1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia memiliki berbagai kebutuhan yang harus dipenuhi, yang mana berbagai kebutuhan tersebut merupakan penunjang kehidupan bagi tiap-tiap individu
agar kualitas hidup semakin meningkat. Bentuk peningkatan kualitas hidup manusia salah satunya adalah dengan dilakukannya Pembangunan Nasional. Pembangunan
Nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan dan meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara untuk mewujudkan
Tujuan Nasional. Pembangunan
ekonomi sebagai
bagian dari
pembangunan nasional,
merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun
1945. Maka dalam rangka memelihara kesinambungan pembangunan tersebut, yang para pelakunya meliputi baik pemerintah maupun masyarakat sebagai orang
perseorangan dan badan hukum, sangat diperlukan dana dalam jumlah yang besar. Meningkatnya kegiatan pembangunan, mengakibatkan meningkat pula
keperluan akan tersedianya dana yang sebagian besar diperoleh melalui kegiatan perkreditan. Mengingat pentingnya kedudukan dana perkreditan tersebut dalam
proses pembangunan, sudah semestinya jika pemberi dan penerima kredit serta pihak lain yang terkait mendapat perlindungan melalui suatu lembaga hak jaminan yang
1
Universitas Sumatera Utara
2
kuat dan yang dapat pula memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang berkepentingan.
1
Perlindungan tersebut diperlukan demi terciptanya rasa aman dan rasa saling percaya satu sama lain di antara pemberi maupun penerima kredit dan
semua pihak yang berkepentingan dalam melakukan berbagai kegiatan dibidang perkreditan.
Hak-hak jaminan atau yang disebut dengan istilah zekerheidsrechten, tersebut adalah hak atas penjaminan terpenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang
yang timbul dari suatu perikatan hukum. Hal itulah yang menjadi penyebab hukum jaminan dan hukum benda sangat erat kaitannya, yang mana bahkan dalam Undang-
undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang selanjutnya disebut sebagai Undang-undang Pokok Agraria UUPA sudah lebih
dahulu mengatur secara nasional tentang sebagian dari hukum benda itu yaitu hukum tanah.
2
Tujuan hak jaminan yang dimiliki adalah untuk mengatur keseimbangan posisi kedua belah pihak antara
pemberi kredit kreditor dan penerima kredit debitor didalam suatu perhubungan hukum hak-hak jaminan yang dimaksudkan
sebagai usaha pengamanan dibidang perkreditan. Maka dari itu, lembaga hak jaminan mempunyai tugas yaitu untuk memperlancar dan mengamankan pemberian kredit
guna mewujudkan suatu jaminan ideal yaitu suatu jaminan yang dapat secara mudah
1
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-pokok Hukum Hak Tanggungan atas Tanah Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996, Cetakan ke-1, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997, hal. 4.
2
Rachmadi Usman, Pasal-pasal tentang Hak Tanggungan atas Tanah, Cetakan ke-1, Jakarta: Djambatan, 1999, hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
3
membantu memperoleh kredit oleh pihak yang memerlukan, dan memberikan kepastian bagi pemberi kredit bahwa barang jaminan tersebut sewaktu-waktu dapat
dieksekusi apabila diperlukan untuk melunasi utang pihak debitor.
3
Lembaga hak jaminan yang membebani tanah sebagaimana dimaksud diatas, menurut UUPA adalah Hak Tanggungan. Hak Tanggungan tersebut diatur dalam
Undang-undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-benda yang berkaitan dengan Tanah, yang selanjutnya disebut Undang-undang
Hak Tanggungan UUHT, terbit pada tanggal 9 April 1966, sebagai realisasi dari Pasal 51 UUPA.
4
Adapun didalam UUHT Pasal 29 disebutkan bahwa: “Dengan berlakunya Undang-undang ini, ketentuan mengenai Credietverband
sebagaimana tersebut dalam Staatsblad 1908-542 jo. Staatsblad 1909-586 dan Staatsblad 1909-584 sebagai yang telah diubah dengan Staatsblad 1937-190
jo. Staatsblad 1937-191 dan ketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana tersebut dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia
sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku
lagi.”
Ketentuan mengenai Credietverband dan Hypotheek tesebut dipandang tidak sesuai lagi dengan perkembangan pembangunan ekonomi yang terjadi dalam bidang
perkreditan, dikarenakan pada saat itu ketentuan-ketentuan yang mengatur jaminan selama ini bersifat dualisme, yang mana sebahagian tunduk kepada Hukum Perdata
Barat yang berbau hukum kolonial dan tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia,
3
Ibid, hal. 25.
4
Mariam Darus Badrulzaman, Serial Hukum Perdata Buku Kedua Kompilasi Hukum Jaminan, Cetakan ke-2, Bandung : CV. Mandar Maju, 2009, hal. 9.
Universitas Sumatera Utara
4
dan sebahagian tunduk kepada UUPA tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria yang berasal dari hukum adat. Hal itu mengakibatkan ketidakpastian hukum yang
pada gilirannya tidak dapat memberi perlindungan kepada pemberi pinjaman maupun kepada penerima pinjaman secara seimbang. Meskipun demikian, dengan berlakunya
UUHT tidak semua ketentuan-ketentuan tentang hypotheek yang bersumber pada hukum kolonial dicabut atau dinyatakan tidak berlaku lagi, seperti
beberapa ketentuan hypotheek mengenai kapal laut, pesawat udara dan lain-lain masih
menggunakan ketentuan lama yang diatur dalam Buku II KUHPerdata Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 dan Pasal 314 Kitab Undang-undang Hukum Dagang
KUHD.
5
Setelah pencabutan kedua ketentuan tersebut, maka Hak Tanggungan dapat dikatakan sebagai produk hukum yang meniadakan pluralisme lembaga jaminan yang
sebelumnya ada dan berlaku di Indonesia, yang mana kondisi lembaga jaminan sebelum diterbitkannya UUHT tersebut masih diliputi adanya ketidakpastian lembaga
jaminan disebabkan aturan dasar pemberlakuan lembaga jaminan khususnya untuk hipotek yang masih harus mengacu pada ketentuan Buku ke-II Kitab Undang-undang
Hukum Perdata KUHPerdata, sementara untuk lembaga jaminan lainnya dapat dikatakan tidak mempunyai landasan hukum yang kuat dan bersifat situasional,
5
Hasan Basri Pane, Makalah Implementasi Hak Tanggungan menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996, 20 Mei 1996, hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
5
sehingga tidak mengherankan jika dalam praktik penerapan lembaga jaminan menimbulkan kerancuan dan keanekaragaman bentuk.
6
Menurut ketentuan Pasal 1 butir 1 UUHT: “Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan
tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan
dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-
kreditor lain.”
Pada dasarnya, Hak Tanggungan merupakan suatu bentuk jaminan pelunasan utang, dengan hak mendahului, berupa objek atau jaminan yaitu hak-hak atas tanah
yang diatur dalam UUPA.
7
Subjek Hukum Hak Tanggungan pada Pasal 8 dan 9 UUHT yaitu mereka yang mengikatkan diri dalam perjanjian jaminan Hak
Tanggungan, dalam hal ini terdiri atas pihak pemberi dan pemegang hak tanggungan, karena pada prinsipnya pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah harus
dilakukan oleh pihak yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan tersebut yang dibebankan pada saat
pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan.
8
Adapun di dalam Pasal 51 UUPA, hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan atau disebut objek Hak Tanggungan
6
Muhammad Yamin Lubis, Abdul Rahim Lubis, Kepemilikan Properti Di Indonesia Termasuk Kepemilikan Rumah Oleh Orang Asing, Cetakan ke-1, Bandung : CV. Mandar Maju,
2013, hal. 114.
7
Hasan Basri Pane, Op. Cit, hal. 13.
8
Rachmadi Usman, Op. Cit, hal. 102.
Universitas Sumatera Utara
6
hanyalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan sebagai hak-hak atas tanah yang wajib didaftar sebagai syarat publisitas dan menurut sifatnya dapat
dipindahtangankan agar mudah pelaksanaan pelunasannya. Adapun yang dimaksud dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan adalah hak-hak atas
tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA.
9
Menurut Pasal 4 dan Pasal 27 UUHT pembagian objek Hak Tanggungan terdiri dari:
10
1. Hak Milik; 2. Hak Guna Usaha;
3. Hak Guna Bangunan; 4. Hak Pakai atas tanah Negara, yaitu Hak Pakai atas Tanah Negara yang
menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan;
5. Hak Pakai atas tanah Hak Milik yang akan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah;
6. Rumah Susun dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun; 7. dan Hak atas tanah berikut atau tidak berikut bangunan, tanaman dan hasil
karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang
pembebanannya dengan tegas dinyatakan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.
Berdasarkan pembagian objek Hak Tanggungan tersebut, salah satu kebijaksanaan yang ingin diwujudkan dalam ketentuan UUHT adalah penyesuaian
lingkup Objek Hak Tanggungan dengan keperluan dalam praktek dan perkembangan hukum tanah nasional, yang mana bahwa objek Hak Tanggungan dapat meliputi
bangunan, tanaman, dan hasil karya yang merupakan kesatuan dengan tanah. Meskipun pada dasarnya Hak Tanggungan itu diberikan terhadap sebidang
tanah, yang mana hal ini sesuai dengan asas pemisahan horizontal yang dianut hukum
9
C.S.T Kansil dan Christine S.T. Kansil, Op. Cit, hal. 24.
10
Ibid
Universitas Sumatera Utara
7
tanah nasional dan berdasarkan juga terhadap hukum adat, namun kenyataannya diatas tanah yang bersangkutan seringkali terdapat benda berupa bangunan, tanaman,
maupun hasil karya lain yang secara tetap merupakan satu kesatuan dengan tanah itu. Benda-benda tersebut dalam praktek juga diterima sebagai jaminan kredit bersama-
sama dengan tanah yang bersangkutan, dan bahkan hampir tidak ada pemberian Hak Tanggungan yang hanya mengenai tanahnya saja, sedangkan diatas tanah tersebut
terdapat bangunan.
11
Rumah susun dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun seperti halnya didalam Pasal 27 UUHT tersebut diatas, kemudian diketahui sebagai salah satu dari objek Hak
Tanggungan, yang mana pengaturan dan ketentuan mengenai rumah susun ini pertama sekali muncul adalah dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 16
Tahun 1985 tentang Rumah Susun pada tanggal 31 Desember 1985. Pengaturan mengenai rumah susun kemudian diadakan pembaharuan dengan
dikeluarkannya Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun pada tanggal 10 November 2011 yang selanjutnya disebut dengan UURS Nomor 20 Tahun
2011 atau UURS yang baru. Pengertian mengenai rumah susun dan satuan rumah susun terdapat dalam
pasal 1 ayat 1 dan ayat 3 UURS Nomor 20 Tahun 2011 yaitu untuk rumah susun adalah:
“Bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam
11
H.R. Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi, Cetakan ke-1, Bandung : P.T. Citra Aditya Bakti, 2005, hal. 257.
Universitas Sumatera Utara
8
arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing- masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat
hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.” Sedangkan untuk pengertian mengenai satuan rumah susun yang
selanjutnya disebut sarusun adalah “Unit rumah susun yang tujuan utamanya digunakan secara terpisah dengan fungsi utama sebagai tempat hunian dan
mempunyai sarana penghubung ke jalan umum.”
Pada saat UURS Nomor 16 Tahun 1985 masih berlaku, telah ditetapkan status hak yang baru terhadap pemilikan rumah susun yakni kepada penghuni diberikan Hak
Milik Satuan Rumah Susun. Kedudukan dari hak tersebut sama dengan hak-hak atas tanah yang dikenal dalam UUPA yang mana ditandai dengan ketentuan dalam
pendaftaran tanahnya sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang selalu menyebutkan hak atas tanah
dengan Hak Milik Satuan Rumah Susun tersebut bersama-sama dalam satu tarikan nafas.
12
Hak Milik Satuan Rumah Susun HM Sarusun bersifat simultan atau bersamaan, yang terhadapnya mengandung hak perseorangan dan hak bersama,
namun paduan keduanya tetaplah memiliki pembatasan wewenang secara jelas. Hal tersebut dikarenakan inti sistem rumah susun adalah kepemilikan secara bersama atas
sebidang tanah dengan bangunan fisik yang berdiri diatasnya. Pasal 46 ayat 1 UURS yang baru menyebutkan bahwa “Hak kepemilikan atas sarusun merupakan hak
milik atas sarusun yang bersifat perseorangan yang terpisah dengan hak bersama atas bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama.”
12
Muhammad Yamin Lubis, Abdul Rahim Lubis, Op. Cit, hal. 103.
Universitas Sumatera Utara
9
Satuan rumah susun dapat dimiliki baik oleh perseorangan maupun badan hukum yang memenuhi persyaratan sebagai pemegang hak atas tanah, dan untuk
mencapai tertib
administrasi pertanahan
serta memberikan
kepastian dan
perlindungan hukum kepada pemilik hak atas satuan rumah susun, maka sesuai dengan Pasal 47 ayat 1 dan 2 UURS yang baru, sebagai tanda bukti hak milik atas
satuan rumah susun diterbitkan sertipikat hak milik sarusun yang diterbitkan oleh Kantor Pertahanhan KabupatenKota setempat sebagai bukti kepemilikan atas
Sarusun yang padanya dapat dibebani dengan Hak Tanggungan.
13
Pemberian Hak Tanggungan dilihat berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat 1 UUHT dapat dilakukan oleh “Orang perseorangan atau badan hukum yang
berwenang untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan”.
Prosedur pemberian Hak Tanggungan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 ayat 1 UUHT, diketahui bahwa:
“Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di
dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.”
Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa terjadinya pemberian Hak Tanggungan ditandai dengan adanya suatu perjanjian yang mendahuluinya itu berupa
perjanjian pokok, sesuai dengan sifat accesoir Hak Tanggungan, sebab perjanjian
13
Ibid., hal. 113.
Universitas Sumatera Utara
10
Hak Tanggungan tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya perjanjian pokok yang mendahului sebelumnya.
14
Adapun pasal 10 ayat 2 UUHT menyebutkan mengenai proses “Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan
oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah atau PPAT sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.”
Pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan atau kemudian disebut dengan APHT ini haruslah dihadiri oleh pihak pemberi Hak Tanggungan, yang mana apabila
tidak dapat hadir, maka dapat menunjuk pihak lain sebagai kuasanya, dengan membuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan atau kemudian disebut
dengan SKMHT yang berbentuk akta otentik baik yang dibuat dihadapan Notaris maupun PPAT sebagaimana diatur dalam Pasal 15 UUHT.
15
Berbagai proses pendaftaran dalam pemberian Hak Tanggungan sebagaimana disebutkan diatas apabila keseluruhannya telah terpenuhi maka kemudian Kantor
Pertanahan akan menerbitkan tanda bukti adanya Hak Tanggungan berupa sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat 1 UUHT, yang mana
sertifikat tersebut memuat irah-irah dengan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” sehingga karenanya mempunyai kekuatan eksekutorial
yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte hypotheek sepanjang mengenai hak atas
14
Ibid., hal. 120.
15
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
11
tanah. Ketentuan ini dimaksud untuk menegaskan kalau Kantor Pertanahan yang berwenang membuat “titel eksekutorial” dan hal tersebut tidak dicantumkan pada
APHT, tetapi terdapat pada sertifikat Hak Tanggungan.
16
Pencantuman irah-irah pada sertifikat Hak Tanggungan tersebut menegaskan adanya kekuatan eksekutorial pada sertifikat tersebut sehingga apabila debitor cidera
janji, terhadap tanah dan bangunan yang dijadikan jaminan tersebut dapat dieksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, melalui tata cara dan dengan menggunakan lembaga parate executie sesuai dengan peraturan hukum acara perdata.
17
Berdasarkan hal-hal yang diuraikan tersebut diatas, agar lebih mengetahui secara jelas dan tepat mengenai pemberian Hak tanggungan atas hak milik satuan
rumah susun dan kaitannya dengan bangunan rumah susun tersebut sebagai satu kesatuan sampai dengan proses eksekusi terhadap satuan rumah susun tersebut, maka
dilakukan penelitian dengan judul: “Analisis Yuridis Pemberian Hak Milik Satuan Rumah Susun Berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah
Susun.”
B. Perumusan Masalah