masyarakat dalam satu sistem.32

Substansi hukum itu pada hakikatnya mencakup semua peraturan hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis seperti keputusan pengadilan yang dapat menjadi peraturan baru ataupun hukum yang baru, hukum materiil (hukum substantif), hukum formil (hukum adjektif), dan hukum adat. Selain disamping struktur dan substansi, sistem hukum yang ketiga adalah budaya hukum, yaitu sikap masyarakat, kepercayaan masyarakat, nilai-nilai yang dianut masyarakat dan ide-ide atau pengharapan mereka terhadap hukum dan sistem hukum, serta keseluruhan faktor-faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempat yang sesuai dan dapat diterima oleh warga masyarakat dalam kerangka budaya masyarakat.

Kemudian untuk mengukur hukum sebagai suatu sistem, menurut Fuller yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo harus diletakkan pada delapan nilai-nilai yang dinamakan prinsip legalitas (principle of legality) yang menjadi syarat keberadaan sistem hukum, memberikan pengkualifikasian bagi sistem sebagai satu kesatuan yang mengandung suatu moralitas tertentu.

32

Soleman B. Taneko, Pokok-Pokok Studi Hukum dalam Masyarakat, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1993), hal. 27


(26)

Kedelapan nilai-nilai tersebut adalah sebagai berikut :33

a. Harus ada peraturan terlebih dahulu; hal ini berarti, tidak ada tempat bagi keputusan secara ad hoc, atau tindakan yang bersifat arbiter.

b. Peraturan itu harus diumumkan secara layak. c. Peraturan itu tidak boleh berlaku surut.

d. Perumusan peraturan itu harus jelas dan terperinci; ia harus dapat dimengerti oleh rakyat.

e. Hukum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin. f. Di antara sesama peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain. g. Peraturan harus tetap, tidak boleh sering diubah.

h. Harus terdapat kesesuaian antara tindakan para pejabat hukum dan peraturan yang telah dibuat.

2. Kerangka Konsepsi

Kerangka konsepsi mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan digunakan sebagai dasar penelitian. Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian dan penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu dalam penelitian ini di defenisikan beberapa konsep dasar supaya secara operasional diperoleh hasil dari penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu

a. Pengakuan (pemerintahan) adalah tindakan resmi yang mengakui adanya pemerintahan dan berarti kesiapan untuk mengadakan hubungan resmi.34

b. Kedudukan Anak yaitu yang berhubungan dengan status yang disandangnya, istilah status itu hampir sama dengan kedudukan yang secara literal kata status berarti kedudukan.35

33

Fuller dalam Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, (Bandung : Angkasa, 1979), hal. 78

34

Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta : Rineka Cipta, 2007), hal. 26

35 Jhon M.Echols – Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Cet. Ke XX (Jakarta :


(27)

c. Hukum positif adalah tatanan hukum mulai dari hukum dasar sampai kepada peraturan-peraturan yang paling konkrit atau individual.36

d. Hukum positif adalah hukum yang berlaku sekarang bagi suatu masyarakat tertentu dalam suatu daerah tertentu.37

Hukum positif terdiri dari sistem hukum nasional,sistem hukum adat, sistem hukum perdata, dan sistem hukum Islam.

Pengertian anak luar kawin dalam pengertian hukum positif yaitu :

a. Anak luar kawin menurut K.U.H. Perdata juga disebut anak wajar, juga dikenal dengan sebutan anak zinah dan anak sumbang.38

b. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tidak mengenal istilah anak luar kawin.39 Begitu juga Hukum Islam mengatakan bahwa suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya karena berzina dan pengadilan yang akan memberikan keputusan tentang sahnya tidaknya anak itu.40

36 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 50

37Puty Syashira Zahra, Tentang Pengertian Hukum Positif,http

Oktober 2013, Pukul 09.00 Wib

38Anak luar kawin dapat diartikan dalam 3 (tiga) golongan yaitu :

1. Anak Zinah yaitu anak yang dilahirkan di luar perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita yang salah satu atau keduanya terikat dengan perkawinan lain; 2. Anak Sumbang yaitu anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang pria dan seorang wanita yang menurut undang-undang tidak diperkenankan melakukan perkawinan satu sama lain; 3. Anak Alami yaitu anak yang dilahirkan di laur perkawinan tetapi kedua orang tuanya tidak terikat dengan perkawinan lain.Tan Kamello, Op. Cit., hal. 69

39

Ibid, hal. 68

40 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung : Mandar Maju, 2003), hal.


(28)

c. Anak luar kawin menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 100 yaitu anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.41

d. Menurut Hukum Adat tentang anak luar kawin ada 2 (dua) pandangan yaitu 1). Menganggap anak – anak itu tidak bersalah, bebas tercela, penghinaan dan hukuman, walaupun hubungan perempuan dan laki-laki tanpa upacara adat tanpa perkawinan atau sesuatu formalitas apapun;

2). Perbuatan melahirkan anak tidak sah adalah “dikutuk” dan harus dienyahkan, diekskomunikasikan baik bagi si ibu maupun bagi si anak.42

e. Perkawinan menurut Pasal 1 UUP 1974 yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri denga tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.43

f. Perkawinan menurut Hukum Adat yaitu suatu peristiwa yang sangat penting dalam penghidupan masyarakat kita, sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria saja tetapi orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya bahkan keluarga-keluarga mereka masing-masing.44

g. Perkawinan menurut BW adalah suatu tindakan hukum yang dilakukan dengan maksud akan hidup bersama dengan kekal antara dua orang yang berjenis

41 Lihat Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam Inpress Nomor 1 Tahun 1991

42 Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Jakarta : Pradnya Paramita, 2006), hal. 31 43 Lihat Pasal 1 UUP 1974

44

Surojo Wignjodipuro, Pengantar Dan Azaz-azaz Hukum Adat, (Bandung : Alumni, 1973), hal. 139.


(29)

kelamin yang berlainan, dan di langsungkan menurut cara yang di tetapkan oleh pemerintah.45

1). Menganggap anak – anak itu tidak bersalah, bebas tercela, penghinaan dan hukuman, walaupun hubungan perempuan dan laki-laki tanpa upacara adat tanpa perkawinan atau sesuatu formalitas apapun;

2). Perbuatan melahirkan anak tidak sah adalah “dikutuk” dan harus dienyahkan, diekskomunikasikan baik bagi si ibu maupun bagi si anak.46

G. Metode Penelitian

Suatu penelitian merupakan upaya pencarian dan bukan sekedar mengamati dengan teliti terhadap suatu objek yang mudah terpegang tangan.47

Dilaksanakan untuk mengumpulkan data guna memperoleh pemecahan masalah atau mendapatkan jawaban atas pokok-pokok permasalahan yang dirumuskan, sehingga diperlukan rencana yang sistematis, metodologi merupakan suatu logika yang menjadi dasar suatu penelitian ilmiah. Oleh karena itu, pada saat penelitian Penelitian merupakan usaha pencaharian pengetahuan atau lebih tepatnya pengetahuan yang benar, dimana pengetahuan yang benar ini nantinya dapat dipakai untuk menjawab pertanyaan atau ketidaktahuan tertentu. Penelitian merupakan salah satu cara yang tepat untuk memecahkan masalah, selain itu penelitian juga dapat digunakan untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran.

45

K. A. Soejono Prawirabisma, Masalah Politik Unifikasi UU No.1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan, (Jakarta, 1972), Tesis, hal. 41 46

Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Jakarta : Pradnya Paramita, 2006), hal. 31

47


(30)

dilakukan seseorang harus memperhatikan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.48

Menurut Soerjono Soekamto, penelitian hukum adalah “kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau segala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya”.

Pada penelitian hukum ini bidang ilmu hukum sebagai landasan ilmu pengetahuan induknya. Oleh karena itu, maka penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum.

49

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Agar mendapat hasil yang lebih maksimal maka dilakukan penelitian hukum dengan menggunakan metode-metode sebagai berikut :

Jenis Penelitian yang dilakukan adalah penelitian yuridis normatif, artinya yaitu penelitian yang mengacu pada norma hukum yang berkaitan dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dalam melakukan pengkajian uji materiil Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

Sifat penelitian adalah penelitian deskriftif analitis artinya yaitu untuk menggambarkan semua gejala dan fakta dan menganalisa permasalahan yang ada sekarang50

48

Ronny Soemitro Hanintijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Juru Materi, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1998), hal. 9

ditujukan untuk menggambarkan secara tepat, akurat, dan sistematis gejala–gejala hukum terkait perkara pengakuan kedudukan anak di luar perkawinan dalam kajian hukum positif.

49

Soerjono Soekamto, Op.Cit, hal. 43

50


(31)

2. Sumber Data

Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) pada penelitian lazim dinamakan dengan data sekunder. Penelitian normatif data sekunder sebagai sumber/bahan informasi dapat merupakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang–undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.51

1). Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Bahan hukum primer, meliputi seluruh peraturan perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan dan tujuan penelitian, antara lain :

2). Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

3). Undang –Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; 4). Kompilasi Hukum Islam, Inpres Nomor 1 Tahun 1991

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder digunakan untuk membantu memahami berbagai konsep hukum dalam hukum primer, analisa bahan hukum primer dibantu oleh bahan hukum sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber baik jurnal-jurnal,

buku-51


(32)

buku, makalah, serta karya ilmiah mengenai pengakuan kedudukan anakdiluar perkawinan dalam kajian hukum positif yang relevan dengan judul penelitian ini. c. Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum tertier diperlukan untuk berbagai hal dalam penjelasan makna-makna kata dari bahan hukum sekunder dan bahan hukum primer, khususnya kamus hukum.

3. Teknik Pengumpulan Data

Sebagai penelitian yuridis normatif, penelitian ini menitikberatkan pada studi kepustakaan (library research). Dalam mencari dan mengumpulkan data yang diperlukan dalam penelitian tesis ini, menggunakan data sekunder dan didukung oleh data primer. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan dari arsip-arsip, pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, makalah-makalah, tulisan-tulisan pakar hukum, publikasi dari hasil penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini.

Selain data sekunder juga menggunakan data primer yaitu, data yang diambil langsung dengan wawancara kepada informan yang dilakukan secara terarah (directive interview)52, dengan beberapa informan seperti pada Pegawai Pengadilan Negeri Medan, Pegawai Pengadilan Agama Medan dan Staf Yayasan Lembaga Pusaka Indonesia sebagai pendukung dari data sekunder yang sesuai dengan objek yang akan diteliti.

52


(33)

4. Analisis Data

Analisis data merupakan proses penelaahan yang diawali dengan melalui verifikasi data sekunder dan data primer, untuk selanjutnya dilakukan pengelompokkan sesuai dengan pembahasan permasalahan. Analisis data adalah sesuatu yang harus dikerjakan untuk memperoleh pengertian tentang situasi yang sesungguhnya, disamping itu juga harus dikerjakan untuk situasi yang nyata.53

Kemudian dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif, di mana setelah semua data terkumpul, maka dilakukan pengolahan, penganalisisan dan pengkonstruksian data secara menyeluruh, sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data. Selanjutnya semua data diseleksi dan diolah, kemudian di analisis secara deskriftif.54 Deskriftif tersebut, meliputi isi dan struktur hukum positif, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan untuk menentukan isi atau makna aturan hukum yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang menjadi objek kajian.55

Kemudian data yang telah disusun secara sistematis dianalisis secara kualitatif. Selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif yaitu cara berpikir yang dimulai dari hal yang umum untuk selanjutnya menarik ke hal-hal yang khusus sebagai kesimpulan.

53

Erikson dan Nosanchuk, Memahami Data Statistik Untuk Ilmu Sosial, (Jakarta : LP3ES, 1996), hal. 17

54

M. Syamsudin, Operasional Penelitian Hukum, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hal.133

55


(34)

BAB II

LATAR BELAKANG PENGAKUAN KEDUDUKAN ANAK DI LUAR PERKAWINAN

A.Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Dan Pencatatan Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia dikemukakan bahwa perkawinan adalah “perjodohan antara laki-laki dan perempuan, pernikahan/pertalian antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam suatu pernikahan yang menyebabkan halalnya hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan tersebut. Sedangkan nikah adalah kawin atau syarat sahnya hubungan suami isteri menurut Islam”.56

Di Indonesia telah ada hukum perkawinan yang secara otentik diatur di dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1. Penjelasan atas Undang-undang tersebut dimuat di dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019.57

56

WJS Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta : Balai Pustaka, 1990), hal. 876

Perkawinan menurut UUP 1974 Pasal 1 ialah “Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jadi menurut perundangan, perkawinan itu adalah “ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita”, berarti perkawinan sama dengan “perikatan” (verbintenis). Selanjutnya dalam hal ini di lihat kembali pada Pasal 26 Kitab Undang-undang


(35)

Hukum Perdata (K.U.H.Perdata) yang mengatakan “Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata”, dan dalam Pasal 81 K.U.H.Perdata dikatakan bahwa “tidak ada upacara keagamaan yang boleh diselenggarakan, sebelum kedua pihak membuktikan kepada pejabat agama mereka, bahwa perkawinan di hadapan pegawai pencatatan sipil telah berlangsung”. Dengan demikian jelas nampak perbedaan pengertian tentang perkawinan menurut K.U.H.Perdata dan menurut UUP 1974. Perkawinan menurut K.U.H.Perdata hanya sebagai “Perikatan Perdata”, sedangkan perkawinan menurut UUP 1974 tidak hanya sebagai ikatan perdata tetapi juga merupakan “Perikatan Keagamaan”.58

Jika ditinjau secara umum menurut hukum agama perkawinan adalah perbuatan yang suci (sakramen, samskara), yaitu suatu perikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah atau anjuran Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupan berkeluarga dan berumah tangga serta berkerabat tetangga berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Hukum agama telah menetapkan kedudukan manusia dengan iman dan taqwanya, apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang tidak seharusnya dilakukan (dilarang). Oleh karenanya pada dasarnya setiap agama tidak

Jika dilihat dari tujuan perkawinan yang dikemukakan dalam Pasal 1 UUP 1974, bahwa perkawinan itu bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kalimat demikian itu tidak ada sama sekali dalam K.U.H.Perdata (BW).

58


(36)

membenarkan perkawinan berlangsung tidak seagama.59 Dalam hal ini dilihat dari agama Islam, yang jika dilihat dari segi fungsinya, hukum perkawinan Islam merupakan bagian dari hukum muamalah, karena ia mengatur hubungan antara sesama manusia. Hukum perkawinan dalam kepustakaan Islam, disebut fiqh munakahat, yaitu ketentuan-ketentuan hukum fiqh yang mengatur soal nikah, talak, rujuk, serta persoalan hidup keluarga lainnya. Sedang perkataan perkawinan sendiri menurut hukum fiqh, disebut dengan istilah nikah, yang mengandung dua arti, yaitu:60

a. Arti menurut bahasa adalah “berkumpul” atau “bersetubuh” (wata);

b. Arti menurut hukum adalah akad atau perjanjian (suci) dengan lafal tertentu antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk hidup bersama sebagai suami isteri.

Sehingga menurut Hukum Islam perkawinan diartikan sebagai akad atau (perjanjian suci) dengan lapas tertentu antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk hidup bersama sebagai suami-isteri. Bila ditelusuri dan diteliti norma-norma hukum mengenai perkawinan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.61

Menurut hukum adat perkawinan dipandang bukan saja perihal mengenai hubungan ikatan antara suami isteri saja, merupakan juga kepentingan seluruh

59Ibid, hal. 10 60

Taufiqurrohman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan Di Indonesia, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2013),hal.68


(37)

keluarga/ kerabat dan bahkan masyarakat adat ikut berkepentingan dalam soal perkawinan itu.Bahkan dalam pandangan hukum adat perkawinan adalah perbuatan-perbuatan yang tidak hanya bersifat keduniaan, melainkan juga bersifat kebatinan atau keagamaan.62

Perkawinan dalam arti “perikatan adat” ialah perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan.63 Mengenai tujuan perkawinan menurut hukum adat pada umumnya adalah untuk mempertahankan dan meneruskan kelangsungan hidup dan kehidupan masyarakat adatnya. Namun karena sistem kekerabatan atau kekeluargaan masing-masing masyarakat berlainan, maka penekanan dari tujuan perkawinanpun disesuaikan dengan sistem kekeluargaannya.64

Berarti bahwa suatu perkawinan yang dikehendaki perundangan nasional bukan saja merupakan “perikatan keperdataan” tetapi juga merupakan “perikatan keagamaan”, dan sekaligus menampung pula asas-asas perkawinan menurut hukum adat yang menghendaki bahwa perkawinan sebagai “perikatan kekeluargaan” dan “perikatan kekerabatan”.65

2. Pengertian Lembaga Catatan Sipil

Lembaga pencatatan telah ada pada masa sebelum kemerdekaan sejak 1848 (asas konkordansi), akan tetapi baru diundangkan pada tahun 1849. Lembaga ini

62 Hasim Purba, Op.Cit, hal.5 63

Hilman Hadikusuma, Op.Cit, hal 8-9

64Taufiqurrohman Syahuri, Op.Cit, hal. 64 65Ibid, hal 12


(38)

diperuntukkan pertama-tama bagi golongan Eropa di Indonesia, melalui Stb.1849 No.25. Bagi golongan Timur Asing Tionghoa diterbitkan Reglement Catatan Sipil yang dimuat dalam Stb.1917 No.130 jo.Stb.1919 No.81 tentang Peraturan Catatan Sipil untuk Golongan Tionghoa, yang berlaku di Jawa dan Madura serta beberapa daerah lain pada tanggal 1 Mei 1919. Sementara bagi golongan Bumi Putra diterbitkan Reglement yang dimuat dalam Stb.1920 No. 751 jo. Stb. 1927 No.564 yang mulai berlaku 1 Januari 1928. Sedangkan dengan Ordonantie 1923 No.75 jo.Stb. 1936 No.607, diberlakukan Reglement Catatan Sipil bagi Golongan Bumi Putra Kristen di Jawa dan Madura, bekas residen Menado (yang lebih dikenal dengan nama Minahasa) serta di daerah-daerah Amboina, Saparua, dan Banda. 66

Lembaga catatan sipil tersebut dibentuk dengan tujuan untuk mencatat selengkapnya dan sejelas-jelasnya sehingga memberikan kepastian yang

sebenar-benarnya mengenai semua kejadian, antara lain : 67 a. Kelahiran;

b. Pengakuan (terhadap kelahiran); c. Perkawinan dan perceraian; d. Kematian; dan

e. Izin kawin.

Selanjutnya Catatan sipil adalah suatu lembaga yang bertujuan mengadakan pendaftaran, pencatatan serta pembukuan yang selengkap-lengkapnya dan sejelas-jelasnya serta memberi kepastian hukum yang sebesar-besarnya atas peristiwa

66

Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008), hal 63


(39)

kelahiran, pengakuan, perkawinan, dan kematian.68 Sedangkan dalam Art. 16 NBW Baru Negeri Belanda dan K.U.H.Perdata disebutkan bahwa catatan sipil merupakan institusi untuk meregistrasi kedudukan hukum mengenai pribadi seseorang terhadap kelahiran, perkawinan, perceraian, orang tua, dan kematian diri mereka.69

Kemudian dari kedua defenisi tersebut terdapat 5 (lima) jenis registrasi catatan sipil, yaitu :70

a. Kelahiran b. Perkawinan c. Perceraian d. Orang tua e. Kematian

Berdasarkan Pasal 4 K.U.H.Perdata terdapat 6 (enam) jenis registrasi catatan sipil, yaitu :71

a. Kelahiran

b. Pemberitahuan kawin c. Izin kawin

d. Perkawinan e. Perceraian f. Kematian.

Pasal 2 ayat (2) UUP 1974 menyatakan bahwa “

68Lie Oen Hock dalam Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta : Sinar

Grafika,Cet. I, 2001), hal. 42

Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UUP 1974 dapat dilihat bahwa setelah perkawinan dilangsungkan menurut agamanya

69Ibid 70

Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga, (Surabaya : Airlangga University Press. Cet.III, 2000), hal. 6


(40)

masing-masing tanpa melanggar hukum adat, perkawinan tersebut perlu dicatatkan pada pejabat perkawinan, yaitu:72

a. b.

Untuk orang Islam di Kantor Urusan Agama.

Untuk orang-orang yang beragama selain Islam di Kantor Catatan Sipil. Hal tersebut lebih lanjut di atur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang merupakan peraturan pelaksanaan dari UUP 1974, di dalam Pasal 2 ayat (1) menyatakan: "Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 Tentang Nikah, Talak dan Rujuk". Sementara itu dalam ayat (2) dari Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tersebut dinyatakan: 73

"Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan".

72Sudarsono, Op.Cit. hal. 1

Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil, Pasal 1 angka 14 dikatakan bahwa “Pencatatan sipil adalah pencatatan peristiwa penting yang dialami oleh seseorang dalam register Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana”. Peristiwa penting (belangrijke feit) yang dimaksudkan dalam unsur pengertian tersebut adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak,

73

Pasal 2 ayat (1) dan (2), Peraturan Pemerintah Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, PP No.9 Tahun 1975, LN No.12, TLN No. 3050.


(41)

pengesahan anak,pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan.74

Pencatatan sipil dilaksanakan oleh pejabat pencatatan sipil yaitu pejabat yang melakukan pencatatan peristiwa penting yang dialami seseorang pada instansi pelaksana yang pengangkatannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pencatatan penduduk dan pencatatan sipil bertujuan untuk memberikan keabsahan identitas dan kepastian hukum atas dokumen penduduk, perlindungan status hak sipil penduduk, dan mendapatkan data yang mutakhir, benar dan lengkap. hukum perdata memberikan keharusan kepada setiap orang untuk mencatatkan secara yuridis momentum kelahirannya pada instansi dimana orang tersebut dilahirkan, begitu juga dengan setiap perkawinan yang dilakukan harus dicatatkan. 75

74Ibid

Permasalahan yang sering terjadi dewasa ini adalah banyaknya ikatan perkawinan antar pria dan wanita yang dilaksanakan cenderung cukup hanya memenuhi persyaratan hukum agama dan kepercayaan yang dianut oleh kedua belah pihak calon pasangan suami isteri dan mengabaikan kewajiban lain sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (2) UUP 1974. Walaupun dalam Undang-Undang Perkawinan tidak dinyatakan secara tegas perkawinan yang telah dilangsungkan wajib untuk dicatatkan, akan tetapi banyak masalah yang kemudian timbul dan berpangkal karena pasangan suami isteri tersebut lalai atau sengaja untuk tidak mencatatkan perkawinannya pada Kantor Urusan Agama atau Kantor Pencatatan Sipil lainnya. Padahal dipandang mempunyai arti yang sangat penting terhadap suatu peristiwa perkawinan seseorang yang dapat dijadikan bukti otentik, serta memberikan


(42)

kepastian hukum. Menurut catatan Departemen Agama Republik Indonesia, setidaknya ada 58% (Lima puluh delapan persen) pernikahan di Indonesia tidak dicatatkan.76

Alat bukti yang otentik itu pada umumnya dituangkan dalam akta, yakni akta perkawinan. Berpangkal dari tidak dicatatkannya suatu peristiwa perkawinan, timbul permasalahan yang mengarah kepada kedudukan isteri di pihak yang lemah.77Apabila terjadi perceraian diantara pasangan suami isteri untuk menindaklanjuti perceraiannya pada sidang pengadilan diperlukan adanya Akta Nikah tanpa adanya Akta Nikah tersebut maka akan menyulitkan bagi pihak yang bersangkutan dalam proses perceraian.78

3. Tujuan dan Fungsi Kantor Catatan Sipil

76LBH APIK,Tentang Dampak Perkawinan Bawah Tangan Terhadap

Wanita-http://groups.hukumonline.com,/Dampak Perkawinan Bawah Tangan Terhadap Wanita

diakses pada tanggal 31 Mei 2013 Pukul 13.00 Wib

Selanjutnya dalam rangka mewujudkan kepastian hukum, maka semua akta-akta didaftar dan dikeluarkan oleh catatan sipil mempunyai kekuatan hukum yang pasti, yang tidak dapat dibantah oleh pihak lain.Tujuannya adalah untuk mendapatkan data-data selengkap mungkin agar status warga masyarakat dapat diketahui.Kantor Catatan Sipil ini dibentuk untuk mewujudkan suatu kehidupan hukum yang harmonis di dalam masyarakat. Selain itu juga akta-akta yang di buat dan dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil merupakan bukti yang paling kuat dan sempurna, karena akta ini bersifat otentik yang dibuat oleh pejabat pemerintah sesuai dengan ketentuan yang ada. Sehingga untuk memperoleh gambaran yang jelas di bidang pengaturan tugas pokok dan fungsi dari Kantor Catatan Sipil, maka dapat di lihat pada kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ditetapkan dalam Keputusan Presiden

77

Mayang Sekarwangi, Permasalahan Hukum Dalam Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan Dilembaga Pencatatan Perkawinan, (Jakarta, Universitas Indonesia, 2005), Tesis, hal 19-20


(43)

Nomor 12 Tahun 1983 Tentang Penataan dan Peningkatan Pembinaan Penyelenggaraan Catatan Sipil.79

Kantor Catatan Sipil mempunyai tugas dan fungsi menyelenggarakan:80 a.

b.

Pencatatan dan penerbitan kutipan akta kelahiran. c.

Pencatatan dan penerbitan kutipan akta perkawinan. d.

Pencatatan dan penerbitan kutipan akta perceraian. e.

Pencatatan dan penerbitan kutipan akta pengakuan dan pengesahan anak. f.

Pencatatan dan penerbitan kutipan akta kematian.

g.

Penyimpanan dan pemeliharaan akta kelahiran, akta perkawinan, akta perceraian, akta pengakuan dan pengesahan anak, dan akta kematian

Penyediaan bahan dalam rangka perumusan kebijaksanaan di bidang kependudukan atau kewarganegaraan.

Tugas dan fungsi Kantor Catatan Sipil dapat dikelompokkan menjadi dua fungsi, yaitu:81

a.

b.

Fungsi yang bersifat operasional atau teknis fungsional, yang berkaitan dengan pelayanan dan proses penyelesaian suatu akta catatan sipil.

Fungsi yang bersifat administratif fungsional, yaitu yang berkaitan dengan ketatausahaan perkantoran pada umumnya.

Dapat disimpulkan bahwa tujuan catatan sipil dapat di lihat dari empat sudut, yaitu:82 a.

b.

Untuk mewujudkan kepastian hukum. c.

Untuk membentuk ketertiban umum. d.

Sebagai alat pembuktian.

Untuk memperlancar aktivitas pemerintah dibidang kependudukan atau administrasi kependudukan.

4.

79Pasal 1, Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1983, Tentang Penataan dan

Peningkatan Pembinaan Penyelenggaraan Catatan Sipil.

Jenis – Jenis Akta Catatan Sipil

80 Ibid 81Ibid

ss

Victor M. Situmorangdan Cormentyna Sitanggang, Aspek Hukum Akta Catatan Sipil di


(44)

Berdasarkan Keputusan Menteri DalamNegeri Nomor 54 Tahun 1983 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Catatan Sipil Kabupaten/Kota Madya, disebutkan lima jenis akta catatan sipil, yaitu : 83

a. Akta Kelahiran

Akta kelahiran adalah akta yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, yang berkaitan dengan adanya kelahiran. Akta kelahiran bermanfaat antara lain untuk memudahkan pembuktian dalam hal kewarisan, persyaratan untuk diterima di lembaga pendidikan juga persyaratan bagi seseorang yang masuk sebagai pegawai pemerintahaan, lembaga negara, pegawai BUMN dan sebagainya. Akta kelahiran ini terdiri dari :84

1) Akta Kelahiran Umum

2)

Akta kelahiran umum adalah akta yang diterbitkan berdasarkan laporan kelahiran yang disampaikan dalam waktu yang ditentukan oleh perundang-undangan, yakni 60 hari kerja sejak peristiwa untuk semua golongan, kecuali golongan Eropa selama 10 hari kerja. Esensi dari akta kelahiran umum adalah disampaikan dalam 60 hari kerja sejak kelahiran.

Akta Kelahiran Istimewa

3)

Akta kelahiran istimewa adalah akta kelahiran yang diterbitkan berdasarkan laporan kelahiran yang disampaikan setelah melewati batas waktu yang ditentukan oleh perundang-undangan. Batas waktu lewat yakni melebihi 60 hari.

Akta Kelahiran Luar Biasa

4)

Akta kelahiran luar biasa adalah akta kelahiran yang diterbitkan oleh Kantor Catatan Sipil pada zaman Revolusi antara 1 Mei 1940 sampai dengan 31 Desember 1949 dan kelahiran tersebut tidak di wilayah hukum kantor catatan sipil setempat.

Akta Kelahiran Tambahan

Akta kelahiran tambahan adalah akta kelahiran yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang terhadap orang yang lahir pada tanggal 1 Januari 1967 sampai 1 Maret 1983, yang tunduk pada Stb. 1920 No.571 jo. Stb. 1927 No.564 dan Stb. 1933 No. 75 jo.Stb 1936 No. 607.

b. Akta Perkawinan

83Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Op. Cit., hal. 6

Akta perkawinan adalah akta yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, yang berkaitan dengan adanya perkawinan. Pejabat yang berwenang mengeluarkan akta


(45)

perkawinan meliputi : Kepala KUA bagi yang beragama Islam dan Kepala Kantor Catatan Sipil bagi yang beragama non Islam.

B.Latar Belakang Pengakuan Kedudukan Anak Di Luar Perkawinan Dalam Kajian Hukum Positif.

1. Di tinjau Dari Sisi Anak

Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, bahkan anak dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan kekayaan harta benda lainnya. Karena itu anak sebagai amanah Tuhan harus senantiasa di jaga dan dilindungi karena dalam diri anak melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi.Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara untuk memberikan perlindungan terhadap anak. Selanjutnya pembentukan undang-undang perlindungan anak harus didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara. Peristiwa kelahiran seorang anak manusia yang dihasilkan dari sebuah hubungan di luar pernikahan yang resmi sehingga mengakibatkan anak-anak yang


(46)

terlahir seringkali memiliki julukan sebagai anak haram, dalam ilmu hukum Perdata mereka disebut sebagai anak luar kawin.85

Selanjutnya kejelasan status dari seorang anak manusia sangat memegang arti penting dalam langkahnya menapaki kehidupan. Dalam hal ini bukan berarti melindungi perbuatan tercela manusia yang mengakibatkan hadirnya anak luar kawin tetapi lebih kepada perlindungan terhadap seorang anak yang keberadaan dan kedudukan hukumnya tidak jelas.86 Seorang anak luar kawin dan anak sah pada umumnya tidak memiliki pembedaan yang nyata dalam hukum positif di Indonesia. Baik itu anak luar kawin maupun anak sah keduanya masuk dalam kategori anak. Sebagaimana pada umumnya anak-anak di Indonesia maka anak luar kawin pun berhak mendapatkan perlindungan dari negara melalui peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan anak. Sehingga terlihat semakin jelas perlindungan seorang anak tersebut dengan keluarnya Undang-undang nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.87

Perlindungan hukum dapat diberikan kepada anak luar kawin sebagaimana tersebut diatas agar terlepas dari beban kehidupan yang berat adalah dengan jalan pengakuan, pengesahan, dan pengangkatan. Sementara Peraturan Pemerintah

85

Ahmad Kamil dan M.Fauzan, Hukum Perlindungan Dan Pengangkatan Anak Di Indonesia, (Jakarta : PT.RajaGrafindo Persada, 2008), hal. 7

86

Emilda Kuspaningrum, Kedudukan Dan Perlindungan Anak Luar Kawin Dalam Perspektif

Hukum Di Indonesia, Risalah Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, (Jakarta :UI Press,

2006), hal. 24


(47)

sebagaimana yang tersebut dalam UUP 1974 yang akan mengatur tentang nasib anak di luar kawin sampai saat ini belum diterbitkan.88

Unifikasi hukum yang bertolak kepada Wawasan Nusantara dan Bhineka Tunggal Ika, sebaiknya perlu dipikirkan tentang lembaga pengakuan dan pengesahan anak di luar kawin guna menaikkan harkat dan martabatnya sebagai manusia ciptaan Allah SWT.89 Sehingga mempunyai banyak manfaat bagi seorang anak yaitu dapat memberikan kejelasan status bagi anak, mengangkat harkat dan martabat anak juga dapat memberikan jaminan pemeliharaan dan masa depan bagi anak tersebut, kemudian terlihat jelaslah dari uraian di atas latar belakang perlunya adanya pengakuan seorang anak yang lahir di luar perkawinan.90

2. Di tinjau Dari Sisi Orang Tua

Anak dilihat sebagai penerus generasi, dipandang sebagai wadah di mana semua harapan orangtuanya dikemudian hari kelak menjadi tanggungjawabnya. Di pandang pula sebagai pelindung orangtuanya kelak bila orangtua sudah tidak mampu lagi secara fisik untuk mencari nafkah lagi. Anak yang lahir dalam perkawinan yang sah antara seorang wanita sebagai ibunya dengan seorang pria sebagai bapaknya yang menjadi suami wanita tersebut.91

88Ibid

89Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2006),

hal. 84

90Ibid 91

Mr.B.Ter Haar Bzn, diindonesiakan oleh K.Ng.Soerbakti Poesponoto, Azaz-azaz dan Susunan


(48)

Pentingnya mempersoalkan anak disebabkan karena beberapa hal yang menjadi latar belakang bagi orang tua yakni memberikan kejelasan status anak sebagai generasi yang melanjutkan keturunan orang tuanya termasuk dalam melanjutkan marga (bagi yang menganut sistem patrilineal) dan waris, meletakkan beban kewajiban kepada orangtua untuk bertanggung jawab terhadap pemeliharaan anak, juga memberikan jaminan masa depan bagi orangtua apabila kelak sudah terkendala secara fisik.92

Hukum ingin memastikan bahwa anak yang dilahirkan dari rahim seorang ibu adalah sah, dan secara sosiologis tidak menjadi pergunjingan dalam masyarakat.

Tanggung jawab pengasuhan dan pendidikan anak terletak pada kedua orang tuanya (ayah-ibu). Pendidikan dan pengasuhan anak akan berhasil, sejauh mana keterlibatan kedua orangtuanya dalam mendidik. Islam tidak membebankan tanggung jawab itu hanya kepada salah satu dari kedua orang tua.93

92 Ibid

Untuk dapat mewaris maka ahli waris itu ada yang karena di tunjuk oleh Undang-undang dan ada yang karena di tunjuk oleh surat wasiat yang dapat mewaris berdasarkan Undang-undang. Penggolongan pewarisan anak luar nikah dibagi atas anak sah (anak yang lahir dalam perkawinan yang sah) dan anak luar nikah yang terbagi lagi dalam anak luar nikah yang dapat diakui sahnya dan anak luar nikah yang tidak dapat diakui sahnya. Pasal 862 sampai dengan Pasal 873 K.U.H.Perdata adalah mengenai hubungan hukum antara anak luar nikah dengan orang tuanya. Selanjutnya dengan adanya kelahiran

93 Sudirman Kartohadprojo, Pengantar Tata Hukum Di Indonesia, (Jakarta : Pustaka Rakyat,


(49)

makanya ada hubungan antara ibu dengan anak. Hubungan anak dengan laki-laki yang membuahkannya tidak ada. Adanya pengakuan dari laki-laki (ayah biologis) anak tersebut maka lahirlah hubungan-hubungan hukum antara anak dan laki-laki yang mengakuinya. 94

Walaupun kedudukannya tetap terbelakang dibandingkan dengan anak sah terutama dalam hukum waris. Anak luar nikah tidak akan pernah dapat mewaris dari sanak keluarga orang tuanya, dan sebaliknya sanak keluarga orang tuanya tidak dapat bertindak dalam harta peninggalan anak luar nikah dari seorang anggota keluarganya. Akan tetapi Pasal 873 K.U.H.Perdata memungkinkan terjadi pewarisan yang demikian. Jadi hanya apabila sama sekali tidak ada orang lain, maka anak luar nikah dapat mewaris dari sanak keluarga orang tuanya dan sebaliknya dengan menyampingkan negara.

.

95

C.Status Hukum Anak Dengan Adanya Pengakuan Anak 1. Pengertian Anak Sah

a. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Anak menurut Kamus Bahasa Indonesia dikemukan sebagai hasil dari hubungan antara pria dan wanita. Sejalan dengan perkembangannya lebih lanjut kata “anak” bukan hanya dipakai untuk menunjukkan keturunan dari pasangan manusia,

94Ibid 95

Santoso,Tentang Anak Luar Nikah Sebagai Ahli Waris Menurut K.U.H.Perdata, http://santosololowang.com/data/artikel/Anak Luar Nikah Sebagai Ahli Waris menurut K.U.H.Perdata.pdf, diakses pada tanggal 29 Juli 2013, pukul 22.00 Wib


(50)

tetapi juga dipakai untuk menunjukkan asal tempat anak itu lahir, seperti anak Aceh atau anak Jawa, berarti anak tersebut lahir dan berasal dari Aceh atau Jawa.96

Secara yuridis, yang dimaksud dengan anak sah adalah97 1) Anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah;

2) Anak yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan yang sah. Dengan demikian anak sah tidak dapat dilepaskan dari suatu perkawinan yang sah.

Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang memberikan pengertian tentang anak sah yang bunyinya sebagai berikut :

“Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Jadi kalau seorang wanita yang telah mengandung karena berbuat zina dengan orang lain, kemudian ia kawin sah dengan pria yang bukan pemberi benih kandungan wanita itu maka jika anak itu lahir, anak itu adalah sah dari perkawinan wanita itu dengan pria itu.98

Maka dari ketentuan ini, dapat disimpulkan bahwa anak yang sah adalah :99 1) Anak yang dilahirkan dalam dan selama perkawinan;

2) Kelahirannya harus dari perhubungan perkawinan yang sah;

3) Dengan demikian bapak dan ibunya yang telah resmi secara terikat dalam suatu perkawinan yang sah.

Seorang anak mendapatkan kedudukan hukum sebagai anak yang sah apabila kelahiran si anak didasarkan pada perkawinan orang tuanya yang sah atau telah

96WJS Poerwadarminta, Op.Cit., hal. 38 97

Tan Kamello, Hukum Orang dan Keluarga, Medan : USU Press, 2011., hal. 67-68

98Hilman Hadikusuma, Op. Cit, hal. 133-134 99

Amelisa Juliana, Tinjauan Yuridis Tentang Anak Yang Lahir Di Luar Perkawinan Menurut

Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010,( Medan, USU Press, 2012), Skripsi, hal.


(51)

didahului oleh adanya perkawinan yang sah. Pengertian tersebut harus diartikan bahwa anak tersebut dibenihkan pada saat orang tuanya telah melangsungkan perkawinan yang sah atau karena kelahirannya itu berada dalam ikatan perkawinan yang sah.

Menurut dari beberapa rumusan diatas, maka pengertian anak sah mengandung beberapa kategori pengertian antara lain :100

1) Seorang anak yang dibenihkan dalam perkawinan dan dilahirkan dalam perkawinan yang sah;

2) Seorang anak dibenihkan diluar perkawinan namun dilahirkan dalam perkawinan yang sah;

3) Seorang anak dibenihkan didalam perkawinan yang sah namun dilahirkan diluar perkawinan;

4) (Khusus Kompilasi Hukum Islam) seorang anak yang dibenihkan oleh pasangan suami isteri diluar rahim dan dilahirkan oleh si isteri.

b. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW).

Begitu juga dalam K.U.H.Perdata (BW) istilah anak sah hanya dipakai dalam hal ada suatu perkawinan antara ayah dan ibu si anak itu. Juga kalau perkawinan itu diselenggarakan setelah anak itu sudah lahir, anak itu dapat dianggap “disahkan”, asal saja hal ini ditegaskan pada waktu pernikahan dilakukan. Syarat mutlak untuk pengesahan ialah bahwa pada waktu nikah itu atau sebelumnya harus ada pengakuan sebagai anak (erkenning) oleh ibu dan ayah.101

100D.Y. Witanto, Hukum Keluarga Hak Dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Uji Materiil UU Perkawinan, (Jakarta, Prestasi Pustakaraya,

2012), hal 39

101


(52)

Menurut K.U.H.Perdata anak yang dilahirkan atau dibesarkan selama perkawinan memperoleh si suami sebagai ayahnya.102

1e. Jika si suami sebelum perkawinan telah mengetahui akan kehamilan si isteri. Pasal 251 K.U.H.Perdata mengatakan “Sahnya anak yang dilahirkan sebelum hari yang keseratus delapan puluh dari perkawinan dapat diingkari oleh si suami”. Namun pengingkaran ini tidak boleh dilakukan dalam hal-hal sebagai berikut :

2e. Jika ia telah hadir tatkala akta kelahiran dibuat dan akta itu pun telah ditandatanganinya atau memuat pernyataan darinya, bahwa ia tak dapat menandatanganinya.

3e. Jika si anak tak hidup tatkala dilahirkannya.

Seorang suami yang tidak hadir serumah dengan isterinya (dan ini harus dibuktikan dengan sah), selama 300 (tiga ratus) hari sebelum kelahiran seorang anak dari isterinya, maka ia boleh mengingkari keabsahan anaknya itu.103

Seorang suami tadi boleh memakai alasan selama itu ia tidak mampu melakukan persetubuhan dengan isterinya. Pasal 253 K.U.H.Perdata menegaskan bahwa “suami tidak dapat mengingkari keabsahan anak atas dasar perbuatan zina, kecuali jika anak itu dirahasiakan terhadapnya dalam hal mana ia harus diperkenankan membuktikan dengan sempurna, bahwa ia bukan bapak anak itu”.

Hukum Perdata mengenal lembaga hukum yang bernama sceiding van tafel en bed, sehubungan dengan lembaga ini, seorang suami dapat pula mengingkari sahnya seorang anak yang dilahirkan oleh isterinya 300 (tiga ratus) hari setelah hari keputusan sceiding van tafel en bed itu memperoleh kekuatan yang pasti dari

102 Lihat Pasal 250 BW 103 Lihat Pasal 252 BW


(1)

Hanintijo, Ronny Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Juru Materi, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1998.

Harahap, Yahya M, Hukum Perkawinan Nasional, Medan : Zahir Trading, 1975. Hasan, Tholhah M, Islam Dan Masalah Sumber Daya Manusia, Jakarta : Lantabora

Press, 2005.

H.S, Salim, Pengantar Hukum Perdata Tertulis, Jakarta : Sinar Grafika, 2001.

Hock, Lie Oen dan Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta : Sinar Grafika, Cet.I, 2001.

Husni, Ahmad, Ahkam Syar’iyah fi Ahwalisy Syashiyyah Ala Mazahibil Imam Abu Hanafiah, Kairo : Darul Qutub, 1960.

Irfan, Nurul, Nasab dan Status Anak Dalam Hukum Islam, Jakarta : Amzah, 2012. Indonesia, UNICEF, Perlindungan Anak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Jakarta : Harapan Prima, 2003.

Jafizham, T, Persintuhan Hukum Di Indonesia Dengan Hukum Perkawinan Islam, Medan : Mestika, 1977.

Kamello, Tan, Hukum Orang dan Keluarga, Medan : USU Press, 2011.

Kansil, C.S.T, Pengantar Ilmu Hkum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta : CV.Rajawali, 1986.

Kamil, Ahmad dan M.Fauzan, Hukum Perlindungan Dan Pengangkatan Anak Di Indonesia, Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2008.

Kartohadprojo, Sudirman, Pengantar Tata Hukum Di Indonesia, Jakarta : Pustaka Rakyat, 1959

Kuspaningrum, Emilda, Kedudukan Dan Perlindungan Anak Luar Kawin Dalam Perspektif Hukum Di Indonesia, Risalah Hukum Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman, Jakarta : UI Press, 2006

LBH, Yayasan Indonesia, Hukum Perdata, Jakarta : Intermasa, 2001.


(2)

Malik, Rusdi, Memahami Undang-Undang Perkawinan, Jakarta : Universitas Trisakti, 2009.

Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta : Kencana, 2008.

Masdoeki, Arief dan M.H. Tirtaamidjaja, Asas dan Dasar Hukum Perdata, Jakarta : Djambatan, 1963.

Mughniyah, Muhammad Jawad, Al-Fiqhu Madzahabil al-Khamasah terjemahan Afif Muhammad, Jakarta : Basrie Press, Cet. I, 1994.

Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, Semarang : Penerbit Universitas Diponegoro, 2008

Muhammad, Bushar, Pokok-Pokok Hukum Adat, Jakarta : PT. Pradnya Paramita, 2006

Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta : Kencana, 2008

Perangin, Effendi, Hukum Warisan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1997.

Poerwadarminta, WJS, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1990 Prawirohamidjojo, Soetojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang Dan Keluarga,

Surabaya : Airlangga University Press, Cet.III, 2000.

--- dan Asis Safioedin, Hukum Orang Dan Keluarga, Bandung : Alumni, 1986.

---, Pluralisme Dalam Perundang-Undangan Perkawinan Di Indonesia, Surabaya : Airlangga University Press, 2002

Prins, J, alih bahasa G. A. Ticoalu, Tentang Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982.

Prodjodikoro, Wirjono R, HukumPerkawinan Di Indonesia, Bandung : Penerbit Sumur, 1984.


(3)

Saleh, K Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1976 Satrio, J, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang,

Bandung : Citra Aditya Bakti, Cet. I, 2005.

Situmorang, Victor M dan Cormentyna Sitanggang, Aspek Hukum Akta Catatan Sipil di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 1991.

Soimin, Soedharyo, Hukum Orang danKeluarga, Jakarta : Sinar Grafika, 2001. Soernaryo, dan dkk, Al-Qur’an dan terjemahnya, Semarang : Toha Putra, 1989.

Subekti R dan R.Tjitrosudibio, Terjemahan Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Edisi Revisi, Jakarta : Pradnya Paramita, 1992

Sudarsono, HukumPerkawinanNasional, Jakarta : Rineka Cipta, 1991. ---, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta : Melton Putra, 1991. ---, Kamus Hukum, Jakarta : Rineka Cipta, 2007

Supramono, Gatot, Segi-segi Hukum Hubungan Luar Nikah, Jakarta : Djambatan, 1998.

Surakhmad, Wiranto, Dasar dan Teknik Research, Bandung : Tarsito, 1978

Sudiyat, Iman, Hukum Adat – Sketsa Asas, Yogyakarta : Liberty Yogyakarta, 1981. Syahrani, Riduan,Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, Jakarta :

Media Sarana Press, 1986.

Syahuri, Taufiqurrohman, Legislasi Hukum Perkawinan Di Indonesia, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2013.

Syamsudin, M, Operasional Penelitian Hukum, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007

Syarif, Surini Ahlan, dan Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat, Jakarta : Prenada Media, 2005.

Tedjosaputa, Liliana, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Semarang : Aneka Ilmu, 2006.


(4)

Tutik, Tri Triwulan, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008.

Wantjik, K. Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1996. Wirdjono, Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung : Vorkink-van

Hoeve, 1959.

Witanto, DY, Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Uji Materiil Undang-Undang Perkawinan, Jakarta : Prestasi Pustakaraya, 2012.

Qhadawi, al Yusuf, Halal dan Haram Dalam Islam, Surabaya : Bina Ilmu, 1976.

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

PP tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, PP Nomor 9 Tahun 1975, LN Nomor 14 TLN Nomor 3050, Pasal 2 ayat 1, 2. Keppres Nomor 12 Tahun 1983, Keppres tentang Penataan Dan Peningkatan

Pembinaan Penyelenggaraan Catatan Sipil. Kompilasi Hukum Islam, Inpres Nomor 1 Tahun 1991 C. ARTIKEL, JURNAL, MAJALAH, MAKALAH

Herusuko, H, Anak Diluar Perkawinan, Makalah 14 Mei 1996.

Juliana, Amelisa, Tinjauan Yuridis Tentang Anak Yang Lahir Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, Medan : USU Press, Skripsi, 2012.

Manan, Abdul, Problematika Hadhanah Dan Hubungannya Dengan Praktik Hukum Acara Di Peradilan Agama, Mimbar Hukum No.49 Tahun 2000, hal. 69


(5)

Manggala, Rita, Kedudukan Hukum Anak Luar Kawin Dalam Perspektif Badan Peradilan (Analisa Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 935/K/Pdt/1998, Jakarta : UI Press, Tesis, 2006.

Nazla, Perjanjian Perkawinan Yang Mengatur Tanggung Jawab Terhadap Anak Luar Kawin Dalam Perspektif Hukum Islam Analisis Akta Perjanjian Perkawinan, Jakarta, UI Press, Tesis, 2006.

Sekarwangi, Mayang, Permasalahan Hukum Dalam Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan Dilembaga Pencatatan Perkawinan, Jakarta : Universitas Indonesia, Tesis, 2005.

Sukrie, Erna Sofwan, Perlindungan Hukum Anak Diluar Nikah Ditinjau Dari Hak-Hak Anak, Makalah 14 Mei 1996.

Satria, Rio (Hakim Pengadilan Sangeti), Kritik Analitis Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Mengenai Uji Materiil Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 (Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1)) Taufiq, Pengakuan Anak Wajar Menurut Hukum Perdata Tertulis Dan Hukum Islam,

Jakarta, Artikel, Dirbinbaparais Dep.Agama, 1994.

Hasim Purba, Pentingnya Amandemen UU Perkawinan Dan Isu-isu Kritis Dalam Naskah Akademik RUU Perkawinan, Slide Seminar dan Workshop Pentingnya Amandemen UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Memastikan Payung Hukum Yang Komprehensip Demi Mewujudkan Perkawinan Sejahtera Dan Bahagia, Medan, 2013.

D. MEDIA ELEKTRONIK/INTERNET.

Balian Zahab, Makalah-hukum/hukum

islam/perkawinan-antar agama/diakses tanggal 29 Mei 2013.

Boy Yendra Tami

Danuari Sandika Putra, http//my.opera.com/jawe29/blog/hukum positif, diakses tanggal 01 Oktober 2013.


(6)

Humaini, AS, Catatan Diskusi,

diakses tanggal 30 Juli 2013.

Irma Devita, http ://www.hukumonline.com/Diskusi Hukum, diakses tanggal 21 Juni 2013.

Kalianda, Pengadilan Agam

LBH APIK Terhadap Wanita, diakses tanggal 13 Mei 2013.

Puty Syashira Zahra, http//Scribd.com/Pengertian Hukum Positif, diakses tanggal 01 Oktober 2013.

Riana Kesuma Ayu Islam, diakses tanggal 04 Juni 2013

Syafran Sofyan,

di aksestgl 12 Februari 2013.

Santoso,

2013

Tecky Waskito, Anak Luar Nikah, diakses tanggal 07 Juni 2013.

Zan Elhasany