Pengakuan Kedudukan Anak Di Luar Perkawinan Dalam Kajian Hukum Positif
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Makna perkawinan adalah suatu Anugrah Allah SWT, yang merupakan kebutuhan fitri setiap manusia.1 Perkawinan yang sah pastilah akan menimbulkan akibat hukum, seperti hak dan kewajiban suami isteri, harta perkawinan, hubungan timbal balik antara kedua orang tua dengan anak, kewajiban pemeliharaan anak maupun kewarisan. Salah satu akibat dari perkawinan yang sah adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut yaitu anak yang sah, memiliki hubungan keperdataan secara sempurna terhadap orang tuanya, sesuai dengan ketentuan Pasal 42 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan (UUP 1974). Adapun hubungan hukum keperdataan yang dimaksud meliputi dari garis keturunan anak yang dihubungkan kepada ayah, hak pemenuhan nafkah dari orang tua terhadap anak, hak pemeliharaan dan pendidikan, hak saling mewarisi, hak perwalian nikah bagi ayah atas anak perempuan dan hak-hak keperdataan lainnya.2
Berbeda halnya dengan perkawinan yang sah, maka perkawinan yang tidak sah tidak memiliki akibat hukum apapun terhadap pihak yang terikat dalam perkawinan tersebut. Jika dihubungkan dengan Pasal 2 ayat (1) UUP 1974 dengan menggunakan
1
Hasim Purba, Pentingnya Amandemen UU Perkawinan Dan Isu-isu Kritis Dalam Naskah Akademik RUU perkawinan, Seminar dan Workshop di Madani Hotel Medan pada tanggal 31 Oktober 2013.
2
(2)
interprestasi hukum a contrario perkawinan yang tidak sah adalah perkawinan yang dilakukan tidak menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.3 Hubungan suami isteri yang tidak sah sebagaimana dimaksud adalah hubungan badan (senggama) antara dua orang yang tidak terikat tali pernikahan. Selain hubungan suami isteri yang tidak sah tersebut, dapat terjadi atas dasar suka sama suka ataupun karena perkosaan, baik yang dilakukan oleh orang yang telah menikah ataupun belum menikah.4
Selanjutnya dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) kalimat yang mempunyai makna “anak zina” adalah istilah “anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah”, sebagaimana yang terdapat pada Pasal 100 KHI, yang menyebutkan bahwa “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibu dan keluarga ibunya”. Semakna dengan ketentuan tersebut, Pasal 186 KHI
“Anak” sebagai hasil hubungan luar nikah, tidak dijadikan sasaran hukum sosial, celaan masyarakat dan lain sebagainya dengan menyandangkan dosa besar (berzina) ibu kandungnya dan ayah alami (genetik) anak tersebut kepada dirinya. Untuk lebih mendekatkan makna demikian, Pasal 44 ayat (1) UUP 1974 hanya menyatakan “seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan kelahiran anak itu akibat daripada perzinaan tersebut”
3
Zan Elhasany, Tentang Kedudukan Anak di Luar nikah,
12 Februari 2013 Pukul 23.00 Wib
4
Rio Satria (Hakim Pengadilan Sangeti), Kritik Analitis tentang Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai uji materil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1).
(3)
menyatakan “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya”.5
Berhubung dengan kenyataan inilah , maka nampak keperluan adanya suatu perkawinan antara seorang perempuan dan seorang laki-laki, yang dengan bersetubuh menghasilkan lahirnya anak. Hukum dimanapun juga, yang mengenal peraturan perkawinan, mengandung harapan bahwa seorang suami atau isteri tidak akan bersetubuh dengan seorang ketiga. Berdasar atas harapan inilah, maka sudah selayaknya baik hukum adat maupun hukum Islam ataupun hukum dari K.U.H.Perdata (Burgerlijk Wetboek) Pasal 250 menentukan bahwa “Tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya”, dan perhubungan anak-bapak diantara mereka ini dianggap sabagai suatu perhubungan yang sah, artinya menurut hukum (wettig).6
Mereka (anak-anak) pada hakekatnya merupakan satu-satunya golongan ahli waris, artinya sanak keluarga tidak menjadi ahli waris apabila si peninggal warisan meninggalkan anak-anak. Di dalam hukum Islam, misalnya yang merupakan ahli waris utama disamping ahli-ahli waris lainnya, dengan demikian hukum kewarisan Islam hendaknya berlaku bagi umat Islam Indonesia, karena ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD RI tahun 1945) Pasal 29 menegaskan bahwa bangsa Indonesia adalah beragama dan menjalankan
5
Ibid, hal . 4
6
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung : Vorkink-Van Hoeve, 1959), hal. 57
(4)
agamanya itu.7
Jelas terlihat dalam hal ini kedudukan anak itu penting dalam sebuah perkawinan. Tetapi sebagai orang tua terutama ayah dalam hal ini bisa saja tidak mau mengakui kedudukan seorang anak sebagai hasil dari hubungan pernikahan yang tidak sah, dan ayah memiliki kekuasaan untuk hal tersebut. Pengakuan anak yang tidak sah ini juga dimungkinkan dilakukan oleh seorang laki-laki, yang mengakui menyebabkan lahirnya anak itu. Cara pengakuan oleh si ayah hanya mungkin terjadi apabila ibunya menyetujuinya.
Dalam hukum Islam, kedudukan anak-anak di dalam pewarisan dapat kita lihat di dalam Al-Qur’an Surah An-Nisaa’ ayat (7) yang menyebutkan “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”.
8
Seorang yang belum dewasa (belum berusia 21 tahun) tidak dapat melakukan pengakuan anak, kecuali apabila sudah berusia 19 tahun dan pengakuan yang dilakukannya pun bukan akibat paksa, khilaf, tipu ataupun bujuk.9
7
Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, (Jakarta : Sinar Grafika, 2001), hal. 31 Tidaklah dapat diakui anak yang lahir dalam perzinahan (overspel) ini menurut Pasal 283 BW. Kalau ayah dan ibu tidak dapat kawin satu sama lain oleh karena ada larangan berdasar atas kedekatan tali kekeluargaan (kecuali kalau ada izin dari Pemerintah), maka pengakuan oleh mereka dari anak yang lahir dari mereka hanya dapat dilakukan pada surat kawin mereka (Pasal 283 jo Pasal 273 BW). Jadi mereka harus kawin, agar supaya dapat mengakui anaknya itu. Dengan pengakuan
8
Lihat Pasal 284 BW
9
(5)
sebagai anak ini saja, tanpa diikuti dengan suatu perkawinan antara ayah dan ibu, hanyalah ada anak yang diakui (natuurlijk erkend kind), maka anak ini belumlah dinamakan anak sah (wettig kind).10
Seorang anak yang sah dilahirkan dari sebuah perkawinan yang sah pula. Maka diperlukan adanya perkawinan yang sah menurut agama dan negara, selanjutnya perkawinan disamping itu juga merupakan sumber kelahiran yang berarti juga obat penawar musnahnya manusia karena kematian, juga merupakan tali ikatan yang melahirkan keluarga sebagai dasar kehidupan masyarakat dan negara. Hidup bersama antara seorang pria dan seorang wanita tersebut mempunyai akibat yang sangat penting dalam masyarakat, baik terhadap kedua belah pihak maupun terhadap keturunannya serta anggota masyarakat lainnya.11 Selanjutnya dalam hukum keluarga Hak dan kewajiban dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu :12
a. Hak dan kewajiban antara suami dan isteri; b. Hak dan kewajiban antara orang tua dan anaknya;
c. Hak dan kewajiban antara anak dengan orang tuanya manakala orang tuanya telah mengalami proses penuaan.
Hak dan kewajiban antara suami isteri adalah hak dan kewajiban yang timbul karena adanya perkawinan antara mereka. Pasal 30 sampai dengan Pasal 34 UUP1974 terdapat pada Bab VI yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban
10
Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit, hal. 59
11
Balian Zahab, Tentang Perkawinan Antar Agama,
Makalah-hukum/hukum islam/perkawinan-antar agama/diakses tanggal 29 Mei 2013 Pukul 11.00 Wib 12
(6)
suami isteri secara timbal balik, lebih mempunyai sifat etis daripada yuridis. Pasal 31 menjamin isteri memperoleh wewenang penuh untuk bertindak, Pasal 34 ayat (1) mewajibkan suami untuk melindungi isterinya dan memberinya, sesuai kemampuannya segala apa yang diperlukan untuk kepentingan rumah tangga yang harus diurusnya (ayat 2).13 Adapun Hak dan kewajiban suami isteri di atur dalam Pasal 32 sampai dengan Pasal 36 UUP 1974. Hak dan kewajiban antara suami isteri adalah sebagai berikut :14
a. Menegakkan rumah tangga;
b. Keseimbangan dalam rumah tangga dan dalam pergaulan masyarakat; c. Suami isteri berhak melakukan perbuatan hukum;
d. Suami isteri wajib mempunyai tempat kediaman yang tetap;
e. Suami isteri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia, dan memberikan bantuan lahir dan batin yang satu dengan yang lain;
f. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan rumah tangga sesuai dengan kemampuannya;
g. Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik baiknya.
Apabila kewajiban-kewajiban itu dilalaikan si suami maka si isteri dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan. Hak dan kewajiban antara orang tua dengan anak di atur dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 49 UUP 1974. Hak dan kewajiban orang tua dan anak dikemukakan berikut ini :15
a. Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri;16 b. Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang baik ;17 c. Anak wajib memelihara dan membantu orang tuanya, manakala sudah tua ;18
13
J.Prins alih bahasa G.A.Ticoalu, Tentang Hukum Perkawinan di Indonesia,(Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982), hal. 55-56
14Ibid 15Ibid 16
Lihat Pasal 45 ayat (1) dan (2) UUP 1974
17
Lihat Pasal 46 ayat (1) UUP 1974
18
(7)
d. Anak yang belum dewasa, belum pernah melangsungkan perkawinan, ada di bawah kekuasaan orang tua ;19
e. Orang tua mewakili anak di bawah umur dan belum pernah kawin mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan ;20
f. Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali kepentingan si anak menghendakinya ;21 Maka untuk kewajiban yang ketiga disebut alimentasi. Alimentasi adalah kewajiban dari seorang anak untuk memberikan nafkah terhadap orang tuanya manakala ia sudah tua.22
Menurut K.Wantjik Saleh, ikatan lahir batin itu harus ada. Ikatan lahir mengungkapkan adanya hubungan formal, sedang ikatan batin merupakan hubungan yang tidak formal, tak dapat dilihat. Ikatan lahir tanpa ikatan batin akan menjadi rapuh. Ikatan lahir batin manjadi dasar utama pembentukan dan pembinaan keluarga bahagia dan kekal. Ikatan lahir batin perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama menjadi suami isteri. Kekal artinya perkawinan itu hanya dilakukan satu kali seumur hidup, kecuali ada hal yang tidak dapat diduga sebelumnya. Perkawinan harus didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa artinya perkawinan itu harus didasarkan atas agama.23
19
Lihat Pasal 47 ayat (1) UUP 1974
Kemudian bagi suatu negara dan bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum
20
Lihat Pasal 47 ayat (2) UUP 1974
21
Lihat Pasal 48 UUP 1974
22
Ibid
23
(8)
perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat. 24 Hal ini dapat dimaklumi karena masalah perkawinan adalah sesuatu yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia, oleh karena itu membahas masalah perkawinan itu juga harus melihat berbagai aspek dan norma-norma yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Masalah pengaturan dan pelaksanaan perkawinan bagi masyarakat Indonesia sangat terkait dengan norma agama, norma adat maupun norma hukum yang hidup dan berkembang didalam masyarakat.25
Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia 1945, maka Undang-undang Perkawinan ini disatu pihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia 1945. Sedangkan di lain pihak harus dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa ini. Undang-undang Perkawinan ini telah menampung didalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan hukum agamanya dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan.26
24
Sudarsono, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta : Melton Putra, 1991), hal. 6
Selanjutnya diciptakannya UUP 1974 yangmerupakan suatu upaya yuridis untuk mengadakan perubahan dan pembaharuan terhadap pola-pola perkawinan dalam masyarakat yang menimbulkan dampak negatif. Perkawinan yang semula banyak dilakukan dengan bebas dan seenaknya menjadi perkawinan yang dilakukan dengan syarat-syarat
25
Hasim Purba, Op. Cit.hal. 2
26Ibid
(9)
formal. Perkawinan yang begitu mudah menjadi suatu perkawinan yang benar-benar membawa kebahagiaan yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.27
Kemudian untuk menjamin kepastian hukum, maka perkawinan berikut segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut hukum yang telah ada adalah sah. Demikian pula mengenai sesuatu hal undang-undang ini tidak mengatur dengan sendirinya berlaku ketentuan yang ada.Berdasarkan uraian di atas penting untuk dibahas persoalan hukum terkait tentang pengakuan kedudukan anak diluar perkawinan dalam kajian hukum positif.
B.Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan diatas maka dapat dirumuskan beberapa masalah, sebagai berikut :
1. Bagaimana latar belakang pengakuan kedudukan anak di luar perkawinan dalam kajian hukum positif ?
2. Bagaimana pengakuan kedudukan anak di luar perkawinan dalam kajian hukum positif ?
3. Bagaimana implementasi hak-hak keperdataan anak di luar perkawinan dalam kajian hukum positif ?
27
Riduan Syahrani, Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, (Jakarta : Media Sarana Press, 1986) hal. 11
(10)
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang menjadi fokus penelitian, maka tujuan penelitian tesis ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk menggali latar belakang pengakuan kedudukan anak di luar perkawinan dalam kajian hukum positif.
2. Untuk menjelaskan pengakuan kedudukan anak di luar perkawinan dalam kajian hukum positif.
3. Untuk mengetahui dan menjelaskan implementasi hak-hak keperdataan anak di luar perkawinan dalam kajian hukum positif.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoretis dan praktis yaitu :
1. Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan atau data infomasi pengembangan ilmu pengetahuan tentang pengakuan kedudukan anak diluar perkawinanyang dikaitkan dengan hukum positif.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai kerangka acuan penegakkan hukum perdata tentang pengakuan kedudukan anak diluar perkawinan dalam kajian hukum positif.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pemeriksaan dan penelusuran kepustakaan yang telah dilakukan, penulis menerangkan bahwa penelitian mengenai “Pengakuan Kedudukan Anak Di luar Perkawinan Dalam Kajian Hukum Positif belum pernah dilakukan baik judul
(11)
maupun permasalahan yang sama di Program Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, akan tetapi pernah dilakukan penelitian pada :
1. Tinjauan Yuridis Tentang Anak Yang Lahir Di Luar Perkawinan Menurut Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 oleh Amelisa Juliana NPM : 08200011 Mahasiswi S-1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dengan rumusan masalah sebagai berikut :
1). Bagaimana status hukum anak luar kawin menurut keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 ?
2). Bagaimana hak dan kewajiban anak luar kawin menurut keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 ?
2. Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Dalam Perspektif Hukum Islam oleh Ahmad Maulana NPM : 117011136 Mahasiswa Program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara dengan rumusan masalah sebagai berikut :
1). Apa yang menjadi pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 ?
2). Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut ?
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Kerangka teori adalah bagian penting dalam penelitian, artinya teori hukum harus dijadikan dasar dalam memberikan preskripsi atau penilaian apa yang
(12)
seharusnya memuat hukum. Selain teori juga bisa digunakan untuk menjelaskan fakta dan peristiwa hukum yang terjadi. Kaelan M.S. mengatakan landasan teori pada suatu penelitian adalah bersifat strategis artinya memberikan realisasi pelaksanaan
penelitian28. Kerangka teoretis bagi suatu penelitian mempunyai kegunaan sebagai berikut :29
a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya;
b. Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta mengembangkan defenisi-defenisi;
c. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.
Kerangka teori yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teori sistem hukum. Menurut Lawrence M.Friedman, sistem hukum merupakan suatu sistem yang meliputi struktur, substansi, dan budaya hukum30. Struktur merupakan hal yang menyangkut lembaga-lembaga (pranata-pranata), seperti legislatif, eksekutif, dan yudikatif, bagaimana lembaga itu menjalankan fungsinya. Struktur berarti juga bagaimana lembaga legislatif menjalankan fungsinya, berapa anggota duduk sebagai anggota, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan presiden, bagaimana aparat menegakkan hukum (polisi) menjalankan tugas dan lainnya.31
28
Kaelan M.S, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Paradigma Bagi Pengembangan Penelitian Interdisipliner Bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum dan Seni), (Yogyakarta : Paradigma, 2005), hal. 239
Kemudian menurut Soleman B. Taneko menjelaskan bahwa struktur hukum, mempunyai pola, bentuk
29
Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia, 2005) hal. 121
30
Lawrence M.Friedman, Law and Society an introduction, (New Jersey : Printice Hall, 1977), yang diterjemahkan oleh Ishaq, hal. 7
(13)
dan gaya. Struktur adalah badan, rangka kerja, dan bentuk yang tetap. Pengadilan atau kepolisian, merupakan organisasi. Substansi adalah ketentuan yang mengatur tingkah laku manusia, yaitu peraturan, norma-norma dan pola perilaku masyarakat dalam satu sistem.32
Substansi hukum itu pada hakikatnya mencakup semua peraturan hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis seperti keputusan pengadilan yang dapat menjadi peraturan baru ataupun hukum yang baru, hukum materiil (hukum substantif), hukum formil (hukum adjektif), dan hukum adat. Selain disamping struktur dan substansi, sistem hukum yang ketiga adalah budaya hukum, yaitu sikap masyarakat, kepercayaan masyarakat, nilai-nilai yang dianut masyarakat dan ide-ide atau pengharapan mereka terhadap hukum dan sistem hukum, serta keseluruhan faktor-faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempat yang sesuai dan dapat diterima oleh warga masyarakat dalam kerangka budaya masyarakat.
Kemudian untuk mengukur hukum sebagai suatu sistem, menurut Fuller yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo harus diletakkan pada delapan nilai-nilai yang dinamakan prinsip legalitas (principle of legality) yang menjadi syarat keberadaan sistem hukum, memberikan pengkualifikasian bagi sistem sebagai satu kesatuan yang mengandung suatu moralitas tertentu.
32
Soleman B. Taneko, Pokok-Pokok Studi Hukum dalam Masyarakat, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1993), hal. 27
(14)
Kedelapan nilai-nilai tersebut adalah sebagai berikut :33
a. Harus ada peraturan terlebih dahulu; hal ini berarti, tidak ada tempat bagi keputusan secara ad hoc, atau tindakan yang bersifat arbiter.
b. Peraturan itu harus diumumkan secara layak. c. Peraturan itu tidak boleh berlaku surut.
d. Perumusan peraturan itu harus jelas dan terperinci; ia harus dapat dimengerti oleh rakyat.
e. Hukum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin. f. Di antara sesama peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain. g. Peraturan harus tetap, tidak boleh sering diubah.
h. Harus terdapat kesesuaian antara tindakan para pejabat hukum dan peraturan yang telah dibuat.
2. Kerangka Konsepsi
Kerangka konsepsi mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan digunakan sebagai dasar penelitian. Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian dan penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu dalam penelitian ini di defenisikan beberapa konsep dasar supaya secara operasional diperoleh hasil dari penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu
a. Pengakuan (pemerintahan) adalah tindakan resmi yang mengakui adanya pemerintahan dan berarti kesiapan untuk mengadakan hubungan resmi.34
b. Kedudukan Anak yaitu yang berhubungan dengan status yang disandangnya, istilah status itu hampir sama dengan kedudukan yang secara literal kata status berarti kedudukan.35
33
Fuller dalam Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, (Bandung : Angkasa, 1979), hal. 78
34
Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta : Rineka Cipta, 2007), hal. 26
35
Jhon M.Echols – Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Cet. Ke XX (Jakarta : Gramedia, 1992), hal. 554
(15)
c. Hukum positif adalah tatanan hukum mulai dari hukum dasar sampai kepada peraturan-peraturan yang paling konkrit atau individual.36
d. Hukum positif adalah hukum yang berlaku sekarang bagi suatu masyarakat tertentu dalam suatu daerah tertentu.37
Hukum positif terdiri dari sistem hukum nasional,sistem hukum adat, sistem hukum perdata, dan sistem hukum Islam.
Pengertian anak luar kawin dalam pengertian hukum positif yaitu :
a. Anak luar kawin menurut K.U.H. Perdata juga disebut anak wajar, juga dikenal dengan sebutan anak zinah dan anak sumbang.38
b. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tidak mengenal istilah anak luar kawin.39 Begitu juga Hukum Islam mengatakan bahwa suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya karena berzina dan pengadilan yang akan memberikan keputusan tentang sahnya tidaknya anak itu.40
36
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 50
37
Puty Syashira Zahra, Tentang Pengertian Hukum Positif,http
Oktober 2013, Pukul 09.00 Wib
38
Anak luar kawin dapat diartikan dalam 3 (tiga) golongan yaitu :
1. Anak Zinah yaitu anak yang dilahirkan di luar perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita yang salah satu atau keduanya terikat dengan perkawinan lain; 2. Anak Sumbang yaitu anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang pria dan seorang wanita yang menurut undang-undang tidak diperkenankan melakukan perkawinan satu sama lain; 3. Anak Alami yaitu anak yang dilahirkan di laur perkawinan tetapi kedua orang tuanya tidak terikat dengan perkawinan lain.Tan Kamello, Op. Cit., hal. 69
39Ibid
, hal. 68
40
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung : Mandar Maju, 2003), hal. 134
(16)
c. Anak luar kawin menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 100 yaitu anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.41
d. Menurut Hukum Adat tentang anak luar kawin ada 2 (dua) pandangan yaitu 1). Menganggap anak – anak itu tidak bersalah, bebas tercela, penghinaan dan hukuman, walaupun hubungan perempuan dan laki-laki tanpa upacara adat tanpa perkawinan atau sesuatu formalitas apapun;
2). Perbuatan melahirkan anak tidak sah adalah “dikutuk” dan harus dienyahkan, diekskomunikasikan baik bagi si ibu maupun bagi si anak.42
e. Perkawinan menurut Pasal 1 UUP 1974 yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri denga tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.43
f. Perkawinan menurut Hukum Adat yaitu suatu peristiwa yang sangat penting dalam penghidupan masyarakat kita, sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria saja tetapi orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya bahkan keluarga-keluarga mereka masing-masing.44
g. Perkawinan menurut BW adalah suatu tindakan hukum yang dilakukan dengan maksud akan hidup bersama dengan kekal antara dua orang yang berjenis
41
Lihat Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam Inpress Nomor 1 Tahun 1991
42
Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Jakarta : Pradnya Paramita, 2006), hal. 31
43
Lihat Pasal 1 UUP 1974
44
Surojo Wignjodipuro, Pengantar Dan Azaz-azaz Hukum Adat, (Bandung : Alumni, 1973), hal. 139.
(17)
kelamin yang berlainan, dan di langsungkan menurut cara yang di tetapkan oleh pemerintah.45
1). Menganggap anak – anak itu tidak bersalah, bebas tercela, penghinaan dan hukuman, walaupun hubungan perempuan dan laki-laki tanpa upacara adat tanpa perkawinan atau sesuatu formalitas apapun;
2). Perbuatan melahirkan anak tidak sah adalah “dikutuk” dan harus dienyahkan, diekskomunikasikan baik bagi si ibu maupun bagi si anak.46
G. Metode Penelitian
Suatu penelitian merupakan upaya pencarian dan bukan sekedar mengamati dengan teliti terhadap suatu objek yang mudah terpegang tangan.47
Dilaksanakan untuk mengumpulkan data guna memperoleh pemecahan masalah atau mendapatkan jawaban atas pokok-pokok permasalahan yang dirumuskan, sehingga diperlukan rencana yang sistematis, metodologi merupakan suatu logika yang menjadi dasar suatu penelitian ilmiah. Oleh karena itu, pada saat penelitian Penelitian merupakan usaha pencaharian pengetahuan atau lebih tepatnya pengetahuan yang benar, dimana pengetahuan yang benar ini nantinya dapat dipakai untuk menjawab pertanyaan atau ketidaktahuan tertentu. Penelitian merupakan salah satu cara yang tepat untuk memecahkan masalah, selain itu penelitian juga dapat digunakan untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran.
45
K. A. Soejono Prawirabisma, Masalah Politik Unifikasi UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, (Jakarta, 1972), Tesis, hal. 41
46
Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Jakarta : Pradnya Paramita, 2006), hal. 31
47
(18)
dilakukan seseorang harus memperhatikan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.48
Menurut Soerjono Soekamto, penelitian hukum adalah “kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau segala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya”.
Pada penelitian hukum ini bidang ilmu hukum sebagai landasan ilmu pengetahuan induknya. Oleh karena itu, maka penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum.
49
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Agar mendapat hasil yang lebih maksimal maka dilakukan penelitian hukum dengan menggunakan metode-metode sebagai berikut :
Jenis Penelitian yang dilakukan adalah penelitian yuridis normatif, artinya yaitu penelitian yang mengacu pada norma hukum yang berkaitan dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dalam melakukan pengkajian uji materiil Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Sifat penelitian adalah penelitian deskriftif analitis artinya yaitu untuk menggambarkan semua gejala dan fakta dan menganalisa permasalahan yang ada sekarang50
48
Ronny Soemitro Hanintijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Juru Materi, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1998), hal. 9
ditujukan untuk menggambarkan secara tepat, akurat, dan sistematis gejala–gejala hukum terkait perkara pengakuan kedudukan anak di luar perkawinan dalam kajian hukum positif.
49
Soerjono Soekamto, Op.Cit, hal. 43
50
(19)
2. Sumber Data
Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) pada penelitian lazim dinamakan dengan data sekunder. Penelitian normatif data sekunder sebagai sumber/bahan informasi dapat merupakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang–undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.51
1). Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Bahan hukum primer, meliputi seluruh peraturan perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan dan tujuan penelitian, antara lain :
2). Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
3). Undang –Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; 4). Kompilasi Hukum Islam, Inpres Nomor 1 Tahun 1991
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder digunakan untuk membantu memahami berbagai konsep hukum dalam hukum primer, analisa bahan hukum primer dibantu oleh bahan hukum sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber baik jurnal-jurnal,
buku-51
(20)
buku, makalah, serta karya ilmiah mengenai pengakuan kedudukan anakdiluar perkawinan dalam kajian hukum positif yang relevan dengan judul penelitian ini. c. Bahan Hukum Tertier
Bahan hukum tertier diperlukan untuk berbagai hal dalam penjelasan makna-makna kata dari bahan hukum sekunder dan bahan hukum primer, khususnya kamus hukum.
3. Teknik Pengumpulan Data
Sebagai penelitian yuridis normatif, penelitian ini menitikberatkan pada studi kepustakaan (library research). Dalam mencari dan mengumpulkan data yang diperlukan dalam penelitian tesis ini, menggunakan data sekunder dan didukung oleh data primer. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan dari arsip-arsip, pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, makalah-makalah, tulisan-tulisan pakar hukum, publikasi dari hasil penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini.
Selain data sekunder juga menggunakan data primer yaitu, data yang diambil langsung dengan wawancara kepada informan yang dilakukan secara terarah (directive interview)52, dengan beberapa informan seperti pada Pegawai Pengadilan Negeri Medan, Pegawai Pengadilan Agama Medan dan Staf Yayasan Lembaga Pusaka Indonesia sebagai pendukung dari data sekunder yang sesuai dengan objek yang akan diteliti.
52
(21)
4. Analisis Data
Analisis data merupakan proses penelaahan yang diawali dengan melalui verifikasi data sekunder dan data primer, untuk selanjutnya dilakukan pengelompokkan sesuai dengan pembahasan permasalahan. Analisis data adalah sesuatu yang harus dikerjakan untuk memperoleh pengertian tentang situasi yang sesungguhnya, disamping itu juga harus dikerjakan untuk situasi yang nyata.53
Kemudian dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif, di mana setelah semua data terkumpul, maka dilakukan pengolahan, penganalisisan dan pengkonstruksian data secara menyeluruh, sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data. Selanjutnya semua data diseleksi dan diolah, kemudian di analisis secara deskriftif.54 Deskriftif tersebut, meliputi isi dan struktur hukum positif, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan untuk menentukan isi atau makna aturan hukum yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang menjadi objek kajian.55
Kemudian data yang telah disusun secara sistematis dianalisis secara kualitatif. Selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif yaitu cara berpikir yang dimulai dari hal yang umum untuk selanjutnya menarik ke hal-hal yang khusus sebagai kesimpulan.
53
Erikson dan Nosanchuk, Memahami Data Statistik Untuk Ilmu Sosial, (Jakarta : LP3ES, 1996), hal. 17
54
M. Syamsudin, Operasional Penelitian Hukum, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hal.133
55
(1)
c. Anak luar kawin menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 100 yaitu anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.41
d. Menurut Hukum Adat tentang anak luar kawin ada 2 (dua) pandangan yaitu 1). Menganggap anak – anak itu tidak bersalah, bebas tercela, penghinaan dan hukuman, walaupun hubungan perempuan dan laki-laki tanpa upacara adat tanpa perkawinan atau sesuatu formalitas apapun;
2). Perbuatan melahirkan anak tidak sah adalah “dikutuk” dan harus dienyahkan, diekskomunikasikan baik bagi si ibu maupun bagi si anak.42
e. Perkawinan menurut Pasal 1 UUP 1974 yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri denga tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.43
f. Perkawinan menurut Hukum Adat yaitu suatu peristiwa yang sangat penting dalam penghidupan masyarakat kita, sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria saja tetapi orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya bahkan keluarga-keluarga mereka masing-masing.44
g. Perkawinan menurut BW adalah suatu tindakan hukum yang dilakukan dengan maksud akan hidup bersama dengan kekal antara dua orang yang berjenis
41
Lihat Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam Inpress Nomor 1 Tahun 1991 42
Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Jakarta : Pradnya Paramita, 2006), hal. 31 43
Lihat Pasal 1 UUP 1974
44
Surojo Wignjodipuro, Pengantar Dan Azaz-azaz Hukum Adat, (Bandung : Alumni, 1973), hal. 139.
(2)
kelamin yang berlainan, dan di langsungkan menurut cara yang di tetapkan oleh pemerintah.45
1). Menganggap anak – anak itu tidak bersalah, bebas tercela, penghinaan dan hukuman, walaupun hubungan perempuan dan laki-laki tanpa upacara adat tanpa perkawinan atau sesuatu formalitas apapun;
2). Perbuatan melahirkan anak tidak sah adalah “dikutuk” dan harus dienyahkan, diekskomunikasikan baik bagi si ibu maupun bagi si anak.46
G. Metode Penelitian
Suatu penelitian merupakan upaya pencarian dan bukan sekedar mengamati dengan teliti terhadap suatu objek yang mudah terpegang tangan.47
Dilaksanakan untuk mengumpulkan data guna memperoleh pemecahan masalah atau mendapatkan jawaban atas pokok-pokok permasalahan yang dirumuskan, sehingga diperlukan rencana yang sistematis, metodologi merupakan suatu logika yang menjadi dasar suatu penelitian ilmiah. Oleh karena itu, pada saat penelitian Penelitian merupakan usaha pencaharian pengetahuan atau lebih tepatnya pengetahuan yang benar, dimana pengetahuan yang benar ini nantinya dapat dipakai untuk menjawab pertanyaan atau ketidaktahuan tertentu. Penelitian merupakan salah satu cara yang tepat untuk memecahkan masalah, selain itu penelitian juga dapat digunakan untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran.
45
K. A. Soejono Prawirabisma, Masalah Politik Unifikasi UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, (Jakarta, 1972), Tesis, hal. 41
46
Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Jakarta : Pradnya Paramita, 2006), hal. 31
47
(3)
dilakukan seseorang harus memperhatikan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.48
Menurut Soerjono Soekamto, penelitian hukum adalah “kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau segala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya”.
Pada penelitian hukum ini bidang ilmu hukum sebagai landasan ilmu pengetahuan induknya. Oleh karena itu, maka penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum.
49
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Agar mendapat hasil yang lebih maksimal maka dilakukan penelitian hukum dengan menggunakan metode-metode sebagai berikut :
Jenis Penelitian yang dilakukan adalah penelitian yuridis normatif, artinya yaitu penelitian yang mengacu pada norma hukum yang berkaitan dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dalam melakukan pengkajian uji materiil Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Sifat penelitian adalah penelitian deskriftif analitis artinya yaitu untuk menggambarkan semua gejala dan fakta dan menganalisa permasalahan yang ada sekarang50
48
Ronny Soemitro Hanintijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Juru Materi, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1998), hal. 9
ditujukan untuk menggambarkan secara tepat, akurat, dan sistematis gejala–gejala hukum terkait perkara pengakuan kedudukan anak di luar perkawinan dalam kajian hukum positif.
49
Soerjono Soekamto, Op.Cit, hal. 43
50
(4)
2. Sumber Data
Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) pada penelitian lazim dinamakan dengan data sekunder. Penelitian normatif data sekunder sebagai sumber/bahan informasi dapat merupakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang–undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.51
1). Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Bahan hukum primer, meliputi seluruh peraturan perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan dan tujuan penelitian, antara lain :
2). Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
3). Undang –Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; 4). Kompilasi Hukum Islam, Inpres Nomor 1 Tahun 1991
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder digunakan untuk membantu memahami berbagai konsep hukum dalam hukum primer, analisa bahan hukum primer dibantu oleh bahan hukum sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber baik jurnal-jurnal,
buku-51
(5)
buku, makalah, serta karya ilmiah mengenai pengakuan kedudukan anakdiluar perkawinan dalam kajian hukum positif yang relevan dengan judul penelitian ini. c. Bahan Hukum Tertier
Bahan hukum tertier diperlukan untuk berbagai hal dalam penjelasan makna-makna kata dari bahan hukum sekunder dan bahan hukum primer, khususnya kamus hukum.
3. Teknik Pengumpulan Data
Sebagai penelitian yuridis normatif, penelitian ini menitikberatkan pada studi kepustakaan (library research). Dalam mencari dan mengumpulkan data yang diperlukan dalam penelitian tesis ini, menggunakan data sekunder dan didukung oleh data primer. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan dari arsip-arsip, pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, makalah-makalah, tulisan-tulisan pakar hukum, publikasi dari hasil penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini.
Selain data sekunder juga menggunakan data primer yaitu, data yang diambil langsung dengan wawancara kepada informan yang dilakukan secara terarah (directive interview)52, dengan beberapa informan seperti pada Pegawai Pengadilan Negeri Medan, Pegawai Pengadilan Agama Medan dan Staf Yayasan Lembaga Pusaka Indonesia sebagai pendukung dari data sekunder yang sesuai dengan objek yang akan diteliti.
52
(6)
4. Analisis Data
Analisis data merupakan proses penelaahan yang diawali dengan melalui verifikasi data sekunder dan data primer, untuk selanjutnya dilakukan pengelompokkan sesuai dengan pembahasan permasalahan. Analisis data adalah sesuatu yang harus dikerjakan untuk memperoleh pengertian tentang situasi yang sesungguhnya, disamping itu juga harus dikerjakan untuk situasi yang nyata.53
Kemudian dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif, di mana setelah semua data terkumpul, maka dilakukan pengolahan, penganalisisan dan pengkonstruksian data secara menyeluruh, sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data. Selanjutnya semua data diseleksi dan diolah, kemudian di analisis secara deskriftif.54 Deskriftif tersebut, meliputi isi dan struktur hukum positif, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan untuk menentukan isi atau makna aturan hukum yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang menjadi objek kajian.55
Kemudian data yang telah disusun secara sistematis dianalisis secara kualitatif. Selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif yaitu cara berpikir yang dimulai dari hal yang umum untuk selanjutnya menarik ke hal-hal yang khusus sebagai kesimpulan.
53
Erikson dan Nosanchuk, Memahami Data Statistik Untuk Ilmu Sosial, (Jakarta : LP3ES, 1996), hal. 17
54
M. Syamsudin, Operasional Penelitian Hukum, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hal.133
55